Anda di halaman 1dari 15

PQ - IQ - EQ - SQ Empat Type Kecerdasan Manusia Sejak

terlahir, setiap manusia telah dianugerahi empat macam


type kecerdasan, yaitu :
* Kecerdasan Fisik atau Tubuh (Physical Intelligence atau Physical Quotient
PQ),
* Kecerdasan Mental atau Intelektual (Inteliligence Quotient IQ),
* Kecerdasan Emosional (Emosional Quotient EQ) , dan
* Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient SQ)

1. Kecerdasan Fisik (Physical Quotient – PQ)

Kecerdasan Fisik (PQ) adalah kecerdasan yang dimiliki oleh tubuh kita. Kita
sering tidak memperhitungkannya. Coba renungkan : Tanpa adanya
perintah dari kita tubuh kita menjalankan sistem pernafasan, sistem
peredaran darah, sistem syaraf dan sistem-sistem vital lainnya.

Tubuh kita terus menerus memantau lingkungannya, menghancurkan sel


pembawa penyakit, mengganti sel yang rusak dan melawan unsur-unsur
yang mengganggu kelangsungan hidup. Seluruh proses itu berjalan di luar
kesadaran kita dan berlangsung setiap saat dalam hidup kita. Ada
kecerdasan yang menjalankan semuanya itu dan sebagian besar
berlangsung di luar kesadaran kita.

2. Kecerdasan Intelektual (Intelligence Quotient – IQ)

IQ adalah kemampuan nalar, atau pikiran orang sering menyebutnya


dengan kemampuan Otak Kiri. Yaitu kemampuan kita untuk mengetahui,
memahami, menganalisis, menentukan sebab akibat, berpikir abstrak,
berbahasa, memvisualkan sesuatu.

Di zaman dulu IQ dijadikan ukuran utama kecerdasan seseorang. Baru


kemudian disadari bahwa konsep dan batasan-batasan di atas seperti itu
terlalu mempersempit kecerdasan tersebut.

Otak kiri bertanggung jawab untuk “”pekerjaan” verbal, kata-kata, bahasa,


angka-angka, matematika, urut-urutan, logika, analisa dan penilaian
dengan cara berpikir linier. Melatih dan membelajarkan otak kiri akan
membangun kecerdasan intelektual (IQ). Otak kanan bertanggungjawab
dan berkaitan dengan gambar, warna, musik, emosi, seni/artistik,
imajinasi, kreativitas, dan intuitif.
Menurut para ahli IQ - Intelligence Quotient, dapat ditingkatkan dengan
latihan sederhanadan mengubah kebiasaan-kebiasaan tertentu, caranya
sebagai berikut :
Latihan pernapasan dalam
Pernapasan dalam meningkatkan aliran darah dan oksigen ke otak, juga
merilekskan kita sehingga meningkatkan fungsi efektif otak. Cara
melakukanya mudah, pejamkan mata dan tarik nafas lewat hidung,
sehingga paru-paru dipenuhkan sampai kapasitasnya, lalu hembuskan
secara perlahan.

Saat melakukan pernapasan dalam hilangkan semua pikiran yang masuk


kedalam kepala anda. Coba jangan pikirkan apapun kecuali efek
penenangan dan perileksan dari saraf dan tubuh. Cara ini sangat berguna
dan efektif untuk menyelesaikan masalah secara kreatif.
Ketika anda selesai melakukan latihan yang hanya perlu waktu 2 sampai 4
menit ini, kemampuan anda untuk menyelesaikan masalah akan meningkat
paling sedikit 80%. Pikiran akan merasa jernih dalam sekejap jika
dilakukan hanya 5 kali berturut-berturut, anda juga akan lebih bisa
mengkoordinasikan pemikiran sehingga menjadi lebih jelas.
Jaga postur tubuh
Postur tubu dapat menentukan seberapa baik anda berfungsi. Berdiri
bungkuk dan mulut terbuka mengurangi kemampuan berpikir jernih.Untuk
membuktikan hal ini, coba duduk membungkuk dengan mulut terbuka
sambil menyelesaikan soal matematika didalam pikiran.Kemungkinan anda
akan menemukan, anda tidak bisa menyelesaikan masalah secara cepat dan
tidak bisa berfikir secara jernih.
Lakukan olahraga untuk membantu meningkatkan aliran darah ke otak.
Aerobik apa saja bisa memberikan hasiat ini.
Perhatikan makanan
Jangan makan segala sesuatu yang mengandung gula sederhana secara
berlebihan. Semua karbohidrat sederhana, jika dimakan sejumlah banyak,
secara umum membuat lelah yang bukan hanya akan membuat anda lebih
lamban dalam berpikir, tapi juga membuat lamban secara fisik.
3. Kecerdasan Emosional (Emosional Quotient – EQ)
EQ adalah pengetahuan mengenai diri sendiri, kesadaran diri, kepekaan
sosial, empati dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik dengan
orang lain. Kecerdasan Emosi adalah kepekaan mengenai waktu yang tepat,
kepatutan secara sosial, dan keberanian untuk mengakui kelemahan,
menyatakan dan menghormati perbedaan. EQ digambarkan sebagai
kemampuan otak kanan dan dianggap lebih kreatif, tempat intuisi,
pengindraan, dan bersifat holistik atau menyeluruh

Penggabungan pemikiran (otak kiri) dan perasaan (otak kanan) akan


menciptakan keseimbangan, penilaian dan kebijaksanaan yang lebih baik.
Dalam jangka panjang, kecerdasan emosional akan merupakan penentu
keberhasilan dalam berkomunkasi, relasi dan dalam kepemimpinan
dibandingkan dengan kecerdasan intelektual (nalar).
Seseorang yang memiliki IQ tinggi tetapi memiliki kecerdasan
emosionalnya (EQ) rendah, dia tidak tahu bagaimana membangun
hubungan dengan orang lain. Orang itu mungkin akan menutupi
kekurangannya itu dengan bersandar pada kemampuan intelektualnya dan
akan mengandalkan posisi formalnya.
Pengertian EQ : Istilah kecerdasan emosi (EQ) baru dikenal secara luas
pada pertengahan tahun 1990 dengan diterbitkannya buku Darnel
Goleman : Emotional Intelligence. Goleman menjelaskan bahwa kecerdasan
emosi (Emotional Intellegence) adalah kemampuan untuk mengenali
perasaan kita sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada
diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Menggunakan ungkapan Howard Gardner, kecerdasan emosi terdiri
dari kecakapan, diantaranya : intrapersonal intelligence dan interpersonal
intellegence. Intrapersonal intelligence merupakan kecakapan mengenali
perasaan kita sendiri yang terdiri dari :
Kesadaran diri meliputi : keadaan emosi diri, penilaian pribadi, percaya
diri.
Pengaturan diri meliputi : pengendalian diri, dapat dipercaya, waspada
adaptif dan inovatif.
Motivasi meliputi : dorongan berprestasi, komitmen, inisiatif dan optimis.
Sedangkan interpersonal intelligence merupakan kecakapan
berhubungan dengan orang lain yang terdiri dari :
Empati meliputi : memahami orang lain, pelayanan, mengembangkan
orang lain, mengatasi keragaman dan kesadaran politis.
Ketrampilan sosial meliputi : pengaruh, komunikasi, kepemimpinan,
katalisator perubahan, manajemen konflik, pengikat jaringan, kolaborasi
dan koperasi serta kerja team.
> Tiga langkah kembangkan EQ (Emotional Quotient) :
1. Membuka hati : ini adalah langkah pertama karena hati adalah simbol
pusat emosi. Hati kitalah yang merasa damai saat kita berbahagia, hati kita
merasa tidak nyaman ketika sakit, sedih, marah atau patah hati. Kita mulai
dengan membebaskan pusat perasaan kita dari impuls dan pengaruh yang
membatasi kita untuk menunjukkan cinta satu sama lain.
2. Menjelajahi dataran emosi : sekali kita telah membuka hati, kita dapat
melihat kenyataan dan menemukan peran emosi dalam kehidupan. Kita
dapat berlatih cara mengetahui apa yang kita rasakan. Kita mengetahui
emosi yang dialami orang lain. Singkatnya, kita menjadi lebih baik dan bijak
menanggapi perasaan kita dan perasaan orang di sekitar kita.
3. Mengambil tanggung jawab : untuk memperbaiki dan mengubah
kerusakan hubungan, kita harus mengambil tanggung jawab. Kita dapat
membuka hati kita dan memahami peta dataran emosional orang di sekitar
kita.
Jika seseorang mempunyai hubungan dengan Tuhannya baik maka
bisa dipastikan hubungan dengan sesama manusiapun akan baik
pula.***

4. Kecerdasan Spriritual (Spiritual Quotient – SQ)

Sebagaimana EQ, maka SQ juga merupakan arus utama dalam kajian dan
diskusi folosofis dan psikologis. Kecerdasan spiritual merupakan pusat dan
paling mendasar di antara kecerdasan lainnya, karena dia menjadi sumber
bimbingan atau pengarahan bagi tiga kecerdasan lainnya. Kecerdasan
spiritual mewakili kerinduan kita akan makna dan hubungan dengan yang
tak terbatas.

Kecerdasan Spiritual juga membantu kita untuk mencerna dan memahami


prinsip-prinsip sejati yang merupakan bagian dari nurani kita, yang dapat
dilambangkan sebagai kompas. Kompas merupakan gambaran fisik yang
bagus sekali bagi prinsip, karena dia selalu menunjuk ke arah utara.

Kecerdasan spiritual (spiritual intellegence)

Selama ini, yang namanya “kecerdasan” senantiasa dikonotasikan dengan


Kecerdasan Intelektual” atau yang lazim dikenal sebagai IQ
saja (Intelligence Quotient). Namun pada saat ini, anggapan bahwa
kecerdasan manusia hanya tertumpu pada dimensi intelektual saja sudah
tidak berlaku lagi. Selain IQ, manusia juga masih memiliki dimensi
kecerdasan lainnya, diantaranya yaitu : Kecerdasan Emosional atau
EQ (Emotional Quotient) dan Kecerdasan Spiritual atau SQ (Spiritual
Quotient). Memasuki abad 21, legenda IQ (Intelligence Quotient) sebagai
satu-satunya tolok ukur kecerdasan yang juga sering dijadikan parameter
keberhasilan manusia, digugurkan oleh munculnya konsep Kecerdasan
Emosional atau EQ (Emotional Quotient) dan Kecerdasan Spiritual atau
SQ (Spiritual Quotient).Kecerdasan perawat ternyata lebih luas dari
anggapan yang dianut selama ini. Kecerdasan perawat bukanlah
merupakan suatu hal yang bersifat dimensi tunggal semata, yang hanya
bisa diukur dari satu sisi dimensi saja (dimensi IQ). Kesuksesan perawat
dan juga kebahagiaannya, ternyata lebih terkait dengan beberapa jenis
kecerdasan selain IQ. Menurut hasil penelitian, setidaknya 75% kesuksesan
manusia lebih ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya (EQ) juga
kecerdasan spiritualnya (SQ) dan hanya 4% – 20% yang ditentukan oleh
kecerdasan intelektualnya (IQ).
Gay Hendrick, PhD dan Kate Ludeman, PhD, keduanya konsultan
manajemen senior, mengadakan sebuah penelitian pada 800-an manajer
perusahaan yang mereka tangani selama 25 tahun. Dari hasil penelitian
disimpulkan, bahwa para pemimpin yang sukses ternyata lebih
mengamalkan nilai-nilai rohaniah atau nilai-nilai sufistik ketimbang
pengedepankan sisi intelektual semata.
Lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual menurut Roberts A.
Emmons, The Psychology of Ultimate Concerns: (1) kemampuan untuk
mentransendensikan yang fisik dan material; (2) kemampuan untuk
mengalami tingkat kesadaran yang memuncak; (3) kemampuan untuk
mensakralkan pengalaman seharihari; (4) kemampuan untuk
menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah; dan
kemampuan untuk berbuat baik
Dua karakteristik yang pertama sering disebut sebagai komponen inti
kecerdasan spiritual. perawat yang merasakan kehadiran Tuhan atau
makhluk ruhaniyah di sekitarnya mengalami transendensi fisikal dan
material. Ia memasuki dunia spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang
menggabungkan dia dengan seluruh alam semesta. Ia merasa bahwa
alamnya tidak terbatas pada apa yang disaksikan dengan alat-alat
indrianya. Sebagai contoh perawat menyampaikan doa-doa personalnya
dalam salat malamnya, mendoakan kesembuhan luka kliennya, memuali
tindakan dengan bismillah, mengisi waktu luang dengan Sholat dluha,
silaturahmi dengan keluarga klien.
Ciri yang ketiga, terjadi ketika kita meletakkan pekerjaan biasa dalam
tujuan yang agung. Konon, pada abad pertengahan seorang musafir
bertemu dengan dua orang pekerja yang sedang mengangkut batu-bata.
Salah seorang di antara mereka bekerja dengan muka cemberut, masam,
dan tampak kelelahan. Kawannya justru bekerja dengan ceria, gembira,
penuh semangat. Ia tampak tidak kecapaian. Kepada keduanya ditanyakan
pertanyaan yang sama, “Apa yang sedang Anda kerjakan?” Yang cemberut
menjawab, “Saya sedang menumpuk batu.” Yang ceria berkata, “Saya
sedang membangun menara mesjid!” Yang kedua telah mengangkat
pekerjaan “menumpuk bata” pada dataran makna yang lebih luhur.
Perawat yang sedang melakukan kompres selayaknya mengatakan “Saya
sedang mensyukuri nikmat Allah
yang telah menganugerahkan air yang sangat banyak manfaatnya”
Perawat yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup
hanya secara rasional atau emosional saja. Ia menghubungkannya dengan
makna kehidupan secara spiritual. Ia merujuk pada warisan spiritual
seperti teks-teks Kitab Suci atau wejangan orang-orang suci untuk
memberikan penafsiran pada situasi yang dihadapinya, untuk melakukan
definisi situasi. Pada saat ganti balutan ia mengingat bahwa jutaan mikroba
sudah diciptakan Allah sebelum manusia mengetahui obatnya penicillin.
Sebelum manusia lahir penicillinpun sudah diciptakan Allah. Jadi tugas
perawat adalah berupaya memaknai bahwa mencari karunia Allah dalam
membantu meringankan beban klien.
Ketika seorang perawat diberitahu bahwa orang kantornya tidak akan
sanggup menyekolahkannya, ia tidak putus asa. Ia yakin bahwa kalau orang
itu bersungguhsungguh dan minta pertolongan kepada Tuhan, ia akan
diberi jalan. Bukankah Tuhan berfirman, “Orang-orang yang bersungguh-
sungguh di jalan Kami, Kami akan berikan kepadanya jalan-jalan Kami”?
Karakteristik yang kelima: Perawat memiliki rasa kasih yang tinggi pada
sesame makhluk Tuhan. “The fifth and final component of spiritual
intelligence refers to the capacity to engage in virtuous behavior: to show
forgiveness, to express gratitude, to be humble, to display compassion and
wisdom,” tulis Emmons. Memberi maaf, bersyukur atau mengungkapkan
terimakasih, bersikap rendah hati, menunjukkan kasih sayang dan kearifan,
hanyalah sebagian dari kebajikan. Karakteristik terakhir ini mungkin
disimpulkan dalam sabda nabi Muhammad saw, “Amal paling utama ialah
engkau masukkan rasa bahagia pada sesama manusia.”

Langkah menuju SQ yang Optimal

“Kecerdasan Spiritual” disimbolkan sebagai Teratai Diri yang


menggabungkan tiga kecerdasan dasar manusia (rasional, emosional, dan
spiritual), tiga pemikiran (seri, asosiatif, dan penyatu ), tiga jalan dasar
pengetahuan (primer, sekunder, dan tersier) dan tiga tingkatan diri (pusat
transpersonal, tengah-asosiatif & interpersonal, dan pinggiran-ego
personal).
Hambatan spiritual yang akan Kita hadapi:

 tidak mengembangkan beberapa bagian dari dirinya sendiri sama sekali


 telah mengembangkan beberapa bagian, namun tidak proporsional,
 bertentangannya / buruknya hubungan antara bagian-bagian.

Langkah Menuju Kecerdasan Spiritual Lebih Tinggi:

 menyadari di mana saya sekarang,


 merasakan dengan kuat bahwa saya ingin berubah,
 merenungkan apakah pusat saya sendiri dan apakah motivasi saya yang
paling dalam, (
 menemukan dan mengatasi rintangan,
 menggali banyak kemungkinan untuk melangkah maju,
 (menetapkan hati saya pada sebuah jalan,
 tetap menyadari bahwa ada banyak jalan.
 Spiritual Intellegence yang optimal memiliki karakteristik, yaitu:
 kemampuan bersikap fleksibel,
 tingkat kesadaran diri tinggi,
 kemampuan untuk menghadapi dan
 memanfaatkan penderitaan,
 kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit,
 kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai,
 keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu,
 kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal
(berpandangan holistik)
 kecenderungan nyata untuk bertanya “Mengapa?” atau “Bagaimana
jika?” untuk mencari jawaban yang mendasar,
 memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.

Peranan iq eq-sq dlm perilaku kerja — Document Transcript

 Oleh: Drs. Nur KholiqAbstrak:Masyarakat pada umumnya selalu


berorientasi kepada material yang mengedepankankecerdasan
intelektual dalam meraih kesuksesan hidup, kesuksesan dalam kerja,
dan karir.Kesuksesan, kekayaan dianggap milik dari orang-orang yang
berintelektual tinggi. Kajian-kajian ilmiah di bidang kecerdasan berbasis
“neuroscience”menggolongkan kecerdasanmanusia dalam tiga wilayah
yakni Intelegency Quotient, Emotional Quotient, dan SpiritualQuotient.
Kemampuan menyeimbangkan ketiga kecerdasan ini akan membentuk
manusia-manusia yang tangguh dan berprestasi dalam dunia kerja.Kata
Kunci: Kecerdasan, Intelegency Quotient, Emotional Quotient, Spiritual
Quotient,Perilaku Kerja.PendahuluanPada dasarnya manusia diciptakan
dengan membawa unsur-unsur kecerdasan. Awalnyakecerdasan yang
dipahami banyak orang hanya merupakan kecerdasan intelejensi
(IntelegencyQuotient), sesuai dengan perkembangan pengetahuan
manusia, maka ditemukan tipe kecerdasanlainnya melalui penelitian-
penelitian empiris dan longitudinal oleh para akademisi dan
praktisipsikologi, yakni kecerdasan emosional (emotional quotient) dan
kecerdasan spiritual (spiritualquotient). Ketiga bentuk kecerdasan ini
tidak dapat berdiri sendiri untuk meraih kesuksesandalam bekerja dan
kehidupan. Kesuksesan paripurna adalah jika seseorang mampu
menggunakandengan baik ketiga kecerdasan ini, menyeimbangkannya,
serta mengaplikasikannya dalamkehidupan. Bagi para pekerja dalam
lingkungan organisasi manapun ketiga bentuk kecerdasanini adalah
sesuatu yang mutlak harus dimiliki, kesuksesan dalam karir tidak hanya
dimiliki olehkaryawan-karyawan yang berintelejensi tinggi saja, namun
semua orang dapat meraihkesuksesan karir, dan memperoleh tempat
terbaik dalam bekerja.Tiga Bentuk Kecerdasan Manusia Model-model
kecerdasan yang kini dikembangkan dalamdunia psikologi mendasarkan
argumen-argumennya pada temuan-temuan ilmiah dari studi
danpenelitian neuroscience. Mulai dari model kecerdasan konvensional
(Intelegency Quotient),kecerdasan emosional (Emotional Quotient),
hingga model kecerdasan ultimat yakni kecerdasanspiritual (Spiritual
Quotient). Seluruhnya masih menjelaskan kesadaran manusia dengan
segenapaspek-aspeknya sebagai proses-proses yang secara esensial
berlangsung pada jaringan syaraf(Adhipurna, 2001; Pasiak, 2002). Meski
respon kritis secara teoritik atas penaksiran kecerdasanberbasis IQ ini
telah muncul sejak sebermula awal masa kelahirannya, namun baru satu
dekadeakhir abad ini kita mengenal suatu rumusan-rumusan psikologi
populer yang mengemaskontribusi-kontribusi studi dan riset dari para
penyelidik kecerdasan sebelumnya dengan cukupbaik. Dalam awal tahun
1990-an kita mengenal istilah Emotional Intelligence diusulkan
olehDaniel Goleman. Belakangan ini menjadi populer pula istilah
Spiritual Intelligence, yangdiusulkan oleh pasangan Danah Zohar dan Ian
Marshall. Meski secara esensial tidak terdapatsebuah terobosan ilmiah
yang betulbetul baru dalam gagasan-gagasan mereka ini, namun
parapakar ini telah berhasil mensintesiskan, mengemas, dan
mempopulerkan sekian banyak studi danriset terbaru di berbagai
bidang keilmuan ke dalam sebuah formulasi yang cukup populer
untukmenunjukkan bahwa aspek kecerdasan manusia ternyata lebih
luas dari sekedar apa yang semulabiasa kita maknai dengan
kecerdasan.Kecerdasan pertama, adalah IQ merupakan kecerdasan
seseorang yang dibawa sejak lahir danpengaruh didikan dan
pengalaman (Thoha, 2000). IQ adalah kemampuan yang diperlukan
untukmenjalankan kegiatan mental (Robin, 1996).Unsur-unsur yang
terdapat di dalam IQ adalah:kecerdasan numeris, pemahaman verbal,
kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalarandeduktif, visualisasi
ruang, ingatan (Robin, 1996). Menurut David Wechsler (Staff IQ-
EQ),inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah,
berpikir secara rasional, dan
 menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat
disimpulkan bahwainteligensi adalah suatu kemampuan mental yang
melibatkan proses berpikir secara rasional.Oleh karena itu, inteligensi
tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkandari
berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses
berpikir rasional itu. Intikecerdasan intelektual ialah aktifitas sebagian
kecil otak. Otak adalah organ luar biasa dalam dirimanusia. Beratnya
hanya sekitar 1,5 Kg atau kurang lebih 5 % dari total berat badan kita.
Namundemikian, benda kecil ini mengkonsumsi lebih dari 30 persen
seluruh cadangan kalori yangtersimpan di dalam tubuh. Otak memiliki
10 sampai 15 triliun sel saraf dan masing-masing selsaraf mempunyai
ribuan sambungan. Otak satu-satunya organ yang terus berkembang
sepanjangitu terus diaktifkan. Kapasitas memori otak yang sebanyak itu
hanya digunakan sekitar 4-5 %dan untuk orang jenius memakainya 5-6
%. Sampai sekarang para ilmuan belum memahamipenggunaan sisa
memori sekitar 94 % (Umar, 2002).Kecerdasan kedua, Emotional
Quotient (EQ) merupakan kemampuan merasakan, memahami,dan
secara efektif menerapkan daya serta kepekaan emosi sebagai sumber
energi, informasi,koneksi, dan pengaruh yang manusiawi (Cooper dan
Sawaf, 1998). Peter Salovey dan JackMayer mendefenisikan kecerdasan
emosional sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan,meraih dan
membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami
perasaan danmaknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam
sehingga membantu perkembanganemosi dan intelektual (Stein dan
Book, 2002). Goleman mempopulerkan pendapat para pakarteori
kecerdasan bahwa ada aspek lain dalam diri manusia yang berinteraksi
secara aktif denganaspek kecerdasan IQ dalam menentukan efektivitas
penggunaan kecerdasan yang konvensionaltersebut. Ia menyebutnya
dengan istilah kecerdasan emosional dan mengkaitkannya
dengankemampuan untuk mengelola perasaan, yakni kemampuan untuk
mempersepsi situasi, bertindaksesuai dengan persepsi tersebut,
kemampuan untuk berempati, dan lain-lain. Jika kita tidakmampu
mengelola aspek rasa kita dengan baik, maka kita tidak akan mampu
untukmenggunakan aspek kecerdasan konvensional kita (IQ) secara
efektif, demikian menurutGoleman (Adhipurna, 2001). Penelitian
tentang EQ dengan menggunakan instrumen BarOn EQ-i membagi EQ ke
dalam lima skala: Skala intrapersonal: penghargaan diri, emosional
kesadarandiri, ketegasan, kebebasan, aktualisasi diri; Skala
interpersonal: empati, pertanggungjawabansosial, hubungan
interpersonal; Skala kemampuan penyesuaian diri: tes kenyataan,
flexibilitas,pemecahan masalah; Skala manajemen stress: daya tahan
stress, kontrol impuls (gerak hati);Skala suasana hati umum: optimisme,
kebahagiaan (Stein dan Book, 2002).Kecerdasan ketiga, adalah Spiritual
Quotient (SQ), Zohar dan Marshall mengikutsertakan aspekkonteks nilai
sebagai suatu bagian dari proses berpikir/ berkecerdasan dalam hidup
yangbermakna, untuk ini mereka mempergunakan istilah kecerdasan
spiritual (Spiritual Quotient/SQ)(Zohar dan Marshal, 2000).
Indikasiindikasi kecerdasan spiritual ini dalam pandangan
merekameliputi kemampuan untuk menghayati nilai dan makna-makna,
memiliki kesadaran diri,fleksibel dan adaptif, cenderung untuk
memandang sesuatu secara holistik, sertaberkecenderungan untuk
mencari jawaban-jawaban fundamental atas situasi-situasi hidupnya,dan
lain-lain. Bagi Zohar spiritualitas tidak harus dikaitkan dengan
kedekatan seseorang denganaspek ketuhanan, sebab menurutnya
seorang humanis ataupun atheis pun dapat memilikispiritualitas tinggi.
Agustian (2001a) memberikan makna bertentangan dengan nilai
DanahZohar, yang menyatakan SQ terkait dengan masalah ketuhanan
atau agama. Kecerdasan manusiaterwujud karena adanya dorongan
suara hati (fitrah) yang bersumber dari Allah dengan unsur-unsur sifat
Tuhan atau God-Spot, menjadikan manusia memiliki ketangguhan
pribadi danketangguhan sosial dalam mewujudkan kesuksesan
manusia.Spiritual Quotient menurut pemikiran sekuler belum mampu
memberikan makna menyeluruhkepada manusia. Kemampuan untuk
menghayati nilai dan makna-makna, memiliki kesadarandiri, fleksibel
dan adaptif masih terbatas kepada kemampuan diri sendiri yang suatu
saat dapathilang tanpa kepercayaan dan keyakinan kekuatan
transedental yang memberikan energi bagimanusia. Kesadaran bahwa
hidup manusia ada yang mengatur, dapat memberikan power
cukupbesar yang berpengaruh kepada manusia dalam kondisi apapun,
baik kondisi normal maupun
 kondisi pada saat manusia dihadapkan pada masalah-masalah
kehidupan. Agustian (2001a)menggambarkan kecerdasan emosional
dan kecerdasan berfungsi secara horizontal, yakniberperan hanya
kepada hubungan manusia dan manusia, sedangkan kecerdasan spiritual
adalahkecerdasan vertikal berupa hubungan kepada Maha Pencipta.
Penggabungan ketiga hal ini akanmenghasilkan manusia-manusia
paripurna yang siap menghadapi hidup dan menghasilkan
efekkesuksesan atas apa yang dilakukannya. Ketiga bentuk kecerdasan
yang dibahas di atas (IQ, EQ,dan SQ), mempunyai akarakar neurobiologis
di otak manusia. Fakta menyatakan bahwa otakmenyediakan komponen
anatomisnya untuk aspek rasional (IQ), emosional (EQ), dan
spiritual(SQ). Ini artinya secara kodrati, manusia telah disiapkan dengan
tiga aspek tersebut (Pasiak,2002). Kecerdasan emosional ada di sistem
limbik, alias otak dalam, yang terdiri dari thalamus,hypothalamus dan
hippocampus. Kecerdasan intelektual ada di korteks serebrum atau otak
besar.Sedangkan kecerdasan spiritual mempunyai dasar neurofisiologis
pada osilasi frekuensi gamma40 Hertz yang bersumber pada integrasi
sensasi-sensasi menjadi persepsi obyek-obyek dalampikiran manusia
(Zohar dan Marshall, 2000).Peran IQ, EQ dan SQ dalam Dunia
KerjaKecerdasan Intelejensi.Keberhasilan manusia menurut pendapat
umum dipengaruhi oleh peran besar kecerdasanintelegensi atau IQ.
Artinya hanya mereka yang memiliki kecerdasan intelektual,
akademis,matematis saja yang mampu mewujudkan keberhasilan
seseorang termasuk keberhasilan dalampekerjaan. Kepintaran banyak
dimanfaatkan dalam dunia kerja misalnya dalam level manajemenatas
sebagai pihak perencana strategis yang akan menentukan nasib
organisasi di masa depan.Kemampuan untuk menyusun program-
program jangka panjang, prediksi ke masa depan,menyusun perkiraan-
perkiraan strategis, memerlukan kemampuan intelektual tinggi
untukkeperluan analisis-analisis mendalam. Hal ini memerlukan
intelejensi baik agar segala yangingin diraih dapat terwujud dengan
efektif. Demikian juga untuk manajemen teknis danoperasional
diperlukan kemampuan yang tinggi untuk mensukseskan program-
program strategisyang telah disusun oleh top manajemen. Kebanyakan
perusahaan memanfaatkan orang-orangyang ber-IQ tinggi dengan
memanfaatkan seleksi awal berupa tes kecerdasan intelejensi.Harapan
dari perlakuan seleksi seperti ini adalah memperoleh tenagatenaga yang
berkualitasyang dapat membangun perusahaan ke arah pencapaian
kinerja tinggi. Banyak dari mereka yangberhasil lulus dalam seleksi
berbasis IQ ini memiliki kinerja yang tinggi dan mendapat karir
baikdalam pekerjaannya. Dengan demikian menurut teori kecerdasan
kognitif, bahwa IQ seseorangberpengaruh positif terhadap kesuksesan di
dalam bekerja dan berkarir. Walaupun IQ adalahtolak ukur dari
kepintaran seseorang, IQ bukan merupakan satu-satunya indikator
kesuksesan.IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor
yang diperoleh dari sebuah alat teskecerdasan. Dengan demikian, IQ
hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasanseseorang
dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan
(IQ-EQ, 2002).Untuk itu seseorang yang ber-IQ tinggi, belum tentu
mutlak akan berhasil memecahkanpermasalahan-permasalahan di
dalam dunia kerja yang kompleks, tetapi perlu adanya sisi cerdaslain
dari diri karyawan tersebut.Kecerdasan Emosional.Goleman seorang
peneliti ilmu-ilmu perilaku dan otak, Doktor dari Harvard
University,menyatakan bahwa IQ hanya berpengaruh 5-10 % terhadap
keberhasilan, sisanya adalah faktorkecerdasan lain. Lebih lanjut
Goleman menyatakan faktor kecerdasan penting yang lain
tersebutadalah Emotional Quotient (EQ) (Goleman, 2002). EQ
berorientasi kepada kecerdasan mengelola emosi manusia. Di dalamnya
terdapat unsur kemampuan akan kepercayaan diri sendiri, ketabahan,
ketekunan, menjalin hubungan sosial. Jika pekerja memiliki kecerdasan
rata-rata, sebenarnya ia dapat meraih prestasi kerja yang tinggi jika
adanya kepercayaan terhadap diri sendiri, tidak terlalu tergantung
kepada orang lain, ketabahan menghadapi beban kerja, ketekunan dalam
bekerja,
 melakukan kontak-kontak sosial dalam kerja, akan merubah posisi
seorang yang semula berprestasi rata-rata menuju tingkat prestasi yang
lebih baik. Sebuah penelitian pada hampir 42.000 orang di 36 negara dan
mengungkapkan hubungan positif antara kecerdasan emosional dan
kesuksesan dalam kehidupan pribadi dan pekerjaan (Stein dan Book,
2002). Ini menunjukkan bahwa seorang karyawan juga akan berhasil
jika di dalam diri mereka terbentuk nilai-nilai EQ yang tinggi. Penelitian-
penelitian lain menunjukkan bahwa IQ dapat digunakan untuk
memperkirakan sekitar 1-20 % keberhasilan dalam pekerjaan, EQ di sisi
lain berperan 27-45 % berperan langsung dalam keberhasilan
pekerjaan. Jan Derksen dan Theodore Bogels di Belanda dari hasil
penelitiannya diperoleh bahwa ada hubungan yang signifikan yakni
orang-orang yang ber-EQ tinggi dengan kemampuan menghasilkan
banyak uang (Stein dan Book,2002). Penciptaan kesadaran akan EQ ini
seperti merupakan penciptaan akan aspek afeksi karyawan untuk siap
terjun dalam dunia kerja yang penuh dengan tantangan dan kompetisi
tinggi, stress, sehingga memerlukan pengelolaan emosional yang baik.
Seorang pakar sekaligus pengamat sumber daya manusia, Parlindungan
Marpaung memberikan solusi untuk mengelola emosional dalam bekerja
(Marpaung, 2002). Ketika tuntutan EQ menjadi fokus utama dalam
pemberdayaan karyawan dalam rangka jenjang karier seseorang
maupun pengembangan pribadinya, tentu menjadi satu hal yang
menakutkan bagi seseorang setelah dia menyadari bahwa EQ-nya tidak
terlalu menonjol. Satu hal yang paling berbahaya adalah ketika
seseorang tidak menyadari bahwa EQ-nya sangat dangkal dan bangga
dengan gelar/pengetahuan yang dimilikinya (IQ). Oleh karena itu, perlu
beberapa langkah praktis untuk membangkitkan kesadaran ini dan
meningkatkan kecerdasan emosi menuju kecakapan emosi yang
maksimal ditempat kerja. EQ tidak ada yang permanen, dalam arti kata
dapat diubah (ditingkatkan) daninilah tekad pertama untuk memulai
langkah pertama. Pertama, mengenal kekuatan dan kelemahan diri
terutama dalam berhubungan dengan orang lain. Beberapa cara dapat
dilakukan, di antaranya dengan meminta feedback (umpan balik) dari
orang lain (terutama rekan terdekat) tentang tingkah lakunya selama ini.
Tingkah laku yang sudah proporsional dipertahankan dan ditingkatkan,
sementara yang dirasa kurang dan tidak profesional sebagai seorang
karyawan/pimpinan harus diubah (transformasi diri). Kedua, bergaul
dan berelasi dengan banyak orang dari berbagai latar belakang dan
karakter. Seringkali kita terjebak dalam relasi yang menyenangkan,
hanya bergaul dengan orang-orang sepaham, bebas konflik, dan alergi
dengan perbedaan pendapat. Ketiga, belajar setia dan komit terhadap
tugas-tugas yang sudah disepakati bersama serta dilakukan dengan
konsisten. Bahkan, tidak hanya itu, dengan mencoba "menantang" diri
sebenarnya kita sedang berusaha mengatur diri dengan optimal.
Misalnya, jika kesepakatan untuk sales target bulan ini 250 juta, buat
"kesepakatan" diri sales target-nya sebesar 300 juta. Jangan cepat puas
dengan pencapaian yang sesuai dengan apa yang sudah disepakati.
Berilah dirilebih (go the extramiles), kita pun akan memperoleh nilai diri
lebih dalam performance appraisal. Keempat, kurangi waktu untuk sibuk
mengurusi orang lain, apalagi memiliki kegemaran menyebar gosip dan
rumor di kantor. Kegemaran ini justru akan menyerap energi kita yang
semestinya dapat dipergunakan untuk mengembangkan kecerdasan
emosi tersebut. Hanna (1997) mengatakan bahwa aktivitas demikian
justru akan menurunkan rekening bank harga diri kita. Kelima,
bertingkah laku asertif, nyatakan benar kalau benar dan salah jika salah.
Hal itu dilakukan tentu berdasarkan koridor-koridor dan track etika
perusahaan yang profesional. Karyawan/pimpinan yang safety player
demi menyelamatkan kedudukan/ fasilitas yang dimilikinya dan
membiarkan kondisi yang merusak tatanan perusahaan tetap
berlangsung menunjukkan kekerdilan kecerdasan emosinya. Keenam,
keep learning, terus belajar baik melalui pengalaman pekerjaan sehari-
hari, membaca buku pengembangan diri, mengikuti pendidikan formal
maupun pelatihan-pelatihan yang sifatnya soft skill. Tidak ada kata
tamat untuk belajar karena melalui media inilah kita dapat memosisikan
diri dalam self continous improvement. Ketujuh, mendekatkan diri
kepada Sang Pencipta dalam doa permohonan dan ucapan syukur. Kita
adalah ciptaan-Nya, sudah sepatutnya kembali kepada Sang Pencipta
untuk memohon
 dalam kerendahan hati agar Dia mengubahkan kita. Tak lupa tetap
mensyukuri nikmat danberkat yang sudah kita terima hingga saat
ini.Ibarat pesawat yang sedang take off danmemerlukan power
(kekuatan) besar, demikian pula kita akan memerlukan energi yang
besar dandisertai tekad yang bulat untuk mentransformasi diri untuk
peningkatan kecerdasan emosi.Ketika benih kemauan sudah mulai
bertunas, bentangkan jalan-jalan indah yang akan kita laluiuntuk
menjadi lebih baik.BC. Forbes (Founder Forbes) pernah mengemukakan
bahwa bekerja merupakan hidangan utamakehidupan, sedangkan
kesenangan merupakan hidangan penutup. Lebih memuaskan
menjadisopir truk no. I, daripada jadi eksekutif peringkat
kesepuluh.Kecerdasan Spiritual.Nilai-nilai SQ juga berperan penting
akan pembentukan prestasi kerja secara umum. Kesalahanselama ini
adalah pendewaan akan IQ walau sebenarnya terdapat kecerdasan lain
yang perlu diseimbangkan untuk sebuah kesuksesan. Sekularisasi
pemikiran masyarakat mengarahkan orang-orang untuk mengejar
kesuksesan secara fisikal dan material, seperti karier, jabatan,
kekuasaan, dan uang. Orientasi materi dan pemisahan seperti ini dapat
menjadi sebab tumbuhnyapemikiran pesimisme bagi mereka yang
memiliki kecerdasan rata-rata, lalu melakukan tindakantidak etis untuk
meraih sebuah kesukesan material.Kesombongan dapat terjadi bagi
mereka yang berintelektual tinggi atau mereka yang pintar,tidak
menghargai bawahan jika menjadi pemimpin. Kondisi lain, mereka yang
terlibat dalamkehidupan material baik bagi yang pintar ataupun tidak,
adalah kemudahan untuk tidak bisabertahan akan benturan
permasalahan kerja, mudah frustasi, stress akibat tidak
adanyakeseimbangan spiritual di dalam diri manusia-manusia modern.
Untuk itu kecerdasan spiritualperlu ada di dalam diri seseorang dalam
meraih kesuksesan. Danah Zohar dan Ian Marshalmengartikan SQ
sebagai pemahaman akan nilai dan kesadaran, Agustian
(2001a)mengkaitkannya dengan masalah ketuhanan. Seorang karyawan
perlu menyadari nilai-nilaikehidupan yang integralistik tidak hanya pada
masalah material tapi juga spiritual. Intinyabekerja adalah penting bagi
kehidupan dan merupakan ibadah bagi yang melakukannya.
Seorangkaryawan yang pintar tetap memerlukan SQ, atau jika
kemampuan seseorang kurang dapatditutupi dengan keyakinan adanya
Allah yang menolong yakni pada saat keikhlasan bekerja adadi dalam
diri. Aspek fisiknya, prestasi hanya dapat dicapai hanya dengan bekerja
keras,ketekunan, ketabahan ditambah dengan IQ yang ada pada diri
seseorang. Dalam seminarnasional bertajuk "Spiritual Quotient, Cerdas
Akal-Cerdas Hati-Cerdas Nurani" di UniversitasMuhammadiyah
Surakarta (UMS) di Solo, Agustian (2001b) menjelaskan, ketika
memasukirutinitas kerja sehari-hari, manusia sering lupa menyatukan
pikiran dan hati, sehingga mengalamisplit personality (kepribadian
terpecah) dan sulit memaknai hasil kerjanya sendiri. Kitacenderung
mengejar kemewahan, uang, pesta pora, dan kesuksesan dalam berbagai
usaha, tetapilupa memaknai setiap hasil usaha dan perilaku kita. Oleh
karena itu, kita membutuhkanemotional spiritual quotient (ESQ) sebagai
bekal untuk menyatukan intelligent quotient (IQ) danemotional quotient
(EQ).PenutupKesimpulannya bahwa mengabaikan salah satu dari ketiga
bentuk kecerdasan berbasisneuroscince di atas adalah sesuatu
kekeliruan, demikian juga jika mengagungkan salah satudiantaranya
merupakan kesalahan. Pentingnya keseimbangan ketiga kecerdasan ini
untukmenjadi seorang yang paripurna, memiliki dorongan yang kuat
untuk meraih prestasi kerjatinggi. Sekolah-sekolah maupun perusahaan-
perusahaan perlu menciptakan kesadaran akankeseimbangan ini kepada
pegawai dan karyawan-karyawannya melalui pelatihan-pelatihan
ESQ,untuk menciptakan produktivitas kerja tinggi, loyalitas tinggi,
sehingga produktivitas sekolahatau perusahaan dapat lebih ditingkatkan
dari saat ini

Anda mungkin juga menyukai