Anda di halaman 1dari 6

Wetu Telu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Pura Lingsar, Lombok Barat di sekitar tahun 1920

Wetu Telu (bahasa Indonesia:Waktu Tiga) adalah praktik unik sebagian masyarakat suku
Sasak yang mendiami pulau Lombok dalam menjalankan agama Islam yang hanya
menjalankan tiga rukun Islam, yaitu membaca dua kalimah syahadat, salat dan puasa.[1]
Ketiga rukun Islam tersebut, cukup dijalankan oleh kyai selaku pemimpin agama yang
menghubungkan mereka dengan Allah.[1] Mereka juga berkepercayaan tentang adanya roh
suci para nenek moyang dan kekuatan gaib pada benda-benda.[1] Disinyalir bahwa praktik
unik ini terjadi karena para penyebar Islam pada masa lampau yang berusaha mengenalkan
Islam ke masyarakat Sasak secara bertahap.[2] Di pulau Lombok terdapat dua varian Islam
yang dipisahkan secara diametral, yakni antara Islam Wetu Telu dan Islam Waktu Lima.[2]
Islam Wetu Telu dapat dikategorikan sebagai agama tradisional, sementara Islam Waktu
Lima dikategorikan agama samawi.[2] Identifikasi Wetu Telu yang lebih mendekati agama
tradisional ini dan Waktu Lima yang lebih mendekati agama samawi bukanlah merupakan
pemisahan total.[2] Ada muatan-muatan nilai yang dipunyai Waktu Lima yang juga dianut
kalangan Wetu Telu.[3] Penggunaan do‘a-do‘a berbahasa Arab yang diambil dari al-Qur‘an,
para kyai yang menjalankan peran sebagai imam, dan masjid merupakan bagian penting
keprcayaan Wetu Telu yang diambil dari Islam secara umum.[3]

Daftar isi
 1 Istilah
 2 Sejarah
o 2.1 Awal mula
o 2.2 Setelah penjajahan
 3 Lokasi
 4 Pola Ajaran
 5 Acara ritual
o 5.1 Rowah Wulan dan Sampet Jum’at
o 5.2 Maleman Qunut dan Maleman Likuran
o 5.3 Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi
o 5.4 Lebaran Topat
o 5.5 Lebaran Pendek
o 5.6 Selametan Bubur Puteq dan Bubur Abang
o 5.7 Maulud
 6 Aturan perkawinan
 7 Referensi
 8 Pranala luar

Istilah
Wetu Telu sendiri memiliki beberapa makna.[4] Pertama, Wetu Telu berarti tiga cara
reproduksi makhluk hidup.[4] Kedua, Wetu Telu berarti tiga sumber hukum dalam Islam.[4]
Ketiga, Wetu Telu berarti tiga masa perkembangan yang dilewati manusia. Wetu Telu yang
merujuk pada tiga cara reproduksi makhluk hidup, yaitu beranak atau melahirkan, menteluk
atau bertelur, dan mentiuk atau berbiji.[4][4] Wetu Telu yang berkaitan dengan tiga sumber
hukum memiliki kemiripan dengan Islam pada umumnya, yaitu Al-Qurán, Al-Hadits dan
Ijma.[4] Makna ketiga dari Wetu Telu berkaitan dengan tiga tahap yang pasti dilalui oleh
manusia, yaitu lahir, hidup dan mati.[5] Hal ini menjadi dasar bagi orang-orang yang
menganut kepercayaan Wetu Telu dalam melaksanakan berbagai upacara adat.[5] Secara
umum, upacara adat Islam Wetu Telu dapat dibagi menjadi dua, yaitu Gawe Urip dan Gawe
Pati.[5] Gawe Urip merupakan upacara kehidupan, yang mencakup upacara-upacara selama
proses kelahiran dan kehidupan dan Gawe Pati sendiri merupakan upacara kematian.[5]

Sejarah
Istilah Wetu Telu dikenal luas oleh publik melalui buku Dr. J. Van Ball yang ditulis pada
tahun 1940 dengan judul Pesta Alip di Bayan (penerjemah:Koentjaraningrat).[6] Pesta Alip
adalah acara adat yang dilaksanakan delapan tahun sekali yang bertujuan untuk memelihara
keberadaan makam para leluhur Bayan di kompleks makam Masjid kuno Bayan.[5] Wetu Telu
juga sering disebut Sesepen berasal dari kata sesep atau meresap yang berarti pengetahuan
atau ajaran yang diajarkan sampai tuntas.[5] Sesepen sering disebut rahasia karena memang
tidak banyak yang dapat memahaminya secara utuh.[5] Mereka yang siap dan mempunyai
daya pikir yang baik saja yang diajarkan dan diberikan pemahaman lebih awal, sehingga
mereka dapat memberikan pemahaman tuntas selanjutnya kepada generasi mendatang.[5]
Pada masa awal kemunculannya, Islam Wetu Telu lahir di tengah masyarakat tradisional
(Suku Sasak), kemudian berkembang di tengah hiruk pikuk masyarakat global.[5] Pada satu
sisi, globalisasi membentuk paradigma tentang hidup yang lebih modern dan akibatnya
ajaran-ajaran leluhur melalui tradisi mulai luntur.[5] Pandangan tentang ketinggalan jaman
lebih mendominasi ketimbang keyakinan atas majunya kebudayaan karena menghargai apa
yang telah dicapai oleh leluhur di masa lampau yang wajib dilestarikan.[5] Islam Wetu Telu
memiliki filosofi hidup yaitu Pantang Melupakan Leluhur, tetap bertahan di tengah derasnya
arus modernitas tersebut.[5]

Awal mula

Pada abad ke-7, kerajaan Majapahit dari Jawa Timur masuk ke Lombok dan
memperkenalkan Hindhu-Budha.[7] Setelah dinasti Majapahit runtuh, Islam masuk pada abad
ke-13 dari Barat laut melalui raja-raja Muslim Jawa.[7] Orang-orang Makasar pada abad ke-16
tiba di Lombok Timur dan mendakwahkan Islam Sunni.[7] Mereka berhasil merubah hampir
seluruh orang Sasak untuk masuk dalam Islam, meski kebanyakan mereka masih
mencampurkan Islam dengan kepercayaan lokal yang non-Islami.[7] Kerajaan Bali menduduki
Lombok Barat sekitar abad ke-17 dan pada tahun 1740 berhasil mengalahkan kerajaan
Makasar.[7] Pemerintahan Balimemperlihatkan kearifan dan toleransi yang besar terhadap
orang Sasak dengan membiarkan mereka mengikuti agama mereka sendiri.[7] Tuan Guru,
merasa tertekan dan bergabung bersama-sama untuk memimpin banyak pemberontakan kecil
melawan Bali.[7] Kendati tidak berhasil. Kekalahan ini mendorong bangsawan Sasak meminta
campur tangan militer Belanda untuk masuk ke Lombok dalam rangka memerangi Kerajaan
Bali.[7] Ketika Belanda berhasil menaklukkan dan mengusir Kerajaan Bali dari Lombok, alih-
alih mengembalikan kembali kekuasaan bangsawan Sasak terhadap Lombok, mereka justru
menjadi penjajah baru terhadap Sasak.[7] Para pemimpin Islam, Tuan Guru, yang sebelum
kedatangan Belanda telah melakukan dakwah untuk mensyiarkan ajaran-ajaran Islam
ortodoks di kalangan Wetu Telu.[7] Akhirnya menjadikan Islam sebagai dasar perjuangan
ideologis untuk melawan penjajah Belanda yang dianggap kafir.[7] Sepanjang pemerintahan
Kolonial Belanda, Tuan Guru mengalihkan gerakan dakwah mereka menjadi pemberontakan-
pemberontakan lokal yang bernuansa ideologis Islam untuk mengalahkan Belanda.[7] Selama
era kolonialisasi Belanda, gerakan dakwah pimpinan Tuan Guru makin meningkatkan
polarisasi antara Wetu Telu dan Waktu Lima.[7] Jika kelompok pertama memberikan loyalitas
mereka kepada para bangsawan Sasak sebagai pemimpin tradisional dan terus memuja adat
lokal, kelompok kedua mengikuti Tuan Guru sebagai pemimpin keagamaan kharismatik
mereka.[7]

Setelah penjajahan

Lombok merdeka pada tahun 1946 sebagai bagian dari Indonesia.[8] Stelah itu, pada tahun
1959 Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid yang juga pemimpin nasionalis mendirikan
pesantrennya, Nahdatul Wathan, yang sekarang merupakan salah satu pesantren tertua di
Lombok.[8] Kharisma dan status Tuan Guru makin berkembang seiring meningkatnya jumlah
santri yang mulai mengikuti pengajian.[8] Demikianlah alumni pesantren menjadi unsur
penting dalam menyebarkan dan menyiarkan ajaran ortodoks Tuan Guru ke daerah-daerah
Lombok lainnya.[8] Komunitas etnis Sasak pemeluk agama Islam adalah Islam Wetu Telu.[8]
Pemeluk Islam Wetu Telu mayoritas tinggal di Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok
Utara.[8] Pemeluk Islam Wetu Telu dalam kehidupan sehari-hari masih ada yang tinggal di
rumah-rumah tradisonal Lombok.[8] Meskipun sekilas terlihat bentuknya sama, tapi rumah-
rumah tradisional tersebut memiliki beberapa perbedaan yang kemungkinan ada kaitannya
dengan agama yang dianut oleh masing-masing warga.[8] Umumnya, rumah adat yang dihuni
Sasak Islam lebih kompleks dari segi bentuk dan bervariasi strukturnya serta diperkirakan
memiliki fungsi yang lebih beragam.[8] Secara umum, masyarakat Sasak, khususnya yang
beragama Islam sangat memperhatikan waktu, hari, tanggal, dan bulan untuk mengawali
pembangunan rumah maupun segala kebutuhannya.[8] Dalam penentuan tersebut, mereka
menggunakan papan warige yang bersumber dari primbon Tapel Adam dan Tajul Muluq
sebagai pedomannya.[8]

Lokasi
Lokasi yang terkenal dengan praktik Wetu Telu di Lombok adalah daerah Bayan, yang
terletak di Kabupaten Lombok Utara.[2] Desa Bayan terletak di bagian utara Pulau Lombok
yang berada di wilayah Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara.[2] Desa yang bercurah
hujan 1.200-1.500 mm dengan suhu rata-rata 28 - 300C ini berada di ketinggian 400 - 600
mdl dengan daerah pegunungan.[2] Desa Bayan membawahi 9 (sembilan) dusun yaitu Dusun
Bayan Barat, Dusun Bayan Timur, Dusun Padamangku, Dusun Tereng Genit, Dusun Dasan
Tutul, Dusun Sembulan, Dusun Mendala dan Dusun Lokok Aur.[2] Adapun batasan-batasan
wilayah Desa Bayan adalah sebelah utara berbatasan dengan Desa Anyar, sebelah selatan
berbatasan dengan hutan, sebelah barat berbatasan dengan Desa Senaru, sebelah timur
berbatasan dengan Desa Sambi Elen.[2] Jumlah penduduk Desa Bayan (tahun 2010) adalah
47.705 jiwa dengan 12.470 kepala keluarga.[2]

Pola Ajaran
Secara umum masyarakat pemeluk ajaran Wetuk Telu mengaku sebagai muslim.[9] Tapi tidak
pernah melakukan kewajiban sebagai Muslim.[9] Kewajiban tersebut dibebankan kepada kyai
atau guru.[9] Kondisi ini meyebabkan sebuah pemahaman baru untuk masyarakat Sasak, Desa
Bayan.[9] Kedua pihak ini yang akan menanggung resiko di hari akhir kelak.[9] Oleh sebab itu,
para kyai pemeluk Islam Wetu Telu memiliki status sosial yang tinggi, dihormati, dan
disegani oleh ᴡarga setempat.[9] Segala perintah yang diucapkan harus dituruti dan
dipatuhi.[9] Siapa saja yang mencoba membangkang atau menyinggung hati seorang kyai,
malapetaka akan datang pada dirinya dan semua anggota keluarganya.[9] Mereka akan
diasingkan dalam pertemuan banjar (agama) atau dalam upacara adat.[9] Hukuman atau sanksi
yang telah diberikan ini bisa diampuni setelah diadakan sebuah upacara selamatan.[9] Upacara
ini memiliki tujuan sebagai penebus dosa sekaligus sebagai langkah awal rehabilitasi nama
baik di kehidupan bermasyarakat. Bagi masyarakat yang bukan golongan kyai, tidak
memiliki kewajiban melakukan salat dan puasa.[9] Selain itu, masyarakat biasa tidak ingin
belajar membaca Al-Qur’an, sebab pembaca Al-Qur’an itu disyaratkan harus bersih dan suci,
sementara mereka menganggap dirinya kotor.[9] Orang-orang yang berasal dari golongan
sangat yakin akan masuk surga, asal mau melaksanakan semua perintah kyai, seperti
membuat acara selamatan dan bersedekah kepada para kyai itu sendiri.[9] Dalam kepercayaan
ini, membaca Al-Qur’an hanya dilakukan seᴡaktu-ᴡaktu saja, seperti pada bulan puasa dan
pada saat ada orang yang meninggal.[9] Setelah itu, mushaf Al-Qur’an dan kitab Hadits akan
disimpan di bumbungan atap rumah.[9] Konsep memuliakan Al-Qur’an dan hadits, bukan
mengamalkan isi dalam kehidupan, tapi menyimpan di tempat yang paling tinggi.[9]

Ukuran sucinnya manusia berdasarkan sistem kepercayaan Islam Wetu Telu adalah ketika
seseorang telah menjadi kyai atau guru.[9] Oleh karena itu, para kyai atau guru adalah
manusia yang suci (ma’shûm).[9] Pengangkatan atau penunjukan kyai baru, berdasar pada
wasiat dari kyai sebelumnya, bukan dipilih secara demokratis.[9]

Konsep kepemimpinan dalam kepercayaan ini hampir sama dengan konsep imâmah kaum
Syi’ah. Bagi Syi’ah, imam adalah kepentingan agama.[9] Tanpa adanya imam, dunia ini akan
hancur bahkan dianggap tidak akan pernah ada. Imam juga dipercaya sebagai wakil Tuhan di
bumi.[9] Jika imam tidak ada maka penyembahan kepada Tuhan di bumi juga tidak akan ada,
sebab menyembah Tuhan harus disertai dan belajar dari seorang Imam.[9] Hal ini berkaitan
dengan filsafat kehidupan Islam Wetu Telu bahᴡa tanpa kehadiran seorang imam di bumi,
maka dunia ini akan hancur.[9] Estafeta kepemimpinan Syi’ah bersandar pada teori hak
legitimasi berdasarkan hak suci Tuhan (the devine right of God).[9] Oleh sebab itu,
pengangkatan imam harus berdasarkan pada nash dan wasiat.[9]

Acara ritual
Rowah Wulan dan Sampet Jum’at

Kedua upacara ini dimaksudkan untuk menyambut tibanya bulan puasa (Ramadhan).[3]
Rowah Wulan diselenggarakan pada hari pertama bulan Sya‘ban, sedangkan Sampet Jum’at
dilaksanakan pada jum‘at terakhir bulan Sya‘ban.[3] Tujuannya adalah sebagai upacara
pembersihan diri menyambut bulan puasa saat mereka diminta untuk menahan diri dari
perbuatan yang dilarang guna menjaga kesucian bulan puasa.[3] Upacara-upacara ini
tergolong unik, karena masyarakat Wetu Telu sendiri tidak melakukan puasa.[3] Yang
melaksanakan hanya para Kyai, tidak sama dengan tata cara berpuasa yang dilakukan oleh
penganut Waktu Lima.[3]
Maleman Qunut dan Maleman Likuran

Maleman Qunut adalah acara peringatan untuk menandai sukses menginjak separuh bulan
puasa.[10] Upacara ini diadakan pada malam keenam belas bulan puasa.[10] Apabila
dibandingkan dengan Waktu Lima, pada malam keenam belas dalam rakaat terakhir salat
witir setelah shalat tarawih harus disisipkan do'a qunut.[10] Mungkin ini menjadi dasar
menyelenggarakan Maleman Qunut.[10] Sedangkan Maleman Likuran adalah sebuah upacara
pada malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29 bulan puasa.[10] Perayaan itu memiliki istilah maleman
selikur, maleman telu likur, maleman selae, maleman pitu likur, dan maleman siwak likur.[10]
Pada malam ini masyarakat Wetu Telu melakukan inisiatif menghidangkan makanan secara
bergiliran untuk para kyai setelah melakukan salat tarawih di masjid kuno.[10] Adapun pada
malam ke-22, 24, 26, dan 28 dilaksanakan makan bersama oleh para kyai.[10] Perayaan ini
disebut juga sedekah maleman likuran.[10]

Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi

Maleman Pitrah identik dengan pembayaran zakat fitrah di kalangan pemeluk Waktu
Lima.[10] Dalam tradisi Wetu Telu memiliki beberapa perbedaan dalam tata cara pelaksanaan
dengan Waktu Lima.[10] Dalam tradisi Wetu Telu, maleman Pitrah merupakan saat anggota
masyarakat mengumpulkan fitrah kepada para kyai yang telah melaksanakan puasa.[10] Dalam
ajaran Waktu Lima, zakat fitrah dapat dibayarkan dengan menggunakan bahan makanan dan
hanya dikeluarkan untuk orang-orang yang masih hidup.[10] Dalam kebiasaan Wetu Telu,
fitrah tersebut dapat berupa makanan, hasil pertanian, uang atau uang kuno baik untuk yang
masih hidup atau yang sudah meninggal.[10] Untuk orang yang masih hidup fitrah tersebut
dinamakan Fitrah Urip, sedangkan untuk yang telah meninggal dinamakan Fitrah Pati.
Sedangkan Lebaran Tinggi sama dengan hari raya Idul Fitri bagi penganut Waktu Lima.[10]
Bedanya, upacara Lebaran Tinggi terdapat acara khusus makan bersama antara pemuka
agama, pemuka adat, dan masyarakat biasa yang menganut Wetu Telu.[10]

Lebaran Topat

Lebaran Topat dilaksanakan seminggu setelah upacara Lebaran Tinggi. Seluruh Kyai yang
dipimpin oleh Penghulu akan melakukan Sembahyang Qulhu Sataq atau salat empat rakaat
yang ditandai dengan pembacaan surat Al-Ikhlas seratus kali.[10] Lebaran Topat diakhiri
dengan acara makan bersama di antara para kyai.[10] Dalam acara ini, ketupat menjadi
santapan primadona dalam ritual utama.[10]

Lebaran Pendek

Lebaran Pendek identik dengan pelaksanaan hari raya Idul Adha di kalangan Waktu Lima.[3]
Pelaksanaannya dilakukan dua bulan setelah lebaran topat.[3] Dimulai dengan shalat
berjamaah di antara para Kyai disusul acara makan bersama dan setelah itu dilanjutkan
dengan pemotongan kambing berwarna hitam.[3]

Selametan Bubur Puteq dan Bubur Abang

Upacara Selametan bubur puteq dan bubur abang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram
dan 8 Safar menurut penanggalan Wetu Telu.[3] Upacara ini untuk memperingati munculnya
umat manusia dan berreproduksi melalui ikatan perkawinan.[3] Bubur puteq (bubur putih) dan
bubur abang (bubur merah) merupakan hidangan ritual utama yang dikonsumsi dalam
upacara ini.[3] Bubur putih melambangkan air mani yang merepresentasikan laki-laki,
sedangkan bubur merah melambangkan darah haid yang merepresentasikan perempuan.[3]

Maulud

Dari penyebutannya, terkesan bahwa upacara ini terkait dengan upacara peringatan kelahiran
Nabi Muhammad Saw, sebagaimana dilaksanakan oleh Waktu Lima.[3] Kendati waktu
pelaksanaannya sama, yakni pada bulan Rabi‘ul Awal, Wetu Telu merayakannya untuk
memperingati perkawinan Adam dan Hawa.[3] Seperti upacara-upacara lainnya, berdo‘a dan
makan bersama ditemukan dalam upacara ini.[3]

Aturan perkawinan
Dalam melaksanakan perkawinan, ada dua sistem yang pernah berlaku dalam ajaran Islam
Wetu Telu yaitu sistem lama dan sistem baru.[11] Sistem lama tidak melengkapi rukun nikah
sehingga ᴡalaupun tanpa akad nikah kedua mempelai sudah dapat melakukan hubungan
suami isteri.[11] Asalkan sudah menyelesaikan proses-proses yang lain seperti tobat kakas.[11]
Sejauh berkaitan dengan perkawinan menurut ajaran Wetu Telu sistem lama, tidak banyak
mencerminkan nilai-nilai Islam karena ritualnya lebih didominasi oleh budaya lokal.[11] Di
samping itu, sistem ini tidak menerapkan rukun nikah secara lengkap dengan ditiadakannya
akad nikah.[11] Ini artinya, sistem lama sudah dikenal sejak zaman pra Islam.[11] Sedangkan
perkawinan menurut ajaran Wetu Telu sistem baru, telah menerapkan syarat dan rukun
perkawinan sesuai ajaran Islam.[11] Pada sistem baru, akad nikah dijadikan sebagai proses inti
dan harus dilaksanakan sebelum melakukan hubungan suami isteri.[11] Upacara perkawinan di
Desa Bayan langsung dipimpin oleh Kepala Kantor Urusan Agama dengan mengikuti tata
cara Islam yakni pembacaan khutbah nikah dan ijab kabul yang dilakukan langsung oleh wali
dari mempelai wanita di hadapan calon pengantin laki-laki.[11] Khutbah nikah dibacakan
dengan menggunakan bahasa Arab, sedangkan ijab dan kabul digunakan bahasa Sasak
setempat.[11] Kearifan lokal dalam tata cara perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat
Wetu Telu ditampakkan dari akulturasi ajaran Islam dengan ajaran agama Siwa-Budha
sebagai agama asli orang Bayan dan Hindu Bali selaku agama kerajaan Bali yang pernah
menjajah daerah Pulau Lombok.[11] Hal ini, menunjukan bahwa dalam perkawinan digunakan
tiga cara yaitu perondongan, mepadik lamar, dan selarian dengan diselesaikan melalui prosesi
seperti menjojak, memulang, sejati, pemuput selabar, akad nikah, sorong serah, nyongkolan
dan balik onos nae.[11] Ritual yang dilakukan seperti bedak keramas dan merariq (kawin lari)
adalah bagian dari ritual yang dilaksanakan oleh Hindu Bali.[11] Sementara, ajaran Islam
menjadi substansi acara-acara inti seperti pada syarat dan rukun nikahnya.[11] Dengan
demikian, prosesi perkawinan menurut ajaran Wetu Telu menunjukkan masuknya unsur nilai
dari tiga agama yaitu Siwa-Budha sebagai agama asli masyarakat Bayan pra Islam, Hindu-
Bali, dan Islam.[11]

Anda mungkin juga menyukai