Anda di halaman 1dari 6

Hasil Kajian:

“ Peraturan BPJS No 1 Tahun 2018 merupakan Amanat Perpres No 19


tahun 2016 tentang jaminan Kesehatan Pasal 40 yang merupakan
perubahan atas Perpres 12 Tahun 2013, BPJS Kesehatan wajib
mengeluarkan Peraturan BPJS Kesehatan tentang penilaian
kegawatdaruratan dan prosedur penggantian biaya pelayanan gawat
darurat. BPJS Kesehatan telah memerankan tugas pokok dan
fungsinya dengan hanya menetapkan kriteria gawat darurat saja dan
bukan menetapkan tentang diagnosa kegawatdaruratan “
Dasar Masalah :
“ Salah satu keluhan peserta program JKN adalah pasie “ditolak” saat
berkunjung ke UGD sebuah RS dengan alasan kasus atau penyakitnya
tidak termasuk dalam kriteria emergensi (Gawat Darurat) sehingga
tidak dijamin oleh BPJSK. Jika keluarga memaksa untuk tetap ditangani
maka petugas rumah sakit menawarkan untuk menjadi pasien umum
(out of pocket)“
A. DEFINISI GAWAT DARURAT
Undang-Undang Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009 menjelaskan definisi Gawat
Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera
guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut. UU No 44 Tahun
2009 menjelaskan secara umum tentang definisi gawat darurat.

Kementrian Kesehatan mengeluarkan KMK no 856 tahun 2009 tentang Standar IGD
di rumah sakit. Dalam penjelasannya disebutkan :

“ Pasien yang masuk ke IGD rumah sakit tentu nya butuh pertolongan yang cepat
dan tepat, untuk itu perlu ada nya standar dalam memberikan pelayanan gawat
darurat sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya sehingga dapat menjamin
suatu penanganan gawat darurat dengan respon time yang cepat dan
penanganan yang tepat “
Dalam KMK no 856 tahun 2009 tidak menjelaskan kriteria gawat darurat, namun
bila ditemukan indikasi gawat darurat maka segera dilakukan pertolongan dan
penanganan yang tepat.

Pengaturan pokok bagi BPJS Kesehatan terdapat dalam UU No 40 tahun 2004


tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 22 penjelasan Ayat 1 yang berbunyi

“Yang dimaksud pelayanan kesehatan dalam pasal ini meliputi pelayanan dan
penyuluhan kesehatan, imunisasi, pelayanan Keluarga Berencana, rawat jalan,
rawat inap, pelayanan gawat darurat dan tindakan medis lainnya, termasuk cuci
darah dan operasi jantung. Pelayanan ersebut diberikan sesuai dengan pelayanan
standar, baik mutu maupun jenis pelayanannya dalam rangka menjamin
kesinambungan program dan kepuasan peserta. Luasnya pelayanan kesehatan
disesuaikan dengan kebutuhan peserta yang dapat berubah dan kemampuan
keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Hal ini diperlukan untuk kehati-
hatian.“
Amanat UU no 40 tahun 2004, BPJS Kesehatan wajib menggunakan asas kehati-
hatian dalam melakukan pengelolaan keuangan.
Pengaturan berikutnya bagi BPJS Kesehatan tentang gawat darurat terdapat pada
Perpres No 16 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan sebagai perubahan atas
Perpres No 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan pada Pasal 40 Ayat (5) yang
berbunyi :

“Ketentuan lebih lanjut mengenai PENILAIAN KEGAWATDARURATAN dan


prosedur penggantian biaya pelayanan gawat darurat diatur
dengan PERATURAN BPJS KESEHATAN”.
Amanat Perpres 12 Tahun 2013, BPJS Kesehatan wajib mengeluarkan Peraturan
BPJS Kesehatan tentang penilaian kegawatdaruratan dan prosedur penggantian
biaya pelayanan gawat darurat.

BPJS mengeluarkan Peraturan BPJS Nomor 1 Tahun 2014 namun tidak mengatur
secara jelas kriteria diagnosa yang masuk pelayanan kasus gawat darurat malah lebih
membingungkan lagi karena Pasal 63 Ayat (2) menyatakan bahwa

“ Pelayanan gawat darurat merupakan pelayananan kesehatan yang harus


diberikan secepatnya untuk mencegah kematian, keparahan, dan/atau kecacatan,
sesuai dengan kemampuan fasilitas kesehatan dengan KRITERIA TERTENTU
sesuai dengan PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.”
Pertanyaannya, peraturan perundang- undangan mana yang dimaksudkan ?

PMK Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN tidak mengatur
secara tegas kriteria diagnosa gawat darurat. kemudian PMK Nomor 28 Tahun 2014
tentang Manlak JKN yang merupakan “kitab” nya pelayanan JKN oleh BPJSK pun
tidak mengatur jenis diagnosa yang termasuk pelayanan gawat darurat. Hanya
mengatur tentang prosedur pelayanan gawat darurat dan mekanisme klaim bagi
faskes yang tidak bekerjasama dengan BPJS namun melayani kasus gawat darurat
peserta BPJSK.

B. PERIODE TAHUN 2014

Program JKN harus tetap jalan mulai 1 Januari 2014. BPJS Kesehatan selaku
operator pelaksana program menerbitkan Surat Edaran Direktur Pelayanan BPJS
Nomor 38 Tahun 2014 tentang Juknis terhadap SE Menkes Nomor 32 Tahun 2014
tentang Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Bagi Peserta BPJS di FKTP dan FKRTL
dalam Penyelenggaran Program JKN. Pada edaran direktur pelayanan BPJS tersebut
disebutkan di Angka 1 Huruf b : “Kriteria kegawatdaruratan medis terlampir”. Dan
memang didalam lampiran surat edaran tersebut

terdapat tabel daftar penyakit yang termasuk kriteria emergensi. Terdapat 171 kasus
diagnosa kriteria emergensi yang dibagi dalam 9 bagian disiplin ilmu kedokteran
(Anak, Penyakit Dalam, Kardiovaskuler, Paru-Paru, Bedah, Kebidanan, Syaraf, Mata
dan THT).

PMK Nomor 416 Tahun 2011 ini adalah tentang Tarif Pelayanan Kesehatan Bagi
Peserta PT. ASKES (Persero) yang merupakan revisi dari Peraturan Bersama Menteri
Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 138 Tahun 2009 tentang Pedoman
Tarif Pelayanan Kesehatan Bagi Peserta PT Askes (Persero) dan Anggota
Keluarganya di Puskesmas, Balai Kesehatan Masyarakat dan Rumah Sakit Daerah.

Konsideran PMK Nomor 416 Tahun 2011 huruf (b) ini berbunyi sebagai berikut : ”
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu
mengatur kembali Tarif Pelayanan Kesehatan Bagi PESERTA PT ASKES (PERSERO)
dengan Peraturan Menteri Kesehatan”. Dalam lampiran kriteria gawat darurat
Permenkes ini tercantum tabel yang berisi jenis diagnosa penyakit yang termasuk
dalam kriteria emergensi persis seperti yang tercantum dalam edaran direktur
pelayanan BPJS pada Januari 2014. Sehingga dapat disimpulkan bahwa rujukan
penentuan kriteria emergensi program JKN memang diambil dari Permenkes
Nomor 416 Tahun 2011 ini.

Bahwasanya yang menjadi OBJEK HUKUM peraturan ini adalah PESERTA PT.
ASKES DAN KELUARGANYA. Artinya yang wajib tunduk dan patuh serta terikat
pada ketentuan ini adalah hanya peserta PT. ASKES dan keluarganya. Diluar itu
maka tidak memiliki legal standing yang harus mengikuti peraturan ini.

Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI)

Terdapat ketentuan tentang 144 diagnosa penyakit yang dapat ditangani oleh dokter
layanan primer, maka patut didugabahwa rujukan akademis ketentuan kriteria
emergensi ini adalah Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang merupakan revisi
dari Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 21a/KKI/Kep/IX/2006
Tentang Pengesahan Standar Kompetensi Dokter. SKDI ini disusun oleh para pakar
di bidang pendidikan kedokteran di Indonesia melibatkan berbagai pihak dengan
kontributor utama para Guru Besar (Profesor) dari 73 Fakultas Kedokteran yang ada
di Indonesia.
Dalam SKDI dikenal 7 (tujuh) area kompetensi inti dan pada area komptensi ke-5
yaitu Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran ditetapkan 4 (empat) Tingkat Kemampuan
yaitu :

1. Tingkat Kemampuan 1 : mengenali dan menjelaskan.


Mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, dan mengetahui cara
yang paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai penyakit
tersebut, selanjutnya menentukan rujukan yang paling tepat bagi pasien.

2. Tingkat Kemampuan 2 : mendiagnosis dan merujuk.


Mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan menentukan
rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.

3. Tingkat Kemampuan 3 : mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal dan


merujuk.
A. 3A : Bukan Gawat Darurat
Mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan yang bukan gawat darurat. Mampu menentukan rujukan yang paling tepat
bagi penanganan pasien selanjutnya.
2. 3B : Gawat Darurat
Mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan
dan/atau kecacatan pada pasien. Mampu menentukan rujukan yang paling tepat
bagi penanganan pasien selanjutnya.

4. Tingkat Kemampuan 4 : mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara


mandiri dan tuntas.
Mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit
tersebut secara mandiri dan tuntas. Kompetensi level 4A adalah Kompetensi yang
dicapai pada saat lulus dokter dan Kompetensi level 4B adalah Profisiensi
(kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/atau Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan (PKB). Dengan demikian didalam Daftar Penyakit ini level
kompetensi tertinggi adalah 4A.
Daftar penyakit disusun berdasarkan sistim tubuh manusia disertai tingkat
kemampuan yang harus dicapai oleh para dokter di Indonesia. Terdapat 726 daftar
penyakit yang terbagi kedalam 13 sistem tubuh manusia. Diantara 726 daftar
penyakit tersebut terdapat 144 daftar penyakit yang memiliki tingkat kemampuan
level 4A yang artinya seluruh dokter harus mampu mendiagnosis, melakukan
penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas.

Meskipun telah ditegaskan bahwa SKDI merupakan standar minimal kompetensi


lulusan dokter dan BUKAN merupakan standar kewenangan dokter layanan primer,
namun Kemenkes tetap mengadopsi menjadi standar kompetensi dokter layanan
primer dengan keluarnya PMK Nomor 5 Tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis
(PPK) Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.

Peraturan inilah yang kemudian menjadi dasar BPJSK menerapkan ketentuan


bahwa terdapat 144 diagnosa penyakit yang “seolah-olah” tidak boleh dirujuk ke
Rumah Sakit dan harus dituntaskan di faskes primer. Tentu saja ketentuan ini
menimbulkan pro dan kontra juga apalagi jika kembali pada filosofi dasar SKDI
adalah BUKAN menjadi standar kewenangan dokter layanan primer. Namun dari
sisi legal aspect ketentuan ini sudah sesuai karena fungsi regulator sistem dan
prosedur layanan kesehatan ada di Kemenkes dan BPJSK hanya sebagai pelaksana
serta penyelenggara di lapangan.

Untuk menjadi perhatian kita bersama terdapat setidaknya 97 daftar penyakit


dengan tingkat kemampuan level 3B (kasus gawat darurat), namun ternyata TIDAK
ditindaklanjuti dengan terbitnya aturan tentang Panduan Praktik Klinis (PPK) Kasus
Gawat Darurat di UGD Fasilitas Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
(FKRTL). Keluarnya PMK Nomor 416 Tahun 2011 secara logika seharusnya mengacu
kepada SKDI Tahun 2006 yang juga sudah terdapat daftar penyakit yang termasuk
kriteria gawat darurat (Tingkat Kemampuan Level 3B). Dalam PMK tersebut, daftar
penyakit disusun berdasarkan bidang ilmu kedokteran, BUKAN berdasarkan sistem
tubuh manusia.

C. PERIODE 2018
Pada Tahun 2018, BPJS mengeluarkan Peraturan BPJS No 1 tahun 2018 tentang
penilaian kegawatdaruratan dan prosedur penggantian biaya pelayanan gawat
darurat. Disebutkan pada Pasal 6 ayat 2 :

“ Kriteria sebagai pasien gawat darurat medis terdiri atas :


1. Mengancam nyawa
2. Adanya gangguan pada jalan nafas, pernafasan, sirkulasi dan dehidrasi
3. Adanya penurunan kesadaran
4. Adanya gangguan hemodinamik
5. Memerlukan tindakan segera yaitu suatu kondisi yang harus ditangani fara
tidak melewati golden period (kurang dari 6 jam), apabila melewati akan
menyebabkan kerusakan organ yang permanen
6. Gejala psikotik aku yang membahayakan atau kegawatdaruratan lain di
bidang psikiatri “
Kemudian di pasal 12 ayat 2 peraturan BPJS Kesehatan No 1 tahun 2018
menyebutkan

“ setelah mendapatkan pelayanan kesehatan di Instalasi gawat Darurat, peserta


dapat pulang setelah pelayanan selesai, dirawat inap atau dirujuk ke FKTRL lain “
Adanya Peraturan BPJS No 1 Tahun 2018 ini MENCABUT Surat Edaran Direktur
Pelayanan BPJS Nomor 38 Tahun 2014 tentang Juknis terhadap SE Menkes Nomor
32 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Bagi Peserta BPJS di
FKTP dan FKRTL dalam Penyelenggaran Program JKN.
D. Kesimpulan
1. Dalam Pengelolaan Keuangan BPJS Kesehatan harus melakukan prinsib kehati
hatian sebagai amanat UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional penjelasan pasal 22 ayat 1
2. Belum ada ketentuan setingkat peraturan dari Kemenkes selaku regulator yang
menetapkan NSPK sistem prosedur pelayanan kesehatan dalam program JKN
terkait dengan diagnosis yang termasuk kriteria emergensi.
3. Surat Edaran Direktur Pelayanan BPJS TIDAK BISA dijadikan dasar hukum
karena ranah kewenangan BPJSK adalah sebagai pelaksana dan penyelenggara di
lapangan dikarenakan telah ada peraturan BPJS No 1 tahun 2018.
4. Peraturan BPJS No 1 Tahun 2018 merupakan Amanat Perpres No 19 tahun 2016
tentang jaminan Kesehatan Pasal 40 yang merupakan perubahan atas Perpres 12
Tahun 2013, BPJS Kesehatan wajib mengeluarkan Peraturan BPJS Kesehatan
tentang penilaian kegawatdaruratan dan prosedur penggantian biaya pelayanan
gawat darurat
F. Rekomendasi

1. Kemenkes harus segera menyusun dan menetapkan Panduan Praktik Klinis


(PPK) terhadap 97 kasus-kasus emergensi sesuai dengan sistematika yang sudah
ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dalam Standar Kompetensi
Dokter Indonesia (SKDI).
2. BPJS Kesehatan melakukan sosialisasi secara menyeluruh pada seluruh BPJS
Kesehatan cabang tentang penjelasan dasar pembuatan Peraturan BPJS No 1
Tahun 2018 sehingga tidak menimbulkan perbedaan dalam pelaksanaan
peraturan tersebut.
Bahan Bacaan :
1. UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
2. Perpes Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
3. Perpres No 16 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan
4. Permenkes Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN
5. Permenkes Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program JKN
6. Kepmenkes Nno 856 Tahun 2009 tentang Standar IGD di Rumah Sakit
7. Peraturan BPJS Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan
Kesehatan
8. Surat Edaran Direktur Pelayanan BPJS Nomor 38 Tahun 2014 tentang Juknis
terhadap SE Menkes Nomor 32 Tahun 2014.
9. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan, BPJS Kesehatan Tahun 2014
10. Permenkes Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pedoman Praktik Klinis (PPK) Bagi
Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
11. SK Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 21a Tahun 2006 Tentang Pengesahan
Standar Kompetensi Dokter.
12. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI).

Anda mungkin juga menyukai