DISUSUN OLEH :
LAELA SORAYA 1242500583
DIMAS AGUSTINI 1242500286
HEMA HARNELIA 1242500203
NOFITASARI 1242500278
SRI MARIA AL K. 1242500864
IQBAL MAULANA 1242500740
QORIENZA R.A 1242500831
Menurut Gibson dan Tsakalator (1992), penyebab timbulnya krisis utang dapat
ditinjau dari tiga hal: pertama, sistem moneter Internasional. Kedua, sistem
perbankan swasta internasional. Ketiga, negara peminjam itu sendiri.
Kasus yang paling banyak terjadi sehingga menimbulkan krisis hutang luar
negeri antara lain sebagai berikut.
Oleh karena itu, justifikasi terhadap penggunaan hutang luar negeri tidak dapat
dilakukan tanpa mempertimbangkan kondisi-kondisi di atas. Jika tidak, yang
terjadi adalah debt trap yang tidak berkesudahan dimana negara penghutang
kesulitan membayar bunga dan pokok cicilan.
Dampak Hutang Luar Negeri Antara lain sebagai berikut.
1. Pada sisi efektifitasnya secara internal, hutang luar negeri tidak hanya
dipandang menjadi penghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi negara-
negara Dunia Ketiga. Hutang luar negeri diyakini menjadi pemicu terjadinya
kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya
kesenjangan.
2. Sedangkan secara eksternal, hutang luar negeri diyakini menjadi pemicu
meningkatnya ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga pada pasar luar
negeri, modal asing, dan pada pembuatan hutang luar negeri secara
berkesinambungan .
3. Pada sisi kelembagaannya, lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti
IMF, Bank Dunia, dan Asian Development Bank (ADB). Keduanya diyakini
telah bekerja sebagai kepanjangan tangan negara-negara Dunia Pertama
pemegang saham utama mereka, untuk mengintervensi negara-negara
penerima pinjaman.
4. Pada sisi ideologinya, hutang luar negeri diyakini telah dipakai oleh negara-
negara pemberi pinjaman, terutama Amerika, sebagai sarana untuk
menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia. (Erler,
1989).
5. Sedangkan pada sisi implikasi sosial dan politiknya, hutang luar negeri tidak
hanya dipandang sebagai sarana yang sengaja dikembangkan oleh negara-
negara pemberi pinjaman untuk mengintervensi negara-negara penerima
pinjaman. Secara tidak langsung negara-negara kreditur diyakini turut
bertanggungjawab terhadap munculnya rezim diktator, kerusakan
lingkungan, meningkatkan tekanan migrasi dan perdagangan obat-obat
terlarang, serta terhadap terjadinya konflik dan peperangan (Gilpin, 1987;
George, 1992; Hanlon, 2000).ekonomian Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia
2.3 KRISIS HUTANG LUAR NEGERI DI INDONESIA
Hutang luar negeri dapat menjadi masalah besar yang dihadapi bangsa
Indonesia jika tidak dapat dikelola dengan baik. Dengan adanya hutang tersebut,
bangsa Indonesia memiliki ketergantungan ekonomi terhadap bangsa lain, Belum
lagi penambahan bunga yang harus disertai pada saat pelunasan hutang akan
semakin membebani perekonomian bangsa Indonesia.
Pemerintah sangat tergantung pada IMF, world bank dan Negara pemberi hutang
lainnya seperti Amerika, Jepang, Belanda, Jerman dan Canada. Besarnya jumlah
hutang luar negeri di Indonesia, membuat pemerintah mau tidak mau mengubah
berbagai kebijakan ekonomi di negaranya. Hampir semua undang-undang yang
diusulkan pemerintah adalah usulan dari IMF atau negeri pemberi hutang. UU
PMA dan UU no 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan misalnya memberi
keleluasaan pada majikan dalam melakukan pemutusan hubungan kerja serta
dipermudahnya tenaga kerja kontrak. Kebijakan flexibilitas tenaga kerja sangat
menguntungkan pemilik modal. Flexibilitas artinya perubahan dari sistem kerja
tetap menjadi kontrak atau outsorching ( yayasan penyalur tenaga kerja ).
Lahirnya UUK 13/2003, merupakan satu paket dengan UU 21/2000 dan UU PPHI
No.02 tahun 2004. seperti kita telah pahami bersama merupakan turunan/bagian
dari UU PROPENAS (Program Pembangunan Nasional) yang menjadi program
Neo Liberalisme/globalisasi atau kapitalisme. UU Propenas memakai konsep
yang diberikan oleh IMF, World Bank dan RDA (Regional Devolepment Agency)
dengan dalih mengentaskan krisis ekonomi di Indonesia. UU PROPENAS
merupakan kelanjutan dan penegasan/penguatan dari UU PMA tahun 1967(dan
disahkannya UU PMA pada 29 april 2007) dan hal tersebut berarti pemerintah
Indonesia telah melakukan kebijakan antara lain :
Protes terhadap kebijakan upah murah ini tidak begitu ditanggapi serius oleh
pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Hal ini semata-mata dilakukan
pemerintah agar investor tetap tertarik menanamkan investasinya di Indonesia.
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Sesuai dengan definisinya, hutang luar negeri dapat diartikan sebagai hutang
yang diterima oleh pemerintah dan bersumber dari pemerintah negara lain
(bilateral), lembaga internasional (multilateral), perbankan dan atau lembaga
keuangan internasional. Hutang luar negeri tersebut, pada umumnya digunakan
untuk membantu perekonomian negara seperti membangun infrastruktur, pabrik
industri guna menyerap tenaga kerja, dan lain sebagainya.
Adalah suatu hal yang tepat, apabila hutang luar negeri dapat membantu
pembiayaan pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia. Hal ini tidak lain digunakan untuk meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyatnya melalui hutang luar negeri. Ibarat dua sisi mata uang,
hutang luar negeri memiliki dampak negatif dan positif tersendiri bagi kemajuan
sebuah negara. Penggunaan hutang luar negeri yang tidak dilakukan dengan
bijaksana dan tanpa prinsip kehati-hatian, justru akan merugikan negara dan
dapat menimbulkan krisis hutang.
DAFTAR PUSTAKA
http://publikasi.fisip.unila.ac.id/index.php/administratio/article/viewFile/116/119