Anda di halaman 1dari 56

HAK-HAK ANAK

DAN PERLINDUNGAN ANAK

BUKU PEGANGAN FASILITATOR PKH


ATAU PETUGAS LAPANGAN
Konsultan / Penulis
Hadi Utomo
(Pekerja Sosial)

Anggota Tim Konsultan / Tim Penulis


Ahmad Muhammad
Faisal Cakra Buana
(Pekerja Sosial)

UNICEF Support Team


Anna Winoto
Astrid Dionisio
Regi Wirawan

Penerbit
UNICEF dan Kementerian Sosial RI

Fotografi
Burhan Yogaswara / Yogastografi

Kartunis
Muhammad Mukhlis.

i
UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah dengan izin Allah S.W.T Buku Modul Pelatihan Bagi Fasilitator Program Keluarga
Harapan (PKH) berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak (KHA) dapat diselesaikan berkat kerjasama
dengan semua pihak. Modul ini merupakan bagian integral dari Family Development Session (FDS)
Kesejahteraan Keluarga.

Modul ini, dirancang dengan menggunakan pendekatan berbasis hak-hak anak (Child Rights-Based
Approach). Oleh karena itu, Modul ini memuat materi tentang hak dan perlindungan anak,
kerangka hukum perlindungan anak serta pengasuhan berkelanjutan bagi anak. Modul ini
dilengkapi dengan Buku Pegangan Perlindungan Anak Bagi Fasilitator PKH, yang dibuat secara
terpisah.

Pertama-tama, kami berterima kasih kepada Anna Winoto, Astrid Dionisio dan Regi Wirawan, serta
staff pendukung di UNICEF yang telah memberikan dukungan dan arahan baik dalam perancangan
konsep awal hingga pengembangan materi selanjutnya.

Terima kasih kami sampaikan kepada BAPPENAS, Kementerian Sosial, BAPPEDA dan DINSOS Brebes,
BAPPEDA dan DINSOS Sikka, UNICEF Regional Jawa Tengah dan Jawa Timur, UNICEF NTT yang telah
mendukung pelaksanaan uji coba sehingga buku ini dapat diselesaikan dengan baik.

Terima kasih kepada Mohammad Farid dari Yayasan SAMIN Yogyakarta yang telah membantu
memberikan masukan berharga bagi pengayaan dan penyempurnaan Modul Pelatihan KHA

Sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak melalui Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990,
implementasi KHA telah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh tetapi masih menghadapi berbagai
kendala dan tantangan yang memerlukan perhatian dan kerja keras dari pemerintah dan
membutuhkan partisipasi masyarakat.

Dengan dibuatnya Modul ini, merupakan salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan
perhatian, pengetahuan dan pemahaman bagi para pendamping PKH mengenai Perlindungan Anak
baik ditingkat Pusat maupun Daerah, agar mampu memberikan pemahaman tentang hak dan
perlindungan anak, kerangka hukum internasional dan hukum nasional maupun Pengasuhan
Berkelanjutan bagi anak.

Dengan demikian, pendamping PKH memiliki pemahaman dan landasan serta arah yang jelas dalam
melakukan proses pendampingan di masyarakat, dapat berdiskusi dimanapun dan kapanpun
tentang permasalahan perlindungan anak bersama anak dan keluarga di wilayah dampingannya
secara luwes, termasuk dalam melakukan advokasi maupun pengembangan jejaring kerjasama
dengan pemerintahan daerah dan tokoh masyarakat yang diperlukan, untuk kepentingan
perlindungan anak.

Konsultan / Penulis
Hadi Utomo

Anggota Tim Konsultan / Tim Penulis


Ahmad Muhammad
Faisal Cakra Buana

ii
Kata Pengantar

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melaksanakan investasi gizi dalam rangka


peningkatan kualitas sumber daya manusia dan memenuhi hak dasar penduduk
terhadap gizi, khususnya pada perempuan dan anak sebagai kelompok penduduk yang
paling rentan. Penjabaran RPJMN yang dituangkan dalam Rencana Strategis (RENSTRA)
Kementerian Kesehatan tahun 2010-2014 bahwa sasaran pembinaan gizi masyarakat
adalah menurunkan prevalensi gizi kurang dari 18,4% menjadi 15% pada tahun 2014
dan menurunkan prevalensi balita pendek dan sangat pendek dari 36,8% tahun 2009
menjadi 32% tahun 2014. Prevalensi stunting di Kabupaten Brebes 48.7% dan
Kabupaten Sikka 49.6% lebih tinggi dari angka Nasional (36,8%).

Lancet Series on Maternal and Child Under-nutrition pada tahun 2008, melakukan
review terhadap enam program bantuan tunai bersyarat diantara beberapa metode
intervensi lainnya diidentifikasi bahwa Bantuan Tunai Bersyarat (BTB) merupakan salah
satu intervensi yang penting dan efektif untuk menanggulangi stunting apabila dalam
program tersebut terdapat komponen pendidikan gizi. Di Indonesia bantuan tunai
bersyarat dinamakan Program keluarga harapan/PKH.

Pemerintah Indonesia bersama Unicef Mengembangkan sebuah proyek pilot yaitu


Program Penguatan Komponen Gizi dan penanggulangan stunting melalui PKH (PKH-
Prestasi) yang bertujuan untuk mempercepat penanggulangan prevalensi stunting pada
anak. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam pilot ini adalah peningkatan
kapasitas dari petugas pendamping PKH agar dapat memotivasi dan menyampaikan
pesan-pesan gizi. Direktorat Bina Gizi Kementrian Kesehatan bekerjasama dengan
Kementrian Sosial, Unicef dan Konsultan telah menyusun Materi dan alat bantu FDS
Gizi dan Kesehatan bagi Pendamping PKH Prestasi.

UNICEF juga mendukung Pemerintah untuk penguatan dan peningkatan kemampuan


pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) tentang Kesejahteraan Keluarga. Untuk
hal tersebut, UNICEF mengembangkan Modul Pelatihan tentang Hak-hak Anak dan
Perlindungan Anak; Kerangka Hukum Perlindungan Anak dan Pengasuhan
Berkelanjutan Bagi Anak. Modul tersebut akan digunakan oleh Petugas Pendamping /
Fasilitator PKH. Uji coba Modul telah dilakukan di Brebes pada tanggal 28-30 Nopember
2013 dan di Sikka pada tanggal 04-06 Desember 2013. Saat ini Modul tersebut telah
mengalami revisi seperlunya. Tahap berikutnya, dilakukan pelatihan bagi Master of
Trainer (MoT) PUSDIKLAT Kementerian Sosial.

Pada tahun 2014 penerima PKH yang telah terdaftar selama 7 tahun diharapkan telah
berdaya secara finansial dan dipandang berhasil dan memenuhi syarat untuk
melanjutkan ke tahap berikutnya. Keberhasilan ini disebut sebagai PKH Transformasi
di mana kelompok masyarakat ini tidak lagi menerima bantuan tetapi pemerintah akan
memfasilitasi keluarga untuk diberdayakan sehingga mampu menciptakan keluarga
yang harmonis, mampu mengasuh dan melindungi anak dengan memperhatikan Hak-
hak anak dan melindungi anak dari kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan
salah (KEPP) serta merencanakan dan mengelola tujuan keluarga mereka sendiri,
pendapatan dan mata pencaharian.

Dalam rangka membekali kelompok PKH transformasi tersebut pemerintah sedang


mempersiapkan strategi untuk mengembangkan kapasitas keluarga dalam mengelola
kesehatan mereka, pendidikan, ekonomi, dan kesejahteraannya. Langkah strategi
tersebut bernama Family Development Session (FDS), yakni kegiatan pertemuan
bulanan secara formal antara penerima PKH dengan fasilitator yang ruang lingkupnya

iii
diperluas dengan isu-isu kunci yang mempengaruhi kehidupan rumah tangga. Namun
demikian, pemahaman materi Modul FDS dapat digunakan oleh fasilitator PKH secara
informal dalam berbagai kesempatan di wilayah dampingannya.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah meminta bantuan


UNICEF untuk mengembangkan dua dari empat modul FDS, yaitu pada kesehatan dan
kesejahteraan keluarga yang meliputi Hak-hak Anak, Perlindungan Anak, Kerangka
Hukum Perlindungan Anak dan Pengasuhan Berkelanjutan Bagi Anak dan mendapatkan
dukungan Bank Dunia guna mengembangkan modul pendidikan dan ekonomi. Modul
FDS yang digunakan pada pilot project PKH prestasi telah diputuskan akan digunakan
juga pada PKH Transformasi.

Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan Pendamping PKH perlu dilakukan


Pelatihan FDS Gizi dan Kesehatan dan FDS Kesejahteraan Keluarga dalam rangka
membantu pelaksanaan tugas di lapangan. Mengingat materi FDS merupakan hal baru
dan hasilnya juga akan digunakan tidak hanya untuk pilot PKH Prestasi tapi juga PKH
tranformasi, maka perlu dilakukan pelatihan untuk para Master of Trainer (MoT) tingkat
Nasional. Para MoT yang dihasilkan akan melatih para pendamping PKH bukan hanya
di Sikka dan Brebes tetapi juga pada pelaksanaan PKH di seluruh Indonesia.

iv
Daftar Isi

Ucapan Terima Kasih ……………………………………………………………… ii

Kata Pengantar ……………………………………………………………… iii

Daftar Isi ……………………………………………………………… v

Pendahuluan ……………………………………………………………… 1

BAGIAN I ……………………………………………………………… 5
Hak-hak Anak Menurut Konvensi Hak-hak
Anak (KHA)
BAGIAN II ……………………………………………………………… 20
Kerangka Hukum Hak-hak Anak dan
Perlindungan Anak
BAGIAN III ……………………………………………………………… 24
Pengasuhan Berkelanjutan
Sumber Referensi ……………………………………………………………… 47

v
PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan tentang anak berkembang pesat di berbagai Negara,


seperti pengetahuan tentang gisi bagi anak, kedokteran anak, psikologi anak, pendidikan
anak, hukum tentang anak hingga berbagai hasil penelitian tentang anak ditinjau dari sudut
pandang antropologi dan atau sosiologi.

Bersamaan dengan itu, perkembangan lainnya adalah memahami anak dengan


menggunakan pendekatan berbasis hak-hak anak atau Child Rights-Based Approach. Modul
ini, dirancang dengan menggunakan pendekatan Child Rights-Based Approach tersebut.
Oleh karena itu, Modul ini memuat materi tentang hak dan perlindungan anak, kerangka
hukum perlindungan anak serta pengasuhan berkelanjutan bagi anak yang dirancang untuk
bahan pelatihan petugas pendamping PKH.

Tujuan dari modul ini adalah:


 Memberikan pemahaman tentang hak dan perlindungan anak, serta kerangka
hukum terkait baik dengan hukum internasional maupun hukum nasional sebagai
landasan dan panduan dalam melakukan proses pendampingan;
 Memberikan pemahaman tentang prinsip-prinsip maupun proses pengasuhan
berkelanjutan yang sejalan dengan prinsip-prinsip maupun norma hukum terkait
hak dan perlindungan anak.

Dengan tujuan tersebut diharapkan para petugas pendamping PKH memiliki landasan serta
arah yang jelas dalam melakukan proses pendampingan di masyarakat. Disamping itu para
petugas pendamping PKH memiliki panduan normatif khususnya dalam menghadapi
permasalahan anak dan keluarga, melakukan advokasi maupun pengembangan jejaring
kerjasama yang diperlukan.

Cara Menggunakan Modul


Modul ini dirancang dengan menggunakan prinsip-prinsip andragogi dan metode analisis
tentang kerangka hukum internasional dan kerangka hukum nasional terkait hak dan
perlindungan anak. Penggunaan prinsipdan metode tersebut bertujuan untuk
mengembangkan cakrawala berfikir serta kemampuan memahami konteks secara utuh
mengenai persoalan anak.

Modul ini terdiri dari 3 (tiga) bagian yaitu:


a. Modul 1.1 Tentang Hak-hak Anak dan Modul 1.2 Tentang Perlindungan Anak;
b. Modul 2 Tentang Kerangka Hukum / Instrumen Internasional dan Instrumen
Nasional;
c. Modul 3 Tentang Pengasuhan Berkelanjutan.

1
Waktu yang diperlukan untuk melaksanakan pelatihan dengan menggunakan Modul di atas
adalah 420 menit x 5 hari.

Terdapat dua landasan dalam memahami modul ini:


1. Setiap peserta harus membaca materi yang termuat dalam Bahan Bacaan Inti dan
Bahan Bacaan Yang Disarankan yang tersedia pada setiap bagian Modul;
2. Langkah diskusi kelompok dengan menggunakan lembar kerja (LK) yang dilengkapi
petunjuk teknis dalam melakukan rujukan analisis dari bahan bacaan inti modul,
mengembangkan diskusi pembahasan dan bahan pengembangan scenario role playing.
Langkah diskusi kelompok yang dikembangkan pada Modul ini menggunakan 3 (tiga)
model yakni:
a. Diskusi Analisis
b. Studi Kasus
c. Role Playing

Kerangka modul terdiri dari:


1. Pengantar
Pengantar materi berisi tentang garis-garis besar uraian pembahasan Modul. Pengantar
materi ini disertai dengan uraian singkat melalui presentasi fasilitator.
2. Tujuan sesi
Tujuan sesi merupakan poin-poin yang menjadi tujuan pembahasan materi bagi peserta
pelatihan
3. Alokasi Waktu
Alokasi waktu merupakan durasi yang diperlukan untuk tahapan langkah-langkah yang
dilakukan pada setiap sesi.
4. Alat bantu yang diperlukan :
 5 unit Laptop dan 5 unit LCD/proyektor
 Kertasflipchart, spidol, ketas metaplan (MP), pita perekat kertas.
 Bahan presentasi (Slide Modul 1.1 dan 1.2; 2 dan 3)
 Lembar Kerja (1 – 33)

5. Pokok Bahasan
Pokok bahasan merupakan poin-poin penting yang terkandung dalam materi modul
yang menjadi topik pembahasan utama secara lebih mendalam.
6. Langkah-langkah Kegiatan
Langkah-langkah kegiatan merupakan tahapan kegiatan yang dilakukan dalam setiap
sesi, yang terdiri dari:
a. Pengantar sesi, yakni penjelasan fasilitator tentang pelaksanaan dan tujuan sesi
b. Penggalian pandangan peserta terkait dengan topik bahasan
c. Presentasi dan tanya jawab oleh fasilitator
d. Diskusi Kelompok yang dibantu dengan lembar kerja untuk memudahkan setiap
peserta dalam melakukan analisa materi, studi kasus dan role playing

2
e. Presentasi kelompok dalam bentuk pleno untuk menjelaskan hasil diskusi
kelompok. Presentasi kelompok juga menjadi alat untuk melihat efektivitas
penggunaan lembar kerja dalam memahami maupun menganalisa materi.
f. Refleksi dan rangkuman, yakni langkah akhir yang dilakukan oleh fasilitator untuk
resume sekaligus menjelaskan poin-poin penting materi termasuk menjelaskan hasil
diskusi kelompok.

7. Lembar Kerja (LK)


Merupakan lembaran yang berisi tentang tugas. LK akan membantu proses
pembelajaran peserta untuk memahami isi pada masing-masing Modul.

8. Bahan Bacaan Inti


Merupakan referensi utama yang memuat rincian materi setiap Kerangka Modul dan
menjadi rujukan dalam melakukan analisa.
9. Bahan Bacaan Yang Disarankan
Merupakan bahan bacaan tambahan untuk memperdalam isu yang dibahas.

3
BAGIANI

HAK-HAK ANAK MENURUT KONVENSI HAK-HAK ANAK (KHA)


PENGANTAR
Hak-hak anak merupakan bagian integral dari Hak Asasi Manusia (HAM). HAM merupakan
anugerah Tuhan yang diberikan kepada manusia sejak dalam kandungan. Negara bukan
pemberi HAM, tetapi Negara melaksanakan kewajiban atas terlaksananya HAM bagi
seluruh rakyatnya. Hak-hak anak memerlukan perlindungan karena keunikannya anak-anak
belum mampu untuk mempertahankan hak-haknya tanpa bantuan orang dewasa (orang
tua/keluarga, masyarakat dan negara).
Secara garis besar terdapat dua pihak yang harus melindungi hak anak:
 Orang tua/wali atau mereka yang bertanggung jawab untuk mengasuh,membimibing
dan melindungi anak.
 Negara/pemerintah, termasuk pemerintah daerah dan lembaga terkait lainnya seperti
aparatur penegak hukum (APH).
Materi hukum tentang hak-hak anak, termasuk mekanisme implementasinya oleh negara,
termuat dalam Konvensi Hak-Hak Anak (KHA).Indonesia telah meratifikasi KHA melalui
Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Negara yang telah meratifikasi instrument
internasional termasuk KHA terikat secara politis dan yuridis. Dengan demikian Negara
harus mengambil langkah-langkah legislative, administrative, dan langkah lain untuk
mengimplementasikan hak-hak anak yang diakui di dalam Konvensi.

A. HUBUNGAN ANTARA KEWAJIBAN NEGARA DAN TANGGUNGJAWAB ORANGTUA


DALAM MENGASUH DAN MELINDUNGI ANAK.
Orang tua dan keluarga secara alamiah merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal
anak. Dalam lingkungan ini semua dimensi kemanusiaan anak ,baik dimensi fisik maupun
non fisik, pertama kali diperkenalkan, berkomunikasi dan berinteraksi. Orang tua dan
lingkungan keluarga pula yang menjadi pelindung pertama bagi anak. Hubungan individu
maupun sosial anak dengan orang tua maupun lingkungan keluarga diikat oleh hubungan
batin yang sangat lekat disertai rasa cinta dan kasih sayang sebagai karunia Tuhan yang
kesempurnaan nilainya tidak dapat digantikan oleh peran individu maupun lingkungan
sosial lainnya.
Dengan demikian keberadaan orang tua dan keluarga merupakan akar sosial budaya anak
dan menjadi bagian hak anak yang paling mendasar untuk tidak
tercabut atau terpisahkan darinya.

Prinsip-prinsip dasar tentang orang tua dan keluarga sebagai akar sosial budaya anak
tersebut diakui dan dilestarikan dalam Deklarasi Hak Anak 1959: “Anak, demi
perkembangan kepribadiannya yang penuh dan selaras, membutuhkan cinta dan
pengertian. Ia harus, jika mungkin, tumbuh dalam perawatan dan dalam tanggung jawab

5
orang tuanya…”(Pasal 6). Selanjutnya Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan politik
memberikan ketentuan: “Keluarga adalah unit kelompok masyarakat yang alamiah dan
fundamental dan berhak atas perlindungan dari masyarakat dan negara”(Pasal 23 (1)).
Semangat yang sama juga termuat dalam aline 5-6 mukadimah Konvensi Hak-hak Anak
(KHA) yang menyebutkan bahwa keluarga sebagai kelompok dasar dari masyarakat dan
lingkungan alam bagi pertumbuhan dan kesejahteraan dari seluruh anggautanya terutama
anak-anak, harus diberi perlindungan dan bantuan yang diperlukan sehingga dapat
sepenuhnya memikul tanggung jawabnya dalam masyarakat. Bahwa anak, demi
pengembangan sepenuhnya dan keharmonisan dari kepribadiannya, harus tumbuh dalam
lingkungan keluarga dalam iklim kebahagiaan, cinta kasih dan pengertian.

Fakta alamiah bahwa orang tua dan keluarga merupakan akar sosial budaya anak serta
peran mendasarnya bagi tumbuhkembang anak, kemudian ditegaskan dalam pasal 9 KHA
yang memuat dua prinsip penting tentang hak anak atas pengasuhan orang tua/keluarga
serta perlindungan negara:
(1) Bahwa anak tidak boleh dipisahkan dari orang tua kecuali jika hal itu memang perlu
demi kepentingan terbaik bagi anak, dan:
(2) Bahwa semua aturan untuk memisahkan anak dari orang tua (jika memang perlu) harus
bersifat adil

Terkait dengan akar sosial budaya anak serta


hak anak untuk tidak terpisah darinya maka
Negara sebagai pelindung hak asasi manusia
diamanatkan untuk mengambil langkah-
langkah yang diperlukan guna membantu
orang tua atau keluarga agar memiliki
kemampuan maksimal dalam melaksanakan
tanggung jawab pengasuhan dan
perlindungan anak (KHA, Pasal 18)

Anak tanpa pengasuhan dan perlindungan


atau terpisah dari orang tua atau keluarga
identik dengan tercabutnya anak dari akar Anak sedih, merana dan menderita
sosial budayanya. Keterpisahan ini seringkali karena ibunya menjadi kerja diluar
mengakibatkan anak berada dalam kota atau TKW
situasirentan terhadap resiko menjadi korban
kekerasan, eksploitasi, perdagangan, diskriminasi ataupun bentuk pelanggaran lain yang
merugikan dan bahkan menghilangkan hak-hak anak.

Keterpisahan anak dari orang tua atau keluarga hanya dimungkinkan dengan persyaratan
yang sangat ketat, mengacu kepada prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Selain itu harus

6
disertai oleh keputusan sekaligus dalam monitoring lembaga Negarasebagaimana diatur
dalam KHA, Pasal 9 ayat 1 dan 3.

Dalam kaitan ini sistem pengasuhan anak


secara garis besar dibagi kedalam dua bentuk
yakni: pengasuhan dalam rumah dan
pengasuhan diluar rumah (lihat modul 3
tentang continuum of care for children).

Kegagalan keluarga dalam melaksanakan


tanggungjawab mengasuh dan melindungi
anak disertai dengan kegagalan Negara
dalam membantu/memberdayakan keluarga
agar memiliki kemampuan optimal dalam
mengasuh dan melindungi anak, menjadi
faktor penyebab utama lahirnya berbagai
masalah yang dihadapi dan dialami anak
Anak jalanan dampak dari ketidakmampuan baik terkait masalah fisik, psikis maupun
orangtua dalam mengasuh dan lemahnya
peran negara sosial. Mengabaikan kegagalan keluarga dan
negaradalam mengasuh dan melindungi anak
identik dengan “membiarkan” anak berada dalam kondisi rentan dan beresiko mengalami
kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah lainnya.
Perbedaan, persamaan maupun kaitan antara hak anak dan perlindungan anak.

Uraian lebih rinci tentang perlindungan anak dapat dilihat selanjutnya dalam modul 2

7
B. KEWAJIBAN (OBLIGATION)NEGARATERHADAP RAKYAT MENURUT HAM
Kewajiban Negara terhadap rakyat terdiri atas:
1. Menghormati (the obligation to respect)
Contoh tidak menghormati, misalnya membuat kebijakan pendidikan yang hanya
menguntungkan kelompok anak tertentu untuk menikmatinya
2. Melindungi (the obligation to protect), yakni melindungi setiap warga Negara dari
berbagai pihak non-Negara
Contoh melindungi, misalnya membuat undang-undangan atau kebijakan untuk
melindungi hak asasi setiap individu warga Negara
3. Memenuhi (the obligation to fulfill) – yakni Negara harus mengambil tindakan untuk
memenuhi hak-hak warga negara, termasuk hak anak
Contoh misalnya: alokasi anggaran, membangun sekolah, rumah sakit, ataupun
membangun berbagai fasilitas lainnya yang mendukung terhadap perkembangan
tumbuhkembang anak secara optimal.
4. Memajukan (the obligation to promote) – langkah awal dalam mempromosikan
pemenuhan hak-hak anak, contoh misalnya mengembangkan akses informasi
Keempat kewajiban negara tersebut di atas, meliputi juga kewajiban dalam
mengimplementasikan KHA, mengingat KHA merupakan bagian integral dari HAM dan
atau karena negara tersebut telah meratifikasi KHA.

C. KONVENSI HAK-HAK ANAK


Konvensi Hak-Hak (KHA) merupakan instrumen internasional yang menjadi rujukan dan
pijakan semua hukum yang terkait dengan keberadaan anak. Didalamnya memuat
materi hukum tentang hak-hak anak, sekaligus mekanisme implementasinya yang harus
dilakukan oleh Negara yang telah meratifikasinya.
Konvensi Hak-Hak Anak terbagi Kedalam 8 Klaster yang terintegrasi antara satu klaster
dengan klaster lainnya, yakni:
Klaster I Tentang Langkah-Langkah Implementasi Umum(General Measures of
Implementation)
Klaster II Tentang Definisi Anak (Definition of The Child).
Klaster III Tentang Prinsip-Prinsip Umum (General Principles),
Klaster IV Tentang Hak Sipil dan Kebebasan (Civil Rights and Freedoms)
Klaster V Tentang Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif (Family
Environment andAlternative Care)
Klaster VI Tentang Kesehatan & Kesejahteraan Dasar (Basic Health and Welfare)
Klaster VII Tentang Pendidikan, Waktu Luang & Kegiatan Budaya(Education, Leisure
andCultural Activities)
Klaster Tentang Langkah-langkah Perlindungan Khusus (Special Protection
VIII Measures).

8
Klaster I, II dan III harus
mainstream kedalam
implementasi hak anak yang
termuat dalam klaster IV sampai
VIII. Uraian lebih terinci tentang
klaster KHA dapat dilihat
selanjutnya dalam modul 2.
Prinsip-prinsip hak-hak anak
menurut KHA terdiri dari: non-
diskriminasi; kepentingan terbaik
bagi anak; hak hidup,
kelangsungan hidup
danperkembangan; serta
menghormati pandangan anak.
Anak-anak kebingungan karena orangtua tidak
Prinsip-prinsip hak anak tersebut mau mendengarkan pandangan anak dan
selalu menganggap dirinya benar
harus menjiwai implementasi
KHA pada setiap klaster.
Negara wajib melakukan disseminasi (penyebaran informasi) tentang hak-hak anak
kepada masyarakat, termasuk kepada anak-anak. Negara juga wajib membuat laporan
tentang implementasi KHA kepada Komite Hak-hak Anak PBB. Laporan tersebut terdiri
dari:
 Laporan awal (initial report), yaitu laporan yang dilakukan oleh negara 2 (dua) tahun
setelah melakukan ratifikasi
 Laporan periodik (periodic report) yang dilakukan negara setiap 5 tahun sekali.

D. PERLINDUNGAN ANAK
Dalam konteks ini pengertian perlindungan anak secara khusus terfokus pada
perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah (KEPP).
Pengertian perlindungan anak tersebut berpijak pada Pasal 19 KHA dan kaitannya dengan
Klaster VIII KHA (Langkah-langkah Perlindungan Khusus). lebih lanjut Pasal 19 KHA
menegaskan:Negara wajib mengambil langkah-langkah Administratif, Legislatif, Sosial, dan
Pendidikan untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan baik fisik, mental,
perlakuan salah, penelantaran / pengabaian, eksploitasi termasuk kekerasan seksual.
Berdasarkan hal tersebut, perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi,
merupakan bagian dari hak-hak anak.

9
Apa yang dimaksud kekerasan terhadap anak?
Kekerasan terhadap anak berkaitan dengan perlakuan yang mengakibatkan dampak buruk
terhadap anak baik secara fisik maupun psikis, membuat anak mengalami penderitaan,
kehilangan harga diri dan atau kehilangan hak-haknya.

Terdapat empat bentuk kekerasan terhadap anak, meliputi:


 kekerasan fisik (physical abuse)
 kekerasan psikis (emotional abuse)
 penelantaran (neglect)
 kekerasan seksual (sexual abuse)

Apakah hukuman fisik bagian dari kekerasan


terhadap anak?
Umumnya masyarakat memandang
tindakan kekerasan yang dilakukan
olehseseorang terhadap sesama
lainnya sebagai pelanggaran hukum.
Tetapi masih banyak orang tua
memandang tindakan kekerasan
terhadap anak merupakan bagian dari
pendidikan dan atau bertujuan untuk
mendisiplinkan anak. Cara pandang
seperti ini memuat ketidakadilan,
terutama dipandang dari dampak buruk
yang diakibatkannya. kekerasan ayah terhadap anaknya dan ditiru oleh
kakak tertua melakukan kekerasan terhadap
adiknya

Dengan mengacu kepada nilai-nilai hak asasi, semestinya segala bentuk tindakan
kekerasan yang dilakukan kepada siapapun, terlebih kepada anak, sekalipun atas nama
pendisiplinan, merupakan perlakukan buruk dan pelangaran hukum.

Apa yang dimaksud kekerasan psikis?


Kekerasan psikis, termasuk yang lebih banyak dilakukan bahkan sering terjadi berulang-
ulang tanpa disadari. Terutama karena bentuk dan dampaknya yang tidak nampak langsung
secara fisik, kekerasan psikis seringkali tidak mendapatkan perhatian yang sungguh-
sungguh bahkan cenderung diabaikan.
Dampak kekerasan psikis diantaranya: merasa takut, merasa malu, perasaan marah,
merasa tidak dicintai, merasa tidak diperhatikan, menjadi penyendiri/sering mengucilkan
diri dan atau merasa rendah diri. Anak yang mengalami situasi seperti ini sering
kehilangan rasa percaya diri atau cenderung mengalami banyak kesulitan dalam

10
membentuk hubungan positif dengan orang atau anak-anak sebaya lainnya. Dampak
psikologis yang jauh lebih buruk dan lebih berat lagi terutama yang disebabkan oleh
kekerasan seksual.

Apa saja yang termasuk kekerasan psikis?


 Sering mengkritik, meremehkan atau merendahkan harga diri anak
 Sering membentak anak
 Mengabaikan dan menolak ketika
anak membutuhkan bantuan
 Memanggil anak dengan nama
yang merendahkan
 Mempermalukan anak di depan
orang lain
 Mengancam secara fisik
 Menghukum anak
 Mengabaikan, menelantarkan
atau meninggalkan anak
 Menjadikan anak sebagai sasaran
kemarahandalam rumah tangga
 Mendorong anak untuk terlibat
dalam kegiatan kriminal kekerasan mental oleh ibu terhadap anaknya
 Terus-menerus mengabaikan anak dan menolak untuk menunjukkan kasih sayang
 Tidak mencintai anakatau mengancamanak dengan kata-katatidak akan
mencintainya.

Apa yang dimaksud penelantaran / pengabaian?


Penelantaran biasanya terjadi ketika
orangtua tidak mau atau tidak mampu
memenuhi kebutuhan anak, sehingga
perkembangan atau pertumbuhan anak
tidak normal. Pengertian
penelantaran/pengabaian dalam masyarakat
masih sering dipahami secara sempit,
terutama dengan ukuran-ukuran materi,
misalnya dikatakan sebagai penelantaran
jika orang tua tidak memberi makan,
pakaian ataumembiarkan anak terlunta-
lunta.

Anak usia 4 tahun momong adiknya

11
Apa saja yang termasuk pengabaian?
 Ketika orang tua gagal untuk
melindungi anak dari hal-hal yang
membahayakan anak di lingkungan
mereka
 Terus-menerus mengabaikan
kebutuhan anak atau tidak
memberikan perhatian atau tidak
meluangkan waktunya untuk
mendengarkan dan bermain
dengan anak
 Tidak menyekolahkan anak
sehingga kehilangan kesempatan
atau pendidikannya
 Meninggalkan anak tanpa
Hak bermain
menitipkannya kepada orang yang dapat bertanggung
jawab sehingga anak merasa sendiri atau merasa tidak dihargai
Bagaimana terjadinya penelantaran?
 Ketika seorang anak tidak memiliki cukup makanan, pakaian, tidak bersih, tidak
memiliki tempat tinggal
Ketika seorang anak tidak diberikan perawatan kesehatan yang diperlukan seperti medis,
kesehatan gigi dan / atau lainnya, termasuk tidak memberikan obat ketika anak dalam
kondisi sakit

Apa yang termasuk kekerasan seksual (sexual abuse)?

Bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak diantaranya meliputi:


aktivitas seksual; pelecehan seksual; menyuruh melakukan/melihat perbuatan seksual;
menunjukkan organ; seksual kepada anak; menunjukkan gambar-gambar porno; meraba
bagian tubuh anak; menyuruh masturbasi/onani; menyuruh melakukan/melihat
perbuatan oral seks; melakukan penetrasi daerah genital atau anal dengan suatu benda,
penis atau bagian lain dari tubuh.

Kekerasan seksual terhadap anak (KSA) juga mencakup eksploitasi seksual komersial anak
(ESKA)walaupun secara teori keduanya dapat dibedakan, yang melibatkan dan atau
menarik anak untuk terlibat dalam aktivitas seksual atau pornografi untuk mendapatkan
uang atau hadiah lainnya.

12
Apa yang dimaksud dengan Perlindungan Anak?
Perlindungan anak dalam hal ini menekankan pada aspek langkah-langkah melakukan
pencegahanterjadinya segala bentuk kekerasan dan eksploitasi terhadap anak. Disamping
menjadi kewajiban orang tua, keluarga maupun masyarakat, langkah perlindungan
terutama harus diambil oleh Negara baik secara legtislatif, administratrif, sosial maupun
pendidikan.

Penegasan KHA Pasal 19 mengenai isu perlindungan anak, termasuk kewajiban Negara
untuk melakukan langkah-langkah implementasinya, seperti:
 Menciptakan prosedur yang efektif dalam menjalankan program-program sosial guna
memberikan bantuan yang diperlukan bagi anak dan mereka yang mengasuh anak,
termasuk mekanisme rehabilitasi;
 Melakukan bentuk-bentuk pencegahan yang lain, seperti:
 Melakukan identifikasi, pelaporan, rujukan, investigasi, penyembuhan, dan tindak
lanjut atas kasus-kasus yang ada, serta untuk pelibatan peradilan;
 Mengembangkan sistem pelaporan yang wajib dilakukan oleh kelompok profesi
yang bekerja dengan dan untuk anak (misalnya para pekerja sosial, psikolog, guru,
advokat atau dokter);
 Menyediakan layanan Hotlines yang bersifat pribadi, nasehat, atau konseling bagi
anak korban kekerasan, perlakuan salah atau penelantaran maupun bentuk-
bentuk lainnya;
 Melakukan pelatihan khusus yang ditujukan kepada kelompok profesi yang
terkait.
 Melakukan langkah-langkah untuk menjamin pemulihan fisik dan psikis serta
reintegrasi social anak yang menjadi korban berbagai bentuk penelantaraan,
eksploitasi atau perlakuan salah, dalam suatu lingkungan yang mendukung
kesehatan, harga diri dan martabat anak.

Bagaimana Situasi Eksploitasi yang dihadapi Anak?


Berdasarkan Klaster VIII KHA situasi eksploitasi anak meliputi: Ekonomi, Drug Abuse,
Ekploitasi Seksual (termasuk kekerasan seksual), penculikan, perdagangan dan trafiking
serta eksploitasi bentuk lain.
Anak yang dilibatkan dalam pekerjaan (eksploitasi ekonomi),diantaranya mengakibatkan
terhambat atau terputusnya pendidikan anak, merugikan kesehatan anak,menghambat
perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau sosialnya

13
Kampanye informasi tentang kerugian
bagi anak yang terlibat dalam dunia
kerja dapat meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk turut
bertanggungjawab dalam mencegah
anak dieksploitasi secara ekonomi.
Demikian pula data dan informasi
tentang situasi anak yang dilibatkan
dalam dunia kerja sangat dibutuhkan
oleh masyarakat, lembaga pendidikan
dan Negara.
Eksploitasi ekonomi

Data dan informasi tersebut terutama mengenai situasi pengasuhan anak dalam keluarga
yang bersangkutan, pandangan masyarakat tentang anak yang bekerja, apakah anak
bekerja karena adanya kekerasan dalam keluarga, apakah anak bekerja disebabkan oleh
jeratan hutang orangtua anak, apakah ada ancaman dari pihak perusahaan atau majikan
jika anak keluar dari pekerjaannya, apakah disebabkan oleh kurangnya akses pendidikan
bagi anak, apakah jarak dari rumah anak ke tempat sekolah terlalu jauh atau sulit
dijangkau atau membahayakan anak atau harus melalui sungai yang tidak ada
jembatannya atau harus melalui hutan yang dikuatirkan terdapat binatang yang
membahayakan keselamatan anak seperti: ular, kalajengking dan binatang buas / berbisa
lainnya; kontur tanah yang curam dan berbatu, apakah anak putus sekolah karena anak
merasa takut atas terjadinya kekerasan di sekolah.

Eksploitasi narkoba (Drug abuse) merupakan situasi eksploitasi lainnya. Terkait hal ini KHA
Pasal 33 tentang drug abuse mewajibkan Negara untuk mengambil semua langkah
legislatif, administratif, sosial dan edukatif.
Langkah-langkah penting juga harus dilakukan oleh Negara, yang meliputi:
 Melindungi anak dari eksploitasi narkoba (dieksploitasi sebagai pengguna atau
pengedar) atau penggunaan obat-obat narkotika dan psikotropika, seperti yang
ditentukan oleh perjanjian internasional yang relevan;
 Mencegah penggunaan anak-anak dalam produksi yang tidak sah dan pengiriman
obat-obatan tersebut;
 Berbagai rencana dan struktur yang dikembangkan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat dan anak-anak, termasuk lewat sistem sekolah dan jika mungkin
dimasukkan dalam kurikulum sekolah;
 Membantu anak-anak dankeluarganya, termasuk lewat konseling, nasehat dan
bantuan, jika perlu yang bersifat rahasia, dan kebijakan serta strategi yang dirancang

14
untuk menjamin pemulihan fisik dan psikis serta reintegrasi sosial anak yang
bersangkutan;
 Monitoringterhadap anak yang dieksploitasi sebagai pengguna dan pengedar narkoba
serta anak dieksploitasi dalam produksi dan pengiriman narkotik dan psikotropika;
 Data dan informasi (kaitkan dengan data dan informasi dalam kotak) yang relevan
yang dikelompokkan, termasuk menurut usia, jenis kelamin, wilayah, daerah
perkotaan/pedesaan, kelompok sosial dan etnis.
 Langkah legislatif dan langkah lainnya untuk mencegah penggunaan alkohol,
tembakau, dan obat-obatan lainnya oleh anak-anak yang merugikan kesehatannya.

Situasi eksploitasi lainnya adalah eksploitasi seksual. Dalam kaitan ini KHA Pasal 34 tentang
Eksploitasi seksual dan kekerasan seksual mewajibkan Negara mengambil langkah-langkah
legislatif, administratif, dan edukatif, untuk melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi
seksual dan kekerasan seksual. Langkah-langkah nasional, bilateral dan multilateral
dilakukan untuk mencegah terjadinya situasi berikut:
 Bujukan atau paksaan terhadap anak untuk terlibat dalam kegiatan seksual yang tidak
sah;
 Pemanfaatan eksploitatif anak-anak dalam prostitusi atau praktek-praktek seksual
lainnya yang tidak sah;
 Pemanfaatan eksploitatif anak-anak dalam pertunjukan dan materi pornografi.
 Memasukkan prinsip ekstrateritorialitas ke dalam UU untuk menghukum pelaku
ekploitasi seksual anak-anak oleh warga negara dan penduduk Negara Peserta ketika
dilakukan di luar negeri;
 Membentuk unit khusus / petugas penegak hukum dan petugas humas polisi yang telah
ditunjuk untuk menangani anak-anak yang telah dieksploitasi secara seksual atau
mengalami kekerasan seksual, dan pelatihan khusus bagi mereka;
 Perjanjian bilateral, regional dan multilateral untuk meningkatkan pencegahan segala
bentuk kekerasan seksual dan eksploitasi seksual dan untuk menjamin perlindungan
efektif bagi anak yang menjadi korban, termasuk di bidang kerjasama peradilan dan
kerjasama antar petugas penegak hukum;
 Program kerjasama teknis dan bantuan internasional relevan yang dikembangkan
bersama badan-badan PBB dan organisasi internasional lainnya, serta dengan badan
yang berwenang lainnya, termasuk INTERPOL, dan LSM.
Negara, orangtua, masyarakat, para pendidik maupun kelompok profesi harus
melakukan langkah-langkah berikut:
 melakukan kampanye informasi dan kesadaran, serta pendidikan untuk mencegah
berbagai bentuk eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak, termasuk
kampanye yang dilakukan yang bekerjasama dengan media;
 Menjamin perlindungan anak-anak dibawah usia 18 tahun terhadap segala bentuk

15
eksploitasi dan kekerasan seksual, termasuk dalam keluarga;
 Menciptakan mekanisme koordinasi dan monitoring;
 Menetapkan indikator program dan kerjasama tersebut;
 UU yang dikembangkan untuk menjamin perlindungan efektif bagi anak yang menjadi
korban, termasuk lewat akses pada bantuan hukum atau bantuan lain yang sesuai
serta pelayanan bantuian;
 Eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak, prostitusi anak, dan pornografi anak,
termasuk pemilikan pornografi anak, dan penggunaan anak-anak dalam praktek-
praktek seksual yang tidak sah lainnya harus dianggap sebagai pelanggaran kriminal;
 Kegiatan dan program yang relevan yang dikembangkan, termasuk yang bersifat
multidisipliner, untuk menjamin pemulihan dan reintegrasi anak yang menjadi korban
eksploitasi seksual dan kekerasan seksual sesuai dengan pasal 39 KHA;
 Langkah-langkah yang diambil harus selaras dengan prinsip-prinsip umum KHA, yakni
non-diskriminasi, kepentingan terbaik anak, penghormatan atas pandangan anak, hak
hidup, dan kelangsungan hidup serta perkembangan sampai semaksimal mungkin;
 Data relevan mengenai anak yang terkait dengan pelaksanaan pasal 34, termasuk
yang telah dikelompokkan, antara lain menurut usia, jenis kelamin, wilayah, suku
bangsa, daerah perkotaan/pedesaan, serta suku bangsa, kelompok sosial dan etnis.
 Data tersebut harus memasukkan jumlah kasus dimana anak dimanfaatkan dalam
pengiriman obat bius selama masa pelaporan; hukuman minimum sesuai hukum
karena memanfaatkan anak dalam pengiriman obat bius, dan jumlah kasus eksploitasi
seksual komersial, kekerasan seksual, penjualan anak-anak, penculikan anak serta
kekerasan terhadap anak-anak yang dilaporkan selama masa ini;
 Kemajuan yang dicapai dalam pelaksanaan pasal 34, kendala yang dihadapi dam
target yang ditentukan.

Terkait dengan penjualan, pengiriman dan penculikan KHA Pasal 35 mewajibkan Negara
mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, anggaran serta langkah lain, di tingkat
nasional, bilateral dan multilateral, untuk mencegah penculikan, penjualan atau
pengiriman anak untuk berbagai tujuan atau bentuk.
Negara seharusnya mengambil langkah-langkah:
 Menetapkan UU untuk menjamin perlindungan efektif bagi anak-anak terhadap
penculikan, penjualan dan pengiriman, termasuk lewat pertimbangan terhadap
perbuatan tersebut sebagai pelanggaran kriminal;
 Kampanye informasi dan kesadaran untuk mencegah terjadinya perbuatan diatas,
termasuk kampanye yang dilakukan yang bekerjasama dengan media;
 Alokasi sumber daya yang sesuai bagi perkembangan dan pelaksanaan kebijakan dan
program yang relevan;
 Berbagai strategi nasional yang dibuat untuk mencegah dan menekan tindakan-
tindakan tersebut;

16
 Menciptakan mekanisme koordinasi dan monitoring;
 Menetapkan indikator yang relevan;
 Membentuk unit khusus / petugas penegak hukum dan petugas humas polisi yang
telah ditunjuk untuk menangani anak-anak yang telah mengalami penjualan,
penculikan dan trafiking sertapelatihan khusus bagi mereka;
 Struktur dan program yang dikembangkan untuk memberikan pelayanan bantuan bagi
anak yang terkait dan untuk meningkatkan pemulihan fisik dan psikis serta reintegrasi
sosial, sesuai dengan pasal 39;
 Langkah-langkah yang diambil untuk menjamin agar dalam pelaksanaan pasal 35 perlu
dipertimbangkan ketentuan lain dalam KHA, termasuk dibidang hak-hak sipil,
khususnya berkaitan dengan hak mempertahankan identitas anak, adopsi dan
pencegahan berbagai bentuk eksploitasi anak termasuk buruh anak dan eksploitasi
seksual;
 Menjamin terlaksananya prinsip-prinsip umum KHA, yakni non-diskriminasi,
kepentingan terbaik anak, penghormatan atas pandangan anak, hak hidup, dan
kelangsungan hidup serta perkembangan sampai semaksimal mungkin.
 Melakukan perjanjian bilateral dan multilateral untuk mencegah penjualan dan
penculikan serta pengiriman anak, termasuk dibidang kerjasama internasional antara
pihak peradilan dan petugas penegak hukum, antara lain tentang sistem pengumpulan
dan pertukaran informasi mengenai pelaku perbuatan tersebut serta tentang anak
yang menjadi korban.
 Data dan informasi relevan yang sudah dikelompokkan tentang anak-anak yang terkait
dalam pelaksanaan pasal 35, termasuk pengelompokan lewat jenis kelamin, usia,
wilayah, kelompok etnis dan sosial, serta kemajuan yang dicapai dan kendala yang
dihadapi dalam pelaksanaan pasal ini, serta tentang target yang ditetapkan untuk
masa yang akan datang.

Tentang bentuk-bentuk eksploitasi lainnya, KHA Pasal 36 mewajibkan negara mengambil


langkah-langkah legislatif, administratif, edukatif, anggaran serta sosial, untuk
melindungi anak terhadap semua bentuk eksploitasi yang merugikan semua aspek
kesejahteraannya.
Keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan, kelompok profesi dan Negara melakukan
kerjasama untuk :
 Mengembangkan data dan informasi tentang bentuk eksploitasi yang merugikan
kesejahteraan anak;
 Melakukan kampanye kesadaran dan informasi, termasuk bagi anak-anak, keluarga dan
masyarakat, serta melibatkan media;
 Melakukan pelatihan bagi kelompok profesi yang bekerja dengan dan untuk anak;
 Mengembangkan strategi untuk menjamin perlindungan bagi anak serta tentang target
yang ditetapkan untuk masa yang akan datang;

17
 Mengembangkan mekanisme untuk memonitor situasi anak, kemajuan yang dicapai
dan kendala yang dihadapi;
 Membuat Indikator relevan yang dipakai;
 Langkah-langkah yang diambil untuk menjamin pemulihan fisik dan psikis serta
reintegrasi sosial, bagi anak yang menjadi korban eksploitasi yang merugikan aspek
kesejahteraannya;
 Menjamin terlaksananya penghormatan atas prinsip-prinsip KHA, yaitu non-
diskriminasi, kepentingan terbaik anak, penghormatan atas pandangan anak, hak
hidup, dan kelangsungan hidup serta perkembangan sampai semaksimal mungkin

E. MENGHARGAI PANDANGAN ANAK


Menghargai pandangan anak
berarti memposisikan anak
sebagai subyek. Paradigma ini
bertentangan dengan umumnya
pandangan dan kebiasaan
masyarakat yang menempatkan
anak pada posisi subsistem
keluarga maupun marjinalisasi
dimana anak sering kehilangan
posisinya sebagai subyek dan
mengakibatkan ‘terkuburnya’
hak untuk mengungkapkan
pandangannya.

Bapak sedang mendengarkan pandangan anak dengan


penuh perhatian

Menghargai pandangan anak juga menjadi salah satu dasar dalam mengkonstruksikan
langkah perlindungan anak, mengingat umumnya kasus kekerasan maupun eksploitasi
anak terjadi karena mengabaikan hak anak tersebut. Dengan demikian menghargai
pandangan anak harus mainstream dalam implementasi perlindungan anak.
Dalam kaitan ini terdapat beberapa pertimbangan berikut:
 Ketentuan mengenai hak anakuntuk mengungkapkan pandangannya secara bebas
dalam semua masalah yang mempengaruhinya, dan ketentuan agar pandangan anak
dipertimbangkan telah dimasukkan dalam peraturan, dengan cara yang sesuai
dengan perkembangan kapasitasnya, termasuk dalam: Kehidupan keluarga;

18
Kehidupan sekolah; Pelaksanaan peradilan anak; Penempatan dan kehidupan dalam
bentuk-bentuk pengasuhan kelembagaan dan bentuk-bentuk yang lain dan Prosedur
pencarian suaka.
 Ketentuan untuk meningkatkan kesadaran keluarga dan masyarakat secara umum
akan perlunya mendorong anak guna melaksanakan hak-haknya untuk
mengungkapkan pandangannya, dan untuk melatih kelompok profesi yang berkerja
bersama anak untuk mendorong anak melakukan hal tersebut, serta
mempertimbangkan pandangan tersebut.
 Ketentuan mengenai kewajiban mengikuti pelatihan tentang hak-hak anak dan
perlindungan anak yang diberikan kepada staf-staf sebagai berikut: Hakim;Petugas
masa percobaan; Petugas polisi; Petugas penjara; Pekerja Sosial; Psikolog; Para guru;
Petugas kesehatan; Kelompok profesi lainnya.

19
BAGIANII

KERANGKA HUKUM HAK-HAK ANAK DAN PERLINDUNGAN ANAK

A. HUKUM INTERNASIONAL
Hukum dan Kebijakan merupakan salah satu elemen dalam Sistem Perlindungan Anak yang
memberi kerangka hukum untuk pelaksanaan perlindungan anak. Kerangka hukum ini
membentuk, mengatur, memberikan mandat dan sumber daya untuk pemenuhan hak anak
dan perlindungan anak. Memahami kerangka Hukum dapat dilakukan dengan mempelajari
hukum internasional dan nasional serta berguna untuk advokasi tentang promosi hak anak
dan perlindungan anak.

Kerangka hukum hak-hak anak dan perlindungan anak terdiri dari instrumen / hukum
internasional dan instrumen / hukum nasional.Hukum internasional merupakan standar
HAM dunia, dan tiap negara boleh melakukan ratifikasi menjadi bagian dari kerangka
hukum nasional negara yang bersangkutan serta boleh mengabaikan / tidak meratifikasi.
Konsekuensi bagi Negara yang telah meratifikasi instrumen internasional maka negara
tersebut terikat secara yuridis dan politis.

Keterikatan yuridis ditandai dengan kewajiban Negara mengambil langkah-langkah legislatif


atau membuat UU nasional sesuai dengan isu atau substansi dalam Kovenan / Konvensi /
Protokol yang telah diratifikasi. Sementara keterikatan secara politis ditandai dengan
Negara yang bersangkutan berkomitmen membuat kebijakan, strategi, program guna
mengimplementasikan isi atau substansi atau amanat yang terkandung dalam Kovenan /
Konvensi / Protokol.

Kerangka hukum internasional terdiri dari Kovenan, Konvensi dan Protokol termasuk
perjanjian Internasional lainnya yang mengikat negara tetapi tidak mengikat rakyatnya.
Kerangka hukum internasional tersebut baru mengingat rakyat suatu negara bilamana
negara tersebut telah mengimplementasikannya kedalam bentuk undang-undang. Namun
demikian apabila suatu negara yang telah meratifikasi hukum internasional tetapi belum
mengimplementasikannya kedalam bentuk perundangan, negara dan rakyatnya telah
terikat secara moral.

Kerangka hukum internasional dimulai dari Kovenan yang merupakan induk HAM yang
terdiri dari dua Kovenan yaitu:
1. Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya / Kovenan tentang EKOSOB (International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights); dan
2. Kovenan tentang Hak- hak Sipil dan Politik / Kovenan tentang SIPOL (International
Covenant on Civil and Political Rights).

20
Kedua Kovenan tersebut berdasarkan pada pokok-pokok amanat Deklarasi Universal HAM-
PBB / DUHAM (Universal Declaration Of Human Rights). Kedua Kovenan tersebut telah
diratifikasi (disahkan) oleh Indonesia dan menjadi bagian dari sistem hukum di Indonesia.
Kovenan tentang EKOSOB diratifikasi (disahkan) melalui UU No 11 Tahun 2005 dan
Kovenan tentang SIPOL diratifikasi (disahkan) melalui UU No 12 Tahun 2005.

Kedua Kovenan tersebut, melahirkan berbagai Konvensi atau Instrumen internasional,


termasuk Konvensi Hak-hak Anak. Konvensi Hak-hak Anak (KHA) berisi tentang rincian
amanat kedua Kovenan tersebut yang di tekankan pada hak-hak anak termasuk langkah-
langkah implementasinya oleh Negara. Konvensi Hak-Hak Anak telah diratifikasi Indonesia
melalui Kepres No 36 Tahun 1990.

Disamping itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi yang berkaitan dengan buruh
anak yaitu :
1. Konvensi ILO Tentang Batasan Usia Minimum Boleh Bekerja (Convention ILO Minimum
Age Convention, 1973 (No.138)) melalui UU No 20 Tahun 1999;
2. Konvensi ILO No 182 Tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak / BPTA (ILO
Worst Forms of Child Labour Convention, 1999 (No.182)) yang telah diratifikasi
(disahkan) Indonesia melalui UU No 1 Tahun 2000.

Untuk Penyandang Disabilitas, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Tentang hak-hak


orang Penyandang Disabilitas (Convention on The Rights of Persons With Disabilities),
melalui UU No 19 Tahun 2011. Kepentingan anak penyandang disabilitas tercantum di
dalam Konvensi tersebut.Dimasa mendatang, Indonesia harus membuat UU baru tentang
Penyandang Disabilitas sebagai pengganti UU No 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat.

Catatan penting:
1. Apakah kerangka hukum nasional selaras dan tidak bertentangan dengan hukum
internasional yang telah diratifikasi ? untuk hal itu memerlukan analisa tersendiri.
2. Tidak semua hukum nasional dibuat setelah Indonesia meratifiakasi hukum
internasional, contohnya :
a. UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang didalamnya mengatur Tentang
Pengasuhan Anak
b. UU No 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang didalamnya mengatur
Tentang Pengasuhan Anak?
c. UU No 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat
3. Tidak semua UU yang dibuat berdasarkan mandat dari sebuah Instrumen
Internasional, kadang-kadang UU tersebut dibuat berdasarkan pada lebih dari
satu Instrumen Internasional. Contoh: UU No 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan khususnya Paragraf Pekerja anak pada Pasal 68 hingga Pasal 75

21
berdasarkan Mandat Konvensi ILO 138 dan Konvensi ILO 182 serta KHA Klaster VIII
(B) Pasal 32 tentang Ekslpoitasi Ekonomi.
4. Terdapat UU yang dibuat berdasarkan jiwa yang terkandung dalam Instrumen
Internasional walaupun Indonesia pada saat menetapkan UU tersebut belum
meratifikasi Instrumen Internasional terkait. Contohnya : UU No 21 Tahun 2007
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, terkait dengan
minimum dua buah Intrumen Internasional yaitu :
a. Convention Against Transnational Organized Crime atau Konvensi PBB
Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisir, yang diratifikasi
oleh Indonesia melalui UU No 5 Tahun 2009, serta
b. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially
Women and Children, Supplementing the United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan
Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-anak,
Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Menentang Tindak Pidana
Transnasional yang Terorganisasi), yang diratifikasi o;eh Indonesia melalui UU
No 14 Tahun 2009

B. HUKUM NASIONAL ATAU PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL.


Berbagai perundangan nasional yang terkait dengan Hak-hak Anak dan Perlindungan
Anak, seperti yang berhubungan dengan beberapa isu penting berikut: .
1. Tanggung Jawab dan Tugas Orang Tua/ Keluarga / Kuasa Asuh Orang Tua /
Pencabutan Kuasa Asuh Orang Tua dan Pemisahan Anak Dari Orang Tua / Hak Anak
Mengetahui dan Diasuh Oleh Orang Tua, contohnya terdapat dalam UU sebagai
berikut:UU No. 01 Tahun 1974 Tentang Perkawinan; UU No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak;
2. Anak Penyandang Disabilitas, terdapat dalam UU sebagai berikut: UU No. 4 Tahun
1979 Tentang Kesejahteraan Anak, UU Perlindungan Anak, UU HAM
3. Hak Anak Untuk Menyatakan Pandangannya Dalam Setiap Keputusan Yang
Mempengaruhi Kehidupannya terdapat dalam UU sebagai berikut : UU No. 39
Tahun 1999 Tentang HAM
4. Orangtua Asuh, Wali dan Perwalian terdapat dalam UU sebagai berikut: UU No. 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; UU No 01 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
5. Pengangkatan Anak dan Pengasuhan berbasis residensial / panti terdapat dalam UU
sebagai berikut: UU No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
6. Mekanisme Pengaduan (Komplain) Bagi Anak terdapat dalam UU sebagai berikut:
UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
7. Hak Anak Atas Periodic Review (tinjauan berkala) dan Tanggungjawab Pekerja Sosial
Dalam Melakukan Asesmen, Monitoring Atas Anak Yang Telah Diputuskan Untuk
Ditempatkan Pada Pengasuhan Diluar Rumah terdapat dalam UU sebagai berikut:
UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

22
8. Peran Masyarakat dan Lembaga Non Pemerintah terdapat dalam UU sebagai
berikut: UU No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
9. Hak Anak Atas Pendidikan, Waktu Luang / Bermain dan Budaya terdapat dalam UU
sebagai berikut : UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM
10. Hak Anak Atas Kesehatan terdapat dalam UU sebagai berikut: UU No 39 Tahun 1999
Tentang HAM
11. Hak Anak Atas Agama terdapat dalam UU sebagai berikut: UU No 39 Tahun 1999
Tentang HAM
Untuk memahami secara lengkap BAGIAN II, lihat Modul 2 tentang Kerangka Hukum
Dan Kebijakan

23
BAGIANIII

PENGASUHAN BERKELANJUTAN

PENDAHULUAN
A. Beberapa Definisi Pengasuhan Berkelanjutan (Continuum Of Care)
1. Hubungan diantara dua hal, atau seri yang berkelanjutan dan selaras, yang menyatu
satu sama lain (English Dictionary).
2. Pengertian konsep Kontinuum menurut Jean Leadloff
“konsep kontinuum adalah gagasan yang bertujuan untuk mencapai perkembangan
secara optimal baik pisik, mental dan emosi dan kesejahteraan, khususnya bagi bayi”.
(1998, http://www.continuumconcept.org/cc_defined.html)
3. Pengasuhan kontinuum menurut tujuannya:
Menjamin perkembangan dan mengantarkan layanan secara layak bagi anak yang
mengalami penderitaan gangguan emosi (Parent Handbook, South Carolina
Departmentof Social Services, 2013).

B. Pemahaman Pengasuhan Berkelanjutan Bagi Anak (Continuum of Care for Children)


Dalam Modul Ini.
Pengasuhan mencakup setiap aktivitas yang dilakukan oleh semua pihak dalam sistem
pengasuhan anak yang bertanggung jawab atas tumbuh kembang anak baik scara
fisik, mental maupun sosial. Sistem pengasuhan anak terdiri dari orang tua (home
care) maupun pihak lain diluar orang tua (alternatif care) sebagaimana tergambarkan
dalam skema berikut:

SISTEM PENGASUHAN ANAK

PENGASUHAN
PENGASUHAN DI LUAR RUMAH
DALAM RUMAH

Pengasuhan Pengasuhan
Dukungan Family Keluarga
Kerabat Perwalian Adopsi Oleh
Keluarga Preservation Asuh
Lembaga

24
Semua aktivitas yang dilakukan dalam sistem pengasuhan anak tersebut bertujuan
mendukung kemampuan anak yang selalu berkembang (evolving capacities) dengan
mengerahkan sumber-sumber semaksimum mungkin (to the maximum extent of their
available resources).

Dalam hubungan ini pengasuhan berkelanjutan untuk anak (continuum of care for
children), memuat pengertian: memastikan bahwa semua aktivitas dan langkah
pengasuhan yang dilakukan tersebut tepat dan sesuai dengan kebutuhan
perkembangan anak baik berdasarkan pemenuhan hak-hak anak maupun
perlindungan anak.

C. Prinsip-prinsip Pengasuhan.
Mengacu kepada Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) semua aktivitas dan langkah-langkah
pengasuhan harus didasarkan kepada prinsip-prinsip berikut:
a. Non diskriminasi;
b. Kepentingan terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
d. Penghargaan terhadap pandangan anak;
e. Serta memperhatikan hak anak :
 untuk diasuh oleh orang tuanya;
 pencegahan keterpisahan anak dari keluarganya, kecuali demi kepentingan
terbaik bagi anak, anak harus dipisahkan dari orangtua dalam hal anak
mendapatkan kekerasan dari orangtua;
 hak untuk mengetahui asal-usul keluarga;
 kesamaan agama dengan anak, memperhatikan kepercayaan dan budaya
anak; dan
 perlindungan dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan penelantaran.

D. BEBERAPA ISU PENTING YANG BERKAITAN DENGAN CONTINUUM OF CARE FOR


CHILDREN.
1. Tahap-tahap Perkembangan Psikologi Anak.
Menurut Erikson tahapan perkembangan anak digambarkan dalam matrik
berikut(Erikson's Psychosocial Stages Summary Chart - Erikson's Stages of Psychosocial
Development):
Konflik / Benturan Kejadian
Tahap Hasil
Mendasar Penting
Masa Percaya vs. tidak Pemberian Anak mengembangkan perasaan
Pertumbuhan percaya Makanan percaya ketika pengasuh dapat
(dari lahir – 18 diandalkan, mampu merawat,
memberi kasih sayang.

25
bulan) Kurangnya pengasuh
memberikan hal-hal tersebut
akan megakibatkan ketidak
percayaan anak.
Anak Usia Dini Mandiri Latihan Anak-anak
(2 - 3 tahun) vs. Rasa malu dan Kebersihan perlumengembangkan
Diri kemampuan mengontrol diri
Keraguan
terhadap keterampilan fisik dan
perasaan kemandirian.
Kesuksesan mengembangkan
kemampuan tersebut
menghasilkan kemandirian,
sebaliknya kegagalan akan
menimbulkan rasa malu dan
keraguan.
Pra Sekolah / Inisiatif vs. Explorasi Anak-anak perlu mulai
PAUD / TK (3 - Perasaan Bersalah menegaskan kendali dan
5 tahun) kekuasaan atas lingkungan.
Keberhasilan dalam tahap ini
mengarahkan kepada sebuah
tujuan. Anak-anak yang terlalu
banyak mencoba mengerahkan
daya upaya dan mengalami
kegagalan ,akan mengakibatkan
perasaan bersalah.
Masa Sekolah Karya vs. Rendah Sekolah Anak perlu mengatasi kebutuhan
(6 - 11 tahun) diri sosial dan pengetahuan baru
(akademis). Kesuksesan dalam
mencapai hal tersebut, maka
anak merasa memiliki
kompetensi. Sebaliknya jika
gagal maka anak akan merasa
rendah diri.
Masa Remaja Identitas Pribadi / Hubungan Remaja perlu mengembangkan
(12 - 18 tahun) Jati Diri vs. Peran Sosial kesadaran diridan identitas
yang pribadi / jati diri Kesuksesan
Membingungkan mencapai hal tersebut akan
menumbuhkan kemampuan
untuk jujur pada diri sendiri,

26
sedangkan jika gagal
mengakibatkan kebingungan
atas perannya dan merasa
dirinya lemah

2. Mendengarkan dan mempertimbangkan pandangan anak


Komunikasi merupakan bagian penting dari langkah pengasuhan kontinuum untuk
anak (continuum of care for children).Berkomunikasi pada dasarnya merupakan proses
saling mengungkapkan pikiran. Berkomunikasi yang baik tidak ditekankan hanya pada
materi dan hasil pembicaraan, tetapi kepada proses berkomunikasi itu sendiri.Pendapat
baik dan pendapat buruk akan terjadi dalam proses komunikasi, termasuk dalam
berkomunikasi dengan anak, tetapi jangan
langsung saling menyalahkan. Karena
makna baik dan buruk akan terungkap
dan dipahami oleh orangtua melalui
proses komunikasi yang baik dan
efektif dengan anak.

Bagaimana melakukan
komunikasi yang baik?
Salah satu kegiatan berkomunikasi
adalah “mendengarkan”.
Mendengarkan merupakan bagian dari
keterampilan dalam berkomunikasi
dengan anak. Kegiatan
‘mendengarkan’ seringkali melelahkan
dan tidak sedikit orang tua yang
mengalami kesulitan.
orangtua mengajak diskusi kepada anak dan tidak Dalam kaitan
memaksakan kehendak ini sikap menghargai pandangan anak
akan sangat membantu orang tua
dalam mengembangkan keterampilan mendengar. Kemampuan dan keterampilan
mendengarkan dan mempertimbangkan pandangan anak akan sangat ditentukan oleh
sikap orang tua dalam menghargai pandangan anak.
Jika orangtua mendengarkan pandangan anak dengan baik, maka orangtua akan dapat
memahami dan akan lebih peduli terhadap hal-hal yang diungkapkan oleh anak. Pada
saat yang sama, kesediaan orangtua mendengarkan pandangan anak tersebut, akan
melatih anak untuk melakukan hal yang sama dan akan memiliki kecenderungan
menghargai pandangan orang lain.

27
Bagaimana keterampilan mendengarkan pandangan anak?

 Mendengarkan dengan cara sungguh-sungguh dan disertai dengan memaknai,


agar orangtua dapat memahami maksud yang diungkapkan oleh anak. Dalam
proses ini, orangtua harus menciptakan komunikasi yang interaktif misalnya
dengan mengulang kembali apa yang diungkapkan oleh anak berdasarkan
pemahaman orangtua. Orangtua tidak perlu berkecil hati jika apa yang dipahami
oleh orangtua tersebut masih belum sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh
anak, karena hal ini menunjukkan
adanya proses perkembangan
komunikasi dan interaksi antar anak
dengan orangtua yang efektik dan
menggambarkan wujud kedekatan
secara emosional.
 Dalam proses komunikasi, orangtua
harus sambil mencoba memahami
posisi anak, misalnya dengan
membayangkan jika orangtua berada
dalam posisi sebagai anak. Langkah
ini dapat membantu orangtua untuk
dapat lebih memahami pandangan Ibu menyayangi dan memberikan
anak. perhatian pada anaknya

 Menunjukkan perhatian yang sungguh-sungguh karena anak membutuhkan


perhatian dari orangtua. Perhatian tersebut akan membantu memudahkan anak

28
mengungkapkan pandangannya.

 Mendengarkan dengan sungguh-sungguh juga bisa ditunjukkan dengan bahasa


tubuh misalnya menatap mata (atau bagian lain pada wajah anak yang berdekatan
dengan mata), ketika mendengarkan ungkapan anak. Jika orangtua tidak
melakukan hal tersebut, anak akan cenderung merasa tidak diperhatikan / tidak
didengarkan / tidak dihargai.
Tunjukkan bahwa orangtua sungguh-sungguh mendengarkan ungkapan anak
misalnya dengan mengangguk atau dengan mengungkapkan kata-kata seperti “oh
gitu ya” atau “mmmh” atau “oh ya benar bapak / ibu paham” dan lain sebagainya.

3. Interaksi sosial / relasi yang baik dalam keluarga


Interaksi dalam keluarga pada
dasarnya merupakan bagian
dari proses pengasuhan.
Proses interaksi akan
menggambarkan kualitas
hubungan emosional masing-
masing anggotanya. Dengan
demikian proses interaksi
semestinya menjadi perhatian
sungguh-sungguh oleh setiap
orang tua/pengasuh karena
akan memberikan dampak
terhadap anak.

Keluarga yang harmonis

Bagaimana menciptakan proses interaksi yang baik dengan anak?


Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan orang tua dalam menciptakan hubungan
interaksi yang baik.

 Saling menghargai pandangan yang berbeda ketika melakukan komunikasi


maupun berdiskusi;
 Bersedia untuk mendengarkan ;
 Bersikaplah sopan dan lemah lembut;
 Jangan menyalahkan dan jangan menuduh;
 Berusaha lebih fokus pada isu atau persoalan yang sedang dibahas dan jangan
membahasa persoalan lain sebelum jelas masalah yang dibicarakan;
 Bekerjasamalah untuk menyelesaikan masalah. Ungkapkan tentang apa yang

29
orangtua dan anak inginkan dan bekerjasamalah untuk mencapai tujuan yang
sesuai dengan kesepakatan.

Kesepakatan antara anak dan orangtua atau dengan anggota keluarga lain bukanlah
kesepakatan baku. Jika kesepakatan tersebut tidak di jalankan oleh anakmaka perlu
dilakukan diskusi kembali dan membuat kesepakatan baru atau memeperkuat
kesepakatan lama. Kesepakatan pada dasarnya merupakan alat bagi anak untuk
belajar memahami sesuatu. Sikap orangtua yang tidak cenderung menyalahkan anak
ketika anak tidak mentati kesepakatan, disertai dengan langkah orangtua mengajak
anak mendiskusikan perkembangan terbaru tersebut, dapat berdampak positif pada
pembentukan sikap, perilaku dan keperibadian anak, anak akan cenderung
belajar,lalu belajar lagi, kemudian belajar menegakkan disiplin pada dirinya tanpa
keterpaksaan. Jika anak dapat belajar memahami sesuatu dengan kebahagiaan akan
menimbulkan dampak positif lainnya misalnya berupa kesadaran untuk melakukan
sesuatu yang bersifat positif yang ditanamkan di dalam dirinya oleh dirinya sendiri.

4. Situasi konflik dan langkah mengatasinya

Bagaimana konflik dapat terjadi?


Perbedaan pandangan maupun sikap pada dasarnya merupakan kewajaran, termasuk
dalam keluarga atau dalam hubungan orang tua dengan anak. Namun demikian sering
kali perbedaan tersebut keluar dari kewajaran dan berkembang menjadi konflik. Konflik
orang tua dengan anak termasuk kasus yang sering terjadi seiring dengan
perkembangan anak hingga ketika anak beranjak remaja.

Fase perkembangan anak sering kali luput dari perhatian orang tua. Banyak orang tua
yang mengalami kebingunan dalam memahami fase perkembangan anak atau
mengalami kesulitan bagaimana cara menghadapinya. Ketidakmampuan maupun
ketidakpedulian orang tua dalam menghadapi fase perkembangan anak dapat
mendorong terjadinya konflik.

30
Beberapa situasi berikut umumnya sering menjadi pemicu konflik orang tua dengan
anak:

 Orang tua tidak mau berusaha menghadapi perubahan anak

 Perubahan fisik dan psikis


 Orangtua tidak memahami cara melakukan perlindungan terhadap anak
 Orangtua selalu berpikir bahwa dirinya selalu benar
 Perubahan situasi yang lebih luas
 Perubahan budaya
 Orang tua tidak memahami perubahan keperibadian anak
 Perubahan cara berfikir anak yang tidak berusaha dipahami oleh orangtua
 Orangtua Tidak Melakukan Perubahan yang diperlukan dalam menghadapi konflik
dengan anak
 Orangtua tidak merubah cara berkomunikasi atau berhubungan dengan anak

5. Bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan orang tua untuk penyelesaian


masalah?
Berikut ini beberapa hal penting yang dapat dilakukan orang tua ketika menghadapi
masalah maupun konflik dengan anak
 Diskusikan dan putuskan bersama setiap permasalahan yang dihadapi.

anak membutuhkan lebih


banyak diskusi dibanding
dengan nasehat

 Brainstorm solusi yang mungkin secara terbuka, kreatif dan toleran.


 Pikirkan tentang konsekuensi dari setiap solusi yang mungkin terjadi .
 Pilih salah satu ide dan lakukanlah.
 Upaya untuk memahami suatu perubahan, terutama perubahan sosiobudaya,
tidak perlu tergesa-gesa dan tidak harus meninggalkan nilai, budaya maupun

31
pedoman hidup yang ada.
 Untuk menghadapi perubahan situasi yang lebih luas, lakukan dialog secara
perlahan, lebih terbuka dan saling menghargai pandangan yang ada.

6. Perbedaan mendisiplinkan anak dan kekerasan terhadap anak dalam


pengasuhan
Bagaimana orangtua mampu membedakan antara disiplin dengan kekerasan?
Banyak orangtua yang tidak memahami
perbedaan antara tindakan mendisiplinkan
anak dengan kekerasan terhadap anak.
Tujuan mendisiplinkan anak merupakan
tujuan yang baik, namun langkah yang
dilakukannya akan menjadi tidak baik jika
dengan cara kekerasan.

Kekerasan Mental

Kekerasan
Mental

Pada dasarnya, antara menegakkan disiplin


dengan tindakan kekerasan bisa dibedakan
dari pola yang dilakukan dan dampaknya
yang dirasakan oleh anak. Misalnya,
setiap orangtua sangat menginginkan
kamar anaknya rapi dan bersih dan berusaha mendorong anaknya untuk mau
membersihkan dan merapihkan kamarnya. Namun usaha orangtua tersebut sering
tidak memperhatikan perkembangan psikososial anak dan memandang anak sama
seperti dirinya. Sedangkan perkembangan anak terjadi secara bertahap dan
berkelanjutan. Orang tua sebaiknya berusaha mendorong anak dengan pola edukatif-
partisipatif misalnya dengan cara-cara berikut:

 Orangtua membersihkan kamar anak didepan anak


 mengajak anak untuk bersama-sama membersihkanya
 mengajak anak untuk membuat jadwal membersihkan kamar

32
 mengajak diskusi dengan anak tentang pentingnya kebersihan dan kesehatan

Langkah partisipatif ini diperlukan agar terbangun kesadaran pada diri anak tentang
pentingnya kebersihan dan kesehatan. Sehingga ketika anak membersihkan dan
merapihkan kamar lebih didasari oleh kesadaran akan pentingnya kebersihan dan
kesehatan, dan bukan karena rasa takut di marahi oleh orangtuanya. Kesadaran akan
terbentuk pada diri anak, jika proses yang dilakukan dengan penuh perhatian, kasih
sayang dan dilakukan berulang-ulang dengan penuh kesabaran. Karena kesadaran anak
atas sesuatu yang berhubungan dengan pendisiplinan tidak terjadi / terbentuk dalam
waktu yang singkat.

Beberapa contoh penegakkan disiplin anak yang harus dilakukan dengan penuh
kesabaran (berbicara pelan, tidak tergesa-gesa, berusaha memahami suasana
psikologis pihak lain dan penuh toleransi) dalam kehidupan keluarga:
 Membersihkan rumah / halaman /
dapur / toilet;
 Disiplin menonton TV yang tidak
mengganggu jadwal anak atau
kegiatan anak dalam belajar,
 Kebiasaan makan dengan sopan
termasuk tidak berbicara sambil
mengunyah makanan
 Menggunakan HP atau alat
teknologi informasi lainnya secara
tepat dan tidak berlebihan,
 Carilah contoh lainnya.

Ibu mengajak anak membersihkan tempat


tidur setiap hari

Dengan demikian mendisiplinkan anak pada dasarnya merupakan usaha edukatif dan
partisipatif orang tua yang dilakukan secara bertahap dan terus menerus untuk
mendorong kesadaran anak terhadap “sesuatu hal” sesuai dengan tahapan maupun
situasi perkembangan yang dialami anak. Sementara produknya adalah anak dapat
memandang bahwa “suatu hal” tersebut adalah penting atau berharga sehingga anak
melakukannya atas dorongan kepentingan dan penghargaanya tersebut.
Akan berbeda dengan disiplin yang diproses dengan kekerasan dimana anak
memandang penting dan berharganya “suatu hal” karena adanya tekanan baik berupa
instruksi dari luar dirinya maupun emosi keterpaksaan dari dalam dirinya.

33
7. Kekerasan Terhadap Anak

Apa yang dimaksud dengan kekerasan terhadap anak?


Secara umum kekerasan terhadap anak berkaitan dengan perlakuan buruk orang
remaja terhadap anak. kekerasan terhadap anak dilakukan oleh seseorang yang
melakukan suatu tindakan yang dapat melukai anak.

Terdapat empat bentuk kekerasan terhadap anak:


 kekerasan fisik (physical abuse)
 kekerasan psikis (emotional abuse)
 penelantaran (neglect)
 kekerasan seksual (sexual abuse)

a. Kekerasan fisik
Menyangkut pukulan (membanting, menampar, membenturkan kepala anak),
menggigit, menggoncang-goncangkan tubuh anak. kekerasan tersebut kadang-
kadang menggunakan tangan, atau dengan sebuah alat : cambuk, tongkat, ikat
pinggang, sepatu, sendok kayu, tongkat rotan dan dengan menggunakan
benda lainnya. Tapi bisa juga disertai menendang, melemparkan anak,
mencakar, mencubit, membakar, menyiram dengan air mendidih / panas atau
dipaksa menelan (misalnya, mencuci mulut anak dengan sabun atau memaksa
mereka untuk makan cabai) serta bentuk-bentuk perlakuan kekerasan lainnya

Apakah hukuman fisik bagian dari kekerasan terhadap anak?


Umumnya orang remaja memandang kekerasan yang dilakukan oleh orang
remaja terhadap anak sebagai pelanggaran hukum. Tetapi sebagian orang tua
memandang tindakan kekerasan terhadap anak diatasnamakan metode
pendidikan untuk tujuan mendisiplinkan anak.

Cara pandang seperti ini memuat ketidakadilan. Seharusnya segala bentuk


tindakan kekerasan yang dilakukan kepada siapapun terlebih kepada anak
sekalipun atas nama pendisiplinan, merupakan pelangaran hukum.

b. Kekerasan psikis
Kekerasan psikis lebih banyak dilakukan dan berulang-ulang dan tanpa disadari
oleh orangtua karena dampaknya tidak terlihat secara langsung sebagaimana
kekersan fisik.
Dampak Kekerasan psikis diantaranya: anak merasa takut, merasa malu, marah,
merasa kesepian/ sering mengucilkan diri dan merasa rendah diri.
Ketika anak mengalami hal ini, anak akan merasa tidak dicintai, tidak berharga
dan kurang percaya diri.Mereka cenderung memiliki kesulitan dalam
membentuk hubungan positif dengan anak-anak lainnya.

34
Bentuk-bentuk tindakan kekerasan psikis :
 Sering mengkritik, meremehkan atau merendahkan harga diri anak
 Sering membentak anak
 Mengabaikan dan menolak ketika anak membutuhkan bantuan
 Memanggil anak dengan nama yang merendahkan
 Mempermalukan anak di depan orang lain
 Mengancam secara fisik
 Menghukum anak
 Mengabaikan atau menelantarkan atau meninggalkan anak
 Menjadikan anak sebagai bulan-bulanan kekerasan dalam rumah tangga
 Mendorong anak untuk terlibat dalam kegiatan kriminal
 Terus-menerus mengabaikan anak dan menolak untuk menunjukkan kasih
sayang
 Mengancam dengan kata-kata untuk tidak akan memperhatikan atau
tidak akan mencintainya.

c. Penelantaran / pengabaian
Penelantaran ini terjadi ketika orangtua tidak mau atau tidak mampu memenuhi
kebutuhan anak, sehingga perkembangan atau pertumbuhan anak tidak normal.
Bentuk-bentuk pengabaian diantaranya:
 Ketika orang tua gagal untuk melindungi anak dari hal-hal yang anak di
lingkungan mereka
 Terus-menerus mengabaikan kebutuhan anak atau tidak memberikan
perhatian atau tidak meluangkan waktunya untuk mendengarkan dan
bermain dengan anak
 Tidak menyekolahkan anak sehingga kehilangan kesempatannya atas
belajar
 Meninggalkan anak tanpa menitipkan anak kepada orang remaja lainnya
sehingga anak dalam kesendirian
Penelantaran lainnya:
 Ketika seorang anak tidak memiliki cukup makanan, pakaian, tidak bersih,
tidak memiliki tempat tinggal
 Ketika seorang anak tidak diberikan perawatan kesehatan yang diperlukan
seperti medis, kesehatan gigi dan / atau lainnya, termasuk tidak
memberikan obat ketika anak dalam kondisi sakit

35
d. Kekerasan seksual (sexual abuse) terhadap anak, meliputi :
 Aktivitas seksual.
 Pelecehan seksual
 Menyuruh perbuatan seksual,
 Menunjukkan organ seksual kepada anak,
 Menunjukkan gambar-gambar porno,
 Meraba bagian tubuh anak,
 Menyuruh masturbasi,
 Menyuruh oral seks
 Penetrasi daerah genital atau anal dengan suatu benda, penis atau bagian
lain dari tubuh.
Pelecehan seksual juga dapat mencakup eksploitasi seksual komersial anak yang
melibatkan dan atau menarik anak untuk terlibat dalam aktivitas seksual atau
difoto untuk mendapatkan uang atau hadiah lainnya.

Siapa pelaku kekerasan terhadap anak?


Umumnya pelaku kekerasan
terhadap anak adalah orang yang
paling dekat dengan anak dan
mendapat kepercayaan dari anak.
Mereka bisa merupakan orang
tua, kakek / nenek atau, kakak,
paman, bibi, tetangga, guru, aktivis
yang bekerja untuk anak,
babysitter, organisasi, klub
olahraga, lembaga-lembaga
pendidikan berbasis keagamaan,
LSM, pengasuh, panti. Banyak
diantara mereka memandang
tindakan kekerasan yang mereka lakukan untuk kebaikan anak, membantu
belajar, mendisiplinkan anak, umumnya mereka melakukan hal tersebut tanpa
rasa bersalah maupun penyesalan setelah melakukannya.

Faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan?


Berikut beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan
 Stres, kelelahan, kesepian, emosi yang tidak terkendali menyebabkan para
orangtua melukai anak-anak mereka.
 Orang tua berharap terlalu banyak pada anak, bahkan seringkali tidak
sesuai dengan situasi maupun kapasitas perkembangan anak.
 Sebagian orangtua mempercayai bahwa hukuman satu-satunya cara untuk
mendisiplinkan anak.
 Sebagian orang tua “mewariskan” cara kekerasan anak sebagaimana yang

36
dialami mereka ketika masa anak-anak.
 Orang tua salah faham terhadap perilaku anak. Misalnya ketika anak
sungguh-sungguh untuk mengekspresikan / mengungkapkan
kebutuhannya. Contohnya: seorang anak yang menangis karena kesakitan
dan membuituhkan rasa nyaman, pada saat yang sama orangtua sedang
sibuk dan beranggapan bahwa anak tersebut sedang berpura-pura atau
hanya mencari perhatian dari orangtua.
 Pedopilia (orang dewasa yang memandang anak sebagai sasaran nafsu
seksual)

Apa saja dampak buruk akibat kekerasan terhadap anak?


Berikut beberapa diantara dampak buruk kekerasan terhadap anak:
 Anak merasa tidak ada orang yang akan menolong
 Anak merasa tak berdaya
 Merasa tidak percaya diri
 Merasa takut dan merasa tidak memiliki rasa aman
 Sering mengalami kelabilan emosi
 Jika menyaksikan kekerasan yang dilakukan oleh salah satu orangtua (oleh
ayah terhadap ibu atau sebaliknya) maka anak merasa turut bersalah karena
ia ingin menghentikan kekerasan tersebut tetapi tidak mampu sehingga
anak merasa tak berdaya.

Dampak buruk lainnya:


 Berdasarkan usia anak:
memukul anak dapat
meyebabkan luka fisik dan psikis;
menggoncang-goncang bayi
dapat menyebabkan kerusakan
otak, patah tulang bahkan
kematian
 Berdasarkan durasinya: semakin
awal (usia muda) anak
mendapatkan kekerasan dan
semakin lama anak mendapatkan
kekerasan akan semakin beresiko
terganggunya perkembangan psikis, fisik, perkembangan kesehatan seksual.
 Berdasarkan frekuensinya: anak yang sering mendapatkan kekerasan akan
menumbuhkan pemikiran bahwa kekerasan merupakan hal yang biasa dan
normal.

37
 Berdasarkan kepribadiannya: setiap anak berbeda dalam mengatasi
kekecewaan dan rasa sakit. Sebagian anak akan mencoba mengatasi
kekerasan dengan cara merahasiakan / memendam atau berpura-pura tidak
sakit. Sebagian yang lain akan mengatakan dan mengungkapkannya agar hal
tersebut bisa dihentikan. Atau sebagian anak lainnya menjadi pendendam.

Apasaja yang bisa dilakukan orang tua untuk melindungi anak dari kekerasan?

 Jangan merasa ragu atau malu untuk melindungi anak dari tindakan
kekerasan. Tidak ada istilah terlambat untuk memberikan pertolongan.
 Carilah kerabat, teman atau sahabat yang dapat memberikan nasihat atau
pertolongan agar tidak terjadi tindakan kekerasan.
 Jika terjadi tindakan kekerasan segera menghubungi pihak-pihak yang
kompeten atau terkait lainnya seperti: guru, dokter atau tenaga profesi
yang bekerja untuk anak,
termasuk aparat hukum jika
diperlukan.
 Senantiasa berusaha
meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan dalam
melindungi anak, misalnya
melalui: buku, artikel,
majalah, leaflet, atau sumber-
sumber informasi lainnya.
 Selalu berusaha meningkatkan
perhatikan dan langkah-
langkah memahami ayah melerai pertengkaran anak
dengan penuh kasih sayang
perkembangan anak.
 Tidak panik ketika mendapatkan informasi kekerasan yang menimpa anak.
Berilah semangat tetapi jangan memaksa anak untuk berbicara. Dengarkan
secara hati-hati dan tunjukkan bahwa anda percaya meskipun anda kaget.
Beritahukan kepada anak bahwa semua persoalan tersebut, bukanlah
kesalahan anak.
 Jika anda mengetahui pelaku kekerasan terhadap anak, jangan biarkan anak
keluar atau pergi bersama orang tersebut. Jangan menyerang orang
tersebut tanpa berkonsultasi dengan petugas keamanan atau RT/RW
setempat.
 Lakukan advokasi kepada Camat, Lurah, Para Kepala Sekolah agar
mengajarkan kepada masyarakat maupun siswa tentang cara-cara
menghadapi kekerasan yang terjadi baik di masyarakat maupun di lembaga
pendidikan

38
Kiat-kiat penting lainnya terkait dengan upaya perlindungan anak
Sebagai orangtua perlu memperhatikan kiat-kiat berikut:

 Tidak ada kata terlambat untuk


merubah perilaku dalam
mendidik, mengasuh dan
melindungi anak
 Tidak ada kata terlambat untuk
meminta bantuan kepada pihak
lain untuk meningkatkan kualitas
pengasuhan anak
 Yakinkan kepada anak bahwa
sebagai orangtua selalu
memperhatikan dan menghargai
pandangan anak
 Jangan paksa anak untuk
bersama dengan orang lain yang
ditakuti oleh anak, walaupun orang tersebut merupakan pihak yang dekat
dengan anak.
 Pandang dan perlakukan anak sebagai manusia dan akui bahwa anak-anak
mempunyai hak, perasaan dan kebutuhan.

Apa yang harus dilakukan bila


terjadi keterpisahan orangtua
(antara ayah dan ibu)?
Orang tua yang terpisah, demi
kepentingan terbaik bagi anak,
keduanya harus tetap menjalankan
perannya sebagai orangtua.
Tanggungjawab bersama harus
dijalankan walaupun keduanya
telah berpisah atau bercerai.
Berikut beberapa hal pentingyang
harus dilakukan oleh orangtua
yang berpisah agar pengasuhan
yang kontinuun tetap dapat anak-anak sedih, menderita,
dilaksanakan. terlantar, frustasi karena kedua
orangtuanya bercerai

39
 Pertimbangkan prioritas
kebutuhan anak-anak,
mempersiapkan segala
sesuatu untuk anak-anak
sesuai dengan prinsip
kepentingan terbaik anak.
 Melindungi anak-anak dari
bahaya fisik atau psikis
atau dampak buruknya.
 Mendorong anak-anak
untuk berbicara dan bertemu
dengan orang tua lainnya keluarga miskin yang bahagia dan tidak layak
(ayah atau ibu) secara jika anaknya dikirim ke panti atau pengasuhan
pengganti lainnya
berkala, kecuali jika hal itu
akan membahayakan / merugikan anak.
 Jangan menyatakan tidak atau menghentikan komunikasi antara anak
dengan salah satu orangtua (ayah atau ibu) karen hal tersebut akan
menyebabkan hubungan yang buruk / merusak hubungan antara anak
dengan orangtua (ayah atau ibu).
 Mendorong dan membantu anak-anak untuk menikmati budaya mereka.
 Menyediakan kebutuhan
keuangan untuk anak
 Hargai pandangan anak
terutama ketika membuat keputusan
yang berdampak pada kehidupan
anak.

40
Beberapa contoh peristiwa rumah tangga yang memerlukan langkah
bijaksana agar tidak menimbulkan kekerasan maupun konflik.
Menegakkan disiplin pada anak:
1. tentang latihan tanggungjawab kebersihan kamar, rumah, halaman, dapur;
2. tidur terlalu malam;
3. nonton TV terus menerus sehingga anak kehilangan jam belajar /nonton
acara TV yang dilarang oleh orangtua;
4. tidak menyiram / membanjur toilet yang telah dipakai;
5. berpenampilan tidak rapi;
6. makan sambil berbicara yaitu ketika di dalam mulut sedang ada makanan
yang dikunyah (bedakan dengan makan sambil bicara tetapi ketika
mulutnya sedang tidak ada makanan);
7. tidak mentaati jam belajar;
8. meletakan gayung tidak pada tempatnya atau tidak sesuai dengan
kebiasaan (custom) dalam keluarga tersebut;
9. meludah disembarang tempat;
10. kentut di depan orangtua;
11. bermain terlalu lama sehingga waktunya habis dan tidak ada sisa waktu
untuk belajar;
12. anak melakukan kesalahan berulang-ulang dan orangtua cenderung marah;
13. bermain HP atau game secara berlebihan;
14. menaruh gambar (upload) yang tidak layak dalam akun facebooknya atau
media jejaring sosial lainnya;
15. berbicara terlalu keras kepada temannya.
16. ............................ Apa lagi yang terjadi dalam rumah tangga anda?

Beberapa prilaku orangtua yang berdampak buruk pada anak.


1. orangtua tidak memberi contoh prilaku yang baik kepada anak yang akan
berdampak pada anak mencontoh prilaku tersebut;
2. orangtua bersikap tidak menghormati pengemis maka anak akan belajar
bagaimana cara melecehkan orang lain;

41
3. orangtua berbohong
didepan anak padahal
anak tahu bahwa
orangtuanya sedang
berbohong;
4. orangtua menyuruh anak
beribadah tetapi orangtua itu
sendiri jarang beribadah;
5. orangtua masuk kamar
anak tanpa ijin anak maka
berakibat anak masuk
kamar orangtua tanpa ijin
orangtua;
6. orangtua lebih cenderung
memperhatikan salah satu
anak dibanding anak yang lain;
7. orangtua selalu memuji-muji salah satu anak dan mengabaikan yang
lainnya;
8. orangtua selalu membandingkan salah satu anak diantara anak lainnya atau
membandingkan anaknya sendiri yang dianggap tidak berprestasi dengan
anak orang lain yang dianggap berprestasi;
9. orangtua cenderung memarahi anak yang sakit-sakitan tanpa berusaha
memahami penyebabnya dan tanpa berusaha merasakan penderitaan anak;
10. orangtua tidak segara membawa anak ke PUSKESMAS / dokter ketika
anaknya sakit;
11. orangtua membentak-bentak ketika anak selalu menangis;
12. orangtua menyatakan panakut ketika anak merasa takut atas situasi yang
sedang dihadapi (dimalam hari atau menghadapi temannya);
13. orangtua tidak melakukan imunisasi lengkap terhadap anak;
14. orangtua membentak-bentak anak yang sering menangis yang tidak jelas
apa sebabnya;
15. bagi keluarga yang tinggal di pantai : orangtua tidak membiasakan memberi
makanan sayuran terutama kepada anak yang cenderung makan ikan;
16. orangtua membiarkan anak jajan terlalu sering dan berakibat anak tidak
nafsu makan;
17. orangtua membiarkan anak membeli jajanan yang tidak bergizi atau
makanan campuran warna yang membahayakan;
18. orangtua membiarkan anak terlalu sering makan permen yang cenderung
merusak pertumbuhan gigi;
19. orangtua membiarkan anak yang sering minum-minuman dingin atau es
yang berakibat anak mudah pilek;

42
20. orangtua membiarkan anak tanpa pakaian tebal atau jaket dalam cuaca
dingin.
21. ................................. Hal buruk apa lagi (jika terjadi) yang anda lakukan
sebagai orangtua?

APAKAH ANDA BERPRILAKU BAIK ATAU BERPRILAKU BURUK


TERHADAP ANAK HARI INI?
(jawablah dalam hati : evaluasi diri anda untuk kepentingan anda sendiri)

8. Eksploitasi terhadap anak


Sisamping perlindungan dari segala bentuk kekerasan, anak juga harus
mendapatkan perlindungan dari segala bentuk eksploitasi yang dapat
membahayakan, merugikan atau berdampak buruk terhadap perkembangan
pendidikan maupun kesehatan anak baik secara fisik, mental, spiritual, moral
maupun sosial.
Berdasarkan Klaster VIII KHA situasi eksploitasi anak meliputi: Ekonomi, Drug
Abuse, Ekploitasi Seksual (termasuk kekerasan seksual), penculikan, perdagangan
dan trafiking serta eksploitasi bentuk lain.
Berbagai bentuk pekerjaan terburuk bagi anak (BPTA) cenderung merusak atau
mengganggu perkembangan fisik dan psikis, atau mengancam kehidupan mereka.
Situasi ini, berkaitan juga dengan pelanggaran terhadap anak yang tidak dapat di
toleransi, situasi tersebut berdampak pada anak dan keluarganya terjebak pada
kemiskinan yang tidak pernah ada jalan keluarnya serta cenderung melanggengkan
kemiskinan, tidak dapat berpartisipasi dalam upaya pertumbuhan ekonomi bangsa
karena diperlakukan secara tidak adil oleh Negara.

Pekerjaan yang dihadapi anak dibawah umur tidak selaras dengan legislasi nasional
dan standar internasional, walaupun telah ada upaya pemerintah tetapi upaya
tersebut belumn memadai dan tidak menjangkau anak-anak yang menjadi korban
eksploitasi ekonomi diseluruh pelosok Indonesia. Hal tersebut berdampak pada
semakin banyaknya anak yang terjebak dalam situasi eksploitasi ekonomi. Sebagian
pekerjaan yang melibatkan anak bahkan membahayakan kesejahteraan, fisik,
mental, moral anak.

Kondisi pekerjaan yang buruk meliputi: perbudakan atau mirip perbudakan


(termasuk PRTA), trafiking (untuk tujuan eksploitasi ekonomi dan atau eksploitasi
seksual), jeratan hutang (kerja ijon) dan bentuk-bentuk seperti bentuk lainya
seperti kerja paksa, rekrutmen anak secara paksa untuk terlibat dilibatkan dalam
konflik bersenjata, prostitusi anak, pornografi anak dan bentuk-bentuk aktivitas
ilegal lainnya.

43
UU No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (PTPPO)
Pasal 1 ayat (1):
Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau
memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang
yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam
Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan
orang tereksploitasi.

Pasal 1 ayat (7):

Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi
tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan
atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik,
seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau
mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga
atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik
materiil maupun immateriil.
Pasal 1 ayat (8):
Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau
organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi
tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.

Pasal 26
Persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak
pidana perdagangan orang.

Pasal 27
Pelaku tindak pidana perdagangan orang kehilangan hak tagihnya atas utang
atau perjanjian lainnya terhadap korban, jika utang atau perjanjian lainnya
tersebut digunakan untuk mengeksploitasi korban.

Monitoring terhadap terjadinya pelangaran hak-hak anak, terutama yang berkaitan


dengan eksploitasi terhadap anak belum dilakukan oleh pemerintah secara layak
dan sungguh-sungguh. Anak yang dilibatkan dalam pekerjaan informal dan tidak
diatur dalam perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan lebih menderita

44
karena ketiadaan pengawasan dari Pemerintah (Dinas Tenaga Kerja), tidak ada
inspeksi.

Sejauh ini kebijakan pemerintah didalam melakukan pencegahan dan penanganan


tidak dilakukan secara maksimal dan hal itu akan mengganggu continuum of care
for children dan menghambat perkembangan anak secara maksimum, cenderung
merugikan anak itu sendiri dan akan menjadi beban Negara dikemudian hari karena
mereka akan menjadi kelompok unskill worker.

Anak yang hidup dan atau bekerja di jalan


Pemandangan terhadap adanya anak jalanan terdapat di berbagai kota baik di
Negara-Negara kaya maupun Negara miskin. Sebagian anak jalanan masih
mempunyai rumah dan keluarga di wilayah kumuh dan kondisi rumah yang
sempit, pulang ke rumah setiap hari, sementara sebagian yang lainnya tidak
memiliki rumah bahkan sebagian diantaranya tidak memiliki keluarga. Sebagian
anak jalanan dari keluarga single parent (ibu atau ayah sebagai kepala keluarga).

Anak jalanan merupakan salah satu korban eksploitasi seperti halnya anak yang
terjebak dalam Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (BPTA), yang mana
merupakan dampak dari kegagalan keluarga dalam mengasuh dan melindungi
anak serta kegagalan Negara dalam membantu keluarga yang tidak mampu
menjalankan tanggungjawab mengasuh dan melindungi anak. Kegagalan kedua
belah pihak tersebut berdampak pada terganggunya continuum of care for
children.

Anak jalanan mengahadapi berbagai risiko seperti: rentan kekerasan fisik, psikis
dan seksual; korban trafiking; eksploitasi (dieksploitasi sebagai pengguna dan
pengedar narkoba, eksploitasi seksual); risiko kesehatan; risiko kecelakaan; risiko
terhadap hilangnya hak pendidikan; kesehatan dan perlindungan; kekerasan
antar kelompok; kekerasan oleh orang dewasa bahkan kekerasan oleh aparat
pemerintah seperti Satpol PP. Sebagian anak jalanan berasal dari kelompok anak
disabilitas yang tak berdaya menghadapi kehidupan karena tidak memiliki
sumber ekonomi yang tetap serta tidak mendapat kesempatan untuk
meningkatkan kemampuan sebagai manusia disabilitas yang bermartabat.

Diantara bentuk-bentuk eksploitasi anak jalanan yaitu: pengamen, pengemis,


pencuci kaca mobil yang sedang berhenti di perempatan, ojek payung, pedagang
asong, menari di perempatan jalanan ketika lampu merah, pertunjukan doger
monyet / tarian kuda lumping.

Dalam konteks Indonesia, melalui Kementerian sosial telah melakukan upaya

45
pengentasan anak jalanan agar lebih bermartabat sebagai manusia melalui
program PKSA. Namun demikian, karena keterbatasan dana, PKSA tidak mampu
menjangkau anak jalanan di seluruh kota-kota di Indonesia.

46
Sumber Referensi:

Berikut adalah sumber-sumber referensi yang digunakan dalam penyusunan Modul.

I. Instrumen / Hukum Internasional dan Nasional:


A. Instrumen / Hukum Internasional
1. Deklarasi Universal HAM
2. The International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights ,1966,
(Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya / Kovenan
Ekosob)
3. The International Covenant on Civil and Political Rights,1966, (Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik)
4. Deklarasi Hak-hak Anak
5. Konvensi Hak-hak Anak
6. Optional Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons,
Especially Women and Children, supplementing the united nations convention
against transnational organized crime,2000, (protocol untuk mencegah,
menindak, dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan dan
anak-anak, melengkapi konvensi perserikatan bangsa-bangsa menentang tindak
pidana transnasional yang terorganisasi)
7. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women
8. International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers
and Members of Their Families, July 2003, (Konvensi Internasional tentang
Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya),
9. Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the sale of
children, child prostitution and child pornography, 2000, (Protokol Opsional
Konvensi Hak-hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan
Pornografi Anak),
10. UU No. 20 Tahun 1999 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138, mengenai:
ILO Minimum Age Convention, 1973 (No.138)
11. ILO Worst Forms of Child Labour Convention (No.182), 1999, (Konvensi ILONo
182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk Untuk Anak)
12. Hague Convention on Protection of Children and Cooperation in respect of
Intercountry Adoption - Hague Conference on Private International Law, The
Hague, 29 May 1993 Entered into force: 1 May 1995, pasal 11

B. Instrumen / Hukum Nasional:


1. Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2. Undang-undang No 4 Tahun 1979Tentang Kesejahteraan Anak

47
3. Undang-undang No 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat
4. Undang-undang No 39 Tahun 1999 Tentang HAM
5. Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
6. Undang-undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
7. Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
8. Undang-undang No 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT
9. Undang-undang No 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan
10. Undang-undang No 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
(ADMINDUK)
11. Undang-undang No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (PTPPO)
12. Undang-undang No 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
13. Undang-undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
14. Undang-undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
15. Undang-undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
(SPPA), untuk menggantikan Undang-undang No 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak

II. Bahan Bacaan Tentang HAM:


C. de Rover, To Serve and To Protect, Acuan Universal Penegakkan HAM, PT Raja Grapindo
Persada, 2000.
Distia Aviandari dkk, Analisis Situasi Hak Anak untuk isu-isu tertentu, SAMIN Yogyakarta
2010.
Hadi Utomo, dkk, Anak-anak Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus dan Peranan
Pekerja Sosial, Yayasan Bahtera – UNESCO – UNICEF, 2002.
Sharon Detrick- A Commentary on the United Nations Convention on The Rights of The
Child, Martinus Nijhoff Publishers The Hague/Boston/London, 1999.
UNICEF and Centre for Tourism Research and Development – Gajah Mada University, A
Focussed Study on Child Abuse in Six Selected Provinces in Indonesia, 1999.
UNICEF - Implementation Handbook for Convention on The Rights of The Child (CRC), Third
Edition, 2007.

III. Bahan Bacaan Lainnya:


Parent Handbook-Continuum of Care for Children, State of South Carolina- Office of the
Governor Continuum of Care 2013.http://www.oepp.sc.gov/coc.
The Continuum of Care for Children and Adolescents-American Academy of Child and
Adolescent Psychiatry , September 2008. http://www.aacap.org

48
Erikson's Psychosocial Stages Summary Chart, Erikson's Stages of Psychosocial
Development. http://psychology.about.com/library/bl_psychosocial_summary.htm
Rencana pengasuhan anak Informasi untuk dipertimbangkan orang tua kalau membuat
rencana pengasuhan anak- Australian Government. www.familyrelationships.gov.au
Youth in Transition ResourceManual, Family Advisory - South Carolina April 24, 2013
Jean Liedloff, Understanding The Continuum Concept The Continuum Concept, Revised
edition ©1977, 1985.
Managing Conflict,
http://www.familyrelationships.gov.au/BrochuresandPublications/Pages/ManagingConflict.aspx
Relationships with parents - working it out
http://www.cyh.com/healthtopics/healthtopicdetails.aspx?p=243&np=291&id=2230

B, Hurlock, Elizabeth, PSIKOLOGI PERKEMBANGAN--SUATU PENDEKTAN SEPANJANG


RENTANG KEHIDUPAN (Terjemahan), Edisi Kelima, Penerbit Erlangga, Surabaya 1992
Feist, Jess, dkk, TEORI KEPRIBADIAN (Terjemahan), Buku 2 Edisi Ketujuh, Salemba
Humanika, Jakarta 2013
Sears, David O, PSIKOLOGI SOSIAL (Terjemahan), Edisi Kelima Jilid 2, Penerbit Erlangga
Surabaya 1991
Goldberg, Alvin A, dkk, KOMUNIKASI KELOMPOK—PROSES-PROSES DISKUSI DAN
PENERAPANNYA (Terjemahan), Penerbit Universits Indonesia (UI Press), Jakarta 1985
Purwanto, MP. M Ngalim, Drs. PSIKOLOGI PENDIDIKAN, PT Remaja Rosdakarya Bandung
1996
Littauer, Florence, PERSONALITY PLUS (Terjemahan), Binarupa Aksara, Jakarta 1995

49
Alamat e-mail Konsultan / Penulis

Konsultan / Penulis:
Hadi Utomo : hadiutomo234@yahoo.com
email kantor : ybahtera@yahoo.co.id
Yayasan Bahtera (Bina Sejahtera Indonesia)
Handphone : 0813 603 584 65

Anggota Tim Konsultan / Tim Penulis:


Ahmad Muhammad : simkuring65@yahoo.co.id
email kantor : ymasyarakatsehat@yahoo.com
Mewakili Yayasan Masyarakat Sehat (YMS)

Faisal Cakra Buana : fcakrabuana@gmail.com


email kantor : ybahtera@indosat.net.id

50
51

Anda mungkin juga menyukai