Anda di halaman 1dari 14

PROSEDUR SST (SHORT SELF TEST) BENETH

1. Pastikan unit ventilator terhubung dengan sumber listirk ditandai dengan LED di dekat
main switch.
2. Hubungkan suplai gas oksigen (O2) dan udara tekan (AIR).
3. Pasang sirkuit ke ventilator sesuai dengan pasien yang akan di ventilasi.

Langkah-langkah SST
1. Tekan tombol main switch, biarkan sirkuit terbuka (unblock Y)
2. Tekan tombol yang ada disamping kanan mesin.
3. Pilih sirkuit yang digunakan (adult, pediatric, neonat).
4. Pilih sirkuit not heated expiration tube ( = single heater wire).
5. Masukkan volume chamber ( 370 ml) dengan cara putar knob ke kiri (-) /kanan (+) kmd
tekan accept.
6. Lihat perintah : sambungkan sirkuit inspirasi tanpa humidifier. Lepaskan slang dari filter
inspirasi yg ke humidifier, kemudian lepaskan slang inspirasi yg terhubung ke humidifier
dan sambung ke filter inspirasi, tekan accept.
7. Lihat perintah : block Y. Tutup Y cirkuit dengan stopper, kemudian tekan accept.
8. Lihat perintah : connect humidifier. Lepaskan slang inspirasi dari filter inspirasi
kemudian sambung ke humidifier, setelah itu sambung slang dari humidifier ke filter
inspirasi. Tekan accept.
9. Lihat perintah : lepaskan slang ekspirasi (from patient) dari filter ekspirasi. Tekan accept.
10. Lihat perintah : sambungkan slang ekspirasi (from patient) ke filter ekspirasi. Tekan
accept.
11. Lihat perintah : unblock Y. Buka stopper, tekan accept.
12. Lihat perintah : block Y. Tutup Y dengan stopper, tekan accept.
13. Lihat perintah : apakah chamber humidifier terisi ? bila tidak tekan clear.
14. Lihat perintah : unblock Y. Buka stopper, tekan accept.
15. Bila all passed, tekan exite kemudian tekan accept.
16. SST selesai, mesin siap digunakan.
Dasar-dasar manajemen ventilasi mekanik

INDIKASI
Ventilasi mekanik dindikasikan apabila cara-cara penatalaksanaan non invasif gagal
membantu oksigenasi dan ventilasi yang adekuat.
Keputusan untuk memakai pemasangan ventilasi mekanik didasarkan pada kemampuan
pasien untuk mempertahankan kebutuhan oksigen dan ventilasi mereka.
Ketidakmampuan pasien untuk mempertahankan kadar CO2 dan status asam basa dalam
batas-batas yang dapat diterima secara klinis disebut gagal napas (respiratory failure) dan
merupakan indikator umum untuk tindakam pemasangan ventilator.
Hipoksemia refrakter yaitu ketidakmampuan untuk menerima dan mempertahankan
kadar oksigen yang dapat diperoleh pada lingkungan yang kaya oksigen (indikasi
pemakaian ventilasi mekanik).

PRINSIP UMUM
Ventilasi mekanik dibuat untuk membantu ventilasi secara partial atau seluruhnya.
Terdapat 2 jenis ventilasi mekanik :
1. Ventilator tekanan negatif ;
Menurunkan tekanan intratorakal dengan memberikan tekanan negatif pada dinding
dada menggunakan shell yang diletakkan pada dada. Penurunan tekanan intra torakal
menyebabkan udara atmosfer tertarik masuk ke dalam paru-paru.
2. Ventilator tekanan positif ;
Memberikan gas yang bertekanan tinggi ke dalam paru-paru selama inspirasi.
Ventilator tekanan positif dapat meningkatkan secara dramatis tekanan intratorakal
pada saat inspirasi yang berpotensi menurunkan aliran balik darah vena dan curah
jantung (cardiac output).

Ventilator tekanan negatif jarang digunakan untuk menangani gangguan respirasi akut di
ruang perawatan kritis. Alat ini secara khusus digunakan untuk bantuan ventilasi non
invasif jangka panjang apabila kekuatan otot-otot pernapasan tidak adekuat untuk
melakukan pernapasan spontan.

Patien-ventilator system
Untuk memasang ventilator tekanan positif invasif perlu dilakukan intubasi trakhea atau
tube trakheotomi. Ventilator kemudian dihubungkan dengan artificial airway dengan
tubing circuit (sirkuit slang) untuk mempertahankan sistem agar tetap tertutup. Selama
siklus inspirasi, gas dari ventilator harus melalui heated humidifier (alat pelembab udara)
kemudian melalui endotrakheal tube atau tube trakheotomi lalu masuk ke paru-paru.
Pada akhir inspirasi, gas dihembuskan secara pasif melalui tube ekspirator pada sirkuit
tube.

Tubing-circuit pada ventilator


Humidifier yang terletak pada bagian inspirator sirkuit dibutuhkan untuk dua alasan.
Pertama, adanya artificial airway memungkinkan udara memasuki paru-paru tanpa harus
melalui proses pelembaban udara pada jalan napas atas yang normal. Kedua, aliran gas
yang cepat dan volume yang besar yang diberrikan melalui ventilator mekanik
memerlukan alat pelembab untuk menghindari kekeringan membran dalam paru.
Tekanan dalam tubing circuit harus selalu dipantau agar tidak terlalu tinggi atau terlalu
rendah. Tekanan airway secara dinamik akan ditampilkan pada control-panel ventilator.
Tubing-circuit pada ventilator dilengkapi dengan cup pengumpul air untuk mencegah
penyumbatan oleh gas lembab yang mengalami kondensasi. Akan tetapi sekarang ini
pada umumnya digunakan kawat panas yang berjalan pada bagian ekspirator dan bagian
inspirator sirkuit. Kawat-kawat tersebut akan mempertahankan suhu gas sama dengan
atau mendekati suhu tubuh sehingga menurunkan kondensasi gas yang lembab dan
mencegah terbentuknya air. Tubing sirkuit pada ventilator dipertahankan agar
rangkaiannya tetap tertutup sehingga ventilasi dan oksigenasi pasien tidak terputus-putus
dan juga untuk mencegah pneumonia nosokomial.

MOBILISASI PROGRESIF TERHADAP PERUBAHAN TEKANAN DARAH PASIEN DI


INTENSIVE CARE UNIT (ICU)

Ainnur Rahmanti1, Dyah Kartika Putri2 1,2Akper Kesdam IV/ Diponegoro Semarang Email:
ainnurrahmanti@gmail.com, Poetridyahkartika@gmail.com

ABSTRACT Patient with critical condition had high morbidity and mortality rate. This condition
is worsened by long term immobilization. Instability vital sign made nurses stationed delayed
mobilization activities in ICU. Progressive mobilization must be started for ICU patient to
decrease respiratory function, level of awareness and cardiovascular function. The objective of
this study was to identify progressive mobilization activities on blood pressure parameters among
critical patients in ICU. The design of this study was quai experiment design. Thirty respondents
were included to the study using concequtive sampling. Progressive mobilization was given with
head of bed 300 (HOB 300), head of bed450 (HOB 450) with passive range of motion,
continued with right and left lateral position. Anova repeated measurement was used to identify
mean difference each of blood pressure. The result of this study show there is two moment
sistolic change between HOB 300 to HOB 450 and HOB 450 to right lateral position (3,3%).
There is nine moment diastolic change between HOB 450 to right lateral position (16,7%).

Keywords: blood pressure, ICU, Progressive mobilization


PENDAHULUAN Pasien kritis dengan masa rawat yang lama akan menimbulkan banyak
masalah kesehatan yang muncul diantaranya muncul pneumonia, kelemahan, nyeri akut, hingga
masalah semua fungsi organ tubuh karena pengaruh infeksi yang didapat saat dirawat di ICU
hingga berujung kematian. Imobilisasi pasien di ICU memberikan kontribusi pada komplikasi
lanjut yang cukup tinggi pada pasien dengan kondisi kritis hingga berakhir kematian. Pada pasien
kritis yang mengalami imobilisasi akan memunculkan dampak yang merugikan karena pada
posisi imobilisasi konsumsi oksigen pada pasien kritis akan meningkat (Jevon & Ewens, 2009).
Penelitian Vollman di Icu Amerika, menyatakan pemberian posisi terlentang secara terus
menerus dapat menurunkan sirkulasi darah dari ekstermitas bawah, yang seharusnya jumlahnya
banyak untuk menuju jantung. Pada tiga hari pertama bedrest, volume plasma akan berkurang
8%- 10% dan menjadi berkurang 15%- 20% pada minggu keempat bedrest. Pada penelitian
tersebut menunjukkan efek
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume12, No. 1Februari2016

21

maksimal bedrest akan terlihat pada minggu ketiga bedrest(Vollman, (2010) Upaya yang telah
dilakukan untuk menekan anngka morbiditas dan mortalitas pada pasien yang dirawat di ruang
ICU adalah dengan mengembangkan sistem pelayanan terpadu mulai dari pengkajian pasien
yang masuk ICU hingga pelayanan lanjutan pasien keluar dari ICU. Intervensi berupa mobilisasi
tiap dua jam telah disarankan diberbagai rumah sakit guna meningkatkan kualitas hidup pasien
kritis. Sebuah studi di Inggris menunjukkan bahwa dalam jangka waktu delapan jam kurang dari
3% pasien yang dirawat di ICU dilakukan perubahan posisi tiap dua jam. Perawatan di ICU
Inggris rata- rata perubahan posisi dilakukan setiap 4,85 jam, bukan pada 2 jam
sekali(Gallagher,2010). Penelitian Stiller (2007), pada 39 pasien di ICU yang menerima 69
tindakan mobilisasi terhadap penilaian parameter hemodinamik dan pernapasan, ditemukan
bahwa mobilisasi mengakibatkan peningkatan yang signifikan dalam denyut jantung, tekanan
darah dan penurunan yang tidak signifikan terhadap saturasi oksigen4. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Cohen di Australia untuk mengevaluasi efek hemodinamik dan metabolisme
pernapasan untuk 32 orang pasien yang terpasang ventilasi mekanisdengan modus SIMV,
menyatakan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada denyut jantung, sistolik, curah
jantung, konsumsi oksigen, produk karbondioksida dan PaCO2(Berney, & Denehy,2003).
Pemberian tindakan mobilisasi progresif digunakan sebagai salah satu tekhnik pengobatan pada
pasien dengan berbagai gangguan fungsi organ. Mobilisasi progresif terdiri dari lima level atau
tahapan yang dilakukan, terdiri dari: Head of bed (HOB), Latihan Range of motion (ROM) pasif
dan aktif, terapi lanjutan rotasi lateral, posisi tengkurap, pergerakan melawan gravitasi, posisi
duduk, posisi kaki menggantung, berdiri dan berjalan2. Pada penelitian ini bertujuan mengetahui
pengaruh mobilisasi progresif dengan tindakan HOB, pasif ROM dan rotasi lateral terhadap
perubahan tekanan darah.

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain


penelitian quasi eksperiment design with pre-post test without control group6. Penelitian ini
dilakukan selama tiga bulan yaitu pada bulan Mei – Juni 2013 di RS Hasan Sadikin Bandung.
Pengambilan sampel menggunakan tekhnik non probability sampling dengan jenis consecutive
sampling. Sampel pada penelitian ini berjumlah 30 orang. Sample pada penelitian ini adalah
semua pasien yang dirawat di ruang ICU dengan menggunakan ventilasi mekanikbaik kasus
medikal maupun bedah. Kriteria inklusi
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume12, No. 1Februari2016

22

pada penelitian ini adalah pasien yang berusia lebih dari 18 tahun dengan nilai Mean Arterial
Pressure (MAP) >55<140, tekanan sistolik berkisar 90 – 180 mmHg, saturasi oksigen ≥ 90%.
Sedangkan kriteria eksklusi adalah pasien dengan perburukan keadaan dengan nilai MAP <55
mmHg, saturasi oksigen <88% dan sistolik >200 mmHg. Variabel penelitian ini, yaitu variabel
bebas ( independent variable) yaitu mobilisasi progresif yang terdiri dari kegiatan perubahan
posisi dari HOB 300, HOB 450, lateral kanan dan lateral kiri.Variabel terikat ( dependent
variable) yaitu tekanan darah sistolik dan diastolik. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini
adalah bed site monitor, lembar observasi dan algoritma mobilisasi progresif.Tekhnik
mengumpulkan data pada penelitian ini pertama-tama akan diukur tekanan darah pasien di posisi
awal kemudian diukur pada posisi HOB 300, lalu diukur kembali pada posisi HOB 450,
kemudian diukur pada posisi lateral kanan dan kiri. Pada penelitian ini dilihat beda rerata tekanan
darah sistolik maupun diastolik disettiap perubahan posisi. Penelitian ini dianalisa secara
univariat dan bivariat. Analisis univariat mengkategorikan umur, jenis kelamin,dan mode
ventilator. Pada analisis bivariat menggunakan uji anova repeated measured7. Yaitu melihat
perubahan tekanan darah sistolik dan diastolik di setiap tahapan perubahan posisi.

HASIL DAN BAHASAN Pengaruh pemberian mobilisasi progresif terhadap nilai sistolik dan
diastolik
Tabel 1. Pengaruh pemberian mobilisasi progresif terhadap nilai sistolik dan diastolik Variabel
Perubahan Posisi Beda Mean 95% CI Perbedaan P Lower Upper Sistolik Posisi awal-HOB 30
0 -1.96 -8.47 4.54 1.0 HOB 300- HOB 450 1.80 -3.92 7.52 1.0 HOB 450- Lateral kanan -1.66 -
6.81 3.47 1.0 Lateral kanan –lateral kiri 3.06 -2.38 8.51 0.982 Diastolik Posisi awal-HOB 30 0
0.33 -1.95 2.61 0.767 HOB 300- HOB 450 2.10 -0.01 4.21 0.052 HOB 450- Lateral kanan 0.30
-3.41 4.01 0.870 Lateral kanan –lateral kiri 0.63 -2.43 3.70 0.676 Pada Tabel 1 diperoleh dari uji
statistik nilai p pada semua posisi baik variabel sistoli dan diastolik menunjukkan angka lebih
dari 0,05 sehingga pada penelitian ini Ho diterima secara statistik tidak ada perubahan yang
signifikan antara variabel mobilisasi progresif dengan tekanan darah pasien di ICU.Menurut
Kozier, hemodinamik pada setiap rentang usia berbeda- beda, pada penelitian ini tampak pada
perbedaan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik. Pada usia dewasa tekanan darah sistolik
berkisar 90 – 140 mmHg sedangkan tekanan diastolik 60-
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume12, No. 1Februari2016

23

80 mmHg. Pada usia dewasa lanjut terkadang dikategorikan lansia mengalami peningkatan pada
diastolik. Kondisi biologis individu, penurunan jumlah sel fungsional, penurunan penggunaan
oksigen, pompa darah, regangan otot, hormon serta aktivitas yang berpengaruh pada anatomi dan
fisiologi tubuh akan berdampak pada hemodinamik tubuh(Morris, & Herridge,2007). Pemberian
mobilisasi diharapkan dapat meningkatkan transport oksigen dari pasien. Mobilisasi pasien di
ICU dapat dilihat sebagai proses rehabilitasi dini untuk mempertahankan kekuatan otot dan untuk
mencegah perubahan yang buruk dalam respon kardiovaskuler selain itu, hal ini diharapkan dapat
mempercepat proses penyapihan dan mempersingkat lama rawat di ICU (Morris, & Herridge,
2007).Pada sebuah penelitian di ICU Turki mengemukakan, bahwa tidak terjadinya perubahan
yang signifikan pada parameter tekanan darah dapat disebabkan karena metabolisme jantung
dipengaruhi oleh beban miokard, dan kebutuhan oksigen. Kebutuhan oksigen miokard dapat
diukur sebagai interaksi antara ketegangan miokard dan kontraktilitas otot jantung. Semua faktor
ini berubah selama diberikan aktifitas fisik. Peningkatan aliran koroner meningkat seiring dengan
meningkatnya kebutuhan miokard untuk nutrisi dan oksigenasi.
Hasil mobilisasi secara pasif mengahsilkan metabolisme jantung yang rendah sehingga
peningkatan tekanan darah belum terjadi secara maksimal(Genc,Ozyurek, & Gunerli, 2012).
Penyebab lain yang berkontribusi yaitu penggunaan obat- obat inotropik pada pasien di ICU.
Obat inotropik digunakan untuk mempertahankan tekanan darah agar stabil, walaupun dengan
dosis rendah sekalipun11. Pada responden penelitian ini tercatat juga menggunakan obat- obat
inotropik untuk mensuport kestabilan hemodinamik. Obat ini digunakan untuksebagai
vasodilator maupun sebagai vasokonstriktor, ketika responden diberikan aktivitas, maka bisa saja
terjadi peningkatan beban kerja jantung yang berlebihan sehingga tubuh mengkompensasikan
dengan menurunkan atau meningkatkan konsumsi oksigen. Sebuah studi di Amerika
mengemukakan bahwa hambatan perawat untuk memulai mobilisasi adalah kekhawatiran akan
kondisi pasien, perubahan tingkat kesadaran serta ketidakstabilan hemodinamik. Kekhawatiran
tersebutlah yang dapat memperparah kondisi pasien yang dirawat di ICU, karena dengan
mengimobilisasikan pasien selama 14 hari dapat mengakibatkan tejadinya infeksi pada paru-
paru efek dari gas ventilasi, depresi jantung akibat pemberian sedasi dan anestesi jangka panjang,
gangguan pengosongan lambung,
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume12, No. 1Februari2016

24

penurunan kemampuan visik serta gangguan curah jantung(Basset, Vollman, Brandwene, &
Murray, 2012)

SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat
dikemukakan bahwa tidak ada perubahan yang bermakna tekanan darah sistolik maupun diastolik
setelah diberikan mobilisasi progresif dengan nilai P> 0,05. Beberapa faktor yang harus
dipertimbangkan perawat di ICU saat melakukan monbilisasi diantaranya: keamanan tubes dan
line, ketidakstabilan hemodinamik, sumber daya manusia, ketersediaan alat, kebutuhan terhadap
sedasi, ukuran postur tubuh pasien dan penggunaan obat- obatan inotropik

DAFTAR PUSTAKA P, Jevon & Ewens, B. (2009). Pemantauan Pasien Kritis (2nd ed.). Jakarta:
Erlangga Medical Series. Vollman, K. M. (2010a). Introduction to progressive mobility. Critical
care nurse, 30(2), S3-5. doi:10.4037/ccn2010803 Gallagher, J. J. (2010). Intraabdominal
Hypertension. Aacn Advanced Critical Care, 21(2), 205-217. Gosselink, R., Bott, J., Johnson,
M., Dean, E., Nava, S., Norrenberg, M., Schönhofer, B., et al. (n.d.). Physiotherapy for adult
patients with critical
illness : recommendations of the European Respiratory Society and European Society of
Intensive Care Medicine Task Force on Physiotherapy for Critically Ill Patients. Mobilization.
doi:10.1007/s00134-0081026-7 Berney, S., & Denehy, L. (2003). The effect of physiotherapy
treatment on oxygen consumption and haemodynamics in patients who are critically ill.
Australian Journal Of Physiotherapy, 99-105. Nursalam. (2008). Konsep & Penerapan
Metodologi Penelitian IlmuKeperawatan: Pedoman skripsi, tesis dan instrumen penelitian
keperawatan, Jakarta: Salemba Medika. Notoadmojo,S. (2010). Metodologi penelitian
Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Stillwell, S. B. (2011). Pedoman Keperawatan kritis. (P.
eko Karyuni, Ed.) (3rd ed.). Jakarta: EGC. Morris, P. E., & Herridge, M. S. (2007). Early
intensive care unit mobility: future directions. Critical care clinics, 23(1), 97-110.
doi:10.1016/j.ccc.2006.11.0 10 Genc,A,Ozyurek,S.,Koca, U., & Gunerli, A. (2012). Respiratory
and Hemodynamic Responses to Mobilization of Critically Ill Obese Patients. Mobilization,23
(1), 14-18.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume12, No. 1Februari2016

25
Regina,E., Sernache,F., Freitas,D., Serrou,R.,Paula,A., & Sato, A. (2012). Effect of Passive
mobilization on acute hemodynamic responses in mechanically ventilated patients, 24 (2), 72-78.
Basset,R., Vollman,K.M., Brandwene, L., & Murray, T. (2012). Integrating a
multidisiplinary mobility programme into intensive care practice (IMMPTP): A multicentre
collaborative. Intensive & Critical Care Nursing, 1-10. Elsevier Ltd. Doi:10.1016/j.iccn.2011.12.
001
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Intensive Care Unit (ICU) adalah tempat atau unit tersendiri di dalam
rumah sakit yang menangani pasien-pasien kritis karena penyakit, trauma
atau komplikasi penyakit lain yang memfokuskan diri dalam bidang life
support atau organ support yang kerap membutuhkan pemantauan intensif.1
Salah satu bentuk pemantauan intensive invasif adalah pasien dengan ventilasi
mekanik yang akan membantu usaha bernafas melalui endotracheal tubes
atau trakheostomi.2
Menurut WHO pada tahun 2004 terdapat 13-20 juta orang setiap
tahunnya terpasang ventilator. Selama 2005 sampai 2007 pasien kritis di ICU
Amerika Serikat mencapai 5 juta orang setiap tahunnya dan 42% diantaranya
terpasang ventilasi mekanik. Di 16 ICU Rumah Sakit di negara-negara Asia
termasuk Indonesia terdapat 1285 pasien sepsis yang menggunakan
ventilator dengan rata-rata lama penggunaan ventilator 3-10 hari dan 575
pasien diantaranya meninggal dunia.3 Di ICU dan HCU Rumah Sakit Karyadi
Semarang selama Bulan Februari 2010- Februari 2012 terdapat 43 pasien End
Stage Renal Disease (ESRD) dimana hanya 23 % menggunakan ventilator
dan 64 % dari total pasien meninggal dunia.4 Pasien kritis terpasang ventilator
dengan masa rawat yang lama akan menimbulkan banyak masalah kesehatan
2

yang muncul diantaranya dampak komplikasi jangka panjang dan jangka


pendek, munculnya pneumonia, kelemahan, nyeri akut, immobilisasi/bed
rest hingga masalah semua fungsi organ tubuh karena pengaruh infeksi yang
didapat saat dirawat di ICU dan dapat mempengaruhi morbiditas, mortalitas,
biaya, dan kualitas hidup.5,6
Pasien yang terpasang ventilator mekanik dalam waktu yang lama dan
terbatas pada tempat tidur membutuhkan perawatan total.2 Di samping itu
pasien kritis diberikan sedasi atau obat penenang yang dapat menurunkan
kesadaran pasien dan mengakibatkan penurunan kemampuan secara aktif
untuk merubah posisi sehingga mengalami tekanan yang lama.7,8 Selain itu,
dampak yang merugikan karena pada posisi imobilisasi konsumsi oksigen
akan meningkat.5,9 Posisi terlentang yang diberikan secara terus menerus
berdasarkan penelitian di ICU Amerika dapat menurunkan sirkulasi darah
dari ekstremitas bawah yang seharusnya banyak menuju dada. Pada tiga hari
pertama bedrest, volume plasma berkurang 8%- 10% pada minggu keempat
bedrest pasien mengalami kehilangan volume plasma 15%- 20%. Secara
normal kulit tidak dapat mentolelir tekanan yang lama, oleh karena itu pasien
yang imobilisasi dan yang bedrest memiliki resiko terbesar terhadap
kerusakan kulit dan keterlambatan penyembuhan luka. Selain itu penurunan
volume plasma mengakibatkan terjadi peningkatan beban jantung,
peningkatan masa istirahat dari denyut jantung, dan penurunan dari ke
volume dengan penurunan curah jantung.5
3
Pasien kritis yang terpasang ventilator berada dalam suatu posisi dalam
jangka waktu lama baik posisi duduk maupun berbaring dengan pergerakan
yang terbatas maka akan mengakibatkan pasien beresiko mengalami
dekubitus. Karena tidak mampu mengubah posisi untuk menghilangkan
tekanan .10 Tekanan eksternal secara konstan selama 2 jam atau lebih akan
menghasilkan perubahan yang irreversibel dalam jaringan.8 Kejadian
dekubitus hampir seluruhnya terdapat di area perawatan. Di area perawatan
akut dari 0,4% - 38%, perawatan jangka panjang dari 2.2% - 39.4%, dan
perawatan di rumah 0% - 17%. Kejadian dekubitus di seluruh dunia di
Intensive Care Unit (ICU) berkisar dari 1%-56%. Selanjutnya, dilaporkan
juga prevalensi dekubitus yang terjadi di ICU dari negara dan benua lain yaitu
49% Eropa berkisar antara 8.3 %- 22.9 %, di Eropa Barat 22% di Amerika
Utara 50% di Australia dan 29% di Yordania.8,11 Kejadian dekubitus di
Amerika, Kanada, dan Inggris sebesar 5%-32%.12 Di korea, khususnya di
Intensive Care Unit ( ICU) kejadian dekubitus meningkat dari 10.5%-45.13 Di
Indonesia, kejadian dekubitus pada pasien yang dirawat di ruangan ICU
mencapai 33%.14 Angka ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan insiden
dekubitus di Asia Tenggara yang berkisar 2.1-31.3%.15 Di RSUD Moewardi
didapatkan 38,18% pasien mengalami dekubitus.16
Adanya dekubitus menyebabkan peningkatan kejadian infeksi, sepsis,
prosedur bedah tambahan, peningkatan biaya rumah sakit, lama perawatan di
rumah sakit, rasa sakit yang berlebihan dan penderitaan. Bagi beberapa
pasien, dekubitus menyebabkan peningkatan nyeri, penurunan kualitas hidup,
4

infeksi, dan peningkatan morbiditas bahkan mortalitas.7,15 Dekubitus


menimbulkan sebuah ancaman dalam pelayanan kesehatan karena insidennya
semakin hari semakin meningkat.12 Pelham melaporkan bahwa biaya yang
dikeluarkan oleh Negara Amerika untuk perawatan luka tekan di rumah sakit
meningkat 50% dari anggaran sebelumnya.14 Secara finansial, penanganan
dekubitus meningkatkan biaya perawatan. Dutch Study Found mencatat biaya
perawatan untuk dekubitus tertinggi ketiga setelah biaya perawatan kanker
dan penyakit kardiovaskuler. Amerika Serikat mengeluarkan 11 milyar US
setiap tahun untuk menangani dekubitus.17 Besarnya biaya yang harus
dikeluarkan akibat dekubitus dan komplikasi yang ditimbulkan membuat
semua pihak yang berkontribusi dalam perawatan pasien senantiasa
mengembangkan penelitian terkait pencegahan dan penanganan dekubitus.
Penelitian yang dilakukan Suriadi di ruangan ICU di salah satu rumah
sakit di Pontianak menunjukan bahwa imobilitas merupakan faktor yang
signifikan untuk perkembangan dekubitus dengan hasil menunjukan dalam
waktu 24–72 jam dekubitus sudah dapat terjadi. Tingkat ketergantungan
mobilitas pasien merupakan faktor yang langsung mempengaruhi risiko
terjadinya dekubitus.18 Penelitian lain menyebutkan pada perempuan lansia
dari 79% terdapat 53% dengan usia 81-89 tahun diberikan posisi miring 300,
setelah dilakukan intervensi tersebut terjadi kejadian dekubitus pada
kelompok eksperiment 3% dan kelompok kontrol 11%.18
Pengaturan posisi merupakan salah satu bentuk intervensi keperawatan
yang sangat tidak asing dan ditetapkan dalam rangka pencegahan dekubitus
5

khususnya pada pasien-pasien dengan imobilisasi. Intervensi berupa


mobilisasi tiap dua jam sudah disarankan di berbagai rumah sakit guna
meningkatkan kualitas hidup pasien kritis terpasang ventilator. Sebuah studi
menunjukan bahwa dalam jangka waktu 8 jam kurang dari 3% pasien yang
sakit parah dirubah posisinya sesuai dengan standar perubahan posisi tiap 2
jam.5 Di Inggris perawatan di ICU rata- rata perubahan posisi dilakukan setiap
4.85 jam bukan pada 2 jam sekali.19 Ayello melakukan perubahan posisi
miring kanan miring kiri setiap 2, 3, dan 4 jam selama 12 jam di waktu
malam hari selama 3 hari karena rata-rata pasien terpasang ventilator selama
2-3 hari.20
Oleh karena itu American Association of Critical Care Nurses (AACN)
memperkenalkan intervensi mobilisasi progresif yang terdiri dari 5 level:
Head of Bed (HBO), latihan Range of Motion (ROM) pasif dan aktif, terapi
lanjutan rotasi lateral, posisi tengkurap, pergerakan melawan gravitasi, posisi
duduk, posisi kaki menggantung, berdiri dan berjalan. Continus Lateral
Rotation Therapy (CLRT) dan Head Of Bed (HOB), yaitu memposisikan
pasien setengah duduk 300 dan miring kanan dan kiri 30 derajat.5,21
Mobilisasi progresif yang diberikan kepada pasien diharapkan dapat
mengurangi resiko dekubitus dan menimbulkan respon hemodinamik yang
baik. Pada Posisi duduk tegak kinerja paru-paru baik dalam proses distribusi
ventilasi serta perfusi akan membaik selama diberikan mobilisasi. Proses
sirkulasi darah juga dipengaruhi oleh posisi tubuh dan perubahan gravitasi
6

tubuh. Sehingga perfusi, difusi, distribusi aliran darah dan oksigen dapat
mengalir ke seluruh tubuh.5
Ketidakstabilan hemodinamik dapat menjadi hambatan dilakukannya
mobilisasi. Pada 103 pasien gagal nafas yang terpasang ventilator dilakukan
mobilisasi dini duduk di tempat tidur, duduk di kursi hingga bergerak dan
berpindah tempat.Efek samping yang ditimbulkan adanya perubahan saturasi
oksigen kurang dari 80%.5 Penelitian Ozyurek et all telah dilakukan 37 sesi
mobilisasi terhadap 31 pasien kritis yang mengalami obesitas menunjukan
peningkatan SpO2 dari 98% menjadi 99% setelah dilakukan mobilisasi dan
Respirasi 23x/mnt menjadi 25x/menit.22
Penelitian lain dilakukan di Australia untuk mengevaluasi efek
hemodinamik dan metabolisme yang di lakukan mobilisasi untuk 32 orang
pasien yang menerima ventilasi mekanis dengan mode SIMV. Setelah
beberapa kali diberikan latihan mobilisasi berupa Head of bed ditemukan
peningkatan yang signifikan pada denyut jantung, sistolik, curah jantung,
konsumsi oksigen, produk karbondioksida dan PaCO2.23
Penelitian mobilisasi progresif bermanfaat untuk mencegah resiko
dekubitus dengan posisi CLRT setiap 2 jam. Hasil tersebut sesuai dengan
penelitian yang menyatakan CLRT berpengaruh untuk mencegah luka
dekubitus dengan hasil uji satatistik p=0,039.26 Sebanding dengan hasil
penelitian lainnya ada pengaruh alih baring terhadap kejadian dekubitus p=
0,011.24 Beberapa standar operasional prosedur (SOP) frekuensi CLRT dalam
upaya pencegaan dekubitus yaitu setiap 2-3 jam pada ranjang standar dan
7

reposisi 4-6 jam pada ranjang visco-elastic, kedua frekuensi tersebut secara
dapat mengurangi jumlah kejadian dekubitus dan mengurangi kejadian resiko
dekubitus.96
Pasien yang imobilisasi dan yang bedrest memiliki resiko terbesar
terhadap kerusakan kulit, karena secara normal kulit tidak dapat mentolelir
tekanan yang lama. Di samping itu, belum ada penelitian tentang pengaruh
mobilisasi progresif terhadap resiko dekubitus. Berdasarkan latar belakang di
atas penulis mencoba melihat pengaruh mobilisasi progresive level I terhadap
resiko dekubitus dan perubahan saturasi oksigen pada pasien kritis terpasang
ventilator Di Ruang ICU RSUD Dr. Moewardi Surakarta dikarenakan di ICU
Moewardi baru ada SOP tentang posisi sim dan semifowler, sedangkan
peneliti akan menggunakan protap mobilisasi progresif.

2.3 Bed Rest dan Immobilisasi


a. Pengertian
Immobilisasi atau bedrest adalah intervensi untuk menahan klien di
tempat tidur untuk alasan terapeutik. Klien yang memiliki keadaan yang
bervariasi diletakkan dalam keadaan bedrest. Durasinya bergantung pada
penyakit atau cedera dan keadaan kesehatan klien sebelumnya.
NANDA international mendefinisikan gangguan mobilitas fisik
sebagai keterbatasan pada kemandirian, gerakan fisik pada tubuh, satu atau
lebih ekstremitas. Gangguan tingkat mobilisasi fisik klien sering disebabkan
oleh gerakan dalam bentuk tirah baring, retriksi fisik karena peralatan
eksternal (misalnya gips atau traksi rangka), retraksi gerakan volunter,
atau gangguan fungsi motorik dan rangka.
Pada pasien kritis diperlukan istirahat total untuk mengurangi
pengguanaan oksigen, pengukuran oksigen, penguragan trauma, agar
energi digunakan untuk penyembuhan. Akan tetapi keadaan ini
menyebabkan perubahan psikologis, fisiologis dan psikososial. Hal ini
terutama terjadi bila imobilisasi mutlak dengan posisi terlentang,
trendelenburg, lateral, atau posisi fowler.
14
b. Dampak
Individu dengan berat dan tinggi badan rata- rata dan tanpa
penyakit kronis yang dalam keadaan tirah baring, akan kehilangan kekuatan
otot sebanyak 3% setiap hari. Immobilisasi juga dihubungkan dengan
perubahan kardiovaskuler, rangka dan organ lainnya.
Keparahan perubahan sistem bergantung pada kesehatan
keseluruhan, derajat lama mobilisasi, dan usia. Misalnya lansia dengan
penyakit kronis mengembangkan dampak mobilisasi yang lebih cepat
dari pada klien yang lebih muda dengan masalah imobilisasi yang sama.
Diantara dampak yang terjadi terhadap imobilisasi adalah:
1) Perubahan Metabolisme
Perubahan mobilisasi akan mempengaruhi metabolisme endokrin,
resorpsi kalsium dan fungsi gastrointestinal. Sistem endokrin
menghasilkan hormon, mempertahankan dan meregulasi fungsi vital
seperti: 1) berespon pada stress dan cedera, 2) pertumbuhan dan
perkembangan, 3) reproduksi, 4) mempertahankan lingkungan internal,
serta 5) produksi pembentukan dan penyimpanan energi.
Imobilisasi mengganggu fungsi metabolisme normal seperti:
menurunkan laju metabolisme, mengganggu metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein, dan menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti
nafsu makan dan peristaltik berkurang. Namun demikian pada proses
infeksi klien yang imobilisasi mengalami peningkatan BMR karena
demam dan penyembuhan luka membutuhkan oksigen.
15
2) Perubahan Pernafasan
Kurangnya pergerakan dan latihan akan menyebabkan klien
memiliki komplikasi pernafasan. Komplikasi pernafasan yang paling
umum adalah atelektasis (kolapsnya alveoli) dan pneumonia hipostatik
(inflamasi pada paru akibat statis atau bertumpuknya sekret).
Menurunnya oksigenasi dan penyembuhan yang alam dapat
meningkatkan ketidaknyamanan klien. Pada atelektasis, sekresi yang
terhambat pada bronkiolus atau bronkus dan jaringan paru distal
(alveoli) kolaps karena udara yang masuk diabsorpsi dapat
menyebabkan hipoventilasi. Sisi yang tersumbat mengurangi
keparahan atelektasis. Pada beberapa keadaan berkembangnya
komplikasi ini. kemampuan batuk klien secara produktif menurun.
Selanjutnya distribusi mukus pada bronkus meningkat, terutama saat
klien dalam posisi supine, telungkup atau lateral. Mukus berkumpul
pada bagian jalan nafas yang bergantung. Pneumonia hipostatik sering
menyebabkan mukus sebagai tempat yang baik untuk bertumbuhnya
bakteri.
3) Perubahan Kardiovaskuler
Imobilisasi juga mempengaruhi sistem kardiovaskuler. Tiga
perubahan utama adalah hipotensi ortostatik, meningkatnya beban kerja
jantung dan pembentukan trombus. Hipotensi ortostatik adalah
peningkatan denyut jantung lebih dari 15% atau tekanan darah sistolik
menurun 15 mmHg atau lebih saaat klien berubah posisi dari posisi
16
terlentang ke posisi berdiri. Pada kilen yang imobilisasi, menurunnya
volume cairan yang bersirkulasi, berkumpulnya darah pada ekstremitas
bawah, menurunnya respon otonomik akan terjadi. Faktor ini akan
menurunkan aliran balik vena, disertai meningkatnya curah jantung,
yang direfleksikan dengan menurunnya tekanan darah. Hal ini terutama
terjadi pada klien lansia. Karena beban kerja jantung meningkat,
konsumsi oksigen juga meningkat. Oleh karena itu, jantung akan
bekerja lebih keras dan kurang efisiensi jantung selanjutnya akan
menurun sehingga beban kerja jantung meningkat.
4) Perubahan Muskuloskeletal
Dampak imobilisasi pada sistem musluloskeletal adalah gangguan
permanen atau temporer atau ketidakmampuan yang permanen.
Pembatasan mobilisasi terkadang menyebabkan kehilangan daya
tahan, kekuatan dan massa otot, serta menurunnya stabilitas dan
keseimbangan. Dampak pembatasan mobilisasi adalah
gangguanmetabolisme kalsium dan gangguan sendi. Karena pemecahan
protein, klien kehilangan massa tubuh yang tidak berlemak. Massa
otot berkurang tidak stabil untuk mempertahankan aktivitas tanpa
meningkatnya kelemahan. Jika mobilisasi terus terjadi dan klien
tidak melakukan latihan, kehilangan massa otot akan terus terjadi.
Kelemahan otot juga terjadi karena imobilisasi, dan imobilisasi lama
sering menyebabkan atrofi angguran, dimana atrofi angguran (disuse
atrophy) adalah respon yang dapat diobservasi terhadap penyakit dan
menurunnya aktifitas kehidupan sehari-hari. Dan imobilisasi kehilangan
17
daya tahan, menurunnya massa dan kekuatan otot, dan instabilitas
sendi menyebabkan klien beresiko mengalami cedera. Hal ini dapat
terjadi dalam beberapa hari bedrest, menunjukkan bahwa pasien kritis
terpasang ventilator dapat kehilangan hingga kelemahan otot perifer 25
% dalam waktu 4 hari dan kehilangan 18 % berat badannya. Hilangnya
massa otot-otot rangka sangat tinggi dalam 2-3 minggu pertama
imobilisasi selama perawatan intensif.
5) Perubahan Eliminasi Urine
Imobillisasi dapat mengubah eliminasi urine. Pada posisi tegak,
klien dapat mengeluarkan urine dari pelvis renal dan menuju ureter
dan kandung kemih karena gaya gravitasi. Saat klien dalam posisi
berbaring terlentang dan datar, ginjal dan ureter bergerak maju ke sisi
yang lebih datar. Urine yang dibentuk oleh ginjal harus memasuki
kandung kemih yang tidak dibantu oleh gaya gravitasi. Karena
kontraksi peristaltik ureter tidak mampu menimbulkan gaya
garvitasi, pelvis ginjal terisis sebelum urine memasuki ureter.
Kejadian ini disebut stastis urine dan meningkatkan resiko infeksi
saluran kemih dan batu ginjal. Batu ginjal adalah batu kalsium yang
terjebak dalam pelvis ginjal atau melewati ureter. Klien imobilisasai
beresiko tinggi terkena batu ginjal, karena mereka sering mengalami
hiperklasemia. Apabila periode imobilisasi berlanjut, asupan cairan
sering berkurang. Ketika digabungkan dengan masalah lain seperti
demam, resiko dehidrasi meningkat. Akibatnya, keseluruhan urine
berkurang pada atau antara hari ke- 5 atau ke-6 setelah imobilisasi,
18
dan urine menjadi pekat. Urine yang pekat ini meningkatkan resiko
kontaminasi traktus urinarius oleh bakteria escherchia coli. Penyebab
infeksi saluran kemih lainnya pada klien yang imobilsasi adalah
penggunaan kateter urine indwelling.
6) Perubahan Integumen
Perubahan metabolisme yang menyertai imobilisasi dapat
meningkatkan efek tekanan yang berbahaya pada kulit klien yang
imobilisasi. Hal ini membuat imobilisasi menjadi masalah resiko yang
besar terhadap luka tekan. Metabolisme jaringan bergantung pada
suplai oksigen dan nutrisi serta eliminasi sampah metabolisme dari
darah. Tekanan mempengaruhi metabolisme seluler dengan
menurunkan atau mengeliminasi sirkulasi jaringan secara keseluruhan.
7) Perubahan Perkembangan
Perubahan perkembangan merupakan dampak fisiologis yang muncul
akibat dari imobilisasi. Perubahan perkembangan cenderung
dihubungkan dengan imobilisasi pada anak yang sangat muda dan pada
lansia. Anak yang sangat muda atau lansia yang sehat namun
diimobilisasi memiliki sedikit perubahan perkembangan. Namun,
terdapatnya beberapa pengecualian. Misalnya ibu yang mengalami
komplikasi saat kelahiran harus tirah baring dan mengakibatkan tidak
mampu berinteraksi dengan bayi baru lahir seperti yang dia harapkan.
19
2.4 Mobilisasi Progresif
Mobilisasi progresif adalah mobilisasi yang dilakukan secara bertahap
pada pasien-pasien dengan kondisi kritis yang dirawat di ICU. Protokol
mobilisasi berdasarkan Timmerman (2007) dan American Association of
Critical Care Nurses (2009) terdiri dari lima tahapan. Mobilisasi progresif
dimulai dengan safety screening untuk memastikan kondisi pasien dan
menentukan level dari mobilisasi yang dapat dilaksanakan. Prosedur safety
screening dilakukan setiap kali sebelum pelaksanaan mobilisasi.
Pengkajian mobilisasi progresif dapat dilakukan setelah 8 jam pasien
masuk ke ICU dan dilakukan pengkajian ulang setelah 24 jam.
Direkomendasikan untuk melakukan pengkajian mobilisasi per shift.
Adapun protokol mobilisasi yang akan dilaksanakan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut: gambar

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan mobilisasi progresif


adalah sebagai berikut:
Tidak ditemukan iskemik miokard dalam 24 jam terakhir.
Tidak ditemukan disritmia yang membutuhkan pemberian agen
antidisritmia dalam 24 jam terakhir.
FiO2 < 0.6; PEEP < 10 cmH2O
Tidak ada peningkatan dosis pemberian vasopressor dalam 2 jam
terakhir.

Anda mungkin juga menyukai