PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang perekonomiannya masih bersifat
terbuka,artinya masih rentan terhadap pengaruh dari luar. Oleh karena itu
perlu adanya fondasi kokoh yang dapat membentengi suatu negara agar tidak
sepenuhnya dapat terpengaruh dari dunia luar, Seperti apa yang terjadi pada
10 tahun yang silam. Ketika negara Thailand mulai menunjukkan gejala
krisis, orang umumnya percaya bahwa Indonesia tidak akan bernasib sama.
Fundamental ekonomi Indonesia dipercaya cukup kuat untuk menahan kejut
eksternal (external shock) akibat kejatuhan ekonomi Thailand. Tetapi ternyata
guncangan keuangan yang sangat hebat dari negara Thailand ini berimbas
kepada perekonomian Indonesia, kekacauan dalam perekonomian ini menjadi
awal dan salah satu faktor penyebab runtuhnya perekonomian Indonesia
termasuk terjebaknya Indonesia ke dalam dilema utang luar negeri.
Salah satu beban ekonomi Indonesia adalah utang luar negeri yang terus
membengkak, Utang ini sudah begitu berat mengingat pembayaran cicilan
dan bunganya yang begitu besar. Biaya ini sudah melewati kapasitas yang
wajar sehingga biaya untuk kepentingan-kepentingan yang begitu mendasar
dan mendesak menjadi sangat minim yang berimplikasi sangat luas. Sebagai
negara berkembang yang sedang membangun, yang memiliki ciri-ciri dan
persoalan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang hampir sama dengan
negara berkembang lainnya,Indonesia sendiri tidak terlepas dari masalah
utang luar negeri, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir,utang luar negeri telah
memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pembangunan di Indonesia.
Bahkan utang luar negeri telah menjadi sumber utama untuk menutupi defisit
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan memberikan kontribusi
yang berarti bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang pada
akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.Meskipun utang luar
negeri (foreign debt) sangat membantu mentupi kekurangan biaya
pembangunan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) namun
1
2
persoalan pembayaran cicilan dan bunga menjadi beban yang terus menerus
harus dilaksanakan,apalagi nilai kurs rupiah terhadap dollar cenderung tidak
stabil setiap hari bahkan setiap tahunnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Utang Luar Negeri ?
2. Bagaimanakah asal mula Utang Luar Negeri Indonesia ?
3. Apa yang menjadi Faktor Penyebab Besarnya Utang Luar Negeri ?
4. Siapa saja Negara/Lembaga Kreditor Hutang Luar Negeri terbesar
Indonesia?
5. Apa Kebaikan dan Keburukan Utang Luar Negeri ?
6. Bagaimanakah Dampak Utang Luar Negeri ?
7. Apakah solusi Utang Luar Negeri ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Utang Luar Negeri.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah asal mula Utang Luar Negeri
Indonesia.
3. Untuk mengetahui Faktor Penyebab Besarnya Utang Luar Negeri.
4. Untuk mengetahui Negara/Lembaga Kreditor Hutang Luar Negeri
terbesar Indonesia.
5. Untuk mengetahui Kebaikan dan Keburukan Utang Luar Negeri.
6. Untuk mengetahui Dampak Utang Luar Negeri.
7. Untuk mengetahui solusi Utang Luar Negeri.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Sikap waspada para Bapak Pendiri Bangsa terhadap bahaya utang luar
negeri itu antara lain terungkap pada syarat pembuatan utang luar negeri
sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Hatta berikut : Pertama, negara
pemberi pinjaman tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri
negara yang meminjam. Kedua, suku bunganya tidak boleh lebih dari 3 - 3,5
persen setahun. Ketiga, jangka waktu utang luar negeri harus cukup lama.
Untuk keperluan industri berkisar 10 - 20 tahun. Sedangkan untuk
pembangunan infrastruktur, harus lebih lama dari itu (Hatta, 1970, dalam
Swasono dan Ridjal, 1992-201).
Sikap waspada Soekarno-Hatta terhadap utang luar negeri itu ternyata
tidak mengada-ada. Setidak-tidaknya terdapat tiga peristiwa penting yang
membuktikan bahwa utang luar negeri memang cenderung dipakai oleh
negara-negara pemberi pinjaman sebagai sarana untuk menciderai kedaulatan
Indonesia. Peristiwa pertama terjadi tahun 1950. Menyusul kesediannya
untuk memberikan pinjaman sebesar US$ 100 juta, pemerintah Amerika
kemudian menekan Indonesia untuk mengakui keberadaan pemerintah Bao
Dai di Vietnam. Karena tuntutan tersebut tidak segara dipenuhi oleh
Indonesia, pemberian pinjaman itu akhirnya ditunda pencairannya oleh
Amerika (Weinstein. 1976: 210).
Peristiwa kedua terjadi tahun 1952. Setelah menyatakan komitmennya
untuk memberikan pinjaman, Amerika kemudian mengajukan tuntutan
kepada PBB untuk mengembargo pengiriman bahan-bahan mentah strategis
seperti karet, ke Cina. Sebagai negara produsen karet dan anggota PBB,
permintaan itu terpaksa dipenuhi Indonesia.
Peristiwa yang paling dramatis terjadi tahun 1964. Menyusul
keterlibatan Inggris dalam konfrontasi dengan Malaysia, pemerintah
Indonesia menanggapi hal itu dengan menasionalisasikan perusahaan-
perusahaan Inggris. Mengetahui hal itu, pemerintah Amerika tidak bisa
menahan diri. Setelah sebelumnya mencoba menekan Indonesia untuk
mengaitkan pencairan pinjaman dengan pelaksanaan program stabilitasi IMF,
Amerika kemudian mengaitkan pencairan pinjaman berikutnya dengan
tuntutan agar Indonesia segera mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia.
6
2. Tidak menyadari secara penuh biaya yang harus ditanggung di masa depan
Pemikiran irasional banyak mendominasi penentu kebijakan di negara
sedang berkembang dalam melakukan utang (Alesina dan Tabellini).
3. Adanya faktor sosial politik dari penentu kebijakan Faktor sosial dan
politik lebih dominan dibanding faktor ekonomi dalam melakukan utang
(Sebastian Edwards).
7
5. Pemerintah Indonesia harus menambah utang luar negeri yang baru untuk
membayar utang luar negeri yang lama yang telah jatuh tempo.
6. Datangnya modal dari luar negeri. Modal dari luar negeri dapat digunakan
untuk mendukung program pembangunan nasional pemerintah, sehingga
target pertumbuhan ekonomi nasional. Tetapi pada sisi lain, diterimanya
modal asing tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah dalam jangka
panjang, baik ekonomi maupun politik, bahkan pada beberapa negara-
negara yang sedang berkembang menjadi beban yang seolah-olah tak
terlepaskan, yang justru menyebabkan berkurangnya tingkat kesejahteraan
rakyatnya.
3. Utang yang berasal dari komersial bank senilai Rp 46,60 triliun, antara
lain:
a. Amerika Serikat (AS) senilai Rp 10,29 triliun
b. Singapura Rp 7,75 triliun
c. Prancis Rp 8,45 triliun
d. Belanda Rp 6,24 triliun
e. Austria Rp 4,79 triliun
f. Rusia Rp 4,78 triliun
g. Inggris Rp 0,82 triliun
h. Jepang Rp 0,58 triliun
i. Taiwan Rp 0,62 triliun
j. Jerman Rp 0,56 triliun
k. Negara lain Rp 1,71 triliun.
2. Keburukan
a. Apabila utang luar negeri harus ditempuh dengan menekan konsumsi
dan investasi, maka permintaan agregat/masyarakat akan menurun
selanjutnya akan menghambat dan mengurangi tingkat pendapatan
nasional.
b. Pemerintah akan terkena beban langsung dari utang luar negeri.
Selama jangka waktu tertentu, beban utang langsung dapat diukur
dengan jumlah pembayaran bunga dan cicilan utang terhadap
kreditur.
c. Adanya beban riil langsung yang diderita pemerintah berupa
kerugian dalam bentuk kesejahteraan ekonomi (guna/utility) yang
hilang karena adanya pembiayaan cicilan utang dan bunga.
d. Dari aspek utang luar negeri, keluarnya pemerintah Indonesia dari
program IMF membawa konsekuensi berupa tertutupnya peluang
pemerintah terhadap akses penjadwalan kembali utang luar negeri
bilateral yang jatuh tempo melaui forum Paris Club.
10
asumsi dasar yang harus dipenuhi agar kita dapat keluar dari debt trap.
Asumsi dasar pertama adalah laju pertumbuhan ekonomi harus dijaga
pada level antara minimum 3% setahun dan maksimum 7% setahun.
Angka terakhir pernah tercapai di masa Orde Baru, tetapi didasari oleh
penjagaan keamanan yang keras dan otoriter dan arus modal masuk yang
puluhan milyar setahun. Asumsi dasar kedua adalah menjaga tingkat
inflasi tetap rendah (di bawah 10% setahun, idealnya 6%), medium
(sekitar 10% setahun) dan tinggi (di atas 10% setahun). Semakin rendah
inflasi semakin baik oleh karena pengeluaran untuk membayar bunga
utang rekap perbankan dalam negeri akan turun banyak, dan inflasi
rendah akan merangsang pertumbuhan ekonomi dan masuknya modal
dari luar.Asumsi ketiga adalah dalam beberapa tahun kedepan diharapkan
tidak ada lagi penambahan stock hutang yang ada. Ini berarti bahwa di
dalam negeri tidak akan ada krisis perbankan lagi yang mengharuskan
pemerintah mengeluarkan obligasi baru untuk menyelamatkan sistim
perbankan. Asumsi ini juga berarti tidak ada tambahan utang luar
negeri. Maka, kalau laju pertumbuhan ekonomi mulai tahun ini bisa
mencapai 7% setahun dan inflasi hanya 6% setahun, dan pemerintah
tidak perlu menambah stock utang lagi, maka (pasti) beban angsuran
utang turun dan sebagai akibatnya kita tidak perlu lagi membebani
generasi mendatang dengan cicilan hutang.Kedepan, untuk
mengantisipasi jeratan utang yang sangat membebani bangsa dan negara
ini, maka pemerintah harus mempunyai kemauan politik dan itikad baik
untuk mengakhiri semua hasrat berhutangnya, dan menolak secara tegas
pengaruh dan tekanan dari pihak negara mana pun yang berkepentingan
menjerat negara ini dengan utang yang sebesar mungkin.
14
BAB III
KESIMPULAN
http://tholibpoenya.blogspot.co.id/2015/01/hutang-luar-negeri-indonesia.html
15
http://bisnis.liputan6.com/read/2687179/naik-rp-45-triliun-ini-daftar-negara-
pemberi-utang-ke-ri
http://fenni-octafiyani.blogspot.co.id/2014/06/makalah-hutang-luar-negeri_2.html
http://nurulhumaira44.blogspot.co.id/2012/06/utang-luar-negri.html
http://ratnaindangayu.blogspot.co.id/2016/04/makalah-utang-luar-negeri.html