Anda di halaman 1dari 13

BOOK REVIEW

DEKODENISASI “THE DA VINCI CODE”


Seminar Badan Musyarwarah Antar Gereja Jawa Timur
Bondowoso, 26 September
Yakub Tri Handoko, Th. M.

Novel The Da Vinci Code (selanjutnya disingkat DVC) karangan Dan Brown mampu
menarik perhatian dunia sejak pertama kali dirilis pada tahun 2003. Hal ini bisa dilihat dari
jumlah eksemplar yang mencapai 30 juta di seluruh dunia dan diterjemahkan dalam 44
bahasa. Seiring dengan keberhasilan ini, Dan Brown juga turut menikmati kekayaan dan
popularitas luar biasa. Royalti ia terima mencapai 650 miliar rupiah. Ia berulang kali
diundang untuk wawancara di berbagai stasiun TV terkenal, misalnya ABC, NBC. Puncak
dari semua ini adalah peluncuran film dengan judul yang sama. Walaupun apa yang
disampaikan lewat film “tidak seberbahaya” apa yang ada di novel, namun bagaimanapun
film tersebut mampu menarik perhatian banyak orang, terutama mereka yang enggan
membaca novel Brown, karena mereka memang tidak terbiasa membaca.

Beragam respon dari orang Kristen di Indonesia telah bermunculan. Sebagian sudah
mengadakan protes damai (demo) menentang pemutaran film DVC. Sebagian yang lain
cenderung menganggap remeh isu ini dan mengatakan “itu hanya sekedar novel, tidak perlu
dipikirkan terlalu serius”. Dua sikap ini sebenarnya kurang tepat. Protes saja, tanpa disertai
pembinaan teologi kepada jemaat, bisa berpotensi meneguhkan asumsi Brown bahwa ada
konspirasi internasional untuk menghancurkan semua ajaran yang bertentangan dengan
ajaran tradisional kekristenan. Sikap menganggap remeh juga tidak tepat, karena faktanya
DVC bukan sekedar novel. Pengaruh DVC bagi pergumulan iman orang Kristen awam tidak
bisa dipandang sebelah mata.

Bagaimana orang Kristen seharusnya meresponi hal ini? 1 Petrus 3:15 mengajarkan bahwa
orang percaya harus siap sedia memberikan jawaban verbal (apologia) terhadap siapa saja
yang mempertanyakan iman Kristiani. Ide yang dituangkan dalam DVC merupakan
pertanyaan (baca: bantahan) terhadap kekristenan yang harus dijawab dengan penuh
tanggung jawab. Makalah ini merupakan apologia dari sudut pandang kaum Injili terhadap
DVC.

Sinopsis cerita

DVC dimulai dengan kematian seorang kurator bernama Jacques Sauniere. Sebelum ia mati,
ia meninggalkan kode-kode khusus untuk cucu perempuannya, Sophie Neveu, seorang
kriptologis, yang sebelumnya ia telepon untuk datang mengunjungi dirinya, berdamai dengan
dia dan diberitahu suatu rahasia keluarga. Sophie sendiri dulu sempat berselisih dengan
Sauniere karena ia melihat kakeknya dan seorang wanita sedang melakukan hubungan seks
dalam sebuah acara ritual tertentu dengan disaksikan para pengikut sekte tersebut.

Kode yang ditinggalkan Sauniere meliputi posisi tubuh yang menyerupai lukisan The
Vitruvian Man karya Leonardo Da Vinci dan kode-kode lain yang berbentuk angka-angka,
anagram maupun pentagram yang dia lukis di tubuhnya menggunakan darahnya sendiri.

1/13
Berdasarkan kode-kode ini Sophie, yang didampingi ahli simbol keagamaan dari Harvard
bernama Robert Langdon, berusaha untuk menguak kode demi kode yang ditinggalkan
Sauniere.

Usaha dekodenisasi terhadap beberapa lukisan Da Vinci, dokumen Les Dossiers Secrets,
kitab-kitab injil non-kanonik dan berbagai simbol lain akhirnya berujung pada penemuan
beberapa hal yang sangat mengejutkan. Sauniere ternyata pemimpin organisasi The Priory of
Sion, yang dahulu juga memiliki anggota beberapa tokoh terkenal, termasuk di dalamnya
Leonardo Da Vinci. The Priory of Sion merupakan sebuah sekte keagamaan yang
berkomitmen untuk menjaga sebuah rahasia besar. Rahasia itu berhubungan dengan
pernikahan Yesus dengan Maria Magdalena dan penunjukan Maria Magdalena sebagai
pemimpin gereja oleh Yesus. Para rasul lain, yang semuanya adalah laki-laki, menjadi
cemburu melihat hal itu. Mereka akhirnya berusaha memusnahkan rahasia ini. Maria
Magdalena dan keturunannya akhirnya terpaksa mengungsi ke Prancis demi keselamatan
mereka, mendirikan kota Paris dan menjadi cikal-bakal keturunan bangsawan Prancis yang
disebut Merovingian. The Priory of Sion terus-menerus berusaha menjaga rahasia ini. The
Kngiht Templar, sebuah organisasi tentara pada jaman Perang Salib, merupakan salah satu
pelindung rahasia ini. Berdasarkan keyakinan tersebut, ritual seks dalam sekte The Priory of
Sion telah menjadi aktivitas wajib untuk meneruskan darah (keturunan) Yesus dan Maria
Magdaena.

Di sisi lain, pihak gereja tradisional yang didominasi kepemimpinan pria berusaha menekan
pengaruh Maria Magdalena dan memusnahkan rahasia tersebut. Pada awal abad ke-4 gereja
menegaskan doktrin keilahian Yesus yang sebetulnya hanyalah manusia biasa yang juga
menikah seperti orang Yahudi yang saleh lainnya. Gereja dipercaya telah menghancurkan
berbagai tulisan Kristen kuno lain yang tidak sesuai dengan ajaran gereja tradisional melalui
proses kanonisasi pada abad ke-4. Semua langkah ini bisa dilakukan gereja karena pada abad
ke-4 gereja telah menjelma menjadi kekuatan mayoritas seiring dengan keputusan Kaisar
Konstantinopel untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama resmi negara. Dalam periode
selanjutnya, gereja tetap berusaha menghapus rahasia pernikahan Yesus dan Maria
Magdalena melalui sekte Opus Dei. Pemusnahan ini terus berlanjut sampai kematian
Sauniere. Jadi, tindakan Sauniere yang menelepon Sophie sebelum kematiannya merupakan
upaya The Priory of Sion untuk tetap meneruskan rahasia tersebut dan meminta Sophie
supaya melanjutkan keturunan Yesus-Maria Magdalena.

Apakah DVC hanya sebuah novel?

Penyelidikan yang teliti menunjukkan bahwa Brown tidak melihat novelnya hanya sebagai
novel fiksi semata. Ia tampaknya ingin menunjukkan bahwa DVC adalah sebuah novel
sejarah (historical novel). Sebagai sebuah novel sejarah, DVC menyiratkan fakta-fakta
tertentu. Kenyataannya, novel ini belum layak dikategorikan sebagai novel sejarah. Apa yang
dianggap fakta oleh Brown tidak lebih dari sekedar interpretasi Brown terhadap beberapa
data. Hal ini jelas bisa berpotensi mengelabui dan membohongi harapan pembaca yang sejak
awal melihat DVC sebagai sebuah novel sejarah. Apa saja yang menyebabkan pembaca
mendapat kesan bahwa DVC adalah sebuah novel sejarah?

Pertama, pada bagian kata pengantar Brown mengucapkan terima kasih kepada sejumlah
institusi ternama yang telah membantu dia dalam melakukan riset sebelum penulisan DVC
(hlm 2), yaitu Louvre Museum, the French Ministry of Culture, Project Guttenberg,

2/13
Bibliotheque Nationale, the Gnostic Society Library, the Department of Paintings Study and
Documentation Service at the Louvre, Catholic World News, Royal Observatory Greenwich,
London Record Society, the Muniment Collection at Westminster Abbey, John Pike, and the
Federation of American Scientists. Ia bahkan secara khusus mengucapkan terima kasih
kepada 5 (lima) anggota Opus Dei (3 di antaranya masih aktif) yang bersedia menjadi nara
sumber yang menceritakan pengalaman mereka di dalam Opus Dei, baik yang positif maupun
yang negatif. Hal ini tentu saja akan memberikan kesan bahwa apa yang ditulis dalam DVC
merupakan hasil riset yang bertanggung jawab.

Kedua, setelah bagian kata pengantar, Brown menggunakan satu halaman khusus untuk
menyatakan 3 (tiga) “fakta” dalam novelnya (hlm 3). Apa saja yang diklaim sebagai “fakta”
dalam DVC?
1) The Priory of Sion. Pada tahun 1975 Paris’s Bibliotheque Nationale menemukan
perkamen yang dikenal dengan nama Les Dossiers Secrets, yang menunjukkan beberapa
anggota The Priory of Sion, misalnya Sir Isaac Newton, Botticelli, Victor Hugo dan
Leonardo Da Vinci.
2) Opus Dei. Organisasi kaum rohaniwan ini merupakan kumpulan sekte Katholik yang
sangat loyal. Opus Dei telah menjadi topik kontroversi sehubungan dengan pencucian
otak, pemaksaan dan penyiksaan diri (corporal mortification) yang berbahaya.
3) Semua diskripsi tentang karya seni, arsitektur, dokumen dan ritual-ritual rahasia.

Ketiga, dalam wawancara dengan beberapa stasiun televisi ternama, Brown menegaskan
“kebenaran” dari apa yang ia tulis. Pada waktu ia ditanya oleh Matt Lauer dari NBC tentang
seberapa banyak bagian DVC yang bisa disebut realita dalam arti benar-benar terjadi, Brown
menjawab “Absolutely all of it. Obviously, Robert Langdon is fictional, but all of the art,
architecture, secret rituals, secret societies; all of that is historical fact”.

Keempat, tokoh-tokoh fiktif dalam DVC yang membuka kode rahasia ditampilkan Brown
sebagai figur yang ilmiah, sehingga menimbulkan kesan apa yang mereka sampaikan
berhubungan dengan “kebenaran objektif”. Robert Langdon diperkenalkan sebagai profesor
dari Harvard dalam bidang simbol keagamaan (religious symbology), walaupun sebenarnya
tidak ada disiplin ilmu tersebut di Harvard. Sophie merupakan ahli kode rahasia
(cryptologist). Pembaca juga akan bertemu figur Profesor Teabing yang “sangat mahir”
dalam sejarah dan berbagai dokumen kuno.

Strategi penulisan di atas ingin memberikan pesan kepada pembaca bahwa apa yang ditulis
dalam DVC benar-benar merupakan fakta. Seberapa banyak “kebenaran” yang diharapkan
bisa ditangkap dan diterima oleh para pembaca? Melebihi harapan seseorang ketika ia
membaca sebuah novel sejarah! Sayangnya, sebagaimana akan tampak dalam bagian
selanjutnya dari makalah ini, untuk dikategorikan sebagai novel sejarah pun DVC sebenarnya
belum layak (apalagi sebagai “buku ilmiah” seperti yang dianggap oleh banyak orang). Jelas,
DVC bukanlah sekedar novel. Tidak heran, banyak pembaca DVC mengalami kegoncangan
iman yang luar biasa (lihat www.salon.com dan www.danbrown.com). Para peninjau seni
pun tidak luput dari pengaruh DVC, misalnya USA Today dan Counterculture.

Tidak ada yang baru di bawah matahari

Nasehat Salomo bahwa “tidak ada yang baru di bawah matahari” (Pkh. 1:9) tampaknya
berlaku untuk kasus DVC. Brown tidak menulis dalam kevakuman. DVC hanyalah salah satu

3/13
dari sekian banyak produk yang berasal dari presuposisi tentang konspirasi internasional yang
dilakukan pihak gereja untuk menyeragamkan teologi mereka yang sebenarnya tidak
didasarkan pada fakta. Meminjam ungkapan yang lebih akademis, DVC merupakan salah
satu versi dari pembedaan antara The Historical Jesus (Yesus yang ada dalam sejarah) dan
The Christ of Faith (Yesus yang dipahami oleh gereja mula-mula). Spirit jaman seperti ini
sudah mulai muncul pada jaman pencerahan (enlightenment) pada sekitar abad ke-17.
Dengan pendekatan filosofis yang antisupranaturalis dan pra-anggapan bahwa Alkitab
bukanlah firman Allah yang tidak bisa salah, orang berusaha menginterpretasikan ulang
kebenaran Alkitab. Gambaran tentang Yesus yang ada di Perjanjian Baru dan berbagai
pengakuan iman (kredo) kuno dianggap sebagai hasil rekayasa gereja. Yesus yang dipercayai
oleh gereja dipercayai sangat berbeda dengan Yesus yang ada di dalam sejarah.

Dalam konteks akademis, usaha menampilkan Yesus yang berbeda dengan Yesus dalam
Perjanjian Baru dan kredo mulai dipopulerkan oleh Herman S. Reimarus (1694-1768).
Selanjutnya, mayoritas teolog di Jerman mengadopsi cara pandang yang mirip dengan ini,
misalnya William Wrede, Rudolf Bultmann, E. Kasëman, G. Bornkamm, Barbara Thiering.
Salah satu hasil diskusi dalam taraf akademis yang perlu diwaspadai adalah Jesus Seminar
yang dipelopori oleh Robert W. Funk, Marcus Borg dan John Dominic Crossan. Mereka
berusaha membawa hasil diskusi akademis ini ke dalam domain publik melalui penerbitan
The Five Gospels: What Did Jesus Really Say? dan wawancara di berbagai stasiun televisi.
Dalam The Five Gospels mereka memberikan warna berbeda untuk setiap ucapan Yesus di
kitab-kitab Injil plus Injil Thomas untuk menjelaskan perkataan mana yang bisa ditelusuri
sebagai berasal dari Yesus sendiri dan mana yang hasil karangan para penulis Alkitab.

Dalam konteks yang lebih populer, kekristenan sempat digemparkan oleh penerbitan novel
Holy Blood Holy Grail (Michael Baigent, Richard Leigh, Henry Lincoln), The Last
Temptation of Christ (Nikos Kazantzakis), The Woman Wth the Alabaster Jar (Margaret
Starbird), The Templar Revolution (Lynn Picknett dan Clive Prince). Cara pandang yang
sama juga bisa disimak dalam beberapa film, misalnya Jesus Christ Superstar, The Last
Temptation of Christ, The Body, Jesus in the Himalaya, Who is the Real Mary Magdalene.
Penjelasan dalam bagian ini berguna untuk melihat DVC dalam konteks yang lebih
komprehensif. Analisa kritis terhadap DVC seharusnya dimulai dari konteks ini. Dengan kata
lain, diskusi tentang DVC seharusnya mencakup kredibilitas historis kitab-kitab Perjanjian
Baru sebagai buku kuno, validitas pembedaan antara The Historical Jesus dan The Christ of
Faith, nilai kitab-kitab non-kanonik, dsb. Setelah membahas hal-hal ini, fokus selanjutnya
diarahkan pada analisa detil terhadap DVC yang berkaitan dengan faktualitas beberapa
organisasi/sekte (The Priory of Sion, The Knight Templar, Opus Dei), simbol-simbol kuno
(anagram, pentagram), lukisan Da Vinci (Monalisa, The Last Supper), dokumen-dokumen
Gnostik kuno (Injil Filipus dan Injil Maria), sejarah gereja abad permulaan (seputar
kanonisasi dan kredo), “pernikahan” Yesus, dst.

Proses analisa di atas jelas membutuhkan waktu yang panjang dan pengetahuan akademis
yang memadai. Dalam seminar ini analisa akan langsung difokuskan pada DVC. Ini pun tidak
akan membahas secara khusus tentang simbol-simbol kuno yang dipakai dalam DVC.
Seminar ini diharapkan berhasil memberikan pemahaman yang agak komprehensif tentang
DVC dari sisi historis, seni maupun biblikal.

4/13
The Priory of Sion

Seperti yang sudah disinggung di awal makalah ini, Brown secara eksplisit menyatakan
bahwa catatan tentang beberapa organisasi/sekte dalam DVC (The Priory of Sion dan Opus
Dei) sebagai fakta. Sejauh mana batasan “fakta” yang dimaksud Brown di sini? Bagian ini
hanya akan menganalisa eksistensi The Priory of Sion, karena organisasi ini menjadi dasar
dan pusat cerita DVC. The Knight Templar dan Opus Dei hanya ditampilkan Brown sebagai
pelengkap cerita saja. Seandainya The Priory of Sion memang pemelihara rahasia pernikahan
Yesus-Maria Magdalena dan bahwa Leonardo Da Vinci pernah menjadi anggotanya, maka
cerita DVC memiliki benang merah yang sangat masuk akal. Sebaliknya, seandainya
keterangan Brown salah (terutama tentang keanggotaan Da Vinci), maka novel/film Brown
akan kehilangan inti cerita, yaitu kode Da Vinci. Dengan kata lain, seandainya Da Vinci
bukan anggota The Priory of Sion, maka DVC dari sisi historis sudah gagal sejak awal.

Apakah sekte The Priory of Sion sungguh-sungguh ada? Benarkah organisasi ini merupakan
pemelihara rahasia pernikahan Yesus-Maria Magdalena melalui indikasi-indikasi implisit
dalam berbagai tulisan kuno, lukisan dan arsitektur? Untuk meneliti ini sebaiknya dimulai
dari pernyataan Brown sendiri bahwa “faktualitas” The Priory of Sion ia dapatkan dari
perkamen di Paris’ Bibliotheque Nationale yang disebut Les Dossiers Secrets. Dalam hal ini
Brown sangat dipengaruhi oleh buku Holy Blood Holy Grail yang juga memakai Les
Dossiers Secrets sebagai dasar teori mereka. Di sinilah letak kesalahan terbesar Brown. Les
Dossiers Secrets adalah dokumen palsu.

Eksistensi perkamen tersebut secara historis dapat ditelusuri sampai pada tahun 1950-an.
Seorang berkebangsaan Prancis yang bernama Pierre Plantard mendirikan sebuah kelompok
sosial yang kecil pada tahun 1954 yang ia beri nama The Priory of Sion. Tujuan dari
organisasi ini adalah mengusahakan perumahan yang murah di negara Prancis. Tahun 1957
organisasi ini bubar, tetapi namanya tetap disangkutpautkan dengan Plantard. Selama tahun
1960-an dan 1970-an Plantard mengumpulkan dokumen-dokumen yang “membuktikan” teori
pernikahan Yesus-Maria Magdalena, yang dipercaya sebagai cikal-bakal keturunan raja-raja
Prancis yang disebut dinasti Merovingian. Plantard sendiri mengklaim bahwa ia adalah salah
satu keturunan dari Yesus-Maria Magdalena. Untuk menyukseskan pendirian monarki
Prancis, ia merekrut sejumlah pengikut dan mempopulerkan teori pernikahan Yesus-Maria
Magdalena dengan cara meletakkan perkamen-perkamen itu di Bibliotheque Nationale.
Beberapa waktu setelah itu, salah seorang sahabat president Prancis terlibat dalam masalah
hukum dan Plantard dipanggil untuk memberikan kesaksian terkait dengan Les Dossiers
Secrets. Di bawah sumpah ketika dia ditanya di pengadilan ia mengakui bahwa ia mengarang
semua cerita dalam dokumen tersebut. Temannya juga menegaskan pengakuan ini. Semua ini
telah dicatat dalam banyak buku di Prancis (lihat James Garlow and Peter Jones, Cracking Da
Vinci's Code, hlm. 112).

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa organisasi The Priory of Sion memang pernah ada,
tetapi bukan seperti yang digambarkan dalam DVC. Tidak ada rahasia besar yang diteruskan
oleh organisasi ini. Dengan demikian, keterangan tentang keanggotaan Da Vinci dalam
organisasi ini juga fiktif, sehingga yang namanya “Da Vinci Code” juga tidak pernah ada.

5/13
Kode dalam karya Da Vinci

Inti lain dari DVC adalah keyakinan Brown bahwa Da Vinci menyimpan kode-kode tertentu
dalam beberapa karyanya yang mengarah pada pernikahan Yesus-Maria Magdalena. Ia juga
mengutip “pernyataan Da Vinci” yang terkesan negatif terhadap akurasi Perjanjian Baru
maupun tradisi dalam gereja. Benarkah Da Vinci adalah seorang yang radikal dalam hal
doktrin (iman)?

Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah konteks jaman Renaissance pada abad ke-15 di
mana Da Vinci hidup. Masa ini ditandai dengan timbulnya semangat mempelajari tulisan-
tulisan kuno Yunani-Romawi dan cara pandang humanisme. Dua hal ini, ditambah dengan
dekadensi moral di kalangan rohaniwan, pada akhirnya menimbulkan sikap negatif terhadap
gereja. Da Vinci juga ofensif terhadap gereja, tetapi bukan seperti yang digambarkan Brown.
Da Vinci hanya menyerang dekadensi moral dan kemewahan hidup para rohaniwan waktu
itu.

Bagaimana dengan tulisan Da Vinci yang menganggap Perjanjian Baru berisi angan-angan
dan mujizat palsu yang menipu banyak orang (hlm. 231)? Brown ternyata telah mengutip
pernyataan Da Vinci lepas dari konteksnya (out of context). Pernyataan Da Vinci yang
dikutip Brown tidak berhubungan dengan Perjanjian Baru sama sekali. Brown hanya
mengambil beberapa kata dari pernyataan Da Vinci tentang masalah kimiawi (bahan/zat).
Yang dimaksud penipuan oleh Da Vinci adalah pandangan tradisional yang menganggap air
raksa adalah benih dari setiap logam.

Hal kedua yang penting untuk dibahas adalah “kode” dalam lukisan Mona Lisa. Brown
menyatakan bahwa ada perpaduan (kesejajaran) antara laki-laki dan perempuan dalam
lukisan Mona Lisa (hlm. 120). Ia bahkan menyatakan bahwa nama “Mona Lisa” merupakan
sebuah anagram yang merujuk pada dewa-dewa kesuburan Mesir kuno yang bernama dewa
Amon dan dewi Isis (yang dalam piktograf disebut L’ISA). Dalam hal ini Brown telah
melakukan kesalahan yang fatal. Da Vinci tidak pernah memberi nama lukisannya. Tidak
heran, beragam orang menyebut lukisan “Mona Lisa” dengan beragam nama. Sebutan “Mona
Lisa” sendiri baru muncul dalam buku karangan Giorgio Vasari tahun 1550 yang berjudul
The Lives of the Artist. Jadi, nama “Mona Lisa” baru ada sekitar 30 tahun setelah kematian
Da Vinci.

Selain itu, teori anagram Brown juga defektif. Dewa Amon (Ammon atau Amun) adalah
dewa matahari yang tidak secara khusus berhubungan dengan kesuburan. Pada waktu dewa
Amon dihubungkan dengan seorang dewi, ia disandingkan dengan dewi Muth (bukan Isis).

Lukisan lain yang paling penting dan menjadi inti kode Da Vinci adalah The Last Supper.
Menurut Brown, figur di sebelah kanan Yesus adalah Maria Magdalena, karena wajahnya
tampak feminin. Hal ini dipertegas dengan posisi Yesus dan Maria Magdalena yang
membentuk huruf “V” (simbol rahim/wanita). Petrus sendiri digambarkan seperti sedang
mengancam Maria Magdalena dengan posisi tangannya yang sedang memegang pisau di
dekat leher Maria Magdalena. Brown juga memberi penekanan pada ketidakadaan cawan
perjamuan yang ia percayai dimaksudkan Da Vinci untuk memberitahu bahwa cawan darah
perjanjian yang sejati adalah Maria Magdalena.

6/13
Tafsiran Brown di atas sangat spekulatif dan tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan Da
Vinci. Hal terpenting yang perlu diketahi adalah bahwa lukisan ini tidak berbicara tentang
perjamuan terakhir ketika Yesus membagikan roti dan anggur sebagai tanda pengorbanannya.
Lukisan ini mengisahkan momen ketika Yesus memberitahu siapa yang akan mengkhianati
Dia (Yoh 13:21-24). Hal ini didukung oleh beberapa bukti: (1) semua murid saling
menanyakan satu kepada yang lain; (2) Petrus menanyai seorang murid yang duduk di
sebelah kanan Yesus. Karena momen yang dicatat adalah perjamuan terakhir versi Yohanes,
maka tidak ada catatan tentang cawan, karena dalam Yohanes 13 Yesus memang tidak
membagikan roti dan anggur.

Tafsiran di atas sekaligus bisa menjelaskan posisi Yesus dan figur yang ada di sebelah
kanannya (menurut Yohanes 13:23 figur ini adalah Yohanes). Posisi Yohanes (atau Maria
Magdalena menurut Brown) yang agak condong ke kanan berguna untuk menunjukkan
sebuah harmoni, yaitu murid-murid dikelompokkan ke dalam 4 grup masing-masing terdiri
dari 3 orang. Selain itu, posisi ini juga penting untuk menampilkan Yesus sebagai pusat dari
lukisan ini. Yesus berada di tengah dan tampak sendirian (terpisah) dari empat kelompok
murid yang ada.

Sehubungan dengan identitas figur di sebelah kanan Yesus, dia pasti salah seorang dari 12
murid. Kitab-kitab Injil menunjukkan bahwa pada saat perjamuan terakhir 12 murid bersama
dengan Yesus, baru setelah itu Yudas pergi meninggalkan mereka (Yoh 13:27-30).
Seandainya figur itu adalah Maria Magdalena, hal ini akan meninggalkan sebuah pertanyaan
tentang siapa di antara 12 murid yang tidak hadir pada waktu momen penting tersebut.

Tentang figur Yohanes yang tampak feminin, hal ini harus dipahami dalam konteks jaman
Renaissance. Orang-orang pada jaman itu terbiasa menggambarkan figur “murid yang ideal”
dengan wajah yang tampak sangat muda, rambut yang panjang dan wajah yang bersih dari
kumis dan jenggot. Gambaran ini berguna untuk menunjukkan bahwa seorang murid masih
belum berpengalaman dan perlu terus bersama dengan gurunya. Tidak heran, wajah Yohanes
dalam beberapa lukisan jaman Renaissance juga memiliki penampilan yang hampir sama
dengan yang ada di lukisan The Last Supper. Gambaran tentang murid yang ideal untuk
Yohanes sangat sesuai dengan karakter Yohanes di Injil Yohanes. Ia disebut dengan “murid
yang dikasihi Tuhan” dan paling cepat memahami sesuatu (Yoh 20:2, 4, 8; 21:7, 20).

Maria Magdalena di luar Alkitab

Figur Maria Magdalena memiliki peranan sangat sentral dalam DVC. Secara umum dapat
dikatakan bahwa misteri yang ingin diungkap dalam DVC berpusat pada Maria Magdalena
(dan Yesus). Gambaran “baru” tentang Maria Magdalena dalam DVC berhubungan dengan
pemunculan Maria Magdalena dalam tulisan bapa gereja dan naskah-naskah kuno yang
beraliran Gnostik.

Datum pertama terdapat dalam tulisan bapa gereja Hippolytus, abad ke-3, dalam tafsiran
Kidung Agung 24-26. Ia menulis “supaya rasul-rasul wanita tidak meragukan malaikat-
malaikat, Kristus sendiri datang kepada mereka supaya mereka menjadi rasul-rasul Kristus
dan dengan ketaatan mereka memperbaiki dosa Hawa yang dulu...Kristus datang kepada
rasul-rasul laki-laki dan berkata kepada mereka:...’Akulah yang menampakkan diri kepada
wanita-wanita ini dan Akulah yang mengirim mereka kepadamu sebagai rasul [dari para
rasul]’”.

7/13
Text berikutnya yang penting adalah Injil Filipus 63:32-64:10. Bagian yang paling
kontroversial terdapat dalam pasal 63:33-36 “dan teman/istri dari [....] Maria Magdalena.
[...mengasihi] dia lebih daripada [semua] murid dan [terbiasa] mencium dia [sering] pada
[...]nya”. Tanda kurung di atas menunjukkan bagian yang hilang dari naskah kuno yang
ditemukan, sehingga menimbulkan spekulasi beragam dari para sarjana. Berdasarkan konteks
bagian ini, konteks Injil Filipus secara umum (terutama pasal 58-59) dan ukuran bagian yang
hilang para sarjana mencoba merekonstruksi kata apa yang telah hilang. Mereka umumnya
merekonstruksi seluruh teks di atas sebagai berikut: “dan teman (istri) dari Juru Selamat
Maria Magdalena mengasihi dia lebih daripada semua murid yang lain dan terbiasa mencium
dia sering pada mulutnya”. Rekonstruksi seperti ini dianggap menyiratkan bahwa Maria
Magdalena adalah istri Yesus.

Teks terakhir berasal dari kitab yang ditulis pada abad ke-2, yang bernama Injil Maria
Magdalena. Bagian yang sangat kontroversial adalah Injil Maria 17:10-18:21 yang berbunyi
sebagai berikut:
Tetapi Andreas menjawab dan berkata kepada saudara-saudara, “katakan apa yang ingin kalian katakan
tentang apa yang telah ia (Maria Magdalena) katakan. Aku setidaknya tidak percaya kalau Juru Selamat
mengatakan seperti itu, karena ajaran-ajaran itu jelas merupakan hal yang aneh”. Petrus menjawab dan
mengatakan hal yang sama. Ia menanyakan mereka tentang Juru Selamat: “apakah Ia sungguh-sungguh
berbicara dengan seorang wanita tanpa pengetahuan kita dan tidak secara publik? Akankah kita berpaling dan
semua mendengarkan dia (Maria Magdalena)? Apakah Ia lebih memilih dia daripada kita?” Lalu Maria meratap
dan berkata kepada Petrus, “Saudaraku Petrus, apa yang engkau pikirkan? Apakah engkau berpikir bahwa aku
sendiri telah memikirkan hal ini atau aku sedang berdusta tentang Juru Selamat?” Lewi menjawab dan berkata
kepada Petrus, “Petrus, engkau selalu temperamental. Sekarang aku melihat engkau menentang seorang wanita
seperti musuh. Tetapi jika Juru Selamat membuat dia layak, akankah engkau sungguh-sungguh menolaknya?
Juru Selamat tentu mengenal dia sangat baik. Itulah sebabnya Ia mengasihi dia lebih daripada kita. Sebaliknya,
biarlah kita malu dan memakai Manusia sempurna, berpisah sebagaimana Ia memerintahkan kita dan
memberitakan Injil, tidak meletakkan hukum atau peraturan lain selain apa yang Juru Selamat katakan.

Sebelum membahas teks-teks tersebut secara detil, ada beberapa penjelasan dalam DVC yang
perlu ditambahkan sehubungan dengan isu kepemimpinan Maria Magdalena. Brown
menganggap sumber kuno di atas sebagai bukti atau dasar untuk mengetahui hubungan
Yesus dan Maria Magdalena yang sebenarnya. Kanonisasi yang dilakukan gereja pada abad
ke-4 (setelah gereja memiliki kekuatan karena dijadikan agama negara) merupakan cara
untuk menyingkirkan “sumber-sumber terpercaya” ini dan untuk memberi legitimasi pada
kitab-kitab yang sejalan dengan ajaran gereja. Usaha ini selanjutnya didukung oleh berbagai
konsili (terutama Konsili Nicea, tahun 325) yang menghasilkan kredo yang menampilkan
keilahian Yesus.

Bagaimana meresponi catatan-catatan kuno di atas? Pertama, tentang catatan Hippolytus.


Untuk memperjelas masalah, perlu diketahui bahwa frase “rasul dari para rasul” tidak ada
dalam tulisan Hippolytus. Tambahan “dari para rasul” baru muncul pada abad ke-10.
Hippolytus memang menyebut Maria Magdalena sebagai rasul wanita. Hal ini sesuai dengan
catatan kitab-kitab Injil yang menceritakan tentang penampakan diri Yesus kepada Maria
Magdalena dan pengutusan Yesus supaya Maria Magdalena pergi kepada para murid (band.
Yoh 20:17). Dari sini terlihat bahwa sebelum Konsili Nicea, gereja mula-mula dan bapa-bapa
gereja dari kalangan ortodoks tetap mengakui posisi Maria Magdalena sebagai rasul.

8/13
Apakah hal itu berarti pandangan Brown benar? Perlu diperhatikan, kutipan Hippolytus tidak
berbicara secara khusus tentang Maria Magdalena. Bentuk jamak yang dikenakan pada rasul-
rasul wanita dalam kutipan ini menunjukkan bahwa Hippolytus memikirkan perempuan-
perempuan lain juga sebagai rasul. Namun, apakah maksud istilah “rasul” di sini? Dalam
Perjanjian Baru, kata rasul (apostolos) bisa merujuk pada tiga kelompok: 12 murid (Mat
10:2//Luk 6:13), orang-orang tertentu yang memegang kepempinan dalam gereja secara resmi
(misalnya Paulus dan Barnabas, Kis 14:14; Rom 1:1) dan orang-orang Kristen secara umum
yang memberitakan Injil (1Kor 9:5-6; 2Kor 8:3, 23; Flp 2:25). Dari konteks kutipan
Hippolytus terlihat bahwa “rasul-rasul wanita” adalah mereka yang melihat peristiwa
kebangkitan dan diutus memberitakan kabar baik. Jadi, “rasul” di sini tidak berhubungan
dengan posisi formal kepemimpinan dalam gereja. Seandainya ini diterima, maka tidak ada
yang istimewa dalam kutipan Hippolytus, karena Perjanjian Baru juga menyebut beberapa
wanita sebagai rasul maupun nabi, misalnya Yunias (Rom 16:7), anak-anak Filipus (Kis
21:9).

Kedua, tentang Injil Filipus. Ada beberapa hal yang memicu perdebatan para sarjana. Yang
terutama adalah arti kata koinonos dalam frase “teman/istri dari [Juru Selamat]”. Kata
koinonos bisa berarti teman atau istri. Berdasarkan pemakaian kata ini dalam literatur
Yunani, koinonos sebaiknya dipahami sebagai teman. Seandainya yang dimaksud adalah
“istri”, maka penulis Injil Filipus pasti akan memakai kata yang lebih umum, yaitu gunh.

Hal lain yang perlu dibahas adalah ciuman Yesus kepada Maria Magdalena. Kita perlu
memahami bahwa tulisan-tulisan Gnostik penuh dengan simbol. Maria Magdalena sendiri
dalam Injil Filipus digambarkan sebagai Sang Hikmat, ibu dari para malaikat dan saudara
perempuan dari Juru Selamat. Berdasarkan pemahaman tentang genre dan teologi Gnostik
ini, kita sebaiknya memahami ciuman Yesus “di bibir” (seandainya kata yang hilang memang
demikian) dalam kitab ini secara simbolis, yaitu penerusan firman. Hal ini bisa dipahami
karena figur Maria Magdalena sebagai Sang Hikmat. Kasih Yesus kepada Maria Magdalena
yang melebihi murid-murid lain bisa dimengerti dengan mudah apabila dikaitkan dengan
posisi Maria Magdalena secara mistis dalam tulisan Gnostik.

Ketiga, tentang Injil Maria Magdalena. Sebagaimana dalam tulisan Gnostik lainnya, kitab ini
juga memiliki ungkapan-ungkapan yang simbolis dan misterius. Tidak terkecuali Injil Maria
Magdalena 17:10-18:21. Teks ini menggambarkan pertentangan antara aliran ortodoks
(diwakili oleh Petrus) dan aliran minoritas lain (diwakili tokoh wanita Maria Magdalena).
Pertentangan ini juga hanya berhubungan dengan wahyu Allah, bukan jabatan gerejawi.
Kaum Gnostik menganggap diri sebagai penerima pengetahuan yang rahasia dari Kristus,
sedangkan pengetahuan ini bertentangan dengan ajaran gereja pada umumnya. Jadi, teks ini
sama sekali tidak membicarakan tentang perebutan posisi kepemimpinan dalam gereja.

Kanonisasi, konsili dan kitab-kitab non-kanonik

Setelah membahas kitab-kitab non-kanonik yang berhubungan dengan Maria Magdalena, kita
sekarang akan menyelidiki isu yang lebih luas, yaitu posisi kitab-kitab non-kanonik dalam
gereja abad permulaan. Brown berpendapat bahwa sejarah berada di tangan yang memiliki
kuasa (hlm. 356). Berdasarkan asumsi ini ia meyakini bahwa kanonisasi dan konsili mulai
abad ke-4 hanyalah upaya gereja untuk menindas pihak minoritas. Gereja ingin menampilkan
Yesus sebagai figur yang ilahi, karena itu berbagai ajaran yang berbeda dengan pandangan
mayoritas (ortodoks) ini sengaja dikesampingkan, terutama pernikahan Yesus-Maria

9/13
Magdalena dan penunjukkan Maria Magdalena sebagai pemimpin gereja, seperti tercatat
dalam kitab-kitab non-kanonik.

Untuk menjawab pandangan DVC di atas, kita perlu memaparkan beberapa hal. Usaha
kanonisasi pada abad ke-4 bukanlah usaha awal untuk menentukan kitab-kitab yang diterima
gereja. Dari tulisan bapa-bapa gereja sebelum abad ke-4 terlihat bahwa kitab-kitab kanonik
sebenarnya sudah diterima secara praktis di gereja dalam bentuk pemakaian kitab-kitab
tersebut dalam pembacaan publik di ibadah. Pembacaan dalam ibadah ini berakar dari ibadah
Yahudi di synagoge dan bait Allah (band. Luk 4:16-21; 1Tim 4:13). Secara khusus berkaitan
dengan keempat kitab Injil, dokumen kuno sebelum abad ke-4 sudah mengakui otoritas kitab-
kitab tersebut, misalnya Diatesseron. Jadi, penerimaan kitab-kitab kanonik sebagai firman
Allah sudah dilakukan secara non-formal jauh sebelum gereja memegang dominasi pada
masa pemerintahan Kaisar Konstantinopel. Kanonisasi hanyalah keputusan resmi (formal)
dan menyeluruh dari gereja-gereja yang ortodoks.

Kebutuhan gereja untuk mengetahui dengan jelas kitab apa saja yang merupakan firman
Allah tidak bisa dilepaskan dari situasi gereja pada abad ke-2 dan ke-3. Mereka berada di
bawah penganiayaan yang hebat. Kepemilikan kitab suci bisa menjadi alasan yang kuat bagi
pemerintah untuk menangkap orang Kristen. Di tengah situasi seperti ini mereka merasa
perlu mengetahui kitab-kitab mana yang benar-benar firman Allah, karena pada saat itu kitab-
kitab lain juga banyak bermunculan. Mereka ingin diyakinkan bahwa mereka membayar
harga mahal untuk firman Allah, bukan untuk kitab-kitab lain yang tidak berotoritas. Selain
itu, keberadaan berbagai bidat pada masa itu juga mendorong gereja untuk memiliki pedoman
yang jelas yang benar-benar meneruskan ajaran para rasul.

Kita juga perlu memahami bahwa pertentangan dengan ajaran yang tidak sesuai dengan
ortodoksi bukan dimulai pada abad ke-4. Pada masa gereja masih menjadi minoritas pada
abad ke-2 dan ke-3, bapa-bapa gereja sudah menentang ajaran yang dianggap tidak ortodoks.
The Muratorian Canon (abad ke-2) secara eksplisit menyatakan tulisan-tulisan Valentinus dan
Marcion harus dibuang dari gereja. Irenaeus (abad ke-2) menulis kitab Against Heresies
untuk menegaskan tradisi kekristenan dan sekaligus menentang para bidat.

Hal lain yang perlu kita pahami adalah kriteria kanonisasi. Bagaimana gereja di abad ke-2
dan ke-3 memilih kitab-kitab mana yang pantas dibaca di dalam ibadah? Bagaimana konsili
menentukan kitab-kitab mana yang layak dianggap sebagai kanon (pedoman)? Jawaban
terhadap pertanyaan ini ada tiga:

(1) Kriteria tradisi.


Suatu kitab diakui sebagai firman Allah yang berotoritas jika sejak jaman para rasul kitab
itu memang sudah diterima oleh gereja mula-mula secara universal. Kriteria ini
berhubungan dengan eksistensi para rasul dan gereja induk di Yerusalem sebagai alat
kontrol (band. Kis 11 dan 15). Seandainya suatu kitab sejak jaman para rasul memang
beredar secara luas dan dipakai dalam ibadah, maka itu berarti kitab tersebut mendapat
“pengesahan” dari para rasul sebagai firman Allah. Dari kriteria ini terlihat bahwa
kanonisasi justru berakar pada situasi abad pertama ketika orang Kristen masih menjadi
minoritas dan dianiaya. Kriteria ini sekaligus juga menolak kitab-kitab non-kanonik yang
baru ditulis mulai abad ke-2 dan ditolak oleh bapa-bapa gereja.

10/13
(2) Kriteria wibawa apostolik.
Allah menyatakan wahyu-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Para rasul merupakan saksi
mata dan penerus tradisi dari Yesus. Dua hal inilah yang turut melandasi kanonisasi.
Suatu kitab diakui sebagai firman Allah kalau memang bersumber dari para rasul sebagai
saksi mata dan penerima ajaran Yesus pertama kali. Berdasarkan kriteria ini, kitab-kitab
non-kanonik dengan sendirinya tidak memenuhi syarat, karena mereka ditulis jauh setelah
masa hidup para rasul.

(3) Kriteria ortodoksi.


Suatu kitab yang diakui dalam kanon tidak mungkin mengajarkan sesuatu yang
bertentangan dengan wahyu Allah sebelumnya maupun kitab yang lain, karena Allah
adalah sumber pengilhaman kitab suci. Alkitab tidak mungkin mengandung kontradiksi.
Pandangan DVC bahwa kitab-kitab non-kanonik ditolak gereja karena bertentangan
dengan ajaran ortodoks tidak bisa dipertahankan. Pandangan tersebut didasarkan pada
asumsi bahwa gereja seharusnya menerima kitab lain yang bertentangan sekalipun.

Sekarang mari kita membahas klaim dalam DVC bahwa doktrin keilahian Yesus baru
diciptakan gereja pada abad ke-4 (Konsili Nicea) untuk mengaburkan figur Yesus yang
sebenarnya hanyalah manusia biasa yang menikah, mempunyai anak dan bisa mati.
Pengakuan terhadap keilahian Yesus sebenarnya sudah muncul pada abad ke-1. Dalam
bagian ini saya tidak akan memberikan ayat-ayat dari kitab Injil, karena hal itu bisa dianggap
tendensius dan bersifat circular reasoning (kita sedang mendiskusikan validitas catatan
tentang Yesus dalam kitab-kitab Injil, tetapi kita menggunakan kitab tersebut sebagai dasar
argumen). Ada beberapa teks yang signifikan. Dalam Galatia 1:11-24 (yang ditulis sekitar
tahun 50-an), Paulus membuktikan bahwa Injil yang ia beritakan berakar dari ajaran yang
bersumber dari Yesus sendiri melalui para rasul maupun pertemuan pribadinya dengan Tuhan
di Damaskus (Kis 9). Rujukan penting lainnya ada di Filipi 2:6-11. Paulus mengutip hymne
gereja mula-mula yang menyinggung keilahian Yesus (ayat 6-8) dan mengaplikasikan
Yesaya 45:23 untuk Yesus. Karena ayat paling awal tentang keilahian Yesus terdapat dalam
Filipi 2:9-11, ketika ia mengutip sebuah hymne. Dari pemaparan ini terlihat bahwa doktrin
keilahian Yesus bukanlah ciptaan gereja abad ke-4.

Asumsi DVC bahwa doktrin keilahian Yesus sengaja diciptakan untuk menghilangkan sisi
kemanusiaan Yesus juga tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kitab-kitab Injil mengajarkan
kemanusiaan Yesus. Ia lahir dari seorang manusia, bertumbuh seperti anak-anak pada
umumnya, merasakan lapar dan haus, bahkan mati. Seandainya Yesus memang menikah dan
mempunyai anak, hal ini tidak akan membahayakan keilahian Yesus. Hal ini bahkan semakin
memperkuat ajaran Alkitab tentang kemanusiaan Yesus.

Apakah Yesus menikah?

DVC mengajarkan bahwa Yesus menikah dengan Maria Magdalena. Dasar yang dipakai
adalah kutipan dari Injil Filipus (hlm. 246-247) dan asumsi bahwa selibat bukanlah praktek
yang bernuansa Yahudi (hlm. 245). Sebagai orang Yahudi, Yesus pasti menikah. Alasan
pertama tidak akan dibahas dalam bagian ini, karena telah disinggung dalam bagian
sebelumnya. Bagian ini hanya akan menanggapi alasan kedua yang dipakai DVC. Kita juga
akan melihat beberapa teks yang berhubungan dengan kemungkinan apakah Yesus menikah
atau tidak.

11/13
Sehubungan dengan asumsi Brown tentang keharusan orang Yahudi yang saleh untuk
menikah, kita perlu mengetahui bahwa pada jaman Yesus ada sekelompok orang Yahudi
yang saleh yang justru tidak menikah. Mereka dikenal sebagai masyarakat Qumran dan kaum
Essenes. Naskah Laut Mati dan kitab sejarah Josephus menegaskan bahwa dua kelompok
tersebut menganut gaya hidup selibat. Yesus sendiri mengakui keistimewaan gaya hidup ini
dalam kaitan dengan fokus untuk kerajaan Allah (Mat 19:10-12).

Catatan Alkitab yang mengajarkan bahwa Maria Magdalena ikut bepergian bersama Yesus
tidak bisa dijadikan alasan kuat untuk menganggap keduanya suami-istri. Lukas 8:1-3
memang mencatat Maria Magdalena bepergian bersama Yesus, tetapi kita tidak boleh lupa
bahwa ayat itu juga mencatat nama-nama wanita lain, yaitu Susana dan Yohana. Kalau mau
konsisten, kita juga harus mengakui bahwa Yesus menganut poligami. Seandainya Maria
Magdalena adalah istri yang menyertai Yesus, bukankah Lukas pasti akan menghilangkan
nama-nama wanita lain dalam Lukas 8:1-3?

Sama dengan ayat di atas, Alkitab biasanya menyebut Maria Magdalena dalam hubungan
dengan wanita lain: ia dan wanita-wanita lain bepergian bersama Yesus (Luk 8:1-3),
menyertai Yesus ke kayu salib (Mat 27:55-56//Mar 15:40-41; Yoh 19:25) dan tetap ada di
sana (Mat 27:61). Satu-satunya ayat yang menyebut Maria Magdalena muncul sendirian
dengan Yesus adalah Yohanes Yohanes 20:11-18. Tindakan Maria yang memeluk Yesus
dalam teks ini memang tidak wajar dalam kultur Yahudi, namun hal ini bisa dipahami
sebagai spontanitas Maria sebagai luapan keterkejutan dan kegembiraan bahwa Yesus masih
hidup (ia sebelumnya tidak memiliki pikiran bahwa Yesus akan bangkit kembali).

Sekarang mari kita melihat beberapa teks yang menyiratkan bahwa Yesus tidak menikah
dengan Maria Magdalena. Pertama, Maria Magdalena tidak pernah dikaitkan dengan nama
seorang pria. Teks yang penting adalah Matius 27:55-56, Markus 15:40-41, Lukas 8:2 dan
Yohanes 19:25. Nama-nama wanita dalam teks ini muncul dalam hubungan dengan suami
atau anak mereka, tetapi khusus untuk Maria Magdalena ia diterangkan dengan asal usulnya,
yaitu Magdala (Magdalena). Seandainya ia sudah menikah atau memiliki anak, ia pasti akan
disebut seperti wanita-wanita lain dalam teks-teks tersebut.

Kedua, 1Korintus 9:4-6. Dalam bagian ini Paulus memberikan argumen bahwa ia sebenarnya
layak untuk mendapatkan bantuan dari jemaat untuk pelayanannya. Secara khusus ia
mengatakan bahwa ia memiliki hak yang sama dengan Petrus dan para rasul lain yang
membawa istri mereka. Seandainya Yesus memang menikah dengan Maria Magdalena dan
mereka sering bepergian bersama, maka Paulus pasti akan menyebutkan hal itu sebagai dasar
argumen yang lebih kuat untuk menegaskan pendapatnya.

Ketiga, Yohanes 19:26-27. Teks ini mencatat salah satu fase hidup yang penting, yaitu
penyaliban-Nya. Di dekat salib, beberapa wanita mengikuti Yesus, termasuk ibunya, Maria.
Seandainya Yesus sudah menikah, kita bertanya-tanya mengapa “istri” Yesus tidak hadir
pada saat yang krusial ini. Alkitab juga mencatat bahwa Yesus memperhatikan ibu dengan
cara menyerahkannya dalam pemeliharaan Yohanes. Seandainya Maria Magdalena adalah
istri, bukankah Yesus seharusnya lebih memperhatikan dia atau, paling tidak, memperhatikan
dia dan ibunya sekaligus?

12/13
Keempat, anggota keluarga Yesus disebut beberapa kali dalam Alkitab. Ayah, ibu dan
saudara-saudara-Nya muncul beberapa kali (Mat 1:18-25; Mar 6:3; Yoh 7:3). Seandainya
Yesus menikah dengan Maria Magdalena, Alkitab pasti akan menyebutkan istri-Nya itu,
walaupun mungkin cuma sekali. Kenyataannya, semua keluarga Yesus disebut berkali-kali
dalam Alkitab, tetapi “istri”-Nya tidak pernah disebut sekalipun. #

13/13

Anda mungkin juga menyukai