TINJAUAN PUSTAKA
Sumber : unita.lecture.ub.ac
Otak dilindungi oleh tulang tengkorak dan ditutupi oleh 3 membranyang disebut
meningen. Otak juga dilindungi oleh cairan serebrospinal, yang diproduksi oleh
pleksus khoroideus, yang masuk ke dalam 4 ventrikel dan rongga antara
meningen. Cairan serebrospinal membawa nutrient dari darah ke otak dan
membawa kembali zat-zat yang tidak diperlukan lagi dari otak ke darah.
Sumber : unita.lecture.ub.ac
Secara garis besar, sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat dan sistem
saraf tepi. Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak dan medulla spinalis. Sistem saraf
disisi luar SSP disebut sistem saraf tepi (SST). Fungsi dari SST adalah menghantarkan
informasi bolak balik antara SSP dengan bagian tubuh lainnya.. Otak merupakan bagian
utama dari sistem saraf, dengan komponen bagiannya adalah :
1) Cerebrum
Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang hemisfer
kanan dan kiri dan tersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan sulkus (celah) dan girus
dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:
a) Lobus frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih tinggi, seperti
kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di hemisfer kiri), pusat
penghidu, dan emosi. Bagian ini mengandung pusat pengontrolan gerakan volunter di
gyrus presentralis(area motorik primer) dan terdapat area asosiasi motorik (area
premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini
juga mengatur gerakan sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif.
b) Lobus temporalis
Lobus temporalis temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan ke
bawah dari fisura laterali dan sebelah posterior dari fisura parieto-oksipitalis. Lobus ini
berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, visual, pendengaran dan berperan dlm
pembentukan dan perkembangan emosi.
c) Lobus parietalis
Lobus Parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus postsentralis
(area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran.
d) Lobus oksipitalis
Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi penglihatan:
menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari nervus optikus dan
mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf lain & memori.
Sumber : www.aktivasiotak.com
2) Cerebellum
Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih banyak neuron
dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki peran koordinasi yang penting dalam fungsi
motorik yang didasarkan pada informasi somatosensori yang diterima. Cerebellum terdiri dari
tiga bagian fungsional yang berbeda yang menerima dan menyampaikan informasi ke bagian
lain dari sistem saraf pusat. Cerebellum merupakan pusat koordinasi untuk keseimbangan dan
tonus otot. Mengendalikan kontraksi otot-otot volunter secara optimal.
Sumber : www.aktivasiotak.com
3) Brainstem
Brainstem adalah batang otak, berfungsi untuk mengatur seluruh proses kehidupan yang
mendasar. Berhubungan dengan diensefalon diatasnya dan medulla spinalis dibawahnya.
Struktur-struktur fungsional batang otak yang penting adalah jaras asenden dan desenden
traktus longitudinalis antara medulla spinalis dan bagian-bagian otak, anyaman sel saraf dan
12 pasang saraf cranial. Secara garis besar brainstem terdiri dari tiga segmen, yaitu
mesensefalon, pons dan medulla oblongata.
Sumber : www.aktivasiotak.com
a). Mesensefalon
Mesecephalon membentuk wilayah tengah otak dan merupakan bagian penting
dari system syaraf pusat. Mesecephalon melakukan sejumlah tugas individu sangat
penting yaitu bangun atau tidur, kecemasan, kontrol motor, pendengaran, penglihatan,
pengaturan suhu. pada ujung anterior, terhubung dengan otak depan dan diujung
posterior melekat metencephalon (pons), sehingga di tempatkan didekat pusat otak.
b). Pons
Struktur utama di bagian atas dari batang otak yang disebut pons. Pons berada
didepan sereblum, di bawah otak tengah. Pons terdiri atas serat saraf yang membentuk
jembatan antara dua hemisfer sereblum, dan serat yang melalui antara posisi otak
yang lebih tinggi dan medula spinalis. . Pons bertugas untuk menghubungkan jalur
sensoris dari medula spinalis ke talamus dan otak kecil (serebelum). Pons memiliki
dua peran. Yang pertama adalah regulasi pernapasan . Di pons, adastruktur yang
disebut pusat pneumotaxic . Pons mengontrol jumlah udara napas dan napas per
menit, yang dikenal sebagai tingkat pernapasan . Selain itu, pons terlibat dalam
transmisi sinyal ke dan dari struktur lain di otak , seperti otak atau otak kecil. Pons
merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak bersama dengan
formasi reticular Pons juga terlibat dalam sensasi seperti pendengaran, rasa, dan
keseimbangan.
c). Medulla Oblongata
Medulla oblongata menghubungkan pons yang teretak di superior dengan
medulla spinalis yang terletak diinferior. pertemuan medulla oblongata dan medulla
spinalis terletak ditempat pangkal radiks anterior dan posterior nervus spinalis
cervicalis pertama, yang kira-kira terletak setinggi foramen magnum. Medulla
oblongata berbentuk kerucut, ujung yang lebar mengarah ke superior. Medulla
oblongata terletak di bagian bawah batang otak. Panjangnya sekitar 2,5 cm dan
terletak tepat dibawah kranium diatas foramen magnum. Medulla oblongata adalah
titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan menuju bagian kanan badan,
begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol fungsi otomatis otak, seperti detak
jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.
Sumber : www.aktivasiotak.com
2.4 Epidemiologi
WHO melaporkan sebanyak sekitar 43 juta orang dengan epilepsi berasal dari 108
negara yang mencakup 85,4% dari populasi dunia. Angka rata-rata orang dengan epilepsi per
1000 populasi adalah 8,93 dari 105 negara. Angka rata-rata orang dengan epilepsi per 1000
populasi bervariasi di seluruh wilayah. Amerika mempunyai angka rata-rata 12,59, 11,29 di
Afrika, 9,4 di Mediterania Timur, 8,23 di Eropa, dan 3,66 di Pasifik Barat. Sementara itu,
Asia Tenggara memiliki angka rata-rata sebanyak 9,97.
Sedangkan di Indonesia, prevalensi penderita epilepsi di Indonesia berkisar antara
0,5–4 % dengan rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1.000 penduduk. Bila jumlah penduduk
di Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah penderita epilepsi per tahunnya
adalah 250.000. Angka tersebut terbilang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Thailand dan
Singapura sebagai sesama negara Asia Tenggara.
Prevalensi epilepsi aktif dalam sejumlah besar studi membuktikan keseragaman pada
angka 4-10 per 1000 penduduk. Insidensi epilepsi di negara maju adalah 24-53 per 100.000
populasi. Terdapat beberapa studi kejadian epilepsi di negara berkembang, tetapi tidak ada
yang cukup prospektif. Mereka menunjukkan 49,3-190 per 100.000 populasi. Tingkat
insidensi tinggi di negara berkembang yang dianggap sebagai akibat dari infeksi parasit
terutama neurosistiserkosis, HIV, trauma, dan morbiditas perinatal sulit untuk ditafsirkan
karena masalah metodologis, terutama kurangnya penyesuaian usia, yang penting karena
epilepsi memiliki dua bimodal terkait usia. Sedangkan di negara maju, insidensi di kalangan
orang tua meningkat dan menurun di kalangan anak-anak. Hal ini diakibatkan karena
meningkatnya risiko penyakit serebrovaskular. Sebaliknya, perawatan obstetrik yang lebih
baik dan pengendalian infeksi dapat mengurangi angka kejadian pada anak-anak. Tingkat
insidensi di dunia lebih besar pada pria dibandingkan wanita.
2.6 Patofisiologi
Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan muatan
ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini
menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif.
Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui
sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang
berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila
eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan
dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain, sehingga
terjadilah epilepsi.
Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas listrik yang
berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang penderita dikatakan menderita
epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa provokasi. Bangkitan epilepsi
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan inhibisi serebral, bangkitan
akan muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol. Pada sebagian besar kasus tidak
dijumpai kelainan anatomi otak, namun pada beberapa kasus epilepsi disertai oleh kerusakan
struktural otak yang mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi mental.
b. Lama serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat serangan pertama
2.10 Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi (ODE)
terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang sedini mungkin.
Setiap kali terjadi serangan kejang yang berlangsung sampai beberapa menit maka akan
menimbulkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila hal ini terus-
menerus terjadi, maka dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.
Pengobatan epilepsi dinilai berhasil dan ODE dikatakan sembuh apabila serangan epilepsi
dapat dicegah atau penyakit ini menjadi terkontrol dengan obat-obatan.
Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian:
penggunaan obat antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi, penghilangan faktor
penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas fisik dan mental. Tapi secara umum,
penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam
menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai pengobatan,
pendekatan yang “mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat (start low, go slow)”
akan mengurangi risiko intoleransi obat (Smith dan Chadwick, 2001).
Penatalaksanaan epilepsi sering membutuhkan pengobatan jangka panjang.
Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati pasien epilepsi, memberikan keberhasilan
yang sama dan tolerabilitas yang unggul dibandingkan politerapi. Pemilihan OAE
yang dapat diberikan dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya
Kejang umum
Tonik-klonik, Carbamazepine Acetazolamide
Klonik Lamotrigine Levetiracetam
Topiramate Phenobarbitone
Valproate Phenytoin
Absans Ethosuximide Acetazolamide
Lamotrigine Clonazepam
Valproate
Absans atipikal, Valproate Acetazolamide
Atonik, Clonazepam
Tonik Lamotrigine
Phenytoin
Topiramate
Mioklonik Valproate Acetazolamide
Clonazepam
Lamotrigine
Levetiracetam
Phenobarbitone
Piracetam
Sumber: (Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010)
1) Pemeriksaan laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, dan ureum dalam
darah. Keadaan seperti Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia, dan hepatik
ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit
bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan test
fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna.
2) Elektro ensefalografi (EEG)
Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam aktifitas listrik di otak melalui
elektroda yang ditempatkan dikulit kepala. Kelainan EEG yang sering dijumpai pada
penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau epileptiform activity. Pemeriksaan EEG
harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang
paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada
EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya
kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau
metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal ditentukan atas dasar adanya :
Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak.
Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya
misal gelombang delta.
Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat
yang timbul secara paroksimal.
3) Rekaman video EEG
Pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena
epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam
waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan
kejang epilepsi.
4) Pemeriksaan Radiologis
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
kepala merupakan Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging yang bertujuan
untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural di otak dan melengkapi data EEG.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi, namun demikian
pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi
dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat
mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan
hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi
pembedahan. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.
5) Pemeriksaan neuropsikologi
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan akan
dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah ada
tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata
diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi.
2.12 Prognosis
Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi, faktor
penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada 50-70% penderita
epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu
akan dapat berhenti minum obat. Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi
serangan baik dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita.
Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang) dengan
terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus dipertimbangkan untuk
penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.
Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas serangan
(remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas serangan selama
>6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk menurunkan dosis secara
berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu mempertimbangkan risiko terjadinya relaps
setelah penghentian obat. Berbagai faktor prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya
relaps adalah usia awitan pada remaja / dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya
gambaran abnormalitas EEG. Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi
memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian yang
paling tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit
kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan oleh
penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi.
2.13 Komplikasi
a) Kerusakan Otak
Serangan epilepsi yang selalu hadir menyerang dapat menyebabkan terganggunya
beberapa sistem sel saraf pada otak. Kondisi ini bisa mengakibatkan disfungsi pada beberapa
bagian sel dalam otak. Hal ini akan terjadi selama gejala menyerang pasien. Tentunya sel-sel
saraf akan menjadi normal kembali saat gejala kejang mulai mereda.
Namun serangan kejang yang sering terjadi sebenarnya dapat membuat sel saraf pada
otak mengalami penurunan fungsi. Akibatnya keadaan otak akan semakin melemah secara
signifikan. Oleh karena itu pasien epilepsi terkadang mengalami penurunan kemampuan dan
kecerdasan. Terkadang pula pasien mengalami penurunan kemampuan fisik.
b) Gangguan Irama Jantung
Gejala epilepsi yang datang menyerang pasien dengan sewaktu-waktu dapat mengganggu
irama normal jantung. Jantung bisa saja berdetak terlalu lambat atau bisa juga berdetak terlalu
cepat. Jantung juga bisa mengalami irama yang tidak teratur saat gejala kejang datang
menyerang.
Hal ini umumnya disebut dengan istilah aritmia. Detak jantung yang tidak teratur pada
dasarnya bisa menjadi hal yang serius serta beresiko mengancam nyawa. Oleh karena itu
lakukan pencegahan terhadap timbulnya serangan gejala epilepsi agar organ jantung tetaplah
sehat dan berjalan secara normal sesuai dengan fungsinya.
c) Kematian mendadak
Komplikasi lainnya yang bisa timbul karena adanya serangan epilepsi yaitu kematian
mendadak. Sayangnya hingga kini penyebab kematian mendadak yang dialami oleh beberapa
penderita epilepsi masih belum diketahui secara pasti. Namun beberapa ahli menyatakan
pendapatnya bahwa kematianmendadak pada pasien epilepsi seringkali bekaitan dengan
kondisi jantung pada penderita.
Selain itu pasien epilepsi juga bisa saja mengalami kematian mendadak setelah terjadinya
serangan sebab gejala epilepsi yang menyerang terkadang dapat membuat pasien mengalami
kesulitan untuk bernapas. Tentu saja hal ini sangat membahayakan nyawa penderitanya.