Anda di halaman 1dari 4

Ketiga ilmu itu adalah ilmu yang menjadikan ibadah menjadi sah, ilmu yang mengesahkan

aqidah, dan ilmu yang menjadikan hati bersih.

Pertama, ilmu yang menjadikan sahnya ibadah kepada Allah adalah ilmu fiqih yang
membahas tentang bagaimana semestinya seorang Muslim beribadah kepada Allah. Sebagai
contoh, setiap Muslim wajib mempelajari ilmu tentang bagaimana caranya shalat yang benar
dan baik. Juga ia wajib mempelajari berbagai ilmu yang berkaitan dengan keabsahan shalat,
seperti caranya berwudlu, cara mensucikan berbagai macam najis, bertayamum, beristinja
dan lain sebagainya.

Seorang Muslim juga wajib mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ibadah-
ibadah lain seperti puasa, zakat, haji dan lain sebagainya. Termasuk juga dalam kategori ini
adalah ilmu muamalat, ilmu yang mengatur bagaimana semestinya seseorang melakukan
berbagai macam kegiatan yang berhubungan dengan sesama manusia, seperti jual beli, sewa
menyewa, penitipan, dan sebagainya.

Kedua, ilmu yang menjadikan aqidah atau kepercayaan seseorang menjadi benar
sesuai dengan aqidah yang dianut oleh para ulama Ahlussunah wal Jama’ah. Dengan
mempelajari dan memahami ilmu ini maka seseorang akan terjaga dari aqidah-aqidah yang
rusak dan tidak benar seperti aqidah Mu’tazilah, Jabariyah, dan Mujassimiyah.

Ketiga, ilmu yang menjadikan hati bersih dari berbagai macam akhlak yang jelek
seperti riya, sombong, dengki, hasud dan berbagai macam penyakit hati lainnya. Ilmu ini
wajib pula dipelajari oleh setiap orang Muslim mengingat perilaku orang tidak hanya apa
yang dilakukan oleh anggota badan secara lahir namun juga perilaku-perilaku hati secara
batin.

Ya, untuk mendapatkan keselamatan di akherat kelak serta tingginya derajat di dunia dan
akherat tak bisa lepas dari tiga hal: keyakinan atau aqidah yang benar, ibadah yang benar, dan
hati yang bersih.
Dasar2 : Al Ushul Ats Tsalatsah, Al Qawaid Al Arba’, Kasyfus Syubhat dan Risalah
Ushulil Iman.

Kemudian setelah mempelajari kitab-kitab ini, hendaknya berpindah ke tahapan yang lebih
tinggi semisal Kitab At Tauhid, lalu setelah menyelesaikan kitab ini berpindah lagi ke kitab
Al Aqidah Al Washithiyyah milik Imam Mujaddin Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat
728H) rahimahullah. Lalu melanjutkan ke kitab Al Hamawiyyah dan At Tadmuriyyah lalu
Al Aqidah Ath Thahawiyyah.

Setelah itu, dapat melanjutkan membaca kitab-kitab Sunan yang berkaitan dengan
pembahasan sunnah dan tahdzir terhadap bid’ah. Yang terkenal diantaranya Ushul I’tiqad
Ahlis Sunnah milik Al Laalikaa-i (wafat 418H), Kitab As Sunnah milik Al Khallal (wafat
311H), Kitab As Sunnah milik Abdullah bin Ahmad bin Hambal (wafat 290H), Al Ibanah
milik Ibnu Bathah Al’Akbari (wafat 387H), dan Kitab At Tauhid milik Ibnu Khuzaimah
(wafat 311H) dan kitab-kitab lain yang termasuk dalam bidang ini

Adapun yang berkaitan dengan ilmu tafsir, yang aku pilih untuk para penuntut ilmu adalah
kitab Tafsir Ibni Katsir (774H) rahimahullah, dan Kitab Tafsir As Sa’di (1376H)
rahimahullah. Lebih khusus lagi, aku menyarankan Mukhtashar Tafsir Ibni Katsir milik
Muhammad Nasib Ar Rafi’i karena -sepengetahuan kami- beliau telah meringkas Tafsir Ibni
Katsir hingga sejalan dengan manhaj salaf. Jika mampu menyelesaikan kitab-kitab tadi, maka
pelajarilah Tafsir Al Baghawi (516H) juga kitab-kitab tafsir selain yang disebutkan yang bila
seorang penuntut ilmu membacanya lalu menelaahnya ia bisa menyadari jika menemukan
ta’wil-ta’wil yang tercela, semisal kitab Tafsir Al Qurthubi (wafat 671H). Dan dapat juga
mempelajari kitab tafsir lainnya seperti Tafsir Ibnul Jauzi (wafat 597H), dan Tafsir Asy
Syaukani (wafat 1250H).

Sedangkan dalam ilmu hadits, seorang penuntut ilmu hendaknya memulai dari Al Arba’in
An Nawawiyah untuk dihafal dan dipahami, juga membaca penjelasan yang terkandung di
dalamnya. Lalu hendaknya secara bertahap mempelajari Umdatul Ahkam kemudian
Bulughul Maram, juga dengan syarah-nya. Kemudian, setelah itu barulah ia mampu untuk
mempelajari Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) dan Kutubus Sittah. Akal
dan keilmuan manusia itu senantiasa berkembang sejalan dengan kelurusan niatnya serta
keberlanjutannya dalam menuntut ilmu tanpa terputus.

Begitu juga dalam ilmu fiqih. Andai seorang penuntut ilmu sekedar membaca hadits-hadits
saja ia akan mendapat banyak pemahaman dari apa yang ia baca. Namun hendaknya mereka
juga mempelajari kitab-kitab fiqih seperti Umdatul Fiqhi yang merinci permasalahan-
permasalahan furu’ atau juga kitab Zaadul Mustaqni. Allah telah memuliakan umat ini
dengan adanya banyak kitab syarah dari Zaadul Mustaqni, baik dari ulama terdahulu maupun
ulama di masa ini. Di antara syarah yang mudah dipelajari adalah yang ditulis oleh ulama
masa ini, Syaikh Al Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dalam kitab As Syarh Al
Mumthi’. Kitab ini memang benar-benar memuaskan (mumthi’) karena di dalamnya terdapat
bahasan-bahasan yang bermanfaat dan penjelasan-penjelasan yang langka. Semoga Allah
memberikan ganjaran kepada beliau, menjadikan manfaat yang besar dari ilmu beliau, dan
menambah keutamaan beliau.

Sedangkan dalam Sirah Nabawiyyah, mulailah dengan mempelajari Mukhtashar Sirah


Nabawiyyah karya Imam Mujaddid Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab. Kemudian
setelah itu mempelajari Sirah Nabawiyyah miliki Ibnu Hisyam (wafat 183H). Dan di zaman
ini, walhamdulillah, kitab-kitab sirah sudah banyak yang diringkas.

Namun juga, semua ilmu ini dalam mempelajarinya membutuhkan ilmu-ilmu alat seperti
ilmu ushul fiqih, qawa’id, musthalah, serta butuh perhatian terhadap ilmu bahasa arab
dan qawaidul fiqhiyyah. Sehingga barulah seseorang memiliki kemampuan untuk
mengambil ilmu dari dalil-dalil Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman yang benar.

Ibnul Qoyyim rahimahullah telah menjelaskan ilmu apa saja yang wajib dipelajari oleh setiap
muslim. Artinya, tidak boleh ada seorang muslim pun yang tidak mempelajarinya. Ilmu
tersebut di antaranya:

Pertama, ilmu tentang pokok-pokok keimanan, yaitu keimanan kepada Allah Ta’ala,
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir.

Ke dua, ilmu tentang syariat-syariat Islam. Di antara yang wajib adalah ilmu tentang hal-hal
yang khusus dilakukan sebagai seorang hamba seperti ilmu tentang wudhu, shalat, puasa,
haji, zakat. Kita wajib untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan ibadah-ibadah
tersebut, misalnya tentang syarat, rukun dan pembatalnya.

Ke tiga, ilmu tentang lima hal yang diharamkan yang disepakati oleh para Rasul dan syariat
sebelumnya. Kelima hal ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

‫س ْل َطا ًنا‬ َّ ‫َق َوأَ ْن ت ُش ِْركُوا ِب‬


ُ ‫اَّللِ َما لَ ْم يُنَ ِز ْل ِب ِه‬ ِ ‫اْلثْ َم َوا ْلبَ ْغ َي ِبغَي ِْر ا ْلح‬
ِ ْ ‫ش َما َظه ََر ِم ْنهَا َو َما َب َطنَ َو‬ َ ‫اح‬ ِ ‫ قُ ْل ِإنَّ َما ح ََّر َم َر ِب َي ا ْلفَ َو‬ö
َ َّ ‫ع َلى‬
َ‫َّللاِ َما ََل ت َ ْعل ُمون‬ َ ‫َوأ َ ْن تَقُولُوا‬

“Katakanlah,’Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak


maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa
yang tidak kamu ketahui’”. (QS. Al-A’raf [7]: 33)

Kelima hal ini adalah haram atas setiap orang pada setiap keadaan. Maka wajib bagi kita
untuk mempelajari larangan-larangan Allah Ta’ala, seperti haramnya zina, riba, minum
khamr, dan sebagainya, sehingga kita tidak melanggar larangan-larangan tersebut karena
kebodohan kita.

Ke empat, ilmu yang berkaitan dengan interaksi yang terjadi antara seseorang dengan orang
lain secara khusus (misalnya istri, anak, dan keluarga dekatnya) atau dengan orang lain secara
umum. Ilmu yang wajib menurut jenis yang ke empat ini berbeda-beda sesuai dengan
perbedaan keadaan dan kedudukan seseorang. Misalnya, seorang pedagang wajib
mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan perdagangan atau transaksi jual-beli. Ilmu
yang ke empat ini berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing. (Lihat
Miftaah Daaris Sa’aadah, 1/156)
GONTOR

Sama seperti yang di ajarkan Al Azhar, karna Gontor sudah puluhan tahun iltizam mengikuti
manhaj Al Azhar yang dalam mempelajari semua madzhab.

Yang kedua, mengenai Tauhid Trilogi (Rububiyyah, Uluhiyyah, Asma' wa sifaat) ini
sebenarnya Ahlussunah tidak menolaknya kalau trilogi ini satu kesatuan dalam Tauhid, dan
tidak di pisah pisahkan. Kita tidak bisa menyalahkan Ijtihad Ulama yang membagi kan
Tauhid menjadi tiga. Begitu pula kita tidak boleh menyalahkan apa lagi menyesatkan Ijtihad
Imam Abu Hasan Al 'Asy'ary yang membagikan Tauhid 20 sifat Allah.

Tapi uniknya Gontor, dari mulai kita masuk ke Gontor. Kita sudah di bekali dengan Tauhid
'Asy'ariyyah yang buku itu di susun langsung oleh pendiri Gontor Almarhum KH. Imam
Zarkasyi.

Dalam kitab Tauhid ini (Tauhid Ibnu Taimiyyah di Gontor), sama sekali tidak ada
menyinggung masalah masalah sensitif seperti membahas makna ayat:

Sama seperti ketika kami belajar kitab ‫" علم الكالم‬Ilmu Al Kalam" salah satu buku yang di tulis
langsung oleh Rektor Universitas Darussalam Gontor. Prof. Dr. KH. Amal Fathullah
Zarkasyi. Di situ kami mempelajari bagaimana Aqidah 'Asy'ariyyah, Maturidiyyah, bahkan
sampai kepada pembahasan tentang Mu'tazilah, Murji'ah, Khawarij, Syi'ah, Qodariyyah,
Jabbariyyah. Dan lain lain.

Jadi ketika santri baru kita sudah mempelajari Tauhid 'Asy'ariyyah, setelah jadi santri senior
mengkaji kitab Tauhid Ibnu Taimiyyah, setelah menjadi Mahasiswa di kenal kan semua
bentuk Aqidah. Mengenal secara mendalam apa itu ta'wiil, apa itu tafwiidh, dan apa itu istbat
atau tauqiif. Mempelajari dan mengenal bukan berarti mengikuti. Selagi masih dalam ranah
Ahlussunnah, Gontor memberikan kunci kepada santrinya untuk membuka pintu keilmuan
yang ada. Karna tujuan Gontor adalah mencetak alumni yang berpengetahuan luas.

Anda mungkin juga menyukai