Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

POSISI UTANG LUAR NEGERI SEJAK ORDE LAMA SAMPAI DENGAN


SEKARANG

Dosen: DWIKA LODIA PUTRI, SE., M.Ak

Kelompok 4 :

 Daniel Meciho
 Donysa P O Nainggolan
 Fajar D Yulianta
 Wiki Lase

FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN AKUTANSI
UNIVERSITAS LANCANG KUNING
TAHUN 2022

A. LATAR BELAKANG

Pemberian utang luar negeri diawali pasca Perang Dunia II dimana negara-negara

di wilayah utara, bank-bank swasta serta lembaga keuangan internasional memberikan

pinjaman kepada negara-negara dunia ketiga yang memiliki keinginan untuk mewujudkan

kesejahteraan bagi rakyatnya.

Sebagai salah satu negara ketiga, Indonesia juga memiliki utang luar negeri diawali

sejak era orde lama hingga saat ini. Awalnya utang tersebut digunakan untuk membiayai

pembangunan namun dikemudian hari selain untuk pembiayaan pembangunan, utang luar

negeri juga merupakan tambahan pembiayaan defisit anggaran guna memacu pertumbuhan

ekonomi yang diinginkan.

Posisi utang luar negeri Indonesia sampai akhir Maret 2010 mencapai US$180,7

miliar atau setara dengan Rp1.628,4 triliun (patokan kurs=Rp9.012/ US$). Utang ini

didominasi utang Pemerintah sebesar US$95,1 miliar, utang swasta sebesar US$75,1

miliar, dan utang Bank Indonesia sebesar US$10,5 miliar.

B. PERMASALAHAN

1. Apakah definisi utang luar negeri?

2. Bagaimanakah pengelolaan atas utang luar negeri ?


C. PEMBAHASAN

1. Definsi utang luar negeri

Utang luar negeri atau dikenal dengan pinjaman luar negeri adalah : setiap

penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan,

rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi

pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.

Pinjaman ini dapat berbentuk Pinjaman Program1 dan/atau Pinjaman Proyek2,

dan terdiri atas pinjaman lunak, fasilitas kredit ekspor, pinjaman komersial, dan

pinjaman campuran.

Pinjaman Lunak adalah pinjaman yang masuk dalam kategori Official

Development Assistance (ODA) Loan3 atau Concessional Loan4, yang berasal dari

suatu negara atau lembaga multilateral, yang ditujukan untuk pembangunan ekonomi

atau untuk peningkatan kesejahteraan sosial bagi negara penerima dan memiliki

komponen hibah (grant element) sekurang- kurangnya 35% (tigapuluh lima per

seratus). Contohnya pinjaman dari Perancis untuk membiayai berbagai program

penanganan perubahan iklim atau baru-baru ini tawaran pinjaman keuangan dari

Jerman untuk proyek- proyek bidang transportasi, infrastruktur termasuk juga

pengembangan geothermal.

Fasilitas Kredit Ekspor adalah pinjaman komersial yang diberikan oleh

lembaga keuangan atau lembaga non keuangan di negara pengekspor yang dijamin

oleh lembaga penjamin kredit ekspor. Contohnya fasilitas ini diberikan untuk UKM

pada sektor furniture, pangan dan perikanan.

Pinjaman Komersial adalah pinjaman luar negeri Pemerintah yang diperoleh


dengan persyaratan yang berlaku di pasar dan tanpa adanya penjaminan dari

lembaga penjamin kredit ekspor.

Pinjaman Campuran adalah kombinasi antara dua unsur atau lebih yang

terdiri dari hibah, pinjaman lunak, fasilitas kredit ekspor, dan pinjaman komersial.

Semua bentuk dan jenis pinjaman luar negeri ini diterima dari negara asing,

lembaga multilateral, lembaga keuangan dan lembaga non keuangan asing, dan

lembaga keuangan non asing, yang berdomisili dan melaksanakan kegiatan usaha

diluar wilayah negara RI.

Sebelumnya jatuhnya Orde Baru, Bank Dunia selalu memuji prestasi pembangunan

ekonomi Indonesia. Bahkan posisi Indonesia ditempatkan sebagai salah satu negara

berkembang yang sukses pembangunan ekonominya, tanpa melihat proses pembangunan

itu telah merusak dan menghabiskan sumber daya alam yang ada, dan melilitkan

Indonesia pada utang luar negeri yang sangat besar.7

Jumlah utang luar negeri Indonesia menempati peringkat ke-5 di antara negara

dunia ketiga, setelah Meksiko, Brazil, India dan Argentina. 8 Akibat krisis ekonomi yang

sangat parah ini, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan rasio stock utang per

GDP tertinggi di dunia, mengalahkan negara-negara yang selama ini terkenal sebagai

pengutang terbesar, seperti Meksiko, Brazil dan Argentina.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan, nilai total utang

pemerintah pusat dalam rupiah mengalami peningkatan setiap tahun. Bank Indonesia

(BI) merilis data terbaru utang luar negeri Indonesia yang mencapai US$ 360,7 miliar

atau sekitar Rp 5.410 triliun (US$ 1 = Rp 15.000). Angka ini meningkat sekitar US$

17,56 miliar atau Rp 263,4 triliun dibandingkan periode yang sama pada tahun 2017.10
Tabel Rincian Utang Luar Negeri Indonesia Periode Agustus 2018

No PIHAK US$ MILIAR

1 Utang Pemerintah Pusat 178,12

2 Utang Bank Sentral 3,18

3 Utang Swasta 179,42

4 Total 360,72

Sumber : Bank Indonesia

Selanjutnya, jika kita elaborasi negara yang menjadi kreditor terbesar, Singapura

jadi juaranya dengan total mencapai US$ 57,80 miliar. Berikut negara pemberi (kreditor)

utang bagi Indonesia. Dari kreditor terbesar hingga terkecil di luar Bank Dunia.

Tabel. 5 Negara Terbesar Pemberi Utang Bagi Indonesia

No NEGARA US$ MILIAR

1 Singapura 57,80

2 Jepang 28,97

3 Tiongkok 16,75

4 AS 15,48

5 Hongkong 13,66

Ket: dalam US$ miliar. Sumber : Bank Indonesia.12

Data di atas memperlihatkan, kreditor terbesar Indonesia berasal dari negara-

negara yang berada di kawasan Asia. Selain Singapura, ada negara-negara seperti
Jepang, Tiongkok hingga Hongkong yang memberikan jumlah utanag terbesar.

Sementara Sementara itu, rasio utang luar negeri Indonesia terhadap Produk Domestik

Bruto (Pertumbuhan Ekonomi) pada kuartal II-2018 turun tipis ke level 34,34% dari

sebelumnya 34,39% di periode yang sama tahun sebelumnya.

Pemerintah Jokowi saat ini, menambah utang pemerintah dalam APBN 2018

hingga Rp 549,92 triliun dalam setahun. Angka ini merupakan realisasi outstanding per

September 2019. Dalam realisasi APBN 2018 per September yang dipublikasikan

Kementerian Keuangan, Rabu (17/10/2018) sebagaimana dirilis kantor berita CNN,

bahwa total utang pemerintah pada September 2017 lalu hanya sebesar Rp 3.866,45

triliun. Realisasi per September 2018, total utang pemerintah mencapai Rp 4.416,37

triliun. Angka ini tertuang dalam APBN

2. Pengelolaan utang luar negeri

Salah satu kewenangan Pemerintah dalam hal keuangan adalah melaksanakan

pinjaman luar negeri. Namun pelaksanaan ini tidak boleh dilaksanakan secara

sembrono. Pentingnya pinjaman luar negeri untuk mendukung pembiayaan proyek-

proyek atau untuk tambahan pembiayaan defisit anggaran mengharuskan Pemerintah

untuk melakukan pengelolaan yang cermat terhadap utang atau pinjaman luar negeri

sehingga Pemerintah kemudian menetapkan peraturan perundang-undangan untuk

mengatur pengelolaan utang luar negeri.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara

Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau

Hibah Luar Negeri diatur adanya tahapan-tahapan meliputi perencanaan, pelaksanaan

dan penatausahaan, pelaporan, monitoring, evaluasi dan pengawasan atas utang luar
negeri.

Perencanaan

Dalam rangka perencanaan pinjaman luar negeri, Presiden menetapkan

Rencana Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri (RKPLN) selama 5 (lima) tahun dengan

berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) serta berdasarkan

usulan Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala

Bappenas.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas kemudian

menyusun Daftar Rencana Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri Jangka Menengah

(DRPHLN-JM) dengan menggunakan RKPLN dan RPJM sebagai pedomannya.

DRPHLN-JM ini diperoleh berdasarkan usulan kegiatan yang diajukan oleh

Kementerian Negara/Lembaga, Pemerintah Daerah dan BUMN.

Usulan kegiatan dari Kementerian Negara/Lembaga berupa kegiatan dalam

rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya dengan memperhatikan kriteria-

kriteria sebagai berikut :

a. kriteria umum dimana kegiatan sesuai dengan arahan dan sasaran RPJM, kegiatan

dilakukan dalam rangka pencapaian sasaran program yang menjadi prioritas

pembangunan nasional, kegiatan harus mempertimbangkan kemampuan

pelaksanaan, kegiatan secara teknis dan pembiayaan lebih efisien untuk dibiayai

dari pinjaman luar negeri, dan hasil kegiatan dapat dioperasikan oleh sumberdaya

dalam negeri serta diperluas untuk kegiatan lainnya.

b. kegiatan dalam rangka pencapaian sasaran tugas pokok dan fungsi Kementerian

Negara/Lembaga.
Kementerian Negara/Lembaga juga dapat menginisiasi kegiatan untuk

Pemerintah Daerah berupa usulan kegiatan yang sebagian atau seluruhnya akan

diteruspinjamkan, yang selanjutnya akan diusulkan oleh Pemerintah Daerah tersebut.

Usulan kegiatan dari Pemerintah Daerah harus memperhatikan kriteria umum dan

kriteria khusus yang mencakup :

1) kegiatan investasi untuk prasarana dan/atau sarana yang menghasilkan penerimaan

pada APBD yang diperoleh dari pungutan atas prasarana/sarana tersebut,

2) kegiatan merupakan urusan Pemerintah Daerah,

3) kegiatan dalam rangka pencapaian sasaran program yang merupakan prioritas

RPJMD dan sejalan dengan program RPJM,

4) kegiatan memberikan manfaat langsung bagi pelayanan masyarakat daerah

setempat,

5) Pemda mempunyai kemampuan fiskal untuk memenuhi kewajiban

pembayaran kembali pinjaman.

Sedangkan usulan kegiatan dari BUMN juga harus memperhatikan kriteria

umum dan kriteria khusus yaitu kegiatan investasi ini dimaksudkan untuk memperluas

dan meningkatkan pelayanan serta meningkatkan penerimaan BUMN, dan BUMN

mempunyai proyeksi kemampuan keuangan untuk memenuhi kewajiban pembayaran

kembali pinjaman tersebut.

Usulan-usulan tersebut dilampiri dengan kerangka acuan kerja, dokumen studi

kelayakan kegiatan, dan surat persetujuan dari DPRD (khusus untuk Pemerintah

Daerah).

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional kemudian melakukan penilaian

atas usulan-usulan kegiatan tersebut meliputi penilaian administrasi, penilaian teknis


dan penilaian pendanaan. Penilaian administrasi dilakukan berdasarkan kelengkapan

dokumen administrasi. Penilaian teknis meliputi kesesuaian usulan kegiatan dengan

sasaran program RPJM, kelayakan teknis, kelayakan ekonomi, kelayakan finansial

dan kemampuan pelaksanaan instansi pelaksana. Sementara penilaian pendanaan

diperoleh melalui sinkronisasi pendanaan.

DRPHLN-JM ini kemudian disampaikan kepada Menteri Keuangan dan

Menteri pada Kementerian Negara/Lembaga/Kepala Daerah/Direksi BUMN yang

mengusulkan dan calon Pemberi Pinjaman Luar Negeri (PPLN) serta diinformasikan

kepada masyarakat.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas kemudian

melaksanakan pertemuan berkala dengan calon PPLN dengan melibatkan Menkeu,

Menlu dan instansi terkait lainnya untuk memperoleh kesepakatan mengenai kegiatan

dalam DRPHLN-JM yang sesuai dengan program calon PPLN.

Berdasarkan kesepakatan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala

Bappenas berkoordinasi dengan instansi pengusul dan/atau pelaksana kegiatan untuk

menyusun rencana kegiatan rinci dalam rangka meningkatkan kesiapan rencana

pelaksanaan kegiatan.

Kegiatan yang telah memenuhi kesiapan dicantumkan dalam Daftar Rencana

Prioritas Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri (DRPPHLN), dan disampaikan kepada

Menkeu, Menteri pada Kementerian Negara/Pimpinan Lembaga/Kepala

Daerah/Direksi BUMN dan calon PPLN.

Berdasarkan kegiatan dalam DRPPHLN, Kementerian

Negara/Lembaga/Pemerintah Daerah/BUMN melakukan penyempurnaan persiapan

pelaksanaan kegiatan, sementara bagi Pemda/BUMN harus melakukan koordinasi


dengan Menkeu guna penyusunan rancangan Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman

Luar Negeri.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas kemudian

melakukan koordinasi dengan calon PPLN untuk mendapatkan indikasi komitmen

pendanaan. Setelah didapatkan, Daftar Kegiatan disampaikan kepada Menkeu dan

calon PPLN.

Menkeu kemudian melakukan perundingan antara Pemerintah dengan

melibatkan unsur-unsur Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan,

Kementerian Luar Negeri dan instansi lainnya didampingi ahli hukum, bersama

dengan calon PPLN. Hasil perundingan ini kemudian dituangkan dalam Naskah

Perjanjian Pinjaman Luar Negeri (NPPLN), sekurang- kurangnya memuat jumlah,

peruntukan dan persyaratan pinjaman. NPPLN5 ini berlaku sejak ditandatangani

kecuali ditentukan lain oleh naskah tersebut, kemudian disampaikan oleh Depkeu

kepada BPK dan instansi terkait.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas kemudian menyusun

RK-PHLN yang isinya meliputi rincian jenis kegiatan, lokasi, rencana alokasi

anggaran, satuan kerja pelaksana kegiatan, jadwal pelaksanaan, kebutuhan dana

pendamping, dan mekanisme pengadaan barang dan jasa.

Pelaksanaan

Penarikan pinjaman luar negeri dilakukan melalui mekanisme APBN, dengan

tata cara : pembukaan L/C, pembayaran Langsung (Direct Payment)6, reksus (Special

Account)7 dan penggantian pembiayaan pendahuluan (Reimbursement)8.

Penarikan pinjaman luar negeri dengan pembukaan L/C didahului dengan


pengajuan Surat Permintaan Penerbitan Surat Kuasa Penarikan Dana (SPP-SKPD) L/C

sebesar nilai Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pengguna Anggaran/Kuasa

Pengguna Anggaran (PA/KPA) kepada KPPN. KPPN kemudian menerbitkan SKPD

L/C dan mengirimkannya kepada BI atau Bank dengan tembusan kepada Dirjen Bea

dan Cukai dan PA/KPA. PA/KPA kemudian memberitahukan kepada rekanan/importer

untuk mengajukan pembukaan L/C kepada BI atau bank dengan melampirkan KPBJ

dan daftar barang yang akan diimpor serta dokumen pendukung lain yang diatur oleh

BI atau bank. BI atau bank kemudian membuka L/C kepada bank koresponden dan

tembusan dokumen pembukaan L/C disampaikan kepada KPPN dan Dirjen

Pengelolaan Utang. Atas dasar L/C yang telah dibuka, BI atau bank meminta Pemberi

Pinjaman Luar Negeri untuk menerbitkan surat pernyataan kesediaan melakukan

pembayaran. Terhadap L/C yang telah dicairkan, Direktorat Pengelolaan

Pinjaman/Hibah Luar Negeri, BI atau Bank menerima Notice of Disbursement (NOD)

dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri. BI kemudian menerbitkan Nota Disposisi dan

membukukan ekuivalen Rupiah ke dalam Rekening Kas Negara serta menyampaikan

tembusannya kepada KPPN. Oleh KPPN kemudian diterbitkan dan dibukukan Surat

Perintah Pembukuan/Pengesahan (SP3)9 serta menyampaikan kepada PA/KPA sebagai

dasar pembukuan SAI.


Penarikan pinjaman luar negeri dengan pembayaran langsung dilakukan

sebagai berikut : PA/KPA dengan menyampaikan Surat Permintaan Penerbitan

Aplikasi Penarikan Dana Pembayaran Langsung (SPP-APD PL) kepada KPPN.

Kemudian KPPN menerbitkan APD-PL/withdrawal application dan

menyampaikannya kepada Pemberi Pinjaman Luar Negeri lalu dilakukan pembayaran

langsung oleh Pemberi Pinjaman Luar Negeri kepada rekanan. Untuk setiap transaksi

yang telah dilakukan, Direktorat Pinjaman dan Hibah Luar Negeri, KPPN dan BI

menerima Notice of Disbursement (NOD) dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri. Atas

NOD ini KPPN menerbitkan SP3 dan menyampaikan kepada BI untuk dibukukan serta

kepada PA/KPA sebagai dasar pembukuan SAI.


Sedangkan penarikan pinjaman luar negeri dengan reksus dilakukan oleh Dirjen

Perbendaharaan pada BI atau bank. Kemudian atas permintaan PA/KPA, Dirjen

Perbendaharaan mengajukan permintaan pengisian initial deposit kepada Pemberi

Pinjaman Luar Negeri untuk kebutuhan pembiayaan selama periode tertentu atau

senilai pinjaman yang ditentukan dalam NPPLN. Lalu PA/KPA mengajukan

SPM/SPP, SKM, Reksus L/C dengan dilampiri dokumen pendukung kepada KPPN

yang menjadi dasar bagi KPPN untuk menerbitkan SP2D atau SKM Reksus L/C.

Dokumen yang diterbitkan tersebut disampaikan kepada BI atau Bank dan menjadi

dasar untuk melakukan pembebanan pada Reksus. PA/KPA kemudian

memberitahukan rekanan/importer untuk membuka L/C di BI atau bank dengan

melampirkan KPBJ dan daftar barang yang akan diimpor serta dokumen pendukung

lainnya. BI atau bank kemudian membuka L/C kepada bank koresponden dan

tembusan dokumen pembukaan L/C disampaikan kepada KPPN dan Dirjen

Pengelolaan Utang. BI atau bank kemudian membebani reksus untuk melakukan

pembayaran kepada bank koresponden untuk diteruskan kepada pemasok. Atas

pembebanan ini, BI menerbitkan Nota Disposisi sebagai realisasi L/C dan

membukukan ekuivalen Rupiah ke dalam Rekening Kas Negara KKPN penerbit SKM

Reksus L/C dengan menerbitkan Nota Debet/Kredit sebagai realisasi penarikan

pinjaman luar negeri serta disampaikan kepada KPPN. KPPN kemudian menerbitkan

dan membukukan SP3 pada tahun anggaran berjalan sebagai realisasi APBN dan

menyampaikannya kepada PA/KPA dan Dirjen Pengelolaan Utang. Apabila terdapat

sisa dana dalam reksus setelah closing account maka sisa dana kembali kepada

Pemberi Pinjaman Luar Negeri.

Sementara penarikan pinjaman luar negeri dengan mekanisme reimbursement


untuk dana rekening BUN dan/atau rekening kas negara atau rekening Penerima

Penerusan Pinjaman (PPP) dilakukan sebagai berikut : PA/KPA mengajukan bukti-

bukti pengeluaran pembiayaan pendahuluan dan Rincian Penggunaan Uang Kepada

KPPN. Atas dasar bukti-bukti tersebut dan dokumen pendukung lain yang diminta oleh

Pemberi Pinjaman Luar Negeri, KPPN mengajukan APD kepada Pemberi Pinjaman

Luar Negeri. Lalu Pemberi Pinjaman menerbitkan NOD atau dokumen lain yang

dipersamakan dan diberikan kepada Dirjen Pengelolaan Utang, KPPN dan BI.

Berdasarkan NOD, KPPN menerbitkan SP3 dan mengirimkan kepada PA/KPA sebagai

bahan pembukuan SAI.

Penatausahaan

Sebagai wakil dari Pemerintah, Menteri Keuangan memiliki kewajiban untuk

melakukan penatausahaan pinjaman luar negeri dalam bentuk kegiatan administrasi

pengelolaan pinjaman dan akuntansi pengelolaan pinjaman.

Pinjaman luar negeri ini dituangkan dalam dokumen satuan anggaran dan

selanjutnya dituangkan dalam dokumen pelaksanaan anggaran.

Sesuai dengan PSAP 9 paragraf 21, pengakuan pinjaman luar negeri dibedakan

berdasarkan cara-cara penarikannya yaitu sebagai berikut :

(i) dengan pembukaan L/C, pinjaman diakui saat pemberi pinjaman melakukan

disbursement kepada bank koresponden untuk membayar L/C tersebut, dan

realisasi disbursement tersebut diberitahukan oleh pemberi pinjaman kepada

peminjam dengan NOD.

(ii) dengan pembayaran langsung, diakui saat pemberi pinjaman melakukan

disbursement kepada rekanan, dan diberitahukan oleh pemberi pinjaman kepada


peminjam melalui NOD.

(iii) dengan pembukaan reksus, pinjaman diakui saat pemberi pinjaman melakukan

disbursement ke reksus tersebut.

(iv) dengan pembiayaan pendahuluan, diakui saat pemberi pinjaman melakukan

disbursement ke rekening BUN dan/atau rekening Kas Negara atau rekening

Penerima Penerusan Pinjaman untuk mengganti pengeluaran yang telah dilakukan.

Utang tersebut dicatat sebesar nilai nominal berdasarkan nilai tukar (kurs tengah BI)

pada tanggal neraca dan disajikan sebesar nilai tercatat 10. Selain itu perlu juga

diungkapkan rincian dari masing-masing utang, jatuh tempo, tingkat bunga, amortisasi

diskonto/premium, dan selisih kurs utang dalam valuta asing yang terjadi antar kurs

transaksi dan kurs tanggal neraca.

Pelaporan, Monitoring, dan Evaluasi

Pinjaman luar negeri yang telah digunakan untuk membiayai kegiatan- kegiatan

tertentu harus selalu dilaporkan oleh Menteri pada Kementerian Negara/Pimpinan

Lembaga/Kepala Daerah/Direksi BUMN kepada Menteri Perencanaan Pembangunan

Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan. Laporan tersebut berwujud

Laporan Pelaksanaan Kegiatan mencakup perkembangan realisasi penyerapan dana,

perkembangan pencapaian pelaksanaan fisik, perkembangan proses pengadaan barang

dan jasa, permasalahan/kendala yang dihadapi dan langkah tindak lanjut yang

diperlukan dengan acuan RPK-PHLN. Bukan hanya melaporkan kegiatan, Menteri

pada Kementerian Negara/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Direksi BUMN juga


memiliki kewajiban untuk melaksanakan evaluasi tahap akhir atas pencapaian sasaran

kegiatan yang ditetapkan dan evaluasi atas dampak pelaksanaan kegiatan.

Baik laporan pelaksanaan kegiatan maupun hasil evaluasi disampaikan kepada

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas untuk diolah. Laporan

pelaksanaan kegiatan tersebut akan dievaluasi dan disajikan menjadi Laporan Kinerja

Pelaksanaan Pinjaman yang sekaligus juga berisi langkah-langkah tindak lanjut

bilamana timbul permasalahan-permasalahan selama pelaksanaan kegiatan. Sedangkan

hasil evaluasi diolah oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala

Bappenas untuk disusun dalam suatu laporan evaluasi pelaksanaan kegiatan yang akan

digunakan sebagai bahan untuk perencanaan tahap selanjutnya.

Selain melalui pelaporan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala

Bappenas juga mengadakan rapat berkala pada setiap berakhirnya triwulan dan

kunjungan lapangan sebagai bentuk pemantauan. Sementara Menteri Keuangan akan

melakukan koordinasi dengan Gubernur

BI guna mengeluarkan Laporan Realisasi Penyerapan Pinjaman secara triwulanan.

Potret Utang Luar Negeri Indonesia

1. Sejak merdeka, Indonesia sudah menanggung utang

Hal ini diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Selepas pengakuan

kemerdekaan pada Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, pemerintahan yang baru

terbentuk sudah menanggung utang warisan kolonial Belanda. Saat itu, nilai utang

sebesar US$1,13 miliar sebagai nilai kerusakan perang serta investasi yang dibekukan

oleh Belanda di Indonesia. Angka tersebut tentu berat bagi Indonesia yang produk
domestik bruto (PDB) saat itu masih kecil. Pemerintah Indonesia di bawah Presiden

Soekarno saat itu otomatis menanggung beban keuangan yang tak sederhana. Biaya

operasional pemerintah tidak sedikit.Pemerintah juga belum bisa menerbitkan Surat

Utang Negara (SUN). Sebagai solusi, Bank Indonesia (BI) saat itu diminta mencetak

uang dalam jumlah besar. Tentu saja efeknya langsung terasa: hiperinflasi.

2. Balance budget mulai diterapkan di Orde Baru

Di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, mekanisme penganggaran dengan

balance budget mulai dijalankan. Meskipun saat itu belum ada Undang-undang (UU)

yang mengatur neraca keuangan pemerintah. Pembangunan saat itu mulai dibiayai

dengan kerja sama multilateral atau bilateral. Saat orde baru mulai diterapkan disiplin

pembiayaan utang multilateral atau bilateral untuk pembangunan. Pemerintah juga mulai

ketat menentukan porsi utang yang bisa diambil setiap tahun anggaran. Pada masa orde

baru, rasio utang sempat mencapai 57,7 persen terhadap keseluruhan PDB. Pada 1998

lalu misalnya, saat terjadi krisis moneter, utang pemerintah berada di angka Rp551,4

triliun. Sementara nilai PDB keseluruhan sebesar Rp955,6 triliun.

3. Rasio utang melambung di era Habibie

Ambruknya ekonomi pada 1997-1998 membuat pemerintahan Presiden BJ Habibie

harus menarik utang dalam jumlah besar. Hal itu dilakukan karena situasi ekonomi,

sosial, dan politik dalam negeri yang jauh dari stabil. Utang di masa pemerintahan

Habibie mencapai Rp938,8 triliun. Padahal PDB nasional saat itu sebesar Rp1.099

triliun. Artinya, rasio utang saat itu mencapai 85,4 persen. Andai saja UU nomor 17

tahun 2003 tentang Keuangan Negara saat itu sudah berlaku, maka rasio utang di era

Habibie menyalahi batas rasio utang terhadap PDB, yakni maksimal 60 persen.
4. Rasio utang mulai membaik

Di era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur, rasio utang sedikit

membaik ke level 77,2 persen. Nilai utang pemerintah saat itu sebesar Rp1.271 triliun,

sementara PDB-nya sebesar Rp1.491 triliun. Berlanjut, di bawah kepemimpinan Presiden

Megawati Soekarnoputri, perekonomian Indonesia mulai pulih dari krisis. Rasio utang

juga mulai menurun. Nilai utang saat itu sebesar Rp1.298 triliun, sementara PDB sebesar

Rp2.303. Artinya rasio utang mencapai 56,5 persen dari PDB. Kemudian di era

kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), 2004-2014, nilai utang

Indonesia mencapai Rp2.608 triliun. Kabar baiknya, PDB Indonesia juga terus tumbuh

menjadi Rp10.542 triliun. Artinya, rasio utang di era SBY sebesar 24,7 persen terhadap

PDB.

5. Rasio utang di tahun 2021

Berdasarkan rilis Kementerian Keuangan, rasio utang pemerintah hingga Juni 2021

mencapai Rp6.418 triliun. Rasio utang pemerintah saat ini mencapai 40,49 persen

terhadap PDB. Porsi utang pemerintah didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN)

sebesar 86,94 persen dan pinjaman sebesar 13,06 persen. Jika dibedah lebih rinci, SBN

tercatat sebesar Rp5.580,02 triliun yang terdiri dari SBN domestik Rp4.353,56 triliun dan

valas Rp1.226,45 triliun. Sementara utang dari pinjaman sebesar Rp838,13 triliun.

Rinciannya, pinjaman dalam negeri Rp12,32 triliun dan pinjaman luar negeri Rp823,81

triliun.

D. PENUTUP
Kebijakan utang luar negeri atau pinjaman luar negeri ini diharapkan dapat

membantu mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat sehingga dalam pengelolaannya

harus dilakukan secara penuh tanggungjawab.

Selain dalam setiap tahapannya harus mengikuti mekanisme yang dipersyaratkan

peraturan perundang-undangan, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan juga

harus memiliki keterbukaan informasi mengenai kebijakan pinjaman dan/atau hibah

luar negeri, jumlah hibah luar negeri, posisi utang luar negeri, sumber pinjaman luar

negeri dan jenis pinjaman luar negeri. Publikasi ini diharapkan dapat meningkatkan

kepedulian masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan utang luar

negeri selain pengawasan dari pengawas internal dan/atau dari lembaga pemeriksa

eksternal (BPK).
Daftar pustaka

- PP Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau

Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.

- Amir Machmud. Perekonomian Indonesia Pasca Reformasi, Penerbit Erlangga

- BankIndonesia.https://www.cnbcindonesia.com/market/20181016095432-17-37549/

rincian- utang-luar-negeri-indonesia-yang-tembus-rp-5410-t. Diakses pada 11 maret 2022.

- Muhammad Iqbal Maulidi. Pengaruh Utang Luar Negeri dan Penanaman Modal Asing

terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia periode 1999-2011 (Jakarta: UIN syarif

Hidayatullah, 2013), h. 20

Anda mungkin juga menyukai