Laporan Kegiatan KPPAA Tahun 2018
Laporan Kegiatan KPPAA Tahun 2018
2018
A. Latar belakang
Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh
(KPPAA) merupakan lembaga independen yang dibentuk
Pemerintah Aceh pada Februari 2017. KPPAA dibentuk melalui
Pergub Aceh Nomor 85 tahun 2015 tentang Komisi
Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA).
Pembentukan KPPAA merupakan amanah Qanun Aceh Nomor
11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak. Qanun
Perlindungan Anak sendiri merupakan turunan dari UU Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak
Anak PBB (CRC) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun
1989.
Pada tahun 2017 KPPAA lebih memprioritaskan
kegiatannya pada aspek konsolidasi organisasi; penataan
administrasi dan kesekretariatan, penyiapan regulasi dan SOP
serta sosialisasi peran dan fungsi KPPAA. Sedangkan pada
tahun 2018, KPPAA sudah fokus pada proses pengawasan
pelaksanaan Perlindungan Anak di Aceh serta membangun
kolaborasi dan koordinasi lintas sektor secara lebih real
B. Landasan Hukum
D. Sistematika pelaporan
Laporan pengawasan KPPA Aceh mendeskripsikan
semua hal yang terkait dengan aktifitas pengawasan yang
dilakukan oleh KPPAA tahun 2017 dengan kerangka penyajian
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Isi dari bab ini adalah pengantar berupa gambaran
singkat terkait pelaksanaan perlindungan anak, tujuan,
BAB V PENUTUP
BAB II
ORGANISASI KOMISI PENGAWASAN DAN
PERLINDUNGAN ANAK ACEH (KPPAA)
A. Kelembagaan KPPAA
1. Visi
2. Misi
Adapun misi KPPAA adalah : Meningkatkan
komitmen para pemangku kepentingan dalam
pelaksanaan perlindungan anak.
Dalam meningkatkan komitmen para pemangku
kepentingan dalam pelaksanaan perlindungan anak,
KPPAA mengupayakan adanya:
a. Sistem Perlindungan Anak
b. Jejaring pengawasan perlindungan anak;
c. Peningkatan jumlah dan kompetensi pengawas
perlindungan anak;
d. Peningkatan kuantitas, kualitas, dan utilitas laporan
pengawasan perlindungan anak;
e. Peningkatan kapasitas, aksesibilitas, dan kualitas
layanan pengaduan masyarakat;
f. Optimalisasi kinerja organisasi KPPAA;
g. Peningkatan pemahaman dan peran serta masyarakat
dalam perlindungan anak.
h. Pengarusutamaan Hak Anak dalam Kebijakan dan
Program Pembangunan di Aceh
i. Penguatan Koordinasi dan Kolaborasi Lintas Sektor.
3. Prinsip-prinsip
Prinsip-prinsip KPPAA adalah asas kebenaran yang
menjadi pokok dasar berpikir dan bertindak KPPAA dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya. Prinsip-prinsip
tersebut menjadi pedoman kelembagaan sekaligus
mengikat Komisioner KPPAA dalam melaksanakan
pengawasan.
2. Tujuan Strategis
Adapun tujuan strategis perlindungan anak yang
dirumuskan oleh KPPAA adalah sebagai berikut:
a. Penguatan Sistem Perlindungan Anak melalui
pengarusutamaan hak anak dalam setiap kebijakan
dan program pembangunan yang dilaksanakan
SKPA/SKPK.
b. Penguatan Koordinasi, Kolaborasi, sinergisasi dan
kerjasama lintas sektor.
c. Penguatan pemantauan perlindungan anak yang
berhadapan dengan hukum di masyarakat dan lembaga
peradilan.
d. Pemantauan pemenuhan hak anak dalam berbagai
sektor pembangunan, terutama pembangunan sosial,
pendidikan dan kesehatan.
e. Meningkatkan perencanaan dan penganggaran yang
responsif hak anak
f. Meningkatkan pemahaman dan kapasitas kelembagaan
KPPAA tentang berbagai UU dan kebijakan terkait
perlindungan anak.
d. Pendataan
Kegiatan :
1) Pengumpulan Data kasus Perlindungan Anak
melalui kerjasama dengan lintas sektor terkait.
2) Pembangunan data base
3) Pengumpulan data kelembagaan terkait
Perlindungan Anak.
g. Pembangunan Kapasitas
Kegiatan :
1) Pembangunan kapasitas pengawasan perlindungan
Anak.
2) Pembangunan kapasitas lembaga penyedia layanan
penanganan kasus kekerasan pada anak.
3) Pembangunan kapasitas pengambil kebijakan di
propinsi dan kabupaten/kota.
4) Pembangunan kelembagaan dan SDM kapasitas
KPPAA
3. Koordinasi
Fungsi Koordinasi pada KPPAA adalah koordinasi
lintas sektor di tingkat provinsi, maupun Kabupaten/Kota.
Fungsi koordinasi juga dijalankan dalam hal pengawasan.
Sepanjang tahun 2018 KPPAA telah melakukan koordinasi
dengan KPAI.
Koordinasi juga dilakukan dengan Lintas Sektor di 5
Kabupaten/Kota baik dalam konteks pengawasan program
maupun dalam konteks pengawasan kasus. Koordinasi
lintas sektor tingkat provinsi telah dilakukan pada 10
SKPA.
1. Aspek Pengawasan :
a. Pengawasan Kelembagaan
Pengawasan kelembagaan yaitu melakukan
pengawasan implementasi UU Perlindungan Anak,
terhadap kelembagaan pemerintah seperti SKPA/SKPK,
Badan dan instansi pemerintah dan Pelayan Publik
lainnya, termasuk BUMN/BUMS, mencakup :
1) Pengawasan perencanaan
2) Pengawasan Anggaran
Pengawasan terhadap alokasi anggaran
yang ditetapkan. Berdasarkan pertemuan
konsultasi dan koordinasi, dapat disimpulkan
bahwa anggaran lintas sektor belum sepenuhnya
mencerminkan keberpihakan pada kebutuhan
Kesejahteraan dan Perlindungan Anak. Masih
minimnya anggaran pencegahan dan penanganan
kasus, terutama di kabupaten/kota. Sektor
kesehatan memiliki anggaran yang cukup besar,
namun masih rendah dalam Sektor pemenuhan
standar gizi anak. Alokasi dana Pendidikan yang
juga besar namun masih lebih banyak untuk
program fisik dan sekolah. Namun masih sangat
rendah untuk pendidikan non formal serta
penanganan anak putus sekolah. Pada Sektor
sosial, anggaran LKSA masih pada taraf
permakanan dan Dinas Sosial bekerja sendiri
mensupport LKSA, walaupun sebenarnya masih
sangat dibutuhkan keterlibatan sektor PU,
Kesehatan dan Pendidikan di LKSA.
Pada tataran Kabupaten/Kota, KPPAA
menemukan hampir di semua Kabupaten/Kota,
anggaran yang digunakan untuk PHPA sangat
minim dan bahkan tidak ada. Baik anggaran
untuk pencegahan maupun penanganan kasus.
Hampir disemua sektor.
b. Pengawasan Program/Kegiatan
Beberapa program Pemenuhan Hak dan
Perlindungan Anak yang dipantau KPPAA antara lain
Forum Anak, PATBM, Puspaga, P2TP2A, KLA, LPKS,
Anti Trafiking, Pencegahan dan Penanganan Pornografi,
Sekolah Ramah Anak, Puskesmas Ramah Anak, Desa
Ramah Anak, Program Kesejahteraan Sosial Anak,
Program keluarga Harapan, Posyandu, PAUD,
Pendidikan formal, Pendidikan Dayah, dansebagainya.
Pada dasarnya program kegiatan dimaksud
sangat bermanfaat bagi pemenuhan hak dan
perlindungan anak. Namun lebih banyak program
c. Pengawasan Penanganan/Pelayanan
P2TP2A Aceh dan LPKS Aceh sebagai lembaga
yang khusus melakukan penanganan ABH, secara
umum dipandang sudah memadai dalam pemenuhan
hak dan perlindungan anak. Walaupun masih sangat
fluktuatif dan memerlukan penguatan yang terus
menerus. Hanya saja, kapasitas yang cukup di kedua
lembaga dimaksud, tidak diikuti oleh lembaga sejenis di
Kabupaten/Kota. Secara kelembagaan, mandat P2TP2A
di propinsi dan Kabupaten/Kota masih sangat lemah,
demikian juga LPKS. Namun LPKS diperkuat oleh
Pekerja Sosial yang secara mandat kuat sesuai UU
Sistem Peradilan Pidana Anak 11/2012. Tahun 2019
direncanakan P2TP2A Aceh menjadi UPTD, sehingga
mandat kelembagaan bisa lebih kuat.
Penting bagi P2TP2A untuk memperkuat mandate
bagi pekerja sosialnya. Untuk itu perlu menjalin
kerjasama lebih kuat dengan Dinas Sosial Aceh dan
membicarakan secara khusus tentang sertifikasi peksos
di jajaran P2TP2A.
Disamping itu, Aceh belum memiliki lembaga
pelayanan khusus yang memadai, terutama bagi anak
dengan disabilitas maupun anak berkebutuhan khusus
lainnya. Baru ada pusat penanganan Autis di Banda
Aceh dan SLB di beberapa wilayah saja.
e. Pengawasan Media
Tahun 2018 KPPAA tetap melakukan pengawasan
media. Namun masih pada taraf pengawasan media
cetak mainstream. Belum melakukan pengawasan pada
media online. Hal ini terkait formalitas media online.
Sementara media cetak mainstream seperti Harian
Serambi Indonesia dan Harian Rakyat Aceh merupakan
media cetak jaringan nasional yang sudah memiliki
perizinan dan lebih terjamin pertanggung jawabannya.
Dalam hal ini, KPPAA baru pada tahap mengumpulkan
berita dan informasi yang disajikan media cetak
dimaksud.
2. Aspek Monitoring/pemantauan
6. Aspek Kerjasama
Selama tahun 2018, KPPAA masih melanjutkan
kerjasama tidak langsung dengan beberapa lembaga
terkait. Baik dalam bentuk pendampingan maupun
pelibatan. Antara lain dengan :
a. P2TP2A Aceh, terkait penanganan kasus yang
dilaporkan kembali oleh klien selanjutnya KPPAA
melakukan koordinasi dengan P2TP2A Aceh.
b. LPKS Aceh, terkait suplai data dan penguatan kapasitas
penanganan kasus di Kabupaten/Kota.
c. RJWG Aceh, terkait penanganan kasus ABH,
pendampingan penanganan ABH di beberapa lokasi
desa percontohan.
d. PKPM Aceh, pendampingan pelaksanaan program
pencatatan kelahiran dan perlindungan anak berbasis
adat.
e. Dinas Sosial Aceh, berupa pendampingan terkait
pelaksanaan program pengawasan LKSA, pembentukan
PKSAI dan KPRS ABH.
BAB IV
Implementasi UU PTPPO
Problem trafficking dan eksploitasi anak terus meningkat
seiring dengan lemahnya penerapan UU PTPPO di lapangan.
Salah satunya yakni dalam kerangka pencegahan. Korban
kerap menjadi sasaran dipekerjakan oleh orang-orang
disekitarnya, termasuk oleh orang tua kandungnya dengan
berbagai cara, seperti memalsukan dokumen. Dalam hal ini
penyelenggara Negara Penegak hukum sering sekali tidak
memberikan hukuman yang sesuai dengan hukuman yang
berlaku dan hal ini membuat pelaku tidak jera.
Rehabilitasi terhadap anak korban PTPPO yang belum
efektif hal ini dikhawatirkan korban trafficking akan kembali
menjadi korban untuk kesekian kalinya.
Koordinasi lintas sektor terkait dalam penanganan
PTPPO belum sinergis sehingga berdampak pada penanganan
korban yang belum efektif.
Gugus tugas PTPPO yang sudah dibentuk ditingkat
provinsi, kota dan kabupaten hingga saat ini belum berfungsi
optimal sehingga akan dilakukan revitalisasi.
Pemberian restitusi kepada korban PTPPO yang hingga
saat ini belum terlaksana karena seringkali dilimpahkan
menjadi hukuman kurungan.
Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang oleh pihak-
pihak tertentu dalam tindak pidana perdagangan orang sangat
Pandangan KPPAA :
1) Pemerintah Aceh, instansi terkait dan stakeholder perlu
mengimplementasi penyelesaian masalah ini secara lebih
terencana dengan fokus pada program yang lebih strategis,
yaitu kegiatan-kegiatan yang lebih menitiktekankan pada
pendekatan (pencegahan) preventif. Berbasis pada Sistem
Perlindungan Anak (SPA).
2) Pendekatan kegiatan preventif dapat dilakukan misalnya
dengan:
a. Memperkuat dan menyediakan peraturan/Qanun/
Reusam Gampong, seperti Qanun ketahanan keluarga,
2. Pengasuhan Alternatif
Dalam konteks pengasuhan alternatif, yaitu
pengasuhan diluar keluarga inti seperti adopsi,
pengasuhan di LKSA/Panti Asuhan maupun pengasuhan
di keluarga orangtua, beberapa catatan KPPAA antara lain :
a. Masih terdapat anak-anak yang dibuang oleh
orangtuanya yang kemudian harus diasuh oleh LKSA.
b. LKSA di Aceh sebagai penyelenggara pengasuhan
alternatif berbasis institusi, secara fisik maupun non
fisik sebahagian besar kurang memenuhi syarat sebagai
lembaga pengasuhan bagi anak. Sarana MCK, tidur,
sanitasi lingkungan, sarana belajar, sarana olah raga,
sarana ibadah yang kurang memadai. Demikian juga
ketersediaan pekerja sosial dan tenaga pengasuh
maupun tenaga lainnya yang juga kurang memadai.
Bahkan sebagiannya terkesan burukyang dapat
berdampak menghambat tumbuh kembang anak.
c. Keberlangsungan pendidikan anak dalam pengasuhan
alternatif terutama yang berbasis institusi seperti di
1. Hak Sipil
a. Anak yang tercatat kelahirannya di Aceh masih di
bawah 100%. Antara 56% sampai 83%.
b. Masih banyaknya kendala dalam pelaksanaan
pencatatan kelahiran terutama bagi anak yang
orangtuanya menikah sirri.
c. Informasi layak anak belum tersedia dengan baik.
Perpustakaan di Gampong sering sekali tidak aktif.
d. Komite Anak, yang didasarkan pada unsur, aktivitas,
minat dan bakat yang berbeda, belum mendapat
perhatian yang baik.
2. Partisipasi
a. Partisipasi Anak belum diakomodir dan dilibatkan
secara memadai terutama dalam penyusunan
perencanaan pembangunan wilayah.
b. Forum Anak sebagai wadah Hak Sipil Anak sudah
cukup berkembang pada tingkat Propinsi, namun
masih lemah di Kabupaten/Kota bahkan Kecamatan
dan Gampong.
3. Kesehatan
a. Angka kematian bayi masih tinggi (10/1000 penduduk)
b. Kekurangan gizi pada Anak juga masih tinggi
c. Balita Stunting di Aceh masih 37,5%
d. ASI Eksklusif belum merata.
e. Pojok ASI masih belum tersedia di banyak tempat.
f. Imunisasi dasar lengkap belum merata.
g. Air bersih masih menjadi kendala
h. Kota Banda Aceh telah menerbitkan Perbub (47/2011)
Kawasan Tanpa Rokok. Kabupaten Aceh Barat sudah
memiliki Qanun Kawasan Tanpa Rokok (14/2015).
i. Kasus-kasus anak kekurangan gizi, stunting, anak
mengidap kanker, pelayanan kesehatan yang rendah,
sampai pada kasus yang mengakibatkan kematian pada
anak, masih terjadi dan belum dapat teratasi dengan
baik.
4. Sosial
a. Pelayanan sosial anak, belum berjalan secara integratif
dan holistik. Selama ini pelayanan anak secara
integratif masih pada tataran penanganan anak korban
kekerasan.
b. Problem anak jalanan, pengemis anak, anak punk, dan
kenakalan remaja masih menjadi masalah yang belum
dapat teratasi
1. Hak Sipil
Diantara faktor penyebab registrasi akta kelahiran di
Aceh masih terkendala karena beberapa kenyataan dan
informasi yang salah dan terlanjur diyakini masyarakat,
antara lain yaitu: (1) Masyarakat tak mengetahui manfaat
pencatatan kelahiran; (2) Biaya pencatatan kelahiran tak
sedikit; (3) Tingkat pendidikan orang tua rendah; dan
(4) Hambatan fisik/geografis, administratif, dan politis.
Oleh karena, Pemerintah dan instansi terkait perlu :
a. Melakukan sosialisasi secara massif kepada masyarakat
untuk meningkatkan kesadaran partisipatif
b. Mengupayakan sistim dan alur pencatatan kelahiran
yang sederhana, mudah, cepat dan murah.
2. Partisipasi
Beberapa pemikiran KPPAA terkait dengan partisipasi
anak dalam pembangunan antara lain:
a. Penting untuk dapat melihat kebutuhan Pelibatan anak
dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
pembangunan wilayah, sesuai umur dan kematangan
anak. Seperti perencanaan program terpadu instansi
terkait seperti Dinsos, DP3A, Hukum dan HAM,
Kementerian Agama, Dinas Tenaga Kerja, BKKBN,
Dinas Kesehatan, dan Pusat Pelayanan Terpadu
Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak (P2TP2A)
serta KPPAA
b. Penting untuk menfasilitasi dan mendorong
terbentuknya kelompok-kelompok anak berdasarkan
minat dan bakat anak. Baik di propinsi maupun di
kabupaten/kota, kecamatan hingga ke tingkat
gampong.
c. Memberikan ruang dan peluang bagi anak-anak dalam
menyampaikan aspirasi, kebutuhan, kepentingan, dan
keinginannya dalam pembangunan yang berhubungan
dengan anak.
d. Mendorong pengintegrasian potensi sumber daya
manusia, keuangan, sarana prasarana, metoda dan
teknologi dalam setiap tahapan perencanaan
pembangunan.
e. Menciptakan ruang/wadah partisipasi agar kesempatan
bagi anak untuk berpartisipasi lebih aktif, berbasis
minat, bakat dan kemampuan anak.
3. Kesehatan
Persoalan tingginya angka kematian bayi, stunting,
tumbuh kembang anak, gizi kurang/rendah, cakupan
imunisasi, cakupan ASI Eksklusif, penyakit menular,
sanitasi lingkungan termasuk pelayanan kesehatan yang
buruk, termasuk akses air bersih, masih menjadi persoalan
kesehatan yang belum dapat diselesaikan. Masih banyak
PR untuk semua hal tersebut.
KPPAA memandang perlunya dilakukan sosialisasi
yang diperluas dan integratif dengan melibatkan lintas
4. Sosial
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota perlu
menyediakan pusat-pusat pelayanan social anak yang
integrative dan holistic, yang menangani berbagai
persoalan anak. Baik itu anak korban kekerasan, anak
jalanan, pengemis anak, anak disabilitas maupun anak
berkebutuhan khusus dan sebagainya.
Khusus bagi anak korban kekerasan yang
memerlukan proses rehabilitasi secara khusus, Pemerintah
perlu menyediakan pusat-pusat rehabilitasi bagi pemulihan
kesehatan fisik dan mental, anak korban kekerasan.
Pemerintah Aceh juga perlu membangun pusat-pusat
pelatihan (pusdiklat) penanganan masalah sosial terutama
masalah kesejahteraan sosial anak, dalam semua konteks.
G. Sekelumit Data
Salah satu persoalan yang sangat penting untuk terus
diperbaiki adalah Data dan Informasi. KPPAA masih melihat
persoalan data adalah persoalan yang sampai saat ini masih
sangat sulit diselesaikan. Namun demikian, KPPAA sangat
mengapresiasi para pihak yang telah dan terus melakukan
segala upaya dalam melakukan pendataan. Seperti SIGA,
Siskesos, SIPBM dan sebagainya.
Data-data dimaksud sangat bermanfaat terutama
sebagai langkah awal pengembangan data yang lebih maju.
Serta yang terpenting adalah menjadi dasar bagi penyusunan
program dan kegiatan pada tahun-tahun selanjutnya.
3. Sosial
4. Pendidikan
5. Kesehatan Anak
6. Pernikahan Anak
BAB V
PENUTUP
B. Rekomendasi Umum
Pada Tahun 2018, KPPAA berencana terus memperkuat
pengawasan dan upaya-upaya menjalin komunikasi dan
koordinasi lintas sektor.
Pada kegiatan koordinasi dan konsultasi dengan lintas
sektor Provinsi dan Kabupaten/Kota, baik secara formal
maupun non formal, baik atas undangan KPPAA maupun
atas undangan lintas sektor serta pada kegiatan yang
dilakukan oleh lintas sektor dan melibatkan KPPAA, KPPAA
banyak memberikan masukan dan usulan terkait :
1) Perbaikan Kebijakan yang dibutuhkan untuk
memperkuat berbagai aspek pemerintah dan
masyarakat dalam Pemenuhan Hak Kesejahteraan dan
Perlindungan Anak.
2) Keberpihakan anggaran yang dialokasikan oleh
pengambil kebijakan pada setiap tingkatan, baik
propinsi, kebupaten/kota maupun gampong.
3) Penguatan Partisipasi Anak, tentang bagaimana
memperkuat partisipasi mandiri anak secara efektif
dan efisien dalam setiap pengambilan kebijakan
4) Penguatan Kapasitas dan komitmen yang dibutuhkan
dan penting dilakukan untuk memperkuat kapasitas
Bappeda;
Kemenag
1. Perlu mengembangkan sistem pencegahan radikalisme
berbasis agama, agar kerentanan anak menjadi korban
indoktrinasi radikalisme dan terorisme dapat terlindungi
sedini mungkin.
2. Perlu penguatan leading sektor gugus tugas pencegahan
dan penanganan pornografi agar dapat menjalankan
mandat pencegahan dan optimalisasi penanganan
pornografi secara simultan dan terintegrasi dengan
Instansi dan lembaga yang terkait.
Dinas Dayah
1. Perlu mengembangkan pesantren dan satuan pendidikan
berbasis agama yang ramah anak di Aceh.
2. Perlu mengembangkan pengawasan terhadap dayah di
Aceh
Dinas Sosial;
1. Perlu memperluas pendataan anak penyandang masalah
kesejahteraan sosial khususnya bagi anak penyandang
disabilitas dan anak terlantar.
2. Perlu memperluas dan meningkatkan sosialisasi terkait
Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) kepada
masyarakat.
3. Perlu melakukan evaluasi terhadap kebijakan teknis
tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) pemenuhan
hak anak yang ada di panti sosial karena selama ini
diduga banyak yang tidak memenuhi standar tersebut.
4. Perlu mensosialisasikan secara massif ketentuan
mekanisme dan pedoman terkait pelaksanaan
pengasuhan anak.
Wassalam
Banda Aceh, Des 2018
Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh