Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

“ANTIDIABETIK”

Disusun Oleh:

Kelompok 4C

1. Hasna Dzakiyah Martha 11171020000059


2. Annisa Fadhilah 11171020000061
3. Wulan Sari 11171020000069
4. Flowerenza Ambaroh 11171020000071
5. Ade Nanda Alrisky 11171020000073

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2018/2019
BAB 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Diabetes militus adalah suatu keadaan yang timbul karena defisiensi


insulin relativ maupun absolute. Hiperglikemi timbul karena penyerangan
glukosa ke dalam sel terhambat serta metabolisme nya terganggu. Dalam
keadaan normal, kira-kira 50 % glukosa yang dimakan mengalami
metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air 5% diubah menjadi glikogen
dan kira-kira 30-40 % diubah menjadi lemak. Pada diabetes militus semua
proses tersebut terganggu, glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga
energi terutama di peroleh dari metabolisme protein dan lemak (Gamis
Warna, dkk, 1995).

Diabetes militus adalah peningkatan kadar glukosa darah atau


hiperglikemia (glukosa puasa > 126 mg/dL atau postprandial > 200mg/dL
atau glukosa sewaktu > 200mg/dL. Bila DM tidak segera diatasi akan terjadi
gangguan metabolisme lemak dan protein, Dan resiko timbulnya gangguan
Mikrovaskular atau makro vaskular meningkat (Gunawan, 2012).

Diabetes militus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai


dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi
insulin atau penurunan sensitivitas insulin (Sukandar dkk, 2009)

Diabetes militus, penyakit gula atau kencing manis adalah suatu


gangguan menahun kronis yang khusus nya metabolisme karbohidrat dalam
tubuh, dan juga pada metabolisme lemak dan protein (Lat. Diabetes =
penerusan,militus = manis madu) (Mycek,2001).

Diabetes terdapat 4 tipe yaitu :

1. Diabetes militus tergantung insulin ( IDDM ; tipe l ) disebabkan oleh


defisiensi absolute yang biasa nya terjadi sebelum usia 15 tahun dan
mengakibatkan penurunan berat badan, hiperglikomin, hetoksidosis,
asteroksis, kerusakan retina dan gagal ginjal. Karena sel batu pada
langerhans rusak maka pasien membutuhkan injeksi insulin.
2. Diabetes militus tidak tergantung insulin ( NIDDM ; tipe ll ) disebabkan
oleh penurunan pelepasan insulin atau kelainan respon jaringan terhadap
insulin yang menyebabkan hiperglikemia, tetapi tidak hetoksidosis.
3. Berbagai sebab spesifik yang lain yang menyebabkan kadar glukosa
darah meningkat, seperti penyakit nonpancreatic dan akibat terapi obat.
4. Disebut juga Gestasional diabetes (GDM) tidak normal nya kadar
glukosa darah dimasa masa awal kehamilan dimana placenta dan
hormon-2 plasenta menimbulkan resistensi insulin yang nyata pada
trimester terakhir.

Gejala diabetes militus (Tan Hoan, 2010) :

A. Poluria (banyak berkemih)


B. Polidipsia (banyak minum)
C. Polifafia (banyak makan)

Disamping naik nya kadar gula darah, diabetes bercirikan adanya


gula dalam kemih ( glycosuria ) dan banyak berkemih karena banyak
glukosa yang di eksresikan meningkat banyak air akibat timbulnya rasa
haus, kehilangan energi, turunnya berat badan serta rasa letih. Tubuh mulai
membakar lemak untuk memenuhi kebutuhan energi nya yang disertai
dengan pembentukan zat-zat pemberontakan antara lain aseton, asam
hidroksibutirat, dan diasetat yang membuat darah menjadi asam. Keadaan
ini yang disebut hetoksidosis dan terutama timbul pada DM tipe l, amat
berbahaya karena dapat menyebabkan pingsan. Napas penderita yang sudah
menjadi sangat kurus sering kali juga berbau aseton (Tan Hoan, 2010).

Penyebab nya adalah kekurangan hormon insulin yang berfungsi


memanfaatkan glukosa sebagai sumber energi dan mensintesis lemak.
Akibatnya ialah glukosa bertumpuk dalam darah (hiperglikemia) dan
akhirnya di eksresikan lewat kemih tanpa digunakan (glikosuria). Karena
itu produksi kemih sangat meningkat dan pasien harus kencing, merasa amat
haus, berat badan menurun dan mudah lelah (Handoko, 2003).
1.2 Tujuan

Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa diharapkan :

1.2.1 Mampu melaksanakan pengujian antidiabetes.


1.2.2 Memperoleh gambaran manifestasi dari efek antidiabetes.
BAB II

Landasan Teori

2.1 Diabetes Melitus

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu kumpulan gejala klinis


(sindroma klinis) yang timbul oleh karena adanya peningkatan kadar gula
(glukosa) darah kronis akibat kekurangan insulin baik absolut maupun
relatif (Katzung, 2002).
Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian
lebih berdasarkan etiologi penyakitnya. Diabetes dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1) Diabetes mellitus tipe I (Insulin Dependent)
DM tipe I umumnya timbul pada anak-anak dan dewasa muda.
DM tipe I terjadi karena destruksi sel-sel pembuat insulin melalui
mekanisme imunologik sehingga menyebabkan hilangnya hampir
seluruh insulin endogen. Penderita DM tipe I mengalami
ketergantungan terhadap insulin eksogen untuk menurunkan kadar
glukosa plasma dan menghindari ketoasidosis (KAD) serta untuk
mempertahankan hidupnya . Pada penderita DM tipe I perawatan insulin
adalah mutlak (Leslie, 1991).
2) Diabetes melitus tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus)
DM tipe II biasanya timbul pada usia lebih dari 40 tahun. Pada
DM tipe II sel â pankreas tidak rusak tetapi terjadi resistensi terhadap
kerja insulin. Produksi insulin biasanya dapat untuk mencegah KAD,
namun KAD dapat timbul bila ada stress berat (Woodley dan Whelan,
1995).
3) DM tipe lain
Dapat disebabkan oleh efek genetik fungsi sel beta, defek
genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena
obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi dan sindrom genetika lain
yang berkaitan dengan diabetes mellitus (Katzung, 2002).
4) Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes yang timbul selama kehamilan, artinya kondisi diabetes
atau intoleransi glukosa yang didapati selama masa kehamilan, biasanya
pada trimester kedua atau ketiga. Diabetes mellitus gestasional
berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal (di
sekitarwaktu melahirkan), dan sang ibu memiliki resiko untuk dapat
menderita penyakit diabetes mellitus yang lebih besar dalam jangka
waktu 5 sampai 10 tahun setelah melahirkan (Woodley dan Wheland,
1995).
Menurut kriteria International Diabetes Federation (IDF), American
Diabetes Association (ADA) dan Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(Perkeni), apabila gula darah pada saat puasa diatas 126mg/dl dan 2 jam
sesudah makan diatas 200mg/dl, diagnosis diabetes bisa dipastikan.

Jika kadar glukosa darah tidak normal tetapi belum termasuk kriteria
diagnosis untuk diabetes, keadaan ini disebut Toleransi Glukosa
Terganggu(TGT) atau IGT. Seseorang dengan TGT mempunyai risiko
terkena diabetes tipe 2 jauh lebih besar daripada orang biasa.

2.2 Antidiabetik
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antidiabet oral dapat dibagi
menjadi 3 golongan, yaitu:
1) Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat
hipoglikemik oral golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan
turunan fenilalanin).
2) Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel
terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida
dan tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan
insulin secara lebih efektif.
3) Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase
yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk
mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia).
Disebut juga “starch-blocker”.

2.2.1 Golongan Sulfonilurea


Merupakan obat antidiabet oral yang paling dahulu
ditemukan. obat antidiabet oral golongan sulfonilurea merupakan
obat pilihan (drug of choice) untuk penderita diabetes dewasa baru
dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami
ketoasidosis sebelumnya. Senyawa-senyawa sulfonylurea sebaiknya
tidak diberikan pada penderita gangguan hati, ginjal dan tiroid.
Obat-obat kelompok ini bekerja merangsang sekresi insulin di
kelenjar pancreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β
Langerhans pancreas masih dapat berproduksi. Penurunan kadar
glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa
sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh
kelenjar pancreas. Sifat perangsangan ini berbeda dengan
perangsangan oleh glukosa, karena ternyata pada saat glukosa (atau
kondisi hiperglikemia) gagal merangsang sekresi insulin, senyawa-
senyawa obat ini masih mampu meningkatkan sekresi insulin. Oleh
sebab itu, obat-obat
Golongan sulfonilurea sangat bermanfaat untuk penderita
diabetes yang kelenjar pankreasnya masih mampu memproduksi
insulin, tetapi karena sesuatu hal terhambat sekresinya. Pada penderita
dengan kerusakan sel-sel β Langerhans kelenjar pancreas, pemberian
obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea tidak bermanfaat.
Pada dosis tinggi, sulfonylurea menghambat degradasi insulin oleh hati.
Absorpsi senyawa-senyawa sulfonilurea melalui usus cukup
baik, sehingga dapat diberikan per oral. Setelah diabsorpsi, obat ini
tersebar ke seluruh cairan ekstrasel. Dalam plasma sebagian terikat pada
protein plasma terutama albumin (70-90%).

2.2.2 Golongan Inhibitor α-Glukosidase


Senyawa-senyawa inhibitor α-glukosidase bekerja
menghambat enzim alfa glukosidase yang terdapat pada dinding
usus halus. Enzim-enzim α-glukosidase (maltase, isomaltase,
glukomaltase dan sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis
oligosakarida, pada dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini
secara efektif dapat mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks
dan absorbsinya, sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar
glukosa post prandial pada penderita diabetes. Senyawa inhibitor α-
glukosidase juga menghambat enzim α-amilase pankreas yang
bekerja menghidrolisis polisakarida di dalam lumen usus halus.
Obat ini efektif bagi penderita dengan diet tinggi karbohidrat dan
kadar glukosa plasma puasa kurang dari 180 mg/dl.
Obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada
waktu makan dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah
itu. Obat-obat inhibitor α-glukosidase dapat diberikan sebagai obat
tunggal atau dalam bentuk kombinasi dengan obat hipoglikemik
lainnya. Obat ini umumnya diberikan dengan dosis awal 50 mg dan
dinaikkan secara bertahap sampai 150-600 mg/hari. Dianjurkan
untuk memberikannya bersama suap pertama setiap kali makan.

2.2.3 Golongan Biguanid


Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan kepekaan tubuh
terhadap insulin yang diproduksi oleh tubuh, tidak merangsang
peningkatan produksi insulin sehingga pemakaian tunggal tidak
berakibat hipoglikemia. Contoh obat golongan biguanid antara lain
metformin (glucophage). Obat antidiabet oral golongan biguanida
bekerja langsung pada hati (hepar), menurunkan produksi glukosa
hati.
Satu-satunya senyawa biguanida yang masih dipakai sebagai
obat antidiabet oral saat ini adalah metformin. Metformin masih
banyak dipakai di beberapa negara termasuk Indonesia, karena
frekuensi terjadinya asidosis laktat cukup sedikit asal dosis tidak
melebihi 1700 mg/hari dan tidak ada gangguan fungsi ginjal dan
hati.

2.2.4 Golongan Meglitinid


Obat-obat antidiabet oral golongan glinida ini merupakan
obat hipoglikemik generasi baru yang cara kerjanya mirip dengan
golongan sulfonilurea. Kedua golongan senyawa hipoglikemik oral
ini bekerja meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar
pankreas. Umumnya senyawa obat hipoglikemik golongan
meglitinida dan turunan fenilalanin ini dipakai dalam bentuk
kombinasi dengan obat-obat antidiabetik oral lainnya.
Obat ini dapat dikombinasikan dengan metformin digunakan
dalam pengobatan Diabetes Mellitus tipe-2 sebagai tambahan
terhadap diet dan olah raga untuk penderita yang hiperglikemiknya
tidak dapat dikontrol secara memuaskan dengan cara-cara tersebut.
Contoh obat dari golongan ini antara lain repaglinid (novonorm),
nateglinid (starlix) (Tjay dan Rahardja, 2002).

2.2.5 Golongan Thiazolidindion


Golongan ini dapat digunakan bersama sulfonilurea, insulin
atau metformin untuk memperbaiki kontrol glikemia. Contohnya
antara lain pioglitazon (actos), rosiglitazon (avandia) (Tjay dan
Rahardja,2002). Senyawa golongan tiazolidindion bekerja
meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin dengan jalan
berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferator activated
receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk
menurunkan resistensi insulin. Senyawa-senyawa TZD juga
menurunkan kecepatan glikoneogenesis.

Golongan Senyawa Mekanisme Kerja

Sulfonilurea Gliburida/Gliben- Merangsang sekresi insulin di


klamida kelenjar pankreas, sehingga hanya
Glipizida efektif pada penderita diabetes yang
Glikazida sel-sel β pankreasnya masih
Glimepirida berfungsi dengan baik
Glikuidon
Meglitinida Repaglinide Merangsang sekresi insulin di
kelenjar pancreas
Turunan Nateglinide Meningkatkan kecepatan sintesis
Fenilalanin insulin oleh pancreas
Biguanida Metformin Bekerja langsung pada hati (hepar),
menurunkan produksi glukosa hati.
Tidak merangsang sekresi insulin
oleh kelenjar pancreas
Tiazolidini- Rosiglitazone Meningkatkan kepekaan tubuh
on Troglitazone terhadap insulin. Berikatan dengan
Pioglitazone PPARγ (peroxisome proliferator
activated receptor-gamma) di otot,
jaringan lemak, dan hati untuk
menurunkan resistensi insulin
Inhibitor α- Acarbose Menghambat kerja enzim-enzim
Glukosidase Miglitol pencenaan yang mencerna
karbohidrat, sehingga
memperlambat absorpsi glukosa ke
dalam darah
BAB III
Metodologi Praktikum

3.1 Alat dan Bahan

a. Timbangan analitik
b. Alat suntik
c. Tikus 0,092 g
d. Larutan glukosa 50%
e. Glibenklamid
Dosis : 15 mg/60 KgBB
Konsetrasi : 5 mg/100 ml
f. Satu set alat pengukur gula darah

3.2 Prosedur Kerja


1. Penyiapan Hewan
a) Hewan hendaknya dipuasakan semalaman sebelum percobaan
b) Sebelum digunakan hewan tersebut terlebih dahulu ditimbang
c) Diberikan tanda pada bagian tertentu dari hewan coba untuk
menyatakan berat hewan coba
2. Penyiapan larutan glibenkelamid dan larutan glukosa 50%
a) Sebagai kontrol, tikus 1 diberi larutan glukosa 50% dengan dosis 1 g/Kg
kemudian diukur kadar glukosa pada 5,30,45,60 menit
b) Tikus 2, diberi larutan glukosa 50% dengan dosis 1 g/Kg selanjutnya
diberi suspensi glibenklamid kemudian diukur kadar glukosa pada
5,30,45,60 menit

3.3 Perhitungan Bahan


3.3.1 Perhitungan Bahan Kelas C (Glibenklamid dan Glukosa 50%)
1) Kelompok 1
 Glukosa 50%
 Dosis 1 g/KgBB
 Glibenklamid 5 mg/60kgBB &Konsentrasi 5mg/100mL
 Berat Mencit = 69 gram

Glukosa

𝑩𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑲𝒐𝒏𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊 𝑻𝒊𝒌𝒖𝒔


HED = DosisHewan x 𝑩𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑲𝒐𝒏𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊 𝑴𝒂𝒏𝒖𝒔𝒊𝒂

𝑔 6
1 ⁄𝐾𝑔𝐵𝐵 = DH x 37

𝑔
DosisHewan = 6.167 ⁄𝐾𝑔𝐵𝐵

𝐝𝐨𝐬𝐢𝐬 𝐡𝐞𝐰𝐚𝐧 𝐱 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭


𝑽𝑨𝑶 =
𝐤𝐨𝐧𝐬𝐞𝐧𝐭𝐫𝐚𝐬𝐢
g
6.167 x 0,069 kg
kgBB
𝑉𝐴𝑂 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 = = 0,851 ml
50 g/100 ml

Glibenklamid

𝑩𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑲𝒐𝒏𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊 𝑻𝒊𝒌𝒖𝒔


HED = DosisHewan x 𝑩𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑲𝒐𝒏𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊 𝑴𝒂𝒏𝒖𝒔𝒊𝒂

𝑚𝑔 6
5 ⁄60 𝐾𝑔𝐵𝐵 = DH x 37

𝒎𝒈
Dosis Hewan =0.5139 ⁄𝑲𝒈𝑩𝑩

𝐝𝐨𝐬𝐢𝐬 𝐡𝐞𝐰𝐚𝐧 𝐱 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭


𝑽𝑨𝑶 =
𝐤𝐨𝐧𝐬𝐞𝐧𝐭𝐫𝐚𝐬𝐢
mg
0.5139 x 0,069 kg
kgBB
𝑉𝐴𝑂 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 = = 0,7092 ml
5 mg/100 ml

2) Kelompok 2
 Glukosa 50%
 Dosis 1 g/KgBB
 Na CMC 0.5%
 BeratMencit = 105 gram
Glukosa

𝑩𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑲𝒐𝒏𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊 𝑻𝒊𝒌𝒖𝒔


HED = Dosis Hewan x 𝑩𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑲𝒐𝒏𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊 𝑴𝒂𝒏𝒖𝒔𝒊𝒂

𝑔 6
1 ⁄𝐾𝑔𝐵𝐵 = DH x 37

𝑔
DosisHewan = 6.167 ⁄𝐾𝑔𝐵𝐵 = 6.167 mg/kgBB

𝐝𝐨𝐬𝐢𝐬 𝐡𝐞𝐰𝐚𝐧 𝐱 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭


𝑽𝑨𝑶 =
𝐤𝐨𝐧𝐬𝐞𝐧𝐭𝐫𝐚𝐬𝐢
g
6.167 x 0,105 kg
kgBB
𝑉𝐴𝑂 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 = = 1,296 ml ≈ 1.3 ml
500mg/ml

Na CMC

𝐝𝐨𝐬𝐢𝐬 𝐡𝐞𝐰𝐚𝐧 𝐱 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭


𝑽𝑨𝑶 =
𝐤𝐨𝐧𝐬𝐞𝐧𝐭𝐫𝐚𝐬𝐢

𝑉𝐴𝑂 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 = 0.5 % = 1,05 mL

3) Kelompok 3
 Glukosa 50%
 Dosis 1 g/KgBB
 Glibenklamid10mg/60kgBB&Konsentrasi 5mg/100mL
 BeratMencit = 106 gram

Glukosa

𝑩𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑲𝒐𝒏𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊 𝑻𝒊𝒌𝒖𝒔


HED = Dosis Hewan x 𝑩𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑲𝒐𝒏𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊 𝑴𝒂𝒏𝒖𝒔𝒊𝒂

𝑔 6
1 ⁄𝐾𝑔𝐵𝐵 = DH x 37

𝑔
DosisHewan = 6,172 ⁄𝐾𝑔𝐵𝐵 = 6.172,83 mg/KgBB

𝐝𝐨𝐬𝐢𝐬 𝐡𝐞𝐰𝐚𝐧 𝐱 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭


𝑽𝑨𝑶 =
𝐤𝐨𝐧𝐬𝐞𝐧𝐭𝐫𝐚𝐬𝐢
mg
6.172,83 x 0,106 kg
kgBB
𝑉𝐴𝑂 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 = =1,308 mL
500mg/ml

Glibenklamid

𝑩𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑲𝒐𝒏𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊 𝑻𝒊𝒌𝒖𝒔


HED = Dosis Hewan x 𝑩𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑲𝒐𝒏𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊 𝑴𝒂𝒏𝒖𝒔𝒊𝒂

𝑚𝑔 6
10 ⁄𝐾𝑔𝐵𝐵 = DH x 37

𝑚𝑔
DosisHewan =1,024 ⁄𝐾𝑔𝐵𝐵

𝐝𝐨𝐬𝐢𝐬 𝐡𝐞𝐰𝐚𝐧 𝐱 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭


𝑽𝑨𝑶 =
𝐤𝐨𝐧𝐬𝐞𝐧𝐭𝐫𝐚𝐬𝐢
mg
1,024 x 0,106kg
kgBB
𝑉𝐴𝑂 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 = 5 mg/100 ml
= 2,17 mL

4) Kelompok 4
 Glukosa 50%
 Glukosa: Dosis 1 g/KgBB&Konsentrasi 500 mg/mL
 Glibenklamid15mg/60kgBB&Konsentrasi 5mg/100mL
 BeratMencit = 92mg

Glukosa

𝑩𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑲𝒐𝒏𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊 𝑻𝒊𝒌𝒖𝒔


HED = DosisHewan x 𝑩𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑲𝒐𝒏𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊 𝑴𝒂𝒏𝒖𝒔𝒊𝒂

𝑔 6
1 ⁄𝐾𝑔𝐵𝐵 = DH x 37

𝑔
DosisHewan = 6,172 ⁄𝐾𝑔𝐵𝐵 = 6.172,83 mg/KgBB

𝐝𝐨𝐬𝐢𝐬 𝐡𝐞𝐰𝐚𝐧 𝐱 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭


𝑽𝑨𝑶 =
𝐤𝐨𝐧𝐬𝐞𝐧𝐭𝐫𝐚𝐬𝐢
mg
6.172,83 x 0,092 kg
kgBB
𝑉𝐴𝑂 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 = =1,13 mL
500mg/ml
Glibenklamid

𝑩𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑲𝒐𝒏𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊 𝑻𝒊𝒌𝒖𝒔


HED = DosisHewan x 𝑩𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑲𝒐𝒏𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊 𝑴𝒂𝒏𝒖𝒔𝒊𝒂

𝑚𝑔 6
15 ⁄60 𝐾𝑔𝐵𝐵 = DH x 37

𝑚𝑔
DosisHewan = 1,543 ⁄𝐾𝑔𝐵𝐵

𝐝𝐨𝐬𝐢𝐬 𝐡𝐞𝐰𝐚𝐧 𝐱 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭


𝑽𝑨𝑶 =
𝐤𝐨𝐧𝐬𝐞𝐧𝐭𝐫𝐚𝐬𝐢
mg
1,543 x 0,092kg
kgBB
𝑉𝐴𝑂 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 = = 2,839 mL
5 mg/100 ml

3.3.2. Perhitungan Bahan Kelas A (Metformin dan glukosa 50%)

Kelompok 1

 Perhitungan Gkukosa
𝑚𝑔
 HED =Dosis hewan x [ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛 (𝑘𝑚) + 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎 (𝑘𝑚)]
𝑘𝑔

1𝑔 𝑚𝑔 6
= Dosis hewan x 37
𝑘𝑔 𝑘𝑔

𝑔𝑟𝑎𝑚
Dosis hewan = 6,17 𝐾𝑔𝐵𝑏

𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛 ×𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐾𝑔

𝐾𝑔𝐵𝑏
VAO = 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
𝑚𝑙

𝑔𝑟𝑎𝑚
6,17 ×0,104 𝐾𝑔
𝐾𝑔𝐵𝑏
VAO = 0,5 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑚𝑙

VAO = 1,3 ml

 Perhitungan metformin
𝑘𝑚 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
 HED =
𝑘𝑚 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎
500 𝑚𝑔 𝑚𝑔 6
= Dosis hewan x 37
60 𝑘𝑔𝐵𝐵 𝑘𝑔
𝑚𝑔
8,3 =dosis hewan x 0,162
𝑘𝑔𝐵𝐵
𝑔𝑟𝑎𝑚
Dosis hewan= 51,44 𝐾𝑔𝐵𝑏

𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛 ×𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐾𝑔

𝐾𝑔𝐵𝑏
VAO = 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
𝑚𝑙

𝑔𝑟𝑎𝑚
51,44 ×0,104 𝐾𝑔
𝐾𝑔𝐵𝑏
VAO = 0,5 𝑔𝑟𝑎𝑚
100 𝑚𝑙

VAO = 1,07 ml

Kelompok 2

 Perhitungan Glukosa
𝑚𝑔
 HED =Dosis hewan x [ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛 (𝑘𝑚) + 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎 (𝑘𝑚)]
𝑘𝑔

1𝑔 𝑚𝑔 6
= Dosis hewan x 37
𝑘𝑔 𝑘𝑔

𝑔𝑟𝑎𝑚
Dosis hewan = 6,17 𝐾𝑔𝐵𝑏

𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛 ×𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐾𝑔

𝐾𝑔𝐵𝑏
VAO = 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
𝑚𝑙

𝑔𝑟𝑎𝑚
6,17 ×0,072𝑔𝑟𝑎𝑚
𝐾𝑔𝐵𝑏
VAO = 50𝑔𝑟𝑎𝑚
100𝑚𝑙

VAO = 0,88 ml

 Perhitungan metformin
𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛 ×𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐾𝑔

𝐾𝑔𝐵𝑏
VAO = 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
𝑚𝑙

𝑔𝑟𝑎𝑚
154 ×0,072 𝐾𝑔
𝐾𝑔𝐵𝑏
VAO = 500 𝑔𝑟𝑎𝑚
100 𝑚𝑙

VAO = 2,2176 ml
Kelompok 3

 Perhitungan Na CMC

Berat tikus : 92 gram

Vao Na CMC : 0,82 ml

 Perhitungan Glukosa
𝑚𝑔
 HED =Dosis hewan x [ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛 (𝑘𝑚) + 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎 (𝑘𝑚)]
𝑘𝑔

1𝑔 𝑚𝑔 6
= Dosis hewan x 37
𝑘𝑔 𝑘𝑔

𝑔𝑟𝑎𝑚
Dosis hewan = 6,1728 𝐾𝑔𝐵𝑏

𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 ×𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐾𝑔𝐵𝐵

𝐾𝑔𝐵𝑏
VAO = 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
𝑚𝑙

𝑔𝑟𝑎𝑚
0,082 ×6,1728 𝐾𝑔𝐵𝐵
𝐾𝑔𝐵𝐵
VAO = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚
100𝑚𝑙

VAO = 1,012 ml

Kelompok 4
𝑚𝑔
 HED =Dosis hewan x [ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛 (𝑘𝑚) + 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎 (𝑘𝑚)]
𝑘𝑔

82 𝑚𝑔 6
= Dosis hewan x 37
60 𝑘𝑔

𝑚𝑔
16,07
𝑘𝑔
Dosis hewan = 0,162

𝑔𝑟𝑎𝑚
Dosis hewan = 102,880605
𝐾𝑔𝐵𝑏

𝑔𝑟𝑎𝑚
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛 ×𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐾𝑔

𝐾𝑔𝐵𝑏
VAO = 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
𝑚𝑙
𝑔𝑟𝑎𝑚
0,103 ×102,880659 𝐾𝑔
𝐾𝑔𝐵𝑏
VAO = 𝑔𝑟𝑎𝑚
500
𝑚𝑙

VAO = 2,12 ml

 Perhitungan Glukosa
𝑚𝑔
 HED =Dosis hewan x [ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛 (𝑘𝑚) + 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎 (𝑘𝑚)]
𝑘𝑔

1𝑔 𝑚𝑔 6
= Dosis hewan x 37
𝑘𝑔 𝑘𝑔

𝑔𝑟𝑎𝑚
Dosis hewan = 6,17 𝐾𝑔𝐵𝑏

𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 ×𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑔𝑟𝑎𝑚

𝐾𝑔𝐵𝑏
VAO = 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
𝑚𝑙

𝑔𝑟𝑎𝑚
0,103 ×6,17 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝐾𝑔𝐵𝑏
VAO = 𝑔𝑟𝑎𝑚
50
𝑚𝑙

VAO = 1,27ml
BAB IV
Hasil dan Pembahasan

4.1 Hasil Pengamatan Kelas C (Glibenklamid)

KONSENTRASI GULA DALAM DARAH


Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4

250
Konsetrasi Glukosa (mg/dL)

200

150

100

50

0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (Menit)

Data Pengamatan:

1) Kelompok 1

Waktu Kosentrasi glukosa


(Menitke-) dalam Darah
5 84
30 175
45 174
57 129

2) Kelompok 2

Waktu Kosentrasi glukosa


(Menit ke-) dalam Darah
5 139
30 193
45 175
60 29

3) Kelompok 3

Waktu (Menit Kosentrasi glukosa


ke-) dalam Darah
5 63
30 63
45 73
60 64

4) Kelompok 4

Waktu (Menit Kosentrasi glukosa dalam


ke-) Darah
5 49
30 43
45 37
60 41

4.2 Hasil Pengamatan Kelas A (Metformin)

Waktu Kadar glukosa dalam darah


Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4
5 menit 158 mg/dL 63 mg/dL 143 mg/dL 97 mg/dL
30 menit 180 mg/dL 218 mg/dL 146 mg/dL 147 mg/dL
4.3 Pembahasan

Kadar glukosa darah adalah jumlah atau konsentrasi glukosa yang


terdapat dalam darah. Kadar glukosa darah pada orang normal berlangsung
konstan, karena pengaturan karbohidrat yang baik. Pengaturan kadar
glukosa darah diatur oleh keseimbangan hormon yang menaikan glukosa
darah oleh hormon glukagon, hormon epinefrin, hormon glukokortikoid,
dan hormon pertumbuhan.

Peningkatan konsentrasi kadar glukosa darah dalam sirkulasi


mengakibatkan peningkatan sekresi insulin dan pengurangan glukagon.
Sebaliknya penurunan glukosa darah mengakibatkan penurunan sekresi
insulin dan peningkatan glukagon. Untuk mempertahankan kadar glukosa
darah dalam batas normal dapat dilakukan oleh tubuh dengan
mempertahankan homeostatis dalam tubuh melalui 2 cara yaitu, bila
glukosa darah terlalu rendah, maka glukosa akan disuplai dari hati dengan
jalan memecah glikogen hati, sebaliknya bila glukosa darah terlalu tinggi
maka glukosa tersebut akan dibawa ke hati dan diubah menjadi glikogen
atau masuk ke otot diubah menjadi glukogen otot.

Pada praktikum kali ini kelompok 2C menggunakan tikus putih


dengan berat 92 gram. Tikus diberi perlakuan dengan memberikan larutan
glukosa secara oral dan diberikan antidiabetes yaitu glibenklamid yang
merupakan golongan sulfonilurea dengan dosis dewasa 15 mg/kgBB.
Glibenklamid memiliki onset 15-60 menit setelah pemberian dosis tunggal
dengan durasi kurang dari 24 jam.

Hasil yang didapat setelah 5 menit adalah kadar glukosa darah tikus
mencapai 49 mg/dL. Lalu, menit ke-30, 45, dan 60 berturut-turut 43 mg/ dL,
37 mg/ dL, 41 mg/ dL. Menurut literatur, hal tersebut dapat terjadi karena
faktor dari tikus percobaan tersebut seperti kemungkinan tikus mengalami
stress setelah dipuasakan selama semalam. Menurut Kusumawati (2004),
bahwa kadar gula darah normal pada tikus yaitu berkisar antara 50-135
mg/dL. Tikus pada percobaan kelompok 4 tentu saja sudah masuk ke dalam
kategori hipoglikemia yang mana merupakan efek samping dari obat
glibenklamid, hal ini ditandai juga dengan badan tikus yang bergetar terlihat
seperti menggigil. Pada kelompok 1, 2 dan 3 pada menit ke -30 kadar gula
darah tikus mengalami kenaikan tetapi mengalami penurunan pada 10 menit
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Dawn, B. Marks., et al. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar. Jakarta: Buku

Kedokteran EGC

Katzung G. Bertram. 2002. Farmakologi : Dasar dan Klinik. Buku 2. Penerbit


Salemba Medika. Jakarta.
Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta: Fakultas

Kedokteran Hewan, Gadjah Mada University Press

Leslie, R.D.G., 1991, Buku Pintar Kesehatan Diabetes, 10, Jakarta, Penerbit
Arcan.
Suyono, S., Waspadji, S., Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I., Semiardji,
G., Batubara, J. R. L., dan Ilyas, E. I., 2005, Penatalaksanaan Diabetes
Mellitus Terpadu, 40, Jakarta, Penerbit FKUI.

Tjay, T.H dan Raharja, K. 2007. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya. Edisi Keenam. Direktorat Jendral Pengawasan
dan Makanan. Departemen Kesehatan Replubik Indonesi. Jakarta.
Tjokroprawiro, A., 2006, Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabetes Mellitus,
1, Gramedia Pustaka , Jakarta.

Woodley, M. dan Whelan, A. 1995. Pedoman Pengobatan. Andi Offset Esensia


Medika. Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai