TAHUN 2015
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
Diterbitkan Oleh:
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional /
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Tim Penyusun:
Ketua Tim Pengarah : Dr. Sofyan A. Djalil, SH, MA, MALD
Anggota Tim Pengarah : Ir. Rizky Ferianto, MA; Dra. Rahma Iryanti, M.T; DR. Pribudiarta Nur
Sitepu, MM; Lenny N. Rosalin, SE. M.Sc, M.Fin.
Penanggungjawab Kegiatan : Dr. Ir. Subandi, MSc.
Ketua Tim Pelaksana : Dr. Drg. Theresia Ronny Andayani, MPH.
Sekretaris Tim Pelaksana : Ir. Yosi Diani Tresna, MPM.
Anggota Tim Pelaksana : Ir. Agustina Erni, M.Sc; Rini Handayani, SE, MM; Ir. Nurti Mukti
Wibawati; Ali Khasan, SH. M.Si; Hasan, S.H; Maydian Werdiastuti, M.Si;
Dra. Elvi Hendrani; Drs. Hendra Jamal, M.Si; Drs. Darmawan M.Si;
Dra.Dyah Elvina; Dra. Valentina Ginting, M.Si; Ir. Suharti, M.A., Ph.D; dr.
Slamet, MHP; Dra. Sri Puguh Budi Utami, Bc.IP, M.Si; Ir. Restuardy
Daud, M.Sc; Dr. Vivi Yulaswati, MSc; Arif Christiono, SH, MSi; Dr. Drg.
Theresia Ronny Andayani, MPH; Dr. Hadiat, MA; Ir. Destri Handayani,
M.E; Ahmad Taufik, S.Kom, MAP; Ir. Ani Pudyastuti, MA; Dani
Ramadan, S.Si, MHR; Indah Erniawati, S.Sos; Aini Harisani, SE; Yasmin
Zafira S.Sos
Tenaga Ahli : Prof. Irwanto, Ph.D; Ni Luh Putu Maitra Agastya, S.Sos, MSW; Putri
Kusuma Amanda, SH, LLM; Clara Siagian, Santi Kusumaningrum.
Mitra Pendukung : UNICEF
USER 1
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
KATA PENGANTAR
Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak (RAN-PA) merupakan penjabaran lebih rinci
atas pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-
2019 untuk mencapai sasaran pembangunan perlindungan anak sebagaimana telah
ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 2/2015 tentang RPJMN tahun 2015-2019.
Pencapaian berbagai sasaran komitmen global seperti Konvensi Hak Anak dan
Sustainable Development Goals juga menjadi tujuan dalam rencana aksi ini.
Seperti yang tertera dalam dokumen RPJMN 2015-2019, Pemerintah Indonesia
berkomitmen dalam upaya perlindungan anak sebagai bagian dari bentuk investasi
terhadap pembangunan sumber daya manusia. Cita-cita besar inipun sejalan dengan
agenda nasional pembangunan (Nawacita). Pemenuhan hak dan perlindungan anak
secara optimal akan menghasilkan individu berkualitas yang akan membawa kemajuan
bangsa di masa yang akan datang, sebaliknya jika permasalahan anak tidak tertangani
dengan baik maka generasi selanjutnya akan menjadi beban bagi negara.
Sasaran utama RAN-PA ini adalah anak, yang berdasarkan UU No.35/2014 tentang
Perubahan Atas UU No.22/2003 tentang Perlindungan Anak merupakan individu
berusia 0 sampai sebelum 18 tahun termasuk anak yang berada di dalam kandungan.
Intervensi yang dilakukan dalam RAN-PA ini dibagi kedalam tiga kategori berdasarkan
kebutuhan selama siklus hidup usia anak, yakni Pondasi yang Kuat 1000 Hari Pertama
Kehidupan (0 - 2 tahun), Pilar yang Kokoh dalam 10 Tahun Perkembangan Anak (>2 -
12 tahun), dan Atap yang Melindungi (>12 – <18 tahun).
RAN-PA telah diamanatkan dalam UU No.35/2014 Bab II Pasal 21 ayat (1), (2), dan (3)
sebagai kewajiban negara dalam menghargai, melindungi, dan memenuhi hak-hak anak.
Oleh karena itu, RAN–PA memuat koordinasi lintas sektor termasuk lembaga non
pemerintah dan dunia usaha dalam mewujudkan pemenuhan hak dan perlindungan
anak di Indonesia. Di tingkat daerah, RAN-PA dapat dikembangkan menjadi Rencana
Aksi Daerah (RAD) terkait perlindungan anak dan diintegrasikan dengan program
pemerintah daerah. Dalam hal ini, peranan Pemerintah Daerah dan masyarakat sipil
sangat penting untuk melaksanakan aksi pemenuhan hak dan perlindungan yang
diperuntukkan bagi anak.
Dengan adanya dokumen ini, diharapkan upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak
di Indonesia dapat dilakukan secara holistik, serta sasaran nasional pembangunan
perlindungan anak dapat tercapai secara optimal.
Sofyan A. Djalil
USER 2
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
Ringkasan Eksekutif
--------------------------------------------------------------------------------------------
USER 3
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
USER 4
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
DAFTAR ISI
USER 5
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
DAFTAR GAMBAR
USER 6
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
BAB I. PENDAHULUAN
USER 7
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Anak sebagai kapasitas yang terus berkembang dan hak-haknya diakui dan dilindungi
oleh berbagai konvensi internasional, khususnya di dalam Konvensi Hak Anak (KHA),
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), dan
Konvensi Hak-hak Orang dengan Disabilitas (UNCRPD). Ketiga konvensi yang
disebutkan di atas menekankan pada pentingnya pendidikan keluarga untuk
perkembangan dan kepentingan terbaik bagi anak.
Anak sebagai pemegang hak ditekankan dalam KHA. Adapun hak anak tersebut yaitu
hak-hak sipil, politik, sosial, dan budaya. Perlindungan dan pemenuhan hak-hak
tersebut didasarkan pada empat (4) prinsip hak asasi manusia, yaitu: (1) non
diskriminasi; (2) kepentingan terbaik anak; (3) hak untuk hidup dan berkembang; dan
(4) hak untuk didengar pendapatnya. Konvensi ini telah diratifikasi melalui Keputusan
Presiden Nomor 36/1990 dengan tujuan agar anak sebagai penerus generasi bangsa
menjadi isu prioritas, dan memperoleh ruang berpartisipasi dalam pembangunan
nasional. Sebagai bagian dari komitmen yang kuat terhadap perlindungan hak-hak anak,
Indonesia juga telah meratifikasi protokol tambahan KHA mengenai (1) perdagangan,
prostitusi, dan pornografi anak; dan (2) keterlibatan anak dalam konflik bersenjata.
Konvensi Hak-Hak Orang dengan Disabiltas yang diratifikasi melalui UU No. 19/2011
menjamin anak dengan disabilitas mendapatkan pemenuhan hak yang sama dengan
anak lainnya, termasuk akses terhadap pendidikan yang layak dan identitas hukum.
Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of Discrimination Against
Women/CEDAW) yang menekankan pada pentingnya pendidikan keluarga untuk
perkembangan dan kepentingan terbaik bagi anak. Perlindungan yang serupa juga telah
dijamin di dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
(Ratifikasi Melalui UU No. 11/2005) yang antara lain menekankan pada: (1)
perlindungan terhadap keluarga, tanggung jawab keluarga atas perawatan dan
pendidikan anak; (2) perlindungan dan bantuan untuk kepentingan anak dan remaja,
tanpa diskriminasi; dan (3) perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi dan sosial.
Secara global, pembangunan, termasuk didalamnya pembangunan yang berpihak pada
anak mengacu pada Sustainable Development Goals (pembangunan berkelanjutan),
terutama mengakhiri kemiskinan anak (G-1), mengakhiri kelaparan dan kekurangan gizi
pada anak (G-2), memastikan setiap anak sehat dan sejahtera (G-3), akses yang sama
pada pendidikan yang berkualitas (G-4), memastikan kesetaraan gender (G-5),
memastikan akses pada air bersih dan sanitasi (G-6), akses pada energi yang murah dan
berkelanjutan (G-7), mampu memperoleh kesempatan kerja yang bermartabat (G-8),
literasi dan akses dalam pemanfaatan teknologi (G-9), memastikan kesamaan
kesempatan (G-10), lingkungan komunitas dan kota yang ramah anak (G-11),
memperoleh manfaat dan dan dapat berpartisipasi dalam konsumsi yang bertanggung
jawab (G-12), terhindar dari konsekuensi buruk perubahan iklim (G-13), masih
memiliki akses, mampu menimati manfaat kekayaan laut (G-14), diberi kesempatan dan
mampu menjaga kelestarian Bumi (G-15), dan memastikan anak berkembang dalam
lingkungan yang damai dan inklusif dan mendapatkan akses kepada keadilan, termasuk
memiliki identitas hukum (G-16).
USER 8
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
USER 9
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
USER 10
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
situasi yang paling mutakhir. Khusus mengenai isu kekerasan terhadap anak akan
dimuat lebih lanjut di dalam Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak,
sementara Kota/Kabupaten Layak Anak menjadi kebijakan yang setara dengan Rencana
Aksi ini untuk diimplementasikan sebagai inisiatif Kabupaten/Kota sesuai dengan Bab II
Pasal 21 ayat (4) dan (5).
Konsep mengenai “perlindungan anak” merujuk pada UU No. 35/2014 pasal 1 ayat 2,
yang menyatakan bahwa bahwa “Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dengan
demikian, arti perlindungan menurut undang-undang ini tidak sekedar melindungi anak
dari berbagai risiko kekerasan eksploitasi atau penelantaran, tetapi lebih luas dari itu
karena yang dilindungi adalah hak-hak dasar anak.
USER 11
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
USER 12
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
BAB II
ANALISA SITUASI DAN TANTANGAN
USER 13
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
Selanjutnya, laporan Save the Children tahun 2012 menunjukkan bahwa anemia adalah
isu kesehatan utama yang dihadapi oleh anak perempuan dan wanita di negara
berkembang (Save the Children, 2012). Data Riskesdas 2013 memperkirakan 24.2
persen ibu hamil di Indonesia memiliki risiko kekurangan energi kronis (KEK) serta
24.3 persen ibu hamil memiliki risiko kekurangan yodium. Diketahui bahwa anemia
juga merupakan penyebab utama kematian ibu serta bayi lahir dengan berat badan
rendah (dibawah 2500 gram). Efek buruk yang kurang lebih sama juga didapati pada
ibu hamil dan anak yang kekurangan yodium karena mempertinggi risiko kerusakan
otak pada bayi.
Memperkuat pondasi bagi kesejahteraan anak berlanjut dari masa kehamilan ke masa
kehidupan awal sejak hari pertama. Akan tetapi, banyak anak yang tidak memulai
kehidupan dengan modal kondisi yang ideal. Saat ini kematian neo-natal di Indonesia
diperkirakan pada angka 19 per 1000 kelahiran sementara angka kematian bayi (0-11
bulan) adalah 40 per 1000 kelahiran. Penyebab utama kematian neo-natal dan bayi
terbanyak adalah infeksi, terutama pneumonia dan diare serta berat badan yang lahir
rendah (Riskesdas 2013).
b. Pencatatan Kelahiran dan Kepemilikan Akta Kelahiran
Pencatatan kelahiran adalah bagian dari sistem besar pencatatan sipil dan statistik vital
yang diperlukan pemerintah untuk mendapatkan data kependudukan yang tepat, aktual
dan akurat. Data jumlah kelahiran diperlukan untuk menentukan pertumbuhan jumlah
penduduk secara aktual sebagai dasar penentuan target dan penganggaran layanan
yang lebih terarah dan efektif. Saat ini Indonesia belum memiliki sistem pencatatan sipil
dan statistik vital yang holistik dan terpadu, termasuk sistem pencatatan perkawinan
belum terintegrasi dengan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).
Pembuatan kebijakan, sasaran dan anggaran dilakukan dengan mengandalkan data-data
dari survei yang mengandalkan sampling populasi. Data sensus hanya tersedia 10 tahun
sekali.
Akta Kelahiran sebagai dokumen identitas hukum merupakan produk hukum dari
pencatatan kelahiran. Akta Kelahiran merupakan hak sipil dasar setiap anak sebagai
bentuk perlindungan hukum dari negara. Akta Kelahiran juga menjadi dasar
pembuktian kewarganegaraan seorang anak yang selanjutnya menjadi acuan untuk
mengakses pelayanan dasar lainnya. Kajian dasar mengenai kepemilikan Identitas
Hukum (Sumner & Kusumaningrum, 2014) menunjukkan bahwa anak yang memiliki
akta kelahiran lebih sering mengakses layanan kesehatan daripada yang tidak. Kajian
tersebut juga menemukan adanya hubungan positif antara kepemilikan akta kelahiran
dan kemungkinan anak menamatkan pendidikan dasar dan menengah.Kepemilikan akta
kelahiran pada anak usia 0-17 tahun di rumah tangga termiskin dua kuintil terbawah
baru mencapai 50% (SUSENAS, 2014).
c. Status Gizi, Ketahanan dan Perkembangan Anak
Berawal dari masa kehamilan, pondasi yang kuat terus dibangun hingga anak berusia
dua tahun. Gizi buruk berhubungan dengan prestasi pendidikandan produktivitas yang
rendah, risiko mengidap penyakit tidak menular, serta menurunnya sistem kekebalan
tubuh. Penelitian longitudinal menunjukkan anak dari keluarga miskin yang tidak
memperoleh asupan gizi memadai akan mempunyai kemampuan kognitif yang
rendah(lihat Dickerson dan Popli 2014, Engle dan Black 2008 dan Grantham-MacGregor
et al., 2007) serta cenderung miskin ketika dewasa(Grantham-MacGregor et al., 2007).
USER 14
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
Seribu hari awal kehidupan merupakan periode hidup yang krusial untuk mencegah,
mendeteksi, merehabilitasi serta mengurangi dampak disabilitas. Ada tiga jenis risiko
disabilitas yang dapat dialami oleh anak-anak yaitu (1) “risiko bawaan” - disabilitas yang
disebabkan oleh faktor genetik, (2) “risiko biologis”- disabilitasyang merupakan akibat
permasalahan fisik setelah anak dilahirkanseperti kekurangan gizi, dan (3) “risiko di
lingkungan” -disabilitas yang merupakan akibat dari lingkungan yang tidak sehat dan
tidak mendukung. Pada kenyataannya, anak-anak terutama dari keluarga miskin rentan
terhadap ketiga risiko disabilitas ini sekaligus. Data Sensus 2010 yang diolah ulang oleh
Lembaga Demografi UI menunjukkan bahwa adanya anggota keluarga dengan
disabilitas meningkatkan tingkat kemiskinan keluarga tersebut hingga 3-28 persen
tergantung tingkat keparahan disabilitasnya (Adioetomo, Mont, Irwanto, 2014).
Untuk anak-anak berusia di bawah 1000 hari, risiko bawaan dan risiko biologis perlu
penanganan secara efektif. Risiko bawaan dapat diatasi sejak sebelum masa kehamilan.
Pencegahan risiko bawaan sangat berkaitan dengan kesehatan calon ayah dan ibu serta
kemudian kesehatan ibu selama masa kehamilan. Kekurangan asam folat pada
trisemester pertama kehamilan, contohnya, dapat mengakibatkan bayi lahir dengan
tulang belakang cacat. Kekurangan Vitamin A juga dapat mengakibatkan gangguan
visual pada bayi yang akan dilahirkan. Ibu hamil yang kekurangan yodium akan
memberikan risiko pada bayi dikandungnya lahir dengan keterbelakangan mental dan
gangguan pertumbuhan. Catatan ini penting karena masih ada 18.4% rumah tangga
yang kurang dan 8% tidak mengkonsumsi yodium (Riskesdas tahun 2013 hal. 249).
Deteksi awal segera setelah kelahiran akan berdampak positif pada pengurangan risiko
atau keparahan disabilitas pada anak di bawah 1000 hari. Disabilitas pada usia anak
terutama di bawah 1000 hari belum menjadi prioritas di dalam RPJMN 2015-2019.
Meskipun demikian, program dan target seperti pemberian imunisasi yang lengkap
turut mendukung pencegahan disabilitas pada bayi dan anak di bawah 1000 hari
USER 15
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
misalnya imunisasi polio. Selain vaksinasi, program disabilitas lainnya yang diarahkan
untuk anak-anak lebih terkonsentrasi pada periode umur di atas 5 tahun terutama dari
sektor pendidikan dan bantuan sosial.
Untuk menjembatani kesenjangan intervensi isu disabilitas di periode 1000 hari awal
kehidupan, diperlukan data dan informasi yang tepat, akurat dan lengkap yang saat ini
tidak tersedia. Riskesdas tahun 2013, misalnya, hanya menyajikan data disabilitas
dalam kelompok umur 2-5 tahun. Ketiadaan data ini menyebabkan arah kebijakan,
perencanaan, program dan anggaran yang kurang memadai untuk isu disabilitas anak
terutama untuk anak di bawah 1000 hari kehidupan.
e. Pengasuhan Berbasis Keluarga, Pencegahan dan Penanganan Kekerasan
serta Penelantaran
Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak menyatakan bahwa keluarga adalah tempat
terbaik bagi tumbuh kembang anak yang optimal (pasal 9). Anak-anak yang berada di
institusi/panti sejak dini dan dalam waktu yang panjang sering tidak mendapatkan
rangsangan perkembangan dan pemenuhan kebutuhan akan kelekatan (attachment)
yang mempengaruhi perkembangan kognitif dan sosial anak di masa depan (Save the
Children, Depsos RI and UNICEF 2007:21).
Data Kemensos menyatakan bahwa pada tahun 2013 masih terdapat 205.700 anak yang
diasuh di dalam panti. Dari data tersebut tidak diketahui sejak usia berapa mereka
sudahdi panti. Di samping itu, berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa banyak Ibu-
ibu buruh migran yang terpaksa meninggalkan anak-anaknya yang masih bayi untuk
diasuh hanya oleh ayah atau oleh pengasuh pengganti. Nasib anak-anak yang
ditinggalkan orangtua, khususnya Ibu yang bekerja di luar negeri dalam jangka waktu
lama telah menjadi perhatian serius baik oleh tokoh masyarakat setempat maupun oleh
aktivis hak-hak anak. Mereka rentan memperoleh kekerasan domestik, penelantaran
dan bullying oleh teman sebaya (Sellabank, 2015).
Penelitian-penelitian longitudinal (School of Human Services and Social Work 2012:7)
menunjukkan bahwa membantu keluarga memahami tugas-tugas perkembangan anak
dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan salah
terhadap anak. Peningkatan kualitas pengasuhan orangtua dalam jangka panjang juga
ditemukan dapat mengurangi kemungkinan anak untuk melakukan kegiatan-kegiatan
berisiko(Heckman, 2011).
2.1.2. Pilar yang kokoh dalam 10 tahun Pertumbuhan dan Perkembangan anak (3-
12 tahun)
Investasi di 1000 hari pertama awal kehidupan sampai dengan anak berusia 3 tahun
menjadi dasar bagi perkembangan anak pada satu dekade berikutnya sebelum
memasuki masa remaja. Dalam periode ini, interaksi anak dengan lingkungan di luar
keluarga bertambah. Lingkungan fisik dan sosial yang sehat, aman, dan nyaman bagi
anak di tingkat keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat turut mendukung
peningkatan kualitas hidup dan tumbuh kembang anak.
a. Kematian Anak di bawah Usia 5 Tahun
Data Puslitbang Kementerian Kesehatan pada tahun 2014 mencatat pneumonia dan
diare sebagai salah satu penyebab kematian utama anak usia di bawah 5 tahun,
sementara kelompok umur balita adalah kelompok yang paling tinggi menderita
USER 16
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
diare(Riskesdas, 2013). Prevalensi malnutrisi yang tinggi pada usia bayi juga meningkat
sampai anak berusia 5 tahun. Cakupan imunisasi dasar untuk mencegah penyakit
mematikan seperti campak, dipteri, tetanus, pertussis, pneumonia, dan diare juga
cenderung lebih rendah bagi anak usia 12-23 bulan pada keluarga dengan pendapatan
rendah (Riskesdas, 2013).
Selain rendahnya cakupan imunisasi, faktor lain yang dapat meningkatkan risiko
kematian anak adalah sanitasi dan tempat tinggal. Berdasarkan analisa data panel
SUSENAS 2009, sanitasi dan tempat tinggal mempunyai korelasi signifikan yang
berpengaruh terhadap kesehatan. Kondisi sanitasi dan akses terhadap air bersih yang
buruk akan berdampak pada kesehatan anak yang buruk (SMERU, Bappenas, dan
UNICEF, 2012).
b. Penyakit Menular dan Cedera
Indonesia masih harus berkutat dengan berbagai penyakit menular yang menyebabkan
kematian anak, terutama TBC, campak, hepatitis, dan HIV–AIDS(malaria resisten, TB
resisten). Infeksi HIV-AIDS pada bayi dan balita merupakan persoalan yang baru muncul
sekitar 10 tahun terakhir karena meningkatnya infeksi pada perempuan hamil.
Kemenkes memperkirakan saat ini terdapat 9.000 anak yang telah terinfeksi dengan
HIV (Nadia, 2013). Jika program pencegahan infeksi tidak berhasil, ketersediaan obat
(ARV) dosis anak masih bermasalah, maka angka kesakitan dan kematian akan
meningkat.
Kecelakaan transportasi juga tercatat sebagai penyebab kematian tertinggi untuk anak
usia 5-14 tahun. Selain kematian, cedera yang dialami oleh anak juga dapat
mengakibatkan kecacatan atau disabilitas yang berdampak jangka panjang terhadap
tumbuh kembang dan masa depan anak (Renstra 2015-2019 Kemenkes).
Isu lain yang perlu dijadikan perhatian adalah kekerasan terhadap anak baik fisik
maupun psikologis. Kekerasan dapat mengakibatkan cedera, terhambatnya
perkembangan fisik dan psikis, dan dapat mengakibatkan kematian pada anak
(Riskesdas, 2013;MICS, 2011).Selain pencegahan kecelakaan, intervensi
berkesinambungan dan tanggap terhadap kekerasan pada anak akan mempunyai
dampak positif pada pencegahan disabilitasyang disebabkan oleh cedera.
Bagi anak-anak, pencegahan penyakit menular tertentu dicapai melalui peningkatan
cakupan imunisasi dasar lengkap yang merupakan salah satu sasaran pembangunan
bidang kesehatan. Pencegahan terhadap penyakit menular lainnya seperti pneumonia,
demam berdarah, dan malaria secara umum bergantung pada peningkatan akses, mutu,
dan kesinambungan pelayanan kesehatan yang tersedia yang merupakan salah satu
sasaran utama pembangungan dalam RPJMN 2015-2019. Pencegahan penularan HIV
pada anak melalui jalur maternal dapat dilakukan dengan megintensifkan PMTCT,
termasuk pemberitahuan pasangan seksual (partner notification).
Berangkat dari bukti intervensi yang telah berhasil, inisiatif-inisiatif global untuk
mengurangi kematian akibat cedera kecelakaan dan kekerasan berfokus pada upaya-
upaya pencegahan (dalam bentuk penelitian, koordinasi pemerintah – masyarakat, dan
pengingkatan kesadaran) yang didukung dengan sistem data yang kuat untuk
mengetahui bentuk dan jumlah kecelakaan dan kekerasan (WHO, 2010).
USER 17
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
USER 18
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
rentan dan membahayakan juga tidak mendapatkan akses terhadap bantuan pendidikan
yang berbasis keluarga (seperti PKH dan KIP). Anak-anak dari keluarga yang
termarginal, seperti stateless children, anak dalam keluarga yang hidup berpindah-
pindah, anak dari masyarakat adat dan kelompok agama tradisional juga belum
mendapatkan akses pendidikan. Selain itu, akses anak penyandang disabilitas (APD) dan
anak dengan kebutuhan khusus (ABK) untuk mengikuti pendidikan masih rendah
karena terbatasnya jumlah dan kurang meratanya ketersediaan sekolah inklusi dan
sekolah luar biasa (SLB). Data Kemendikbud tahun 2011 menunjukkan hanya 88,9 ribu
dari 1.6 juta APD yang memperoleh layanan pendidikan melalui SLB (TK-SMA).
Pepres No. 60/2014 dan UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang juga
mengatur pelaksanaan pendidikan anak usia dini memiliki definisi pelayanan yang
tumpang tindih. Secara mendasar, pelayanan yang ditetapkan dalam kedua peraturan
tersebut dapat diberikan secara bersamaan dalam beberapa bentuk pelayanan yang
berbasis pengembangan atau pendidikan. Pendidikan pra-sekolah yang bersifat
universal juga diperkirakan menjadi investasi yang memberikan keuntungan lebih baik
dibandingkan dengan investasi terbatas pada anak rentan.
Secara global, faktor kesehatan anak terkait dengan penyakit menular atau sanitasi
pribadi menjadi penghambat anak untuk menyelesaikan pendidikan dasar. Masih
terbatasnya kegiatan-kegiatan yang mendorong anak untuk menyelesaikan pendidikan
dasar seperti penyediaan makanan sehat bergizi, infrastruktur sanitasi yang memadai di
sekolah serta kurikulum yang memberikan pemahaman pada pentingnya kebersihan
dan kesehatan pribadi.
d. Pembentukan Dasar Keterampilan Hidup dan Nilai-Nilai Luhur
Pembentukan dasar keterampilan hidup dan nilai-nilai budi pekerti perlu dimulai sedini
mungkin. WHO menekankan bahwa keterampilan hidup dapat menyiapkan seorang
anak untuk mengatasi tekanan-tekanan dalam keseharian secara efektif. Pengembangan
keterampilan hidup telah banyak diimplementasikan dan terbukti efektif dalam
intervensi-intervensi pencegahan, seperti pencegahan kehamilan remaja, bullying, dan
penggunaan narkotika. Beberapa keterampilan yang termasuk dalam keterampilan
hidup adalah kemampuan memecahkan masalah, berpikir kreatif, empati, dan
kemampuan berkomunikasi secara efektif, dan resolusi konflik.
Pembentukan dasar keterampilan hidup dan nilai-nilai dapat diselaraskan dengan
peningkatan kualitas pengasuhan orangtua di dalam keluarga. Program seperti Program
Keluarga Harapan (PKH) telah memastikan adanya tambahan penguatan kapasitas
orangtua yang secara tidak langsung dapat meningkatkan kemampuan sosial anak.
Program lainnya seperti Pembangunan Keluarga yang dilaksanakan oleh BKKBN juga
secara tidak langsung bermanfaat pada pembentukan keterampilan hidup dan nilai pada
anak.
e. Pengasuhan Berbasis Rumah Tangga yang Aman
Penelitian Kemensos di tahun 2007 mengestimasi setidaknya 500 ribu anak tinggal di
panti asuhan atau institusi lainnya. Sebanyak 70% dari anak-anak yang berada di panti
asuhan masih memiliki setidaknya satu orangtua. Jumlah anak yang diasuh oleh
orangtua tunggal semakin meningkat. Data tahun 2012 menunjukkan adanya 9.6 persen
anak usia 0-17 tahun yang tidak tinggal bersama dengan ibu kandungnya. Angka ini
USER 19
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
meningkat dari sekitar 8.5 persen pada tahun 2000, dimana sekitar 50 persen dari
mereka adalah anak usia balita (RPJMN Buku II hal. 2-73).
Hasil survei prevalensi Kekerasan Terhadap Anak (KtA) tahun 2013 menunjukkan
prevalensi kekerasan pada anak laki-laki adalah 38.62 persen, sedangkan pada anak
perempuan adalah 20.48 persen (Buku I RPJMN5-6). Kekerasan fisik merupakan jenis
kekerasan yang paling banyak dialami anak, diikuti dengan kekerasan emosional dan
kekerasan seksual. Pelaku kekerasan terhadap anak umumnya adalah orang-orang yang
dekat dengan anak, seperti ibu/ayah kandung, ibu/ayah tiri, anggota keluarga lainnya,
guru, dan tetangga.Data kekerasan yang masih bersifat data pelaporan juga tidak cukup
valid untuk digunakan dalam memperkirakan kemungkinan kekerasan yang berakibat
pada kematian untuk kebijakan dan perencanaan yang lebih komprehensif.
2.1.3. Atap yang melindungi (Remaja 13-18 tahun)
Usia remaja adalah periode transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa muda.
Anak-anak pada kelompok usia ini mengalami berbagai perubahan dalam aspek fisik,
psikis, dan perkembangan sosial yang perlu didukung oleh lingkungan di sekitarnya.
Untuk melewati periode ini, anak-anak perlu mengembangkan ketangguhan mental dan
fisik yang diperlukan untuk menghadapi tantangan pergaulan dan tekanan dari teman
sebaya, harapan keluarga dan masyarakat, serta mengantisipasi dunia kerja.
a. Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Anak dan Perkawinan Usia Anak
Pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi untuk remaja menjadi penting dengan
diketahuinya data 22% anak remaja perempuan dan 18% laki-laki telah melakukan
hubungan seks pertama kali pada usia sebelum 16 tahun (Riskesdas 2010). Menurut
SDKI 2007, 13.3% remaja putri tidak tahu sama sekali soal perubahan fisiknya saat
sudah akil balik dan 47.9% dari remaja perempuan tidak mengetahui waktu dirinya
memiliki masa subur. Pengetahuan remaja untuk menghindari infeksi HIV juga masih
sangat terbatas, yakni hanya 14% - 20%anak muda yang mempunyai pengetahuan yang
benar tentang penularan HIV (IBBS, 2011: 35).
Minimnya pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi juga berkaitan dengan
masih tingginya perkawinan pada usia anak. Setiap tahun terjadi kurang lebih 125.000
penduduk usia 10-14 tahun dan 1.1 juta penduduk usia 15-19 tahun yang telah menikah
(Sensus Penduduk 2010). Pada tahun 2012, terdapat 1.36 juta penduduk usia 15-19
tahun berstatus menikah atau pernah menikah, dan 100 ribu anak usia 10-14 tahun
sudah menikah atau pernah menikah (RPJMN: 2-74). Perkawinan usia anak
USER 20
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
mengandung risiko baik pada anak perempuan sebagai calon ibu maupun pada calon
janin yang akan dikandungnya.
Pada tahun 2012, 48 dari 1.000 kelahiran bayi dialami oleh perempuan berusia 15-19
tahun dan jumlah remaja yang menjadi ibu atau sedang hamil anak pertama meningkat
dari 8.5% menjadi 9.5 %. Kehamilan dan kelahiran pada usia ini dianggap berisiko tinggi
terhadap komplikasi (maternal) yang membahayakan janin dan ibunya (RPJMN 2015-
2019: h. 2-6), semakin rentan dengan masalah kesehatan (kekurangan gizi) serta
persaingan kebutuhan perkembangan ibu yang masih berusia anak dengan kebutuhan
anaknya yang dapat berujung pada penelantaran dan kekerasan. Dalam menanggapi
situasi ini, diperlukan optimalisasi sektor kesehatan dan pendidikan yang memiliki
peranan sentral (AIDS Research Center Unika Atma Jaya & UNESCO, 2010; Iwu D Utomo
& McDonald, 2009).
b. Perilaku Berisiko Tinggi
Merokok adalah salah satu perilaku berisiko yang berdampak pada berbagai penyakit
kronik yang berbahaya dan berpengaruh signifikan terhadap eksperimentasi zat-zat
adiktif lainnya, terutama narkoba (ganja).Informasi yang tersedia (WHO, 2009)
menunjukkan bawa 1 dari 3 laki-laki dan 1 dari 4 perempuan mencoba untuk merokok
pertama kalinya di usia 10 tahun, dan 6 dari 10 perokok usia 13-15 tahun membeli
rokok secara bebas di toko.
Pada tahun 2013, Menteri Kesehatan mengeluarkan Peta Jalan Pengendalian Dampak
Konsumsi Rokok Bagi Kesehatan (Permenkes 40/2013) sebagai acuan bagi Pemerintah,
Pemerintah Daerah dan Masyarakat dalam pengambilan kebijakan dan strategi di
bidang kesehatan, terkait dengan pengendalian dampak konsumsi rokok di Indonesia.
Salah satu strategi yang diangkat adalah pembatasan waktu iklan rokok di media
elektronik, yaitu hanya dapat ditayangkan pada pukul 21.30–05.00, dan program
kawasan tanpa rokok di sekolah. Peraturan ini perlu diperkuat dengan pengawasan dan
sanksi yang memadai (Irwanto, 2014). Selain kebijakan pencegahan, Hopkins
mengemukakan bahwa pencantuman harga yang tinggi untuk rokok justru menjadi
lebih efektif karena remaja umumnya 3 – 4 kali lebih sensitif terhadap harga daripada
orang dewasa. Kebijakan menaikkan harga rokok telah dilakukan oleh Kanada pada
tahun 1980 dan 1990-an dan berhasil menekan perilaku merokok remaja hingga 60%
(Hopkins, 2001: 16-66).
Penggunaan Narkoba oleh remaja menjadi keprihatinan nasional. Data terbaru dari
survei BNN (2014) menunjukkan bahwa saat ini diperkirakan 3,8 sampai dengan 4,1
juta penduduk Indonesia telah menggunakan narkoba, baik dalam kategori coba-coba,
maupun teratur. Kurang lebih 25% (atau 1 jutaan) dari pengguna tersebut adalah
kategori pelajar dari SLTP sampai perguruan tinggi, termasuk di antaranya yang
menggunakan heroin dengan suntikan(Narkotika suntik). Laporan kumulatif Kemenkes
sampai dengan September 2014 menunjukkan bahwa telah ada 1.717 remaja usia 15-19
tahun yang terindikasi AIDS karena pemakai narkotika suntik.
Pelanggaran lalu lintas oleh remaja merupakan salah satu penyebab kematian dan
disabilitas. Hasil Health Sector Review 2014 (RPJMN Buku II: 2-17) menunjukkan bahwa
kecelakaan lalulintas yang pada tahun 1999 menduduki peringkat ke-5 dalam beban
penyakit (DALYS), maka pada tahun 2015 diperkirakan menjadi peringkat ke-2 setelah
stroke. Korlantas Polri pada tahun 2014 memperlihatkan sekitar 26 ribu anak usia 10-
16 tahun menjadi pelaku pelanggaran lalu lintas (Buku IIRPJMN 2015-2019 : 2-74) dan
USER 21
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
kecelakaan menjadi salah satu penyebab utama kematian anak yang berumur lebih dari
15 tahun (PNBAI, 2015 : 6). Data Riskesdas 2013 juga mencatat tingginya kasus cedera
akibat kecelakaan sepeda motor pada penduduk usia 15-24 tahun sehingga perlu
peningkatan penegakan peraturan lalu lintas dan kualitas road safety untuk mengurangi
risiko pelanggaran lalu lintas dan kecelakaan.
Kekerasan antar sebaya, juga sering terjadi baik berupa tawuran antar kelompok atau
antar sekolah dan bullying sesama pelajar. Akibatnya cukup banyak anak yang
berkontak dengan hukum dan kehilangan kebebasannya serta kesempatan untuk
bersekolah. Diperlukan penanganan dan intervensi terhadap perilaku tawuran dan
bullying secara sistemik, dengan menyentuh akar permasalahannya (Irwanto, 2014:40).
Sebagai salah satu tanggapan strategik untuk mengatai meningkatnya Anak yang
Bersentuhan dengan Hukum, pemerintah kini menggunakan UU No. 11/2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dengan mengedepankan pada upaya alternatif
untuk mencegah anak dipenjara dan terpisah dari orang tua dan lingkungannya.
c. Akses dan Kualitas Pendidikan Usia Remaja
Angka anak usia remaja yang tidak lagi berada dalam sistem pendidikan formal masih
cukup tinggi, yaitu 10.48 persen dari anak usia 13-15 tahun. Beberapa di antaranya
bahkan tidak/belum pernah sekolah. Terdapat 2 juta anak (dari 12.4 juta anak) usia 16-
18 tahun tidak menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun, 1.4 juta anak yang
sudah lulus SMP/MTs tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, dan 280 ribu anak
yang putus sekolah selama menempuh pendidikan di SMA/SMK/MA (Bappenas, 2015).
Kesenjangan pendidikan pun terjadi, terutama kesenjangan antara penduduk yang kaya
dan miskin.Angka Partisipasi Sekolah (APS) anak usia 13-15 tahun (SMP/MTs) pada
kelompok masyarakat termiskin lebih rendah daripada APS penduduk terkaya (RPJMN
2-30). Susenas tahun 2012 menunjukkan bahwa APS anak usia 16-18 tahun pada
kelompok 20 persen terkaya sudah mencapai 75.3 persen, sementara pada kelompok 20
persen termiskin baru mencapai 42.9 persen (Bappenas, 2015). Kualitas belajar, sarana
prasarana, dan jumlah ketersediaan guru sangat berbeda jika dibandingkan antara
sekolah-sekolah di Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur (Indonesia
Mengajar, 2012; Jaring Kawan, 2013; Irwanto, 2014). Kesenjangan juga terjadi pada
anak-anak penyandang disabilitas yang memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk
mendapatkan kualitas pendidikan yang sama dengan anak yang tidak mengalami
disabilitas (Adioetomo, Mont, & Irwanto, 2014; , Irwanto, 2014).
Anak yang terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk juga terampas haknya
untuk mendapatkan pendidikan. Survei Nasional BPS 2009 menunjukkan bahwa kurang
lebih 1.7 juta anak usia 10-18 tahun di Indonesia melakukan jenis-jenis pekerjaan
terburuk baik dalam industri perumahan, pertambangan, deep-sea fishing, prostitusi,
peredaran narkoba, pemulung sampah, bekerja di jalanan dan sebagainya yang tidak
sesuai dengan tantangan tumbuh kembang jasmani, mental, sosial, dan rohaninya.
d. Keterampilan Hidup dan Karakter Kemanusiaan/Pendidikan Karakter
Selama ini terdapat salah persepsi bahwa lulusan SMA umum dan sederajat harus dapat
memperoleh pekerjaan yang berorientasi pada keterampilan. Oleh karena itu,
pendidikan keterampilan hidup diarahkan untuk membekali anak sekolah SMP dan SMA
dengan keterampilan yang terpakai dalam pasar tenaga kerja. Sementara itu, lulusan
SMA umum dan sederajat perlu disiapkan untuk menempuh pendidikan yang lebih
USER 22
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
tinggi, yaitu di akademi maupun perguruan tinggi. Terdapat 50 persen lulusan SMA/MA
yang bekerja di unskilled jobs dan lebih dari 30 persen di semi-skilled jobs, dan sekitar 26
persen pelaku usaha menilai lulusan SMK juga berkualitas rendah dan tidak ada
perbedaan kualitas secara signifikan antara lulusan SMA dan SMK. Ini adalah persoalan
yang harus dijawab tersendiri.Mempertimbangkan persoalan di atas, siswa perlu
dibekali dengan keterampilan sosial atau soft-skills yang menunjang.
Pendidikan keterampilan hidup diperlukan untuk membekali siswa dengan
keterampilan yang bersifat sosial (soft-skills), membantu mereka untuk membangun
citra diri yang positif, daya juang, dan daya lenting. Di sinilah relevansi pendidikan
karakter karena anak akan belajar mengenai menghargai dan mengelola perbedaan,
resolusi konflik, berkomunikasi dengan efektif, team-work, dan lain-lain. Pendidikan
keterampilan hidup perlu diintegrasikan dalam berbagai mata pelajaran yang ada,
seperti olah raga, enterpreneurship, penugasan praktik mandiri, ekstrakurikuler
kepanduan, pengembangan keterampilan untuk perilaku hidup sehat (mengatasi
perilaku rokok, narkoba, seks, kelebihan berat badan,anoreksia, dll). Pendidikan
keterampilan hidup mendukung proses pembentukan kepribadian anak, membangun
watak yang baik, mental yang tangguh, dan pribadi yang kuat (Bappenas, 2015).
e. Kekerasan di masa Remaja
Hasil survei prevalensi Kekerasan Terhadap Anak (KtA) tahun 2013 menunjukkan
sekitar 38.62 persen anak laki-laki dan 20.48 persen anak perempuan pada kelompok
umur 13-17 tahun menyatakan dirinya pernah mengalami tindak kekerasan dalam satu
tahun terakhir. Pelaku kekerasan terhadap anak umumnya adalah orang-orang yang
dekat dengan anak, seperti orangtua kandung, ibu/ayah tiri, kerabat, guru, dan teman.
(RPJMN 2015-2019). Munculnya berbagai tindak kekerasan di media online seperti
pornografi, pelecehan seksual, dan penipuan berakibat pada meningkatnya kekerasan
dan eskploitasi seksual serta perdagangan orang.
2.2 Analisa Situasi berdasarkan Kelembagaan
Mekanisme pelaksanaan pembangunan nasional telah diatur dalam peraturan
perundangan yanng berlaku. Adapun tiga produk hukum yang relevan yaitu: (1) UU No.
23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, (2) UU No. 6/2014 tentang Desa, dan (3)
Perpres No. 65/2015 tentang Kementerian Pembangunan dan Perencanaan Nasional.
Hasil kajian tersebut menunjukkan urusan pemerintahan dibagi menjadi tiga. Pertama,
urusan pemerintahan absolut seperti politik luar negeri, pertahanan dan keamanan,
yustisi, moneter dan fiskal, serta agama merupakan urusan dan tangung jawab
pemerintah pusat. Urusan pemerintahan kedua adalah urusan konkuren, yaitu yang
diselenggarakan bersama pemerintah daerah menjadi kewenangan daerah dalam
kategori urusan wajib baik yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan
dan kesehatan maupun yang tidak terkait dengan pelayaan dasar seperti statistik,
komunikasi dan informasi. Sedangkan ketiga adalah urusan pemerintah pilihan yang
menjadi wewenang pemerintah daerah seperti kelautan, pariwisata, dan kehutanan.
Menurut UU No. 23/2014 pemerintah pusat menetapkan standar, norma, prosedur, dan
kriteria pelaksanaan pemerintahan yang wajib menjadi acuan pemerintah daerah
dengan konsekuensi pembatalan kebijakan daerah jika tidak diikuti. Prioritas
pemerintah daerah adalah melaksanakan urusan pemerintahan wajib berkaitan dengan
USER 23
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
pelayanan dasar. Urusan yang bersifat konkuren dilaksanakan pemerintah pusat melalui
instansi vertikal dibantu oleh pemerintah daerah.
Koordinasi pemantauan dan evaluasi untuk urusan pemerintahan absolut dan konkuren
juga menganut mekanisme yang bekerja secara vertikal, yaitu dari tingkat pusat sampai
ke desa dan sebaliknya sebagaimana diatur dalam UU No. 23/2014 dan UU No. 6/2014.
Pengawasan pembangunan perlindungan anak bermuara pada Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Meskipun demikian, data dan
informasi terdapat di tiap-tiap tingkatan pemerintahan yang dikoordinasikan oleh
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi.
Mekanisme koordinasi horisontal dilakukan oleh setiap lembaga pemerintahan menurut
jenjangnya yang dibantu oleh DPRD dan Bappeda serta lembaga masyarakat terkait. UU
No. 23/2014 maupun UU No. 6/2014 mewajibkan setiap pemerintahan memberikan
laporan publik kepada masyarakat atas kinerja pembangunan mereka. Dalam
mekanisme horisontal ini peranan masyarakat termasuk lembaga masyarakat, dunia
usaha, maupun media menjadi sangat penting.
2.3 Akar Permasalahan
Akar permasalahan yang menghambat partisipasi dan kontribusi kebijakan
pembangunan anak yang optimal dipengaruhi oleh interaksi tiga faktor di bawah ini.
2.3.1. Kemiskinan dan Kerentanan Anak
Kemiskinan merupakan kerentanan sekaligus faktor risiko bagi tumbuh kembang anak.
The World Fit For Children(WFFC) terkait dengan SDGs telah menetapkan indikator
pencapaian untuk mengurangi ketimpangan, menghapuskan kekerasan terhadap anak
dan mengentaskan kemiskinan anak.
Secara konsisten, keluarga yang sangat miskin mempunyai kapasitas terbatas dalam
berbagai faktor pemenuhan hak-hak dasar, seperti pemenuhan asupan zat gizi, akses
pendidikan dasar, perawatan kesehatan, sanitasi dan lain-lain. Proporsi dan jumlah
anak Indonesia yang lahir dan hidup di dalam keluarga miskin dan rentan masih cukup
besar. Berdasarkan garis kemiskinan nasional, hampir 50% anak Indonesia masih hidup
dalam keluarga yang tergolong miskin (Patunru & Kusumaningrum, 2014). Perubahan
iklim dan berbagai bencana yang terjadi di Indonesia juga akan mempengaruhi peta
kemiskinan di masa yang akan datang. Hanya 18.3% dari semua anak Indonesia yang
terbebas dari deprivasi pendidikan, kesehatan, pekerjaan, rumah tinggal, air dan
sanitasi yang layak. (SMERU, Bappenas, dan UNICEF, 2013).
Berbagai studi lainnya menunjukkan bahwa kemiskinan sekaligus memperbesar risiko
anak untuk tidak didaftarkan kelahirannya sehingga tidak mempunyai akta lahir, tidak
diasuh oleh orangtua sendiri karena tinggal di luar keluarganya (baik di panti, sekolah,
atau bekerja),putus atau tidak melanjutkan sekolah, menikah padausia anak (terutama
perempuan), melakukan pekerjaan berbahaya, tidak memperoleh perlindungan hukum
yang memadai sehingga rentan mengalami kekerasan, eksploitasi dan penelantaran
(SMERU, 2012; 2015; UNICEF, 2012; Sumner & Kusumaningrum, 2014). Kondisi seperti
ini menyulitkan anak untuk keluar dari kemiskinan karena terus menerus diturunkan
dari satu generasi ke generasi berikutnya.
USER 24
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
USER 25
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
Kekerasan karena kejahatan yang dilakukan oleh individu yang tidak dikenal maupun
organisasi kriminal telah lama menjadi persoalan yang merisaukan masyarakat.
Penculikan, perdagangan, pengambilan gambar pornografi, dan kekerasan sebaya
(perundungan) adalah beberapa tindakan yang sering dilaporkan oleh pihak kepolisian
atau media massa. Sistem perlindungan hukum perlu diperkuat dalam mencegah
terjadinya kejahatan seperti ini. Laporan UN CRC tahun 2014 menyatakan keprihatinan
terhadap kurang efektifnya program pencegahan dan program rehabilitasi bagi korban
kekerasan dan penelantaran, khususnya meningkatnya korban kekerasan seksual dan
kriminaisasi terhadap korban.
2.4 Tantangan
Berdasarkan analisa situasi tersebut diatas, maka tantangan dalam perlindungan anak
adalah sebagai berikut:
2.4.1 Tantangan 1000 Hari Pertama Kehidupan
a. Memperluas akses dan pelayanan terpadu untuk pencegahan dan pengurangan
kematian ibu-bayi, stunting-kurang gizi, cakupan imunisasi rendah, berdasarkan
pada pemetaan karakteristik kelompok, sebaran, dan kebutuhan kelompok yang
paling rentan.
b. Mengembangkan sistem pencatatan kelahiran yang dekat dan mudah dengan
masyarakat termasuk kemudahan mendapatkan akta kelahiran melalui
pelayanan dasar.
c. Memperluas akses untuk pelayanan promotif dan preventif terhadap disabilitas
di awal kehidupan berdasar pada pemetaan karakteristik kelompok, sebaran,
dan kebutuhan kelompok yang paling rentan.
d. Mengembangkan program inovatif berbasis bukti untuk penguatan kemampuan
keluarga, komunitas dan penyedia layanan agar mampu memberikan
pengasuhan optimal, mencegah kekerasan, dan mendeteksi cepat disabilitas.
USER 26
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
USER 27
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
USER 28
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
BAB III
SASARAN DAN RENCANA AKSI
Dalam RPJMN 2015 -2019 telah dijabarkan sasaran dan strategi perlindungan anak,
yang terdiri dari: 1) meningkatkan akses semua anak terhadap pelayanan yang
berkualitas dalam rangka mendukung tumbuh kembang dan kelangsungan hidup; 2)
menguatkan sistem perlindungan anak yang mencakup pencegahan, penanganan, dan
rehabilitasi anak korban tindak kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan
salah lainnya; dan 3) meningkatkan efektivitas kelembagaan perlindungan anak.
Untuk menekan angka kematian Ibu, RPJMN menargetkan untuk menurunkan angka
kematian ibu dan bayi dan menurunkan angka berat badan rendah pada bayi pada
tahun 2019. Infrastruktur yang menunjang serta dukungan informasi yang tepat juga
akan ditingkatkan dalam kurun waktu lima tahun ke depan.Untuk mengatasi
kekurangan gizi, RPJMN dan Renstra menargetkan presentase balita kurang gizi turun
hingga 17 persen sementara anak di bawah dua tahun yang mengalami stunting turun
menjadi 28 persen di 2019. Untuk mendukung hal tersebut, maka ditargetkan untuk
meningkatkan jumlah kunjungan bayi neo-natal, jumlah anak yang mendapatkan ASI
Eksklusif dan imunisasi. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai minimal 80 persen
imunisasi lengkap juga ditargetkan naik hingga 95 persen dan Puskesmas yang
menyelenggarakan Kelas Ibu Hamil di 2019 ditargetkan mencapai 90
persen.Kepemilikan identitas hukum, terutama akta kelahiran menjadi prioritas RPJMN
sebagai satu dari lima pelayanan dasar bagi 40 persen masyarakat termiskin. Selain itu
pemerintah Indonesia juga telah menetapkan cakupan registrasi vital sebagai arah
kebijakan dan strategi peningkatan ketersediaan kualitas data serta informasi
kependudukan.
Penguatan kapasitas pengasuhan orangtua dan keluarga telah menjadi fokus RPJMN
melalui Program Bina Keluarga Balita dan Pembangunan Keluarga dengan
menambahkan sesi penguatan keluarga untuk meningkatkan stimulasi dan pencegahan
kekerasan. Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) kini difokuskan kepada
pemberian bantuan bagi anak untuk tetap berada di dalam keluarga dengan dukungan
LKSA (Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak) yang berkualitas. Sasaran utama
pembangunan bidang pendidikan dalam lima tahun kedepan adalah pemenuhan hak
seluruh warga negara untuk menyelesaikan pendidikan dasar, dan partisipasi anak usia
dini yang mengikuti PAUD.
Menurunnya prevalensi kekerasan terhadap anak telah ditetapkan sebagai sasaran
pokok pembangunan nasional bidang perlindungan anak. Pelayanan responsif terhadap
anak korban kekerasan, eksploitasi, dan penelataran melalui P2TP2A juga direncanakan
untuk dikembangkan agar lebih tersedia dan terjangkau. Jumlah anak balita/anak
terlantar dan anak yang membutuhkan perlindungan khusus menjadi indikator dari
program Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial Anak dalam RPJMN 2015-2019.RPJMN
juga menargetkan pada meningkatnya perlindungan perempuan dari berbagai tindak
kekerasan, termasuk TPPO, yang diukur dengan prevalensi/kasus kekerasan terhadap
USER 29
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
anak, cakupan anak korban yang mendapatkan layanan, dan ketersediaan layanan dasar
yang berkualitas, serta mampu mendeteksi kasus kekerasan terhadap anak.
Penguatan pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba dalam RPJMN
2015-2019 adalah salah satu sasaran di bidang pertahanan dan keamanan. Sasaran
lainnya adalah peningkatan pelayanan anak yang berhadapan dengan hukum
menggunakan basis keadilan restoratif. Penurunan jumlah anak yang bekerja dalam
bentuk pekerjaan terburuk juga menjadi sasaran pembangunan di bidang
ketenagakerjaan.
Sasaran untuk menurunkan kesenjangan dalam pendidikan adalah melalui peningkatan
akses pendidikan menengah yang berkualitas, meningkatkan keterjangkauan layanan
akses pendidikan formal dan non-formal, penguatan program wajib belajar 12 tahun
dengan fokus pada keluarga tidak mampu, penyediaan sarana-prasarana, alternatif
pembelajaran yang beragam untuk pengembangan potensi, minat, bakat; dan
pengembangan layanan pendidikan inklusif.
Berdasarkan hasil analisis situasi pada Bab II, maka sasaran nasional pembangunan
perlindungan anak dapat tercapai secara optimal dengan didukung oleh: (1) data yang
akurat dan terkini; (2) peningkatan upaya pencegahan; dan (3) partisipasi masyarakat
yang berdaya dalam mewujudkan perlindungan anak. Dengan demikian, sasaran dan
aksi perlindungan anak 2015- 2019 disusun untuk melengkapi arah kebijakan dan
strategi perlindungan anak yang telah dijabarkan di dalam RPJMN 2015 -2019.
USER 30
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
USER 31
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
Tersedianya kebijakan dan program berbasis bukti Menguatkan aspek pencegahan, deteksi dini
dan data dan perlindungan sosial
Aksi Sektor Terkait Aksi Sektor Terkait
Pengembangan penelitian dan pemanfaatan data
Perluasan penjangkauan secara aktif untuk deteksi
penelitian.
1. Pemberdayaan dini dan pengurangan risiko untuk kelompok rentan
Pemenuhan yang sulit dijangkau. 1. Kesehatan;
Perempuan dan 2. Urusan
Penguatan sistem data dan informasi terpadu Hak Anak
Perlindungan Anak; Pengidentifikasian, perancangan ulang, dan Pemerintahan;
yang dimulai dari tingkat desa yang digunakan
untuk pemetaan kebutuhan dan faktor risiko 2. Sosial; dan pengimplementasian program lintas sektoral yang
3. Kependudukan
berkelanjutan untuk deteksi dini terhadap disabilitas,
3. Pendidikan dan Perlindungan dan Keluarga
Peningkatan pencatatan kelahiran dan cakupan tumbuh kembang, dan pencegahan kekerasan.
akta kelahiran. Kebudayaan; Anak Berencana;
4. Pendidikan dan
4. Kesehatan Pengembangan sistem perlindungan sosial dan Kebudayaan;
Perluasan kesempatan bagi partisipasi 5. Urusan pelayanan komprehensif – inklusif-terpadu untuk
5. Tenaga Kerja
masyarakat dalam penguatan sistem data, Pemerintahan; terpenuhinya hak-hak dasar pendidikan anak,
menguatkan kapasitas keluarga, dan
dan
perluasan akses, pengembangan program, dan
peningkatan mutu.
6. Hukum dan HAM mempertahankan anak dalam asuhan keluarga. Transmigrasi;
6. Pemberdayaan
Penyusunan kurikulum pada institusi pendidikan dan Perempuan dan
masyarakat untuk praktik keterampilan hidup dan
Menguatkan peran komunitas, termasuk anak, dalam pemenuhan hak keterampilan vokasional anak sebagai pencegahan
Perlindungan
Anak;
dan perlindungan anak secara universal terhadap perilaku-perilaku berisiko.
7. Sosial
Aksi Sektor Terkait Peningkatan pengetahuan dan perilaku remaja 8. Hukum dan
mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas yang HAM
Penguatan kapasitas orangtua, tokoh agama, professional, relawan, pendamping masyarakat bertanggungjawab dalam kurikulum pendidikan,
1. Urusan materi KIE, dan melalui pendekatan sebaya-tenaga
agar mampu mengaplikasikan keterampilan pengasuhan anak yang berpusat pada pemenuhan
Pemerintahan; professional-pendamping dalam masyarakat.
hak-hak anak.
2. Sosial;
Penyusunan protokol dan mekanisme pemantauan serta rujukan di sekolah dan masyarakat yang 3. Pendidikan dan
mengarahkan semua unsur masyarakat untuk menciptakan lingkungan tanpa kekerasan, stigma, Kebudayaan;
dan diskriminasi bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. 4. Kesehatan;
5. Pemberdayaan
Pelibatan dan pemberian penghargaan bagi dunia usaha, individu, lembaga non pemerintah
Perempuan dan
dalam upaya-upaya pengembangan keterampilan anak, kemampuan keluarga dan lingkungan. Perlindungan
Penyusunan intrumen-instrumen untuk alternatif pengasuhan di luar keluarga yang berbasis Anak;
pada keluarga besar, komunitas, atau orangtua asuh. 6. Agama
USER 32
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
USER 33
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
BAB IV
MEKANISME PELAKSANAAN
Berdasarkan analisis kelembagaan seperti yang diuraikan pada Bab II, maka mekanisme
pelaksanaan rencana aksi dirumuskan sebagai berikut:
4.1. Koordinasi
Mekanisme koordinasi pelaksanaan terbagi atas koordinasi horisontal dan vertikal yang
menjadi mandat Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak.
USER 34
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
USER 35
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
SASARAN AKSI
1. Aksi Sasaran 1
Tersedianya a. Pengembangan penelitian dan pemanfaatan data penelitian terkait keluarga dan anak yang peka terhadap gender, disabilitas, dan kebutuhan anak di tiap
kebijakan dan siklus kehidupan.
program b. Penguatan sistem data dan informasi terpadu dari tingkat desa untuk pemetaan kebutuhan dan faktor risiko, sebagai dasar dari perencanaan
berbasis bukti pembangunan dan penganggaran yang peka terhadap kebutuhan anak dan keluarga.
dan data c. Peningkatan pencatatan kelahiran dan cakupan akta kelahiran dalam rangka mendukung sistem pencatatan sipil dan statistik vital termasuk didalamnya
penyebab kematian ibu dan anak.
d. Perluasan kesempatan bagi partisipasi masyarakat dalam penguatan sistem data, perluasan akses, pengembangan program, dan peni ngkatan mutu
melalui identifikasi kelompok rentan dan kebutuhan kelompok tersebut dan memberikan umpan balik dalam tiap tahapan pada siklus pengembangan
kebijakan dan program.
2.
Aksi Sasaran 2
2.
a. Perluasan penjangkauan secara aktif untuk deteksi dini dan pengurangan risiko untuk kelompok rentan yang sulit dijangkau.
Menguatkan
b. Pengidentifikasian, perancangan ulang, dan pengimplementasian program lintas sektoral yang berkelanjutan untuk deteksi dini terhadap disabilitas,
aspek
tumbuh kembang, dan pencegahan kekerasan.
pencegahan,
c. Pengembangan sistem perlindungan sosial dan pelayanan komprehensif – inklusif-terpadu untuk terpenuhinya hak-hak dasar pendidikan anak,
deteksi dini dan
menguatkan kapasitas keluarga, dan mempertahankan anak dalam asuhan keluarga.
perlindungan
d. Penyusunan kurikulum pada institus pendidikan dan masyarakat untuk praktik keterampilan hidup dan keterampilan vokasional anak sebagai pencegahan
sosial
terhadap perilaku-perilaku berisiko.
e. Peningkatan pengetahuan dan perilaku remaja mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas yang bertanggungjawab dalam kurikul um pendidikan,
3. materi KIE, dan melalui pendekatan sebaya-tenaga professional-pendamping dalam masyarakat.
Menguatkan Aksi Sasaran 3
peran a. Penguatan kapasitas orangtua, tokoh agama, professional, relawan, pendamping masyarakat agar mampu mengaplikasikan keterampilan pengasuhan anak
komunitas, yang berpusat pada pemenuhan hak-hak anak.
termasuk anak, b. Penyusunan protokol dan mekanisme pemantauan serta rujukan di sekolah dan masyarakat yang mengarahkan semua unsur masyarakat untuk
dalam menciptakan lingkungan tanpa kekerasan, stigma, dan diskriminasi bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.
pemenuhan hak c. Pelibatan dan pemberian penghargaan bagi dunia usaha, individu, lembaga non pemerintah dalam upaya-upaya pengembangan keterampilan anak,
dan kemampuan keluarga dan lingkungan.
perlindungan d. Penyusunan intrumen-instrumen untuk alternatif pengasuhan di luar keluarga yang berbasis pada keluarga besar, komunitas, atau orangtua asuh.
anak
Tantangan 1000 Hari Pertama Tantangan 10 Tahun Pertumbuhan dan Tantanganan Masa Remaja 13-18 Tahun Tantangan Kelembagaan
Perkembangan Anak
1. Memperluas akses dan pelayanan 1. Memperluas akses dan integrasi 1. Meningkatkan akses terhadap 1. Memastikan kementerian/lembaga
terpadu untuk pencegahan dan pelayanan bagi kelompok anak dan informasi, pelayanan preventif- yang terlibat dalam perlindungan
pengurangan kematian ibu-bayi, komunitas yang rentan terhadap promotifbagi remaja mengenai anak memiliki rasa kepemilikan
stunting-kurang gizi, cakupan imunisasi kematian balita, tumbuh kembang kesehatan reproduksi, perkawinan yang sama terhadap RAN-PA,
rendah, berdasarkan pada pemetaan tidak optimal, kekerasan, dan usia anak, dan perilaku berisiko, terutama apabila berkaitan dengan
karakteristik kelompok, sebaran, dan kesenjangan pendidikan yang kekerasan dan eksploitasi. melalui tugas pembantuan di tingkat
kebutuhan kelompok yang paling berdasar pada pemetaan seluruh aspek kehidupan. daerah,
rentan. karakteristik kelompok, sebaran, 2. Memperluas akses dan program 2. Melakukan penyempurnaan
2. Mengembangkan sistem pencatatan dan kebutuhannya. rehabilitatif-reintegratif berbasis regulasi dan memperkuat sistem
kelahiran yang dekat dan mudah 2. Mendorong implementasi masyarakat bagi kelompok remaja kelembagaan untuk isu seperti
dengan masyarakat termasuk Pengembangan Anak Usia Dini berhadapan dengan hukum. penentuan prioritas program dan
kemudahan mendapatkan akta Holistik-Integratif untuk kesiapan 3. Meningkatkan kesempatan yang sumber daya antara urusan wajib
kelahiran melalui pelayanan dasar. bersekolah dan tumbuh kembang sama bagi partisipasi dalam dengan urusan pilihan.
3. Memperluas akses untuk pelayanan optimal. pendidikan berkualitas untuk semua
promotif dan preventif terhadap 3. Mengintegrasikan pembentukan anak, terutama kelompok anak
disabilitas di awal kehidupan berdasar dasar keterampilan hidup dan nilai- rentan.
pada pemetaan karakteristik kelompok, nilai luhur pada seluruh aspek 4. Mengimplementasikan integrasi
sebaran, dan kebutuhan kelompok pendidikan dan pengasuhan anak. keterampilan hidup, nilai-nilai
yang paling rentan. 4. Mengembangkan sistem pelayanan luhur,dan kebiasaan hidup sehat
4. Mengembangkan program inovatif yang terjangkau untuk dalam kurikulum pendidikan dan
berbasis bukti untuk penguatan pencegahan, deteksi, dan kehidupan sehari-hari.
kemampuan keluarga, komunitas dan rehabilitasi kekerasan, serta
penyedia layanan agar mampu pengasuhan anak alternatif yang
memberikan pengasuhan optimal, berbasis keluarga.
mencegah kekerasan, dan mendeteksi
cepat disabilitas.
TANTANGAN
1000 Hari Pertama Kehidupan (0-2 Tahun) 10 Tahun Pertumbuhan dan Perkembangan Anak (3-12 Masa Remaja (13-17 Tahun)
1. Kematian Ibu dan Bayi serta Anak di bawah 2 Tahun Tahun) 1. Pengetahuan Kesehatan Reproduksi dan Perkawinan
2. Pencatatan Kelahiran dan Kepemilikan Akta Kelahiran 1. Kematian Anak di bawah Usia 5 Tahun Usia Anak
3. Status Gizi, Ketahanan, dan Perkembangan Anak 2. Penyakir Menular dan Cedera 2. Perilaku Berisiko Tinggi
4. Deteksi Dini dan Rehabilitas Cepat Disabilitas di Awal 3. Akses pada Pengembangan Anak Usia Dini Holistik 3. Akses dan Kualitas Pendidikan Usia Remaja
Kehidupan Integratif dan Pendidikan Dasar Berkualitas 4. Keterampilan Hidup dan Karakter
5. Pengasuhan Berbasis Keluarga, Pencegahan dan 4. Pembentukan Dasar Keterampilan Hidup dan Nilai- Kemanusiaan/Pendidikan Karakter
Penanganan Kekerasan serta Penelantaran Nilai Luhur 5. Kekerasan di Masa Remaja
5. Pengasuhan Berbasis Rumah Tangga yang Aman
USER 36
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
BAB V. PENUTUP
USER 37
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
BAB V
PENUTUP
USER 38
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
DAFTAR PUSTAKA
Adioetomo, S.M., Mont, D., & Irwanto (2014).Persons with Disabilities in Indonesia:
Empirical Facts and Implications for Social Protection Policies. Jakarta: Indonesia.
Demographic Institute, Faculty of Economics, University of Indonesia in
collaboration with Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
(TNP2K).
Badan Narkotika Nasional.2014. Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan
Penyalahguna Narkoba Tahun Anggaran 2014.
Badan Pusat Statistik. (2007). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta:
Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik.(2010). Sensus Penduduk 2010.
Badan Pusat Statistik.(2013). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012.
Badan Pusat Statistik.(2013). Survey Sosial Ekonomi Nasional 2013.
Bappenas. (2014). Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019: Buku I agenda
pembangunan nasional.
Bappenas.(2014). Rencana Pembangunan Jangka Menenagah 2015-2019: Buku II agenda
bembangunan bidang.
Dickerson, A., & Popli, G. (2014). Persistent Poverty and Children’s Cognitive
Development: Evidence from the UK Millennium Cohort Study. Sheffield
Economic Research Paper Series, (023).
Engle, P. L., & Black, M. M. (2008).The effect of poverty on child development and
educational outcomes.Annals of the New York Academy of Sciences, 1136(1), 243–
256.
FHI – ARC Unika Atma Jaya.2010. Jaringan Seksual dan Penggunaan Napza pada
Pengguna Napza Suntik di 6 Propinsi.Jakarta: FHI & LPPM Unika Atma Jaya.
Grantham-McGregor, S., Cheung, Y. B., Cueto, S., Glewwe, P., Richter, L., Strupp, B., …
others. (2007). Developmental potential in the first 5 years for children in
developing countries.The Lancet, 369(9555), 60–70.
Heckman, J.(2008). Schools, skills, and synapses.Economic Inquiry, 46(3), 289-324. doi:
doi:10.1111/j.1465-7295.2008.00163.x
Hopkins, D, et al.(2001). Reviews of Evidence Regarding Interventions to Reduce To
bacco Use and Exposure to Environmental Tobacco Smoke. American of
Preventive Medicine.
IBBS (2011).Integrated biological and behavioral survey 2011.Kemenkes.
Irwanto. (2014).Background study penyusunan RPJMN 2015-2019 bidang perlindungan
anak. Jakarta: Bappenas.
Kane, M., & Lashier, H. (2002). The Case for Childhood Immunization (Occasional Paper
No. 5). Washington, D.C: Child Vaccination Program, PATH.
Kementerian Kesehatan RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010.
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013.
USER 39
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
Nadia, S. (2013).Strategy to reduce morbidity and mortality of PLHIV and maximize the
prevention benefits of ARVs: the Indonesian Experience. Kemenkes
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Sosial RI (2013).Survei Kekerasan
Terhadap Anak Indonesia.
PUSKAPA UI and The Asia Foundation.(2011). Rehabilitation and Reintegration
Mechanism for Children in Indonesia’s Correctional System.
PUSKAPA UI and ILO. (2013). Child Domestic Workers (CDW) in Indonesia: Case Studies of
Jakarta and Greater Areas.
PUSKAPA UI & UNICEF. (2013). Knowledge, Attitudes and Behaviours on Violence Against
Children inSouth Sulawesi.
PUSKAPA UI, UNICEF, &DFAT (2014).Understanding vulnerability: A study on situations
that affect family separation and the lives of children in and out of family care.
Research in DKI Jakarta, Central Java, and South Sulawesi.
Patunru, A. & Kusumaningrum, S. (2012). Reducing inequality to improve the wellbeing of
children: Learning lessons from Indonesia for the post MDGs agenda. London: Save
the Children.
Republik Indonesia. 2015. Program Nasional Bagi Anak Indonesia 2015.
Sallabank, J. (2015). Does labor migration do more harm than good? IRIN, 12 June 2015 -
http://www.irinnews.org/report/101627/does-labour-migration-do-more-
harm-than-good
Save the Children, DEPSOS RI and UNICEF. (2007). Someone that Matters.Jakarta: Save
the Children
Save the Children. (2012). Nutrition in the first 1.000 Days. Westport: Save the Children.
SMERU, BAPPENAS, and UNICEF. (2012) Child Poverties and Disparities in Indonesia:
Challenges in Inclusive Growth. Jakarta: UNICEF.
Sumner, C., & Kusumaningrum, S. (2014). Studi Dasar AIPJ tentang Identitas Hukum:
Jutaan Orang Tanpa Identitas Hukum di Indonesia. Jakarta: Australian Indonesia
Partnership for Justice
Suryadharma, D., P. & Suryahadi. (2009). The contrasting role of ability and poverty on
education attainment: Evidence from Indonesia. Jakarta: SMERUWorking Paper.
Technical Assistance Team UNICEF Indonesia Project. (2012). Building an effective child
protection and social welfare system in Indonesia: Developing the role of social
work. Queensland: School of Human Services and Social Work Griffith University.
United Nations Convention of the Rights of the Children (2014).Concluding observation
on the combined third and fourth periodic report of Indonesia. CRC/C/IDN/3-4,
July 10, 2014 – h: 7-9
United Nations Development Programme (2008).HIV & AIDS and Mobility in South East
Asia.Bangkok: United Nations Development Programme.
United Nations Development Programme (2014).Human Development Report.
Utomo, I.D. and P. McDonald.(2009). Adolescent Reproductive Health in Indonesia:
Contested Values and Policy Inaction.Studies in Family Planning (40).
World Health Organization.(2009). Indonesia (Ages 13-15), Global Youth Tobacco Survey
(GYTS) Fact Sheet. Geneva: WHO.
World Health Organization. (2010). Injuries and violence: the facts. Geneva: WHO.
USER 40
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
Peraturan
USER 41
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
LAMPIRAN
USER 42
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
Siklus Sektor
Sasaran RANPA Program/Kegiatan
No Kehidupan Usulan Aksi PenanggungJawa
RPJMN 2015-2019
b
I Lintas Siklus Tersedianya Program Perlindungan Anak Penguatan sistem data dan Pemberdayaa
Kehidupan kebijakan dan Program pendidikan, informasi terpadu dari tingkat n Perempuan
program berbasis pelatihan, penelitian dan desa untuk pemetaan kebutuhan dan
bukti dan data yang pengembangan kesejahteraan dan faktor risiko sebagai dasar Perlindungan
mempertimbangkan sosial dari perencanaan pembangunan Anak
kebutuhan dan Program Pengembangan SDM dan penganggaran yang peka Sosial
karakteristik anak Pendidikan dan Kebudayaan terhadap kebutuhan anak dan Pendidikan
dan Penjaminan Mutu keluarga dan
berdasarkan gender
Program Penelitian dan Pengembangan penelitian dan Kebudayaan
dan siklus kehidupan
Pengembangan Kementerian pemanfaatan data penelitian Urusan
sesuai konteks sosial,
Pendidikan dan Kebudayaan terkait keluarga dan anak yang Pemerintahan
ekonomi dan budaya
Program Penelitian dan peka terhadap gender, Hukum dan
Pengembangan Kesehatan disabilitas, dan kebutuhan anak HAM
Program Bina Pembangunan di tiap siklus kehidupan. Perencanaan
Daerah pembangunan
Program Pengelolaan
Desentralisasi dan Otonomi
Daerah
Program Pemerintahan
Umum
Program Penelitian dan
Pengembangan Kementerian
Hukum dan HAM
Program Penelitian
Pengembangan dan
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
Pendidikan Pelatihan
Kementerian Agama
Program Perencanaan
Pembangunan Nasional
Menguatkan aspek Program Perlindungan dan Perluasan penjangkauan secara Pemberdayaan
pencegahan, deteksi Jaminan Sosial aktif untuk deteksi dini dan Perempuan
dini dan Program Rehabilitasi Sosial pengurangan risiko kelompok dan
perlindungan sosial Program Perlindungan Anak rentan yang sulit untuk Perlindungan
untuk mengurangi Program Penguatan dijangkau Anak
risiko dan Pelaksanaan Jaminan Sosial
Pengembangan sistem
kerentanan Kesehatan Nasional Kesehatan
perlindungan sosial dan
Program Dukungan pelayanan komprehensif –
Manajemen dan Pelaksanaan inklusif-integratif untuk
tugas teknis lainnya terpenuhinya hak-hak dasar
Kementerian Kesehatan pendidikan anak, menguatkan
kapasitas keluarga, dan
mempertahankan anak dalam
asuhan keluarga.
I 1000 Hari Menguatkan peran Program Pembangunan Urusan
Penguatan kapasitas orangtua,
Pertama komunitas, termasuk Sumber Daya Pemerintahan
tokoh agama, professional,
Kehidupan anak, dalam Manusia dan modal sosial Sosial
relawan, pendamping
pemenuhan hak dan budaya masyarakat desa Pendidikan
masyarakat agar mampu,
perlindungan anak Program Perlindungan Anak mengaplikasikan keterampilan Kesehatan
secara universal Program Perlindungan dan pengasuhan anak yang berpusat Pemberdayaa
Jaminan Sosial pada pemenuhan hak-hak anak. n Perempuan
Program Rehabilitasi Sosial dan
Program Penguatan Penyusunan intrumen- Perlindungan
Pelaksanaan Jaminan instrumen untuk alternatif Anak
Kesehatan Nasional pengasuhan di luar keluarga
Program Bina Gizi dan yang berbasis pada keluarga
USER 1
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
USER 2
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
III Pilar yang Menguatnya aspek Pengendalian Penyakit dan Perluasan penjangkauan secara aktif Kesehatan
Kokoh pencegahan, deteksi Penyehatan Lingkungan; untuk deteksi dini dan pengurangan Urusan
dini dan Program Bina Gizi dan risiko kelompok rentan yang sulit Pemerintahan
perlindungan sosial Kesehatan Ibu dan Anak untuk dijangkau Kependuduka
untuk mengurangi Program Kependudukan, KB, n dan
risiko dan dan Pembangunan Keluarga Keluarga
kerentanan Program Pendidikan Anak Berencana
Usia Dini, Non Formal dan Pendidikan
Informal; Pengidentifikasian, perancangan Kesehatan;
ulang, dan pengimplementasian Kependuduka
program lintas sektoral yang n dan
berkelanjutan untuk deteksi dini Keluarga
terhadap disabilitas, tumbuh Berencana
kembang, dan pencegahan
kekerasan.
USER 3
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
USER 4
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
IV Atap yang Tersedianya Program perlindungan Penguatan sistem data dan Pemberdayaan
Melindungi kebijakan dan Anak) informasi terpadu dari tingkat desa Perempuan
program berbasis Program Bina Pembangunan untuk pemetaan kebutuhan dan dan
bukti dan data yang Daerah faktor risiko, sebagai dasar dari Perlindungan
mempertimbangkan Program Penguatan perencanaan pembangunan dan Anak
kebutuhan dan Pemerintahan Umum penganggaran yang peka terhadap Urusan
karakteristik anak Program Pembinaan dan kebutuhan anak dan keluarga Pemerintahan
berdasarkan gender Penyelenggaraan Hukum dan
Pemasyarakatan HAM
dan siklus kehidupan
Program Pendidikan dan Sosial
sesuai konteks sosial,
Pelatihan Aparatur
ekonomi dan budaya
Kementerian Hukum dan
HAM
USER 5
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
perilaku-perilaku berisiko.
USER 6