Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang perekonomiannya masih bersifat
terbuka,artinya masih rentan terhadap pengaruh dari luar. Oleh karena itu
perlu adanya fondasi kokoh yang dapat membentengi suatu negara agar tidak
sepenuhnya dapat terpengaruh dari dunia luar, Seperti apa yang terjadi pada
10 tahun yang silam. Ketika negara Thailand mulai menunjukkan gejala
krisis, orang umumnya percaya bahwa Indonesia tidak akan bernasib sama.
Fundamental ekonomi Indonesia dipercaya cukup kuat untuk menahan kejut
eksternal (external shock) akibat kejatuhan ekonomi Thailand. Tetapi ternyata
guncangan keuangan yang sangat hebat dari negara Thailand ini berimbas
kepada perekonomian Indonesia, kekacauan dalam perekonomian ini menjadi
awal dan salah satu faktor penyebab runtuhnya perekonomian Indonesia
termasuk terjebaknya Indonesia ke dalam dilema utang luar negeri.
Salah satu beban ekonomi Indonesia adalah utang luar negeri yang terus
membengkak, Utang ini sudah begitu berat mengingat pembayaran cicilan
dan bunganya yang begitu besar. Biaya ini sudah melewati kapasitas yang
wajar sehingga biaya untuk kepentingan-kepentingan yang begitu mendasar
dan mendesak menjadi sangat minim yang berimplikasi sangat luas. Sebagai
negara berkembang yang sedang membangun, yang memiliki ciri-ciri dan
persoalan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang hampir sama dengan
negara berkembang lainnya,Indonesia sendiri tidak terlepas dari masalah
utang luar negeri, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir,utang luar negeri telah
memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pembangunan di Indonesia.
Bahkan utang luar negeri telah menjadi sumber utama untuk menutupi defisit
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan memberikan kontribusi
yang berarti bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang pada
akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.Meskipun utang luar
negeri (foreign debt) sangat membantu mentupi kekurangan biaya
pembangunan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) namun

1
2

persoalan pembayaran cicilan dan bunga menjadi beban yang terus menerus
harus dilaksanakan,apalagi nilai kurs rupiah terhadap dollar cenderung tidak
stabil setiap hari bahkan setiap tahunnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Utang Luar Negeri ?
2. Bagaimanakah asal mula Utang Luar Negeri Indonesia ?
3. Apa yang menjadi Faktor Penyebab Besarnya Utang Luar Negeri ?
4. Siapa saja Negara/Lembaga Kreditor Hutang Luar Negeri terbesar
Indonesia?
5. Apa Kebaikan dan Keburukan Utang Luar Negeri ?
6. Bagaimanakah Dampak Utang Luar Negeri ?
7. Apakah solusi Utang Luar Negeri ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Utang Luar Negeri.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah asal mula Utang Luar Negeri
Indonesia.
3. Untuk mengetahui Faktor Penyebab Besarnya Utang Luar Negeri.
4. Untuk mengetahui Negara/Lembaga Kreditor Hutang Luar Negeri
terbesar Indonesia.
5. Untuk mengetahui Kebaikan dan Keburukan Utang Luar Negeri.
6. Untuk mengetahui Dampak Utang Luar Negeri.
7. Untuk mengetahui solusi Utang Luar Negeri.
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Utang Luar Negeri


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pinjaman berarti utang yang
dipinjam dari pihak lain dengan kewajiban membayar kembali. Sedangkan
Pinjaman Luar Negeri adalah sejumlah dana yang diperoleh dari negara lain
(bilateral) atau (multilateral) yang tercermin dalam neraca pembayaran untuk
kegiatan investasi, menurut saving-investment gap dan foreign exchange gap
yang di lakukan baik oleh pemerintah maupun swasta.
Menurut SKB No.185/KMK.03/1995 dan Nomor
KEP.031/KET/5/1995 antara Menteri Keuangan dan Ketua Bappenas:
Pinjaman Luar Negeri adalah penerimaan negara baik dalam bentuk devis
atau devisa yang dirupiahkan maupun dalam bentuk barang dan jasa yang
diperoleh dari peneriman pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali
dengan persyaratan tertentu.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa utang luar
negeri atau pinjaman luar negeri adalah sebagian dari total utang suatu negara
yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang luar
negeri dapat berupa pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Bentuk utang
dapat berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain,
atau lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.

B. Asal Mula Utang Luar Negeri Indonesia


Sebagai sebuah negara yang terpuruk di bawah himpitan utang luar
negeri sebesar 78 milyar dollar AS, dengan beban angsuran pokok dan bunga
utang (dalam dan luar negeri) mencapai sepertiga APBN, Indonesia tentu
patut dicatat sebagai sebuah negara Dunia Ketiga yang terperosok ke dalam
kolonialisme utang. Sehubungan dengan itu, catatan perjalanan utang luar
negeri Indonesia sebagaimana berikut menarik untuk dicermati.
4

Masalah utang luar negeri bukanlah masalah baru bagi Indonesia.


walaupun masalah ini baru terasa menjadi masalah serius sejak terjadinya
transfer negatif bersih (net negatif transfer) pada tahun anggaran 1984/1985,
masalah utang luar negeri sudah hadir di Indonesia sejak tahun-tahun pertama
setelah kemerdekaan. Sebagaimana diketahui, kemerdekaan Indonesia baru
diakui oleh masyarakat internasional ada, Desember 1949. Walaupun
demikian, berbagai persiapan untuk memperoleh utang luar negeri telah
berlangsung sejak 1947. Bahkan, pada tingkat wacana, perbincangan
mengenai arti penting utang luar negeri bagi peningkatan kesejahteraan rakyat
telah berlangsung sejak November 1945.
Dengan latar belakang seperti itu, mudah dimengerti bila segera
setelah pengakuan kedaulatan, utang luar negeri segera hadir dalam catatan
keuangan pemerintah. Walaupun demikian, tidak berarti kehadirannya sama
sekali bebas dari kontroversi. Sebagai negara bekas jajahan, para Bapak
Pendiri Bangsa memiliki komitmen untuk mengembangkan sebuah ekonomi
nasional yang berbeda dari ekonomi kolonial. Sebagaimana didefinisikan
Soekarno, yang dimaksud dengan ekonomi kolonial adalah sebuah
perekonomian yang memiliki tiga ciri sebagai berikut : merupakan sumber
bahan baku bagi negara-negara industri, merupakan pasar bagi barang-barang
hasil industri mereka, dan merupakan tempat berinvestasi bagi modal negara-
negara industri tersebut (Weinstein, 1976:213).
Komitmen untuk membangun ekonomi nasional yang berbeda dari
ekonomi kolonial itu antara lain terungkap pada kuatnya hasrat para Bapak
Pendiri Bangsa untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam penguasaan
faktor-faktor produksi di tanah air. Sebab itu, jika dilihat dari sudut utang luar
negeri, sikap para Bapak Pendiri Bangsa cenderung mendua. Di satu sisi
mereka memandang utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan yang
sangat dibutuhkan untuk mempercepat proses peningkatan kesejahteraan
rakyat. Tetapi, disisi lain, mewaspadai penggunaan utang luar negeri sebagai
sarana untuk menciderai kedaulatan Indonesia, mereka cenderung
menetapkan syarat yang cukup ketat dalam membuat utang luar negeri.
5

Sikap waspada para Bapak Pendiri Bangsa terhadap bahaya utang luar
negeri itu antara lain terungkap pada syarat pembuatan utang luar negeri
sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Hatta berikut : Pertama, negara
pemberi pinjaman tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri
negara yang meminjam. Kedua, suku bunganya tidak boleh lebih dari 3 - 3,5
persen setahun. Ketiga, jangka waktu utang luar negeri harus cukup lama.
Untuk keperluan industri berkisar 10 - 20 tahun. Sedangkan untuk
pembangunan infrastruktur, harus lebih lama dari itu (Hatta, 1970, dalam
Swasono dan Ridjal, 1992-201).
Sikap waspada Soekarno-Hatta terhadap utang luar negeri itu ternyata
tidak mengada-ada. Setidak-tidaknya terdapat tiga peristiwa penting yang
membuktikan bahwa utang luar negeri memang cenderung dipakai oleh
negara-negara pemberi pinjaman sebagai sarana untuk menciderai kedaulatan
Indonesia. Peristiwa pertama terjadi tahun 1950. Menyusul kesediannya
untuk memberikan pinjaman sebesar US$ 100 juta, pemerintah Amerika
kemudian menekan Indonesia untuk mengakui keberadaan pemerintah Bao
Dai di Vietnam. Karena tuntutan tersebut tidak segara dipenuhi oleh
Indonesia, pemberian pinjaman itu akhirnya ditunda pencairannya oleh
Amerika (Weinstein. 1976: 210).
Peristiwa kedua terjadi tahun 1952. Setelah menyatakan komitmennya
untuk memberikan pinjaman, Amerika kemudian mengajukan tuntutan
kepada PBB untuk mengembargo pengiriman bahan-bahan mentah strategis
seperti karet, ke Cina. Sebagai negara produsen karet dan anggota PBB,
permintaan itu terpaksa dipenuhi Indonesia.
Peristiwa yang paling dramatis terjadi tahun 1964. Menyusul
keterlibatan Inggris dalam konfrontasi dengan Malaysia, pemerintah
Indonesia menanggapi hal itu dengan menasionalisasikan perusahaan-
perusahaan Inggris. Mengetahui hal itu, pemerintah Amerika tidak bisa
menahan diri. Setelah sebelumnya mencoba menekan Indonesia untuk
mengaitkan pencairan pinjaman dengan pelaksanaan program stabilitasi IMF,
Amerika kemudian mengaitkan pencairan pinjaman berikutnya dengan
tuntutan agar Indonesia segera mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia.
6

Campur tangan Amerika tersebut, di tengah-tengah maraknya


demontrasi menentang pelaksanaan program stabilisasi IMF di tanah air,
ditanggapi Soekarno dengan mengecam utang luar negeri dan Amerika.
Ungkapan go to hell with your aid yang terkenal itu adalah bagian dari
ungkapan kemarahan Soekarno kepada Amerika. Puncaknya, tahun 1965,
Soekarno memutuskan untuk menasionalisasikan beberapa perusahaan
Amerika yang beroperasi di Indonesia.
Perlawanannya yang sangat keras itu ternyata harus dibayar mahal oleh
Soekarno. Menyusul memuncaknya krisis ekonomi-politik nasional pada
pertengahan 1960-an, yaitu yang ditandai oleh terjadinya peristiwa
pembunuhan terhadap 6 jenderal pada 30 September 1965, tepat tanggal 11
Maret 1966 Soekarno secara sistematis mendapat tekanan untuk menyerahkan
kekuasaannya kepada Soeharto. Sebagaimana diketahui, selain menandai
berakhirnya era Soekarno, peristiwa dramatis itu sekaligus menandai naiknya
Soeharto sebagai penguasa baru di Indonesia.

C. Faktor Penyebab Besarnya Utang Luar Negeri


1. Strategi defisit anggaran; strategi defisit anggaran tanpa diimbangi dengan
kontrol akan sangat berbahaya. Selama ini Indonesia selalu menerapkan
strategi ini, dengan harapan, jika utang kepada luar negeri, maka hasil dari
utang tersebut digunakan untuk pembiayaan pembangunan, sehingga
sektor riil berkembang dan harapannya pendapatan nasional dapat
meningkat signifikan. Namun hasil dari pendapatan nasional ini tidak
sepenuhnya digunakan untuk membayar utang luar negeri.

2. Tidak menyadari secara penuh biaya yang harus ditanggung di masa depan
Pemikiran irasional banyak mendominasi penentu kebijakan di negara
sedang berkembang dalam melakukan utang (Alesina dan Tabellini).

3. Adanya faktor sosial politik dari penentu kebijakan Faktor sosial dan
politik lebih dominan dibanding faktor ekonomi dalam melakukan utang
(Sebastian Edwards).
7

4. Banyak modal yang dibutuhkan untuk membangun sarana dan prasarana.


Pemerintah merupakan penggerak utama perekonomian di sebagian besar
negara-negara yang sedang berkembang, oleh karena itu pemerintah
membutuhkan banyak modal untuk membangun berbagai prasarana dan
sarana, namun kemampuan financial atau keuangan yang dimiliki
pemerintah masih terbatas atau kurang, disinilah munculnya utang kepada
luar negeri.

5. Pemerintah Indonesia harus menambah utang luar negeri yang baru untuk
membayar utang luar negeri yang lama yang telah jatuh tempo.

6. Datangnya modal dari luar negeri. Modal dari luar negeri dapat digunakan
untuk mendukung program pembangunan nasional pemerintah, sehingga
target pertumbuhan ekonomi nasional. Tetapi pada sisi lain, diterimanya
modal asing tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah dalam jangka
panjang, baik ekonomi maupun politik, bahkan pada beberapa negara-
negara yang sedang berkembang menjadi beban yang seolah-olah tak
terlepaskan, yang justru menyebabkan berkurangnya tingkat kesejahteraan
rakyatnya.

D. Daftar Negara/Lembaga Kreditor Hutang Luar Negeri terbesar


Indonesia
(Sumber: Liputan6.com):
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR)
Kementerian Keuangan mencatatkan total nilai utang pemerintah pusat
sampai dengan posisi November 2016 sebesar Rp 3.485,36 triliun.
Realisasi utang ini naik signifikan sebesar Rp 45,58 triliun dibandingkan
posisi Oktober yang senilai Rp 3.439,78 triliun.

1. Pemberi Pinjaman Terbesar


Adapun 10 negara pemasok utang bilateral Indonesia yang mencapai Rp
326,59 triliun per November 2016, meliputi:
a. Jepang dengan pinjaman Rp 209,62 triliun.
b. Prancis Rp 23,96 triliun.
8

c. Jerman Rp 22,79 triliun.


d. Korea Selatan Rp 20,29 triliun.
e. China Rp 12,80 triliun.
f. Amerika Serikat Rp 9,64 triliun.
g. Australia Rp 7,51 triliun.
h. Spanyol Rp 3,58 triliun.
i. Rusia Rp 3,49 triliun.
j. Inggris Rp 2,28 triliun
k. Negara lain Rp 10,64 triliun.

2. Lembaga keuangan dunia


Sedangkan pinjaman multilateral senilai Rp 365,99 triliun oleh
pemerintah Indonesia berasal dari 6 lembaga keuangan dunia, yakni:
a. Bank Dunia dengan kucuran pinjaman Rp 233,53 triliun
b. Asian Development Bank (ADB) Rp 120,44 triliun
c. Islamic Development Bank (IDB) Rp 9,30 triliun
d. International Fund for Agricultural Development (IFAD) Rp 2,21
triliun
e. Bank Investasi Eropa (EIB) Rp 0,34 triliun
f. Nordick Investment Bank (NIB) Rp 0,17 triliun

3. Utang yang berasal dari komersial bank senilai Rp 46,60 triliun, antara
lain:
a. Amerika Serikat (AS) senilai Rp 10,29 triliun
b. Singapura Rp 7,75 triliun
c. Prancis Rp 8,45 triliun
d. Belanda Rp 6,24 triliun
e. Austria Rp 4,79 triliun
f. Rusia Rp 4,78 triliun
g. Inggris Rp 0,82 triliun
h. Jepang Rp 0,58 triliun
i. Taiwan Rp 0,62 triliun
j. Jerman Rp 0,56 triliun
k. Negara lain Rp 1,71 triliun.

E. Kebaikan dan Keburukan Utang Luar Negeri


1. Kebaikan
a. Pembiayaan pembangunan (pengeluaran pemerintah) melalui utang
luar lebih baik daripada melalui penarikan pajak atau pencetakan
uang. Pembiayaan pengeluaran pemeritah yang dibiayai utang luar
negeri akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Sedangkan jika
pengeluaran pemerintah dibiayai dari pajak, maka pendapatan
9

masyarakat yang siap dibelanjakan akan berkurang dan konsumsi


juga menurun selanjutnya akan memeperkecil permintaan agregat/
masyarakat dan mengekang laju pertumbuhan pendapatan.
b. Negara-negara kreditur sering mempergunakan hasil pembayaran
bunga dan utang itu untuk membeli (impor) barang-barang dan jasa-
jasa dari negara debitur, sehingga ekspor negara debitur meningkat.
c. Meskipun beban utang langsung itu tetap besarnya, beban riil
langsung akan berbeda-beda sesuai dengan proporsi sumbangan
angggota masyarakat terhadap pembayaran utang luar negeri
tersebut. Jika pembayaran itu dibebankan terutama kepada golongan
kaya, beban riil langsung itu akan lebih ringan daripada kalau
pembayaran itu dibebankan pada golongan miskin.
d. Dengan berakhirnya program IMF pemerintah Indonesia telah
menyusun program stabilisasi makro ekonomi secara komprehensif
yang dituangkan dalam white paper sebagai salah satu bentuk
penerapan unsur transparansi atas komitmen dan akuntabilitas dalam
melaksanakan program pembangunan pasca IMF.

2. Keburukan
a. Apabila utang luar negeri harus ditempuh dengan menekan konsumsi
dan investasi, maka permintaan agregat/masyarakat akan menurun
selanjutnya akan menghambat dan mengurangi tingkat pendapatan
nasional.
b. Pemerintah akan terkena beban langsung dari utang luar negeri.
Selama jangka waktu tertentu, beban utang langsung dapat diukur
dengan jumlah pembayaran bunga dan cicilan utang terhadap
kreditur.
c. Adanya beban riil langsung yang diderita pemerintah berupa
kerugian dalam bentuk kesejahteraan ekonomi (guna/utility) yang
hilang karena adanya pembiayaan cicilan utang dan bunga.
d. Dari aspek utang luar negeri, keluarnya pemerintah Indonesia dari
program IMF membawa konsekuensi berupa tertutupnya peluang
pemerintah terhadap akses penjadwalan kembali utang luar negeri
bilateral yang jatuh tempo melaui forum Paris Club.
10

F. Dampak Utang Luar Negeri


1. Dalam Jangka Pendek
Dampak Pinjaman luar negeri dalam jangka pendek dapat
menutup defisit APBN, dan ini jauh lebih baik dibandingkan jika
defisit APBN, sehingga memungkinkan pemerintah untuk
melaksanakan pembangunan dengan dukungan modal yang relatif
lebih besar, tanpa disertai efek peningkatan tingkat harga umum.
Dengan demikian pemerintah dapat melakukan ekspansi fiskal untuk
mempertinggi laju pertumbuhan ekonomi nasional. Meningkatnya laju
pertumbuhan ekonomi berarti meningkatnya pendapatan nasional,
yang selanjutnya memungkinkan untuk meningkatnya pendapatan
perkapita.
2. Dalam Jangka Panjang
Dalam jangka panjang, ternyata hutang luar negeri dapat
menimbulkan permasalahan ekonomi pada banyak negara debitur. Di
samping beban ekonomi yang harus diterima rakyat pada saat
pembayaran kembali, juga beban psikologis politis yang harus
diterima oleh negara debitur akibat ketergantungannya dengan
bantuan asing walaupun terdapat peningkatan pendapatan perkapita
maupun laju pertumbuhan tinggi, bukan berarti bahwa Negara tersebut
sudah maju tetapi dihitung juga dari banyaknya hhutang yang dimiliki
Negara tersebut.
3. Pada sisi efektifitasnya, secara internal, utang luar negeri tidak hanya
dipandang menjadi penghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi
negara-negara Dunia Ketiga. Utang diyakini menjadi pemicu
terjadinya kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat,
dan melebarnya kesenjangan.
4. Sedangkan secara eksternal, utang luar negeri diyakini menjadi
pemicu meningkatnya ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga
pada pasar luar negeri, modal asing, dan pada pembuatan utang luar
negeri secara berkesinambungan.
5. Pada sisi kelembagaannya, lembaga-lembaga keuangan multilateral
seperti IMF, Bank Dunia, dan Asian Development Bank (ADB).
11

Keduanya diyakini telah bekerja sebagai kepanjangan tangan negara-


negara Dunia Pertama pemegang saham utama mereka, untuk
mengintervensi negara-negara penerima pinjaman.
6. Pada sisi ideologinya, utang luar negeri diyakini telah dipakai oleh
negara-negara pemberi pinjaman, terutama Amerika, sebagai sarana
untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru
dunia. (Erler, 1989).
7. Sedangkan pada sisi implikasi sosial dan politiknya, utang luar negeri
tidak hanya dipandang sebagai sarana yang sengaja dikembangkan
oleh negara-negara pemberi pinjaman untuk mengintervensi negara-
negara penerima pinjaman. Secara tidak langsung negara-negara
kreditur diyakini turut bertanggungjawab terhadap munculnya rezim
diktator, kerusakan lingkungan, meningkatkan tekanan migrasi dan
perdagangan obat-obat terlarang, serta terhadap terjadinya konflik dan
peperangan (Gilpin, 1987; George, 1992).

G. Solusi Utang Luar Negeri


1. Meningkatkan daya beli masyarakat, yakni melalui pemberdayaan
ekonomi pedesaan dan pemberian modal usaha kecil seluasnya.
2. Meningkatkan pajak secara progresif terhadap barang mewah dan
impor. Realitas yang ada saat ini pemerintah mengambil pajak barang
mewah.
3. Konsep pembangunan yang berkesinambungan, berlanjut dan
mengarah pada satu titik maksimalisasi kekuatan ekonomi nasional,
melepaskan secara bertahap ketergantungan hutang luar negeri.
4. Menggalakan kebanggaan akan produksi dalam negeri,
meningkatkan kemauan dan kemampuan ekspor produk unggulan dan
membina jiwa kewirausahaan masyarakat. Negeri Indonesia ini
sebenarnya kaya akan Sumber daya alam unggulan sehingga bila kita
manfaatkan secara maksimal maka akan memberikan devisa Negara.
5. Mengembangkan sumber daya manusia berkualitas dan
menempatkan kesejateraan yang berkeadilan dan merata.
6. Debt swap
12

Solusi yang paling sederhana mengatasi utang luar negeri adalah


dengan mengoptimalkan restrukturisasi utang, khususnya melalui skema
debt swap, di mana sebagian utang luar negeri tersebut dikonversi dalam
bentuk program yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat,
pemeliharaan lingkungan, dan sebagainya. Program debt swap seperti ini
sudah dijalankan dengan pemerintah Jerman, sebesar DM50 juta (Rp250
miliar) dari total utang sebesar DM178 juta, yang dikonversi dalam
bentuk proyek pendidikan.
7. Diplomasi ekonomi
Menurut Rachbini. 1994, masalah utang LN tidak bisa lagi
diselesaikan dengan terapi fiskal dan teknis ekonomi belaka. Potensi
internal ekonomi kita tidak cukup kuat untuk melayani utang luar negeri
yang salah dalam pengelolaannya. Kita tidak bisa secara terus-menerus
menjadi "good boy" dengan melayani seluruh cicilan tersebut karena
sumber ekonomi dalam negeri akan terus terkuras dan mengganggu
kestabilan ekonomi serta politik. Suatu pendekatan diplomasi ekonomi
politik harus terus menerus dijadikan program aksi (action program)
untuk menghadapi lembaga dan negara donor. Diplomasi ekonomi juga
penting dilembagakan dengan sasaran untuk memperoleh keringanan dan
penghapusan sebagian hutang sehingga proses pengurasan sumberdaya
dapat dihambat.
8. Cara yang lebih berani seperti yang ditawarkan oleh mantan kepala
BAPPENAS Kwik Kian Gie. Dalam hal utang luar negeri, harus ada
keberanian untuk menggugat dan tidak membayar sesuai jadwal karena
pada kenyataanya Indonesia tidak dapat membayar kembali utang dan
bunga yang jatuh tempo. Hutang tersebut hanya bisa dibayar dengan
cara melikuidasi kekayaan negara. Dalam hal utang dalam negeri,
supaya menarik kembali OR yang masih dalam penguasaan pemerintah
melalui bank-bank yang masih milik pemerintah.
9. Cara yang datang dari potensi internal pemerintah sendiri yaitu dengan
menjaga kinerja makro-ekonomi dalam posisi yang stabil dan menstop
hutang baru. Untuk tawaran terakhir ini, paling tidak terdapat tiga
13

asumsi dasar yang harus dipenuhi agar kita dapat keluar dari debt trap.
Asumsi dasar pertama adalah laju pertumbuhan ekonomi harus dijaga
pada level antara minimum 3% setahun dan maksimum 7% setahun.
Angka terakhir pernah tercapai di masa Orde Baru, tetapi didasari oleh
penjagaan keamanan yang keras dan otoriter dan arus modal masuk yang
puluhan milyar setahun. Asumsi dasar kedua adalah menjaga tingkat
inflasi tetap rendah (di bawah 10% setahun, idealnya 6%), medium
(sekitar 10% setahun) dan tinggi (di atas 10% setahun). Semakin rendah
inflasi semakin baik oleh karena pengeluaran untuk membayar bunga
utang rekap perbankan dalam negeri akan turun banyak, dan inflasi
rendah akan merangsang pertumbuhan ekonomi dan masuknya modal
dari luar.Asumsi ketiga adalah dalam beberapa tahun kedepan diharapkan
tidak ada lagi penambahan stock hutang yang ada. Ini berarti bahwa di
dalam negeri tidak akan ada krisis perbankan lagi yang mengharuskan
pemerintah mengeluarkan obligasi baru untuk menyelamatkan sistim
perbankan. Asumsi ini juga berarti tidak ada tambahan utang luar
negeri. Maka, kalau laju pertumbuhan ekonomi mulai tahun ini bisa
mencapai 7% setahun dan inflasi hanya 6% setahun, dan pemerintah
tidak perlu menambah stock utang lagi, maka (pasti) beban angsuran
utang turun dan sebagai akibatnya kita tidak perlu lagi membebani
generasi mendatang dengan cicilan hutang.Kedepan, untuk
mengantisipasi jeratan utang yang sangat membebani bangsa dan negara
ini, maka pemerintah harus mempunyai kemauan politik dan itikad baik
untuk mengakhiri semua hasrat berhutangnya, dan menolak secara tegas
pengaruh dan tekanan dari pihak negara mana pun yang berkepentingan
menjerat negara ini dengan utang yang sebesar mungkin.
14

BAB III
KESIMPULAN

Perkembangan jumlah utang luar negeri Indonesia dari tahun ke tahun


cenderung mengalami peningkatan. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai
konsekuensi bagi bangsa Indonesia, baik dalam periode jangka pendek maupun
jangka panjang. Dalam periode jangka pendek, utang luar negeri harus diakui
telah memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi pembiayaan pembangunan
ekonomi nasional sehingga dengan terlaksananya pembangunan ekonomi tersebut,
tingkat pendapatan per kapita masyarakat bertumbuh sebelum terjadi krisis
ekonomi.
Menurut Gibson dan Tsakalator (1992), penyebab timbulnya krisis utang
dapat ditinjau dari tiga hal: pertama, sistem moneter Internasional. Kedua, sistem
perbankan swasta internasional. Ketiga, negara peminjam itu sendiri. Semakin
bertambahnya utang luar negeri pemerintah, berarti juga semakin memberatkan
posisi APBN RI, karena utang luar negeri tersebut harus dibayarkan beserta
dengan bunganya. Ironisnya, semasa krisis ekonomi, utang luar negeri itu harus
dibayar dengan menggunakan bantuan dana dari luar negeri, yang artinya sama
saja dengan utang baru, karena pada saat krisis ekonomi penerimaan rutin
pemerintah, terutama dari sector pajak, tidak dapat ditingkatkan sebanding dengan
kebutuhan anggaran belanjanya. Dalam jangka panjang akumulasi dari utang luar
negeri pemerintah ini tetap saja harus dibayar melalui APBN, artinya menjadi
tanggung jawab para wajib pajak. Dengan demikian, maka dalam jangka panjang
pembayaran utang luar negeri oleh pemerintah Indonesia sama artinya dengan
mengurangi tingkat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia masa
mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

http://tholibpoenya.blogspot.co.id/2015/01/hutang-luar-negeri-indonesia.html
15

http://bisnis.liputan6.com/read/2687179/naik-rp-45-triliun-ini-daftar-negara-
pemberi-utang-ke-ri

http://fenni-octafiyani.blogspot.co.id/2014/06/makalah-hutang-luar-negeri_2.html

http://nurulhumaira44.blogspot.co.id/2012/06/utang-luar-negri.html

http://ratnaindangayu.blogspot.co.id/2016/04/makalah-utang-luar-negeri.html

Anda mungkin juga menyukai