Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi otak


Otak adalah organ vital yang terdiri dari 100-200 milyar sel aktif yang saling
berhubungandan bertanggung jawab atas fungsi mental dan intelektual kita. Otak terdiri dari
sel-sel otak yang disebut neuron. Otak merupakan organ yang sangat mudah beradaptasi
meskipun neuron-neuron di otak mati tidak mengalami regenerasi.

Sumber : unita.lecture.ub.ac
Otak dilindungi oleh tulang tengkorak dan ditutupi oleh 3 membranyang disebut
meningen. Otak juga dilindungi oleh cairan serebrospinal, yang diproduksi oleh
pleksus khoroideus, yang masuk ke dalam 4 ventrikel dan rongga antara
meningen. Cairan serebrospinal membawa nutrient dari darah ke otak dan
membawa kembali zat-zat yang tidak diperlukan lagi dari otak ke darah.

Sumber : unita.lecture.ub.ac
Secara garis besar, sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat dan sistem
saraf tepi. Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak dan medulla spinalis. Sistem saraf
disisi luar SSP disebut sistem saraf tepi (SST). Fungsi dari SST adalah menghantarkan
informasi bolak balik antara SSP dengan bagian tubuh lainnya.. Otak merupakan bagian
utama dari sistem saraf, dengan komponen bagiannya adalah :
1) Cerebrum
Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang hemisfer
kanan dan kiri dan tersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan sulkus (celah) dan girus
dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:
a) Lobus frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih tinggi, seperti
kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di hemisfer kiri), pusat
penghidu, dan emosi. Bagian ini mengandung pusat pengontrolan gerakan volunter di
gyrus presentralis(area motorik primer) dan terdapat area asosiasi motorik (area
premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini
juga mengatur gerakan sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif.
b) Lobus temporalis
Lobus temporalis temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan ke
bawah dari fisura laterali dan sebelah posterior dari fisura parieto-oksipitalis. Lobus ini
berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, visual, pendengaran dan berperan dlm
pembentukan dan perkembangan emosi.
c) Lobus parietalis
Lobus Parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus postsentralis
(area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran.
d) Lobus oksipitalis
Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi penglihatan:
menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari nervus optikus dan
mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf lain & memori.
Sumber : www.aktivasiotak.com

2) Cerebellum
Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih banyak neuron
dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki peran koordinasi yang penting dalam fungsi
motorik yang didasarkan pada informasi somatosensori yang diterima. Cerebellum terdiri dari
tiga bagian fungsional yang berbeda yang menerima dan menyampaikan informasi ke bagian
lain dari sistem saraf pusat. Cerebellum merupakan pusat koordinasi untuk keseimbangan dan
tonus otot. Mengendalikan kontraksi otot-otot volunter secara optimal.

Sumber : www.aktivasiotak.com
3) Brainstem
Brainstem adalah batang otak, berfungsi untuk mengatur seluruh proses kehidupan yang
mendasar. Berhubungan dengan diensefalon diatasnya dan medulla spinalis dibawahnya.
Struktur-struktur fungsional batang otak yang penting adalah jaras asenden dan desenden
traktus longitudinalis antara medulla spinalis dan bagian-bagian otak, anyaman sel saraf dan
12 pasang saraf cranial. Secara garis besar brainstem terdiri dari tiga segmen, yaitu
mesensefalon, pons dan medulla oblongata.

Sumber : www.aktivasiotak.com
a). Mesensefalon
Mesecephalon membentuk wilayah tengah otak dan merupakan bagian penting
dari system syaraf pusat. Mesecephalon melakukan sejumlah tugas individu sangat
penting yaitu bangun atau tidur, kecemasan, kontrol motor, pendengaran, penglihatan,
pengaturan suhu. pada ujung anterior, terhubung dengan otak depan dan diujung
posterior melekat metencephalon (pons), sehingga di tempatkan didekat pusat otak.
b). Pons
Struktur utama di bagian atas dari batang otak yang disebut pons. Pons berada
didepan sereblum, di bawah otak tengah. Pons terdiri atas serat saraf yang membentuk
jembatan antara dua hemisfer sereblum, dan serat yang melalui antara posisi otak
yang lebih tinggi dan medula spinalis. . Pons bertugas untuk menghubungkan jalur
sensoris dari medula spinalis ke talamus dan otak kecil (serebelum). Pons memiliki
dua peran. Yang pertama adalah regulasi pernapasan . Di pons, adastruktur yang
disebut pusat pneumotaxic . Pons mengontrol jumlah udara napas dan napas per
menit, yang dikenal sebagai tingkat pernapasan . Selain itu, pons terlibat dalam
transmisi sinyal ke dan dari struktur lain di otak , seperti otak atau otak kecil. Pons
merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak bersama dengan
formasi reticular Pons juga terlibat dalam sensasi seperti pendengaran, rasa, dan
keseimbangan.
c). Medulla Oblongata
Medulla oblongata menghubungkan pons yang teretak di superior dengan
medulla spinalis yang terletak diinferior. pertemuan medulla oblongata dan medulla
spinalis terletak ditempat pangkal radiks anterior dan posterior nervus spinalis
cervicalis pertama, yang kira-kira terletak setinggi foramen magnum. Medulla
oblongata berbentuk kerucut, ujung yang lebar mengarah ke superior. Medulla
oblongata terletak di bagian bawah batang otak. Panjangnya sekitar 2,5 cm dan
terletak tepat dibawah kranium diatas foramen magnum. Medulla oblongata adalah
titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan menuju bagian kanan badan,
begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol fungsi otomatis otak, seperti detak
jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.

2.2 Anatomi Peredaran Darah Otak


Darah mengangkut zat asam, makanan dan substansi lainnya yang diperlukan bagi
fungsi jaringan hidup yang baik. Kebutuhan otak sangat mendesak dan vital, sehingga aliran
darah yang konstan harus terus dipertahankan. Suplai darah arteri ke otak merupakan suatu
jalinan pembuluh-pembuluh darah yang bercabang-cabang, berhubungan erat satu dengan
yang lain sehingga dapat menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel.
1) Peredaran Darah Arteri
Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis dan arteri karotis
interna, yang bercabang dan beranastosmosis membentuk circulus willisi. Arteri karotis
interna dan eksterna bercabang dari arteri karotis komunis yang berakhir pada arteri serebri
anterior dan arteri serebri medial. Di dekat akhir arteri karotis interna, dari pembuluh darah
ini keluar arteri communicans posterior yang bersatu kearah kaudal dengan arteri serebri
posterior. Arteri serebri anterior saling berhubungan melalui arteri communicans anterior.
Arteri vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria subklavia sisi yang sama. Arteri subklavia
kanan merupakan cabang dari arteria inominata, sedangkan arteri subklavia kiri merupakan
cabang langsung dari aorta. Arteri vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen magnum,
setinggi perbatasan pons dan medula oblongata. Kedua arteri ini bersatu membentuk arteri
basilaris.

Sumber : www.aktivasiotak.com

2) Peredaran Darah Vena


Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus-sinus duramater, suatu saluran
pembuluh darah yang terdapat di dalam struktur duramater. Sinus-sinus duramater tidak
mempunyai katup dan sebagian besar berbentuk triangular. Sebagian besar vena cortex
superfisial mengalir ke dalam sinus longitudinalis superior yang berada di medial. Dua buah
vena cortex yang utama adalah vena anastomotica magna yang mengalir ke dalam sinus
longitudinalis superior dan vena anastomotica parva yang mengalir ke dalam sinus
transversus. Vena-vena serebri profunda memperoleh aliran darah dari basal ganglia.

2.3 Definisi Epilepsi


Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling umum terjadi dan
mengenai sekitar 50 juta orang di dunia. Epilepsi berupa suatu kondisi yang berbeda-beda
ditandai dengan kejang yang tiba-tiba dan berulang. Tidak ada perbedaan usia, jenis kelamin,
atau ras, meskipun kejadian kejang epilepsi yang pertama mempunyai dua pembagian,
dengan puncaknya pada saat masa kanakkanak dan setelah usia 60 tahun.
Epilepsi berasal dari kata Yunani, epilambanmein, yang berarti serangan atau kejang.
Masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya bahwa
epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Hal ini yang melatarbelakangi adanya mitos
dan rasa takut terhadap epilepsi. Mitos tersebut mewarnai sikap masyarakat dan menyulitkan
upaya penanganan penderita epilepsi dalam kehidupan normal.
Kejang berasal dari bahasa Latin, sacire, yang berarti untuk mengambil alih. Kejang
adalah suatu kejadian tiba-tiba yang disebabkan oleh lepasnya agregat dari sel-sel saraf di
sistem saraf pusat yang abnormal dan berlebihan.
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi,
dengan gejala tunggal yang khas, yakni kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik
neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. Epilepsi ditetapkan sebagai kejang epileptik
berulang (dua atau lebih), yang tidak dipicu oleh penyebab yang akut.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa yang berlebihan
dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan Universitas Sumatera
Utara atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel
saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. Lepasnya muatan listrik
yang berlebihan ini dapat terjadi di berbagai bagian pada otak dan menimbulkan gejala
seperti berkurangnya perhatian dan kehilangan ingatan jangka pendek, halusinasi sensoris,
atau kejangnya seluruh tubuh. Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis
epilepsi yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan,
faktor pencetus dan kronisitas.

2.4 Epidemiologi
WHO melaporkan sebanyak sekitar 43 juta orang dengan epilepsi berasal dari 108
negara yang mencakup 85,4% dari populasi dunia. Angka rata-rata orang dengan epilepsi per
1000 populasi adalah 8,93 dari 105 negara. Angka rata-rata orang dengan epilepsi per 1000
populasi bervariasi di seluruh wilayah. Amerika mempunyai angka rata-rata 12,59, 11,29 di
Afrika, 9,4 di Mediterania Timur, 8,23 di Eropa, dan 3,66 di Pasifik Barat. Sementara itu,
Asia Tenggara memiliki angka rata-rata sebanyak 9,97.
Sedangkan di Indonesia, prevalensi penderita epilepsi di Indonesia berkisar antara
0,5–4 % dengan rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1.000 penduduk. Bila jumlah penduduk
di Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah penderita epilepsi per tahunnya
adalah 250.000. Angka tersebut terbilang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Thailand dan
Singapura sebagai sesama negara Asia Tenggara.
Prevalensi epilepsi aktif dalam sejumlah besar studi membuktikan keseragaman pada
angka 4-10 per 1000 penduduk. Insidensi epilepsi di negara maju adalah 24-53 per 100.000
populasi. Terdapat beberapa studi kejadian epilepsi di negara berkembang, tetapi tidak ada
yang cukup prospektif. Mereka menunjukkan 49,3-190 per 100.000 populasi. Tingkat
insidensi tinggi di negara berkembang yang dianggap sebagai akibat dari infeksi parasit
terutama neurosistiserkosis, HIV, trauma, dan morbiditas perinatal sulit untuk ditafsirkan
karena masalah metodologis, terutama kurangnya penyesuaian usia, yang penting karena
epilepsi memiliki dua bimodal terkait usia. Sedangkan di negara maju, insidensi di kalangan
orang tua meningkat dan menurun di kalangan anak-anak. Hal ini diakibatkan karena
meningkatnya risiko penyakit serebrovaskular. Sebaliknya, perawatan obstetrik yang lebih
baik dan pengendalian infeksi dapat mengurangi angka kejadian pada anak-anak. Tingkat
insidensi di dunia lebih besar pada pria dibandingkan wanita.

2.5 Etiologi Epilepsi


Penyebab epilepsi pada berbagai kelompok usia:
1) Neonatal Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan
metabolik (hipokalsemia, hipoglisemia, defisiensi vitamin B6, defisiensi
biotinidase, fenilketonuria).
2) Bayi (1-6 bulan) Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan
metabolik, spasme infantil, Sindroma West.
3) Anak (6 bulan – 3 tahun) Spasme infantil, kejang demam, kelainan saat persalinan
dan anoksia, infeksi, trauma, kelainan metabolik, disgenesis kortikal, keracunan
obatobatan.
4) Anak (3-10 tahun) Anoksia perinatal, trauma saat persalinan atau setelahnya,
infeksi, thrombosis arteri atau vena serebral, kelainan metabolik, Sindroma
Lennox Gastaut, Rolandic epilepsi.
5) Remaja (10-18 tahun) Epilepsi idiopatik, termasuk yang diturunkan secara
genetik, epilepsi mioklonik juvenile, trauma, obat-obatan.
6) Dewasa muda (18-25 tahun) Epilepsi idiopatik, trauma, neoplasma, keracunan
alkohol atau obat sedasi lainnya.
7) Dewasa (35-60 tahun) Trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat lainnya.
8) Usia lanjut (>60 tahun) Penyakit vascular (biasanya pasca infark), tumor, abses,
penyakit degeneratif, trauma.

2.6 Patofisiologi
Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan muatan
ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini
menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif.
Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui
sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang
berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila
eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan
dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain, sehingga
terjadilah epilepsi.
Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas listrik yang
berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang penderita dikatakan menderita
epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa provokasi. Bangkitan epilepsi
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan inhibisi serebral, bangkitan
akan muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol. Pada sebagian besar kasus tidak
dijumpai kelainan anatomi otak, namun pada beberapa kasus epilepsi disertai oleh kerusakan
struktural otak yang mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi mental.

2.7 Faktor Resiko


1) Keturunan
Epilepsi bisa saja terjadi karena faktor keturunan. Saat terdapat salah satu riwayat
keluarga yang menderita epilepsi, bisa jadi penderita mengalami hal tersebut. Karena
itu umumnya dokter akan melihat sejarah kesehatan keluarga. Adanya resiko dan
riwayat penyakit saraf pada orang tua atau keluarga penderita, berpotensi untuk
menimbulkan penyakit epilepsi pada keturunannya. Oleh sebab itu tidak ada salahnya
berhati-hati jika kerabat atau orang tua menderita penyakit tersebut.
2) Usia
3) Trauma kepala
4) Infeksi
Peradangan atau infeksi pada otak juga dapat memicu kondisi epilepsi. Umumnya
yang paling sering terjadi akibat infeksi virus meningitis. Oleh sebab itu sebaiknya
selalu berikan vaksinasi meningitis lengkap pada anak balita. Sehingga resiko
terjadinya infeksi, termasuk resiko mengalami epilepsi dapat dihindari sejak dini.
5) Kejang Demam
Salah satu penyebab berikutnya yang sering terjadi yaitu akibat serangan kejang
demam. Suhu badan yang sangat tinggi umumnya dapat memicu serangan kejang dan
kehilangan kesadaran. Sehingga penderita yang cenderung mengalami kejang demam
secara otomatis akan beresiko lebih tinggi terhadap serangan ayan atau epilepsi.
Mengingat mekanisme gejala serta proses terjadinya penyakit kurang lebih hampir
sama.

2.8 Gejala Klinis


Menurut manifestasi klinisnya, kejang dibagi menjadi kejang parsial, yang berasal
dari salah satu bagian hemisfer serebri, dan kejang umum, dimana kedua hemisfer otak
terlibat secara bersamaan.
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu :
1) Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu
hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran
penderita umumnya masih baik.
a) Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik, psikoilusi,
atau emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran penderita masih
baik.
b) Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang
paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.
2) Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau kedua
hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran penderita
umumnya menurun.
a) Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sesaat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia.
Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi, sehingga
sering tidak terdeteksi.
b) Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan, leher, dan
badan.Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.
c) Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat. Kejang
yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d) Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan total
disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke
atas. Fase tonik berlangsung 10 -20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang
berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas fenomena otonom
yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut
jantung.
e) Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang yang
terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f) Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami jatuh
akibat hilangnya keseimbangan

2.9 Penegakan Diagnosa


Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang yang tidak
dipicu. Diagnosis pasti dapat ditegakkan hanya jika kejang terjadi selama perekaman EEG
atau jika muatan listrik dapat dihubungkan dengan tanda dan gejala pasien. Oleh karena itu,
diagnosis kejang tetap yang paling utama.
Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis epilepsi
secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan keterampilan yang khusus. Pada kebanyakan
pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan mengetahui secara lengkap riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan elektroensefalografi, dan pencitraan otak.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena pemeriksa
hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Anamnesis dapat
berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis, meliputi:
a. Pola atau bentuk serangan

b. Lama serangan

c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan

d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat serangan pertama

h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan

i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya

j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik dan neurologi


Melihat adanya tanda-tanda infeksi, seperti demam, infeksi telinga, tanda meningeal,
atau bukti adanya trauma kepala. Pemeriksaan fisikk harus menepis sebab-sebab
terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Pada anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan
perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh yang dapat
menunjukkan awal gangguan pertumubuhan otak unilateral. Pemeriksaan neurologis
lengkap dan rinci adalah penting, khususnya untuk mencari tanda-tanda fokal atau
lateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakkan diagnosis
epilepsi dan tipe kejang lainnya yang tepat dan bahkan sindrom epilepsi. EEG juga
dapat membantu pemilihan obat anti epilepsi dan prediksi prognosis pasien.
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di
otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya kelainan genetik atau metabolik. Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan
perekaman pada waktu sadar dalam keadaan istirahat dan pada waktu tidur. Gambaran
EEG pasien epilepsi menunjukkan gambaran epileptiform, misalnya gelombang tajam
(spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksismal.
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah pencitraan otak (neuroimaging) bertujuan
untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Pada pencitraan struktural,
MRI merupakan pilihan utama, lebih unggul dibandingkan CT scan, karena MRI
dapat mendeteksi dan menggambarkan lesi epileptogenik. Pencitraan fungsional
seperti Single Photon Emission Computerised Tomography (SPECT), Positron
Emission Tomography (PET), dan MRI fungsional digunakan lebih lanjut untuk
menentukan lokasi lesi epileptogenik sebelum pembedahan jika pencitraan struktural
meragukan. MRI fungsional juga dapat membantu menentukan lokasi area fungsional
spesifik sebelum pembedahan (Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy,
2010).

2.10 Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi (ODE)
terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang sedini mungkin.
Setiap kali terjadi serangan kejang yang berlangsung sampai beberapa menit maka akan
menimbulkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila hal ini terus-
menerus terjadi, maka dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.
Pengobatan epilepsi dinilai berhasil dan ODE dikatakan sembuh apabila serangan epilepsi
dapat dicegah atau penyakit ini menjadi terkontrol dengan obat-obatan.
Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian:
penggunaan obat antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi, penghilangan faktor
penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas fisik dan mental. Tapi secara umum,
penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam
menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai pengobatan,
pendekatan yang “mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat (start low, go slow)”
akan mengurangi risiko intoleransi obat (Smith dan Chadwick, 2001).
Penatalaksanaan epilepsi sering membutuhkan pengobatan jangka panjang.
Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati pasien epilepsi, memberikan keberhasilan
yang sama dan tolerabilitas yang unggul dibandingkan politerapi. Pemilihan OAE
yang dapat diberikan dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya

Tipe kejang Lini pertama Lini kedua


Kejang parsial
Parsial Carbamazepine Acetazolamide
sederhana, Lamotrigine Clonazepam
Parsial kompleks, Levetiracetam Gabapentin
Umum sekunder Oxcarbazepine Phenobarbitone
Topiramate Phenytoin
Valproate

Kejang umum
Tonik-klonik, Carbamazepine Acetazolamide
Klonik Lamotrigine Levetiracetam
Topiramate Phenobarbitone
Valproate Phenytoin
Absans Ethosuximide Acetazolamide
Lamotrigine Clonazepam
Valproate
Absans atipikal, Valproate Acetazolamide
Atonik, Clonazepam
Tonik Lamotrigine
Phenytoin
Topiramate
Mioklonik Valproate Acetazolamide
Clonazepam
Lamotrigine
Levetiracetam
Phenobarbitone
Piracetam
Sumber: (Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010)

2. Terapi bedah epilepsi


Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang dan meningkatkan
kualitas hidup pasien epilepsi yang refrakter. Pasien epilepsi dikatakan refrakter apabila
kejang menetap meskipun telah diterapi selama 2 tahun dengan sedikitnya 2 OAE yang
paling sesuai untuk jenis kejangnya atau jika terapi medikamentosa menghasilkan efek
samping yang tidak dapat diterima. Terapi bedah epilepsi dilakukan dengan membuang
atau memisahkan seluruh daerah epileptogenik tanpa mengakibatkan risiko kerusakan
jaringan otak normal didekatnya (Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy,
2010). Beberapa jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi :
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi

2.11 Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, dan ureum dalam
darah. Keadaan seperti Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia, dan hepatik
ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit
bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan test
fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna.
2) Elektro ensefalografi (EEG)
Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam aktifitas listrik di otak melalui
elektroda yang ditempatkan dikulit kepala. Kelainan EEG yang sering dijumpai pada
penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau epileptiform activity. Pemeriksaan EEG
harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang
paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada
EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya
kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau
metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal ditentukan atas dasar adanya :
 Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak.
 Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya
misal gelombang delta.
 Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat
yang timbul secara paroksimal.
3) Rekaman video EEG
Pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena
epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam
waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan
kejang epilepsi.
4) Pemeriksaan Radiologis
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
kepala merupakan Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging yang bertujuan
untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural di otak dan melengkapi data EEG.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi, namun demikian
pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi
dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat
mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan
hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi
pembedahan. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.
5) Pemeriksaan neuropsikologi
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan akan
dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah ada
tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata
diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi.

2.12 Prognosis
Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi, faktor
penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada 50-70% penderita
epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu
akan dapat berhenti minum obat. Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi
serangan baik dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita.
Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang) dengan
terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus dipertimbangkan untuk
penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.
Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas serangan
(remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas serangan selama
>6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk menurunkan dosis secara
berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu mempertimbangkan risiko terjadinya relaps
setelah penghentian obat. Berbagai faktor prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya
relaps adalah usia awitan pada remaja / dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya
gambaran abnormalitas EEG. Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi
memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian yang
paling tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit
kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan oleh
penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi.

2.13 Komplikasi
a) Kerusakan Otak
Serangan epilepsi yang selalu hadir menyerang dapat menyebabkan terganggunya
beberapa sistem sel saraf pada otak. Kondisi ini bisa mengakibatkan disfungsi pada beberapa
bagian sel dalam otak. Hal ini akan terjadi selama gejala menyerang pasien. Tentunya sel-sel
saraf akan menjadi normal kembali saat gejala kejang mulai mereda.
Namun serangan kejang yang sering terjadi sebenarnya dapat membuat sel saraf pada
otak mengalami penurunan fungsi. Akibatnya keadaan otak akan semakin melemah secara
signifikan. Oleh karena itu pasien epilepsi terkadang mengalami penurunan kemampuan dan
kecerdasan. Terkadang pula pasien mengalami penurunan kemampuan fisik.
b) Gangguan Irama Jantung
Gejala epilepsi yang datang menyerang pasien dengan sewaktu-waktu dapat mengganggu
irama normal jantung. Jantung bisa saja berdetak terlalu lambat atau bisa juga berdetak terlalu
cepat. Jantung juga bisa mengalami irama yang tidak teratur saat gejala kejang datang
menyerang.
Hal ini umumnya disebut dengan istilah aritmia. Detak jantung yang tidak teratur pada
dasarnya bisa menjadi hal yang serius serta beresiko mengancam nyawa. Oleh karena itu
lakukan pencegahan terhadap timbulnya serangan gejala epilepsi agar organ jantung tetaplah
sehat dan berjalan secara normal sesuai dengan fungsinya.
c) Kematian mendadak
Komplikasi lainnya yang bisa timbul karena adanya serangan epilepsi yaitu kematian
mendadak. Sayangnya hingga kini penyebab kematian mendadak yang dialami oleh beberapa
penderita epilepsi masih belum diketahui secara pasti. Namun beberapa ahli menyatakan
pendapatnya bahwa kematianmendadak pada pasien epilepsi seringkali bekaitan dengan
kondisi jantung pada penderita.
Selain itu pasien epilepsi juga bisa saja mengalami kematian mendadak setelah terjadinya
serangan sebab gejala epilepsi yang menyerang terkadang dapat membuat pasien mengalami
kesulitan untuk bernapas. Tentu saja hal ini sangat membahayakan nyawa penderitanya.

2.14 Diagnosa Banding


a) Sinkop
b) Aritmia jantung
c) Hiperventilasi/serangan panik

Anda mungkin juga menyukai