Anda di halaman 1dari 12

HUTANG LUAR NEGERI DI NEGARA BERKEMBANG

(STUDI KASUS: HUTANG LUAR NEGERI DI INDONESIA)

Dalam Rangka memenuhi Nilai Tugas


dari mata kuliah Kerjasama Pembangunan Internasional

DISUSUN OLEH :
LAELA SORAYA 1242500583
DIMAS AGUSTINI 1242500286
HEMA HARNELIA 1242500203
NOFITASARI 1242500278
SRI MARIA AL K. 1242500864
IQBAL MAULANA 1242500740
QORIENZA R.A 1242500831

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BUDI LUHUR
2014
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Dalam kehidupan bernegara, pemerintah harus melakukan berbagai kegiatan guna
meningkatkan kesejahteraan ekonomi, sosial, budaya, maupun politik bangsanya.
Kegiatan ini perlu ditunjang oleh pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang pada
gilirannya harus dibiayai dengan penerimaan pemerintah. Sumber penerimaan
utama berasal dari pajak, pinjaman, dan pencetakan uang.
Negara memerlukan pembangunan ekonomi. Pembangunan yang dilakukan oleh
suatu negara pada dasarnya dibiayai dari sumber penerimaan dari dalam dan luar
negeri. Sumber penerimaan dalam negeri berasal dari pajak, hasil pengelolaan SDA,
dan laba BUMN. Sedangkan penerimaan luar negeri bisa berupa utang, bantuan
dan hibah dari negara lain, atau organisasi supranasional seperti International
Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan lain-lain.
Secara teoritik, negara yang stabil maka pembiayaan pembangunannya sebagian
besar bersumber dari sumber daya dalam negeri, bukan dari bantuan asing. Namun
bagi negara tertentu, bantuan luar negeri menjadi komponen penting bagi
penyangga pembangunannya. Sebagai negara berkembang, Indonesia termasuk
salah satu negara yang masih mengandalkan bantuan luar negeri untuk mendanai
pembangunan, baik melalui pinjaman atau utang, maupun hibah (grant) luar negeri.
Langkah ini diambil karena nilai investasi (investation) untuk pembangunan lebih
tinggi dari tabungan (saving).
Persoalan utang luar negeri Indonesia, sesungguhnya sudah bermula sejak
pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, yaitu pada Konferensi Meja Bundar
(KMB) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda. Salah satu klausul perjanjian
KMB adalah Indonesia harus membayar semua utang-utang warisan Belanda.
Puncaknya terjadi ketika Indonesia dihantam krisis moneter pada tahun 1997/1998.
Dimana Pemerintahan pada masa Orde Baru, menandatangani LoI (Letter of Intent)
dengan IMF sebagai prasyarat mendapatkan pinjaman guna menyelamatkan
perekonomian Indonesia pada saat itu.
BAB II
ISI

2.1. DESKRIPSI HUTANG LUAR NEGERI


Menurut Departemen Keuangan, Hutang luar negeri adalah setiap pembiayaan
melalui hutang yang diperoleh pemerintah dari pemberi pinjaman luar negeri
yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk surat berharga
negara, yang dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.
Dari perspektif ekonomi, menurut Suparmoko (1996: 240) pembiayaan
pembangunan yang bertumpu pada pinjaman atau hutang luar negeri memiliki
nilai positif karena tidak membebani masyarakat dengan pajak yang berat. Akan
tetapi, jika tidak dilakukan dengan hati hati, bisa menjadi bumerang bagi Negara
itu. Hal inilah yang terjadi pada Indonesia, hutang luar negeri yang tidak terkontrol
menyebabkan kita terperangkap dari jebakan utang sehingga kesulitan untuk
melakukan percepatan pembangunan.
Hutang luar negeri adalah pinjaman yang berasal dari orang-orang atau lembaga-
lembaga negara lain. Hutang luar negeri biasanya bersifat sukarela terkecuali bila
ada suatu kekuasaan dari suatu negara atas negara lain. Hutang luar negeri
mencakup pemindahan kekayaan (dana) dari negara yang meminjamkan atau
kreditur ke negara peminjam (debitur) pada saat terjadinya pinjaman. Hutang luar
negeri dapat menjadi Hutang dalam negeri bila terjadi pembelian surat-surat
obligasi atau surat berharga oleh penduduk negara debitur dari negara kreditur.
Sebagai suatu ketentuan, maka hutang-hutang negara dikenai bunga dengan
tingkat yang tetap.

Peranan Hutang Luar Negeri dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia


Hutang Luar Negeri memiliki peranan penting dalam pembangunan ekonomi di
Indonesia. Hal ini dikarenakan hutang luar negeri dapat menambah cadangan
devisa dan mengisi kekurangan modal pembangunan ekonomi suatu negara.
Keberhasilan ini akan diperoleh selama hutang luar negeri dikelola dengan baik
dan benar. Setiap negara memiliki perencanaan pembangunan yang berbeda-
beda, tetapi memiliki kapasitas fiskal yang terbatas. Untuk membiayai
pembangunan, pemerintah memiliki apa yang dikenal sebagai government
spending. Jika selisih pengeluaran pemerintah dengan tingkat penerimaan pajak
bernilai defisit, maka alternatifnya adalah dengan memanfaatkan pendanaan
yang berasal dari luar negeri.

Secara umum, pendanaan luar negeri berasal dari sumber-sumber sebagai


berikut.
(1) bilateral (pemerintah negara lain) berupa hibah, pinjaman lunak dan
pinjaman campuran;
(2) lembaga multilateral/internasional berupa hibah dan pinjaman, dan;
(3) perbankan atau lembaga keuangan internasional berupa fasilitas kredit
ekspor dan pinjaman komersial.
Besarnya nilai hutang luar negeri dapat disebabkan penerimaan pajak dan
pengeluaran pemerintah yang tidak seimbang. Rendahnya penerimaan pajak,
sementara pengeluaran pemerintah akibat impor barang modal tinggi.

Terdapat dua alasan mengapa pemerintah di negara-negara berkembang


termasuk Indonesia, tetap membutuhkan hutang luar negeri. Hal ini dapat
terjadi antara lain karena hal berikut.
1. Utang luar negeri dibutuhkan sebagai tambahan modal bagi pembangunan
prasarana fisik. Infrastruktur merupakan investasi yang mahal dalam
pembangunan.
2. Kedua, utang luar negeri dapat digunakan sebagai penyeimbang neraca
pembayaran.

Penggunaan hutang luar negeri sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan


selama digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang produktif. Jika
berhasil, output perekonomian akan meningkat dan economic growth akan naik.
Jika suatu negara dikategorikan sebagai investment grade, tentu ini akan
berdampak baik bagi perekonomian domestik. Status investment grade ini akan
menekan biaya penerbitan obligasi negara yang diterbitkan pemerintah dan
swasta domestik karena dianggap memiliki risiko gagal bayar yang rendah.
Akibatnya, banyak investor asing akan tertarik untuk menanamkan modalnya di
dalam negeri. Terjadilah capital inflow. Ruang untuk melakukan ekspansi dalam
perekonomian pun semakin lebar.

2.2 FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA KRISIS HUTANG

Menurut Gibson dan Tsakalator (1992), penyebab timbulnya krisis utang dapat
ditinjau dari tiga hal: pertama, sistem moneter Internasional. Kedua, sistem
perbankan swasta internasional. Ketiga, negara peminjam itu sendiri.

Kasus yang paling banyak terjadi sehingga menimbulkan krisis hutang luar
negeri antara lain sebagai berikut.

1. Penyalahgunaan pinjaman dan lemahnya pengawasan proyek yang dibiayai


dengan hutang luar negeri membuat praktik-praktik korupsi di kalangan pejabat
pemerintahan tumbuh subur.

2. Di negara-negara yang tidak memiliki struktur dan sistem kelembagaan yang


kuat, penggunaan pinjaman luar negeri yang ditujukan untuk membiayai program
berbasis pemerataan dan pro-pemberantasan kemiskinan sering mengalami
inefisiensi (Chong,Gradstein,dan Calderon,2009).

Oleh karena itu, justifikasi terhadap penggunaan hutang luar negeri tidak dapat
dilakukan tanpa mempertimbangkan kondisi-kondisi di atas. Jika tidak, yang
terjadi adalah debt trap yang tidak berkesudahan dimana negara penghutang
kesulitan membayar bunga dan pokok cicilan.
Dampak Hutang Luar Negeri Antara lain sebagai berikut.

1. Pada sisi efektifitasnya secara internal, hutang luar negeri tidak hanya
dipandang menjadi penghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi negara-
negara Dunia Ketiga. Hutang luar negeri diyakini menjadi pemicu terjadinya
kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya
kesenjangan.
2. Sedangkan secara eksternal, hutang luar negeri diyakini menjadi pemicu
meningkatnya ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga pada pasar luar
negeri, modal asing, dan pada pembuatan hutang luar negeri secara
berkesinambungan .
3. Pada sisi kelembagaannya, lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti
IMF, Bank Dunia, dan Asian Development Bank (ADB). Keduanya diyakini
telah bekerja sebagai kepanjangan tangan negara-negara Dunia Pertama
pemegang saham utama mereka, untuk mengintervensi negara-negara
penerima pinjaman.
4. Pada sisi ideologinya, hutang luar negeri diyakini telah dipakai oleh negara-
negara pemberi pinjaman, terutama Amerika, sebagai sarana untuk
menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia. (Erler,
1989).
5. Sedangkan pada sisi implikasi sosial dan politiknya, hutang luar negeri tidak
hanya dipandang sebagai sarana yang sengaja dikembangkan oleh negara-
negara pemberi pinjaman untuk mengintervensi negara-negara penerima
pinjaman. Secara tidak langsung negara-negara kreditur diyakini turut
bertanggungjawab terhadap munculnya rezim diktator, kerusakan
lingkungan, meningkatkan tekanan migrasi dan perdagangan obat-obat
terlarang, serta terhadap terjadinya konflik dan peperangan (Gilpin, 1987;
George, 1992; Hanlon, 2000).ekonomian Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia
2.3 KRISIS HUTANG LUAR NEGERI DI INDONESIA
Hutang luar negeri dapat menjadi masalah besar yang dihadapi bangsa
Indonesia jika tidak dapat dikelola dengan baik. Dengan adanya hutang tersebut,
bangsa Indonesia memiliki ketergantungan ekonomi terhadap bangsa lain, Belum
lagi penambahan bunga yang harus disertai pada saat pelunasan hutang akan
semakin membebani perekonomian bangsa Indonesia.

Pemerintah sangat tergantung pada IMF, world bank dan Negara pemberi hutang
lainnya seperti Amerika, Jepang, Belanda, Jerman dan Canada. Besarnya jumlah
hutang luar negeri di Indonesia, membuat pemerintah mau tidak mau mengubah
berbagai kebijakan ekonomi di negaranya. Hampir semua undang-undang yang
diusulkan pemerintah adalah usulan dari IMF atau negeri pemberi hutang. UU
PMA dan UU no 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan misalnya memberi
keleluasaan pada majikan dalam melakukan pemutusan hubungan kerja serta
dipermudahnya tenaga kerja kontrak. Kebijakan flexibilitas tenaga kerja sangat
menguntungkan pemilik modal. Flexibilitas artinya perubahan dari sistem kerja
tetap menjadi kontrak atau outsorching ( yayasan penyalur tenaga kerja ).

Lahirnya UUK 13/2003, merupakan satu paket dengan UU 21/2000 dan UU PPHI
No.02 tahun 2004. seperti kita telah pahami bersama merupakan turunan/bagian
dari UU PROPENAS (Program Pembangunan Nasional) yang menjadi program
Neo Liberalisme/globalisasi atau kapitalisme. UU Propenas memakai konsep
yang diberikan oleh IMF, World Bank dan RDA (Regional Devolepment Agency)
dengan dalih mengentaskan krisis ekonomi di Indonesia. UU PROPENAS
merupakan kelanjutan dan penegasan/penguatan dari UU PMA tahun 1967(dan
disahkannya UU PMA pada 29 april 2007) dan hal tersebut berarti pemerintah
Indonesia telah melakukan kebijakan antara lain :

1. Sumber daya alam diserahkan pengelolaannya kepada modal asing


2. Militer harus menjaga kegiatan operasi modal asing
3. Rakyat harus bekerja mengikuti ketentuan-ketentuan modal asing
4. Membuka pasar bebas bagi hasil industri modal asing
5. Menyediakan buruh murah bagi modal asing

Protes terhadap kebijakan upah murah ini tidak begitu ditanggapi serius oleh
pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Hal ini semata-mata dilakukan
pemerintah agar investor tetap tertarik menanamkan investasinya di Indonesia.

Posisi Utang Pemerintah (1998-2014)

Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan RI (2010: 18)

1. Era Soekarno (1945–1966)


Indonesia sudah diwarisi hutang oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1949.
Warisan hutang dari pemerintah Hindia Belanda itu adalah salah satu
kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.
Presiden Soekarno sempat tak setuju dan membatalkan warisan hutang yang
menjadi beban bagi Indonesia. Hutang dari pemerintah Hindia Belanda pun tak
seluruhnya dibayar. Tapi bukan berarti Soekarno anti terhadap hutang.
Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno juga pernah
berutang ke negara lain, utamanya ke negara-negara blok timur, Uni Soviet dan
sekutunya.
Hutang di Era Soekarno (1945–1966)

Presiden Soekarno mulai menjabat sejak 17 Agustus 1945. Pada masa


kekuasaannya, Soekarno meninggalkan hutang luar negeri sebesar 6,3 miliar
dolar AS yang terdiri atas 4 miliar dolar AS warisan hutang Hindia Belanda
atau sejak 1968 disepakati rentang 35 tahun dan jatuh tempo 2003. Selain
itu, hutang pemerintah 2,3 miliar dolar AS dengan rentang 30 tahun sejak
1970 dan jatuh tempo 1999.

2. Era Soeharto (1966–1998)

Selanjutnya, saat dilantik sebagai presiden, Soeharto sudah menanggung


beban hutang dari Soekarno. Tetapi, bukannya melunasi utang sebelumnya,
Soeharto yang berkuasa selama lebih dari 32 tahun justru semakin rajin
melakukan pinjaman baru. Bedanya, Soeharto tidak memilih hutang dari
negara blok timur, tetapi cenderung ke blok barat dan lembaga asing semisal
Bank Dunia dan IMF. Warisan hutang dari Hindia Belanda yang sempat
dibatalkan oleh Soekarno, justru di re-schedule ulang oleh Soeharto pada
tahun 1964. Selain me-reschedule ulang, Soeharto juga mendapat komitmen
pinjaman baru yang diarahkan untuk pertumbuhan ekonomi. Mulai dari
membangun infrastruktur, pabrik, industri, dan lain-lain.

Hutang Era Soeharto (1966–1998)


Data yang ada menyebutkan, rezim orde baru berutang sebesar Rp1.500
triliun yang jika dirata-ratakan selama 32 tahun pemerintahan Soeharto ,
utang negara bertambah sekitar Rp46,88 triliun tiap tahun. Jadi bukan
rahasia lagi, bila sejak zaman Bung Karno dan Pak Harto, Indonesia
memang sudah memiliki utang yang sangat banyak

3. Era Habibie (1998–1999)


Habibie menjabat sebagai Presiden di tengah kondisi krisis moneter yang
dialami Indonesia saat itu. Presiden BJ Habibie meninggalkan ULN (1999)
sebesar 148.097 dolar AS terdiri atas ULN pemerintah 75.862 dolar AS dan
ULN Swasta 72.235 dolar AS. Utang Pemerintah tersebut naik sebesar
21.997 dolar AS dibanding tahun 1997 sebesar 53.865 dolar AS.

4. Era Abdurahman Wahid (1999–2001)


Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjabat sejak 21 Oktober
1999. Pada masanya hutang luar negeri turun menjadi 141.693 dolar AS
terdiri atas hutang pemerintah sebesar 74.916 dolar AS dan hutang swasta
66.777 dolar AS.

5. Era Megawati (2001–2004)


Presiden Megawati Soekarnoputri mulai menjabat sejak 23 Juli 2001 sampai
21 Oktober 2004. Data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia mencatat
hutang hingga Februari 2010 sebesar 141.273 dolar AS terdiri atas hutang
pemerintah 83.296 dolar AS dan swasta 57.977 dolar AS. Sedikit turun dari
posisi total hutang LN tahun 2000, yakni sebesar 141.693 dolar AS.

6. Era Susilo Bambang Yudhoyono (2004–2014)


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sejak 21 Oktober 2004
sampai sekarang. Periode pertama kekuasaannya pada 2004 hingga 2009.
Berdasarkan data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia, pada Februari 2010
posisi hutang luar negeri sampai Oktober 2009 meningkat menjadi 170,785
dolar AS terdiri atas utang pemerintah 98,859juta dolar AS dan swasta
71.926 dolar AS.
Data terbaru, menjelang berakhirnya masa kepemimpinan SBY di 2014,
hutang Indonesia semakin meningkat. Per Agustus 2014, hutang pemerintah
sudah menembus Rp2.531,81 triliun. Pemerintahan SBY merupakan rezim
yang jumlah utangnya paling besar. Utang itu baru mungkin bisa dilunasi 45-
65 tahun mendatang dengan syarat Indonesia menghentikan utang dan
harus berusaha mencari sumber pendanaan pembangunan lain selain
hutang.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Sesuai dengan definisinya, hutang luar negeri dapat diartikan sebagai hutang
yang diterima oleh pemerintah dan bersumber dari pemerintah negara lain
(bilateral), lembaga internasional (multilateral), perbankan dan atau lembaga
keuangan internasional. Hutang luar negeri tersebut, pada umumnya digunakan
untuk membantu perekonomian negara seperti membangun infrastruktur, pabrik
industri guna menyerap tenaga kerja, dan lain sebagainya.

Pada banyak negara berkembang termasuk Indonesia, modal asing seolah-olah


menjadi salah satu modal pembangunan yang diandalkan. Sebagai negara
berkembang, Indonesia termasuk salah satu negara yang masih mengandalkan
bantuan luar negeri untuk mendanai pembangunan, baik melalui pinjaman atau
utang, maupun hibah (grant) luar negeri. Langkah ini diambil karena nilai
investasi (investation) untuk pembangunan lebih tinggi dari tabungan (saving).

Adalah suatu hal yang tepat, apabila hutang luar negeri dapat membantu
pembiayaan pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia. Hal ini tidak lain digunakan untuk meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyatnya melalui hutang luar negeri. Ibarat dua sisi mata uang,
hutang luar negeri memiliki dampak negatif dan positif tersendiri bagi kemajuan
sebuah negara. Penggunaan hutang luar negeri yang tidak dilakukan dengan
bijaksana dan tanpa prinsip kehati-hatian, justru akan merugikan negara dan
dapat menimbulkan krisis hutang.

Perkembangan jumlah hutang luar negeri Indonesia dari tahun ke tahun


cenderung mengalami peningkatan. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai
konsekuensi bagi bangsa Indonesia, baik dalam periode jangka pendek
maupun jangka panjang. Dalam periode jangka pendek, utang luar negeri harus
diakui telah memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi pembiayaan
pembangunan ekonomi nasional sehingga dengan terlaksananya
pembangunan ekonomi tersebut, tingkat pendapatan per kapita masyarakat
bertumbuh selama taga dasawarsa sebelum terjadi krisis ekonomi. Namun
apabila dilihat dari jangka panjang, justru hutang luar negeri Indonesia
membawa beban tersendiri bagi pemerintah. Tingkat suku bunga yang tinggi
membuat hutang luar negeri pemerintah Indonesia yang secara turun menurun
sejak zaman hindia Belanda terus mengalami kenaikan. Hal ini tentu menjadi
pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah Indonesia dalam melakukan
berbagai kebijakan dalam negeri guna mengatasi permasalahan hutang luar
negeri yang melanda negaranya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Yulianto, “Peranan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA)


dalam Kegiatan Investasi”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No. 5, Tahun 2003

Harinowo, Cyrillus (2002), Utang Pemerintah – Perkembangan, Prospek, dan


Pengelolaannya, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999, Bank Indonesia, 2000.

http://publikasi.fisip.unila.ac.id/index.php/administratio/article/viewFile/116/119

Anda mungkin juga menyukai