Anda di halaman 1dari 6

Hindu di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Artikel ini adalah bagian dari seri

Agama Hindu

Topik
Sejarah • Mitologi • Kosmologi • Dewa-Dewi

Keyakinan
Brahman • Atman • Karmaphala • Samsara • Moksa •
Ahimsa • Purushartha • Maya

Filsafat
Samkhya • Yoga • Mimamsa • Nyaya • Waisesika • Wedanta
(Dwaita • Adwaita • Wisistadwaita)

Pustaka
Weda (Samhita • Brāhmana •
Aranyaka • Upanishad) • Wedangga • Purana • Itihasa •
Bhagawadgita • Manusmerti • Arthasastra • Yogasutra •
Tantra

Ritual
Puja • Meditasi • Yoga • Bhajan • Upacara • Mantra • Murti

Perayaan
Dipawali • Nawaratri • Siwaratri • Holi • Janmashtami •
Durgapuja • Nyepi

Portal agama Hindu


Agama Hindu di Indonesia dipraktikkan oleh 3% dari total populasi Indonesia, dengan
83,46% di Bali dan 3,78% di Sulawesi Tengah menurut Sensus Penduduk Indonesia 2010.[1]
Setiap warga negara Indonesia wajib menjadi anggota terdaftar dari salah satu komunitas
agama yang diakui pemerintah Indonesia (Islam, Protestan, Katolik, Buddha, Hindu atau
Konghucu).

Daftar isi
 1 Sejarah
 2 Kedatangan agama Hindu dan Buddha di Nusantara
 3 Kepercayaan dan praktik umum
 4 Hindu Nusantara
o 4.1 Agama Hindu di Bali
o 4.2 Agama Hindu di Jawa
o 4.3 Hindu di tempat lain di Nusantara
 4.3.1 Di Kalimantan
 4.3.2 Di Sulawesi dan Maluku
 4.3.3 Di Sumatra
 4.3.4 Di Sumatra dan Jakarta
 4.3.5 Di NTB
 5 Hari Raya agama Hindu di Indonesia
 6 Perkembangan dan pengakuan
o 6.1 Konteks politik
 6.1.1 Pengakuan resmi
 6.1.2 Era Orde Baru
o 6.2 Konteks sosial
o 6.3 Konteks ekonomi
 7 Statistika
o 7.1 Sensus Penduduk Indonesia 2000
o 7.2 Sensus Penduduk Indonesia 2010
o 7.3 Survei DBH 2012
 8 Referensi
 9 Pranala luar

Sejarah
Penduduk asli Kepulauan Nusantara mempraktikkan agama asli animisme dan dinamisme,
keyakinan yang umum bagi orang-orang Austronesia. Pribumi Nusantara menghormati dan
memuja roh leluhur; mereka juga meyakini bahwa sukma dapat menghuni tempat-tempat
tertentu seperti pohon-pohon besar, batu, hutan, pegunungan, atau tempat suci. Entitas tak
terlihat yang memiliki kekuatan supernatural ini diidentifikasi oleh suku Jawa tradisional dan
suku Bali sebagai "hyang" serta oleh suku Dayak sebagai "sangiang" yang dapat berarti
"ilahi" atau "leluhur". Dalam bahasa Indonesia modern, "hyang" cenderung dikaitkan dengan
Tuhan, terlebih setelah era Orde Baru.

Kedatangan agama Hindu dan Buddha di Nusantara


Artikel utama: Sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha

Prambanan, Candi Siwa terbesar abad ke-9 dan candi agama Hindu terbesar di Nusantara.

Pengaruh agama Hindu mencapai Kepulauan Nusantara sejak abad pertama dan diketahui
berasal dari India. Ada beberapa teori tentang bagaimana Hindu mencapai Nusantara. Teori
(Waishya) adalah bahwa perkawinan terjadi antara pedagang Hindustan (India) dan penduduk
asli Nusantara. Teori lain (Kshatriya) berpendapat bahwa para prajurit yang kalah perang dari
Hindustan (India) menemukan tempat pelipur lara di Nusantara. Ketiga, teori para Brahmana
mengambil sudut pandang yang lebih tradisional, bahwa misionaris menyebarkan agama
Hindu ke pulau-pulau di Nusantara. Terakhir, teori oleh nasionalis (Bhumiputra) bahwa para
pribumi Nusantara memilih sendiri kepercayaan tersebut setelah perjalanan ke Hindustan.[2]
Pada abad ke-4, Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, Tarumanagara di Jawa Barat, dan
Kalingga di Jawa Tengah, termasuk di antara Kerajaan Hindu awal yang didirikan di wilayah
Nusantara. Beberapa kerajaan Hindu kuno Nusantara yang menonjol adalah Mataram, yang
terkenal karena membangun Candi Prambanan yang megah, diikuti oleh Kerajaan Kediri dan
Singhasari. Sejak itu Agama Hindu bersama dengan Buddhisme menyebar di seluruh
nusantara dan mencapai puncak pengaruhnya pada abad ke-14. Kerajaan yang terakhir dan
terbesar di antara kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha Jawa, Majapahit, menyebarkan
pengaruhnya di seluruh kepulauan Nusantara.

Kepercayaan dan praktik umum

Acintya adalah Dewa Tertinggi dalam agama Hindu Bali.

Praktisi Agama Hindu Dharma di Indonesia sama-sama berbagi banyak keyakinan Hindu
yang umum seperti:

 Sebuah keyakinan dalam satu keberadaan Maha tinggi yang disebut "Ida Sang Hyang
Widhi Wasa", "Sang Hyang Tunggal", atau "Sang Hyang Acintya". Tuhan Yang
Maha Esa dalam budaya suku Toraja dari Sulawesi Tengah dikenal sebagai "Puang
Matua" di keyakinan Aluk To Dolo.
 Sebuah keyakinan bahwa semua dewa adalah manifestasi dari keberadaan tertinggi
tersebut. Kepercayaan ini sama dengan keyakinan Smartha Sampradaya, yang juga
menyatakan bahwa berbagai bentuk Dewa seperti Brahma, Wisnu, Siwa adalah aspek-
aspek yang berbeda dari keberadaan Maha tinggi yang sama tersebut. Dewa Siwa juga
dipuja dalam bentuk lain seperti halnya "Bhatara Guru" dan "Maharaja Dewa"
(Mahadewa) diidentifikasikan erat dengan Matahari dalam bentuk lokal Hindu atau
Kebatinan, dan bahkan dalam dongeng jin Muslim.[3]
 Sebuah keyakinan tentang Trimurti, yang terdiri dari:
o Brahma, sebagai sang pencipta
o Vishnu atau Wisnu, sebagai sang pemelihara
o Çiwa atau Siwa, sebagai sang pelebur (kadang pula perusak/penghancur)
 Sebuah keyakinan tentang semua Dewa-Dewi Hindu lainnya (Hyang, Dewata dan
Batara-Batari)
Kitab suci yang ditemukan di Agama Hindu Dharma adalah Weda. Kitab ini adalah dasar
agama Hindu Bali. Sumber-sumber informasi keagamaan lainnya juga termasuk Purana dan
Itihasa (terutama naskah Ramayana dan Mahabharata).

Salah satu perhatian yang utama tentang kepantasan dalam agama Hindu adalah konsep
kemurnian ritual. Corak penting lain yang membedakan, yang secara tradisional membantu
menjaga kemurnian ritual, adalah pembagian masyarakat ke dalam kelompok-kelompok
pekerjaan tradisional, atau "varna" agama Hindu: Brahmana (pendeta), Kshatriya (penguasa-
prajurit, "satriya" atau "Deva"[4] dalam bahasa Indonesia), Vaishya (pedagang-petani,
"waisya" dalam bahasa Indonesia), dan Shudra (jelata-buruh, "sudra" dalam bahasa
Indonesia). Seperti Islam dan Buddha, agama Hindu di Nusantara juga telah sangat
dimodifikasi karena menyesuaikan dengan masyarakat Nusantara.

Sistem kasta, meskipun hadir dalam bentuk, tidak pernah secara kaku diterapkan di
Nusantara. Epos Mahabharata (Pertempuran Besar dari Keturunan Bharata) dan Ramayana
(Perjalanan Rama), menjadi tradisi abadi di antara umat Hindu di Nusantara, dinyatakan
dalam kesenian wayang kulit dan seni tari.

Pemerintah Indonesia telah mengakui Hindu sebagai salah satu dari enam agama monoteistik
resmi, bersama dengan Islam, Protestan, Katolik, Buddha, Hindu atau Konghucu).[5] Namun
pemerintah Indonesia tidak mengakui sistem kepercayaan suku adat sebagai agama resmi.
Akibatnya, pengikut berbagai agama animisme asli seperti Dayak Kaharingan telah
mengidentifikasikan diri mereka sebagai Hindu untuk menghindari tekanan untuk masuk
Islam atau Kristen. Beberapa keyakinan suku adat asli seperti Sunda Wiwitan dari suku
Sunda, Aluk To Dolo suku Toraja, dan Parmalim dari suku Batak - meskipun berbeda dari
agama Hindu Bali yang dipengaruhi Hindustan - mungkin mencari afiliasi dengan agama
Hindu untuk bertahan hidup, sementara di saat yang sama juga mencoba melestarikan
perbedaan mereka terhadap aliran utama Hindu Indonesia yan didominasi oleh suku Bali.
Selain itu, kaum nasionalis Indonesia juga telah sangat mengangkat prestasi Kerajaan
Majapahit; sebuah Kerajaan Hindu yang telah membantu menarik orang-orang Indonesia
modern kepada agama Hindu. Faktor-faktor ini telah menyebabkan kebangkitan Hindu yang
perlahan di luar Bali.

Hindu Nusantara
Agama Hindu di Bali

Artikel utama: Agama Hindu Dharma

Persembahan di Pura Hindu Bali.

Agama Hindu Dharma di Bali adalah agama yang sangat terjalin dengan seni dan ritual, dan
lebih tidak ketat diatur oleh kitab suci, hukum, dan keyakinan. Agama Hindu Bali tidak
memiliki penekanan tradisional agama Hindu pada siklus kelahiran kembali dan reinkarnasi,
melainkan berkaitan dengan banyak sekali "hyang", sukma leluhur. Seperti halnya kebatinan,
dewa-dewi ini dianggap mampu melahirkan kebaikan atau merugikan. Masyarakat Hindu di
Bali sangat menekankan ritual-ritual perdamaian yang dramatis dan estetis terhadap para
"hyang". Ritual-ritual ini dilakukan di situs-situs candi dan pura yang tersebar di seluruh desa
dan di pedesaan.
Tempat bersembahyang atau kuil di agama Hindu Bali disebut Pura, dan tidak seperti mandir
gaya Hindustan yang menjulang tinggi dengan ruang interior, kuil Bali dirancang sebagai
tempat bersembahyang di udara terbuka dalam dinding tertutup, dihubungkan dengan
serangkaian gerbang yang dihiasi secara rumit untuk mencapai bagian ruang terbukanya.
Masing-masing kuil ini memiliki keanggotaan yang kurang lebih tetap; dimana setiap orang
Bali adalah bagian dari sebuah kuil berdasarkan keturunan, tempat tinggal, atau wahyu
mistis. Beberapa kuil juga terdapat dalam rumah keluarga (juga disebut "banjar" di Bali),
yang lain terletak di sawah, dan yang lain terletak di lokasi geografis yang terkenal (tebing
pantai, gunung, dsb).

Ritualisasi tindakan mengendalikan diri (atau ketiadaan) adalah corak penting dari ekspresi
keagamaan di kalangan masyarakat Hindu Bali, yang karena alasan ini telah menjadi terkenal
karena perilaku anggun dan sopan mereka. Misalnya salah satu upacara penting di sebuah
kuil Hindu di desa memiliki penampilan spesial sendratari (seni drama-tari), pertempuran
antara mitos karakter Rangda sang penyihir (mewakili adharma, seperti ketiadaan
keteraturan) dan Barong sang pelindung (umumnya seperti singa, mewakili dharma), di mana
para pemain mengalami kerasukan dan mencoba menusuk diri dengan senjata tajam
(umumnya keris). Drama-tari ini umumnya tampak selesai tanpa akhir, tidak ada pihak yang
menang, karena tujuan utamanya adalah untuk mengembalikan keseimbangan.

Ritual siklus kehidupan juga merupakan alasan penting bagi ekspresi keagamaan dan
tampilan artistik di warga Hindu Bali. Upacara saat pubertas, pernikahan, dan, terutama
kremasi pada saat kematian memberikan kesempatan bagi warga Hindu Bali untuk
mengkomunikasikan ide-ide mereka tentang masyarakat, status, dan alam baka. (Industri
pariwisata tidak hanya telah mendukung adanya upacara kremasi yang spektakuler di
kalangan warga Bali yang sederhana, tetapi juga telah menciptakan permintaan yang lebih
besar untuk upacara tersebut.)

Seorang pendeta Hindu tidak berafiliasi dengan kuil Hindu manapun, tetapi bertindak sebagai
pemimpin spiritual dan penasehat setiap keluarga di berbagai desa yang tersebar di pulau
Bali. Pendeta Hindu ini dikonsultasi disaat upacara yang memerlukan air suci dilakukan.
Pada kesempatan lain, juru sembuh atau pengobat tradisional dapat disewa.

Agama Hindu Bali juga meliputi keyakinan agama Tabuh Rah, sabung ayam bersifat
keagamaan di mana ayam jago digunakan dalam adat keagamaan dengan memungkinkannya
bertarung melawan ayam jago lain dalam sebuah upacara sabung ayam keagamaan Hindu
Bali, sebuah bentuk persembahan hewan. Pertumpahan darah dalam Tabuh Rah diperlukan
sebagai pemurnian untuk menenangkan roh-roh jahat bhuta dan kala, dan dan untuk
memohon hasil panen yang baik. Ritual sabung ayam ini biasanya berlangsung di luar kuil
Hindu dan juga mengikuti ritual yang kuno dan kompleks sebagaimana tercantum dalam
naskah lontar Hindu suci.[6]

Agama Hindu di Jawa

Artikel utama: Hindu Jawa

Pura Luhur Poten, Kuil Hindu Jawa suku Tengger di kaki Gunung Bromo, Kaldera Tengger,
Jawa Timur.
Baik Pulau Jawa dan Sumatra telah tunduk pada pengaruh budaya yang besar dari sub benua
India selama milenium pertama dan kedua era Masehi. Bukti-bukti paling awal dari pengaruh
Hindu di Jawa dapat ditemukan dalam prasasti abad ke-4 Tarumanagara yang tersebar di
seluruh Jakarta modern dan Bogor. Pada abad ke-6 dan abad ke-7 banyak kerajaan maritim
muncul di Sumatra dan Jawa yang menguasai perairan di Selat Malaka dan berkembang
dengan meningkatnya perdagangan laut antara Tiongkok dan Hindustan dan selewatnya.
Selama periode ini, cendekiawan-cendekiawan dari Hindustan dan Tiongkok mengunjungi
kerajaan-kerajaan maritim tersebut untuk menerjemahkan teks-teks sastra dan agama.

Dari abad ke-4 sampai abad ke-15 kerajaan Hindu bangkit dan jatuh di Jawa: Tarumanagara,
Kalingga, Medang, Kerajaan Kediri, Kerajaan Sunda, Singhasari dan Majapahit. Era ini
dikenal sebagai Era Klasik Jawa, di mana sastra, seni dan arsitektur Hindu-Buddha
berkembang dan menjadi masuk ke dalam budaya lokal Nusantara di bawah perlindungan
keraton Hindu Jawa. Selama periode ini, banyak kuil Hindu Jawa dibangun, termasuk Candi
Prambanan abad ke-9 di dekat Kota Yogyakarta, yang telah ditetapkan sebagai Situs Warisan
Dunia.

Di antara kerajaan-kerajaan Hindu Jawa, yang paling dianggap penting adalah Majapahit,
yang merupakan kerajaan terbesar dan kerajaan Hindu terakhir yang signifikan dalam sejarah
Indonesia. Majapahit berpusat di Jawa Timur, memerintah sebagian besar dari apa yang
sekarang merupakan Indonesia modern dari sana. Sisa-sisa kerajaan Majapahit bergeser ke
Bali pada abad ke-16 setelah dihancurkan oleh negara-negara Islam di wilayah pesisir
Jawa.[7]

Hindu Jawa telah memiliki dampak yang signifikan dan meninggalkan jejak yang jelas dalam
seni dan budaya suku Jawa. Pertunjukan wayang serta tarian Wayang Wong dan tarian klasik
Jawa lainnya yang berasal dari epos Hindu Ramayana dan Mahabharata. Meskipun
mayoritas orang Jawa sekarang mengidentifikasikan diri sebagai Muslim, bentuk seni Hindu
Jawa tersebut masih bertahan. Hindu Jawa telah bertahan dalam berbagai tingkat dan bentuk
di Jawa; dalam beberapa tahun terakhir, konversi ke agama Hindu telah meningkat, terutama
di daerah yang mengelilingi sebuah situs besar agama Hindu Jawa, seperti wilayah Klaten di
dekat Candi Prambanan. Kelompok etnis suku adat tertentu, seperti suku Tengger dan suku
Osing, juga terkait dengan tradisi keagamaan Hindu Jawa.

Anda mungkin juga menyukai