Anda di halaman 1dari 6

1.

POTENSI IKAN
Setuhuk/Marlin 2013 = 879 ton
2014 = 1 290 ton
2015 = 1 142 ton
2016 = 698 ton
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Selatan Jawa terdiri dari Provinsi Banten,
Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur.
Meskipun potensi (jumlah/produksi) ikan demersal lebih sedikit dibandingkan
ikan pelagis, namun jenis ikan ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Hasil
tangkapan cantrang utamanya dijadikan bahan baku untuk pabrik surimi yang ada di
Indonesia. Surimi merupakan daging ikan yang dilumatkan yang menjadi bahan baku
untuk produk-produk olahan ikan seperti bakso, crabstick, dan tempura. Dari 49 jenis
ikan yang biasa tertangkap oleh cantrang, hanya sembilan jenis ikan yang
dipergunakan untuk bahan surimi. Jenis ikan tersebut delapan diantaranya merupakan
kelompok ikan demersal sisanya kelompok ikan karang. Dari gambar 4.2 dijelaskan
bahwa swanggi paling menurun produksinya selama tahun 2014-2016 yaitu sebesar
21.860 ton.
Komoditas unggulan sumber daya kelautan di Pesisir Kabupaten Kulon Progo
dan Bantul adalah udang vaname sedangkan di Gunungkidul adalah ikan tuna,
cakalang, tongkol, marlin, lemadang, layur, kakap, manyung dan lobster.
Beragam jenis sumber daya kelautan di kawasan Pesisir dan Laut Selatan DIY
memiliki spesifikasi komoditas unggulan dan andalan, antara lain: ikan tuna,
cakalang, marlin, lemadang, lobster, layur, kakap, manyung, dan udang vaname serta
kawasan wisata pantai yang dapat dimanfaatkan sepanjang tahun
(PUSTEK Kelautan UGM, 2003 ; Sahubawa dkk, 2009).

2. PERMASALAHAN AWAL
Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang mengandung zat gizi, pH,
dan kadar air tinggi yang merupakan media pertumbuhan yang sangat baik bagi mikroba,
sehingga bakso memiliki daya simpan terbatas pada suhu ruang (Merpati et al., 2013).
Merpati, Effendi, A., dan Ambo, A. 2013. Pengaruh Konsentrasi Asap Cair Tempurung Kelapa
dan Lama Penyimpanan Terhadap Kualitas Bakso Daging Sapi Pascarigor. Ilmu dan Teknologi
Peternakan. Universitas Hasanuddin. Makasar.
Bakso ikan memiliki masa simpan yang sikat. Hasil penelitian Wulandari (2009),
menyatakan bahwa bakso yang dikemas dalam plastik dan disimpan di suhu ruang
menunjukkan kerusakan seperti timbulnya lendir dan bau busuk pada masa simpan 18 jam.
Wulandari, A.T. 2009. Kualitas Fisik dan Organoleptik Bakso Daging Sapi yang Diawetkan
dengan Substrat Antimikroba Lactobacillus Spp. 1A5 Pada Penyimpanan Suhu Ruang
[Skripsi]. Bogor: Departemen Produksi Ternak Dan Pengolahan, Fakultas Perternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Menurut Muawanah (2000), menyatakan bahwa dengan bertambahnya waktu
penyimpanan, aktivitas mikroba semakin banyak, sehingga mengakibatkan nilai pH menjadi
turun. Hal ini membuktikan terjadi perubahan kimia pada komponen gula menjadi asam.
Muawanah, A. 2000. Pengaruh Lama Inkubasi dan Variasi Jenis Starter Terhadap Kadar Gula,
Asam Laktat, Total Asam Dan pH Yogurt Susu Kedelai. Program Studi Kimia. FST UIN Syarif
Hidayatullah. Jakarta.
Bakso ikan merupakan salah satu makanan yang cukup populer di Indonesia, namun
memiliki umur simpan yang relatif pendek. Kandungan nutrisi yang tinggi dan kadar air/aw
(80%/0,99) pada daging ikan menyebabkan bakso memiliki masa simpan yang singkat yaitu
12-24 jam pada penyimpanan suhu kamar, dan 4-5 hari pada suhu refrigerasi (Kok, 2007).
Kok, T.N., Park, J.W. 2007. Extending the Shelf Life of Set Fish Ball. J of Food Quality 30:1-27.

3. KENAPA DILAKUKAN PROSES STERILISASI ? KARENA BAKSO UMUR SIMPANNYA PENDEK


Salah satu tahap proses dalam pengalengan yang penting yaitu sterilisasi. Sterilisasi
merupakan metode dasar dalam pengawetan makanan terutama ikan dengan teknik
pengalengan. Sterilisasi merupakan suatu usaha untuk membebaskan alat-alat atau bahan-
bahan dari segala macam bentuk kehidupan terutama mikroorganisme. Pemanasan
sedemikian rupa pada bahan makanan dilakukan untuk mematikan mikroorganisme yang
membahayakan manusia tetapi bahan tidak banyak mengalami perubahan (Adawyah, 2007).
Tujuan utama dari proses sterilisasi yaitu memperpanjang umur simpan produk pangan
dengan tetap meminimumkan perubahan nutrisi dan sensori produk.
Tujuan utama dari proses sterilisasi yaitu memperpanjang umur simpan produk
pangan dengan tetap meminimumkan perubahan nutrisi dan sensori produk. Namun
menurut Estiasih (2009), proses sterilisasi tetap mempengaruhi kaakteristik dari produk
pangan diantaranya perubahan warna, perubahan bau dan cita rasa, perubahan tekstur dan
viskositas, dan perubahan nilai gizi.
Proses pengawetan pada dasarnya adalah upaya mencegah atau memperlambat laju
kerusakan, baik kerusakan kimia, fisik maupun biologi sehingga dapat memperp anjang umur
simpan produk. Salah satu teknik pengawetan dengan menggunakan proses panas yaitu
pengalengan (Haryadi, 2014). Pengalengan merupakan proses menciptakan kondisi steril dan
mengemas bahan pangan dalam wadah kedap udara untuk menjaga bahan pangan tersebut
dari kontaminasi (Hendren, et. al., 2008).
4. KENAPA WAKTU DAN SUHU STERILISASI PENTING ? UNTUK INAKTIVASI MIKROBA

5. INDIKATOR KERUSAKAN PRODUK MAKANAN BAKSO IKAN


Parameter ketengikan bakso lele ditentukan berdasarkan peningkatan angka TBA
(thio-barbituric acid) selama waktu penyimpanan. Kerusakan produk perikanan sering
ditandai dengan timbulnya flavor tengik akibat dari reaksi oksidasi dan hidrolisis terhadap
kandungan asam lemak tidak jenuh yang tinggi pada ikan. Reaksi ini menyebabkan
terbentuknya senyawa radikal bebas dan bila berinteraksi dengan oksigen akan membentuk
hidroperoksida yang bersifat tidak stabil dan akan terdegradasi lebih lanjut menghasilkan
senyawa senyawa karbonil rantai pendek seperti aldehid dan keton yang bersifat volatil dan
menimbulkan flavor tengik. Lemak juga mudah terhidrolisis dengan adanya air menjadi
gliserol dan asam lemak. Tingkat kerusakan lemak dapat dideteksi melalui analisa free fatty
acid (FFA), thiobarbituric acid (TBA), bilangan peroksida dan nilai anisidin
(Syarief dan Halid 1993).
Syarief R dan Halid H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. IPB. 374pp.
Kenaikan nilai pH selama penyimpanan disebab-kan oleh aktivitas mikro organisme yang
menguraikan senyawa-senyawa protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana
antara lain basa-basa yang mudah menguap seperti amonia, amida dan senyawa nitril
lainnya yang mengakibatkan tingginya nilai pH. Launelloungen et al.
(1982't dalam Sidijono et al. (1984) mengatakan bahwa peningkatan nilai pH adalah
akibat aktivitas bakteri pembusuk/aktivitas enzim jaringan yang menghasilkan senyawa
amonia.
Terjadinya peningkatan nilai TVB ini sesuai dengan naiknya nilai pH yang disebabkan
karena terurainya senyawa protein yang terdapat pada bakso menjadi senyawa.senyawa
amina, amida dan senyawa lainnya. Apabila amonia yang di-hasilkan lebih banyak akan
menyebabkan nilai TVB naik, demikian sebaliknya kalau amonia yang dihasilkan eedikit
maka nilai TVB akan kecil (Desroiser, 1977). Zaitsev et al. (1969) menyatakan terjadinya
degradasi protein menjadi senyawa amina, metilamina, dimetil yang mudah menguap
dan senyawa siklik yang disebabkan oleh aktivitas enzim, akan meningkatkan nilai TVB.
Sedangkan menurut Winarno (1982) penyimpanan pada suhu rendah tidak dapat
menghentikan aktivitas enzim, tapi hanya akan menahan laju aktivitasnya.
6. TIPUS BAKSO IKAN
Bakso ikan merupakan produk pangan yang terbuat dari olahan daging ikan sebagai bahan
utama yang digiling hingga halus, serta dilakukan pencampuran tepung dan bumbu–bumbu,
pembentukan adonan menjadi bulatan – bulatan, dan selanjutnya dilakukan perebusan
(Koswara et.al, 2001).
Koswara, S., Hariyadi, P., dan Purnomo, EH. 2001. Bakso Daging. Teknologi Pangan dan
Agroindustri I (8). 1411-2736 IPB.

Masalah utama yang berkaitan dengan produk kaleng untuk produk pangan berasam rendah
adalah pembentukan toksin botulin. Toksin tersebut dihasilkan oleh microorganisme C. botulnum,
dimana mikroorganisme tersebut dapat dihilangkan pada proses sterilisasi.

Pengawetan makanan dalam kaleng diartikan sebagai suatu cara pengolahan dengan
menggunakan suhu sterilisasi (110oC – 120oC) yang bertujuan menyelamatkan bahan
makanan itu dari proses pembusukan. (Moeljanto, 1982). Pada pengalengan makanan, bahan
pangan dikemas secara hermetis dalam suatu wadah kaleng. Pengemasan secara hermetis
mengandung arti bahwa penutupannya sangat rapat, sehingga tidak dapat ditembus oleh
udara, air, mikroba atau bahan asing lainnya. Perlakuan panas untuk bahan pangan berasam
rendah dirancang untuk menginaktifasikan sejumlah besar spora organisme C. botulinum.
Walaupun spora ini tidak setahan spora – spora dari tipe Clostridium lainnya dan
bacillus. C. Botulinum mampu menghasilkan racun yang mematikan kadang – kadang tanpa
menggembungkan wadah atau mengubah kenampakan secara nyata (Buckle et al, 1987).
Selain penerapan suhu tinggi, tingkat keasaman (pH) suatu produk mempunyai peranan
terhadap daya hambat pertumbuhan bakteri patogen. Clostridium botulinum termasuk salah
satu bakteri yang mudah tumbuh dengan baik pada substrat atau produk – produk makanan
yang mempunyai kisaran pH 4,6 – 7,5 (Winarno, 1994).
Secara umum, produk pangan yang mengandung lemak (potensial terjadi oksidasi
lemak) atau mengandung protein dan gula pereduksi (potensial terjadi reaksi pencoklatan)
dapat ditentukan umur simpannya menggunakan Model Arrhenius (Kusnandar, 2006).
Ketengikan suatu produk dapat dilihat dari perubahan angka peroksidanya. Angka peroksida
dapat menggambarkan tingkat oksidasi lemak yaitu dengan semakin tingginya angka
peroksida maka jumlah lemak yang teroksidasi juga semakin banyak. Semakin banyaknya
lemak yang teroksidasi berarti produk tersebut mengalami penurunan mutu yang berujung
pada kerusakan produk/tengik (Maharani dkk., 2012).
Kerusakan produk perikanan sering ditandai dengan timbulnya flavor tengik akibat
dari reaksi oksidasi dan hidrolisis terhadap kandungan asam lemak tidak jenuh yang tinggi
pada ikan. Reaksi ini menyebabkan terbentuknya senyawa radikal bebas dan bila berinteraksi
dengan oksigen akan membentuk hidroperoksida yang bersifat tidak stabil dan akan
terdegradasi lebih lanjut menghasilkan senyawa senyawa karbonil rantai pendek seperti
aldehid dan keton yang bersifat volatil dan menimbulkan flavor tengik. Lemak juga mudah
terhidrolisis dengan adanya air menjadi gliserol dan asam lemak. Tingkat kerusakan lemak
dapat dideteksi melalui analisa free fatty acid (FFA), thiobarbituric acid (TBA), bilangan
peroksida dan nilai anisidin (Syarief dan Halid 1993).

Parameter ketengikan bakso lele ditentukan berdasarkan peningkatan angka TBA


(thio-barbituric acid) selama waktu penyimpanan.

Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pesisir Barat (2016), kabupaten ini
potensi perikanan per tahunnya melebihi 90.000 ton. Salah satu hasil perikanan yang sangat
banyak dan terkenal adalah ikan tuhuk (Blue marlin).

Zainuri et al. (2010) menyatakan bahwa bakso ikan adalah campuran homogen daging
ikan dengan tepung dan bumbu, berbentuk bulat dan direbus sampai matang.

Zainuri KS, Zakaria, Tamrin A. 2010. Palatabilitas Dan Sifat Fisikokimia Bakso Ikan
Puleng Menggunakan Bahan Pengisi Tepung Tapioka Dan Sagu. Jurnal Media Gizi
Pangan (9).

Sholihah A. 2011. Proses Pengalengan Kalio Daging Sapi dan Kajian Pengaruh Sterilitas
(Fo) Pemanasan pada Berbagai Suhu terhadap Perubahan Sifat Fisiknya. [Skripsi]. Bogor:
Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University.

Nurhikmat A, Suratmo B, Bintoro N dan Suharwadji. 2016. Pengaruh suhu dan waktu
sterilisasi terhadap nilai F dan fisik kaleng kemasan pada pengalengan gudeg. Agritech,
36(1): 71-78.
Badan Pusat Statistik. 2018. Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir

Sahubawa, Latif., Nurul Khakim., dan Musrowati Lasindrang. 2015. Kajian Sebaran Potensi
Ekonomi Sumber Daya Kelautan di Pantai Selatan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai
Upaya Percepatan Investasi Jurnal Teknosains Vol. 4, No.2

Kok, T.N., Park, J.W. 2007. Extending the Shelf Life of Set Fish Ball. J of Food Quality
30:1-27.

Muawanah, A. 2000. Pengaruh Lama Inkubasi dan Variasi Jenis Starter Terhadap Kadar
Gula, Asam Laktat, Total Asam Dan pH Yogurt Susu Kedelai. Program Studi Kimia. FST
UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Nurhikmat A, Suratmo B, Bintoro N dan Suharwadji. 2016. Pengaruh suhu dan waktu
sterilisasi terhadap nilai F dan fisik kaleng kemasan pada pengalengan gudeg. Agritech,
36(1): 71-78.

Sholihah A. 2011. Proses Pengalengan Kalio Daging Sapi dan Kajian Pengaruh Sterilitas
(Fo) Pemanasan pada Berbagai Suhu terhadap Perubahan Sifat Fisiknya. [Skripsi]. Bogor:
Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University.

Anda mungkin juga menyukai