Anda di halaman 1dari 4

Pengertian Parmalim dan Ugamo Malim

Ugamo Malim adalah kepercayaan dan keyakinan terhadap Pencipta alam semesta Tuhan
Yang Maha Esa, Mulajadi Nabolon, yang merupakan kelanjutan dari perkembangan simultan
sistem religius ke-Tuhanan yang dianut suku Batak sejak dahulu kala. Orang Batak
memahami dan memaknai religiusitas dengan memperlakukan alam sebagai tumpuan hidup
dan merupakan anugrah Mulajadi Nabolon yang harus dijaga, baik sebagai sumber kehidupan
(keberadaan dirinya) maupun sebagai sumber penghidupan (keberlangsungan dan
kepemilikan hidupnya). Spiritualitas memelihara alam ciptaaan Mulajadi Nabolon, dipadukan
dengan rasa syukur dan berserah diri pada kuasa Sang Pencipta dipelihara dengan rirual-ritual
yang diselaraskan dengan kronologi KEHIDUPAN dan PENGHIDUPAN. Beberapa ritual
tersebut dilaksanakan dalam bentuk upacara persembahan kepada sang Pencipta. Aktivitas
mempersiapkan perlengkapan upacara dan perlengkapan “Pelean” (persembahan), dilakukan
dengan sangat hati-hati menurut tata laksana dan aturan ketentuan yang telah menjadi “Patik”
dalam upacara terkait. Kegiatan menata persiapan upacara dan terutama menata “Pelean”
persembahan dinamakan “mang-UGAMO-hon”. Selaras dengan itu orang-orang yang
senantiasa melaksanakan ritual persembahan, mendapat julukan “par-UGAMO” atau
“parugama” dalam bahasa Batak lama. Sebutan “parugamo” itu kembali populer di Toba,
ketika pengaruh “religiusitas – asing” sudah marak di tanah Batak, menjadi entitas dan
identitas orang yang eksis dengan sistem keyakinan religiusitas asli Batak. Ugamo artinya
keberaturan, penataan dengan benar. Orang sering juga menyebut atau menuliskannya Agama
Malim.

Dalam bahasa Batak, orang yang menganut dan mengikuti serta menghayati ajaran Ugamo
Malim disebut par-Ugamo Malim, dan disingkatkan menjadi Parmalim. Namun dalam
sebutan populer saat ini, kata Parmalim sering digunakan (pihak eksternal) juga untuk
lembaga kepercayaan UGAMO MALIM itu sendiri. Sekumpulan orang dalam melaksanakan
satu kegiatan dan satu tujuan dalam bahasa Batak disebut Punguan. Punguan Parmalim
dapat diartikan sebagai perkumpulan penganut Ugamo Malim dan wadah maupun sarana
tempat perkumpulan Parmalim melakukan ritual kepercayaanya. Punguan Parmalim (inganan
parpunguan) sebagai identitas tempat ibadah dan lembaga perkumpulan parmalim. lazim
digunakan sejak awal berdirinya Bale Pasogit Partonggoan di Hutatinggi Laguboti, yang
diamanahkan Raja Sisingamangaraja – Raja Nasiakbagi – Patuan Raja Malim kepada
muridnya Raja Mulia Naipospos.

Ringkasnya dapat diterangkan: Ugamo Malim adalah ajararan kepercayaan, Parmalim adalah
orang penghayatnya, Bale Pasogit Parmalim adalah Pusat peribadatan Ugamo Malim.
Sedangkan Punguan Parmalim memiliki dua maksud yang sangat berbeda yaitu; 1). Tempat
perhimpunan/perkumpulan beribadah, unit warga parmalim bernaung dalam satu tempat
peribadatan/ Bale Parsantian yang dipimpin seorang Ulu Punguan. Ulu Punguan
menjalankan tugas dan fungsi yang didelegasikan Ihutan Parmalim dari Bale Pasogit
Parmalim. Ulu Punguan mewakili Ihutan Parmalim memimpin peribadatan dalam lingkup
Punguan Parmalim yang dipimpinnya. Dan 2) Organisasi Punguan Parmalim sebagai wadah
penghayat Ugamo Malim (parmalim) untuk urusan non religiusitas (internal), dan dalam
hubungan administratif Ugamo Malim dengan pemerintah dan masyarakat (eksternal).

Sejarahnya
Semasa eksistensi Dinasty Sisingamangaraja, Bale Pasogit Pamujian ada di Bakkara, tetapi
selama masa perang saat “penjajah” membumi-hanguskan Bakkara juga termasuk Bale
Pasogit Sisingamngaraja ikut di bakar. Tatkala pengaruh asing melanda tanah Batak,
menimbulkan berbagai guncangan sporadis pada tatanan kehidupan masyarakatnya sebagai
akibat penjajahan Belanda dan aktivitas penyebaran agama kristen, Raja Sisingamangaraja
mengamanatkan kepada muridnya untuk mendirikan Bale Pasogit kelak, sebagai wadah
tempat “Pamujian Nabolon” menghimpun kelak orang-orang yang setia dengan keyakinan
terhadap Mulajadi Nabolon. (Amanat tersebut kembali diingatkan setelah peristiwa 17 Juni
1907, oleh sosok yang menamakan diri Nasiakbagi seraya menunjuk tempat “kedudukan”
dan gambar rupa Bale Pasogit yang akan didirikan kelak oleh Raja Mulia.)

Terkait amanah mendirikan Bale Pasogit, Raja Mulia melapor dan menyampaikan
maksudnya kepada pemerintah Belanda melalui Kantor Demang di Balige sekitar tahun 1913.
Pemerintah Belanda mengadakan penyelidikan atas kegiatan penyebaran ajaran Ugamo
Malim selama beberapa tahun, barulah tahu 1921 Belanda mengizinkan Raja Mulia
mendirikan Bale Pasogit di Hutatinggi Laguboti melalui Surat Contoleur van Toba Nomor
1494/13 tanggal 25 Juni 1921. Bermula dari sini, Ugamo Malim secara terbuka
melaksanakan upacara ritual, pengembangan ajaran secara terpusat di Hutatinggi dibawah
pimpinan Raja Mulia Naipospos.

Kepemimpinan (Pinisepuh)
Raja Si Singamangaraja sebagai Malim dan Imam bagi orang Batak,
mengajarkan dan menegakkan titah menyembah dan memuja Sang Pencipta, Tuhan
Mulajadi Nabolon, dalam ajarannya beliau menamakan diri Raja Nasiakbagi-
Patuan Raja Malim. Hal ini seturut dengan pahit getirnya hidup beliau
selama menegakkan Ugamo Malim sebagai perintah Tuhan. Dan agar kelak
pengikutnya mengenang dan meneladani pengorbanan dan penderitaan
menjalankan Ugamo Malim.Raja Mulia Naipospos merupakan salah satu muridnya.

Raja Mulia Naipospos

Raja Nasiakbagi menunjuk dan mengamanahkan kepada muridnya Raja Mulia Naipospos
untuk memimpin pengikutnya dan menyebarkan Ugamo Malim disebut Ihutan Bolon Par-
Malim disebut juga Induk bolon (Pemimpin Besar), setelah diangkat dan ditabalkan oleh
sang malim Raja Nasiakbagi sebagai generasi I pemimpin Parmalim.

Raja Ungkap Naipospos

Selanjutanya putera tunggal dari Raja Mulia Naipospos yang bernama Raja Ungkap
Naipospos, meneruskan kepemimpinan pada tahun 1956 sebagai Ihutan Parmalim generasi ke
II. Pada masa sebelumnya, tahun 1939 beliau telah mendirikan Parmalim School bertempat di
Bale Pasogit Parmalim dan mendapat dukungan penuh dari Raja Mulia. Di sekolah ini anak-
anak Parmalim dari semua pelosok bisa sekolah, agar tidak ketinggalan dengan sekolah
zending Kristen. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, sekolah ini ditutup karena anak-anak
Parmalim sudah diterima pada sekolah pemerintah di tempat tinggal masing-masing.Selama
kepemimpinannya, beliau melakukan terobosan dalam pola pembinaan pengajaran Parmalim.
Beliau menulis ajaran dan menyebarkannya kepada seluruh Parmalim. Juga membuat
ajaran-ajaran tertulis yang disimpan secara rapi, yang sebelumnya hanya bersifat lisan.
Pengorganisasian Parmalim secara administratif pun dimulai di masa ini, yang dilaksanakan
beliau sendiri. Menjelang akhir hayat Raja Ungkap Naipospos, Ugamo Malim Hutatinggi-
Laguboti, terdaftar pada inventarisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, yang dilaksanakan pemerintah (Depdikbud) pada tahun 1980 yaitu keputusan Depdikbud
RI No. I.136/F.3/N.1.1/1980. Raja Ungkap wafat pada hari Senin tanggal 16 Pebruari 1981.

Raja Marnangkok Naipospos

Setelah Raja Ungkap wafat, kepemimpinannya diteruskan putera sulungnya Raja


Marnangkok Naipospos sebagai Ihutan Parmalim generasi ketiga. Raja Marnangkok
Naipospos yang lahir pada tanggal 18 Juli 1939, meneruskan pekerjaan Ihutan Parmalim.
Melakukan pemeliharaan dan renovasi bangunan fisik Bale Pasogit dan menambah bangunan
pendukungnya dengan melibatkan swadaya umat Parmalim, Dalam upaya meningkatkan
pembinaan Parmalim, Raja Marnangkok mengumpulkan dan membukukan ajaran dan
bimbingan tertulis yang pernah dibuat Raja Ungkap, kemudian membukukan dan
mencetaknya untuk disebarluaskan di kalangan parmalim yang jumlahnya semakin banyak.

Raja Monang Naipospos

Raja Marnangkok Naipospos wafat tahun 2016 kepemimpinannya diteruskan Raja Monang
Naipospos sebagai Ihutan Parmalim keempat sejak tahun 2017. Raja Monang Naipospos
yang sejak lama aktif dalam upaya-upaya pemberdayaan dan pembaharuan Parmalim,
kedepan mencanangkan para pengikutnya kedepan lebih menguatkan penerapan nilai-nilai
HAMALIMON dalam praktik kehidupan nyata, sesuai dengan kredo: “Parmalim Naimbaru
mulak tu hapitaon hasintaongan hamalimon”.

Ajarannya
Ugamo Malim memiliki ajaran sujud dan berserah diri pada Tuhan, Patik berupa ajaran
tentang Perintah dan Larangan sesuai kehendak Tuhan, Poda Hamalimon sebagai anutan
berpikir bertindak dan berperilaku terhadap sesama dan alam, serta "Tona" sebagai amanah
Tuhan yang disampaikan kepada Manusia.

Parmalim melaksanakan ritual peribadatan rutin setiap hari Sabtu (Marari Sabtu) sebagai
wujud rasa syukur, pemujaan dan memuliakan Mulajadi Nabolon sang pencipta langit dan
bumi. Selain Maraisabtu Parmalim juga melaksanakan berbagai aturan peribadatan Ugamo
Malim antara lain "Pameleon Bolon" sebagai ibadah ritual syukuran kehidupan yang
dilaksanakan pada bulan ke-Lima (sipaha lima), ritual pengampunan dosa "Mangan Napaet"
pada bulan ke-12 dan mensyukuri memperingati lahirnya utuan Tuhan kepada manusia yang
dirayakan pada hari kedua dan ketiga bulan ke-satu "sipaha sada" sesuai kalender Batak.

Jumlah Pengikut
Tidak ada data pasti yang menyebutkan berapa banyak jumlah pengikut dari Parmalim ini.
Namun pada dasarnya, pengikut aliran ini hampir semuanya berdomisili di provinsi Sumatra
Utara. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, selain 6 agama resmi yang diakui
pemerintah Republik Indonesia, aliran kepercayaan dimasukkan dalam kolom Lainnya
(Jumlah penganut agama), termasuk Parmalim. Bila dihitung dari hasil Sensus 2010, maka
jumlah pengikut aliran ini sekitar 5.000 jiwa (dihitung dari jumlah yang ada di Sumatra
Utara) atau sekitar 0.04% dari 13 juta penduduk Sumatra Utara (2010).[1]
Mayoritas pemeluk Parmalim ada di Kabupaten Toba Samosir. Masih dari data BPS Sumatra
Utara, jumlah pengikutnya mencapai 1.816 jiwa (1.04%) dari sekitar 140.000 jiwa penduduk
Toba Samosir tahun 2010.[1]

Anda mungkin juga menyukai