PENDAHULUAN
2.2. Etiologi
Penyebab sindrom imunodefisiensi ini adalah DNA retrovirus yang dikenal
sebagai human immunodeficiency virus, HIV-1 dan HIV-2. Pada tahun 1992
kebanyakan kasus di seluruh dunia disebabkan oleh infeksi HIV-1. Infeksi HIV-2
endemik di Afrika Barat, namun tidak umum ditemukan di AS.5
HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan
kemudian menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah
putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk limfosit
yang disebut ”sel T-4” atau ”sel T-helper”, atau disebut juga ”sel CD-4”.8
Jumlah sel T-4 pada orang sehat secara umum berkisar antara 500-1200 per
mikroliter. Jika jumlah sel T-4 menurun di bawah 200, maka ia dapat dikatakan
sudah masuk pada fase AIDS.8,9
2.3. Patogenesis
Limfosit CD4 merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai
afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4 berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi
tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif. Kejadian infeksi HIV
primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian Immunodeficiency Virus
(SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4 dan monosit pada mukosa vagina.
Virus dibawa oleh antigen presenting cells ke kelenjar getah bening regional. Pada
model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening dalam 5 hari setelah inokulasi.
Sel individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi
dengan hibridasi in situ dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV
dideteksi 7-21 hari setelah infeksi.4
Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening
berhubungan dengan puncak antigenemia p26. Jumlah sel yang mengekspresikan
virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat dan dihubungkan
sementara dengan pembentukan respon imun spesifik. Insiden dengan
menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8. Walaupun demikian
tidak dapat dikatakan bahwa respon sel limfosit CD8 menyebabkan kontrol optimal
terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan “steady state”
beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relatif stabil selama beberapa
tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat
replikasi HIV adalah heterogenitas kapasitas replikatif virus dan heterogenitas
intrinsik pejamu.4,5
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi.
Namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah
menurun sampai ke level “steady state”. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki
aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat
mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibodi dengan
melakukan adaptasi pada envelopnya, termasuk kemampuannya mengubah situs
glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi
yang diperantarai antibodi tidak dapat terjadi.5
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.
Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu
setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare atau batuk. Setelah infeksi akut,
dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini
umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang
perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang
perjalanannya lambat (non-progressor). Seiring dengan makin memburuknya
kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi
oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran
kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes.4
Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak
menunjukkan gejala, secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi
HIV akan memburuk, dan akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin
berat, pasien masuk tahap AIDS. Manifestasi awal dari kerusakan kekebalan tubuh
adalah kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV
yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in
situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan
diperedaran darah tepi. 4,5
Siklus Replikasi HIV adalah sebagai berikut :
1. Terjadi fusi dari sel HIV ke permukaan sel inang.
2. Dengan bantuan enzim reverse transcriptase, RNA HIV terintegrasi
dan virus protein lainnya memasuki sel inang.
3. DNA virus terbentuk akibat proses transkripsi terbalik.
4. DNA virus diangkut melintasi inti dan terintegrasi ke dalam DNA
inang.
5. RNA virus baru digunakan sebagai RNA yang digunakan untuk
membuat protein virus.
6. RNA virus baru dan protein pindah ke permukaan sel yang baru dan
masih imatur, terbentuklah virus HIV baru.
7. Virus matang oleh enzim protease HIV dan melepaskan protein
individu.
A B* C#
Tanpa gejala, HIV Bergejala, tidak AIDS-Sesuai
Fase akut atau PGL Termasuk dengan
Kategori A atau Indikasi
C
(1) ≥500 cells/µL A1 B1 C1
(2) 200-499 A2 B2 C2
cells/µL
(3) <200 cells/µL A3 B3 C3
Asimptomatik
Limfadenopati Generalisata Persisten
STADIUM KLINIS II
2.7.3. Diagnosis
Pemeriksaan standar yang dapat digunakan untuk mendiagnosis HIV seperti
enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA) dan analisa Western Blot.15,16
Imunoglobulin G (IgG) tidak dapat dipakai untuk mendiagnosis HIV pada bayi di
bawah usia 18 bulan. Hal ini disebabkan karena masih ditemukannya IgG anti HIV
ibu yang melewati plasenta di darah bayi, bahkan kadang hingga usia 24 bulan.
Sedangkan IgA dan IgM anti HIV tidak dapat melalui plasenta sehingga dapat
dijadikan konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada bayi. Namun sensitifitas kedua
pemeriksaan tersebut masih sangat rendah.16
Pemeriksaan yang bisa dilakukan pada usia di bawah usia 18 bulan adalah
pemeriksaan kultur HIV, tehnik PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk
mendeteksi DNA atau RNA HIV dan deteksi antigen p24. Infeksi HIV pada bayi di
bawah 18 bulan dapat ditegakkan bila dua sampel dari dua kali pemeriksaaan yang
berbeda dengan kultur, DNA HIV atau RNA HIV menunjukkan hasil positif.
Infeksi HIV bisa disingkirkan bila 2 macam sampel tes yang berbeda menunjukkan
hasil negatif.15,16
Pemeriksaan dengan PCR atau kultur virus dapat dilakukan sejak lahir dan
usia 1 atau 2 bulan. Jika dengan PCR kultur virus positif, maka pemeriksaan harus
diulang segera untuk konfirmasi sebelum diagnosis HIV dibuat. Bila hasil PCR atau
kultur virus dilakukan saat lahir dan usia 1-2 bulan tidak menunjukkan hasil positif
dan bayi tidak menunjukkan gejala maka pemeriksaan diulang pada usia 4 bulan.16
2.8. Penatalaksanaan
2.8.1. Konseling dan Tes Antibodi HIV terhadap Ibu
Petugas yang melakukan perawatan antenatal di Puskesmas maupun di
tempat perawatan antenatal lain sebaiknya mulai mengadakan pengamatan tentang
kemungkinan adanya ibu hamil yang berisiko untuk menularkan penyakit HIV
kepada bayinya. Anamnesis yang dapat dilakukan antara lain dengan menanyakan
apakah ibu pemakai obat terlarang, perokok, mengadakan hubungan seks bebas,
dan lain-lainnya. Bila ditemukan kasus tersebut di atas, harus dilakukan tindakan
lebih lanjut. Risiko penularan HIV secara vertikal dapat berkurang sampai 1-2%
dengan melakukan tata laksana yang baik pada ibu dan anak. Semua usaha yang
akan dilakukan sangat tergantung pada temuan pertama dari ibu-ibu yang berisiko.9
Oleh karena itu, semua ibu usia reproduksi yang akan hamil sebaiknya
diberi konseling HIV untuk mengetahui risiko, dan kalau bisa, sebaiknya semua ibu
hamil disarankan untuk melakukan tes HIV-1 sebagai bagian dari perawatan
antenatal, tanpa memperhatikan faktor risiko dan prevalensi HIV-1 di masyarakat.
Akan tetapi, ibu hamil sering menolak untuk dilakukan tes HIV, karena belum ada
peraturan yang memaksa ibu hamil untuk di tes HIV. Cukup banyak ibu hamil
sudah terinfeksi HIV-1 pada saat masa pancaroba dan dewasa muda yang justru
pada masa ini mereka tidak terjangkau oleh sistem pelayanan kesehatan. Padahal
pada masa-masa ini banyak terjadi penularan melalui hubungan seks bebas, dan
juga banyak karena penggunaan obat terlarang. Sebaiknya mereka harus diberi
konseling dan disarankan untuk dilakukan tes infeksi HIV-1.9
Kemudian, jika ditemukan ada ibu hamil yang terinfeksi HIV dan sebagai
pengguna obat terlarang, maka harus dimasukkan ke dalam program pengobatan
atau program detoksifikasi. Ibu yang sudah diketahui terinfeksi HIV sebelum hamil,
perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui jumlah virus di dalam plasma,
jumlah sel T CD4+, dan genotip virus. Juga perlu diketahui, apakah ibu tersebut
sudah mendapat antiretrovirus (ARV) atau belum. Data tersebut kemudian dapat
digunakan sebagai bahan informasi kepada ibu tentang risiko penularan terhadap
pasangan seks, bayi, serta cara pencegahannya. Selanjutnya, ibu harus diberi
penjelasan tentang faktor risiko yang dapat mempertinggi penularan infeksi HIV-1
dari ibu ke bayi.9,15
2.8.2. Pencatatan dan Pemantauan Ibu Hamil
Banyak ibu terinfeksi HIV hamil tanpa rencana. Ibu hamil sangat jarang
melakukan perawatan prenatal. Di samping itu, ibu-ibu ini sering terlambat untuk
melakukan perawatan prenatal. Kelompok ibu-ibu ini juga sangat jarang melakukan
konseling dan tes HIV pada waktu prenatal, sehingga mereka tidak dapat dicatat
dan dipantau dengan baik. Catatan medis yang lengkap sangat perlu untuk ibu hamil
terinfeksi HIV termasuk catatan tentang kebiasaan yang meningkatkan risiko dan
keadaan sosial yang lain, pemeriksaan fisik yang lengkap, serta pemeriksaan
laboratorium untuk mengetahui status virologi dan imunologi. Pada saat penderita
datang pertama kali harus dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan ini
akan digunakan sebagai data dasar untuk bahan banding dalam melihat
perkembangan penyakit selanjutnya. Pemeriksaan tersebut adalah darah lengkap,
urinalisis, tes fungsi ginjal dan hati, amilase, lipase, gula darah puasa, VDRL,
gambaran serologis hepatitis B dan C, subset sel T , dan jumlah salinan RNA HIV
.9
Selanjutnya, ibu harus selalu dipantau. Cara pemantauan ibu hamil
terinfeksi HIV sama dengan pemantauan ibu terinfeksi HIV tidak hamil.
Pemeriksaan jumlah sel T CD4+ dan kadar RNA HIV -1 harus dilakukan setiap
trimester (yaitu,setiap 3-4 bulan) yang berguna untuk menentukan pemberian ARV
dalam pengobatan penyakit HIV pada ibu. Bila fasilitas pemeriksaan sel T CD4+
dan kadar HIV-1 tidak ada maka dapat ditentukan berdasarkan kriteria gejala klinis
yang muncul.9,15
2.8.3. Pengobatan dan Profilaksis Antiretrovirus (ARV) Pada Ibu yang
Terinfeksi HIV
Untuk mencegah penularan vertikal dari ibu ke bayi maka ibu hamil terinfeksi
HIV harus mendapat pengobatan atau profilaksis antiretrovirus (ARV). Tujuan
pemberian ARV pada ibu hamil, di samping untuk mengobati ibu, juga untuk
mengurangi risiko penularan perinatal kepada janin atau neonatus. Ternyata ibu
dengan jumlah virus sedikit di dalam plasma (<1000 salinan RNA/ml), akan
menularkan HIV ke bayi hanya 22%, sedangkan ibu dengan jumlah muatan virus
banyak menularkan infeksi HIV pada bayi sebanyak 60%. Jumlah virus dalam
plasma ibu masih merupakan faktor prediktor bebas yang paling kuat terjadinya
penularan perinatal. Karena itu, semua wanita hamil yang terinfeksi HIV harus
diberi pengobatan antiretrovirus (ARV) untuk mengurangi jumlah muatan virus.9,15
Pemilihan antiretrovirus untuk ibu hamil terinfeksi HIV sama dengan ibu
yang tidak hamil. Yang harus diketahui dari ibu hamil terinfeksi HIV adalah status
penyakit HIV (beratnya penyakit AIDS ditentukan berdasarkan perhitungan sel T
CD4+, perkembangan infeksi ditentukan berdasarkan jumlah muatan virus, antigen
p24 atau RNA/DNA HIV di dalam plasma), riwayat pengobatan antiretrovirus saat
ini dan sebelumnya, usia kehamilan, dan perawatan penunjang yang diperlukan
seperti perawatan psikiater, nutrisi, aktivitas seksual harus memakai kondom, dan
lain-lain. ARV cukup aman diberikan kepada ibu hamil. Obat ini tidak bersifat
teratogenik pada manusia, dan tidak bersifat lebih toksik pada ibu hamil
dibandingkan dengan ibu tidak hamil. Walaupun demikian, pemantauan jangka
pendek dan jangka panjang tentang toksisitas dari paparan sampai penggunaan
kombinasi ARV untuk janin di dalam kandungan dan pada bayi adalah sangat
penting, karena keterbatasan informasi, dan data yang ada sering tidak sesuai.15,17
Indikasi pemberian antiretrovirus pada wanita hamil sama dengan pada wanita
tidak hamil. Untuk wanita hamil yang sudah mendapat pengobatan antiretrovirus,
keputusan untuk mengganti obat adalah sama dengan wanita tidak hamil. Rejimen
kemoprofilaksis ZDV diberikan tunggal atau bersama dengan antiretrovirus lain,
mulai diberikan pada usia kehamilan 14 minggu dan jangan ditunda. Karena dengan
menunda maka efektivitasnya akan menurun. Hal ini harus didiskusikan dan
ditawarkan kepada seluruh ibu hamil yang terinfeksi agar risiko penularan HIV
perinatal berkurang.15
Walaupun keputusan pemilihan dan penggunaan ARV berbeda-beda,
umumnya keputusan dibuat berdasarkan pertimbangan : 1) risiko penyakit
berkembang pada ibu bila tanpa pengobatan, 2) manfaat untuk menurunkan jumlah
virus, agar risiko penularan perinatal berkurang, 3) kemungkinan terjadi toksisitas
obat, 4) kemungkinan ada infeksi oleh virus yang sudah resisten obat, dan 5) efek
paparan obat jangka panjang pada bayi dalam kandungan.17
2.8.3.1. Golongan Obat ARV
Golongan obat anti-HIV pertama adalah nucleoside reverse transcriptase
inhibitor atau NRTI, juga disebut analog nukleosida. Obat golongan ini
menghambat perubahan genetik HIV dari bentuk RNA menjadi bentuk DNA.15,17
Obat dalam golongan ini yang disetujui di AS dan masih dibuat adalah :
1. Lamivudine (3TC)
2. Abacavir (ABC)
3. Zidovudine (AZT/ZDV)
4. Stavudine (D4T)
5. Didanosine (Ddl)
6. Emtricitabine (FTC)
7. Tenofovir (TDF)
Golongan obat kedua menghambat langkah yang sama dalam siklus hidup
HIV, tetapi dengan cara lain. Obat ini disebut nonnucleoside reverse transcriptase
inhibitor atau NNRTI17, diantaranya adalah :
1. Delaviridine (DLV)
2. Evavirens (EFV)
3. Etravirine (ETV)
4. Nevirapine (NVP)
5. Rilpivirine (RPV)
Golongan ketiga ARV adalah protease inhibitor (PI). Obat golongan ini
menghambat pematangan virus. Obat golongan PI yang disetujui dan masih dibuat
di AS:
1. Atazanavir (ATV)
2. Darunavir (DRV)
3. Fosamprenavir (FPV)
4. Indinavir (IDV)
5. opinavir (LPV)
6. Nelfinavir (NFV)
7. Ritonavir (RTV)
8. Saquinavir (SQV)
9. Tipranavir (TPV)
Golongan ARV keempat adalah fusion inhibitor.17 Obat golongan ini
mencegah pengikatan HIV pada sel. Dua obat golongan ini sudah disetujui di AS:
1. Enfuvirtide (T-20)
2. Maraviroc (MVC)
Golongan ARV terbaru adalah integrase inhibitor (INI).15,17 Obat golongan
ini mencegah pemaduan kode genetik HIV dengan kode genetik pada sel. Contoh
dua obat ini adalah :
1. Raltegravir (RGV)
2. Elvitegravir (EGV)
2.8.3.2. Pemberian Terapi Antiretrovirus (ARV) Berdasarkan WHO 2013
2.8.3.2.1 Kapan memulai pemberian ARV
Pemberian pengobatan secara dini dikaitkan dengan manfaat pencegahan klinis
HIV, keadaan ini dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan mengurangi
kejadian infeksi HIV pada tingkat masyarakat. Pada pedoman WHO 2013
merekomendasikan bahwa program HIV nasional yaitu memberikan ART bagi
semua orang dengan diagnosis HIV konfirmasi dengan jumlah CD4 ≤ 500 sel/mm3,
Pedoman ini memberikan prioritas untuk memulai ART bagi mereka dengan
penyakit HIV berat atau jumlah ≤ CD4 350 cells/mm3. Hal ini juga dianjurkan
untuk memulai ART pada orang dengan penyakit TB aktif dan koinfeksi HBV
dengan penyakit hati yang berat, semua wanita hamil dan menyusui dengan HIV,
semua anak dengan usia lima tahun hidup dengan HIV dan semua orang dengan
HIV dalam hubungan serodiskordan, tanpa memandang jumlah CD4.9,15
2.8.3.2.2. Pemberian ARV Pada Ibu Hamil & Menyusui
Rekomendasi Terbaru
1. Semua wanita hamil dan menyusui dengan HIV harus memulai triple ARV
yang harus dipertahankan selama terdapat risiko penularan dari ibu ke anak.
Wanita yang memenuhi kriteria diatas dan mendapatkan pengobatan ARV
harus dilanjutkan seumur hidup.17
2. Untuk alasan program dan operasional, semua wanita hamil dan menyusui
dengan HIV harus memulai ARV sebagai pengobatan seumur hidup.17
3. Di beberapa negara, pada wanita yang tidak memenuhi syarat untuk pemberian
ARV disarankan untuk menghentikan rejimen ARV selama risiko penularan
dari ibu ke anak risiko telah berhenti.17
Tabel 4. Rekomendasi Awal Pemberian ART Pada Remaja, Orang Dewasa,
Ibu Hamil dan Menyusui dan Anak-anak.17
Tabel 5. Pilihan Pemberian Terapi ARV17
b recommended for 6 weeks, but 4 weeks may be considered in setting with replacement feeding.
c dosing beyond 6 weeks of age in special situations in which prolonged dosing of to 12 weeks should be considered
(such as the mother had limited ART and not being likely to be virally suppressed;the infants is identified as HIV
exposed after birth and is breastfeeding. This is based on the dosing required to sustain exposure among infants
Hal ini dapat dijelaskan karena sperma dari penderita HIV tidak
mengandung virus, yang mengandung virus adalah air mani. Oleh sebab itu, telur
ibu tidak dapat ditularkan sperma. Jelas, bila perempuan tidak terinfeksi, dan
melakukan hubungan seks dengan laki-laki tanpa kondom dalam upaya membuat
anak, ada risiko si perempuan tertular. Dan bila perempuan terinfeksi pada waktu
tersebut, dia sendiri dapat menularkan virus pada bayi. Tetapi laki-laki tidak dapat
langsung menularkan janin atau bayi. Hal ini menekankan pentingnya kita
menghindari infeksi HIV pada perempuan.18,19
Tetapi untuk ibu yang sudah terinfeksi, kehamilan yang tidak diinginkan
harus dicegah. Bila kehamilan terjadi, harus ada usaha mengurangi viral load ibu
di bawah 1.000 agar bayi tidak tertular dalam kandungan, mengurangi risiko kontak
cairan ibunya dengan bayi waktu lahir agar penularan tidak terjadi waktu itu, dan
hindari menyusui untuk mencegah penularan melalui ASI. Dengan semua upaya
ini, kemungkinan si bayi terinfeksi dapat dikurangi jauh di bawah 8%.19
Jelas yang paling baik adalah mencegah penularan pada perempuan. Hal ini
membutuhkan peningkatan pada program pencegahan, termasuk penyuluhan,
pemberdayaan perempuan, penyediaan informasi dan kondom, harm reduction, dan
hindari transfusi darah yang tidak benar-benar dibutuhkan.18,19
BAB III
PENYAJIAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Ny. L
Umur : 27 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Dusun Sekingat 007/003, Belimbing Bengkayang
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SD
Status : Menikah
No CM : 500XXX
B. ANAMNESIS
B.1 KELUHAN UTAMA
Pasien datang dengan keluhan demam sejak kurang lebih 1 hari
SMRS.
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : E4M6V5
3. Tanda Vital
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 120 kali/menit
Frekuensi napas : 22 kali/menit
Suhu : 37,30C
6. Leher
Massa (-), pembengkakan KGB (-)
8. Abdomen :
Cembung (+), striae gravidarum (+), NT epigastrium (-), sikatriks (-).
9. Ekstrimitas :
Akral hangat, CRT < 2”, pitting edema (+/+)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hematologi Rutin
Pemeriksaan Hasil Rujukan
Sel Darah Merah 3,68 x 106 3,8-5,2 x 106 /uL
Hemoglobin 11,9 11,7-15,5 g/dL
Hematokrit 36,3% 35-47 %
Leukosit 10.570 3.600-11.000 /uL
Trombosit 228.000 150.000-400.000 /uL
Golongan Darah B -
HBsAg Nonreaktif Nonreaktif
Anti-HIV Reaktif Nonreaktif
2. USG
E. DIAGNOSIS KERJA
Pasien didiagnosis dengan G3P2A0 hamil 38-39 minggu dengan HIV
(+) on ARV dan observasi febris.
F. TATALAKSANA
Tatalaksana yang diberikan pada pasien Ny. L, 27 tahun, dengan
G3P2A0 hamil 38-39 minggu dengan riwayat HIV on ARV dan observasi
febris, adalah sebagi berikut:
Observasi, KU, TTV, dan DJJ
IVFD RL 20 tpm
Inj. Dexametasone 6 mg / 12 jam IV selama 2 hari
PO. Paracetamol 3 x 500 mg
PO. Nivedipine 4 x 10 mg
PO. Cefixime 2 x 200 mg
ARV dilanjutkan
G. FOLLOW UP
Tanggal Temuan Klinis Managemen
07/07/19 S: Mules (-), Demam (-) bebas demam Observasi, KU, TTV,
1 hari dan DJJ
O: KU: CM; TD: 110/60 mmHg; HR:
88 x/m; RR: 21 x/m; T: 36,8o C; DJJ: IVFD RL 20 tpm
132 x/m Inj. Dexametasone 6
A: G3P2A0 Hamil 38-39 minggu
mg / 12 jam IV selama
dengan HIV (+) on ARV dan
observasi febris 2 hari
PO. Paracetamol 3 x
500 mg
PO. Nivedipine 4 x 10
mg
ARV dilanjutkan
5.1 Kesimpulan
Perhatian khusus pada pasien ini ditekankan untuk mencegah transmisi
HIV dari ibu ke janin. Perencanaan persalinan dan asuhan pascapersalinan ibu
dan bayi perlu diperhatikan. Meskipun pasien sudah rutin mengonsumsi ARV,
tidak menutup kemungkinan terjadinya transmisi maternalfetal. Pemeriksaan
viral load, kadar CD4, dan evaluasi terapi perlu dilakukan pada pasien untuk
menilai stadium klinis dan respon terapi ARV terhadap pasien.