Anda di halaman 1dari 81

LAPORAN

KOMISI PENGAWASAN DAN


PERLINDUNGAN ANAK
ACEH

2018

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 1


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh
(KPPAA) merupakan lembaga independen yang dibentuk
Pemerintah Aceh pada Februari 2017. KPPAA dibentuk melalui
Pergub Aceh Nomor 85 tahun 2015 tentang Komisi
Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA).
Pembentukan KPPAA merupakan amanah Qanun Aceh Nomor
11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak. Qanun
Perlindungan Anak sendiri merupakan turunan dari UU Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak
Anak PBB (CRC) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun
1989.
Pada tahun 2017 KPPAA lebih memprioritaskan
kegiatannya pada aspek konsolidasi organisasi; penataan
administrasi dan kesekretariatan, penyiapan regulasi dan SOP
serta sosialisasi peran dan fungsi KPPAA. Sedangkan pada
tahun 2018, KPPAA sudah fokus pada proses pengawasan
pelaksanaan Perlindungan Anak di Aceh serta membangun
kolaborasi dan koordinasi lintas sektor secara lebih real

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 2


sebagai bagian implementasi Sistem Perlindungan Anak dan
pencapaian Aceh Layak Anak melalui program
Kabupaten/Kota Layak Anak. Namun dengan tetap melakukan
sosialisasi dan kampanye sesuai kebutuhan.
Penting untuk difahami bahwa KPPAA tetap harus
berjalan sebagaimana tupoksi yang diamanahkan oleh
Peraturan Gubernur 85/2015 maupun yang tertera dalam
Perpress 15/2016, yaitu menjalankan pengawasan serta
memberi masukan kepada lintas sektor dan menerima
pengaduan masyarakat.
Satu hal penting yang mendasari Lahirnya KPPAA adalah
pada lemahnya pengawasan pelaksanaan perlindungan anak
di Aceh. Selama ini, pemerintah maupun non pemerintah
dalam melaksanakan kegiatannya terutama terkait
pemenuhan hak dan perlindungan anak, tidak ada yang
mengawasinya secara lebih khusus, sehingga upaya
pengarusutamaan hak anak pada kalangan pelaksana
pembangunan belum terimplementasi dengan baik.
Salah satu faktor yang menyebabkan situasi ini adalah
masih sangat rendahnya komitmen lintas sektor dalam
melakukan koordinasi dan kolaborasi intensif terkait upaya
pemenuhan hak dan perlindungan anak. Disamping itu,
tingginya angka kekerasan, baik fisik, psikis, seksual maupun
penelantaran serta pengabaian terhadap anak, menjadi faktor
pemicu kompleksitas persoalan anak di Aceh. Masalah-
masalah tersebut di atas, membutuhkan sebuah penanganan
yang komprehensif koordinatif dan simultan serta
membutuhkan pelibatan semua sektor terkait anak langsung
maupun tidak langsung.

B. Landasan Hukum

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 3


Pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan KPPAA,
berpedoman kepada Undang-undang dan Peraturan, antara
lain:
1. Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 dan 28B.
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi
Manusia;
3. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan
Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak;
4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam RumahTangga;
6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh;
7. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak;
8. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tahun
2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi
Undang-undang.
9. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun
2016 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia;
10. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang
Ratifikasi Konvensi Hak Anak;
11. Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak;
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 tahun
2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 4


13. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor : SE
460/130/OTONOMI DAERAH/2005 tentang Pembentukan
KPAD, Tanggal 13 September 2005.
14. Qanun Nomor 11 tahun 2008 tentang Perlindungan Anak.
15. Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2013 tentang Kesejahteraan
Sosial;
16. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 85 tahun 2015 tentang
Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA).

C. Tujuan Penulisan Laporan


Penulisan laporan ini dimaksudkan untuk:
1. Memberikan gambaran tentang apa yang telah dilaksanakan
oleh Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh
periode tahun 2018, berikut hambatan, tantangan dan
permasalahannya
2. Menyediakan data dan informasi dengan analisis sebagai
bahan dasar untuk mendorong semua pihak agar
memberikan perhatian khusus terhadap perlindungan anak.
3. Dapat menjadi acuan dalam pengambilan kebijakan,
penyusunan program, anggaran perlindungan dan
pemenuhan han anak.
4. Menjadi media publikasi dan edukasi terkait upaya advokasi
perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak di Aceh.

D. Sistematika pelaporan
Laporan pengawasan KPPA Aceh mendeskripsikan
semua hal yang terkait dengan aktifitas pengawasan yang
dilakukan oleh KPPAA tahun 2017 dengan kerangka penyajian
sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN
Isi dari bab ini adalah pengantar berupa gambaran
singkat terkait pelaksanaan perlindungan anak, tujuan,

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 5


mengapa, dan untuk apa bahan ini disusun, menjelaskan
landasan hukum penyusunan laporan serta memaparkan
kerangka penyajian laporan

BAB II ORGANISASI KPPAA


Isi dari bab ini memaparkan tentang kelembagaan
KPPAA; visi dan misi, prinsip-prinsip pengawasan, Tugas dan
fungsi KPPAA, strategi program KPPAA, isu dan tujuan
strategis, serta program pengawasan serta struktur organisasi
dan profil singkat Komisioner KPPAA

BAB III PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI KPPAA


Isi dari bab ini mendeskripsikan tentang kinerja
berdasarkan tujuan strategis dan tugas pokok dan fungsi
KPPAA yang meliputi aspek pengawasan kelembagaan,
kasus/tematik, media, dan pengawasan masyarakat, data dan
informasi, penelaahan pengaduan masyarakat, mediasi
sengketa pelanggaran hak anak serta koordinasi dan
kerjasama KPPAA

BAB IV SITUASI PERLINDUNGAN ANAK ACEH


Bab ini menjelaskan tentang situasi perlindungan anak
Aceh dari aspek agama, budaya dan pendidikan, aspek
pengembangan SDM, data, informasi dan sosialisasi, aspek
ABH, traficking, eksploitasi dan kekerasan, aspek lingkungan
keluarga dan pengasuhan alternatif, aspek hak sipil,
partisipasi, kesehatan, sosial, aspek anak dalam situasi
darurat, aspek anak berkebutuhan khusus serta kendala dan
tantangan kelembagaan

BAB V PENUTUP

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 6


Bab ini memuat kesimpulan dari penjelasan bab-bab
sebelumnya dan saran / rekomendasi KPPAA terkait
peningkatan kualitas pelaksanaan perlindungan anak di Aceh

BAB II
ORGANISASI KOMISI PENGAWASAN DAN
PERLINDUNGAN ANAK ACEH (KPPAA)

A. Kelembagaan KPPAA
1. Visi

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 7


Dalam melaksanakan mandat dan mencapai tujuan
KPPAA diperlukan visi KPPAA yang jelas dan tegas. Atas
dasar mandat, tugas dan fungsinya serta pemikiran di atas
dirumuskan Visi KPPAA, yaitu: Terwujudnya Aceh yang
Ramah dan Layak Anak

2. Misi
Adapun misi KPPAA adalah : Meningkatkan
komitmen para pemangku kepentingan dalam
pelaksanaan perlindungan anak.
Dalam meningkatkan komitmen para pemangku
kepentingan dalam pelaksanaan perlindungan anak,
KPPAA mengupayakan adanya:
a. Sistem Perlindungan Anak
b. Jejaring pengawasan perlindungan anak;
c. Peningkatan jumlah dan kompetensi pengawas
perlindungan anak;
d. Peningkatan kuantitas, kualitas, dan utilitas laporan
pengawasan perlindungan anak;
e. Peningkatan kapasitas, aksesibilitas, dan kualitas
layanan pengaduan masyarakat;
f. Optimalisasi kinerja organisasi KPPAA;
g. Peningkatan pemahaman dan peran serta masyarakat
dalam perlindungan anak.
h. Pengarusutamaan Hak Anak dalam Kebijakan dan
Program Pembangunan di Aceh
i. Penguatan Koordinasi dan Kolaborasi Lintas Sektor.

3. Prinsip-prinsip
Prinsip-prinsip KPPAA adalah asas kebenaran yang
menjadi pokok dasar berpikir dan bertindak KPPAA dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya. Prinsip-prinsip
tersebut menjadi pedoman kelembagaan sekaligus
mengikat Komisioner KPPAA dalam melaksanakan
pengawasan.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 8


Adapun prinsip-prinsip dimaksud antara lain:
a. Independen
b. Non Diskrimininasi
c. Kemitraan
d. Koordinasi
e. Integrasi
f. Sinkronisasi
g. Profesionalisme

B. Tugas dan fungsi KPPAA


Adapun tugas dan fungsi KPPAA sesuai yang termaktub
dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 85 tahun 2015
tentang Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh
adalah sebagai berikut:
1. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
perlindungan dan pemenuhan hak anak
2. Memberikan masukan dan usulan dalam perumusan
kebijakan tentang penyelenggaraan perlindungan anak
3. Melaksanakan, mengumpulkan data dan informasi
mengenai perlindungan anak
4. Menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan
masyarakat mengenai pelanggaran hak anak
5. Melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak
6. Melakukan kerjasama dengan lembaga yang dibentuk
masyarakat di bidang perlindungan anak
7. Memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang
adanya dugaan pelanggaraan terhadap undang-undang
perlindungan anak dan
8. Menyampaikan laporan tahunan pertanggungjawaban
pelaksanaan tugas kepada Gubernur dengan tembusan
kepada kepala satuan kerja perangkat Aceh yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perlindungan anak.

C. Isu, Tujuan, dan Program Strategis


1. Isu Strategis
Adapun isu strategis perlindungan anak di Aceh yang
diidentifikasi oleh KPPAA saat ini antara lain:

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 9


a. Tingginya angka kekerasan dan perlakuan salah
terhadap anak di Aceh.
b. Lemahnya sistem pengawasan pelaksanaan
perlindungan anak di Aceh
c. Lemahnya sistem pengarusutamaan hak anak dalam
kebijakan dan program pembangunan di lintas sektor.
d. Lemahnya koordinasi dan kolaborasi lintas sektor di
Aceh dalam pemenuhan kak dan perlindungan anak.
e. Rendahnya kualitas pelayanan pemenuhan hak dan
perlindungan anak, dalam berbagai sektor.

2. Tujuan Strategis
Adapun tujuan strategis perlindungan anak yang
dirumuskan oleh KPPAA adalah sebagai berikut:
a. Penguatan Sistem Perlindungan Anak melalui
pengarusutamaan hak anak dalam setiap kebijakan
dan program pembangunan yang dilaksanakan
SKPA/SKPK.
b. Penguatan Koordinasi, Kolaborasi, sinergisasi dan
kerjasama lintas sektor.
c. Penguatan pemantauan perlindungan anak yang
berhadapan dengan hukum di masyarakat dan lembaga
peradilan.
d. Pemantauan pemenuhan hak anak dalam berbagai
sektor pembangunan, terutama pembangunan sosial,
pendidikan dan kesehatan.
e. Meningkatkan perencanaan dan penganggaran yang
responsif hak anak
f. Meningkatkan pemahaman dan kapasitas kelembagaan
KPPAA tentang berbagai UU dan kebijakan terkait
perlindungan anak.

3. Strategi Program KPPAA


Secara umum pengertian strategi adalah proses
penentuan rencana yang berfokus pada tujuan jangka

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 10


panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau
upaya bagaimana tujuan organisasi dapat dicapai.
Adapun strategi program KPPAA adalah sebagi
berikut:
a. Penggunaan Sistem Perlindungan Anak (SPA) sebagai
basis pelaksanaan tugas dan fungsi, yang meliputi tiga
komponen sistem:
1) Sistem norma dan kebijakan, meliputi aturan dalam
perundang-undangan maupun kebijakan
turunannya baik di tingkat pusat maupun daerah;
2) Struktur dan pelayanan, meliputi bagaimana
struktur organisasi, kelembagaan dan tata-
laksananya, siapa saja aparatur yang bertanggung
jawab dan bagaimana kapasitasnya;
3) Proses, meliputi bagaimana prosedur, mekanisme
kordinasi, dan SOP-nya.

b. Penguatan (empowering) yang ditujukan pada tiga hal,


yaitu:
1) Penguatan kapasitas kelembagaan dan SDM yang
profesional, kredibel dan terstruktur, sehingga
diharapkan tugas dan fungsi KPPAA dapat
berlangsung dengan efektif dan efisien;
2) Penguatan kesadaran masyarakat untuk mendorong
tersedianya sarana dan prasarana pendukung yang
memberikan kemudahan akses terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak di semua
sektor;
3) Penguatan mekanisme sistem rujukan (reveral
system) dalam penerimaan pengaduan, Hal ini
dipandang penting untuk memantapkan proses

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 11


penanganan masalah perlindungan anak yang
bersumber dari pengaduan masyarakat.

c. Perspektif dan pendekatan yang holistik, komprehensif


dan bukan parsial dalam merespon masalah atau
kasus. Masalah atau kasus anak tidak pernah berdiri
sendiri namun selalu beririsan dengan berbagai aspek
kehidupan yang kompleks;

d. Diseminasi konsep Aceh Ramah dan Layak Anak pada


berbagai pemangku kewajiban dan penyelenggara
perlindungan anak yang meniscayakan adanya child
right mainstreaming dalam segala aspek dan level
pembangunan secara berkelanjutan;

e. Kemitraan strategis dengan pemerintah dan civil society


dalam setiap bidang kerja dan isu agar setiap
permasalahan bisa mendapatkan rekomendasi dan
solusinya yang tepat, serta terpantau
perkembangannya.

4. Program Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh


Berdasarkan hal-hal di atas, maka disusun program
pengawasan dan perlindungan anak yang akan dijalankan
KPPAA pada tahun 2018.

a. Pengawasan Kelembagaan SKPA/SKPK


Penyelenggara Perlindungan Anak
Kegiatan :
1) Pengawasan pelaksanaan kegiatan Dinas terkait,
P2TP2A Propinsi dan Kabupaten/Kota.
2) Pengawasan pelaksanaan LPKS Propinsi dan
Kabupetan/Kota.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 12


3) Pengawasan pelaksanaan Lembaga Kesejahteraan
Sosial Anak (LKSA/Panti Asuhan) di
Kabupaten/Kota.
4) Diseminasi hasil pengawasan
5) Penyusunan Rekomendasi Kebijakan

b. Pengawasan Pelaksanaan Pemenuhan Hak dan


Perlindungan Anak di Kabupaten/Kota.
Kegiatan :
1) Pengawasan penanganan kasus di Kabupaten/Kota.
2) Pengawasan isu kekerasan terhadap anak di
Kabupaten/Kota.
3) Diseminasi hasil pengawasan
4) Penyusunan Rekomendasi Kebijakan

c. Advokasi Kebijakan terkait Pemenuhan Hak dan


Perlindungan Anak
Kegiatan :
1) Advokasi Kebijakan pembangunan Sistem
Perlindungan Anak tingkat propinsi,
kabupaten/kota dan desa.
2) Advokasi kebijakan terkait ABH
3) Advokasi program dan anggaran terkait anak
4) Advokasi PUHA pada lintas sektor dan lintas isu.
5) Advokasi PUHA pada Dunia Usaha

d. Pendataan
Kegiatan :
1) Pengumpulan Data kasus Perlindungan Anak
melalui kerjasama dengan lintas sektor terkait.
2) Pembangunan data base
3) Pengumpulan data kelembagaan terkait
Perlindungan Anak.

e. Mediasi dan Koordinasi Penanganan Kasus


Kegiatan :
1) Mediasi kasus terkait perlindungan anak.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 13


2) Koordinasi penanganan kasus dengan lembaga
penyedia layanan.
3) Penyusunan Rekomendasi Kebijakan terkait kasus
dan penanganan kasus.

f. Kerjasama dan Koordinasi Lintas Sektor


Kegiatan :
1) Koordinasi dan Kerjasama dengan lintas sektor.
2) Koordinasi dan kerjasama dengan Dunia Usaha.

g. Pembangunan Kapasitas
Kegiatan :
1) Pembangunan kapasitas pengawasan perlindungan
Anak.
2) Pembangunan kapasitas lembaga penyedia layanan
penanganan kasus kekerasan pada anak.
3) Pembangunan kapasitas pengambil kebijakan di
propinsi dan kabupaten/kota.
4) Pembangunan kelembagaan dan SDM kapasitas
KPPAA

h. Membangun mekanisme pemantauan hak anak.


Kegiatan :
1) Penyusunan mekanisme pengawasan dan
pemantauan perlindungan anak.
2) Diseminasi mekanisme pengawasan dan
pemantauan perlindungan anak.

D. Struktur dan Profil KPPAA


1. Struktur KPPAA
Anggota KPPAA pada awal terbentuk terdiri terdiri
dari :

NO NAMA UNSUR JABATAN KET


1. DR. Muhammad AR, M.Ed Pemerintah Ketua
2. Nyak Arief Fadhillah Syah, S. Tokoh Wakil Ketua
Ag, MH Masyarakat
3. Ayu Ningsih, SH Ormas Anggota
4. Firdaus D. Nyak Idin Praktisi Anggota

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 14


5. Tgk. Muhammad Hatta, LC, Ulama Anggota
M.Ed

Pada perekembangannya seorang Komisioner


mengundurkan diri dengan berbagai alas an dan
pertimbangan. Sehingga struktur disesuaikan menjadi :

NO NAMA UNSUR JABATAN KET


1. DR. Muhammad AR, M.Ed Pemerintah Ketua
2. Ayu Ningsih, SH Ormas Wakil Ketua
3. Firdaus D. Nyak Idin Praktisi Anggota
4. Tgk. Muhammad Hatta, LC, Ulama Anggota
M.Ed
5.

Disamping tugas dan fungsi kelembagaan yang melekat


pada setiap anggota komosioner, pembagian tugas setiap
komisioner juga didasarkan pada pembidangan tugas dan fungsi
sebagai berikut :
Tabel 3
Bidang Tugas dan Fungsi
No Bidang Koordinator
1 Agama, Budaya dan Pendidikan, Muhammad AR
Pengembangan SDM, Data dan
Informasi
2 Anak Berhadapan Dengan Hukum, Ayu Ningsih
Traficking, Eksploitasi dan Kekerasan
3 Hak Sipil, Partisipasi, Kesehatan, Sosial, Firdaus D Nyak Idien
Anak Situasi Darurat, Anak
berkebutuhan Khusus
4 Keluarga dan Pengasuhan Alternatif Muhammad Hatta
5
Sumber Data: Bidang SDM, Data dan Informasi KPPAA

E. Kesekretariatan, Anggaran, dan Koordinasi


1. Kesekretariatan
Kesekretariatan KPPAA menginduk pada Satuan Kerja
Perangkat Aceh yaitu Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Aceh.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 15


2. Anggaran
Anggaran menempel pada Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh. Pada tahun 2018
anggaran KPPAA tersedia sebesar 594.050.000 (lima ratus
sembilan puluh empat juta lima puluh ribu rupiah). Atau
menurun dibandingkan anggaran tahun 2017 sebesar Rp.
639.350.000 (enam ratus tiga puluh sembilan juga tiga ratus
lima puluh ribu rupiah). Anggaran tahun 2018 secara
umum digunakan untuk kegiatan operasional sekretariat,
kegiatan pengawasan ke 5 Kabupaten/Kota, 2 kali
Koordinasi ke luar daerah dan honor.

3. Koordinasi
Fungsi Koordinasi pada KPPAA adalah koordinasi
lintas sektor di tingkat provinsi, maupun Kabupaten/Kota.
Fungsi koordinasi juga dijalankan dalam hal pengawasan.
Sepanjang tahun 2018 KPPAA telah melakukan koordinasi
dengan KPAI.
Koordinasi juga dilakukan dengan Lintas Sektor di 5
Kabupaten/Kota baik dalam konteks pengawasan program
maupun dalam konteks pengawasan kasus. Koordinasi
lintas sektor tingkat provinsi telah dilakukan pada 10
SKPA.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 16


BAB III
PELAKSANAAN TUGAS DAN
FUNGSI KPPAA

Selama tahun 2018, KPPAA telah menjalankan beberapa


program kerja dan kegiatan yang telah mendapatkan beberapa
capaian.

A. Kinerja berdasarkan Tujuan Strategis


Pelaksanaan tugas dan fungsi KPPAA berdasarkan
tujuan strategis antara lain:

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 17


1. Penguatan Sistem Perlindungan Anak melalui
pengarusutamaan hak anak dalam setiap kebijakan dan
program pembangunan yang dilaksanakan SKPA/SKPK.
KPPAA berkontribusi dengan :
a. Pengembangan Sistem Perlindungan Anak (SPA) secara
Nasional dan Lokal Aceh, Sebagai satu strategi dalam
perlindungan Anak.
b. Bekerjasama dengan Kementerian PP dan PA serta
Dinas PP dan PA melakukan pelatihan SPA sebanyak 2
(dua) angkatan.
c. Melakukan pertemuan dengan SKPA terkait. Secara
formal maupun non formal seperti Polda, Dinas Sosial
Aceh, DP3A Aceh, Mahkamah Syariyah, BKKBN,
P2TP2A, LPKS dan mensosialisasikan konsep SPA.
d. Menjadi pendamping pada beberapa program SKPA
terutama dalam menjaga alur dalam SPA.
e. Implementasi SPA melalui Pendampingan dan
Penguatan Komite Pelayanan Rehabilitasi Sosial Anak
Berhadapan dengan Hukum (KPRS ABH).
f. Implementasi SPA melalui Pendampingan dan
Penguatan Program Kesejahteraan Sosial Anak
Integratif pada Dinas Sosial Aceh.
g. Implementasi SPA melalui advokasi dan inisiasi
pembentukan Pusat Kesejahteraan Sosial Anak
Integratif pada Dinas Sosial Aceh, Dinas Sosial Aceh
Barat, Dinas Sosial Banda Aceh, Dinas Sosial
Lhokseumawe.
h. Membangun SPA melalui Pendampingan dan Penguatan
Pokjanal Posyandu Aceh pada Dinas Pemberdayaan
Masyarakat dan Gampong (DMPG) Aceh.
i. Influens SPA melalui advokasi isu pemenuhan hak dan
perlindungan pada kelompok kerja pelestarian adat dan

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 18


budaya Aceh serta masyarakat adat pada Dinas
Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DMPG) Aceh.
j. Membangun SPA melalui pendampingan Program
Pembangunan Desa Ramah Anak pada Dinas
Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DMPG) Aceh.
k. Mendorong pembentukan Komisi Pengawasan dan
Perlindungan Anak di Kabupaten Kota.

2. Penguatan Koordinasi, Kolaborasi, sinergisasi dan


kerjasama lintas sektor.
KPPAA berkontribusi :
a. Pada tingkat propinsi, KPPAA melakukan pertemuan
dengan Lintas Sektor terkait seperti Bappeda, Dinas PP
dan PA, Dinas Sosial, Mahkamah Syariya, DPMG, MAA,
Dinas Syariat Islam, LPKS, P2TP2A. Pada beberapa
program yang dilaksanakan oleh lintas sektor, KPPAA
mendorong adanya koordinasi yang kuat antar sektor.
Bila perlu membentuk tim atau kelompok kerja yang
khusus semisal KPRS ABH, Pokja PA, Pokja ABK,
Gugus tugas KLA, Gugus Tugas Anti Trafiking, Tim
Fasilitasi PDRA, Tim PKSAI, dan sebagainya. Wadah ini
menjadi wadah koordinasi rutin.
b. KPPAA juga melakukan koordinasi dengan SOS Desa
Taruna, LRSAMPK Darussaadah, PKBI, PKPM,
Perguruan tinggi.
c. KPPAA juga menjadi bagian penting dalam kolaborasi
dan koordinasi antara sektor sosial dan dunia usaha
melalui Forum CSR Kessos Aceh.
d. Pada tingkat Kabupaten/Kota KPPAA melakukan
pertemuan dengan Dinas Sosial, Dinas PP dan PA,
P2TP2A, LPKS. KPPAA juga mendorong adanya tim atau
pokja di kabuoaten/kota.
e. KPPAA juga sering menjadi leading dalam kegiatan
pertemuan koordinasi dan kolaborasi lintas sektor

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 19


dalam berbagai kegiatan terkait anak. Hal ini termasuk
dalam menjaga alur SPA, PUHA dan KLA. Dengan ini,
KPPAA tetap dapat mendorong mainstreaming SPA,
PUHA, KLA dsbnya di Aceh.
f. Koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dan
lintas sektor di 6 kabupaten/kota seluruh Aceh.
Koordinasi dilakukan dengan Bupati/Wakil Bupati,
Walikota/Wakil Walikota, DPRK, DP3A setempat, Dinas
Sosial setempat, Polres setempat, P2TP2A setempat dan
Peksos setempat serta jaringan perlindungan Anak
setempat.

3. Penguatan pemantauan perlindungan anak yang


berhadapan dengan hukum di masyarakat dan lembaga
peradilan.
KPPAA berkontribusi :
a. Membangun SPA dalam konteks peradilan anak.
Sehingga proses peradilan benar-benar dapat memberi
keadilan yang memulihkan.
b. Melakukan pertemuan berkala dengan Mahkamah
Syar’iyah, Pengadilan Negeri, Polda, Bapas dan LAPAS.
Termasuk dengan penyedia layanan seperti P2TP2A dan
LPKS. Pada pertemuan berkala ini, KPPAA lebih banyak
melakukan update dan konfirmasi atas kasus yang
terjadi namun belum tertangani dengan baik. Atau
ditangani namun tidak sesuai dengan konsepsi
perlindungan anak. Terutama upaya pemenuhan hak
anak dan mendorong adanya kebijakan perlindungan
anak di instansi terkait.
c. Melakukan pengawasan penanganan kasus kekerasan
terhadap anak di seluruh Aceh yang dilakukan oleh
lintas sektor seperti P2TP2A, LPKS dan Peksos. Selain
melakukan pengawasan atas proses dan prosedur,

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 20


KPPAA juga melakukan penguatan kapasitas para
pekerja sosial terutama terkait penguatan jaringan dan
konsep pemuhan hak dan perlindungan anak yang
jangan sampai terabaikan.
d. Melakukan pengawasan dan pemantauan
perkembangan penanganan kasus di 5 (lima)
Kabupaten/Kota di Aceh. Hasil pemantauan telah
dikomunikasikan dengan lintas sektor terkait di
Kabupaten/Kota setempat. Terutama diperlukan
adanya keberpihakan kebijakan dan anggaran yang
memadai bagi perlindungan anak di semua level.
e. Melakukan sosialisasi Perlindungan Anak terutama
ABH di 5 (lima) Kabupaten/Kota. Sosialisasi dan
koordinasi dilakukan KPPAA dengan DPRK, Kepala
Daerah, P2TP2, Dinsos dan Polres. Hal ini dilakukan
sebagai salah satu upaya PUHA dan mendorong
terbentuknya KPPA di Kabupaten/Kota.
f. Pemantauan kasus pelecehan seksual di RSUZA,
dimana tersangka akhirnya bebas karena tidak ada
bukti. CCTV menjadi kebutuhan penting bagi RSUZA
terutama pada titik-tik rawan kekerasan.
g. Pemantauan kasus prostitusi anak di Aceh Barat.
KPPAA melakukan pertemuan intensif dengan P2TP2A
Aceh Barat, Polres Aceh Barat dan pihak terkait
lainnya. Terutama dalam melindungi anak (korban) dan
antisipasi agar tidak terjadi lagi.
h. Melakukan pertemuan dengan SOS dan LRSAMPK
Darussadah agar tetap berkenan menjadi rumah
aman/rumah singgah bagi korban kekerasan terutama
kekerasan seksual yang mengakibatkan anak harus
dievakuasi keluar lokasi kejadian.
i. Pengawasan kasus kekerasan terhadap anak di RSU
Sigli yang terindikasi dilakukan oleh keluarga. Dalam

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 21


pengawasan ini KPPAA menemukan kesimpangsiuran
informasi dan penanganan. Sehingga dalam pertemuan
dengan beberapa pihak terutama P2TP2A Pidie dan
Peksos Pidie, KPPAA menekankan pentingnya
koordinasi intens dalam bentuk konferensi kasus. Agar
informasi yang didapat jelas dan menyeluruh.
j. Audiensi dan pertemuan lintas sector terutama dengan
Polda dan Kejati, terutama terkait penanganan ABH
yang semakin bergerak keluar jalur UU SPPA. Untuk itu
KPPAA memberi dorongan agar semua kasus yang
melibatkan anak, apabila diselesaikan dalam jalur
hukum agar tetap menggunakan UU 11/12 SPPA.
Terutama kasus kekerasan berat seperti pelecehan
seksual dan perkosaan.
k. KPPAA menggandeng stakeholder terkait untuk
menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga terkait
sebagai mitra rujukan ABH untuk dilakukan upaya
pendampingan hukum bagi Anak kepada Organisasi
bantuan Hukum (OBH) yang telah terakreditasi oleh
kementerian Hukum dan HAM. Sedangkan apabila
kasus ABH anak yang menjadi korban tindak pidana
maka KPPAA akan merujuk korban kepada lembaga
rehabilitasi dan P2TP2A.
l. KPPAA sesuai amanah undang-undang Perlindungan
Anak dan undang-undang Sistem Peradilan Pidana
Anak yang sudah ditetapkan melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2017 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Koordinasi, Pemantauan, Evaluasi, dan
Pelaporan Sistem Peradilan Pidana Anak. Dimana
dalam PP ini peran dan fungsi KPAI dan KPAD dalam
pengawasan implementasi SPPA di pusat dan daerah
semakin kuat seperti yang tertera pada Pasal 94 ayat (4)

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 22


UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Anak sebagai dasar hukum terhadap aspek
pelaksanaan koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan dalam sistem peradilan anak.
m. KPPAA sebagai bagian dari KPAI di daerah ikut
melakukan pengawasan terhadap ABH di daerahnya.
Kegiatan pemantauan yang dilakukan pada bidang ABH
baik yang bersifat reguler dan non reguler lebih banyak
kepada kasus-kasus yang memiliki esensi perhatian
masyarakat luas yang dapat berdampak sistemik pada
upaya perlindungan anak. Kasus-kasus yang pernah
dan atau sedang ditangani Bidang Anak Berhadapan
dengan Hukum KPPAA mendapatkan pengaduan yang
sangat kompleks, tetapi pengaduan didominasi kasus
kekerasan dan kejahatan seksual (pemerkosaan,
pencabulan, pelecehan seksual, dan sebagainya).
n. Menguatkan mekanisme pengaduan berbasis aplikasi
untuk ABH dengan melibatkan lembaga pemberi
layanan melalui layanan pengaduan terintegratif.

4. Pemantauan pemenuhan hak anak dalam berbagai


sektor pembangunan, terutama pembangunan sosial,
pendidikan dan kesehatan.
KPPAA berkontribusi:
a. Pemantauan PHPA pada Lembaga Kesejahteraan Sosial
Anak (LKSA/PantiAsuhan Anak) di seluruh Aceh dan
memberi masukan pada pemerintah dalam melakukan
pembangunan kapasitas LKSA.
b. Pemantauan pelaksanaan program PKH, terutama
terkait adanya sanksi pemutusan bantuan bagi KPM
yang tidak menjalankan komitmen. Dalam hal ini
KPPAA mendorong agar pendamping PKH lebih proaktif
agar tidak terjadi pemutusan bantuan.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 23


c. Pemantauan dan pengawasan penanganan anak oleh
Pekerja Sosial dan TKSK. Secara umum tugas utama
Peksos dan TKSK sangat terkait dengan anak.
d. Pemantauan dan pengawasan pembenrian bantuan
kursi roda adaptif bagi anak dengan cerebral palsy.
Bantuan diberikan oleh pihak ketiga dari Jakarta.
Namun beberapa anak belum terdata sehingga tidak
mendapat bantuan tahun 2018.
e. Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan penerimaan
siswa baru. Terkait ada tidaknya diskriminasi yang
mungkin dialami oleh calon siswa. KPPAA membuka
pos pengaduan untuk hal ini.
f. Pengawasan pelaksanaan program penurunan stunting
di Aceh. KPPAA menjadi salah satu yang memberi
masukan penting tentang keterlibatan kelompok ulama
dan kelompok masyarakat Adat. KPPAA juga menjadi
tim pengawas pelaksanaan program stunting.
g. Pengawasan kasus kematian anak di puskesmas
maupun rumah sakit seperti di Aceh Barat. Untuk
kasus ini KPPAA lebih banyak mengawasi proses pasca
kejadian yang dijalankan oleh pihak puskesmas dan
rumah sakit. Salah satu catatan penting adalah
kurangnya komitmen dan kapasitas tenaga para medis
serta lemahnya pengawasan dari instansi diatas,
h. Pengawasan pelaksanaan imunisasi terutama MR di
Aceh. KPPAA menyoroti prosedur yang terkesan
membuat anak stress dan tertekan. Perlu adanya upaya
yang lebih ramah dan menyenangkan sehingga anak
tidak merasa takut dan tertekan.
i. Melakukan pengawasan penanganan kasus pelecehan
seksual anak di RSUZA. Dalam kasus ini KPPAA juga
lebih menyoroti penanganan pasca kejadian pada level
rumah sakit agar peristiwa serupa tidak terjadi. KPPAA

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 24


mendorong rumah sakit untuk memperkuat lapisan
pengawasan terutama bagi pasien dalam kondisi
terbius.

5. Meningkatkan kapasitas perencanaan dan penganggaran


yang responsif hak anak.
KPPAA berkontribusi :
a. Melakukan analisis anggaran yang digunakan oleh
SKPA untuk persatuan kegiatan perlindungan Anak,
dan memberikan masukan pada pemerintah secara
umum. Terutama keberpihakan anggaran yang secara
mendasar dibutuhkan dalam upaya pemenuhan hak
dan perlindungan anak. Terutama anggaran untuk
sosialisasi dan bimbingan teknis tentang Sistem
Perlindungan Anak, KHA, Sistem Peradilan Anak,
penanganan kasus kekerasan pada anak, penanganan
kerentanan pada anak dan pendataan.
b. Melakukan koordinasi dengan Bappeda Propinsi dan
Kabupaten/Kota. Hal ini dilakukan terkait advokasi
anggaran, advokasi kebijakan dan advokasi program.
Salah satunya adalah SPA, KLA dan PKSAI.
c. Sosialisasi SPA pada kalangan SKPA yang terkait
perencanaan dan penganggaran, dengan harapan
adanya keberpihakan perencanaan pada isu
perlindungan anak.
d. Melakukan komunikasi via surat kepada seluruh SKPA
di Aceh untuk menyusun perencanaan dan
penganggaran yang rensponsif anak. Hal ini adalah
kegiatan rutin utnuk terus mengingatkan SKPA/SKPK
e. Advokasi penganggaran bagi KPRS ABH. KPRAS ABH
adalah salah satu wadah koordinasi yang sudah
terbentuk, tentu membutuhkan sekadar anggaran
untuk beroordinasi.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 25


f. Advokasi anggaran bagi implemtasi PKSAI. Pusat
Kesejahteraan Sosial Anak Integratif sebagai salah satu
inovasi yang perlu didorong dan didampingi secara
komprehensif.
g. Advokasi anggaran PHPA di LKSA. Selama ini, LKSA
lebih banyak disupport hanya oleh satu SKPA (Dinas
Sosial) untuk permakanan. Sementara kebutuhan anak
dalam LKSA beragam seperti pendidikan, kesehatan,
gizi, sarana ibadah, sarana pendidikan, sarana rekreasi,
sarana budaya dan keterampilan, dan sebagainya. Perlu
adanya dukungan dari lintas sektor terkait,
h. Advokasi anggaran dan program Non Formal untuk
Santri Dayah dan Siswa sekolah/madrasah.

6. Meningkatkan pemahaman dan kapasitas kelembagaan


KPPAA tentang berbagai UU dan kebijakan terkait
perlindungan anak.
KPPAA melakukan :
a. FGD dan Workshop rutin internal
b. FGD tematik internal
c. Mengikuti Pelatihan dan workshop eksternal.
d. Upgrade Visi dan Misi, Program Kerja, renstra dan SOP

B. Kinerja Berdasarkan Tupoksi


Pelaksanaan tugas dan fungsi berdasarkan Tupoksi
antara lain sebagai berikut:

1. Aspek Pengawasan :
a. Pengawasan Kelembagaan
Pengawasan kelembagaan yaitu melakukan
pengawasan implementasi UU Perlindungan Anak,
terhadap kelembagaan pemerintah seperti SKPA/SKPK,
Badan dan instansi pemerintah dan Pelayan Publik
lainnya, termasuk BUMN/BUMS, mencakup :

1) Pengawasan perencanaan

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 26


KPPAA telah melakukan konsultasi dan
koordinasi dengan lintas sektor.
Hasil : tidak ada lintas sektor yang
melibatkan anak dan atau mempertimbangkan
suara anak dalam perencanaan program.

2) Pengawasan Anggaran
Pengawasan terhadap alokasi anggaran
yang ditetapkan. Berdasarkan pertemuan
konsultasi dan koordinasi, dapat disimpulkan
bahwa anggaran lintas sektor belum sepenuhnya
mencerminkan keberpihakan pada kebutuhan
Kesejahteraan dan Perlindungan Anak. Masih
minimnya anggaran pencegahan dan penanganan
kasus, terutama di kabupaten/kota. Sektor
kesehatan memiliki anggaran yang cukup besar,
namun masih rendah dalam Sektor pemenuhan
standar gizi anak. Alokasi dana Pendidikan yang
juga besar namun masih lebih banyak untuk
program fisik dan sekolah. Namun masih sangat
rendah untuk pendidikan non formal serta
penanganan anak putus sekolah. Pada Sektor
sosial, anggaran LKSA masih pada taraf
permakanan dan Dinas Sosial bekerja sendiri
mensupport LKSA, walaupun sebenarnya masih
sangat dibutuhkan keterlibatan sektor PU,
Kesehatan dan Pendidikan di LKSA.
Pada tataran Kabupaten/Kota, KPPAA
menemukan hampir di semua Kabupaten/Kota,
anggaran yang digunakan untuk PHPA sangat
minim dan bahkan tidak ada. Baik anggaran
untuk pencegahan maupun penanganan kasus.
Hampir disemua sektor.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 27


3) Pengawasan Kebijakan
Aceh sudah memiliki Qanun Perlindungan
Anak, yaitu Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Perlindungan Anak, Pergub Nomor 38
Tahun 2015 Tantang Pembentukan Gugus Tugas
Pencegahan dan Penanganan Pornografi, dan
Pergub KPPAA (85/2015). Pada sektor Pendidikan,
Aceh sudah memiliki Qanun Pendidikan (9/2015),
Pergub Mutu Pendidikan (7/2010) dan Pergub
PAUD HI (88/2012). Pada sektor Kesehatan ada
Qanun Kesehatan (4/2010), Pergub JKRA (7/2016
dan 30/2017), Sektor Pemberdayaan Masyarakat
ada Pergub Pengintegrasian Layanan Sosial Dasar
di Posyandu (80/2012). Pada sektor Sosial sudah
ada Qanun Kesejahteraan Sosial (11/2013).
KPPAA rutin melakukan koordinasi dan
konsultasi serta memberi masukan agar
perencanaan dan pelaksanaan program senantiasa
dilandaskan pada kebijakan dimaksud.

b. Pengawasan Program/Kegiatan
Beberapa program Pemenuhan Hak dan
Perlindungan Anak yang dipantau KPPAA antara lain
Forum Anak, PATBM, Puspaga, P2TP2A, KLA, LPKS,
Anti Trafiking, Pencegahan dan Penanganan Pornografi,
Sekolah Ramah Anak, Puskesmas Ramah Anak, Desa
Ramah Anak, Program Kesejahteraan Sosial Anak,
Program keluarga Harapan, Posyandu, PAUD,
Pendidikan formal, Pendidikan Dayah, dansebagainya.
Pada dasarnya program kegiatan dimaksud
sangat bermanfaat bagi pemenuhan hak dan
perlindungan anak. Namun lebih banyak program

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 28


kegiatan dimaksud hanya ada pada tingkat SKPA.
Sementara pada tingkat SKPD, program kegiatan
dimaksud masih sangat sedikit bahkan tidak ada. Ini
menjadi PR bagi Pemerintah Aceh agar program
kegiatan pemenuhan hak dan perlindungan anak dapat
terlaksana merata diseluruh Aceh.

c. Pengawasan Penanganan/Pelayanan
P2TP2A Aceh dan LPKS Aceh sebagai lembaga
yang khusus melakukan penanganan ABH, secara
umum dipandang sudah memadai dalam pemenuhan
hak dan perlindungan anak. Walaupun masih sangat
fluktuatif dan memerlukan penguatan yang terus
menerus. Hanya saja, kapasitas yang cukup di kedua
lembaga dimaksud, tidak diikuti oleh lembaga sejenis di
Kabupaten/Kota. Secara kelembagaan, mandat P2TP2A
di propinsi dan Kabupaten/Kota masih sangat lemah,
demikian juga LPKS. Namun LPKS diperkuat oleh
Pekerja Sosial yang secara mandat kuat sesuai UU
Sistem Peradilan Pidana Anak 11/2012. Tahun 2019
direncanakan P2TP2A Aceh menjadi UPTD, sehingga
mandat kelembagaan bisa lebih kuat.
Penting bagi P2TP2A untuk memperkuat mandate
bagi pekerja sosialnya. Untuk itu perlu menjalin
kerjasama lebih kuat dengan Dinas Sosial Aceh dan
membicarakan secara khusus tentang sertifikasi peksos
di jajaran P2TP2A.
Disamping itu, Aceh belum memiliki lembaga
pelayanan khusus yang memadai, terutama bagi anak
dengan disabilitas maupun anak berkebutuhan khusus
lainnya. Baru ada pusat penanganan Autis di Banda
Aceh dan SLB di beberapa wilayah saja.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 29


d. Pengawasan kasus/tematik
Pengawasan kasus/tematik yaitu pengawasan
yang dilakukan KPPAA terhadap tema-tema tertentu
secara umum dan tidak terikat pada kelembagaan. Baik
yang terjadi pada rentang waktu tertentu maupun
hanya pada satu peristiwa tertentu saja. Antara lain :
1) Kekerasan Terhadap Anak
2) Kasus kematian bayi/balita
3) Pornografi
4) Anak yang dilacurkan
5) Perdagangan Anak,
6) Pekerja Anak
7) Malnutrisi/Stunting
8) Narkoba/Napza
9) Dsb
Sepanjang tahun 2018 KPPAA melakukan
pengawasan tematik di Aceh Barat, kasus kematian
bayi, kasus prostitusi anak, kasus kematian anak. Di
Pidie, terkait kasus penelentaran anak dan kekerasan
anak. Di Aceh Utara terkait kasus kekerasan anak. Di
Aceh Timur dan Langsa terkait kasus trafiking. Di
Bireuen terkait kasus penculikan anak.

e. Pengawasan Media
Tahun 2018 KPPAA tetap melakukan pengawasan
media. Namun masih pada taraf pengawasan media
cetak mainstream. Belum melakukan pengawasan pada
media online. Hal ini terkait formalitas media online.
Sementara media cetak mainstream seperti Harian
Serambi Indonesia dan Harian Rakyat Aceh merupakan
media cetak jaringan nasional yang sudah memiliki
perizinan dan lebih terjamin pertanggung jawabannya.
Dalam hal ini, KPPAA baru pada tahap mengumpulkan
berita dan informasi yang disajikan media cetak
dimaksud.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 30


f. Pengawasan Masyarakat terkait Adat, istiadat,
budaya dan kebiasaan
KPPAA melakukan pengawasan pada tema ini,
lebih kepada adat dan istiadat yang nampak
dipermukaan namun lebih khusus adat istiadat
sifatnya tidak mendukung, menghambat atau bahkan
menyebabkan perlakuan salah pada anak. Namun
KPPAA belum pernah melakukan kajian khusus dan
mendalam pada tema ini.
Pada tahun 2018, KPPAA melakukan koordinasi
khusus dengan MAA dan Kelompok Kerja Pelestarian
Adat dan Budaya Aceh (Pokja PABA), untuk
memasukkan isu perlindungan anak dalam tema adat.
Dalam tahun 2018, KPPAA bekerjasama dengan
PKPM/RJWG melakukan sosialisasi penanganan kasus
ABH melalui mekanisme adat.
Secara umum dari hasil koordinasi, konsultasi
dan pengawasan di beberapa gampong. Tidak
ditemukan adat istiadat dan budaya Aceh yang secara
langsung menghambat pemenuhan hak dan
perlindungan anak, serta menjadi penyebab perlakuan
salah pada anak.
Namun sering terjadi, dalih adat istiadat dan
budaya yang ditafsirkan secara salah dan digunakan
secara salah yang menyebabkan upaya pemenuhan hak
dan perlindungan anak terhambat bahkan
menyebabkan perlakuan salah pada anak. Misalnya izin
merokok pada ank yang dalam proses khitan, anak
yang harus patuh pada orangtua termasuk untuk
membelikan rokok, soal memukul anak karena perintah
Nabi.

2. Aspek Monitoring/pemantauan

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 31


Dalam pelaksanaannya, pemantauan KPPAA
dilakukan dengan 2 katagori :
a. Pemantauan reguler adalah kegiatan pemantauan yang
dilakukan dalam setiap tahun berdasarkan perogram
pemantauan yang diajukan oleh komisioner yang
dilakukan oleh bidang yang ada di KPPAA di beberapa
kabupaten/kota di Aceh.
b. Pemantauan non reguler adalah kegiatan pemantauan
yang bersifat insidentil yang menyita perhatian publik
yang dikhawatirkan berdampak sistemik pada upaya
perlindungan anak dalam setiap bidang yang
berimplikasi hukum

3. Aspek Pengumpulan Data dan Informasi :


Pada tahun 2018, KPPAA baru mendapat suplai data
kasus kekerasan anak dari P2TP2A dan LPKS serta Polda
Aceh. KPPAA masih membutuhkan data anak pada sektor
pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, kependukan, dll.
Namun KPPAA masih harus terus melakukan komunikasi
lebih intensif. Terkait ketersediaan data dan keterpilahan
penyajian data yang seharusnya dimiliki oleh lintas sector.
Tahun 2018, KPPAA belum berencana melakukan
penyusunan data terintegrasi karena belum memiliki
kapasitas yang memadai. Namun tahun 2019 penting bagi
KPPAA untuk melakukan advokasi pengintegrasian,
harmonisasi maupun singkronisasi data.

4. Aspek Penelaahan Pengaduan Masyarakat, mencakup :


Pada tahun 2018, KPPAA telah melakukan
penelaahan terhadap 12 pengaduan masyarakat. Bentuk
pengaduan antara lain :
a. Pengaduan kasus pengasuhan yang dialami klien
b. Pengaduan kasus kekerasan yang dialami klien

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 32


c. Pengaduan atas pelayanan pihak lain yang dirasa klien
tidak memadai.
d. Konsultasi atas masalah anak yang dialami, namun
belum melakukan pengaduan secara formal.

5. Aspek Mediasi Sengketa Pelanggaran Hak Anak, antara


lain:
Selama tahun 2018 KPPAA telah melakukan mediasi
atas 15 kasus pelanggaran Hak Anak. Mediasi mencakup :
a. Sengketa pelanggaran hak anak di sekolah.
b. Sengketa di masyarakat.
c. Sengketa yang dilaporkan ke KPPAA
d. Sengketa adat terkait hak anak, untuk ini bekerjasama
dengan Majelis Adat Aceh maupun Lembaga Adat di
Gampong.

6. Aspek Kerjasama
Selama tahun 2018, KPPAA masih melanjutkan
kerjasama tidak langsung dengan beberapa lembaga
terkait. Baik dalam bentuk pendampingan maupun
pelibatan. Antara lain dengan :
a. P2TP2A Aceh, terkait penanganan kasus yang
dilaporkan kembali oleh klien selanjutnya KPPAA
melakukan koordinasi dengan P2TP2A Aceh.
b. LPKS Aceh, terkait suplai data dan penguatan kapasitas
penanganan kasus di Kabupaten/Kota.
c. RJWG Aceh, terkait penanganan kasus ABH,
pendampingan penanganan ABH di beberapa lokasi
desa percontohan.
d. PKPM Aceh, pendampingan pelaksanaan program
pencatatan kelahiran dan perlindungan anak berbasis
adat.
e. Dinas Sosial Aceh, berupa pendampingan terkait
pelaksanaan program pengawasan LKSA, pembentukan
PKSAI dan KPRS ABH.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 33


f. Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG)
Aceh. Terkait program Pembangunan Desa Ramah
Anak, Posyandu dan pendampingan Pokja Pelestarian
Adat dan Budaya Aceh (PABA)
g. Dinas Sosial Aceh Barat, terkait penguatan kapasitas
Peksos dan PKSAI Aceh Barat.
h. Dinas Sosial Kota Banda Aceh, terkait penguatan
kapasitas Peksos dan PKSAI Kota Banda Aceh.
i. Dinas Sosial Kota Lhokseumawe, terkait penguatan
kapasitas Peksos dan PKSAI Kota Lhokseumawe.

7. Aspek KPPAA melaporkan dugaan pelanggaran UU


Perlindungan Anak :
Terkait tupoksi ini, tahun 2018 KPPAA belum
melakukan pengaduan atau menyampaikan pengaduan
klien pada Polisi. Namun KPPAA melakukan pendampingan
bagi klien yang ingin melaporkan kasusnya.

BAB IV

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 34


SITUASI PERLINDUNGAN
ANAK ACEH

A. Agama, Budaya dan Pendidikan


Pengaduan terbanyak di bidang pendidikan adalah
kekerasan di sekolah, baik yang dilakukan oleh sesama siswa,
guru atau petugas sekolah, maupun kekerasan terstruktur
karena kebijakan. Hal ini diperkuat dengan data kekerasan di
sekolah dari berbagai sumber yang menunjukkan bahwa
kekerasan di pendidikan semakin memprihatinkan. Kekerasan
di pendidikan sulit diatasi karena beberapa faktor, yaitu:
1. Adanya anggapan yang masih ada diantara pendidik
bahwa menghukum anak dengan kekerasan masih
diperlukan untuk mendisiplinkan.
2. Perlakuan sekolah yang tidak konsisten atas
kekerasan yang dilakukan siswa kepada siswa lain.
3. Pemahaman tentang definisi kekerasan yang tidak
merata.
4. Pemahaman tentang kebijakan-kebijakan yang ada
tentang kekerasan di sekolah yang tidak merata.
5. Kondisi di rumah yang tidak harmonis termasuk
tekanan ekonomi.
6. Anak kerap menyaksikan kekerasan melalui games
dan youtube yang dapat memicu anak melakukan
kekerasan.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 35


7. Anak-anak belum cukup diberdayakan agar mampu
melindungi dirinya serta melindungi temannya.

Upaya yang dilakukan


1. Menangani kasus-kasus kekerasan di sekolah yang
dilaporkan langsung ke KPPAA maupun yang viral di
media social dan media massa.
2. Mendorong Sekolah Ramah Anak (SRA), baik
terhadap sekolah-sekolah yang dilaporkan ke KPPAA,
maupun diberbagai kesempatan ketika menjadi
narasumber di berbagai diskusi, seminar maupun
dialog dan wawancara di media massa, baik online,
cetak, maupun elektronik.

Dalam perspektif agama, budaya dan pendidikan, situasi


dan permasalahan perlindungan anak antara lain:
1. Kualitas pemahaman dan internalisasi nilai-nilai
keberagamaan dalam kehidupan masyarakat yang semakin
rendah, menjadi salah satu penyebab terjadinya kasus
kekerasan terhadap anak.
2. Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat
ternyata juga membawa dampak negatif. Kecantuan gatget,
hedonisme, pornografi dan aksi vandalisme pun meningkat.
3. Karaktek masyarakat yang memiliki sense of crisis dan
kemampuan menyelesaikan berbagai persoalan sosial,
khususnya masalah anak, sebagai saah satu kearifan lokal
Aceh, tergerus oleh budaya global.
4. Pergaulan bebas dikalangan remaja, seperti free sex, geng
motor, anak punk dan berbagai bentuk penyimpangan
lainnya, termasuk menganut atau menjadi pengikut aliran
spritual atau ajaran sesat

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 36


5. Meningkatnya angka perceraian dan gugat cerai di Aceh
yang berkorelasi tinggi terhadap meningkatnya jumlah
kasus kekerasan dan penelantaran dan perlakuan salah
lainnya terhadap anak

Berdasarkan situasi dan masalah yang kompleks di atas,


KPPAA berpandangan antara lain:
1) Revitalisasi pendidikan agama dalam kehidupan
masyarakat, khususnya dalam keluarga dan
kemasyarakatan perlu mendapat perhatian Pemerintah
Aceh.
2) Pendidikan karakter dalam kurikulum pendidikan formal,
penting untuk terus dikuatkan.
3) Penerapan nilai-nilai budaya Aceh yang mendukung
pemenuhan dan melindungi hak anak agar menjadi filter
terhadap pengaruh budaya global, sekularisme dan patologi
sosial.
4) Memperkuat pelibatan tokoh masyarakat, tokoh agama dan
tokoh adat dalam pelaksanaan program perlindungan
anak.
5) Mendorong semua lembaga pendidikan formal dan non
formal untuk menerapkan standar sekolah ramah anak
secara konsisten.
6) Perlunya pemantapan pendidikan pra pernikahan bagi
calon pengantin.
7) Meningkatkan kualitas kegiatan parenting education di
seluruh lapisan masyarakat Aceh.
8) Rumah dan keluarga harus dikembalikan fungsinya dalam
memaksimalkan peran orangtua dalam mendidik anaknya
karena sekolah harus bersinergi dengan orangtua dan
masyarakat dalam memutus mata rantai kekerasan.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 37


9) Pencegahan bullying/perundungan harus di kampanye
secara terus menerus oleh berbagai pihak melalui program
“SEKOLAH AMAN” dan program “SEKOLAH RAMAH ANAK”.
10) Pentingnya penguatan pendidikan karakter (PPK), terutama
budi pekerti dari pendidik sampai petugas sekolah,
termasuk birokrat pendidikan agar menjadi role model bagi
anak-anak.

B. Pengembangan SDM, Data, Informasi dan Sosialisasi


Salah satu masalah yang krusial yang belum mampu
teratasi dengan baik adalah masalah SDM, data dan informasi.
Kelemahan dalam aspek ini sangat berpengaruh terhadap
capaian-capain pengawasan dan kualitas penyelenggaran
perlindungan anak dalam hampir semua sektor yang terkait.

Diantara permasalahan yang tersebut antara lain:


1. Masih terbatas/kurangnya SDM penggiat dan pelaksana
tugas yang terkait anak yang memahami KHA, UU
Perlindungan Anak dan ketentuan/peraturan yang
berhubungan dengan anak, baik di lingkungan istansi
terkait langsung maupun penyelenggara pendidikan formal
maupun non formal
2. Terbatas/kurangnya SDM di daerah yang memiliki
kompetensi keahlihan di bidang yang dibutuhkan, misalnya
psycholog klinis, psycholog/konsultan keluarga atau tenaga
konseling anak, pengacara anak, hakim anak, jaksa anak,
tenaga/relawan/fasilitator anak.
3. Masih dirasakan belum memadainya data dan informasi
terkait anak, seperti data terintegrasi, data terpilah, data
kasus berdasarkan spesifikasinya.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 38


4. Kurangnya ketersedian anggaran untuk program
peningkatan SDM dan perlindungan anak
5. Kurangnya inovasi kegiatan; belum adanya pendekatan dan
model sosialisasi yang benar-benar berdampak positif
terhadap peningkatan kesadaran masyarakat terhadap
perlindungan anak
Terhadap permasalahan yang dijelaskan di atas,
menurut KPPAA dibutuhkan beberapa tindakan serius antara
lain:
1) Pemerintah Aceh dan instansi terkait perlu memberikan
perhatian lebih dan kongkrit terhadap
ketersedian/kesesuaian anggaran kegiatan perlindungan
anak, khususnya anggaran peningkatan SDM, Data dan
kampanye
2) Permerintah Aceh dan instansi terkait perlu menyediakan
SDM yang memiliki kompetensi keahlihan di bidang
psycholog klinis, psycholog/konsultan keluarga atau
tenaga konseling anak, pengacara anak, hakim anak, jaksa
anak, tenaga/relawan/fasilitator anak dan lain-lain.
3) Pemerintah dan instansi terkait perlu merumuskan model
sosialisasi perlindungan anak yang lebih efektif dan inovatif
dengan melibatkan semua pihak, termasuk mendorong
adanya partisipasi masyarakat adat, Tuha peuet atau
perangkat gampong, dan terutama pelibatan anak.

C. ABH, Trafficking, Eksploitasi dan Kekerasan.


Anak Berkonflik Hukum
Berdasarkan Pemantauan dan Pengawasan KPPAA
terhadap Anak yang berkonflik dengan hukum sangat rentan

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 39


menghadapi perlakuan dan pengabaian hak anak yang
dilakukan oleh oknum aparat penegak.
Keberadaan anak yang berkonflik dengan hukum yang
menjalani proses hukum ditempatkan di dalam Lembaga
Penempatan Anak Sementara (LPAS) di dalam Rutan/Lapas
dewasa, berdampak rawan bagi Anak menjadi korban berbagai
tindak kekerasan. Penempatan Anak di LPAS atau di LPKA
baik langsung maupun tidak langsung akan memberikan
dampak negatif bagi Anak, meskipun di LPAS Anak
ditempatkan di blok khusus Anak. Namun masih memberikan
celah untuk adanya interaksi dengan narapidana dewasa, hal
ini tentu akan berdampak pada kondisi psikis Anak. Dampak
Sosial ini terjadi akibat adanya interaksi antara Anak dengan
narapidana ketika berada di LPAS. Narapidana yang
merupakan orang dewasa akan memiliki kecenderungan
mempengaruhi Anak dalam proses interaksi sehingga anak
bisa mempelajari suatu tindak pidana dari interaksi tersebut.
Sarana dan prasarana yang digunakan dalam pembinaan
Anak beberapa daerah sudah tersedia namun beberapa dari
sarana dan prasarana tersebut masih kurang memadai, seperti
tempat tinggal atau blok Anak yang sebenarnya merupakan
blok narapidana namun difungsikan sebagai blok Anak
membuat bentuk bangunannya sama dengan blok narapidana
yang lainnya. Meskipun dalam pengamanan yang lebih ketat
dibandingkan dengan blok narapidana, namun batas antara
blok Anak dengan narapidana hanya dibatasi dengan pagar
tidak terlalu tinggi, yang masih memungkinkan adanya
interaksi antara Anak dengan narapidana.
Prasarana lain seperti tempat ibadah yang hanya satu,
tidak tersedianya tempat pembinaan yang dikhususkan bagi
Anak dan tidak tersedianya sarana olahraga yang khusus bagi

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 40


Anak menyebabkan Anak harus bercampur dengan
narapidana dalam kegiatan tersebut. Kurangnya sarana dan
prasarana yang khusus diperuntukkan bagi Anak di LPAS ini
akan menyebabkan terhambatnya upaya pembinaan yang
diberikan kepada Anak. Sehingga akan mengakibatkan
terhambatnya pula pencapaian tujuan pembinaan dalam
sistem pemasyarakatan.

Anak Korban Kekerasan Seksual di Dunia Maya


Saat ini kita tidak bisa menghindarkan diri dari akses ke
dunia internet dan media sosial yang begitu mudah, tidak
terkecuali anak-anak. Pada masa sekarang, anak-anak bahkan
sejak belum bersekolah pun sudah dapat mengoperasionalkan
gadget. Mereka sudah bisa mengakses berbagai program mulai
game atau permainan yang kadang-kadang tidak bebas dari
muatan yang mengandung kekerasan, pornografi dan hal
negatif lainnya. Sementara, bagi anak-anak yang sudah
bersekolah bahkan di tingkat dasar, sudah menjadi bagian dari
masyarakat yang aktif di berbagai media sosial, seperti
facebook, twitter, instagram, dan lain sebagainya.
Mudahnya akses anak-anak terhadap berbagai media
sosial, menyebabkan mereka rentan mengakses konten-konten
yang berbau pornografi sehingga hal tersebut kemudian dapat
mendorong mereka meniru apa yang mereka lihat di dunia
media sosial. Tidak sedikit dari anak-anak tersebut yang
menjadi terpapar pornografi. Akhirnya, mereka melakukan
adegan-adegan yang berbau pornografi dan tidak sedikit yang
menshare di dunia maya melalui modus hubungan pacaran.
Selain itu, mudahnya akses terhadap media sosial yang
banyak mengandung muatan pornografi juga rentan
menjadikan orang dewasa dan anak terpapar pornografi dan

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 41


akhirnya terdorong untuk melakukan kejahatan seksual.
Parahnya, anak-anaklah yang kemudian menjadi target dan
sasaran korban dari orang-orang dewasa yang sudah terpapar
pornografi tersebut, dimana korban-korbannya sampai hari ini
belum mendapatkan rehabilitasi.

Implementasi UU PTPPO
Problem trafficking dan eksploitasi anak terus meningkat
seiring dengan lemahnya penerapan UU PTPPO di lapangan.
Salah satunya yakni dalam kerangka pencegahan. Korban
kerap menjadi sasaran dipekerjakan oleh orang-orang
disekitarnya, termasuk oleh orang tua kandungnya dengan
berbagai cara, seperti memalsukan dokumen. Dalam hal ini
penyelenggara Negara Penegak hukum sering sekali tidak
memberikan hukuman yang sesuai dengan hukuman yang
berlaku dan hal ini membuat pelaku tidak jera.
Rehabilitasi terhadap anak korban PTPPO yang belum
efektif hal ini dikhawatirkan korban trafficking akan kembali
menjadi korban untuk kesekian kalinya.
Koordinasi lintas sektor terkait dalam penanganan
PTPPO belum sinergis sehingga berdampak pada penanganan
korban yang belum efektif.
Gugus tugas PTPPO yang sudah dibentuk ditingkat
provinsi, kota dan kabupaten hingga saat ini belum berfungsi
optimal sehingga akan dilakukan revitalisasi.
Pemberian restitusi kepada korban PTPPO yang hingga
saat ini belum terlaksana karena seringkali dilimpahkan
menjadi hukuman kurungan.
Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang oleh pihak-
pihak tertentu dalam tindak pidana perdagangan orang sangat

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 42


sulit tersentuh hukum, apalagi sindikat atau korporasi yang
terlibat.
Dalam kerangka penanganan, korban belum sepenuhnya
mendapatkan pemenuhan terhadap hak-haknya seperti hak
untuk mendapatkan rehabilitasi, baik pemulihan fisik, psikis
dan reunifikasi dengan keluarga serta hak mendapatkan
restitusi.
Tantangan dalam implementasi PTPPO antara lain :
1. Penegakan hukum, dalam hal ini seringkali penegak hukum
tidak memberikan hukuman yang sesuai dengan hukuman
yang berlaku dan hal ini membuat pelaku tidak jera, bahkan
ada beberapa kasus traficking yang didamaikan oleh
penegak hukum, dimana pelaku memberikan sejumlah uang
kepada korban.

2. Rehabilitasi terhadap anak korban PTPPO yang belum efektif


hal ini dikhawatirkan korban trafficking akan kembali
menjadi korban untuk kesekian kalinya.

3. Koordinasi lintas sektor terkait dalam penanganan PTPPO


yang belum sinergis sehingga penanganan korban yang
belum maksimal.

4. Gugus tugas PTPPO yang dibentuk ditingkat provinsi, kota


dan kabupaten hingga saat ini belum berfungsi optimal
sehingga perlu dilakukan revitalisasi.

Mekanisme rujukan kasus pelanggaran hak anak


Salah satu tugas KPPAA sebagaimana dituangkan dalam
UU Perlindungan Anak adalah menerima pengaduan dari
masyarakat. Dalam menangani kasus anak, KPPAA melakukan
koordinasi dengan lembaga-lembaga/instansi-instansi terkait

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 43


untuk mengoptimalkan upaya penyelenggaraan perlindungan
anak, dengan berbagai variasi fokusnya masing-masing. Dalam
perkembangannya, pengaduan masyarakat tersebut juga
mencakup pengaduan yang dilakukan oleh berbagai lembaga
masyarakat mengingat lembaga dimaksud juga merupakan
wadah masyarakat dengan fungsinya masing-masing.
Dalam proses penanganan pengaduan, sebelum
dilakukan case referral kepada instansi/lembaga yang tepat,
tim KPPAA melakukan telaah/analisis awal atas pengaduan
yang ada, baik pengaduan phone, email, sms, watshap, surat,
maupun datang langsung ke KPAI. Selanjutnya, kasus tersebut
di followup untuk pemastian ketuntasan penanganan. Jika
memerlukan rehabilitasi maka KPPAA berkoordinasi dengan
lembaga yang concern di bidang rehabilitasi dengan tetap
melakukan pengawasan agar tuntas. Jika kasusnya telah
diduga kuat memerlukan proses hukum maka tim KPPAA
menghubungi pihak kepolisian dan kejaksaan untuk
memastikan pengawasannya agar proses hukum berlangsung
dengan baik. Begitu pula dengan beragam kasus yang lain.
Dengan semakin kompleksnya permasalahan
perlindungan anak yang terjadi dewasa ini, diperlukan
perhatian dan penanganan yang lebih baik dari semua pihak.
Selain menerima pengaduan dalam bentuk tindakan aktif dari
masyarakat, namun juga keaktifan KPPAA berupa pemantauan
dan pengawasan langsung atas fenomena pelanggaran anak
yang terjadi di lapangan. Perspektif penanganan kasus anak,
tidak hanya menuntaskan kasusnya tetapi bagaimana kasus
tersebut dijadikan pintu masuk untuk perbaikan sistem dan
sebagai bagian dari konsep besar meningkatkan efektifitas
penyelenggaraan perlindungan anak.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 44


Berdasarkan analisis atas data kasus yang masuk ke
KPPAA, faktor utama yang ditemukan dalam pengaduan
adalah :
1. Belum tersosialisasikannya keberadaan lembaga-lembaga
pemenuhan hak dan perlindungan anak secara luas
sehingga masyarakat yang membutuhkan mengalami
kebingungan untuk menyalurkan permasalahan yang
dihadapi anaknya sehingga pada akhirnya menyampaikan
pengaduannya kepada KPPAA yang dianggap sebagai
sentra perlindungan anak;
2. Ada persoalan koordinasi di lapangan dan belum
berjalannya mekanisme perlindungan anak yang menjadi
tugas lembaga bersangkutan sehingga masyarakat yang
membutuhkannya mengalami kebuntuan, frustasi dan
kemudian menyampaikan pengaduannya kepada KPPAA.
3. Masih belum tumbuhnya kesadaran perlindungan anak di
sebagian masyarakat sehingga mereka berusaha
memenangkan kasus dengan cara yang reaktif dan
kemudian melakukan jalan pintas melakukan pengaduan
kepada KPPAA yang dianggap mereka akan menyelesaikan
segala sesuatunya dan akan berpihak sesuai dengan
keinginan si pengadu;
4. Tentu saja setiap jenis kasus yanga ada memerlukan jalan
keluar yang berbeda, yang juga disesuaikan dengan berat
ringannya kasus yang masuk. Bahkan, sebagian kasus
juga rumit dengan minus kebijakan dan aspek yuridis
formal yang ada.
5. KPPAA melakukan mekanisme perujukan (reffering) kepada
lembaga-lembaga lainnya yang memang tugas pokok dan
fungsinya terkait langsung dengan jenis pengaduan yang
masuk ke KPPAA. Kasus-kasus yang berkategori rujukan

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 45


ini ternyata jumlahnya besar dan menjadi persentase
terbesar yang perlu disalurkan rujukannya sehingga
mendorong pengefektifan sistem perlindungan anak yang
sudah berjalan oleh berbagai pemangku kepentingan yang
tersebar di seluruh daerah dan sektor

Mediasi Sengketa Pelanggaran Hak Anak


Mediasi merupakan tugas dan kewenangan yang
dimandatkan secara khusus kepada KPPAA, sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Gubernur Aceh
Nomor 85 tahun 2016 tentang Komisi Pengawasan dan
Perlindungan Anak Aceh.
Secara spesifik pelaksanaan mediasi diatur dalam
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01
Tahun 2016, dimana kasus-kasus perdata wajib
dilaksanakan dan diupayakan penyelesaiannya melalui
proses mediasi. Kasus pelanggaran hak-hak anak yang
diterima oleh KPPAA bersifat perdata dan pidana. Untuk
kasus yang bersifat perdata salah satu penanganan dan
penyelesaiannya dilakukan melalui proses mediasi. Kasus
yang banyak penyelesaiannya melalui proses mediasi adalah
kasus bidang keluarga dan pengasuhan, kasus bidang
pendidikan dan kesehatan. Praktek mediasi dilakukan oleh
komisioner sesuai dengan bidangnya, proses mediasi dapat
berakhir dengan kesepakatan para pihak dan juga tanpa
kesepakatan para pihak. Kesepakatan para pihak di tuliskan
dalam berita acara dan perjanjian kesepakatan, yang
ditanda tangani oleh para pihak dan bermaterai. Saat ini
KPPAA belum memiliki tenaga mediator yang bersertifikat.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 46


Trafficking dan Eksploitasi
Sedikitnya ada empat kasus yang menjadi high light
pada tahun 2018 dalam bidang Trafficking dan eksploitasi.
Pertama kasus anak dalam lingkaran prostitusi dan
dilacurkan, yakni anak-anak yang dieksploitasi dalam kasus
prostitusi yang melibatkan anak di Aceh Barat, Kedua
perdagangan anak yang dilakukan oleh ayah kandung dan
melibatkan jaringan medis serta penyalur orang tua asuh
(ilegal adopsi) yang terjadi di Kota Langsa. Ketiga kasus
traficking di Bireun yang pelakunya merupakan sindikat
traficking yang berasa dari Kalimantan, Keempat adalah
kasus traficking di Lhokseumawe yang melibatkan anak di
bawah umur dengan melakukan pemalsuan identitas.
Langkah-langkah KPPAA dalam melakukan
pengawasan pada peristiwa tersebut menggunakan sistem
Rafferal system (sistem rujukkan) sesuai dengan tusi yang
diamanahkan UU Nomor 35 tahun 2014 yakni diawali oleh
kajian mendalam atas sebuah peristiwa / kasus / pelaporan
/ pengaduan, kemudian monitoring dan pengawasan
langsung ke lokasi dan melalui media, bila mengharuskan
langkah advokasi yakni memanggil pihak terkait, meminta
penjelasan, atau menerima konsultasi dan edukasi terkait
kebijakan serta kelembagaan dan dapat melakukan
kerjasama dengan berbagai K/L yang sesuai dengan mandat
perlindungan anak, dengan Pemerintah Daerah, aparat
Penegak Hukum, masyarakat, termasuk media untuk
menyuarakan pentingnya perlindungan anak

Beberapa catatan KPPAA antara lain :

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 47


1. Program-program di bidang ABH saat ini masih merupakan
program yang sifatnya menyesuaikan pada postur
anggaran yang ada, sehingga program-program yang sudah
direncanakan dalam waktu tertentu tidak bisa dijalankan
karena keterbatasan anggaran.
2. Masih minimnya sarana prasarana pendukung SPPA
seperti LPAS (Lembaga Penempatan Anak Sementara),
LPKA dan LPKS. Masih terpusat di ibukota propinsi di
Banda Aceh dan sekitarnya.
3. Masih minimnya ketersediaan pendamping anak yang
berhadapan dengan hukum baik dari LSM/OBH,
pendampingan dari pekerja sosial profesional, psikolog
maupun masyarakat.
4. Belum optimalnya program-program pencegahan untuk
meminimalisir angkat ABH yang berbasis keluarga dan
masyarakat.
5. Meningkatnya kasus ABH tidak terlepas dari rendahnya
kontrol sosial terhadap hal-hal yang berpotensi
menyebabkan anak beresiko menjadi korban/pelaku
kekerasan.

Pandangan KPPAA :
1) Pemerintah Aceh, instansi terkait dan stakeholder perlu
mengimplementasi penyelesaian masalah ini secara lebih
terencana dengan fokus pada program yang lebih strategis,
yaitu kegiatan-kegiatan yang lebih menitiktekankan pada
pendekatan (pencegahan) preventif. Berbasis pada Sistem
Perlindungan Anak (SPA).
2) Pendekatan kegiatan preventif dapat dilakukan misalnya
dengan:
a. Memperkuat dan menyediakan peraturan/Qanun/
Reusam Gampong, seperti Qanun ketahanan keluarga,

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 48


Reusam Gampong tentang Perlindungan atau
Pendidikan Anak
b. Kebijakan teknis yang operatif dalam sistim referal dan
koordinasi;
c. Pemberatan hukuman bagi pelaku trafficking,
eksploitasi dan kekerasan terhadap anak;
d. Penguatan program pendidikan kemasyarakatan
dengan pendidikan keeagamaan dan nilai-nilai
spiritual
e. Mempercepat implementasi dan realisasi tercapainya
indeks Kabupaten/Kota layak anak
f. Meningkatkan sarana prasarana pendukung SPPA
seperti LPAS (Lembaga Penempatan Anak Sementara),
LPKA dan LPKS.
3) Meingingkatkan jumlah pendamping anak yang
berhadapan dengan hukum baik dari LSM/OBH,
pendampingan dari pekerja sosial profesional, psikolog
maupun masyarakat.
4) Meningkatkan kinerja dan ketegasan aparatur keamanan
dan sipil negara dalam menanggulangi peredaran narkoba,
pornogarfi, dan trafficking.
5) Meningkatkan keterpaduan program dan koordinasi antar
lembaga/instansi dalam menyelesaiakan masalah ABH,
Trafficking, Eksploitasi, Kekerasan maupun kasus
perlakuan salah lainnya
6) Revitalisasi pengawasan rehabilitasi anak korban
trafficking dan eksploitasi di berbagai daerah untuk
pemenuhan haknya dengan menghasikan berbagai
rekomendasi. Salah satu yang paling urgen adalah
pemenuhan hak restitusi sesuai dengan PP No. 43 Tahun
2017 tentang Restitusi.
7) Membangun road map pengawasan zona rawan dan zona
intervensi trafficking dan eksploitasi anak dengan berbagai
lembaga instansi/lembaga serta NGO dalam forum diskusi

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 49


yang meliputi Zona rawan anak yang dieksploitasi secara
seksual, anak yang dieksploitasi dalam ranah kerja dan
anak-anak yang rawan eksploitasi di daerah basis buruh
migran

D. Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif.


Kerentanan keluarga masih menjadi akar masalah dalam
penyelenggaraan perlindungan anak. Hal ini terlihat dari
ketidakberfungsian orang tua dalam mengasuh anak di dalam
keluarga.
Perebutan hak asuh, nafkah anak dan pelarangan akses
untuk bertemu dengan anak merupakan pengaduan yang
paling banyak diterima, salah satu masalahnya dipicu oleh
konflik keluarga dan perceraian orang tua. Ayah atau Ibu yang
berkonflik dan bercerai berupaya memisahkan dan tidak
memberikan akses anak untuk bertemu dan mendapatkan
kasih sayang dari salah satu orang tuanya.
Pilihan bercerai seringkali dalam situasi emosional dan
dendam berkepanjangan pasangan. Selain itu, sebagian besar
kasus kuasa asuh, hak akses, dan nafkah anak sulit sekali
dieksekusi. Upaya yang telah dilakukan KPPAA melalui tugas
pokok fungsi adalah proses mediasi. Mediasi menjadi pilihan
terbaik bagi penyelesaian kasus sengketa pelanggaran hak
anak di bidang perdata. Meskipun KPPAA belum memiliki
sertifikat mediator, namun berdasarkan pengalaman yang ada
terus mendorong proses mediasi untuk kepentingan terbaik
bagi anak. Di masa yang akan datang, KPPAA akan
menguatkan fungsi mediasi sebagai sebagai upaya pemenuhan
hak pengasuhan anak paska orang tua bercerai. KPPAA juga
akan mengikuti training mediator bersertifikat sehingga
keakuratan mediatornya diakui oleh negara dan memiliki

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 50


perspektif perlindungan anak. Hal ini penting karena mediasi
anak tidak semata-mata penyelesaian yang menyenangkan
bagi para pihak namun memenuhi kepentingan terbaik bagi
anak.
Kehadiran Peraturan Pemerintah tentang Pengasuhan
sebagai turunan UU Perlindungan Anak yang baru disahkan
diharapkan dapat menjadi momentum pengasuhan anak
berbasis keluarga. Prinsip pengasuhan bahwa sebaiknya anak
diasuh oleh orang tuanya sendiri sangat penting digaungkan.
Pengasuhan di institusi diharapkan menjadi alternatif terakhir
dan anak-anak di dalam pengasuhan lembaga diharapkan
dapat memiliki keluarga sebagai tempat tumbuh kembang.
Anaklah yang membutuhkan keluarga. KPPAA akan
melakukan pengawasan pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pengasuhan Anak
untuk memaksimalkan pemenuhan hak anak.

Beberapa catatan penting :


1. Lingkungan Keluarga
a. Lingkungan keluarga semakin tidak aman bagi anak.
Hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya kasus
kekerasan terhadap anak yang terjadi di keluarga.
Masih sangat banyak orangtua/orang dewasa yang
tidak memahami fungsinya sebagai orang tua/orang
dewasa di keluarga terutama keluarga yang memiliki
anak.
b. Kasus-kasus yang melibatkan anak seperti kasus ABH,
ketelantaran, adiksi gadget dan pornografi, putus
sekolah, prilaku menyimpang dan kasus kekeraan
lainnya, sebagian besar berawal dari metode
pengasuhan di keluarga yang salah.
c. Program pendidikan pengasuhan (parenting education)
bagi keluarga sangat minim bahkan tidak ada. Hal ini

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 51


mendorong terjadinya kasus-kasus yang mendorong
anak keluar dari rumah.
d. Masih adanya masalah perlakuan diskriminasi,
eksploitasi ekonomi atau seksual, anak berada di
jalanan, anak diperdagangkan, anak terlibat pornografi,
dan anak berhadapan dengan hukum penelantaran,
kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan,
ketidakadilan, serta perlakuan salah lainnya
e. Kurangnya Pengetahuan dan pengamalan Islam dalam
keluarga, seperti shalat berjamaah, mengucapkan
salam, dan tidak membiasakan perilaku/etika, bahkan
orang tua tidak mampu menjadi teladan
f. Kesibukan orang tua dalam bekerja sehingga
mengurangi perhatian terhadap anak-anak.

2. Pengasuhan Alternatif
Dalam konteks pengasuhan alternatif, yaitu
pengasuhan diluar keluarga inti seperti adopsi,
pengasuhan di LKSA/Panti Asuhan maupun pengasuhan
di keluarga orangtua, beberapa catatan KPPAA antara lain :
a. Masih terdapat anak-anak yang dibuang oleh
orangtuanya yang kemudian harus diasuh oleh LKSA.
b. LKSA di Aceh sebagai penyelenggara pengasuhan
alternatif berbasis institusi, secara fisik maupun non
fisik sebahagian besar kurang memenuhi syarat sebagai
lembaga pengasuhan bagi anak. Sarana MCK, tidur,
sanitasi lingkungan, sarana belajar, sarana olah raga,
sarana ibadah yang kurang memadai. Demikian juga
ketersediaan pekerja sosial dan tenaga pengasuh
maupun tenaga lainnya yang juga kurang memadai.
Bahkan sebagiannya terkesan burukyang dapat
berdampak menghambat tumbuh kembang anak.
c. Keberlangsungan pendidikan anak dalam pengasuhan
alternatif terutama yang berbasis institusi seperti di

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 52


LKSA, LPKA termasuk LPKS, harus terjamin dengan
baik karena sering terabaikan dan terputus dari
pendidikan formal.
d. Kehidupan sosial budaya dan waktu luang. Anak yang
mendapat pengasuhan berbasis institusi pun harus
dikamin kesempatan dan waktu luangnya untuk
bermain, dan berbudaya serta bersosialisasi dengan
baik.

3. Keterpisahan dari orangtua


Angka cerai di Aceh tahun 2017 yang tercatat
mencapai 5.399. Belum lagi apabila ditambah dengan
perceraian yang tidak tercatat. Dari angka tersebut secara
umum dapat diambil kesimpulan sederhana, bahwa ada
5.399 keluarga yang anaknya terpisah dari salah satu
orangtuanya. Bahkan mungkin ada yang sama sekali tidak
lagi tinggal bersama orangtuanya. Kasus perceraian sedikit
banyak akan menimbulkan masalah fisik, mental dan
sosial anak.

Oleh karena itu maka KPPAA berpendapat penting untuk


melakukan upaya-upaya sebagai berikut :
1. Memperkuat kapasitas dan kemampuan keluarga dalam
mengimplementasikan konsep pengasuhan yang baik yang
berdasarkan syariat Islam dan Konvensi Hak Anak.
2. Membangun ketahanan keluarga dengan meningkatkan
berbagai dukungan fisik dan mental bagi keluarga korban
maupun keluarga rentan seperti dukungan ekonomi,
psikososial maupun dukungan lainnya.
3. Memperkuat dan meningkatkan kapasitas dan kualitas
LKSA maupun lembaga pengasuhan anak lainnya seperti
LPKS, Rumah Singgah, Rumah Aman, LPKA, pesantren dan
sebagainya. Baik secara fisik maupun non fisik termasuk

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 53


dalam mengimplementasikan konsep pengasuhan
berdasarkan syariat Islam dan Konvensi Hak Anak serta
peraturan dan perundang-undangan lainnya.
4. Memperkuat Program Pemerintah yang berbasis keluarga
keluarga dan lembaga pengasuhan alternatif yang
berorientasi pada penguatan dan pengembangan
ketahanan keluarga agar menjadi keluarga yang tangguh
dalam membentuk sumberdaya manusia yang mandiri,
tangguh, bermoral, potensial dan berkualitas.
5. Perlu mengembangkan dan meningkatkan kegiatan
konseling keluarga, peningkatan kualitas pengasuhan
anak, pembinaan remaja dan peningkatan kualitas hidup
lansia, pengembangan kuantitas dan kualitas bina
keluarga dan meningkatkan kepedulian serta peran serta
keluarga.
6. Memperkuat keterikatan dan kelekatan antara pengasuh
dan anak. Baik di lingkungan keluarga maupun
lingkungan pengasuhan alternatif. Anak membutuhkan
kasih sayang, ikatan yang erat (attachment) dan
kepercayaan dasar (basic trust) antara anak dan orang
tua/pengasuh, dan kebutuhan pangan maupun gizi.
Disamping itu anak juga membutuhakan penanaman nilai-
nilai agama dan kebaikan berupa pendidikan keteladanan
yang mampu menstimulasi mental mereka dalam proses
belajar dan menyerap pengalaman hidup. Hal inilah yang
pada akhirnya berdampak pada kualitas perkembangan
psikososial, kecerdasan, keterampilan, kemandirian,
kreativitas, moral, kepribadian dan produktivitas.
7. Pihak terkait perlu meningkatkan koordinasi dan program
berkelanjutan dalam peningkatan kualitas pengasuhan
anak.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 54


8. Perlu mensosialisasikan secara massif ketentuan,
mekanisme dan kebijakan terkait pengasuhan anak.
9. Perlu melakukan pembenahan terhadap proses
pelaksanaan pendidikan Pra Nikah, melalui perbaikan
sistem, metode dan kurikulum agar pendidikan pra nikah
untuk meningkatkan kualitas pengasuhan anak.

E. Hak Sipil, Partisipasi, Kesehatan, Sosial, Anak dalam


Situasi Darurat, Anak Berkebutuhan Khusus.
Diantara masalah yang kompleks dari isu di atas antara
lain sebagai berikut:

1. Hak Sipil
a. Anak yang tercatat kelahirannya di Aceh masih di
bawah 100%. Antara 56% sampai 83%.
b. Masih banyaknya kendala dalam pelaksanaan
pencatatan kelahiran terutama bagi anak yang
orangtuanya menikah sirri.
c. Informasi layak anak belum tersedia dengan baik.
Perpustakaan di Gampong sering sekali tidak aktif.
d. Komite Anak, yang didasarkan pada unsur, aktivitas,
minat dan bakat yang berbeda, belum mendapat
perhatian yang baik.

2. Partisipasi
a. Partisipasi Anak belum diakomodir dan dilibatkan
secara memadai terutama dalam penyusunan
perencanaan pembangunan wilayah.
b. Forum Anak sebagai wadah Hak Sipil Anak sudah
cukup berkembang pada tingkat Propinsi, namun
masih lemah di Kabupaten/Kota bahkan Kecamatan
dan Gampong.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 55


c. Pengambangan Forum Anak masih sebatas kebutuhan
ceremonial kegiatan tahunan. Belum melembaga.
d. Partisipasi Anak secara mandiri dalam penghembangan
Forum Anak masih kurang. Masih lebih banyak
mendapat arahan dan bimbingan langsung dari orang
dewasa.

3. Kesehatan
a. Angka kematian bayi masih tinggi (10/1000 penduduk)
b. Kekurangan gizi pada Anak juga masih tinggi
c. Balita Stunting di Aceh masih 37,5%
d. ASI Eksklusif belum merata.
e. Pojok ASI masih belum tersedia di banyak tempat.
f. Imunisasi dasar lengkap belum merata.
g. Air bersih masih menjadi kendala
h. Kota Banda Aceh telah menerbitkan Perbub (47/2011)
Kawasan Tanpa Rokok. Kabupaten Aceh Barat sudah
memiliki Qanun Kawasan Tanpa Rokok (14/2015).
i. Kasus-kasus anak kekurangan gizi, stunting, anak
mengidap kanker, pelayanan kesehatan yang rendah,
sampai pada kasus yang mengakibatkan kematian pada
anak, masih terjadi dan belum dapat teratasi dengan
baik.

4. Sosial
a. Pelayanan sosial anak, belum berjalan secara integratif
dan holistik. Selama ini pelayanan anak secara
integratif masih pada tataran penanganan anak korban
kekerasan.
b. Problem anak jalanan, pengemis anak, anak punk, dan
kenakalan remaja masih menjadi masalah yang belum
dapat teratasi

5. Anak dalam situasi darurat


a. Penanganan kebutuhan masa panik saat bencana alam,
masih sangat fokus pada orang dewasa, kurang
memperhatikan kebutuhan anak-anak dan balita.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 56


b. Penanganan rehab anak korban konflik (sekarang
sudah dewasa) terutama yang masih berada di wilayah
pasca konflik, tidak berjalan dengan baik, bahkan
terkesan tidak ada.

6. Anak Berkebutuhan Khusus


Permasalahan anak berkebutuhan khusus berada
pada isu memprihatinkan, antara lain:
a. Anak dengan kebutuhan khusus belum mendapat
perhatian yang memadai. Pusat-pusat rehabilitasi
masih kurang tersedia. Seperti pusat penanganan anak
autis hanya ada di Banda Aceh. Pusat rehabilitasi anak
cerebral palsy juga belum ada
b. SLB belum ramah pada proses inklusifitas.
c. Aktifitas kelompok kerja Anak Berkebutuhan Khusus
masih rendah.

Beberapa hal berikut ini merupakan pandangan dan


usulan solusi terhadap berbagai masalah di atas, yaitu :

1. Hak Sipil
Diantara faktor penyebab registrasi akta kelahiran di
Aceh masih terkendala karena beberapa kenyataan dan
informasi yang salah dan terlanjur diyakini masyarakat,
antara lain yaitu: (1) Masyarakat tak mengetahui manfaat
pencatatan kelahiran; (2) Biaya pencatatan kelahiran tak
sedikit; (3) Tingkat pendidikan orang tua rendah; dan
(4) Hambatan fisik/geografis, administratif, dan politis.
Oleh karena, Pemerintah dan instansi terkait perlu :
a. Melakukan sosialisasi secara massif kepada masyarakat
untuk meningkatkan kesadaran partisipatif
b. Mengupayakan sistim dan alur pencatatan kelahiran
yang sederhana, mudah, cepat dan murah.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 57


c. Melakukan kombinasi pelayanan top down beriringan
dengan pelayanan bottom up.

2. Partisipasi
Beberapa pemikiran KPPAA terkait dengan partisipasi
anak dalam pembangunan antara lain:
a. Penting untuk dapat melihat kebutuhan Pelibatan anak
dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
pembangunan wilayah, sesuai umur dan kematangan
anak. Seperti perencanaan program terpadu instansi
terkait seperti Dinsos, DP3A, Hukum dan HAM,
Kementerian Agama, Dinas Tenaga Kerja, BKKBN,
Dinas Kesehatan, dan Pusat Pelayanan Terpadu
Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak (P2TP2A)
serta KPPAA
b. Penting untuk menfasilitasi dan mendorong
terbentuknya kelompok-kelompok anak berdasarkan
minat dan bakat anak. Baik di propinsi maupun di
kabupaten/kota, kecamatan hingga ke tingkat
gampong.
c. Memberikan ruang dan peluang bagi anak-anak dalam
menyampaikan aspirasi, kebutuhan, kepentingan, dan
keinginannya dalam pembangunan yang berhubungan
dengan anak.
d. Mendorong pengintegrasian potensi sumber daya
manusia, keuangan, sarana prasarana, metoda dan
teknologi dalam setiap tahapan perencanaan
pembangunan.
e. Menciptakan ruang/wadah partisipasi agar kesempatan
bagi anak untuk berpartisipasi lebih aktif, berbasis
minat, bakat dan kemampuan anak.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 58


f. Mendorong anak-anak menjadi warga negara aktif
(active citizen)
g. Memfasilitasi pembentukan dan kegiatan forum anak
h. Secara regulatif, perlu menerbitkan Peraturan
Gubernur tentang Pedoman Umum Partisipasi Anak
dalam Pembangunan di Aceh
i. Pemerintah, instansi terkait dan stakeholder perlu
mendesain program penguatan dan peningkatan
kapasitas forum anak di setiap levelnya secara lebih
terencana.

Terkait forum anak, KPPAA berpandangan bahwa:


1) Keberadaan forum anak akan memudahkan orang tua
dalam memantau kegiatan anak yang lebih positif dan
terarah. Selain itu memberikan pilihan kegiatan yang
lebih beragam kepada anak hingga kecerdasan sosial
mereka dapat terasah dan hak tumbuh kembangnya
dapat optimal.
2) Forum anak berperan sebagai perwakilan anak yang
akan menyampaikan suaram pendapat, gagasan, ide,
harapan, kebutuhan dan kepentingan anak.
3) Prinsip yang dibangun adalah kesediaan orang dewasa
baik pemerintah dan stakeholder, untuk mendengar
suara anak dan mempertimbangkannya dalam
pengambilan keputusan pembangunan.
4) Terkait keikutsertaan forum anak dalam musrenbang
KPPAA berpandangan bahwa setidaknya ada 3 (tiga)
tahap yang saling terkait dan perlu dipastikan, yakni
sebagai berikut:
a) Pra Musrenbang. Anak bebas menyampaikan
pendapat dan berdiskusi dengan didampingi

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 59


fasilitator anak terlatih. Materi yang didiskusikan
adalah inventarisasi masalah, potensi anak dimana
mereka tinggal, alternatif solusi masalah anak, dan
melakukan simulasi musrenbang.
b) Musrenbang. Keterlibatan forum anak dalam
musrenbang merupakan bentuk perwakilan anak
dalam proses formal. Fasilitator anak diperlukan
sebagai pendamping, terutama yang telah memiliki
pengetahuan dasar tentanganak dan memiliki
sikap sensitifitas terhadap anak. Keterlibatna
anak dalam musrenbang menjadi ukuran
keberhasilan. Namun untuk menjagaalur dan
kemanfaatannya, perlu kehadiran pengamat
independen yang memantau jalannya musrenbang
tersebut dan memberikan masukan.
c) Pemantauan. Anak-anak dapat terlibat dalam
pemantauan hasil musrenbang atau proses
pembangunan yang merupakan hasil usulan
mereka. Pemantauan ini dapat dilakukan lewat
media atau pengumuman di kantor pemerintahan.

3. Kesehatan
Persoalan tingginya angka kematian bayi, stunting,
tumbuh kembang anak, gizi kurang/rendah, cakupan
imunisasi, cakupan ASI Eksklusif, penyakit menular,
sanitasi lingkungan termasuk pelayanan kesehatan yang
buruk, termasuk akses air bersih, masih menjadi persoalan
kesehatan yang belum dapat diselesaikan. Masih banyak
PR untuk semua hal tersebut.
KPPAA memandang perlunya dilakukan sosialisasi
yang diperluas dan integratif dengan melibatkan lintas

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 60


sektor, Baik yang langsung menangani masalah kesehatan
maupun yang tidak langsung. Terutama di akar rumput
atau di gampong. Melibatkan kelompok strategis lainnya
seperti mahasiswa dan organisasi masyarakat.
Ditingkatkan intensitasnya terutama pada kelompok
masyarakat rentan, marginal dan pedesaan. Masyarakat
harus diberi edukasi tentang mekanisme dan teknis
bagaimana melakukan upaya-upaya. Memanfaatkan
sumber daya yang ada disekitar dalam meningkatkan
status gizi anak dan ibu.
Pemerintah juga dapat mendorong upaya lebih kuat
untuk menyediakan air bersih bagi masyarakat terutama
ibu hamil dan anak.

4. Sosial
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota perlu
menyediakan pusat-pusat pelayanan social anak yang
integrative dan holistic, yang menangani berbagai
persoalan anak. Baik itu anak korban kekerasan, anak
jalanan, pengemis anak, anak disabilitas maupun anak
berkebutuhan khusus dan sebagainya.
Khusus bagi anak korban kekerasan yang
memerlukan proses rehabilitasi secara khusus, Pemerintah
perlu menyediakan pusat-pusat rehabilitasi bagi pemulihan
kesehatan fisik dan mental, anak korban kekerasan.
Pemerintah Aceh juga perlu membangun pusat-pusat
pelatihan (pusdiklat) penanganan masalah sosial terutama
masalah kesejahteraan sosial anak, dalam semua konteks.

5. Anak dalam situasi darurat


Pemerintah perlu melakukan upaya atau langkah-
langkah perlindungan khusus bagi anak yang berada
dalam situasi darurat. Baik itu karena darurat bencana

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 61


alam dan non alam termasuk bencana social dan perang.
Termasuk anak yang berada dalam situasi darurat karena
kasus kekerasan yang dialami anak. Langkah-langkah
perlindungan khusus membutuhkan sumber daya manusia
yang memadai seperti kemampuan melakukan kegiatan
psikososial terstruktur, konseling, pemulihan fisik dan
mental.

6. Anak Berkebutuhan Khusus


a. Pemerintah perlu membangun pusat-pusat rehabilitasi
bagi anak berkebutuhan khusus yang dapat dijangkau
oleh kabupaten kota, sesuai diferensiasi kebutuhan
masing-masing. Terutama bagi anak dengan disabilitas
mental maupun ganda (mental dan fisik).
b. Pemerintah perlu memperkuat kapasitas SLB agar lebih
ramah ramah pada proses inklusifitas.
c. Pemerintah perlu memperkuat kapasitas dan aktifitas
Kelompok Kerja Anak Berkebutuhan Khusus (Pokja
ABK) yang selama ini masih sangat minim.

F. Kendala dan Tantangan kelembagaan


Beberapa Kendala dan Tantangan substantif yang
terpetakan oleh KPPAA selama satu tahun antara lain :
1. Internal
a. KPPAA Aceh merupakan lembaga yang terdiri atas
beberapa unsur yang jauh kaitannya dengan
Perlindungan Anak. Untuk itu, KPPAA berupaya
melakukan penyamaan persepsi secara intensif dengan
berbagai unsur yang ada di KPPAA.
b. Kapasitas kelembagaan seperti sekretariat dan vokal
point di Kabupaten/Kota yang belum memadai untuk
mendukung kegiatan dan tujuan-tujuan pengawasan.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 62


2. Eksternal
a. Masih perlunya penguatan pemahaman lintas sektor
terkait kelembagaan KPPAA yang masih baru, sehingga
lintas sektor dapat melibatkan KPPAA dalam
pelaksanaan program dan kegiatan di lintas sektor.
b. Masih perlunya penguatan dan sosialisasi kepada lintas
sektor Kabupaten/Kota terhadap keberadaan KPPAA
sehingga dapat menjadi mitra penting dalam
pelaksanaan Pembangunan Pemenuhan Hak dan
Perlindungan Anak.
c. KPPAA belum melihat adanya instansi pemerintah yang
memiliki data dasar dan sederhana namun penting.

G. Sekelumit Data
Salah satu persoalan yang sangat penting untuk terus
diperbaiki adalah Data dan Informasi. KPPAA masih melihat
persoalan data adalah persoalan yang sampai saat ini masih
sangat sulit diselesaikan. Namun demikian, KPPAA sangat
mengapresiasi para pihak yang telah dan terus melakukan
segala upaya dalam melakukan pendataan. Seperti SIGA,
Siskesos, SIPBM dan sebagainya.
Data-data dimaksud sangat bermanfaat terutama
sebagai langkah awal pengembangan data yang lebih maju.
Serta yang terpenting adalah menjadi dasar bagi penyusunan
program dan kegiatan pada tahun-tahun selanjutnya.

Beberapa data yang dapat dikompilasi KPPAA terkait


pelayanan terhadap anak, antara lain :
1. Penanganan ABH
Tahun
No Lembaga Layanan KTR
2015 2016 2017 2018
Pelaku, Korban
1 LPKS Aceh 164 103 76 79 dan Saksi

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 63


2 P2TP2A Aceh 93 108 46 28 Korban
P2TP2A Kab/Kota se
3 279 426 260 538 Korban
Aceh
4 Sakti Peksos 377 512 457
5 Polda Aceh 0 403 489 138 Pelaku
Pengadilan Negeri se
6 98 148 160 103 Pelaku
Aceh
Kanwil Pelaku, Rerata
7 345 110,33 81,66 62,33
Kumham/Bapas perbulan
Dari berbagai sumber
Lembaga yang melakukan penanganan Kasus Anak
Berhadapan dengan Hukum (ABH) di Aceh, ada banyak.
Selain lembaga yang dibiayai oleh pemerintah sebagaimana
tabel diatas, ada banyak lembaga non pemerintah lain yang
juga melakukan penanganan ABH. Kasus yang ditangani
oleh masing-masing lembaga fluktuatif, ada kecendrungan
menurun namun juga ada kecendrungan meningkat.
Satu hal yang patut dihargai adalah adanya lembaga
yang melakukan penanganan ABH. Hanya saja, pelayanan
yang diberikan lebih dominan pada penanganan korban.
Sementara pelayanan terhadap pelaku sering terabaikan.
Pelayanan pelaku lebih banyak pada konteks penanganan
secara hukum (proses hukum) si pelaku. Bukan pada
tahapan rehabilitasi pelaku. LPKS, sudah bergerak pada
melayani Pelaku, Korban dan Saksi. Mulai dari
penanganan, rehabilitasi sampai reintegrasi. P2TP2A,
masih pada ranah korban, belum berupa pelayanan pada
pelaku.

2. Kekerasan Terhadap Anak

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 64


Data diatas menunjukkan bahwa kekerasan terhadap
anak masih tinggi dan bentuk kekerasan terhadap anak
pun semakin variatif. Kalau tahun 2016, tidak ada kasus
trafiking, tahun 2017 dan 2018 sudah ada anak yang
menjadi korban kasus trafiking.
Kasus-kasus yang dapat berdampak berat bagi
tumbuh kembang anak seperti kekerasan fisik, psikis dan
seksual termasuk pemerkosaan masih menjadi hantu yang
paling menakutkan bagi anak. Belum lagi apabila dalam
setiap kasus tersebut, anak yang menjadi korban lebih dari
seorang. Data diatas tidak murni mencerminkan jumlah
korban.

3. Sosial

Pada program kesejahteraan sosial, data yang


terkumpul merupakan hasil identifikasi yang dilakukan

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 65


oleh TKSK di tingkat kecamatan. Data tidak didasarkan
pada pencatatan atas penanganan yang sudah dilakukan.
Berdasarkan data di atas, ada begitu banyak anak
Aceh yang perlu mendapat perhatian, bukan hanya oleh
satu SKPA tetapi oleh banyak SKPA. Karena urusan anak,
terkait pada banyak lembaga pemerintah dan non
pemerintah.

4. Pendidikan

Ternyata, setiap tahun ada sekitar 1,5% sampai 2,4% anak


Aceh yang berusia 13-15 tahun yang putus sekolah.
Artinya ada sekitar 7.000 – 12.000 anak Aceh yang putus
sekolah di usia tersebut. Demikian juga, ada sekitar 14% -

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 66


21% anak Aceh yang putus sekolah pada usia 16-18 tahun.
Artinya ada sekitar 64.000 – 97.000 anak Aceh yang putus
sekolah.

5. Kesehatan Anak

Secara umum, kasus terkait masalah kesehatan anak


berhasil ditekan setiap tahunnya. Namun pada titik
tertentu terjadi kenaikan walaupun tidak siknifikan dan
berhasil diturunkan. Hal ini menunjukkan, bahwa program
kesehatan anak masih harus lebih diperkuat dengan
berbagai cara. Salah satu caranya adalah melibatkan lintas
sektor secara lebih luas. Baik itu lintas sektor pemerintah
maupun non pemerintah. Termasuk melibatkan unsur
masyarakat adat dan tokoh adat.

6. Pernikahan Anak

Walaupun rata-rata pernikahan anak (usia 15 tahun


kebawah) di Aceh masih tergolong jauh dibawah rata-rata

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 67


nasional, namun masih cukup mengkhawatirkan apabila dilihat
dari kelompok usia 16-18 tahun yang melakukan pernikahan. Di
beberapa kabupaten kota masih mencapai diatas 20%. Apabila
dlihat rata-rata Aceh pada angka 23,97%, artinya masih ada
sekitar lebih dari 11.000 anak yang rentan mengalami kekerasan
dan perlakuan salah.

BAB V
PENUTUP

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 68


A. Kesimpulan
Sepanjang tahun 2018, pengawasan yang dilakukan
KPPAA sudah mencakup konteks tujuan strategis dan telah
menjalankan tupoksi. Namun tentu masih banyak terdapat
kekurangan dan keterbatasan-keterbatasan.

B. Rekomendasi Umum
Pada Tahun 2018, KPPAA berencana terus memperkuat
pengawasan dan upaya-upaya menjalin komunikasi dan
koordinasi lintas sektor.
Pada kegiatan koordinasi dan konsultasi dengan lintas
sektor Provinsi dan Kabupaten/Kota, baik secara formal
maupun non formal, baik atas undangan KPPAA maupun
atas undangan lintas sektor serta pada kegiatan yang
dilakukan oleh lintas sektor dan melibatkan KPPAA, KPPAA
banyak memberikan masukan dan usulan terkait :
1) Perbaikan Kebijakan yang dibutuhkan untuk
memperkuat berbagai aspek pemerintah dan
masyarakat dalam Pemenuhan Hak Kesejahteraan dan
Perlindungan Anak.
2) Keberpihakan anggaran yang dialokasikan oleh
pengambil kebijakan pada setiap tingkatan, baik
propinsi, kebupaten/kota maupun gampong.
3) Penguatan Partisipasi Anak, tentang bagaimana
memperkuat partisipasi mandiri anak secara efektif
dan efisien dalam setiap pengambilan kebijakan
4) Penguatan Kapasitas dan komitmen yang dibutuhkan
dan penting dilakukan untuk memperkuat kapasitas

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 69


lintas sektor pemerintah, non pemerintah di semua
tingkatan.
5) Penguatan Pelayanan/Pelaksanaan Program yang
dilakukan dan dijalankan lintas sektor agar tetap pada
jalur yang sesuai dengan amanah peraturan-
perundang-undangan, serta tidak menutup
kemungkinan adanya inovasi-inovasi baru yang
bermanfaat bagi kepentingan terbaik bagi anak.
6) Perlunya segara membentuk Komite Penanganan dan
Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan dengan Hukum
yang difasilitasi oleh Dinas Sosial Aceh.
7) Dalam perspektif hukum dan peraturan, Pemerintah
perlu dan sangat mendesak untuk:
a. Menyiapkan Qanun Ketahanan Keluarga
b. Mendorong Pemerintah Pusat untuk segera
menyelesaikan UU Penghapusan Kekerasan
Seksual
c. Menerbitkan Peraturan Gubernur tentang
Pedoman Umum Partisipasi Anak dalam
Pembangunan di Aceh
8) Rumah dan keluarga harus dikembalikan fungsinya
dalam memaksimalkan peran orangtua dalam
mendidik anaknya karena sekolah harus bersinergi
dengan orangtua dan masyarakat dalam memutus
mata rantai kekerasan.
9) Pencegahan bullying/perundungan harus di
kampanye secara terus menerus oleh berbagai pihak
melalui program “SEKOLAH AMAN” dan program
“SEKOLAH RAMAH ANAK”.
10) Pentingnya penguatan pendidikan karakter (PPK),
terutama budi pekerti dari pendidik sampai petugas
sekolah, termasuk birokrat pendidikan agar menjadi
role model bagi anak-anak.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 70


11) Menguatkan koordinasi untuk sinkronisasi data kasus
perlindungan anak agar menjadi dasar pijakan dalam
membuat kebijakan perlindungan anak yang
komprehensif, khususnya data Anak Berhadapan
dengan Hukum.
12) Perlu evaluasi program-program pencegahan yang
dibuat oleh dinas/lembaga terkait dalam menguatkan
budaya hukum masyarakat sebagai upaya
menurunkan angka kejahatan terhadap anak (korban)
maupun angka anak yang berkonflik dengan hukum
(pelaku).
13) Perlu melibatkan masyarakat sebagai unsur sentral
dalam upaya pencegahan dan penanganan serta
rehabilitasi terhadap Anak yang Berhadapan dengan
Hukum baik sebagai pelaku, korban maupun saksi
dalam membangun kontrol sosial yang positif.
14) Perlu menyediakan tenaga psikolog di LPAS dan LPKA
untuk Tahanan Anak dan Anak didik Lapas,
bekerjasama dengan universitas/LSM/lembaga
professional.
15) Kerjasama dengan dunia usaha yang berkomitmen
terhadap perlindungan anak terkait untuk Pelaku
anak yang sudah mendapatkan ketrampilan selama di
LPKA dapat disalurkan untuk bekerja atau
melanjutkan pendidikan setelah keluar dari LPKA.
16) POLRI sebagai ujung tombak pelaksanaan diversi
ditahap awal memiliki perspektif yang baik dalam
penanganan ABH sehingga dapat meminimalisir
jumlah Anak yang harus menjalani proses pidana
formal.
17) Dinas PP dan PA dan dinas sosial dapat melakukan
fungsi koordinatif dalam memastikan program-
program terkait ABH menjadi lebih optimal, lebih

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 71


terstruktur sesuai dengan prioritas yang ditetapkan
pemerintah.
18) Melakukan penguatan kelembagaan di Tingkat Pusat
dan daerah dengan cara memaksimalkan pengawasan
berbasis system yang didukung oleh komitmen
pembangunan berperspektif perlindungan anak
dengan membentuk KPAD secara massif di
kabupaten/sebagai upaya Rafferal System secara
langsung KPPAA terhadap persoalan perlindungan
anak
19) Mendorong peningkatan sumber Daya Manusia,
kelembagaan secara administratif baik kepada
Komisioner dan Staff KPPAA secara regular.

C. Rekomendasi Lintas Sektor


Pemerintah Daerah
1. Pemerintah dan DPRA/K perlu mengintegrasikan
perspektif perlindungan anak dalam semua kebijakan
dan peraturan daerah yang terkait dengan perlindungan
anak.
2. Pemerintah perlu membangun sistem proteksi optimal
terkait perlindungan anak berbasis teknologi dan
informasi.
3. Pemerintah Daerah perlu mengembangkan model-model
program berbasis perlindungan anak yang berkelanjutan
hingga ke desa-desa
4. Pemerintah perlu meningkatkan alokasi anggaran untuk
pemenuhan hak dasar anak dan perlindungan khusus.
5. Pemerintah perlu melibatkan anak secara optimal dalam
pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
penganggaran, dan evaluasi sesuai tahapan usianya.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 72


6. Pemerintah melakukan pengarusutamaan perlindungan
anak bagi sumber daya manusia penyelenggara
pelayanan publik dan pihak-pihak yang terlibat dalam
pemenuhan hak anak.
7. Pemerintah perlu mengembangkan model desa ramah
anak sebagai ujung tombak mewujudkan Aceh yang
ramah anak.
8. Perlu mengefektifkan koordinasi dengan membentuk tim
reaksi cepat (TRC) dalam pencegahan dan penanganan
kerentanan dan kasus anak sebagai korban perdagangan
orang, lintas SKPA dan Lembaga terkait, mengingat
modus kejahatan perdagangan orang semakin beragam
dan mengancam keselamatan anak-anak.
9. Perlu segera membentuk gugus tugas pencegahan dan
penanganan pornografi, gugus tugas traficking di semua
daerah dan mengefektifkan perannya.
10. Perlu segera membentuk KPAD sesuai dengan mandat
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, sehingga dapat
meningkatkan efektifitas pengawasan terhadap
perlindungan anak.
11. Untuk mendukung implementasi UU SPPA, hendaknya
Pemerintah daerah berkontribusi dalam membuat
program pencegahan dan perlindungan terhadap ABH
ditingkat akar rumput untuk meminimalisir kasus ABH,
melakukan sosialisasi UU SPPA agar penanganan ABH
lebih baik

Bappeda;

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 73


1. Perlu meningkatkan anggaran secara signifikan untuk
optimalisasi pelaksanaan tupoksi KPPAA.
2. Perlu meningkatkan anggaran untuk advokasi sekolah
ramah anak, madrasah ramah anak dan pesantren
ramah anak.
3. Perlu peningkatan anggaran perlindungan anak korban
bencana, mengingat sejumlah wilayah di Aceh memiliki
kerentanan bencana.
4. Perlu memberikan dukungan anggaran yang memadai
untuk perlindungan anak dari kerentanan radikalisme
dan terorisme.
5. Perlu perencanaan dan dukungan yang sistemik
pengembangan sistem jaminan kesehatan Aceh yang
ramah anak.
6. Perlu perencanaan dan dukungan yang sistemik bagi
perlindungan anak dari traficking.
7. Perlu upaya peningkatan kecakapan pengasuhan bagi
calon orang tua dan seluruh orang tua

Kemenag
1. Perlu mengembangkan sistem pencegahan radikalisme
berbasis agama, agar kerentanan anak menjadi korban
indoktrinasi radikalisme dan terorisme dapat terlindungi
sedini mungkin.
2. Perlu penguatan leading sektor gugus tugas pencegahan
dan penanganan pornografi agar dapat menjalankan
mandat pencegahan dan optimalisasi penanganan
pornografi secara simultan dan terintegrasi dengan
Instansi dan lembaga yang terkait.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 74


3. Perlu melakukan pembenahan terhadap proses
pelaksanaan pendidikan pra nikah melalui perbaikan
sistem, metode dan kurikulum, agar pendidikan pra
nikah dapat berjalan maksimal untuk meningkatkan
kualitas perkawinan dan pengasuhan anak.
4. Perlu memberikan dukungan pengembangan sistem
peradilan perdata yang ramah anak.
5. Perlu memberikan dukungan pembangunan sistem
peradilan keluarga.

Dinas Syariat Islam


1. Mempercepat proses Rancangan Qanun Hukum Keluarga
yang berpersfektif anak.
2. Perlu memberikan dukungan pendampingan penguatan
pengasuhan terhadap keluarga-keluarga rentan seperti
keluarga dengan perkawinan usia anak, dalam situasi
konflik,
3. Perlu membentuk regulasi dan memberikan dukungan
reformasi hukum perlindungan anak dalam proses
perceraian orang tua

Dinas Dayah
1. Perlu mengembangkan pesantren dan satuan pendidikan
berbasis agama yang ramah anak di Aceh.
2. Perlu mengembangkan pengawasan terhadap dayah di
Aceh

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan;


1. Mengingat masih tingginya kasus kekerasan di
lingkungan satuan pendidikan, maka penting untuk

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 75


mengintegrasikan perspektif perlindungan anak dalam
layanan di satuan pendidikan mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pembinaan dan evaluasi.
2. Perlu meningkatkan pelatihan dan pembinaan bagi para
pendidik dan tenaga kependidikan dalam upaya
pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan
pendidikan mengingat masih tingginya kekerasan di
pendidikan.
3. Perlu mendorong pengimplementasian kebijakan sekolah
aman bencana khususnya di daerah rawan bencana.
4. Perlu adanya penguatan kapasitas kepada masyarakat,
tenaga pendidik, dan orang tua terkait dengan literasi
media, sehingga dapat menjadi agen sosialisasi yang
masif untuk melindungi dan mencegah anak menjadi
korban dan pelaku kekerasan seksual, pornografi dan
perilaku seks beresiko termasuk kejahatan seksual
online.
5. Perlunya upaya peningkatan kecakapan pengasuhan
bagi calon orang tua dan seluruh orang tua melalui
institusi sekolah.
6. Perlunya melakukan dukungan pendampingan
penguatan pengasuhan terhadap keluarga-keluarga
rentan seperti keluarga dengan perkawinan usia anak,
dalam situasi konflik khususnya melalui identifikasi
yang dilakukan oleh tenaga pendidik.
7. Menjamin kelangsungan pendidikan bagi Andikpas
selama berada di LPKA, dimana persentase
keberlanjutan pendidikan bagi Anak di LPKA sangat
minim dan memastikan pendidikan setelah anak keluar
dari LPKA

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 76


Dinas Kesehatan;
1. Perlu mengembangkan sistem layanan kesehatan yang
ramah anak, termasuk melakukan pencegahan optimal
terhadap potensi kerentanan anak yang mengalami
masalah kesehatan dan memastikan layanan kesehatan
bagi anak yang berada di daerah terpenci dan
perbatasan.
2. Perlunya upaya peningkatan kecakapan pengasuhan
bagi calon orang tua dan seluruh orang tua melalui
posyandu.
3. Perlunya melakukan dukungan pendampingan
penguatan pengasuhan terhadap keluarga-keluarga
rentan seperti keluarga dengan perkawinan usia anak,
dalam situasi konflik khususnya melalui identifikasi
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan

Dinas Sosial;
1. Perlu memperluas pendataan anak penyandang masalah
kesejahteraan sosial khususnya bagi anak penyandang
disabilitas dan anak terlantar.
2. Perlu memperluas dan meningkatkan sosialisasi terkait
Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) kepada
masyarakat.
3. Perlu melakukan evaluasi terhadap kebijakan teknis
tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) pemenuhan
hak anak yang ada di panti sosial karena selama ini
diduga banyak yang tidak memenuhi standar tersebut.
4. Perlu mensosialisasikan secara massif ketentuan
mekanisme dan pedoman terkait pelaksanaan
pengasuhan anak.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 77


5. Perlu melakukan dukungan pendampingan penguatan
pengasuhan terhadap keluarga-keluarga rentan seperti
keluarga dengan perkawinan usia anak, orang tua dalam
situasi konflik.
6. Perlu melakukan pendampingan pengasuhan pada fase
integrasi anak berhadapan dengan hukum.
7. Perlu melakukan upaya percepatan akreditasi panti.
8. Memperkuat LPKS dan pendampingan tenaga pekerja
sosial profesional untuk anak yang menjadi
korban/saksi kekerasan dengan mengoptimalkan
kuantitas dan kualitas Pekerja Sosial Profesional menjadi
satu sistem yang di implementasikan antar
instansi/lembaga agar penanganannya menjadi
sistematis dan komprehensif.

Dinas Kominfo dan Telematika;


1. Perlu membangun sistem proteksi maksimal yang cepat
dan tepat dalam penanganan terhadap konten-konten
pornografi dan cyber crime.
2. Perlu membuat regulasi dan sistem pengawasan yang
tegas kepada penyedia layanan, agar mempunyai sistem
proteksi maksimal dalam upaya menghindarkan anak
dari pornografi dan cyber crime.
3. Perlu memperkuat pusat data yang lebih memadai dan
sesuai kebutuhan lintas sector.

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi;


1. Perlu membangun sistem perlindungan anak dari
eksploitasi anak atas nama pekerjaan.
2. Perlu mengembangan sistem pengawasan
ketenagakerjaan di tingkat kota /kabupaten, mengingat

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 78


masih banyak anak-anak yang di pekerjakan dalam jenis
pekerjaan yang berbahaya dan melanggar hak-haknya.

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;


1. Perlu melakukan sinergi dengan Kemendikbud, Kemenag
dan Dinas-dinas terkait di daerah melalui MoU atau
Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, untuk
mendorong peningkatan program Sekolah ramah Anak
(SRA)
2. Perlu mendorong leading sektor gugus tugas PTPPO di
seluruh kabupaten kota sebagai salah satu upaya
pencegahan, optimalisasi penanganan dan upaya
reunifikasi dalam masalah perdagangan orang secara
simultan dan terintegrasi dengan Dinas dan Lembaga
terkait.
3. Perlu peningkatan kapasitas bagi kelompok perempuan
tentang literasi media sosial yang ramah anak.
4. Perlunya upaya peningkatan kecakapan pengasuhan
bagi calon orang tua dan seluruh orang tua.

Kepolisian Daerah Aceh


1. Perlu Peningkatan dan penguatan kapasitas anggota
kepolisian yang berperspektif perlindungan anak, untuk
pemastian pelayanan yamg ramah anak, baik anak
sebagai korban maupun pelaku, dengan mengedepankan
restorative justice dan diversi.
2. Perlu peningkatan komitmen dalam upaya penegakkan
hukum terkait tindak kejahatan terhadap anak.
3. Perlu pembentukan UPPA di tingkat Polsek terutama di
area yang rentan kejahatan terhadap anak.

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 79


4. Perlu meningkatkan upaya pencegahan penyalahgunaan
Narkotika dan zat terlarang lainnya bagi anak secara
masif dan berkelanjutan. Mengingat modus kejahatan
penyalahgunaan narkotika saat ini semakin canggih dan
menyasar usia anak

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM);


1. Perlu mengoptimalkan pengawasan obat, makanan dan
jajanan anak usia sekolah, agar kerentanan anak
menjadi korban dapat dicegah sedini mungkin.
2. Perlu meningkatkan sosialiasi dan edukasi kepada
masyarakat terutama usia anak terkait obat, makanan
dan jajanan yang aman dan sehat untuk anak.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB);


1. Perlu membuat petunjuk teknis pelaksanaan
perlindungan dan pemenuhan hak anak yang menjadi
korban bencana khususnya anak yang berada di
pengungsian.
2. Memperkuat kapasitas mitigasi bencana di tempat-
tempat konsentrasi anak seperti sekolah, daya dll.
Demikian laporan ini dibuat, seraya tetap mengharapkan
masukan dan kritik dari berbagai pihak. Semoga laporan ini dapat
memberikan sedikit gambaran tentang kegiatan yang telak
dilaksanakan oleh KPPAA yang didukung oleh lintas sektor.
Semoga ada manfaatnya.

Wassalam
Banda Aceh, Des 2018
Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 80


DR. Tgk. Muhammad AR
Ketua

Laporan Pengawasan Akhir Tahun 2018 - KPPA Aceh | 81

Anda mungkin juga menyukai