BAB I
PENDAHULUAN
Menyusui memberikan sumber nutrisi alami bagi bayi dan menentukan periode Amenorrhea
Laktasi (AL) sebagai fenomena fisiologis normal postpartum. Secara universal, sekarang
diakui bahwa menyusui menekan siklus ovarium dan memberikan kondisi AL disertai dengan
periode infertilitas pascapersalinan. Durasi periode AL bervariasi di antara wanita dan
populasi yang berbeda. Penelitian ginekologis telah menemukan bahwa sekitar 50% wanita
sepenuhnya menyusui dan siklus menstruasinya mulai kembali sebelum 6 bulan postpartum
sementara itu, di antara populasi lain, AL dapat bertahan hingga 4 tahun.1
Pemberian Air Susu Ibu (ASI) setelah melahirkan dapat melindungi wanita dari kehamilan
melalui periode lamanya amenore, sehingga pada ibu menyusui eksklusif akan memiliki
kecenderungan yang lebih lama untuk mengalami periode anovulasi dan amenore, sedangkan
ibu yang tidak menyusui eksklusif menstruasi biasanya terjadi pada 4 - 8 minggu
postpartum.1 Hal ini menyebabkan interval kelahiran rata-rata menjadi lebih lama pada ibu
menyusui eksklusif.2 Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012,
Proporsi wanita amenore turun dari 29,1% pada 6-7 bulan postpartum menjadi 21,4% pada 8-
9 bulan postpartum. Median kembalinya menstruasi setelah persalinan di Indonesia adalah
3,1 bulan pada tahun 2007 dan mengalami penurunan menjadi 2,4 bulan pada tahun 2012.
1. Seberapa lama pemberian ASI pada ibu menyusui di wilayah kerja Puskesmas
Kelurahan Duri Utara
2. Faktor – faktor yang mempengaruhi lamanya amenorrhea laktasi di wilayah kerja
Puskesmas Kelurahan Duri Utara
2
Tujuan Umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan lamanya menyusui
dengan faktor – faktor lainnya terhadap lamanya amenorrhea laktasi pada ibu menyusui di
wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri Utara
Tujuan Khusus:
1. Bagi peneliti
Menambah wawasan bagi peneliti khususnya mengenai amenorrhea laktasi
2. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai amenorrhea laktasi
3. Bagi institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu kemajuan ilmu pengetahuan dengan
menyediakan informasi mengenai lamanya menyusui dengan lamanya amenorrhea
laktasi
3
1.5 Hipotesis
1. Terdapat hubungan antara lamanya menyusui terhadap lamanya amenorrhea laktasi di
wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri Utara
2. Terdapat hubungan antara usia terhadap lamanya amenorrhea laktasi di wilayah kerja
Puskesmas Kelurahan Duri Utara
3. Terdapat hubungan antara pekerjaan terhadap lamanya amenorrhea laktasi di wilayah
kerja Puskesmas Kelurahan Duri Utara
4. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan terhadap lamanya amenorrhea laktasi di
wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri Utara
5. Terdapat hubungan antara status ekonomi terhadap lamanya amenorrhea laktasi di
wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri Utara
6. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan terhadap lamanya amenorrhea laktasi
di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri Utara
7. Terdapat hubungan antara jumlah paritas terhadap lamanya amenorrhea laktasi di
wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri Utara
8. Terdapat hubungan antara frekuensi menyusui terhadap lamanya amenorrhea laktasi
di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri Utara
9. Terdapat hubungan antara status gizi terhadap lamanya amenorrhea laktasi di wilayah
kerja Puskesmas Kelurahan Duri Utara
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Laktasi Amenorea
2.1 Definisi
Laktasi amenorea merupakan interval antara kelahiran bayi hingga dimulainya kembali
siklus menstruasi.3
Prolaktin dan oksitosin merupakan hormon yang berperan penting dalam proses laktasi
dan memiliki pengaruh terhadap ovarium. Saat ibu menyusui maka oksitosin juga
dilepaskan sebagai respon stimulasi puting susu. Oksitosin berperan terhadap pengeluaran
ASI, ovarium dan korpus luteum. Ketika ibu memberikan ASI eksklusif maka
berpengaruh terhadap menekan terjadinya ovulasi sehingga menyebabkan tidak terjadinya
menstruasi atau disebut amenore laktasi. Sesudah 6 bulan ibu sudah memperkenalkan
makanan tambahan pada bayi maka ibu berisiko untuk menstruasi sehingga ada
kemungkinan peningkatan kehamilan.5
Secara umum menyusui memperlambat kembalinya ovulasi yang umum ditandai dari
kembalinya siklus menstruasi, walaupun dapat terjadi tanpa terjadinya mentruasi. Pada
saat ibu menyusui, konsentrasi prolaktin tinggi selama pengisapan sering terjadi, dan akan
terjadi peningkatan prolactin secara akut setiap kali menyusu. Kadar prolaktin yang tinggi
tersebut akan berefek pada hipotalamus dan ovarium. Di hipotalamus akan terjadi sekresi
beta-endorphin, sehingga akan menghambat sekresi GnRH dan mengakibatkan rendahnya
kadar FSH dan LH. Dengan demikian, semakin tinggi frekuensi menyusui maka semakin
banyak sekresi beta-endorphin, sehingga durasi amenorrhea laktasi akan semakin
lama.1,8,9 Menyusui setidaknya selama 15 menit sebanyak 8x sehari membantu
memperlambat kembalinya ovulasi. Terjadinya menstruasi mungkin terjadi tanpa
terjadinya ovulasi. Menyusui juga dapat memperpanjang masa amenore post partum dan
ovulasi post post partum, menurunkan kemungkinan kehamilan berjangka.6,7
Umur memiliki hubungan negatif dengan kembalinya masa menstruasi.8,10 Umur ibu
memiliki kaitan dengan proses reproduksi, yang semakin bertambah umur maka jumlah
folikel yang terdapat di ovarium akan lebih sedikit, sehingga akan lebih resisten terhadap
rangsangan hormone gonadotropin. Ibu yang berumur diatas 30 tahun akan memiliki
resiko sebesar 26% untuk kembali ke siklus mens, dengan nilai median 9,7 bulan (p =
0,0001) jika dibandingkan dengan ibu yang berumur dibawah 20 tahun dengan angka
6
resiko 57% untuk kembali ke siklus mens, yaitu nilai median sebesar 6,7 bulan (Shrestha
I, dkk. 2014).10
Berdasarkan Demographic and Health Surveys (DHS), diperoleh ibu yang tidak bekerja
akan lebih lama masa amenorrheanya, karena mereka akan memiliki waktu yang lebih
lama untuk bayinya, jika dibandingkan dengan yang bekerja.9 Diperoleh hasil bahwa ibu
yang tidak bekerja memiliki risiko 0,98 kali lebih lama untuk kembali menstruasi
dibandingkan ibu yang tidak bekerja (Tesfayi, 2008).
Faktor pendidikan adalah salah satu hal yang sangat besar pengaruhnya terhadap
peningkatan produktivitas kerja yang dilakukan. 11 Dari penelitian oleh Suparmi, ibu yang
memiliki Pendidikan lebih tinggi akan lebih cepat masa Amenorrhea-nya sebesar 6,04
kali jika dibandingkan dengan ibu yang mendapat Pendidikan primer (Suparmi,
dkk;2010).12
Amenore laktasi sebagai sebuah metode kontrasepsi kerap kali digunakan oleh wanita
dengan edukasi rendah, keluarga penghasilan rendah, pasangan yang jauh dari fasilitas
kesehatan, atau aksesibilitas terhadap metode kontrasepsi lain yang kurang memadai.11
Ibu dengan social ekonomi rendah akan lebih lama masa amenorrhea laktasinya jika
dibandingkan dengan social ekonomi yang lebih tinggi (suparmi ; 2010).12
Hubungan status gizi ibu tidak mempengaruhi ibu menyusui secara signifikan, namun
berpengaruh pada jangka waktu terjadi amenore laktasi. Ibu dengan gizi buruk memiliki
kemungkinan untuk tetap amenoragik pasca masa laktasi. Menurut penelitian kurangnya
massa lemak dalam tubuh menyebabkan inhibisi pada hormone ovulasi. Menurut
penelitian lain, ibu dengan gizi buruk memproduksi asi dengan volume yang lebih sedikit
dibandingkan dengan ibu gizi cukup sehingga bayi butuh menghisap lebih lama dan lebih
kuat, fenomena ini menyebabkan meningkatnya jangka amenorrhea laktasi pada ibu
dengan gizi buruk. Teknik menghisap yang lama dan kuat meningkatkan jumlah prolactin
dalam darah sehingga menyebabkan amenoragi yang lebih panjang.11
7
2.3.7 Paritas
Jumlah paritas memiliki efek protektif dengan lamanya ameorrhea laktasi, sehingga setiap
kenaikan paritas, resiko untuk terjadi menstruasi kembali akan menurun.11 Paritas yang
lebih dari 4 memiliki nilai median 10,7 bulan masa amenorrhea laktasi dibandingkan
paritas yang < 4 bulan (pval = <0,05) (Shrestha;2014).10
Metode Amenorea Laktasi atau Lactational Amenorrhea Method (LAM) adalah salah
satu metode keluarga berencana untuk ibu dengan postpartum yang praktis untuk
mencegah kehamilan. Metode ini mengandalkan pemberian ASI secara eksklusif, artinya
hanya diberikan ASI saja tanpa tambahan makanan dan minuman lainnya.9,11
MAL dapat dikatakan sebagai metode keluarga berencana alamiah (KBA) atau natural
family planning, apabila tidak dikombinasikan dengan metode kontrasepsi lain yang telah
terbukti lebih dari 89% dapat memproteksi seorang ibu yang post partum dari kehamilan.9
Terdapat tiga kriteria yang harus dipenuhi untuk metode ini diantaranya
1) Ibu harus menyusui secara penuh atau hampir penuh (hanya sesekali diberi 1-2 teguk
air/minuman pada upacara adat/agama).
2) Perdarahan sebelum 56 hari pasca persalinan dapat diabaikan (belum dianggap haid).
4) Menyusui dimulai dari setengah sampai satu jam setelah bayi lahir.
5) Pola menyusui on demand (menyusui setiap saat bayi membutuhkan) dan dari kedua
payudara.
8
3. Menyusui / Laktasi
Menyusui adalah salah satu komponen dari proses reproduksi yang terdiri atas haid,
konsepsi, kehamilan, persalinan, menyusui, dan penyapihan. Menyusui merupakan
proses pemberian Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi, dimana bayi memiliki refleks
menghisap untuk mendapatkan dan menelan ASI. Menyusui merupakan proses alamiah,
sehingga tidak diperlukan alat-alat khusus dan biaya yang mahal namun membutuhkan
kesabaran, waktu, dan pengetahuan tentang menyusui serta dukungan dari lingkungan
keluarga.9
Pasca persalinan terjadi penurunan kadar estrogen dan progesterone dalam darah.
penurunan hormone ini akan meningkatkan produksi α laktalbumin dan menghambat
faktor inhibisi terhadap α laktalbumin, sehingga jumlah lactase sintase meningkat,
sehingga terjadinya peningkatan produksi susu laktosa.3 Serotonin diproduksi didalam sel
epithelial mamalia membantu mempertahankan produksi ASI, hal ini menjelaskan
menggapa pasien yang mengkonsumsi selective serotonin reuptake inhibitor mengalami
produksi air susu yang berkurang.7,6
Saat bayi menghisap putting payudara, hisapan tersebut akan merangsang saraf sensoris
di payudara, sehingga kelenjar hipofisis anterior akan terangsang untuk menghasilkan
prolactin. Prolactin kemudian akan masuk ke peredaran darah selama 30 menit, kemudian
masuk ke payudara sehingga sel sekretori di alveolus akan menghasilkan ASI.13 Semakin
banyak ASI yang dikeluarkan dari sinus laktiferus, maka produksi ASI akan meningkat.
Sehingga semakin sering bayi menghisap, maka produksi ASI akan semakin banyak.13
Prolaktin juga memiliki fungsi untuk menginhibisi gonadotropin (GnRH), sehingga
9
memperlambat sekresi follicle stimulating hormone (FSH) dan Luteinizing hormone (LH)
sehingga masa amenore memanjang.11 Prolaktin umumnya dihasilkan saat malam hari,
oleh karena itu, menyusui saat malam hari penting untuk tujuan menunda kehamilan. 13
Produksi oksitosin lebih cepat dibanding produksi prolactin. Keadaan ini menyebabkan
ASI di payudara akan mengalir untuk dihisap. Oksitosin sudah bekerja saat ibu
berkeinginan untuk menyusui, sebelum bayi menghisap. Jika reflex ini tidak baik, maka
akan ada kesulitan dari bayi untuk mendapatkan ASI, hal ini dikarenakan ASI tidak
mengalir keluar meski payudara tetap menghasilkan ASI.13
Bayi yang sehat mempunyai 3 (tiga) refleks intrinsik, yang diperlukan untuk
keberhasilannya menyusui seperti :
Pada saat air susu keluar dari putting susu, akan disusul dengan gerakan
menghisap yang ditimbulkan oleh otot-otot pipi, sehingga pengeluaran air susu
akan bertambah dan diteruskan dengan mekanisme menelan masuk lambung.
Keadaan ini tidak akan terjadi bila bayi diberi susu formula dengan botol. Dalam
penggunaan susu botol rahang bayi kurang berperan, sebab susu dapat mengalir
dengan mudah dari lubang dot.9
1. Posisi menyusui. Posisi menyusui harus senyaman mungkin dan dapat dilakukan
dalam posisi terlentang, tidur miring, atau duduk.
2. Saat menyusui, bayi harus disanggah dan kepala bayi harus menghadap payudara,
dan badan bayi menempel dengan ibu
3. Sentuh bibir bawah bayi dengan putting kemudian masukan kedalam mulut bayi
dengan menyusuri langit – langit mulut bayi. Masukan payudara ibu sebanyak
mungkin sehingga hanya sedikit bagian areola yang terlihat
Untuk mengetahui bayi telah menyusu dengan teknik yang benar, dapat dilihat antara
lain :
4. KERANGKA TEORI
Pemberian ASI
Lamanya metode
Frekuensi pemberian amenore laktasi
ASI
Usia, Pengetahuan,
Pendidikan, social
ekonomi, status gizi ibu, Kadar prolactin, FSH,
pekerjaan, paritas LH, Estrogen
5. Kerangka Konsep
Lamanya menyusui
Lamanya Amenorrhea
Laktasi
1. Faktor demografi (usia ibu,
Pengetahuan, Pendidikan,
Pekerjaan, Status Gizi,
ekonomi)
2. Frekuensi menyusui, lama
menyusui, Paritas
12
BAB III
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti dan telah memenuhi kriteria
yang ditetapkan oleh peneliti. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang menyusui dengan
umur anak terkecil 0 – 2 tahun dan sudah mendapatkan menstruasi di wilayah kerja
puskesmas kelurahan Duri Utara.
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan teknik sampling tertentu untuk bisa
mewakili atau memenuhi populasi. Jumlah sample yang dibutuhkan
dapat dihitung dengan rumus :
2
2
(𝑍𝛼 + 𝑍𝛽)
𝑛={ } + 3
(1 + 𝑟)
0,5𝐼𝑛
(1 − 𝑟)
Keterangan :
n = besaran sampel
Zα = deviat baku α
Zβ = deviat baku β
r = simpang baku
Dengan perhitungan :
Zα = 1.96
Zβ = 0.84
r = 0,3
2
2
(1,64 + 0,84)
𝑛={ } + 3
(1,3)
0,5𝐼𝑛
(0,7)
2
(2,48)2
𝑛={ } + 3
0,5𝐼𝑛(1,85)
6,1 2
𝑛={ } + 3
0,92
n = 46,56 dibulatkan menjadi 47 sampel
13
Hasil dari rumus sampel didapatkan 47 sampel. Untuk mengantisipasi data kurang lengkap
atau responden tidak ikut berpartisipasi pada penelitian, maka dilakukan koreksi jumlah
sampel berdasarkan prediksi sampel drop out dari penelitian.
n
𝑛′ =
1−f
Keterangan :
n’ : besar sampel setelah koreksi
n : jumlah sampel sebelum koreksi
f : prediksi sampel drop out
dengan perhitungan
47
𝑛′ =
1 − 0.1
n’ = 52
maka jumlah sampel yang akan diambil pada penelitian ini berjumlah 52 sampel
Kriteria ekslusi :
Hasil jawaban
pernyataan di
jumlahkan, dan dibagi
menjadi kelompok
1. Kurang ( X <
Mean – SD)
2. Cukup (Mean
– SD ≤ X
≤Mean + SD
3. Baik ( X ≥
Mean )
Pendidikan Jenjang sekolah formal Kuisioner Tingkat Pendidikan Ordinal
tertinggi yang pernah dibagi menjadi
ditempuh dan 1. Pendidikan
diselesaikan oleh rendah (tidak
responden dengan sekolah -
memperoleh tanda SMP)
tamat belajar 2. Pendidikan
tinggi (SMA –
perguruan
tinggi)
Pekerjaan kegiatan yang lakukan Kuisioner Hasil yang keluar Nominal
ibu diluar rumah 1. bekerja
dengan tujuan mencari 2. tidak bekerja
nafkah
Status Gizi kondisi gizi seseorang 1. Timbangan Kelompok IMT Ordinal
yang dilihat 2. Buku KIA berdasarkan
berdasarkan IMT kemenkes
1. Kurus (<18,5)
2. Normal (18,5
– 25,0)
3. Gemuk
(>25.0)
Social Jumlah penghasilan Kuisioner Hasil yang muncul Nominal
ekonomi dari pekerjaan pokok berdasarkan UMR
dan tambahan daerah Jakarta
yang diperoleh 1. < Rp
responden maupun dari 3.940.973
kepala keluarga rata- 2. ≥ Rp 3.940.973
rata dalam sebulan
Lamanya Lamanya ibu Kuisioner Numerik
15
Variabel dependen
Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Skala
pengukuran
Lamanya Waktu Amenorrhea kuisioner Numerik
amenorrhea yang dialami ibu sejak
laktasi hari pertama
melahirkan
Penelitian dilakukan di Jakarta, tepatnya di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Duri Utara
Bertujuan untuk melihat hubungan antara dua variable antara variabel independen dan
dependen dengan mencari p-value, kemudian akan disajikan dalam bentuk tabel. Pada
penelitian ini menggunakan analisis bivariat untuk menilai hubungan lamanya
menyusui dan faktor – faktor lainnya terhadap lamanya amenorrhea laktasi.
Dikarenakan variabel Y merupakan data numerik dengan distribusi tidak normal, maka
uji statistic untuk variabel X dengan data numerik menggunakan uji Kendall’s tau-b.
Uji statistic untuk variabel X dengan data kategorik 2 kelompok menggunakan uji
Mann Whitney’s. Jenis uji statistik untuk variabel X dengan data kategorik 3 kelompok
menggunakan uji Kruskal Wallis, Uji post-hoc akan dilakukan jika ada variabel yang
bermakna dari hasil uji Kruskal Wallis, dengan menggunakan Mann Whitney U test
untuk mengetahui kelompok mana yang memiliki perbedaan.
Hasil dari statistic diketahui berdasarkan nilai p value yang dibandingkan dengan nilai
α = 0,05. Jika p value ≤ α, maka terdapat hubungan yang signifikan antara variable
independen dengan variabel dependen. Jika p value > α, maka tidak ada hubungan
signifikan antara variabel independen dengan variabel dependen.
18
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan frekuensi setiap variabel dalam penelitian.
Gambaran responden berdasarkan umur, lama menyusui, dan paritas disajikan pada tabel 4.1,
dan gambaran responden berdasarkan pekerjaan, pendidikan,ekonomi, status gizi, dan
pengetahuan disajikan pada tabel 4.2.
Tabel 4.1 Gambaran usia, pekerjaan, pendidikan, ekonomi, status gizi, dan tingkat
pengetahuan responden wilayah kerja Puskesmas Duri Utara (n=52)
Jumlah responden pada penelitian ini berjumlah 52 dan didapatkan responden terbanyak
berada di kelompok usia 25 – 29, yaitu sebanyak 22 responden (42,3%), diikuti kelompok
usia 20 – 24 sebanyak 15 responden (28,8%), kemudian kelompok usia <20 sebanyak 8
responden (15,4%), dan kelompok paling sedikit adalah >29 sebanyak 7 responden (13,5%)
19
Gambaran tingkat pendidikan pada responden penelitian ini adalah sebanyak 34 responden
(65,4%) memiliki pendidikan tinggi, dan 18 responden memiliki pendidikan rendah (34,6%).
Status ekonomi responden pada penelitian ini, sebesar 30 responden (57,7%) memiliki
pendapatan keluarga diatas UMR provinsi Jakarta, dan 22 responden (42,3%) memiliki
pendapatan keluarga diatas UMR provinsi Jakarta.
Status gizi responden penelitian ini adalah sebanyak 27 responden (51,9%) memiliki IMT
normal , 13 responden (25%) termasuk kategori kurus, dan 12 responden (23,1) termasuk
kategori gemuk.
Tabel 4.2 Gambaran usia, lama menyusui, dan paritas responden wilayah kerja
Puskesmas Duri Utara (n=52)
Mean Modus Minimum Maksimum
Lama
4,8 6 (n=19, 36,5%) 2 (n=9, 17,3%) 12 (n=1, 1,9%)
menyusui
Paritas 1,96 1 (n=23, 44,2%) 1 (n=23, 44,2%) 4 (n=4, 7,7%)
Gambaran lama menyusui responden pada penelitian ini adalah sebanyak 19 responden
(36,5%) menyusui selama 6 bulan, dengan rerata lama menyusui 4,8 bulan. Lama menyusui
yang paling cepat adalah 2 bulan pada 9 responden (17,3%), dan yang terlama selama 12
bulan pada 1 responden (1,9%).
Gambaran jumlah paritas responden pada penelitian ini adalah sebanyak 23 responden
(44,3%) melahirkan 1 kali, dengan rerata jumlah paritas 1,96. Jumlah paritas paling sedikit
sebanyak 1 pada 23 responden (44,2%), dan 4 responden (7,7%) memiliki jumlah paritas 4.
Tabel 4.3 Frekuensi lamanya amenorrhea laktasi pada responden wilayah kerja
Puskesmas Duri Utara (n=52)
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa lamanya amenorrhea laktasi pada 12 responden selama 4
bulan. Rerata lama amenorrhea laktasi pada penelitian ini adalah 4,19 bulan. Waktu paling
singkat untuk masa amenorrhea laktasi adalah 1 bulan pada 2 responden (3,8%), dan yang
terlama adalah 8 bulan pada 1 responden (1,9%).
4.2 Analisis bivariat
Tabel 4.4 hasil uji bivariat Kendall’s tau-b (n = 52)
Lamanya Amenorrhea
laktasi
r 0,477
Lama menyusui
p 0,001
r 0,29
Paritas
p 0,797
Pada tabel 4.4 tergambarkan bahwa lama menyusui memiliki hubungan yang bermakna
terhadap lamanya amenorrhea laktasi (p=0,001). Koefisien korelasi antara variabel lama
menyusui dengan lamanya amenorrhea laktasi bernilai positif sebesar 0,477, yang berarti
memiliki kekuatan hubungan yang cukup. Variabel paritas (p=0,797) tidak memiliki
hubungan yang bermakna (p>0,05).
Tabel 4.5 hasil uji bivariat Mann Whitney’s
Median
n P
(Minimum – maksimum)
Ya 29 3 (1-7)
Pekerjaan 0,011
tidak 23 5 (2 – 8)
Rendah 18 4 (2 – 7)
Pendidikan 0,429
Tinggi 34 4 (1 – 8)
<Rp. 3.940.973 22 4 (1 – 8)
Ekonomi 0,947
≥ Rp. 3.940.973 30 4 (1 – 7)
Tabel 4.5 memperlihatkan bahwa pekerjaan memiliki hubungan yang bermakna terhadap
lamanya amenorrhea laktasi (p=0,011), dengan nilai median 3 untuk responden yang bekerja,
21
dan nilai median 5 untuk responden yang tidak bekerja. Variabel pendidikan (0,429) dan
ekonomi (0,947) tidak memiliki hubungan bermakna terhadap lamanya amenorrhea laktasi
(p>0,05).
Uji post-hoc Mann-Whitney pada variabel yang bermakna, yaitu frekuensi menyusui,
didapatkan : (1) kelompok menyusui <8x/hari dan 8-12x/hari, p=0,048; (2) kelompok
menyusui <8x/hari dan >12x/hari, p=0,219; (3) kelompok menyusui 8-12x/hari dan >12x/hari,
p=0,024. Maka dapat ditarik kesimpulan terdapat perbedaan lama amenorrhea laktasi antara
kelompok (1) <8x/hari dan 8-12x/hari; (2) 8-12x/hari dan >12x/hari.
22
BAB V
PEMBAHASAN
Pada bagian pembahasan, hasil penelitian akan dihubungkan dengan tujuan pembahasan,
kemudian selanjutnya akan dikaitkan dengan teori dan penelitian sebelumnya.
Usia Ibu antara 25 – 29 tahun sebanyak 22 orang (42,3%). Median waktu lamanya
amenorrhea laktasi pada umur <20tahun lebih lama yaitu 4,5 bulan jika dibandingkan dengan
usia >29 tahun yang terjadi selama 3 bulan.Pada hasil analisis bivariat, usia (p=0,325) tidak
memiliki hubungan yang bermakna (p>0,05) dengan lamanya amenorrhea laktasi. Hal ini
sesuai dengan penelitian oleh Irawaty P, et al, yaitu tidak adanya hubungan antara usia
dengan lebih lamanya masa amenorrhea laktasi (p>0,05).15
Tetapi hasil ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Manan et al dan Suparmi, yang
menjelaskan bahwa usia ada kaitannya dengan lama amenorrhea laktasi karena pengaruh
pada proses reproduksi wanita. Semakin tua, kepekaan ovarium terhadao rangsangan
hormone gonadotropin akan semakin menurun, dan juga jumlah folikel pada ovarium akan
menurun, sehingga menyebabkan munculnya kembali menstruasi akan lebih lama
dibandingkan dengan umur yang lebih muda.12
Banyaknya paritas terhadap lamanya amenorrhea laktasi tidak tidak memiliki hubungan yang
bermakna ((p=0,797). Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Irawati P et al, dengan
p=0,17.15 Hal ini tidak sesuai dengan pada penelitian oleh Shretsa, yang menunjukkan paritas
memiliki efek protektif terhadap lamanya amenorrhea laktasi (p<0,05).10 Pada penelitian oleh
WHO, yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara paritas dengan lamanya
amenorrhea.
Penelitian dari WHO menjelaskan Ibu primipara lebih memungkinkan untuk memberikan
bayinya makanan lain selain ASI pada usia < 6 bulan, jika dibandingkan dengan Ibu
multipara. Hal ini akan menyebabkan frekuensi pemberian ASI dan lama pemberian ASI
akan berkurang. Penelitian lain menyebutkan Ibu primipara cenderung khawatir ASI yang
dihasilkan akan tidak cukup untuk memenuhi gizi bayinya, sehingga Ibu primipara cenderung
memberikan makanan lain.
23
Sebanyak 29 Ibu bekerja (55,8%) memiliki masa amenorrhea laktasi lebih cepat, yaitu 3
bulan jika dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja yaitu pada bulan ke lima. Pada hasil
analisis bivariat, pekerjaan memiliki hubungan bermakna dengan lamanya amenorrhea laktasi
(p=0,011). Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Singh et al.7 Hal ini tidak sesuai dengan
penelitian oleh Irawaty P et al
Berdasarkan penelitian oleh Tisfay, disebutkan ibu yang bekerja memiliki resiko 0,98 kali
lebih cepat masa amenorrhea laktasinya. Hal ini juga didukung dengan penelitian oleh
Vekemans. Ibu yang bekerja akan memiliki waktu untuk menyusui lebih sedikit jika
dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Penelitian oleh Singh menjelaskan Ibu yang
bekerja pada sosioekonomi yang rendah cenderung lebih pendek masa amenorrhea laktasinya
karena kemungkinan bekerja lebih lama, sehingga mereka cenderung memberikan makanan
lain selain ASI lebih awal karena mereka tidak dapat menyusui ASI secara sering.
Sejumlah 34 Ibu (65,4%) memiliki pendidikan tinggi. Median antara Ibu dengan pendidikan
rendah dan Ibu dengan pendidikan tinggi sama, yaitu 4 bulan. Pada hasil uji bivariat, nilai
p=0,429, sehingga tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan lamanya amenorrhea
laktasi. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Irawati P, yang menyebutkan Ibu dengan
pendidikan lebih rendah (DII/DIII) memiliki nilai median 20 minggu, jika dibandingkan
dengan Ibu berpendidikan lebih tinggi (S1/S2) yang terjadi pada minggu ke 16.
Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ojofeitimi, dan Singh. Mereka
menyebutkan Ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi cenderung memiliki pekerjaan diluar
rumah, sehingga waktu Ibu untuk menyusui bayinya akan berkurang. 7
Status ekonomi keluarga tidak memiliki hubungan bermakna dengan lamanya amenorrhea
laktasi (p=0,947). Hasil ini sesuai dengan penelitian Irawaty P dengan nilai p=0,21. 15 Tetapi
hasil ini tidak sesuai dengan penelitian oleh McNeilly yang menyatakan sosioekonomi
memiliki hubungan baik terkait lamanya amenorrhea laktasi. Penelitian oleh Singh
menjelaskan Ibu pada sosioekonomi lebih tinggi dimungkinkan karena pendidikan Ibu yang
lebih tinggi, sehingga lebih cenderung memiliki pekerjaan jika dibandingkan dengan Ibu
dengan pendapatan keluarga rendah. 7
24
Sebanyak 34 responden (65,4%) memiliki pengetahuan yang cukup. Pada hasil analisis
bivariat, pengetahuan tidak memiliki hubungan dengan lamanya masa amenorrhea (p=0,393).
Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh antara pengetahuan dengan lamanya
metode amenorrhea laktasi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Kasmiandriani.
Status gizi menunjukkan hubungan yang tidak bermakna terhadap lamanya amenorrha
(p=0,7). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Papua oleh Tracer DP. Hasil ini
berbeda dengan penelitian lain, salah satunya penelitian di Afrika, dimana status gizinya
cenderung rendah, lama amenorrhea laktasi dapat mencapai 3 tahun. Ibu dengan gizi buruk
memiliki kemungkinan untuk tetap amenoragik pasca masa laktasi. Gizi buruk pada Ibu
menyusui cenderung memproduksi asi dengan volume yang lebih sedikit, sehingga akan
terjadi penambahan durasi menghisap putting Ibu oleh bayi (suckling reflex), sehingga
menyebabkan meningkatnya lama amenorrhea.
Sebanyak 23 Ibu yang menyusui 8 – 12x memiliki nilai tengah masa amenorrhea
laktasi selama 5 bulan. Pada uji post-hoc didapatkan adanya perbedaan antara ama
amenorrhea laktasi antara kelompok (1) <8x/hari dan 8-12x/hari (p=0,048); dan (2) 8-
12x/hari dan >12x/hari (p=0,024)
Hal ini sesuai dengan penelitian Singh et al (p<0,01). Semakin lama dan sering seorang Ibu
menyusui, maka akan lebih lama produksi hormon yang berkaitan dengan kembalinya
menstruasi. Penelitian oleh Suparmi menunjukkan Ibu yang memberikan ASI selama 5 – 6
bulan menurunkan kembalinya mens sebanyak 45%. Pada saat menyusui juga terdapat
stimulasi menghisap pada putting payudara ibu, dan memiliki efek ke produksi prolaktin oleh
25
kelenjar pituitary. Prolaktin memiliki efek mengsupresi GnRH, sehingga sekresi FSH dan LH
akan terhambat, dan menyebabkan amenorrhea pada Ibu post-partum. 7,12
26
BAB VI
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat
disimpulkan :
1. Rerata lama menyusui 4,8 bulan pada Ibu menyusui di wilayah kerja Puskesmas Duri
Utara.
2. Rerata lama amenorrhea laktasi adalah 4,19 bulan pada Ibu menyusui di wilayah kerja
Puskesmas Duri Utara.
3. Terdapat hubungan yang bermakna antara lama menyusui, frekuensi menyusui, dan
pekerjaan terhadap lamanya amenorrhea laktasi pada Ibu menyusui di wilayah kerja
Puskesmas Duri Utara.
Penelitian ini telah diusahakan dan dilaksanakan sesuai dengan prosedur ilmiah, namun
demikian masih memiliki keterbatasan, yaitu :
1. Responden penelitian ini hanya terbatas pada Ibu menyusui di wilayah kerja
Puskesmas Duri Utara, sehingga hasilnya belum dapat digeneralisasikan pada
kelompok dengan jumlah yang lebih besar.
2. Peneliti tidak bisa mengontrol jawaban responden secara langsung, sehingga dapat
dimungkinkan adanya bias dalam pengisian kuisioner meski sudah dipandu saat
dilakukan pengisian.
6.3 Saran