Anda di halaman 1dari 27

Ablasio Retina OD

Katarak Matur OD
Subluksasi Lensa OS

Dokter Pembimbing
dr. Nanda Lessi, Sp.M

Disusun oleh:
Marcella Arista 112017034

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


PERIODE 17 JUNI – 20 JULI 2019
RSUD CIAWI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

1
I. IDENTITAS
Nama : Tn N

Umur : 56 Tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Tidak bekerja

Alamat : Kp. Rawa Gede

Tanggal Pemeriksaan : 8 Juli 2019

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 8 Juli 2019

Keluhan utama : penglihatan mata kanan menurun 1 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke poliklinik mata RSUD Ciawi dengan
keluhan penglihatan mata kanan menurun sejak 1 tahun yang lalu. Penglihatan makin
lama makin memburuk hingga hanya bisa melihat cahaya sejak 8 bulan yang lalu.
Pasien mengatakan sempat kelilipan sebelum keluhan muncul. Pasien juga melihat
bayangan hitam. Mata kiri pasien sudah tidak bisa melihat >20 tahun yang lalu. Mata
kiri pasien pernah “kejepret” karet dan langsung mengenai mata. Pasien sempat
berobat dan akan dioperasi mata kirinya, tetapi batal karena kendala ekonomi. Sejak
kecil, penglihatan pasien kurang, terutama jika saat malam, penglihatan akan lebih
kabur.

Riwayat Penyakit Terdahulu :

 Umum : DM (-), Asma(-), Alergi (-)


 Mata : Katarak (-), Trauma (-) Glaukoma (-), Riwayat kaca mata (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :

 Umum : Hipertensi (-), DM (-), Asma (-), alergi (-)


 Mata : Pemakaian kacamata (-), operasi mata (-), miopia tinggi (-), katarak
(-), keluarga keluhan sama (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK

2
Status Generalis

Keadaan Umum : Pasien tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital : TD 120/80 mmHg, Nadi: 86x/mnt, RR: 20x/mnt

Status Oftalmologicus

KETERANGAN OKULO DEXTRA (OD) OKULO SINISTRA (OS)

1. VISUS
Axis 1/300 NLP

2. KEDUDUKAN BOLA MATA


Eksoftalmus Tidak ada Tidak ada

Enoftalmus Tidak ada Tidak ada

Deviasi Tidak ada Tidak ada

Gerakan bola mata Baik kesemua arah Baik kesemua arah

3. SUPERSILIA
Warna Hitam Hitam

Simetris Simetris Simetris

4. PALPEBRA SUPERIOR DA INFERIOR


Edema Tidak ada Tidak ada

Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada

Ektropion Tidak ada Tidak ada

3
Entropion Tidak ada Tidak ada

Blefarospasm Tidak ada Tidak ada

Trikiasis Tidak ada Tidak ada

Sikatriks Tidak ada Tidak ada

Punctum Lakrimal Tidak ada Tidak ada

Fissura palpebra Tidak ada Tidak ada

Tes Anel Tidak dilakukan Tidak dilakukan

5. KONJUNGTIVA SUPERIOR DAN INFERIOR


Hiperemis Tidak ada Tidak ada

Folikel Tidak ada Tidak ada

Papil Tidak ada Tidak ada

Sikatriks Tidak ada Tidak ada

Hordeolum Tidak ada Tidak ada

Kalazion Tidak ada Tidak ada

6. KONJUNGTIVA BULBI
Sekret Tidak ada Tidak ada

Injeksi Konjungtiva Tidak ada Tidak ada

Injeksi Siliar Tidak ada Tidak ada

Perdarahan Tidak ada Tidak ada


Subkonjungtiva

Pterigium Tidak ada Tidak ada

4
Pinguekulum Tidak ada Tidak ada

Nevus Pigmentosa Tidak ada Tidak ada

Kista Dermoid Tidak ada Tidak ada

7. SKLERA
Warna Putih Putih

Ikterik Tidak ada Tidak ada

Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada

8. KORNEA
Kejernihan Jernih Jernih

Permukaaan Licin Licin

Ukuran 12 mm 12 mm

Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Infiltrat Tidak ada Tidak ada

Keratik presipitat Tidak ada Tidak ada

Sikatrik Tidak ada Tidak ada

Ulkus Tidak ada Tidak ada

Perforasi Tidak ada Tidak ada

Arkus Senilis ada Ada

Edema Tidak ada Tidak ada

Tes Placido Tidak dilakukan Tidak dilakukan

5
9. BILIK MATA DEPAN
Kedalaman Dangkal Dalam

Kejernihan Jernih Jernih

Hifema Tidak ada Tidak ada

Hipopion Tidak ada Tidak ada

Efek tyndall Tidak dilakukan Tidak dilakukan

10. IRIS
Warna Cokelat tua Cokelat tua

Kripte Tidak ada Tidak ada

Sinekia Tidak ada Tidak ada

Tremulans - +

11. PUPIL
Letak Ditengah Ditengah

Bentuk Bulat Bulat

Ukuran 6 mm 2 mm

(efek mydriasil)

Refleks cahaya Sulit dinilai Sulit dinilai


langsung

Refleks cahaya tidak Sulit dinilai Sulit dinilai


langsung

12. LENSA

6
Kejernihan Keruh Sulit dinilai

Letak Sentral Subluksasi

Tes shadow Positif Sulit dinilai

13. BADAN KACA


Kejernihan Jernih Jernih

14. FUNDUS OKULI


Batas Tegas Sulit dinilai

Warna Pucat Sulit dinilai

Ekstravasio Sulit dinilai Sulit dinilai

Rasio Arteri: Vena 2:3 Sulit dinilai

C/D Ratio ±0,3 Sulit dinilai

Makula Lutea Positif Sulit dinilai

Retina Ablasio Sulit dinilai

Eksudat - Sulit dinilai

Perdarahan - Sulit dinilai

Sikatrik - Sulit dinilai

15. PALPASI
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada

Massa tumor Tidak ada Tidak ada

Tensi okuli Normotensi Normotensi

7
Tonometri Schiotz Tidak dilakukan Tidak dilakukan

16. KAMPUS VISI


Tes konfrontasi Sulit dinilai Sulit dinilai

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1) Ultrasonografi : Scan A, Scan B
2) Angiografi Fluorescein
3) ERG (Elektroretinografi)

V. RESUME
Pasien datang ke poliklinik mata RSUD Ciawi dengan keluhan penglihatan mata kanan
menurun sejak 1 tahun yang lalu. Penglihatan makin lama makin memburuk hingga
hanya bisa melihat cahaya sejak 8 bulan yang lalu. Pasien mengatakan sempat kelilipan
sebelum keluhan muncul. Pasien juga melihat bayangan hitam. Mata kiri pasien sudah
tidak bisa melihat >20 tahun yang lalu. Mata kiri pasien pernah “kejepret” karet dan
langsung mengenai mata. Pasien sempat berobat dan akan dioperasi mata kirinya,
tetapi batal karena kendala ekonomi. Sejak kecil, penglihatan pasien kurang, terutama
jika saat malam, penglihatan akan lebih kabur.

OD OS
Visus 1/300 NLP
Lensa keruh, shadow test + subluksasi lensa
Funduskopi Batas tegas, warna pucat, sulit dinilai
Ablatio +.

VI. DIAGNOSIS KERJA


Ablatio retina OS, Katarak Imatur OS, Subluksio Lensa OD

VII. PENATALAKSANAAN
 Medika mentosa:
Potassium iodide ED 6x1gtt OD

8
 Non medikamentosa:
Pembedahan

VIII. PROGNOSIS
OKULO DEXTRA (OD) OKULO SINISTRA (OS)

Ad Vitam : bonam bonam

Ad Fungsionam : dubia ad malam dubia ad malam

Ad Sanationam : dubia ad malam dubia ad malam

9
Tinjauan Pustaka

Definisi
Ablasio retina (retinal detachment) merupakan suatu keadaan dimana bagian neurosensori
retina terpisah dari epitel pigmen retina. Pada dasarnya antara lapisan neurosensori retina
dengan lapisan epitel pigmen tidak terdapat suatu perlekatan 10pithelium (kecuali di ora
serrata dan epith disk) sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya akumulasi cairan subretinal di ruang potensial antara
neurosensory retinal dengan retinal pigmen epithelium. Ablasio retina merupakan salah satu
gangguan retina yang dapat menimbulkan kebutaan apabila tidak ditangani segera.
Berdasarkan etiologinya, ablasio retina dapat diklasifikasikan menjadi rhegmatogenous
retinal detachment, tractional retinal detachment, dan exudative retinal detachment.

Etiologi

Retina merupakan selaput transparan di bagian belakang mata yang mengolah bayangan
yang difokuskan di retina oleh kornea dan lensa. Ablasio retina seringkali dihubungkan
dengan adanya robekan atau lubang pada retina, sehingga cairan di dalam mata merembes
melalui robekan atau lubang tersebut dan menyebabkan terlepasnya retina dari jaringan di
bawahnya.
Hal tersebut bisa terjadi akibat:
 Trauma
 Proses penuaan
 Diabetes berat
 Penyakit peradangan, tetapi ablasio retina sering kali terjadi secara spontan.
 Pada bayi prematur, ablasio retina bisa terjadi akibat retinopati akibat prematuritas.
Selama proses terlepasnya retina, perdarahan dari pembuluh darah retina yang kecil bisa
menyebabkan kekeruhan pada bagian dalam mata yang dalam keadaan normal terisi oleh
humor vitreus. Jika terjadi pelepasan makula, akan terjadi gangguan penglihatan pusat
lapangpandang.

Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya ablasio retina adalah:


- Myopia

10
- Hypermetropia
- Riwayat keluarga dengan ablasio retina
- Diabetes yang tidak terkontrol
- Trauma.

Gejala Klinis

Ablasio retina tidak menimbulkan nyeri, tetapi bisa menyebabkan gambaran bentuk-bentuk
ireguler yang melayang-layang atau kilatan cahaya, serta menyebabkan penglihatan menjadi
kabur. Hilangnya fungsi penglihatan awalnya hanya terjadi pada salah satu bagian dari
lapang pandang, tetapi kemudian menyebar sejalan dengan perkembangan ablasio. Jika
makula terlepas, akan segera terjadi gangguan penglihatan dan penglihatan menjadi kabur.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan mata. Beberapa


pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui keutuhan retina:
 Oftalmoskopi indirek dengan penekanan sclera dilakukan untuk mendeteksi robekan
perifer dan ablasio retina.
 Ketajaman penglihatan
 Respon refleks pupil
 Gangguan pengenalan warna
 Pemeriksaan slit lamp
 Tekanan intraokuler

Pemeriksaan penunjang
 USG mata
Ultrasonografi memakai prinsip sonar untuk meneliti struktur yang tidak terlihat
langsung. Gelombang suara berfrekeunsi tinggi dari sebuah transmitter khusus
jaringan sasaran. Sewaktu terpantul kembali dari berbagai komponen jaringan,
gelombang suara ditangkap kembali oleh penerima yang melipat gandakan dan
menayangkan pada layar osiloskop.
 Angiografi fluoresensi
Kemampuan fotografi bayangan fundus dapat sangat diperbesar dengan fluorescein,
sebuah pewarna yang molekul-molekulnya memancarkan cahaya hijau bila
dirangsang dengan cahaya biru. Bila difoto, pewarna ini menonjolkan rincian

11
vaskularisasi dan antomi fundus. Angiografi fluorescein sudah menjadi keharusan
untuk mendiagnosis dan evaluasi pada banyak keadaan retina, karena dapat
memetakan dengan teliti daerah dengan kelainan. Penggulungan film bermotor
dengan kecepatan tinggi memungkinkan dibuat fotografi cepat secara berurutan
selama pewarna mengalir melalui sirkulasi retina dan koroid. Foto-foto fase awal
merekam perfusi awal pewarna yang cepat ke koroid, arteri retina dan vena retina.
Foto fase lanjut, misalnya, memperlihatkan kebocoran pewarna belakangan secara
berangsur dari pembuluh darah yang abnormal. Cairan edema ekstravaskular yang
terpulas pewarna itu menetap sampai lama setelah fluorescein intravaskular keluar
dari mata.
 Elektroretinogram
Mengukur respon listrik retina terhadap kilatan cahaya. Dengan mengubah-ubah
intensitas, panjang gelombang dan frekuensi stimulus cahaya dan merekam di bawah
kondisi adaptasi terang atau gelap, akan mengubah gelombang flash ERG dan
memungkinkan pemeriksaan fungsi fotoreseptor batang dan kerucut. Flash ERG
adalah suatu respon difus dari seluruh retina, karenanya hanya sensitive terhadap
penyakit retina yang tersebar luas dan umum, misalnya retinitis pigmentosa. Ketika
pasien datang dengan perdarahan vitreus atau katarak yang menghalangi visualisasi
langsung ke retina, maka pemeriksaan ultrasonografi kutub posterior diindikasikan.
Kadang membedakan ablasio retina regmatogenosa dan penebalan membran hialoid
posterior yang terpisah parsial dengan menggunakan ultrasonografi merupakan hal
yang sulit. Pada kasus ini, ERG merupakan pemeriksaan yang berguna bagi evaluasi
ablasio retina regmatogenosa. Bila respon elektrik dari retina lemah, retina mungkin
mengalami ablasio.

Etiologi dan Faktor Predisposisi

Sampai saat ini penyebab pasti terjadinya ablasio retina masih belum dijelaskan dengan rinci,
namun ada beberapa faktor predisposisi yang mempengaruhinya. Pada umunya ablasio
retina lebih sering terjadi pada usia lanjut (40-60 tahun). Hal ini berhubungan dengan adanya
proses degenerasi di retina perifer yang memudahkan terjadinya robekan. Miopi tinggi pada
orang tua juga seringkali memudahkan terjadinya ablasio retina akibat terjadinya degenerasi
kistoid yang mudah pecah di sekitar ora serrata.

12
Bentuk-bentuk degenerasi perifer yang menjadi faktor predisposisi ablasio retina antara lain:
- Lattice degeneration
Merupakan jenis degenerasi yang berhubungan secara langsung dengan retinal
detachment. Degenerasi ini terjadi pada 8 % populasi. Biasanya terjadi bilateral dan lebih
sering di daerah temporal dan superior. Pada degenerasi jenis ini, terdapat diskontinuitas
membran limitans interna dengan lapisan neurosensorik retina yang mendasarinya.
- Snail track degeneration
Tanda dari degenarasi ini adalah retina berbentuk snowflakes atau white frost like
appearance. Terdapat gambaran pulau-pulau yang biasanya lebih panjang dibandingkan
pada lattice degeneration yang berhubungan dengan likuifaksi vitreous. Sering
ditemukan pada mata miopi dan dapat berkaitan dengan atropic holes.
- Retinoschisis degeneration
Tipe ini terjadi pada sekitar 5% populasi diatas usia 20 tahun, biasanya mengenai dua
mata. Pada jenis ini, lapisan sensori retina terpisah menjadi 2 lapisan, yaitu lapisan luar
(koroidal) dan lapisan dalam (vitreus). Fungsi penglihatan menghilang total pada bagian
yang terkena.

Patofisiologi
Ablasio retina regmatogenosa terjadi ketika gaya yang mencetuskan lepasnya
perlekatan retina-epitel pigmen melebihi gaya yang mempertahankan perlekatan antara
keduanya. Faktor yang mempertahankan perlekatan retina antara lain: tekanan hidrostatik,
tekanan onkotik, dan transpor aktif. Tekanan hidrostatik di intraokular lebih tinggi pada
vitreus dibandingkan koroid. Namun tekanan onkotik koroid lebih tinggi dibanding vitreous.
Adanya pompa pada sel epitel pigmen retina secara aktif mentranspor larutan dari ruang
subretina ke koroid. Hasil dari aktivitas ketiga komponen tersebut yang mempertahankan
perlekatan retina.

13
Robekan retina terjadi sebagai akibat interaksi traksi dinamik vitreoretina dan
kelemahan retina perifer dengan predisposisi degenerasi. Seiring dengan pertambahan usia,
akan terjadi suatu proses likuifaksi (pencairan) vitreus akibat perubahan struktur
molekulernya (dikenal sebagai sineresis). Pada usia lanjut konsentrasi asam hyaluronat di
dalam korpus vitreous menurun, begitu pula dengan serabut-serabut kolagen di dalamnya.
Jaring-jaring kolagen akan kolaps dan memisahkan vitreous posterior dari membrans limitan
interna sehingga menyebabkan posterior vitreous detachment (PVD). Pada beberapa mata
dengan sineresis akan terbentuk lubang pada korteks vitreous posterior yang tipis. Cairan
tersebut akan merembes melalui lubang ini kedalam ruang retrohyaloid. Proses ini juga akan
memisahkan permukaan vitreous posterior dari membran limitans interna sampai tepi
posterior vitreous base (dikenal sebagai PVD). Setelah terjadi PVD, retina tidak dilindungi
oleh korteks vitreous yang stabil. Tarikan vitreus pada perlekatan vitreoretina dapat
menyebabkan robekan pada retina. Setelah terjadi robekan, cairan synchytic pada ruang
retrohyaloid dapat mencapai celah subretina. Akumulasi cairan di rongga subretina
menyebabkan terpisahnya lapisan neurosensorik dari lapisan epitel pigmen retina.

Manifestasi Klinis
Gejala prodromal yang sering keluhkan pasien adalah adanya bintik hitam di depan
mata (floaters) dan fotopsia. Fotopsia merupakan sensasi subjektif yang dirasakan sebagai
kilatan cahaya. Pada mata dengan acute PVD, hal ini mungkin terjadi akibat traksi pada
tempat perlekatan vitreoretina. Biasanya diinduksi oleh gerakan bola mata dan lebih jelas
pada keadaan gelap. Ketika terjadi robekan pada retina, darah dan sel epitel pigmen dapat
masuk ke korpus vitreus dan terlihat sebagai floaters, yaitu bayangan gelap pada vitreus.
Jenis floaters pada ablasio retina antara lain:
- Weiss Ring Floater : berbentuk cincin
- Cobwebs : disebabkan oleh kondensasi serat kolagen pada korteks vitreous yang telah
colaps.

Pada tahap lanjutan, pasien mulai mengeluhkan adanya defek lapang pandang yang
terlokalisasi pada kuadran tertentu hingga menjadi total. Hal tersebut digambarkan pasien
sebagai black curtain. Kuadran pertama yang mengalami defek lapang pandang merupakan
petunjuk untuk menentukan lokasi robekan retina primer (yaitu pada kuadran yang
berlawanan). Hilangnya penglihatan sentral mungkin dikarenakan keterlibatan area makula
(fovea). Jika detachment terjadi secara luas dan sentral, maka pasien dapat kehilangan

14
penglihatannya secara mendadak tanpa rasa nyeri. Pada sebagian pasien, defek penglihatan
mungkin tidak muncul saat bangun tidur di pagi hari, hal ini disebabkan oleh absorpsi
spontan SRF saat berbaring di malam hari.
Pada pemeriksaan oftalmologis dapat ditemukan adanya defek relatif pupil aferen
(Marcus Gunn pupil), tekanan intraokular yang menurun (sekitar 5 mmHg dari normal),
adanya gambaran tobacco dust (sel-sel pigmen yang terlihat pada vitreous anterior), robekan
retina pada funduskopi. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang terangkat
berwarna pucat dengan pembuluh darah di atasnya dan terlihat adanya robekan retina
berwarna merah. Bila bola mata bergerak akan terlihat retina yang terlepas bergoyang.

Tatalaksana
Tujuan dari tatalaksana ablasio retina adalah melepaskan traksi vitreoretina, dan
menutup robekan retina. Pembedahan adalah tatalaksana terpilih untuk tujuan tersebut.
Pemilihan teknik pembedahan ditentukan oleh ukuran, jumlah dan lokasi dari robekan. Dua
teknik yang sering dilakukan antara lain :
a. Scleral buckling
Indentasi sklera yang diakibatkan oleh buckle akan mendekatkan retina sensorik dengan
lapisan epitel retina dan mengendorkan tarikan vitreous pada robekan. Apabila robekan
retina telah menutup, makan cairan subretina akan diabsorsi. Tetapi kadang kala
diperlukan drainase apabila jumlah cairan di subretina sangat banyak. Penutupan
robekan retina dilakukan dengan melekatkan kembali lapisan neurosensoris pada epitel
pigmen retina dengan menimbulkan trauma termal (baik panas ataupun dingin) dengan
menggunakan kriopeksi, diatermi atau fotokoagulasi. Indentasi sklera dapat dilakukan
dengan pemasangan eksoplant, implant atau pemasangan circumferential buckle yang
terbuat dari silikon yang mengelilingi bola mata. Pemasangan eksoplant memungkinkan
terjadinya indentasi sklera tanpa harus dilakukan diseksi sklera sehingga cara ini
merupakan yang banyak dipakai. Eksoplant dieratkan pada sklera dengan jahitan pada
sklera.

b. Pneumatic retinopexy
Digunakan untuk ablasi retina yang disebabkan robekan kecil dan terletak dibagian
superior 2/3 fundus dengan cara menyuntikkan gelembung gas kedalam vitreous untuk
menekan robekan retina sampai retina melekat kembali. Robekan retina diterapi dengan
sejumlah krioterapi atau laser fotokoagulasi setelah retina menempel kembali. Injeksi

15
gas dilakukan melalui pars plana (4mm dari limbus) setelah sebelumnya mata dianestesi.
Gas yang digunakan adalah perfluorocarbon atau sulfurhexafluoride. Setelah operasi
posisi pasien diatur sedemikian rupa sehingga robekan terletak paling atas, paling sedikit
16 jam dalam sehari selama 5 hari. Gas yang akan disuntikkan akan mendorong cairan
subretina keluar dari robekan, sehingga cairan yang tersisa dapat diserap kembali

 Ablatio retina eksudatif

Ablasio retina jenis ini terjadi karena retina terdorong oleh neoplasma atau akumulasi
cairan di belakang retina setelah terjadi lesi inflamatori atau vaskular.
Etiologi dari ablasio retina eksudatif adalah sebagai berikut:
1. Penyakit sistemik, seperti preeklamsia, hipertensi renal, penyakit hematologi, dan
polyarteritis nodosa.
2. Penyakit mata. Penyebabnya meliputi:
a. Inflamasi: Harada’s disease, sympathetic ophthalmia, posterior scleritis, dan
selulitis orbital.
b. Vaskular: retinopati sentral serosa dan exudative retinopathy of Coats.
c. Neoplasma: melanoma malignum koroid dan retinoblastoma
d. Hipotoni mendadak akibat perforasi bola mata dan operasi intra okular.

Patogenesis
Dalam keadaan normal, cairan mengalir dari ruang vitreus ke koroid. Arah aliran
dipengaruhi oleh hiperosmolaritas relatif koroid terhadap vitreus dan epitel pigmen retina
yang secara aktif memompa ion dan air dari vitreus menuju koroid. Jika terdapat peningkatan
aliran cairan yang masuk atau penurunan aliran cairan yang keluar dari ruang vitreus yang
tidak dapat diatasi kompensasi normal, cairan akan berakumulasi di ruang subretinal yang
menyebabkan ablasio retina eksudatif.
Ablasio retina eksudatif dicirikan dengan akumulasi cairan subretinal tanpa adanya
kerusakan retina atau traksi retina. Setiap proses patologis yang memengaruhi permeabilitas
pembuluh darah koroid atau merusak epitel pigmen retina dapat menyebabkan akumulasi
cairan subretina. Hal ini dapat terjadi pada gangguan vaskular, inflamasi, dan neoplasma
yang melibatkan retina bagian neurosensori, epitel pigmen retina, dan koroid dimana cairan
keluar dari pembuluh darah dan berakumulasi di bawah retina.

16
Pada keadaan preeklamsia, terdapat vasokonstriksi yang kuat terhadap arteriol
koroid, yang menyebabkan iskemia koroid dan infark epitel pigmen retina. Akibatnya,
terjadi peningkatan permeabilitas vaskular.

Tanda dan Gejala


Gejala
Tidak terdapat photopsia karena tidak terdapat traksi vitreoretinal, tetapi dapat
ditemukan floater jika terdapat vitritis. Defek lapang pandang dapat muncul tiba-tiba dan
berkembang dengan cepat. Kelainan ini dapat terjadi pada kedua mata, tergantung pada
penyebabnya (misalnya Harada disease).
Tanda
Ablasio retina yang terjadi berbentuk konveks seperti ablasio rhegmatogenous, tetapi
permukaannya halus dan tidak berlekuk. Retina yang terablasi bersifat mobile karena cairan
subretinal dipengaruhi gravitasi dan memisahkan area retina dimana cairan tersebut
terakumulasi. Pada saat pasien tegak cairan subretina terakumulasi di bagian inferior retina,
sementara pada saat pasien supinasi, bagian inferior retina memipih dan cairan subretinal
bergeser ke arah posterior, memisahkan retina bagian superior. Hal tersebut merupakan ciri
khas dari ablasi retina eksudatif.

Gambar ablasio retina dengan perpindahan cairan (A) perpindahan ke arah inferior saat
pasien duduk; (B) perpindahan ke arah superior saat pasien supinasi.
Dapat ditemukan adanya leopard spots, yang merupakan area subretinal clumping
yang terpisah-pisah, setelah detachment telah memipih.

17
Gambar “Leopard spots” yang terjadi setelah resolusi dari ablasio retina eksudatif

Tatalaksana
Tatalaksana tergantung penyebabnya. Pada beberapa kasus dapat sembuh secara
spontan, sementara pada kasus lain dapat ditatalaksana dengan kortikosteroid sistemik (pada
Harada disease dan skleritis posterior). Jika disebabkan oleh tumor, harus ditatalaksana
berdasarkan jenis tumornya. Ablasi retina akibat infeksi bakteri dapat berespon dengan
antibiotik.

Prognosis
Mortalitas dan morbiditas bergantung pada penyebab dasarnya. Sebagai contoh,
pasien dengan ablasio retina eksudatif akibat skleritis sekunder dari rheumatoid arthritis
memiliki kondisi yang parah. Ablasio retina sekunder akibat preeklampsia biasanya hilang
tanpa komplikasi jangka panjang. Setelah partus, cairan subretinal diabsorpsi oleh pompa
epitel pigmen retina dan ketajaman penglihatan pasien kembali pada kondisi sebelum pasien
mengalami ablasio retina dalam beberapa minggu. Namun, pasien dengan eklampsia dapat
mengalami kehilangan penglihatan permanen akibat nekrosis epitel pigmen retina meski
ablasio retina telah tidak ada.

Komplikasi

Bila retina tidak dapat direkatkan kembali, maka mata akan terus menurun penglihatannya
dan akhirnya menjadi buta. Bila ablasinya sudah berlangsung lama, maka pada retina timbul
gangguan metabolisme. Zat-zat toksik yang ditimbulkan menyebabkan degenerasi dan atrofi
dari retina karena batang dan kerucut mendapat makanan dari kapiler koroid sehingga

18
menjadi rusak sebab makanannya terputus, juga dapat menimbulkan uveitis dengan
glaukoma dan katarak sebagai penyulit.

Prognosis

Ablasio ini dapat hilang atau menetap bertahun-tahun setelah penyebabnya berkurang atau
hilang. Bila retina berhasildirekatkan kembali mata akan mendapatkan kembali sebagian
fungsi penglihatan dan kebutaan total dapat dicegah. Tetapi seberapa jauh penglihatan dapat
dipulihkan dalam jangka enam bulan sesudah tindakan operasi tergantung pada sejumlah
faktor. Pada umumnya fungsi penglihatan akan lebih sedikit pulih bila ablasio retina telah
terjadi cukup lama atau muncul pertumbuhan jaringan di permukaan retina.

Prognosis ablasio retina:

1. Baik sekali, bila pertama kali orerasi berhasil 50-60%

2. Bila operasi pertama tidak berhasil, diulang lagi dua kali, prognosis 15 %

3. Operasi yang berulang kali atau ablasio retina

4. Pada myopia tinggi, karena ada proses degenerasi retina, prognosis buruk.

Ektopia Lentis
Definisi
Ektopia lentis didefinisikan sebagai lepasnya atau malposisi dari lensa kristalin mata
dari posisi normalnya akibat zonula Zinii melemah atau rusak. Kondisi ini dapat juga
dikatakan terjadinya dislokasi, subluksasi, tersubluksasi, luksasi, atau terluksasi tergantung
denga derajat lepasnya zonular. Lensa mengalami dislokasi dan berada sepenuhnya di luar
tempat lensa, di ruang depan, bebas mengambang di vitreous atau langsung pada retina.
Kelemahan zonula Zinnii menyebabkan pergeseran lensa. Lensa menjadi lebih bundar dan
mata menjadi lebih miopik.
Ektopia lentis dapat karena herediter atau didapat, dan trauma adalah penyebab
terbanyak dari ektopia lentis yang didapat. Ektopia lentis herediter biasanya diasosiasikan
dengan kondisi sistemik, termasuk sindrom Marfan, sindrom Weil-Marchesani,
hiperlisinemia, dan defisiensi sulfat oksida.

Etiologi Ektopia Lentis

19
Ektopia lentis dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor seperti kondisi herediter
atau didapat, dalam hal ini didapat karena disebabkan oleh kejadian traumatika. Kebanyakan
kasus ektopia lentis disebabkan oleh kejadian traumatika. Etiologi ektopia lentis yang
berbeda inilah yang menentukan pengelompokan ektopia lentis.
Saat trauma tumpul terjadi pada mata, ekspansi yang cepat dari mata pada sebuah
bidang ekuator dapat mengikuti kompresi yang terjadi. Ekspansi yang cepat ini dapat
merusak serat-serat zonula, menyebabkan dislokasi atau subluksasi lensa. Lensa mungkin
terdislokasi ke berbagai arah, termasuk ke arah posterior yakni ke rongga vitrous atau ke
arah posterior yakni ke bilik mata depan.
Ektopia lentis herediter (bawaan) adalah kondisi okuler yang ditandai dengan derajat
tinggi dari kelainan refraksi, terutama ditemukannya kondisi miopia dan astigmatisme. Hal
ini akan mengalami kesulitan untuk dikompensasikan, terutama bagi anak-anak, yang
memiliki ambliopia ametropik. Ektopia lentis herediter ini sendiri terbagi menjadi ektopia
lentis herediter tanpa manifestasi sistemik dan dengan manifestasi sistemik.
Beberapa kondisi ektopia lentis juga dapat terjadi pada ganguan mata primer di
bawah ini:
 Glaukoma kongenital/buphthalmos
 Sindrom pseudoeksfoliasi
 Sifilis/uveitis kronis
 Retinitis pigmentosa
 Megalokornea
 Katarak hipermatur
 Tumor intraokuler
 Miopia
Beberapa penyakit di bawah ini merupakan penyakit sistemik yang kadang-kadang
bermanifestasikan ektopia lentis:
 Ehlers-Danlos
 Penyakit Crouzon
 Sindrom Refsum
 Sindrom Kniest
 Mandibulofacial dysostosis
 Sturge-Weber syndrome
 Sindrom Conradi

20
 Sindrom Pfaundler
 Sindrom Pierre Robin
 Sindrom Wildervanck
 Deformitas Sprengel

PATOFISIOLOGI EKTOPIA LENTIS


Gangguan atau disfungsi dari serat zonular lensa, apapun penyebabnya (baik trauma
maupun kondisi yang diturunkan), adalah patofisiologi yang mendasari terjadinya ektopia
lentis. Tingkat kerusakan zonular menentukan tingkat perpindahan lensa.
Apabila zonula Zinii putus sebagian akibat suatu mekanisme traumatik, maka lensa
akan mengalami subluksasi dan apabila seluruh zonula Zinii putus karena penyebab yang
sama, maka lensa akan mengalami luksasi kedepan (luksasi anterior) atau luksasi ke
belakang (luksasi posterior).
Selain oleh karena proses traumatik, subluksasi lensa dapat juga terjadi secara
spontan akibat pasien menderita kelainan pada zonula Zinn yang rapuh seperti pada
sindroma Marfan, sindroma Ehlers-Danlos, dan homosistinuria.

Klasifikasi Ektopia Lentis


Subluksasi lensa non-traumatika mungkin terjadi dalam kondisi yang berhubungan
dengan kelainan sistemik dan okuler. Menurut Nelson, dalam penelitiannya, ektopia lentis
ini dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi yang menyebabkannya sebagai:
a. Ektopia lentis herediter dengan manifestasi sistemik
1. ektopia lentis sederhana
2. ektopia lentis et pupillae
b. Ektopia lentis yang berhubungan dengan kelainan sistemik
i. Kelainan sistemik yang sering ditemukan yang berhubungan dengan
ektopia lentis:
 sindrom marfan
 homosistinuria
 sindrom weill marchesani
 defisiensi sulfat oksidase
ii. kelainan sistemik yang jarang ditemukan yang berhubungan dengan
ektopia lentis:

21
 sindrom Ehlers-Danlos
 penyakit Crouzon
 Sindrom refsum
 Sidrom Kniest
 sindrom pfaundler
 sindrom wildervanck
 deformitas sprengel
 sindrom sturge-weber
c. kelainan okuler dengan ektopia lentis tanpa faktor predisposisi genetik
Kondisi okuler lain cukup banyak dilaporkan yang dapat mengakibatkan
ektopia lentis. Hal yang paling sering terjadi adalah trauma okuler, yang mana dapat
menyebabkan ektopia lentis sebesar 53% kasus. Abnormalitas okuler lain termasuk
retinitis pigmentosa, membrana papiler persisten, aniridia, anomali Reiger,
megalokornea, blefaroptosis, dan miopia tinggi, juga glaukoma kongenital.
Berdasarkan patofisiologinya, ektopia lentis ini terbagi menjadi:
1. Subluksasi lensa
Akibat putusnya sebagian zonula Zinii, sehingga mengakibatkan lensa berpindah
tempat.
2. Luksasi lensa anterior
Seluruh zonula putus disertai perpindahan letak lensa ke depan akan memberikan
keluhan penurunan tajam penglihatan yang mendadak.
3. Luksasi lensa posterior
Putusnya zonula Zinnii di seluruh lingkaran ekuator lensa sehingga lensa jatuh ke
dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah polus posterior fundus okuli.

Tanda dan Gejala Ektopia Lentis


Gejala utama dari ektopia lentis adalah penurunan ketajaman penglihatan karena
subluksasi progresif dari lensa yang dapat menyebabkan perubahan refraksi dan
astigmatisme. Fakia dan afakia intermiten disebabkan oleh perubahan dari lensa yang
tersubluksasi juga dapat terjadi. Sehingga, dapat ditemukan astigmatisme parah dan kondisi
afakia yang dapat menyebabkan terjadinya ambliopia. Diplopia monokuler juga dapat
terjadi. Berpindahnya lensa menuju ruang anterior dapat menginduksi terjaadi glaukoma
sudut tertutup akut dan perpindahan menuju ruang vitreous dapat menyebabkan protein-

22
induced uveitis, traksi vitreoretinal, dan lepasnya retina (retinal detachment). Uveitis pada
ektopia lentis mungkin terjadi disebabkan oleh dua mekanisme yang berbeda.iridosiklitis
dapat terjadi karena iritasi kontak antara badan silier dan iris. Uveitis jenis ini terbilang akut,
sementara, dan sering berulang, serta responsif terhadap steroid topikal. Uveitis fakolitik
dengan atau tanpa glaukoma sekunder dapat terjadi karena dilokasi posterios yang dapat
menyebabkan kapsula lensa ruptur.

DIAGNOSIS EKTOPIA LENTIS


Pada anamnesis akan didapatkan gangguan penglihatan yang biasanya muncul
meliputi:
 Mata merah yang terasa nyeri
 Penurunan ketajaman penglihatan jarak jauh
 Visus jarak dekat yang buruk
 Diplopia monokuler
Hal yang tidak kalah penting adalah mencari riwayat trauma, kemudian mencari
adakah penyakit sistemik lain yang mungkin berhubungan, seperti:
 Penyakit jantung (pada sindrom Marfan)
 Gangguan skeletal seperti sindrom Marfan, sindrom Weil-Marchesani, atau
homosistinuria
 Riwayat keluarga yang bersangkutan, kerabat, retardasi mental, atau kematian
yang tidak dapat dijelaskan pada usia muda (misalnya, kondisi autosomal resesif,
termasuk homosistinuria, hiperlisinemia, ektopia lentis et pupillae, atau defisiensi
sulfit oksidase)
Pemeriksaan fisik yang komperhensif dibutuhkan agar tidak ada kondisi sistemik
maupun okuler yang terabaikan dan mungkin berkaitan. Pemeriksaan ini juga
penting dilakukan untuk mengetahui etiologi yang mendasari.
1. Pemeriksaa Visus
 Ektopia lentis berpotensi menurunkan visus.
 Ketajaman visus bervariasi sesuai dengan derajat malposisi lensa.
 Ambliopia adalah penyebab umum dari visus yang menurun pada ektopia
lentis kongenital dan dapat dicegah serta diobati.
2. Pemeriksaan Okular Eksternal

23
 Perhatian terhadap anatomi orbita penting untuk mengevaluasi malformasi
herediter
 Mengukur diameter kornea (adanya megalokornea dikaitkan dengan sindrom
Marfan).
 Strabismus tidak jarang terjadi (sekunder akibat ambliopia).
3. Retinoskopi dan Refraksi
 Pemeriksaan retinoskopi dan refraksi yang hati-hati merupakan hal yang
penting, karena sering ditemukannya miopia dengan astigmatisme pada
pemeriksaan ini.
 Keratometri dapat membantu memastikan derajat astigmatisme kornea.
4. Pemeriksaan dengan Slit Lamp
 Mengevaluasi posisi lensa, dan mengidentifikasi fakodonesis atau katarak.
 Mengukur tekanan intraokular. Peningkatan tekanan intraokuler dapat
mengindikasikan adanya glaukoma sekunder. Penyebab glaukoma pada
ektopia lentis meliputi blok pupil, fakoanafilaktik dan fakolitik, resesi sudut
pasca trauma, kurang berkembangnya struktur sudut, dan lensa berada dalam
ruang anterior.
5. Pemeriksaan fundus
 Ablasio retina merupakan salah satu konsekuensi serius dari dislokasi lensa

2.8 Penatalaksanaan
Manajemen multidisiplin yang melibatkan ahli penyakit dalam dan anak sangatlah
penting pada penderita ektopia lentis dengan penyakit sistemik. Penanganan ektopia lentis
dengan penyakit sistemik berdasarkan penyakit yang menyertai. Seperti pembatasan diet
yang mungkin akan efektif pada pasien dengan homosistinuria. Pada sindrom Marfan
dilakukan perbaikan dari aneurisma aorta terdiseksi. Jika ada kondisi herediter, konseling
genetik serta semua kerabat dengan risiko yang berpotensi juga harus diperiksa.
Beberapa penangangan dasar yang penting dalam penanganan ektopia lentis adalah:
 Penglihatan kabur yang disebabkan oleh dislokasi lensa dapat dikoreksi dengan
kacamata atau lensa kontak
 Penggunaan kacamata afakik (pemrefraksi di sekitar lensa), dikombinasikan dengan
sulfas atropin 1% OD untuk melebarkan pupil, langkah ini diambil sebagai cara
alternatif

24
 Pada kasus-kasus yang berat, lensa mungkin perlu dilakukan pelepasan. Semua cara
ini harus dilakukan untuk menghindari pembedahan hingga ada cara yang lebih baik
untuk mendapatkan penglihatan yang adekuat karena ditakutkannya komplikasi dari
pembedahan. Artificial lense dapat digunakan setelah tindakan.
Manajemen pembedahan pada ektopia lentis adalah salah satu tantangan yang berat
bagi para dokter-dokter bedah mata. Dimulai dari evaluasi klinis hingga ke pendekatan
pembedahan, pasien ektopia lentis dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk menentukan
metodologi tambahan teknik, dan peralatan pembedahan untuk mendapatkan hasil yang
terbaik. Perbaikan secara terus-menerus dari teknik pembedahan dan peralatan prostetik
yang akan membantu meningkatkan kualitas dari pembedahan yang telah dilakukan selain
itu mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut.
Secara umum, indikasi untuk melepaskan lensa yang terdislokasi dibagi menjadi
beberapa kategori utama:
1. untuk menyembuhkan glaukoma
2. untuk meningkatkan kualitas penglihatan pada kondisi lensa yang mengalami katarak atau
telah terluksasi
3. untuk mendapatkan penglihatan yang lebih baik dari retina yang terlepas dengan lensa
yang berpindah.
4. mencegah lensa yang tersubluksasi menjadi terluksasi sepenuhnya ke dalam vitreous.

2.9 Komplikasi
Komplikasi okuler yang sering dikaitkan dengan ektopia lentis biaanya serius, dan
kelainan-kelainan itu berupa:
 ambliopia,
 uveitis,
 glaukoma,
 pembentukan katarak,
 ablasio retina.
Namun, komplikasi okuler paling banyak ditemukan dari ektopia lentis adalah glaukoma dan
ablasio retina.
2.10 Prognosis
Umumnya pasien memiliki prognosis yang baik, hal ini dipengaruhi oleh derajat
dislokasi lensa, usia onset ektopia lentis, dan komplikasi yang diakibatkan oleh ektopia

25
lentis. Pada pasien dengan riwayat trauma serta penyakit sistemik mungkin memiliki
prognosis yang lebih mengancam jiwa, tergantung pada beratnyta trauma dan kondisi
sistemik yang diderita.

26
Daftar Pustaka

1. Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-4. Jakarta : Badan Penerbit
FKUI, 2012.h.10-1.
2. Asbury T, Augsburger J, Biswell R, et al. Vaughan & Asbury’s General
Ophtalmology: 16th edition. In: Riordan-Eva P, Whitcher JP, editors. McGraw-Hill
: 2004.
3. Kanski JJ, Bowling B, editors. Clinical Ophthalmology: a systemic approach. 7th ed.
Elsevier, 2011
4. Khurana AK. Comprehensive Ophtalmology : 4th edition. Chapter 11: Disease of
Retina New Age International (P) Ltd, Publisher : 2007.
5. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology : 12th edition. USA
: John Wiley & Sons, Inc; 2009. p. 605-12
6. Schwartz SG, Mieler WF. Management of Primary Rhegmatogenous Retinal
Detachment. Comprehensive Ophtalmology Update. [series online] 2004; 5(6): 285-
294. Available from URL: http://www.medscape.com/viewarticle/496835_6.
7. Wu L. Tractional Retinal Detachment [internet]. 2012 [updated 2013 Apr 30, cited
2013 Mar 19]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1224891-
overview.
8. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury : oftalmologi umum. Edisi ke-17. Jakarta
: EGC, 2009.h.185-90.

27

Anda mungkin juga menyukai