Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

TB PARU
DI RUANG BOUGENVILE RSUD BANYUMAS

Oleh :
TUTI NOVILIA
(1811040053)

PROGRAM PROFESI NERS


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2018

A. Definisi
Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium Tubercolosis. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ
paru-paru dibandingkan bagian lain dari tubuh manusia, sehingga selama ini kasus
tuberkulosis yang sering terjadi di Indonesia adalah kasus tuberkulosis paru/TB Paru
(Indriani et al., 2005). Penyakit tuberculosis biasanya menular melalui udara yang
tercemar dengan bakteri Mycobacterium Tubercolosis yang dilepaskan pada saat
penderita batuk. Selain manusia, satwa juga dapat terinfeksi dan menularkan penyakit
tuberkulosis kepada manusia melalui kotorannya (Wiwid, 2005).
Tuberculosis paru adalah suatu penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman Mycrobacterium Tuberculosis.Sebagian bersar kuman tuberculosis
menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya (Depkes, 2008).
Menurut (Elizabeth J Corwin, 2009) tuberkulosis (TB) merupakan contoh lain
infeksi saluran napas bawah. Penyakit ini disebabkan oleh mikroorganisme
Mycobacterium tuberkulosis, yang biasanya ditularkan melalui inhalasi percikan
ludah (droplet), dari satu individu ke individu lainnya dan membentuk kolonisasi di
bronkiolus atau alveolus, kuman juga dapat masuk ketubuh melalui saluran cerna,
melalui ingesti susu tercemar yang tidak dipasteurisasi atau kadang-kadang melaui
lesi kulit
B. ETIOLOGI
Penyebab tuberkulosis adalah Myobacterium tuberculosae, sejenis kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um. Tergolong
dalam kuman Myobacterium tuberculosae complex adalah :
a. M. Tuberculosae
b. Varian Asian
c. Varian African I
d. Varian African II
e. M. bovis.
Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang
membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri
tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman
dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan
bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman bersifat dormant,
tertidur lama selama bertahun-tahun dan dapat bangkit kembali menjadikan
tuberkulosis aktif lagi. Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular
yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah
kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid (Asril Bahar,2001).
Cara penularan TB (Depkes, 2006)
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
b. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak.
c. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
d. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.
e. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
C. Tanda Gejala
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu
bulan (Depkes, 2006).
Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau
malah banyak pasien ditemikan Tb paru tanpa keluhan sama sekali dalam
pemeriksaan kesehatan. Gejala tambahan yang sering dijumpai (Asril Bahar. 2001):
a. Demam: Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang
dapat mencapai 40-41°C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi
kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya sehingga pasien merasa
tidak pernah terbebas dari demam influenza ini.
b. Batuk/Batuk Darah: Terjadi karena iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk-produk radang keluar. Keterlibatan bronkus pada tiap penyakit
tidaklah sama, maka mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang
dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan
peradangan bermula. Keadaan yang adalah berupa batuk darah karena terdapat
pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi
pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
c. Sesak Napas: Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak
napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
d. Nyeri Dada: Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi
radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
e. Malaise: Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise
sering ditemukan berupa anoreksia (tidak ada nafsu makan), badan makin kurus
(berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat pada malam hari
tanpa aktivitas. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang
timbul secara tidak teratur.
D. PATOFISIOLOGI
Tempat masuk kuman M.tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran
pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis terjadi
melalui udara (airborne), yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-
kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Saluran pencernaan
merupakan tempat masuk utama jenis bovin, yang penyebarannya melalui susu yang
terkontaminasi.
Tuberkulosis adalh penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara
sel. Sel efektornya adalah makrofag, sedangkan limfosit (biasanya sel T) adalah sel
imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag
yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respon ini disebut
sebagai reaksi hipersensitivitas (lambat. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan
gambaran yang relatif padat dan seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis
kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di
sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon berbeda.
Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya
akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel. Lesi primer paru-paru
dinamakan fokus Gohn dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional
dan lesi primer dinamakan kompleks Gohn respon lain yang dapat terjadi pada
daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan
menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan
masuk ke dalam percabangan trakeobronkhial. Proses ini dapat akan terulang kembali
ke bagian lain dari paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga
tengah atau usus. Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan
meninggalkan jaringan parut bila peradangan mereda lumen bronkus dapat
menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan rongga
bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui
saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan dan lesi mirip
dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas keadaan ini dapat menimbulkan gejala
dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi
tempat peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau
pembuluh darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai
aliran darah dalam jumlah kecil dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain.
Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya
sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang
biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak
pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam sistem vaskular dan
tersebar ke organ-organ tubuh.
E. PATHWAY
Droplet mengandung
M.tuberculosis
Terhirup lewat saluran Masuk ke paru
Udara tercemar pernafasan Alveoli
M.tuberculosis

Hipertermi Panas Proses peradangan Produksi sekret berlebih

limfadenitis Kelenjar getah bening Tuberkel


Sekret sukar dikeluarkan
Sembuh dengan
sarang Ghon TB primer Infeksi primer (Ghon)
Pada Alveoli
Ketidakefektifan bersihan
meluas Sembuh jalan nafas
sempurna Mengalami perkejuan

Bronkogen Hematogen
klasifikasi

Menghancurkan jaringan Perkejuan


Bronkus Bakterimia sekitar,nekrosis
Mengganggu perfusi dan
difusi O2
Pencairan
Jantung Pleura Peritonium
Suplai O2 kurang
Perikarditis Pleuritis Asam lambung Pengkejuan
meningkat
Aneurisma arteri pulmonalis Gangguan pertukaran gas
Nyeri dada
Mual, muntah,
anoreksia
Nyeri
Batuk darah

Ketidakseimbangan nutrisi kurang


dari kebutuhan tubuh Resiko syok
hipovelemik
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis TB menurut Depkes (2006):
1. Diagnosis TB paru
 Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi -
sewaktu (SPS).
 Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA).
Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan
dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
 Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto
toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis.
 Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
 Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.
2. Diagnosis TB ekstra paru.
 Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB,
nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis
TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lainlainnya.
 Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan
berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan
penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan
dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi,
foto toraks dan lain-lain.
Diagnosis TB menurut Asril Bahar (2001):
1) Pemeriksaan Radiologis : Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang
praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah
apeks paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga
mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru.
2) Pemeriksaan Laboratorium
 Darah: Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-kadang
meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru
mulai sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di
bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah
leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai
turun ke arah normal lagi.
 Sputum: Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman
BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan
sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan.
 Tes Tuberkulin: Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang
atau pernah mengalami infeksi M. Tuberculosae, M. Bovis, vaksinasi BCG dan
Myobacteria patogen lainnya.
G. PENATALAKSANAAN
1. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap
OAT.
2. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan
dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi) .
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT =
Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
1) Tahap awal (intensif)
 Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
 Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
2) Tahap Lanjutan
 Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama.
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
c. Jenis, sifat dan dosis OAT

d. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia:
1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
3) Kategori Anak: 2HRZ/4HR
 Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan
dalam bentuk OAT kombipak.
 Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu
paket untuk satu pasien.
 Paket Kombipak.
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi
pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan OAT ini disediakan dalam
bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1)
pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
 Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping.
 Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
 Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
H. FOKUS PENGKAJIAN
Pengumpulan data
1. Identitas klien
Nama, umur, kuman TBC menyerang semua umur, jenis kelamin, tempat tinggal (alamat),
pekerjaan, pendidikan dan status ekonomi menengah kebawah dan satitasi kesehatan yang
kurang ditunjang dengan padatnya penduduk dan pernah punya riwayat kontak dengan
penderita TB patu yang lain.
2. Riwayat penyakit sekarang
Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan dengan penyakit yang di rasakan saat ini.
Dengan adanya sesak napas, batuk, nyeri dada, keringat malam, nafsu makan menurun dan
suhu badan meningkat mendorong penderita untuk mencari pengonbatan.
3. Riwayat penyakit dahulu
Keadaan atau penyakit – penyakit yang pernah diderita oleh penderita yang mungkin
sehubungan dengan tuberkulosis paru antara lain ISPA efusi pleura serta tuberkulosis paru yang
kembali aktif.
4. Riwayat penyakit keluarga
Mencari diantara anggota keluarga pada tuberkulosis paru yang menderita penyakit tersebut
sehingga sehingga diteruskan penularannya.
5. Riwayat psikososial
Pada penderita yang status ekonominya menengah ke bawah dan sanitasi kesehatan yang
kurang ditunjang dengan padatnya penduduk dan pernah punya riwayat kontak dengan
penderita tuberkulosis paru yang lain
6. Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat : Pada klien dengan TB paru biasanya tinggal
didaerah yang berdesak – desakan, kurang cahaya matahari, kurang ventilasi udara dan
tinggal dirumah yang sumpek.
b. Pola nutrisi dan metabolik: Pada klien dengan TB paru biasanya mengeluh anoreksia, nafsu
makan menurun.
c. Pola eliminasi: Klien TB paru tidak mengalami perubahan atau kesulitan dalam miksi
maupun defekasi
d. Pola aktivitas dan latihan: Dengan adanya batuk, sesak napas dan nyeri dada akan
menganggu aktivitas
e. Pola tidur dan istirahat: Dengan adanya sesak napas dan nyeri dada pada penderita TB paru
mengakibatkan terganggunya kenyamanan tidur dan istirahat.
f. Pola hubungan dan peran: Klien dengan TB paru akan mengalami perasaan asolasi karena
penyakit menular.
g. Pola sensori dan kognitif: Daya panca indera (penciuman, perabaan, rasa, penglihatan, dan
pendengaran) tidak ada gangguan.
h. Pola persepsi dan konsep diri: Karena nyeri dan sesak napas biasanya akan meningkatkan
emosi dan rasa kawatir klien tentang penyakitnya.
i. Pola reproduksi dan seksual: Pada penderita TB paru pada pola reproduksi dan seksual akan
berubah karena kelemahan dan nyeri dada.
j. Pola penanggulangan stress: Dengan adanya proses pengobatan yang lama maka akan
mengakibatkan stress pada penderita yang bisa mengkibatkan penolakan terhadap
pengobatan.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan: Karena sesak napas, nyeri dada dan batuk menyebabkan
terganggunya aktifitas ibadah klien.
7. Pemeriksaan fisik
Berdasarkan sistem – sistem tubuh
a. Sistem integumen: Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan lembab, tugor kulit menurun
b. Sistem pernapasan: Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik dijumpai
 nspeksi : adanya tanda – tanda penarikan paru, diafragma, pergerakan napas yang
tertinggal, suara napas melemah.
 Palpasi : Fremitus suara meningkat.
 Perkusi : Suara ketok redup.
 Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki basah, kasar dan yang
nyaring.
1) Sistem pengindraan: Pada klien TB paru untuk pengindraan tidak ada kelainan
2) Sistem kordiovaskuler: Adanya takipnea, takikardia, sianosis, bunyi P2 syang
mengeras.
3) Sistem gastrointestinal: Adanya nafsu makan menurun, anoreksia, berat badan
turun.
4) Sistem muskuloskeletal: danya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kurang
tidur dan keadaan sehari – hari yang kurang meyenangkan.
5) Sistem neurologis: Kesadaran penderita yaitu komposmentis
6) Sistem genetalia: Biasanya klien tidak mengalami kelainan pada genitalia
I. DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret kental atau sekret
darah
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveoler-kapiler.
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
d. Nyeri Akut berhubungan dengan nyeri dada pleuritis
e. Hipertemia berhubungan dengan proses inflamasi
J. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
NO Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1 Ketidakefektifan NOC : NIC :
bersihan jalan nafas  Respiratory status : Ventilation Airway suction
 Respiratory status : Airway 1. Pastikan kebutuhan oral /
Definisi :
patency tracheal suctioning.
Ketidakmampuan untuk
 Aspiration Control 2. Auskultasi suara nafas sebelum
membersihkan sekresi
dan sesudah suctioning.
atau obstruksi dari
Kriteria Hasil : 3. Informasikan pada klien dan
saluran pernafasan untuk
1. Mendemonstrasikan batuk keluarga tentang suctioning
mempertahankan
efektif dan suara nafas 4. Berikan O2 dengan
kebersihan jalan nafas.
yang bersih, tidak ada menggunakan nasal untuk
sianosis dan dyspneu memfasilitasi suksion
(mampu mengeluarkan nasotrakea.
sputum, mampu bernafas 5. Gunakan alat yang steril setiap
dengan mudah, tidak ada melakukan tindakan.
pursed lips)
2. Menunjukkan jalan nafas Airway Management
yang paten (klien tidak 1. Buka jalan nafas, guanakan
merasa tercekik, irama teknik chin lift atau jaw thrust
nafas, frekuensi pernafasan bila perlu
dalam rentang normal, 2. Posisikan pasien untuk
tidak ada suara nafas memaksimalkan ventilasi.
abnormal. 3. Identifikasi pasien perlunya
3. Mampu pemasangan alat jalan nafas
mengidentifikasikan dan buatan .
mencegah factor yang
dapat menghambat jalan
nafas

2 Gangguan pertukaran gas NOC : NIC :


 Respiratory Status : Gas Airway Management.
Definisi : Kelebihan atau exchange 1. Buka jalan nafas, guanakan
kekurangan dalam
 Respiratory Status : ventilation teknik chin lift atau jaw thrust
oksigenasi dan atau
pengeluaran  Vital Sign Status bila perlu
karbondioksida di dalam Kriteria Hasil: 2. Posisikan pasien untuk
membran kapiler alveoli 1. Mendemonstrasikan memaksimalkan ventilasi
peningkatan ventilasi 3. Identifikasi pasien perlunya
dan oksigenasi yang pemasangan alat jalan nafas
adekuat. buatan
2. Memelihara kebersihan 4. Berikan bronkodilator bila perlu.
paru paru dan bebas Respiratory Monitoring
dari tanda tanda 1. Monitor rata – rata, kedalaman,
distress pernafasan irama dan usaha respirasi
3. Mendemonstrasikan 2. Catat pergerakan dada,amati
batuk efektif dan suara kesimetrisan, penggunaan otot
nafas yang bersih, tidak tambahan, retraksi otot
ada sianosis dan supraclavicular dan intercostal
dyspneu (mampu 3. Monitor suara nafas, seperti
mengeluarkan sputum, dengkur
mampu bernafas 4. Monitor pola nafas : bradipena,
dengan mudah, tidak takipenia, kussmaul,
ada pursed lips) hiperventilasi, cheyne stokes,
4. Tanda tanda vital dalam biot
rentang normal

3 Ketidakseimbangan NOC : NIC :


nutrisi kurang dari
 Nutritional Status : food and Nutrition Management
kebutuhan tubuh. Fluid Intake 1. Kaji adanya alergi makanan
Kriteria Hasil : 2. Kolaborasi dengan ahli gizi
Definisi : Intake nutrisi
tidak cukup untuk 1. Adanya peningkatan berat untuk menentukan jumlah
keperluan metabolisme badan sesuai dengan tujuan kalori dan nutrisi yang
tubuh. 2. Berat badan ideal sesuai dibutuhkan pasien.
dengan tinggi badan. 3. Anjurkan pasien untuk
3. Mampu mengidentifikasi meningkatkan intake Fe
kebutuhan nutrisi 4. Anjurkan pasien untuk
4. Tidak ada tanda tanda meningkatkan protein dan
malnutrisi vitamin C.
5. Tidak terjadi penurunan 5. Berikan makanan yang terpilih
berat badan yang berarti ( sudah dikonsultasikan dengan
ahli gizi)

Nutrition Monitoring
1. BB pasien dalam batas normal
2. Monitor adanya penurunan
berat badan
3. Monitor tipe dan jumlah
aktivitas yang biasa dilakukan
4. Monitor interaksi anak atau
orangtua selama makan
5. Monitor lingkungan selama
makan

4 Nyeri Akut NOC : NIC :


 Pain Level, Pain Management
Definisi :  Pain control, 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
Sensori yang tidak
 Comfort level komprehensif termasuk lokasi,
menyenangkan dan Kriteria Hasil: karakteristik, durasi, frekuensi,
pengalaman emosional 1. Mampu mengontrol nyeri kualitas dan faktor presipitasi
yang muncul secara (tahu penyebab nyeri, 2. Observasi reaksi nonverbal dari
aktual atau potensial mampu menggunakan ketidaknyamanan
kerusakan jaringan atau tehnik nonfarmakologi 3. Gunakan teknik komunikasi
menggambarkan adanya untuk mengurangi nyeri, terapeutik untuk mengetahui
kerusakan (Asosiasi mencari bantuan) pengalaman nyeri pasien
Studi Nyeri 2. Melaporkan bahwa nyeri 4. Ajarkan tentang teknik non
Internasional): serangan berkurang dengan farmakologi
mendadak atau pelan menggunakan manajemen 5. Berikan analgetik untuk
intensitasnya dari ringan nyeri mengurangi nyeri
sampai berat yang dapat 3. Mampu mengenali nyeri 6. Evaluasi keefektifan kontrol
diantisipasi dengan akhir (skala, intensitas, frekuensi nyer
yang dapat diprediksi dan tanda nyeri) 7. Tingkatkan istirahat
dan dengan durasi 4. Menyatakan rasa nyaman 8. Kolaborasikan dengan dokter
kurang dari 6 bulan. setelah nyeri berkurang jika ada keluhan dan tindakan
5. Tanda vital dalam rentang nyeri tidak berhasil
normal

5 Hipertemia NOC : NIC :


Thermoregulation Fever treatment
Definisi : suhu tubuh Kriteria Hasil : 1. Monitor suhu sesering mungkin
naik diatas rentang
1. Suhu tubuh dalam 2. Monitor warna dan suhu kulit
normal
rentang normal 3. Monitor tekanan darah, nadi dan
2. Nadi dan RR dalam RR
rentang normal 4. Berikan anti piretik
3. Tidak ada perubahan 5. Berikan pengobatan untuk
warna kulit dan tidak mengatasi penyebab demam
ada pusing, merasa 6. Selimuti pasien
nyaman 7. Kompres pasien pada lipat paha
dan aksila
DAFTAR PUSTAKA

Asril Bahar. 2001. Tuberkulosis paru. Dalam: Slamet Suyono, editor: Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-3.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. h. 819.
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Depkes RI : Jakarta.
Depkes R.I., 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper
Saddle River
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika

Anda mungkin juga menyukai