Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) merupakan obat yang sering
diresepkan oleh dokter serta terjual bebas di masyarakat. Di Amerika Serikat dan
Eropa Barat, peresepan OAINS mencapai hingga 4%-7%, namun data penggunaan
OAINS di Indonesia belum didapatkan. OAINS sering digunakan karena
efektivitasnya yang baik sebagai analgetik, anti-inflamasi, dan antipiretik.
Siklooksigenase (COX)-1 pertama kali dipurifikasi pada tahun 1976. Pada
saat itu, peneliti mengira bahwa pembentukan prostaglandin (yang telah
ditemukan sejak 1962) hanya melalui satu enzim ini.1,2 Penemuan gen pengkode
COX-2 yang terjadi pada tahun 1991 mengubah pandangan mereka.1 COX-1 dan
COX-2 memiliki struktur yang sangat mirip meskipun susunan asam amino
mereka hanya memiliki 61% kemiripan.3

Baik COX-1 dan COX-2 berperan dalam biosintesis prostanoid dari


substratnya yakni asam arakidonat melalui jalur arakidonat. Prostanoid adalah
sekelompok senyawa kimia mediator aktif yang dihasilkan dari kerja COX.
Prostanoid adalah bagian dari eicosanoid, yang merupakan kelompok besar
senyawa biokimia yang meliputi tromboksan, prostasiklin, leukotriene,
hydroxyeicosatetraenoic acid, epoxyeicosatrienic acids, lipoksin, dan isoprostan.
Setiap kelas eicosanoid memiliki fungsi spesifik dan bekerja dalam lingkup lokal
untuk meregulasi respon sel tertentu.4

Karena COX-1 dan COX-2 mirip dan bekerja dalam tahap yang sama pada
jalur arakidonat, penghambatan selektif menjadi tantangan tersendiri. Berbekal
asumsi bahwa COX berperan aktif dalam proses inflamasi, NSAID penghambat
COX bermunculan.5 Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs (NSAID) termasuk
dalam kelompok obat yang paling sering diresepkan di dunia. Kelompok obat ini
mencakup aspirin, penghambat cyclooxygenase (COX) nonselektif, dan
penghambat COX-2 selektif. Mereka memiliki kemampuan umum sebagai
analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik.6
Untuk memahami mekanisme kerja dan efek NSAID terhadap tubuh, kita
perlu memiliki pemahaman mengenai proses apa yang dihambat obat tersebut yakni
enzim COX dan jalur arakidonat tempat enzim tersebut bekerja. Diharapkan paper
ini dapat menambah wawasan mengenai COX, jalur arakidonat, dan NSAID
sehingga dapat menunjang pelayanan kesehatan kedepannya.

1.2. Tujuan Penulisan


1. Untuk memenuhi tugas keaniteraan klinik senior di bagian anestesiologi.
2. Untuk mengetahui klasifikasi dan farmakologi dari obat NSAID (Non
Steroidal Anti-inflammatory Drugs).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Secara umum peradangan dapat diartikan sebagai suatu respon tubuh terhadap
stimulus yang disebabkan oleh adanya cedera. Proses peradangan dapat timbul oleh
beberapa hal seperti infeksi, antibodi dan trauma fisik. Apapun penyebab
peradangan, responnya secara klasik hampir sama yaitu berupa kalor (panas), dolor
(nyeri), rubor (kemerahan), dan tumor (bengkak).
Obat antiinflamasi (anti radang) non steroid, atau yang lebih dikenal dengan
sebutan NSAID (Non Steroidal Anti-inflammatory Drugs) adalah suatu golongan
obat yang memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas),
dan antiinflamasi (anti radang). Mekanisme kerja NSAID didasarkan atas
penghambatan isoenzim COX-1 (cyclooxygenase-1) dan COX-2 (cyclooxygenase-
2). Enzim cyclooxygenase ini berperan dalam memacu pembentukan prostaglandin
dan tromboksan dari arachidonic acid. Prostaglandin merupakan molekul pembawa
pesan pada proses inflamasi (radang).
Penghambatan terhadap enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) diperkirakan
memediasi efek antipiretik (penurunan suhu tubuh saat demam), analgesik
(pengurangan rasa nyeri), dan antiinflamasi (anti-peradangan). Sedangkan
penghambatan enzim COX-1 menyebabkan gangguan pada pencernaan. Oleh
karena itu NSAIDs yang ideal adalah NSAIDs yang hanya menghambat enzim
COX-2 tanpa mengganggu enzim COX-1.
NSAIDs digunakan terutama untuk mengurangi nyeri dan demam yang
menyertai peradangan. Seperti nyeri pada infeksi gigi-gusi, Nyeri pada penyakit
rematik dan nyeri serta peradangan akibat trauma fisik.

2.2. Mekanisme kerja


Enzim Siklooksigenase (COX)
2.2.1. Struktur Molekuler COX
COX (Prostaglandin G/H sintase; Prostaglandin endoperoksida H sintase;
EC 1.14.99.1) adalah enzim homodimer yang mengkatalis dua langkah pertama
dalam biosintesis prostaglandin. Enzim COX memiliki dua isoform, yakni
isoenzim COX-1 dan COX-2. COX-1 memiliki 576 asam amino sementara COX-
2 memiliki 581 asam amino. COX-1 memiliki tiga oligosakarida, salah satu
oligosakarida berperan dalam pelipatan protein. COX-2 memiliki empat
oligosakarida, dimana satu oligosakarida berperan dalam pelipatan protein dan
oligosakarida keempat berperan dalam degradasi protein ini.7

2.2.2. Perbedaan Isoenzim COX-1 dan COX-2


COX-1 diproduksi oleh sebagian besar jenis sel dalam tubuh. Gen COX-1
bernama Ptgs-1. Gen ini mengkode RNA mRNA sepanjang 2,8 kb yang stabil.
Gen untuk COX-2, Ptgs-2, teraktivasi terutama ketika ada rangsangan mediator
inflamasi atau endotoksin bakteri di jaringan. Gen ini apabila teraktivasi akan
menghasilkan mRNA sepanjang 4 kb yang mudah rusak karena ketidakstabilan di
3’-untranslated region.7
Enzim COX-2 bersifat unik karena memiliki sensitivitas lebih tinggi
terhadap hidroperoksida dibanding COX-1 sehingga mampu bekerja pada
konsentrasi asam arakidonat yang lebih rendah dibanding COX-1.7 Selain itu,
secara in vivo COX-2 terekspresi setelah ada induksi berupa lingkungan
inflamasi. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa COX-1 bekerja untuk
homeostasis sementara COX-2 bekerja dalam proses patologis.14
Ada spekulasi yang menyatakan bahwa isoform COX-3 ada pada manusia
(isoform ini baru ditemukan pada hewan). Spekulasi ini muncul untuk
menjelaskan cara kerja acetaminophen yang tidak begitu bagus dalam
menghambat COX-1 dan COX-2 tetapi ternyata mampu meredakan nyeri.6

2.2.3. Peran Fisiologis COX-1 dan COX-2


Peran fisiologis COX-1 meliputi:15
a. Agregasi platelet. Platelet merupakan vesikel sel tak berinti yang akan
beragregasi membentuk bekuan darah ketika terjadi kerusakan
pembuluh darah. Platelet dapat menghasilkan tromboksan A2 (TXA2)
menggunakan substrat asam arakidonat dengan enzim COX-1. Asam
arakidonat yang menjadi substrat didapat dari eksogen atau dari
cadangan fosfolipid intrasel. TXA2 akan keluar dari platelet dan
berikatan dengan reseptor TXA2 platelet untuk menginduksi
perubahan bentuk dan agregasi platelet. TXA2 juga bisa berikatan
dengan reseptor di pembuluh darah untuk menginduksi vasokonstriksi.
b. Persalinan. Percobaan menunjukkan bahwa pada hewan yang
kekurangan COX-1, PGF2α tidak terproduksi sehingga persalinan
menjadi terhambat. Akan tetapi tampaknya COX-2 pada kondisi
terinduksi inflamasi juga dapat memproduksi PGF2α untuk proses
persalinan.

Peran fisiologis COX-2 meliputi: 15


a. Ovulasi dan implantasi. COX-2 berperan dalam peningkatan
produksi PGE2 ovarium. Deplesi PGE2 ovarium akan menyebabkan
masalah ovulasi dan fertilisasi. Kekurangan COX-2 juga membuat
PGI2 berkurang sehingga menghambat implantasi blastocyst dan
desidualisasi.
b. Perkembangan neonatus. COX-2 berperan dalam perkembangan
jaringan glomerulus ginjal serta mempercepat penutupan ductus
arteriosus.

Proses yang melibatkan baik COX-1 dan COX-2, meliputi:15,16


a. Inflamasi. Dalam proses inflamasi, COX-2 berperan pada proses
inisiasi dan resolusi. COX-2 terutama akan diproduksi ketika ada
rangsangan berupa lipopolisakarida, interleukin-1, tumor necrosis
factor, serum, epidermal growth factor, transforming growth factor
alpha, interferon gamma, platelet activating factor, dan endotelin.
COX-1 tetap ada tetapi relatif sedikit dibanding COX-2.
b. Perlukaan lambung. Pada hewan kekurangan COX-1, terjadi
penurunan PGE2 lambung hingga 99%. Namun hal ini tak serta
merta membuat terjadinya ulkus. Pada hewan, ulkus baru terjadi
ketika COX-2 juga ikut dihambat. COX-2 juga tampaknya mampu
mempercepat penyembuhan ulkus.
c. Karsinogenesis. Penelitian menunjukkan bahwa COX-1 dan COX-2
memicu peningkatan PGE2 di polip usus sehingga berkontribusi
terhadap terbentuknya kanker kolon.

2.2.4. Jalur Arakidonat


Asam arakidonat adalah asam lemak tak jenuh berkarbon 20.8 Asam
arakidonat adalah salah satu asam lemak polioenol yang paling banyak dalam
tubuh mamalia. Asam arakidonat umumnya ditemukan terikat pada membran
fosfolipid sel. Melalui jalur arakidonat, asam arakidonat dapat diubah menjadi
prostanoid.17
Tahap pertama dalam jalur arakidonat adalah pelepasan asam arakidonat
dari membran fosfolipid oleh enzim fosfolipase A2. Asam arakidonat kemudian
diubah menjadi eicosanoid melalui tiga jalur yakni siklooksigenase (COX),
lipoksigenase (LOX), dan sitokrom P-450 (cyt P-450).17 Selain itu, radikal bebas
bisa mengubah asam arakidonat menjadi isoprostan.8
Pada jalur COX, asam arakidonat diubah oleh COX menjadi prostaglandin
H2 (PGH2) melalui dua tahap.16 Ketika asam arakidonat menempel ke tempat
aktif siklooksigenase, struktur kanal L akan membuat karbon-13 asam arakidonat
tepat berada di depan Tyr-385. Saat COX mengalami aktivasi, Tyr-385 akan
berubah menjadi molekul radikal. Radikal tirosil akan melepaskan atom hidrogen
dari karbon-13 (dikonfigurasi S). Lepasnya atom ini akan memicu reaksi
siklooksigenasi dimana terjadi penambahan molekul oksigen membentuk
jembatan endoperoksida antara karbon 9 dan 11 dan cincin 5 karbon yang khas
pada senyawa prostaglandin. Molekul oksigen kedua memasuki karbon 15
menghasilkan gugus hidroperoksida PGG2. Setelah tahap siklooksidasi selesai,
terjadi tahap peroksidasi dimana COX akan mereduksi gugus 15-hidroperoksi di
PGG2 menjadi gugus alkohol, membentuk PGH2.4,7,16
Setelah PGH2 terbentuk, PGH2 ini akan diproses kembali oleh enzim
sintase terminal yang berbeda-beda menjadi prostanoid aktif yang akan bekerja di
jaringan.16 Prostanoid menghasilkan banyak efek biologis dan berperan penting
dalam fisiologi tubuh maupun patologi penyakit.17 Jumlah prostanoid dalam tiap
sel bervariasi tergantung isoform COX yang banyak terekspresi.16
Jenis-jenis prostanoid yang disintesis melalui jalur siklooksigenase, di

antaranya adalah:20

a. PGD2, merupakan mediator inflamasi dan alergi. PGD2 diproduksi oleh


sel mast dan sel Th2. PGD2 juga merupakan salah satu zat pemicu tidur
di otak.
b. PGE2, berperan dalam homeostasis, pembentukan inflamasi, nyeri,
aterosklerosis, dan demam.
c. PGF2α, berperan dalam steroidogenesis ovarium, menginduksi
persalinan, dan memacu kontraksi otot rahim,
d. Prostasiklin/PGI, berperan dalam relaksasi otot polos dan mencegah
agregasi platelet.
e. TXA2, berperan dalam agregasi platelet dan vasokonstriksi
2.3. Karakteristik Umum NSAID
Tahun 1971, Vane dkk menemukan bahwa aspirin dan indomethacin menghambat
produksi prostaglandin dengan cara memblokir aktivitas COX.21 Sejak saat itu, dikenal
istilah Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs (NSAID). NSAID termasuk dalam
kelompok obat yang paling sering diresepkan di dunia. NSAIDs secara klinis digunakan
sebagai antipiretik, analgesik dan antiinflamasi. Obat ini sangat efektif dalam
menurunkan suhu tubuh saat demam (antipiuretik). NSAIDs dipakai juga untuk
analgesik dalam menangani sakit ringan sampai sedang seperti myalgia, dental pain,
dysmenorrhea dan sakit kepala. Tidak seperti analgesik jenis opoid yang tidak boleh
karena ada efek depresi neurologis.

Sebagai antiinflamasi NSAIDs digunakan untuk merawat kondisi tegang otot,


tendinitis dan bursitis. Selain itu, obat ini juga digunakan untuk merawat penyakit
kronis dan inflamasi arthritis rheumatoid, osteoarthritis, dan macam-macam arthritis
lain seperti gouty arthritis dan ankylosing spondylitis.

2.4. Indikasi dan Kontraindikasi


Indikasi diberikan pada pasien yang mengalami inflamasi, rasa sakit dan
demam. Faktor ko-morbid dapat meningkatkan resiko seperti perdarahan GI
termasuk riwayat ulser, usia lanjut, status kesehatan yang buruk, pemakaian obt
NSAID yang lama, merokok dan penggunaan alkohol. Semua itu dapat menyebabkan
efek pada ginjal, sehingga dalam penggunaan NSAID harus hati-hati bagi pasien yang
memiliki penyakit gagal jantung, hipertensi, dan edema.
Kontraindikasi dari obat ini adalah bagi orang yang memiliki hipersensitivitas pada
salisilat atau NSAID yang lain. Asma merupakan salah satu bentuk hipersensitivitas.
Kontraindikasi lainnya bagi orang yang memiliki riwayat perdarahan GI, iritasi gastric,
atau peptic ulcer. NSAIDs juga tidak boleh digunakan saat kehamilan, karena efek
aktivitas prostaglandin akan mengganggu perkembangan embrio terutama pada
bulan terakhir kehamilan.

2.5. Farmakokinetik
NSAID yang diberikan secara peroral sangat cepat diabsorpsi, biasanya
dalam 15-30 menit. Setelah diabsorpsi, 90% obat akan berikatan dengan albumin
dan beredar bersamanya. Kondisi hipoalbuminemia akan menyebabkan banyak
obat tidak terikat dan efek samping yang ditimbulkan semakin besar.6
Hati akan memetabolisme hampir semua NSAID dan ekskresinya akan melalui
ginjal atau empedu. Sirkulasi enterohepatik terjadi ketika NSAID atau metabolitnya
diekskresi ke empedu dan terserap kembali di usus.6 Penelitian menunjukkan bahwa
derajat iritasi pencernaan akibat efek samping NSAID ternyata berkorelasi positif dengan
jumlah sirkulasi enterohepatik.18 Penurunan fungsi ginjal akan memperpanjang waktu
paruh obat sehingga dosis obat mungkin perlu dikurangi. Gangguan hati akan
menghambat metabolisme NSAID sehingga meningkatkan toksisitas obat.

2.6. Farmakodinamik
NSAID terutama bekerja dengan menghambat jalur COX. Pada jalur ini,
kebanyakan NSAID bekerja secara reversibel dengan mencegah pertemuan asam
arakidonat dengan tempat aktif enzim COX sehingga biosintesis prostaglandin dapat
dihambat.6 Aspirin adalah pengecualian, karena aspirin bekerja dengan mengasetilasi

Ser-530 di COX-1 dan SER-516 di COX sehingga efeknya ireversibel.8 Beberapa


NSAID juga memiliki efek kerja tambahan, seperti menghambat kemotaksis,
mengurangi produksi interleukin-1, dan mengurangi produksi radikal bebas.18
NSAID penghambat COX-2 selektif (coxib) disintesis hanya beberapa tahun
setelah COX-2 ditemukan. Keuntungan NSAID jenis ini adalah NSAID ini tidak
mengganggu fungsi platelet dan fungsi sistem pencernaan pada dosis biasa dengan
efektivitas yang relatif sama dengan NSAID lain. Perlu diperhatikan bahwa NSAID
penghambat COX-2 selektif juga memiliki efek samping, dimana mereka mampu
meningkatkan risiko gangguan kardiovaskuler pada penggunaan jangka panjang.18
Pada umumnya NSAID menurunkan sensitivitas pembuluh darah terhadap
bradikinin dan histamin, mempengaruhi produksi limfokin dari limfosit T, dan
melawan vasodilatasi yang terjadi saat inflamasi. NSAID bersifat analgesik,
antiinflamasi, dan hampir semua menghambat agregasi platelet. Kebanyakan
NSAID juga bersifat mengiritasi lambung, nefrotoksik (karena penghambatan
terhadap prostaglandin yang berperan dalam autoregulasi aliran darah ginjal), dan
hepatotoksik.18
Berdasarkan farmakodinamik tersebut, efek samping yang mungkin muncul dari
konsumsi NSAID biasanya berada dalam spektrum berikut:18
a. Sistem saraf pusat: sakit kepala, telinga berdenging, pusing
b. Kardiovaskuler: retensi cairan, hipertensi, edema, infark miokard,
gagal jantung kongestif
c. Pencernaan: nyeri perut, displasia, mual, muntah, ulkus, perdarahan
d. Hematologi: trombositopenia, neutropenia, anemia aplastik
e. Hati: fungsi hati terganggu, gagal hati
f. Kulit: rash, pruritus
g. Ginjal: insufisiensi ginjal, gagal ginjal, hiperkalemia, dan
proteinuria.

2.7. Efek Samping


Efek samping yang dapat terjadi sehubungan dengan pemakainan obat
analgetik dapat terjadi dalam bentuk ringan maupun yang lebih serius. Pada
umumnya manifestasi obat tersebut dalam bentuk ringan berupa reaksi alergi, rash,
dan sebagainya dengan angka kejadian yang relatif kecil untuk paracetamol,
metamizol, dan ibuprofen, sedang pada aspirin lebih besar.

2.8. Interaksi Obat


Toksisitas NSAIDs pada gastrointestinal akan meningkat jika penggunaan
obat ini dikombinasikan dengan kortikosteroid. Oleh karena NSAIDs menurunkan
fungsi sintesis prostaglandin, obat ini dapat meningkatkan neprotoksisitas pada
agen seperti ampoterisin B, cidofovir, cysplatin, siklosporin, gancyclovir dan
vancomycin.

2.9. Dosis Obat

Waktu paruh Dosis orang Frekuensi pemberian


(jam) dewasa (mg)
Aspirin 0.25 + 0.03 300-600 4 jam sesuai kebutuhan
Dislofenac sodium 1.1 + 0.2 50-75 2,3 atau 4 kali sehari
Dislofenac 1.1 + 0.2 25-50 2 atau 3 kali sehari
Potassium
Diflunisal 11 + 2 250-500 2 kali sehari
Ibuprofen 2 + 0.5 200-400 3 atau 4 kali sehari
Indomethacin 2.4 + 0.4 25-50 2 atau 3 kali sehari
Ketoprofen 1.8 + 0.3 50-100 3 atau 4 kali sehari
Asam mefenamic 3+1 250 4 kali sehari
Naproxen 14 + 1 250 3 kali sehari
Paracetamol 2 + 0.4 500-1000 4 jam sesuai kebutuhan
Phenylbutazone 56 + 8 100-200 3 kali sehari
Piroxicam 48 + 8 10-20 Sekali sehari
Sulindac 15 + 4 100-200 2 kali sehari
Tenoxicam 60 + 11 10-20 Sekali sehari

Anda mungkin juga menyukai