Anda di halaman 1dari 9

PINJAMAN/UTANG LUAR NEGERI DAN KORUPSI DI INDONESIA

Utang luar negeri Indonesia mencakup utang luar negeri sektor publik (pemerintah dan bank
sentral) dan sektor swasta dalam bentuk antara lain pinjaman (loan agreement), utang dagang
(trade credit), surat utang (debt securities), kas dan simpanan (currency and deposits), dan
kewajiban lainnya. Utang luar negeri sangat bermanfaat sebagai salah satu sumber pelengkap
pembiayaan pembangunan di berbagai bidang seperti infrastruktur, kesehatan, pendidikan dan lain-
lain.Selain itu, utang luar negeri juga bermanfaat sebagai sumber pembiayaan proyek strategis di
dalam negeri, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kapasitas dan pertumbuhan ekonomi.

Cyrillus (2002) berpendapat bahwa sebagian besar negara-negara berkembang menggunakan


pinjaman luar negeri untuk mendorong pembangunan ekonomi, meskipun tidak sedikit negara
berkembang terjebak dalam perangkap utang luar negeri (debt trap). Pernyataan Cyrillus (2002)
menunjukkan proses pembangunan ekonomi yang berkelanjutan pada negara berkembang
membutuhkan jumlah anggaran dana yang tidak sedikit sehingga negara yang memiliki keterbatasan
anggaran untuk membiayai pembangunan ekonomi dan meminta bantuan dari negara lain berupa
bantuan pinjaman luar negeri atau utang luar negeri. Negara berkembang yang melakukan pinjaman
luar negeri secara terus-menerus dan tidak terkontrol menyebabkan negara tersebut terperangkap
dalam debt trap.

Sebagian besar negara berkembang memiliki potensi untuk mempercepat pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi menjadi lebih baik. Indonesia termasuk negara berkembang yang sedang
melakukan pembangunan di segala bidang terhambat pada faktor pendanaan. Untuk mempercepat
gerak pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional, maka sumber pendanaan yang
digunakan oleh Indonesia adalah salah satunya bersumber dari utang. Sumber pendanaan yang
berasal dari utang menjadi salah satu alternatif biaya pembangunan bagi negara-negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia (Ramadhani, 2014).

Bagi negara berkembang seperti Indonesa, utang luar negeri (foreign debt) adalah variabel yang bisa
saja mendorong perekonomian sekaligus menghambat pertumbuhan ekonomi. Mendorong
perekonomian maksudnya, jika hutang-hutang tersebut digunakan untuk membuka lapangan kerja
dan investasi dibidang pembangunan yang pada akhirnya dapat mendorong suatu perekonomian,
sedangkan menghambat pertumbuhan apabila utang-utang tersebut tidak dipergunakan secara
maksimal karena masih kurangnya fungsi pengawasan atas penanggung jawab utang-utang itu
sendiri (Ulfa, 2017).

Utang luar negeri (ULN) atau pinjaman luar negeri adalah sebagian dari total utang suatu negara
yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang luar negeri dapat berupa
pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Bentuk utang dapat berupa uang yang diperoleh dari
bank swasta, pemerintah negara lain, atau lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank
Dunia.

Dunia internasional dikejutkan oleh badai krisis yang menerpa Indonesia, yang selama ini
dipandang sebagai negara stabil dengan pertumbuhan ekonomi yang fantastis, ternyata begitu
ditimpa badai krisis, seluruh bangunan ekonominya runtuh, persatuan nasional rapuh terancam
disintegrasi bangsa seperti Yugoslavia dan negara-negara kawasan Balkan.

Krisis ekonomi berkepanjangan dan lambannya pemulihan ekonomi, menunjuk-kan


kerapuhan fondasi ekonomi Indonesia yang selama ini dibangun. Praktek monopoli, konglomerasi
dan ekonomi kapitalistik mematikan usaha kerakyatan, memperluas kesenjangan ekonomi dan
kecemburuan sosial. Kondisi ini semakin diperparah oleh budaya gemar berutang dan mempermanis
istilah hutang luar negeri dengan bantuan luar negeri. Celakanya lagi hutang luar negeri/ bantuan
luar negeri dari negara-negara donor, dan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan
Bank Dunia banyak yang dikorup oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Tingkat kebocoran
ini cukup signifikan, menurut begawan ekonomi Prof. Sumitro Djojohadikusumo, mencapai 30% dari
total anggaran pembangunan (Edy Suandi, 2000).

Korupsi menjadi salah satu penyebab tingginya utang luar negeri Indonesia. Utang luar negeri
membengkak karena dijadikan salah satu penutup defisit, saat pengeluaran negara membengkak
akibat dikorupsi. Sementara itu, di sisi penerimaan, targetnya tak tercapai.

Utang Luar Negeri Sebagai Sumber Pembiayaan Pembangunan Nasional

Tidak semua negara yang digolongkan dalam kelompok negara dunia ketiga, atau negara yang
sedang berkembang, merupakan negara miskin, dalam arti tidak memiliki sumberdaya ekonomi.
Banyak negara dunia ketiga yang justru memiliki kelimpahan sumber daya alam dan sumberdaya
manusia. Masalahnya adalah kelimpahan sumber daya alam tersebut masih bersifat potensial,
artinya belum diambil dan didayagunakan secara optimal. Sedangkan sumber daya manusianya yang
besar, belum sepenuhnya dipersiapkan, dalam arti pendidikan dan ketrampilannya, untuk mampu
menjadi pelaku pembangunan yang berkualitas dan berproduktivitas tinggi.

Pada kondisi yang seperti itu, maka sangatlah dibutuhkan adanya sumberdaya modal yang dapat
digunakan sebagai katalisator pembangunan, agar pembangunan ekonomi dapat berjalan dengan
lebih baik, lebih cepat, dan berkelanjutan. Dengan adanya sumber daya modal, maka semua potensi
kelimpahan sumber daya alam dan sumber daya manusia dimungkinkan untuk lebih didayagunakan
dan dikembangkan.

Tetapi, pada banyak negara yang sedang berkembang, ketidaktersediaan sumberdaya modal
seringkali menjadi kendala utama. Dalam beberapa hal, kendala tersebut disebabkan karena
rendahnya tingkat pemobilisasian modal di dalam negeri. Beberapa penyebabnya antara lain (1)
pendapatan per kapita penduduk yang umumnya relatif rendah, menyebabkan tingkat MPS
(marginal propensity to save) rendah, dan pendapatan pemerintah dari sektor pajak, khususnya
penghasilan, juga rendah. (2) Lemahnya sektor perbankan nasional menyebabkan dana masyarakat,
yang memang terbatas itu, tidak dapat didayagunakan secara produktif dan efisien untuk menunjang
pengembangan usaha yang produktif. (3) Kurang berkembangnya pasar modal, menyebabkan
tingkat kapitalisasi pasar yang rendah, sehingga banyak perusahaan yang kesulitan mendapatkan
tambahan dana murah dalam berekspansi. Dengan kondisi sumberdaya modal domestik yang sangat
terbatas seperti itu, jelas tidak dapat diandalkan untuk mampu mendukung tingkat pertumbuhan
output nasional yang tinggi seperti yang diharapkan.

Solusi yang dianggap bisa diandalkan untuk mengatasi kendala rendahnya mobilisasi modal domestik
adalah dengan mendatangkan modal dari luar negeri, yang umumnya dalam bentuk hibah (grant),
bantuan pembangunan (official development assistance), kredit ekspor, dan arus modal swasta,
seperti bantuan bilateral dan multilateral; investasi swasta langsung (PMA); portfolio invesment;
pinjaman bank dan pinjaman komersial lainnya; dan kredit perdagangan (ekspor/impor). Modal
asing ini dapat diberikan baik kepada pemerintah maupun kepada pihak swasta. Banyak pemerintah
di negara dunia ketiga menginginkan untuk mendapatkan modal asing dalam menunjang
pembangunan nasionalnya, tetapi tidak semua berhasil mendapatkannya, kalau pun berhasil jumlah
yang didapat akan bervariasi tergantung pada beberapa faktor antara lain (ML. Jhingan : 1983,
halaman 643-646):

1. Ketersediaan dana dari negara kreditur yang umumnya adalah negara-negara industri maju.
2. Daya serap negara penerima (debitur). Artinya, negara debitur akan mendapat bantuan modal
asing sebanyak yang dapat digunakan untuk membiayai investasi yang bermanfaat. Daya serap
mencakup kemampuan untuk merencanakan dan melaksanakan proyek-proyek pembangunan,
mengubah struktur perekonomian, dan mengalokasikan kembali resources. Struktur perekonomian
yang simultan dengan pendayagunaan kapasitas nasional yang ada akan menjadi landasan penting
bagi daya serap suatu negara.

3. Ketersediaan sumber daya alam dan sumberdaya manusia di negara penerima, karena tanpa
ketersediaan yang cukup dari kedua sumberdaya tersebut dapat menghambat pemanfaatan modal
asing secara efektif.

4. Kemampuan negara penerima bantuan untuk membayar kembali (re-payment).

5. Kemauan dan usaha negara penerima untuk membangun. Modal yang diterima dari luar negeri
tidak dengan sendirinya memberikan hasil, kecuali jika disertai dengan usaha untuk memanfaatkan
dengan benar oleh negara penerima. Sebagaimana dikatakan Nurkse (1961: 83), bahwa modal
sebenarnya dibuat di dalam negeri. Sehingga, peranan modal asing sebenarnya adalah sebagai
sarana efektif untuk memobilisasi keinginan suatu negara.

Sekarang ini dengan semakin mengglobalnya perekonomian dunia, termasuk dalam bidang finansial,
menyebabkan arus modal asing semakin leluasa keluar masuk suatu negara. Pada banyak negara
yang sedang berkembang, modal asing seolah-olah

Hutang Luar Negeri Pemicu Krisis Ekonomi Indonesia

Perpindahan dari Orde Lama ke Orde Baru, sekaligus terjadi perubahan kebijakan. Kebijakan
Orde Baru menonjolkan kebijakan pembangunan dimana dengan keterbatasan persediaan anggaran,
pemerintah melakukan kebijakan meminjam dana ke luar negeri yang disebut hutang luar negeri.
Sistem ekonomi pada masa Orde Baru sebenarnya dilakukan bukan berdasarkan sistem mekanisme
pasar yang sehat dan betul-betul terbuka. Unsur perencanaan negara yang terpusat cukup menonjol
sehingga pilihan-pilihan industri tidak berjalan berdasarkan signal-signal pasar, yang obyektif –
rasional. Perencanaan ekonomi tersentralisasi yang berkombinasi dengan jeratan kelompok
kepentingan di lingkaran pusat kekuasaan dan elite pemerintahan telah menjadi pola (patern) utama
dari desain kebijakan ekonomi.

Kebijakan hutang luar negeri, yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,
dengan ratusan bahkan ribuan proyek yang terlibat di dalamnya pasti tidak bisa terhindarkan
sebagai sasaran rente ekonomi. Jadi, pembuat disain kebijakan ekonomi bagaikan menciptakan
mobil dengan "pedal gas" yang dapat dipacu dengan cepat. Perumpamaan itu dapat terlihat dari
rekayasa pertumbuhan ekonomi yang cepat berbasis hutang luar negeri dan dilanjutkan dengan
ekploitasi sumber daya alam secara berlebihan untuk mengejar "setoran" hutang (D.J. Rachbini,
1994)

Namun demikian, teknokrat para pembuat rancangan kebijakan ekonomi tadi lupa membuat
"rem" pengendali yang baik. Akhirnya ekonomi Indonesia betul-betul terperangkap hutang yang
menggiring ke jurang krisis moneter dan kemudian menular ke dalam seluruh sistem ekonomi, yang
sebenarnya rentan. Krisis multi dimensi lanjutannya telah menyebabkan ongkos sosial-politik yang
tinggi. Bahkan biaya kemanusiaan yang terjadi juga sangat luar biasa mahal dan terpaksa harus
dibayar oleh bangsa ini, yang tidak mungkin tertutupi oleh nilai tambah dari pertumbuhan ekonomi
yang tercipta selama ini.
Ekonomi pasar yang semu dilaksanakan dengan warna yang kuat dan sangat menonjol
dalam proses pertumbuhan ekonomi masa itu. Oleh karena itu, tidak terhindarkan intervensi
pemerintah dalam berbagai bidang ekonomi. Hal ini utamanya terlihat dalam rancangan serta
implementasi APBN yang syarat dengan ketergantungan terhadap hutang luar negeri tersebut.

Faktor hutang luar negeri dalam rancangan pembangunan ekonomi tersebut telah
menyebabkan dampak negatif tidak hanya dari sisi teknis kemampuan membayar kembali, negatif
outflow dan debt service ratio yang melampaui batas wajar. Dampak desain kebijakan hutang luar
negeri tersebut telah menyodok aspek-aspek non ekonomi, terutama kerusakan birokrasi,iklim
usaha, perburuan rente, inefisiensi, dansebagainya. Kerusakan aspek non ekonomi ini, baik
kelembagaan maupun perilaku aktor-aktor ekonomi, jauh lebih besar biaya sosialnya daripada aspek
ekonomi itu sendiri.

Batas merah dari DSR sebesar 20 persen sudah dilanggar sejak lama sehingga beban
pembayaran hutang luar negeri ini telah menjadi penyakit laten bagi ekonomi nasional. Bahkan
persoalan hutang luar negeri itu sendiri telah menjadi isu politik yang dirasakan sebagai api dalam
sekam. Kritik sama sekali tidak dihargai bahkan cenderung melemah karena DPR mandul. Kerapuhan
kebijakan hutang luar negeri ini ditutupi dengan jargon politik "Hutang hanya sebagai
komplementer". Sementara itu para teknokrat dan ekonomi afilatifnya sibuk menjustifikasi bahwa
hutang luar negeri masih dapat dianggap sebagai persoalan publik yang dapat dikelola
(manageable).

Distorsi-distorsi ekonomi terjadi karena diawali dengan semangat etatisme yang kuat dan
diikuti berbagai gangguan kelompok kepentingan yang besar. Hal itu berlangsung selama periode
pembangunan ekonomi serba negara sampai akhir tahun 1970-an dan berlanjut pada awal 1980-an.
Namun sistem ekonomi yang bersifat etatisme ini tidak dapat bertahan lama karena sumber daya
pembangunan yang melimpah khususnya sumber daya alam minyak dan non minyak serta hutang
luar negeri semakin terbatas, bahkan dari waktu ke waktu semakin berkurang.

Pemborosan demi pemborosan satu per satu terlihat semakin gamblang, terutama ketika
terjadi korupsi pertamina pada masa kepemimpinan Ibnu Sutowo. Namun kasusnya ditutup-tutupi
karena menyangkut kepentingan penguasa, yang telah memanfaatkan BUMN menjadi "sapi perah".
Sejak itu tidak ada lagi kasus-kasus korupsi yang betul-betul ditangani dengan baik. Kerusakan
institusi dan perilaku aktor negara ini telah menjadi benih yang kuat untukk menular ke dalam
institusi swasta yang menempel langsung disamping negara. Sistem yang tercipta akhirnya tidak
terhindarkan menjadi normal dan bersifat anomali sehingga rentan krisis.

Disinilah kemudian terjadi kegagalan pemerintah (state failure) dalam memainkan perannya
di dalam sistem ekonomi politik yang sehat. Kelemahan dalam membangun sistem ekonomi politik
menular ke lembaga swasta sehingga dunia usahapun dipenuhi distorsi, perburuan rente dan
inefisiensi. Kegagalan kebijakan deregulasi sektor keuangan, yang bertujuan memacu arus masuk
modal asing ke Indonesia, dapat ditelusuri melalui logika dan nalar berfikir seperti ini.

Pada awal tahun 1980-an kemudian terlihat gejala-gejala perlambatan pertumbuhan


ekonomi karena masa bonansa ekspor minyak mulai menyurut. Injeksi modal yang dilakukan tidak
produktif sehingga harus terus ditopang oleh hutang luar negeri. Karena pemborosan yang terjadi,
maka nilai tambah yang tercipta tidak mengarah pada produktifitas modal yang diinjeksikan.
Ekonomi Indonesia terus haus terhadap tambahan modal dan hutang luar negeri.

Bahkan pada pertengahan tahun 1980-an itu pertumbuhan hutang luar negeri terus
berlangsung dan justeru semakin besar. Ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah semakin terjerat
dalam perangkap hutang luar negeri (debt trap). Gejala ini berlangsung sejalan dengan semakin
besarnya pelarian modal negatif ke luar negeri karena pembayaran cicilan pokok dan bunga hutang
sudah lebih besar dari jumlah hutang baru yang diterima.

Transaksi hutang luar negeri pemerintah telah menjadi bencana bagi perekonomian nasional
ketika terbukti dari akumulasi yang besar dari pembayaran cicilan pokok dan bunganya. Aliran modal
keluar melalui transaksi hutang ini telah menyebabkan kehilangan kesempatan investasi
(oppurtunity lost) sehingga daya dorong fiskal secara langsung dari tahun ke tahun mengalami
penurunan. Kebanyakan penerimaan pemerintah dari pajak masuk ke dalam pengeluaran rutin, yang
kebanyakan dipakai untuk membayar hutang luar negeri. Kebijakan hutang luar negeri Indonesia
akhirnya memang menjadi catatan sejarah ekonomi yang buruk dan sekaligus dapat dicatat sebagai
suatu kecelakaan sejarah. Sampai pada kejadian ini, pemerintah tetap merasa santai seolah-olah
tidak terjadi apapun dan tidak ada upaya yang signifikan untuk mengurangi hutang luar negeri. Tidak
ada perubahan kebijakan yang mengantisipasi dengan cepat permasalahan hutang luar negeri ini
sehingga terus menumpuk tanpa penyelesaian. Rutinitas perencanaan fiskal terus dijalankan tanpa
makna yang berarti untuk mengurangi ketergantungan terhadap hutang luar negeri tersebut.
Namun, akhirnya muncul kesadaran ketika semuanya sudah terlambat, penyakit sudah terlanjur
menjadi akut dan kronis, sehingga sulit rasanya untuk bisa keluar dari cengkeraman hutang luar
negeri.

KORUPSI DI INDONESIA
Korupsi di Indonesia berkembang secara sistematis. Bagi banyak orang, korupsi bukan lagi
kejahatan melainkan budaya dan kebiasaan Dalam studi perbandingan korupsi lintas negara,
Indonesia secara konsisten menduduki peringkat tinggi Situasi ini dapat mengarah pada
penguatan lebih lanjut dari masyarakat Indonesia sendiri serta penegakan hukum yang
bertanggung jawab untuk membasmi korupsi, karena tidak semua orang Indonesia peduli
dengan korupsi karena sebagian juga berada dalam kemiskinan dan resesi. Maret 2022 adalah
26,16 juta. Perkembangan korupsi di Indonesia juga turut andil dalam pemberantasan korupsi
di Indonesia Namun, pemberantasan korupsi di Indonesia sejauh ini gagal menunjukkan
secercah harapan di peringkat tersebut. Meskipun hal ini tidak menjamin bahwa korupsi akan
berkurang, diperlukan revisi menyeluruh terhadap undang-undang antikorupsi.
PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
membasmi Korupsi di Indonesia dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode orde lama, orde
baru, dan orde reformasi. pesanan lama Dasar hukum: KUHP (awalnya), UU 24 1960 Suap
1951-1956 Mulai diliput oleh surat kabar lokal seperti Indonesia Raya yang dibawakan oleh
Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar Laporkan Ruslan Abdulgani atas dugaan korupsi Surat
kabar itu kemudian dilarang. Peristiwa 14 Agustus 1956 adalah sebuah peristiwa Kegagalan
pertama Indonesia membasmi korupsi, dalam diri Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo,
Ruslan Abdulgani, Menteri Luar Negeri, tidak ditangkap oleh gendarmerie. Lie Hok Thay
sebelumnya mengaku menyumbang Rs 1,5 juta Kepada Ruslan Abdulgani yang diperoleh
melalui fee Cetak surat suara. Dalam hal ini mantan Menteri Penerangan Burhanuddin
Harahap Kabinet (bekas Kabinet), Syamsudin Sutan Makmur dan Manajer Percetakan
Nasional Pieter de Queljoe menangkap. Mochtar Lubis sama persis dengan Rosihan Anwar
Kemudian dipenjara pada tahun 1961 karena dianggap lawan politik Soekarno. nasionalisasi
Perusahaan Belanda dan asing di Indonesia terlihat pada tahun 1958 Sebagai titik awal
perkembangan korupsi di Indonesia Upaya Jenderal Ah Nasution untuk mencegah kekacauan
Dengan membawa perusahaan yang dinasionalisasi di bawah pimpinan Darurat Militer
Menimbulkan Korupsi tubuh TNI mual umum memimpin jalan Tim antikorupsi saat itu tidak
terlalu berhasil. Pertamina Organisasi paling korup. Kol.Suharto, Pangdam saat itu
Diponegoro diduga terlibat dalam kasus suap gula, Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono
dan Sutoyo dari Mabesad diperiksa. Akibatnya, Diponegoro digantikan sebagai Panglima
oleh Kepala Stafnya, Letnan Kolonel Pranoto. proses hukum momen Soeharto Ia ditangkap
oleh Mayjen Gatot Subroto yang kemudian Kirim Soeharto ke Seskoad di Bandung Kasus
tersebut membuat DI Panjaitan menolak pencalonan Soeharto presiden senat Upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi dengan hukum pidana memerangi kejahatan atau Sering
disebut oleh G. sebagai kebijakan kriminal atau kebijakan kriminal. Batu kebijakan
Hoefnagels tentang penegakan hukum pidana penegakan hukum) gambaran upaya
Penanggulangan kejahatan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu dengan pendekatan punitif
(menggunakan hukum pidana) dan cara non-pidana (penyelesaian eksternal hukum pidana
dengan cara non-pidana), melalui telepon atau dengan menggunakan hukum pidana atau
dengan menghukum atau menjatuhkan hukuman atau menyebabkan penderitaan atau
menyengsarakan pelaku korupsi, Salah satu cara untuk memberantas korupsi adalah dengan
menciptakan sebuah lembaga yang Sebuah lembaga independen yang didedikasikan untuk
memerangi korupsi memfasilitasi masyarakat yang ingin mengeluh tentang apa yang
dilakukan lembaga pemerintah yang baik Komite Audit Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan
Republik Institusi seperti Indonesia dan pegawainya Pemerintah dan masyarakat harus
dididik, Seorang ombudsman independen sudah tepat Mengembangkan kesadaran dan
pengetahuan masyarakat hak mereka atas perlakuan yang baik, adil dan efektif pegawai
negeri.
Faktor Korupsi
Para pelaku korupsi adalah para pegawai dan pejabat pemerintahan yang menempati posisi
strategis yang telah mendapatkan kesejahteraan hidup enak, gaji besar, dan semua telah
dimilikinya, alasan seorang pelaku kurupsi teori GONE yang dikemukakan oleh penulis Jack
Bolangna ialah singkatan dari Greedy (Keserakahan), Opportunity (Kesempatan), Need
(Kebutuhan) dan Exposure (Pengungkapan), seseorang yang korupsi pada dasarnya serakah
dan tak pernah puas, tidak pernah merasakan cukup dalam diri Koruptor yang serakah, faktor
penyebab korupsi meliputi dua paktor yaitu Internal merupakan penyebab korupsi dari diri
pribadi, sedangkan faktor Eksternal karena sebab-sebab dari luar
Faktor Penyebab Internal
Keserakahan dan tamak adalah sipat yang membuat seorang selalu tidak merasa cukup atas
apa yang dimiliki, selalu ingin lebih, dengan sipat tamak, seorang menjadi berlebihan
mencintai harta,
1. Gaya hidup konsumtif adalah sipat serakah ditambah gaya hidup yang konsumtif
menjadi faktor pendorong internal korupsi, gaya hidup konsumtif misalnya barang-barang
mewah dan mahal atau mengikuti tren kehidupan perkotaan yang serba glamor,
2. Moral yang lemah adalah Seseorang dengan moral yang lemah mudah tergoda untuk
melakukan korupsi, Aspek lemah moral lemahnya keimanan, kejujuran dan rasa malu
melakukan tindakan korupsi
Faktor Penyebab Eksternal
Aspek sosial adalah seseorang berpengaruh dalam mendorong terjadinya korupsi, terutama
keluarga, bukannya mengingatkan atau memberi hukuman, keluarga malah justru mendukung
seseorang korupsi untuk memenuhi keserakahan mereka,
1. Aspek Politik adalah keyakinan bahwa politik untuk memperoleh keuntungan yang
besar menjadi faktor eksternal penyebab korupsi, tujuan politik untuk memperkaya diri pada
akhirnya menciptakan money politics, dengan politik uang seseorang bisa memenangkan
kontestasi dengan membeli suara membagi bagikan uang menyogok para pemilih melalui tim
khusus yang telah dibentuk ditetapkan dan juga dengan anggota-anggota partai-nya,
2. Aspek hukum adalah hukum sebagai penyebab korupsi bisa dilihat dari dua sisi, dari
sisi perundang-undangan karena lemahnya penegakan hukum, koruptor akan mencari celah di
undang-undang untuk bisa melakukan aksinya,
3. Aspek ekonomi adalah sering dianggap sebagai penyebab utama korupsi, di antaranya
tingkat pendapatan atau gaji yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan,
4. Aspek Organisasi politik adalah organisasi tempat koruptor berada, biasanya,
organisasi ini memberi andil terjadinya korupsi, karena membuka peluang dan kesempatan,
karena adanya teladan integritas dari pemimpin, kultur yang benar, kurang memadai sistem
akuntabilitas, atau lemahnya sistem pengendalian manajemen, di dapat dari sumber
terpercaya didalam buku pendidikan Antikorupsi oleh Eko Handoyo, organisasi bisa
mendapatkan keuntungan dari korupsi para anggotanya yang menjadi birokrat dan bermain
menjadi pemain di antara celah-celah peraturan, Partai Politik menggunakan cara ini untuk
membiayai organisasi mereka, pencalonan pejabat wilayah dan daerah juga kota menjadi
sarana bagi partai politik untuk mencari dana bagi kelancaran roda organisasi, pada akhirnya
terjadi money politics (politik uang) dan lingkaran korupsi kembali terjadi hingga Sekarang
di tahun 2022 ini.
KASUS KORUPSI DI INDONESIA
Indonesia termasuk salah satu negara dengan jumlah kasus korupsi yang cukup banyak.
Melansir situs resmi KPK, dari tahun 2021-2022saja, sudah ada 187 kasus tindak pidana
korupsi (TPK) yang ditindak oleh KPK. Sepanjang penanganan kasus korupsi oleh KPK,
kepolisian, atau kejaksaan, ada beberapa kasus korupsi terbesar di Indonesia yang merugikan
negara hingga puluhan triliun rupiah. Berikut 3 kasus korupsi terbesar di Indonesia:

Korupsi Surya Darmadi, Penyerobotan Lahan Di Riau


Surya Darmadi, pemilik PT Duta Palma Group ditetapkan sebagai tersangka korupsi
penyerobotan lahan dengan mantan Bupati Indragiri Hulu pada periode 1998-2008, Raja
Thamsir Rachman.
Surya Darmadi melalui perusahaan miliknya diketahui melakukan korupsi dalam
penyerobotan lahan di Riau sebesar 37.095 hektare. Selain itu, Raja Thamsir Rachman juga
terbukti menerbitkan izin lokasi dan izin usaha perkebunan untuk lahan seluas 37.095 hektare
di wilayah Indragiri Hulu.
Perizinan tersebut bukan tak lain ditujukan kepada 5 perusahaan di bawah PT Duta Palma
Group. Dari sana, Surya Darmadi menggunakan izin tersebut agar tidak perlu mendapat izin
pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan dan hak guna usaha dari Badan
Pertanahan Nasional.
Jika ditelusuri, kasus Surya Darmadi menjadi kasus korupsi terbesar di Indonesia yang
merugikan negara hingga Rp87 triliun!
Korupsi PT TPPI
Kasus korupsi terbesar di Indonesia yang kedua dilakukan oleh Honggo Wendratno, mantan
Direktur Utama PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) yang saat ini masih
berstatus buron. Bahkan, kasus ini juga menyeret Raden Priyono, mantan Kepala BP Migas
dan Djoko Harsono, mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas. Keduanya
divonis 12 tahun penjara. Negara mengalami kerugian sebesar USD2,7 miliar atau setara
Rp42,4 triliun akibat kasus korupsi ini.
Korupsi PT Asabri
Sebanyak tujuh petinggi divonis bersalah dalam kasus korupsi PT Asuransi Angkatan
Bersenjata Indonesia (Asabri). Kasus ini berbentuk pengaturan transaksi berupa investasi
saham dan reksa dana dengan pihak swasta. Akibatnya, negara mengalami kerugian
hingga Rp22,7 triliun.

Daftar Pustaka

Edy Suandi Hamid, Perekonomian Indonesia Masalah dan Kebijakan Kontemporer, UII Press,
Yogyakarta, 2000.

D.J. Rachbini (c), Politik Deregulasidan Agenda Kebijakan Ekonom, Infobank, Jakarta, 1994.

Cyrillus, Harinowo. 2002. Utang Pemerintah: Perkembangan, Prospek dan Pengelolaannya. Jakarta:
Gramedia.

Ramadhani, Muhammad Adib. 2014. Pengaruh Defisit Anggaran, Pengeluaran Pemerintah dan
Hutang Luar Negeri Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (Studi Kasus 6 Negara ASEAN Tahun 2003-
2012). E-Jurnal Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya, Vol 2, No 1.
Ulfa, Salawati dan T. Zulham. 2017. Analisis Utang Luar Negeri dan Pertumbuhan Ekonomi: Kajian
Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Vol.2 No.1 Februari 2017: 144- 152. Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh.

Mochtar Lubis, Manusia Indonesia: (sebuah pertanggungjawaban), Yayasan Obor Indonesia (2001),
ISBN 9794613460 ISBN 978-979-461-346-7.

Anda mungkin juga menyukai