Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

Jumlah wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah, khususnya pada


usia reproduksi. Sekitar 80% penderita AIDS anak-anak mengalami infeksi
perinatal dari ibunya. Laporan CDC (Central for Disease Control) Amerika
memaparkan bahwa seroprevalensi HIV pada ibu prenatal adalah 0,0% - 1,7%, pada
saat persalinan 0,4% - 2,3% dan 9,4 – 29,6% pada ibu hamil yang biasa
menggunakan narkotika intravena. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
kehamilan dapat memperberat kondisi klinik wanita dengan infeksi HIV.
Sebaliknya, risiko tentang hasil kehamilan pada penderita infeksi HIV masih
merupakan tanda Tanya. Transmisi vertical virus AIDS dari ibu kepada janinnya
telah banyak terbukti, akan tetapi belum jelas diketahui, kapan transmisi perinatal
tersebut terjadi. Penelitian di Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan bahwa
risiko transmisi perinatal pada ibu hamil adalah 20 – 40%. Transmisi dapat terjadi
melalui plasenta, perlukaan dalam proses persalinan, atau melalui ASI. Walaupun
demikian WHO menganjurkan agar ibu dengan HIV (+) tetap menyusui bayinya
mengingat manfaat ASI yang lebih besar dibandingkan dengan risiko penularan
HIV.1
Infeksi oleh virus penyebab defisiensi imun merupakan masalah yang relatif
baru, terutama pada anak. Masalah ini pertama kali dilaporkan di Amerika pada
tahun 1982 sebagai suatu sindrom defisiensi imun makin meningkat secara relatif
cepat disertai angka kematian yang mencemaskan, maka dilakukanlah pengamatan
dan penelitian yang intensif sehingga akhirnya penyebab defisiensi imun ini
ditemukan. Penyebab defisiensi imun ini adalah suatu virus yang kemudian dikenal
dengan nama human immunodeficiency virus tipe-1 (HIV-1), pada tahun 1985.
Pada pengamatan selanjutnya, ternyata bahwa infeksi HIV-1 ini dapat
menimbulkan rentangan gejala yang sangat luas, yaitu dari tanpa gejala hingga
gejala yang sangat berat dan progresif, dan umumnya berakhir dengan kematian.
Dengan meningkat dan menyebarnya kasus defisiensi imun oleh virus ini pada
orang dewasa secara cepat di seluruh dunia, apabila kasus tersebut tidak mendapat
perhatian dan penanganan yang memadai, dalam waktu dekat diperkirakan jumlah
kasus defisiensi imun pada anak juga akan meningkat.2
Secara keseluruhan, infeksi pada wanita meningkat, dan proporsi wanita dan
gadis remaja yang terinfeksi meningkat tiga kali lipat dari 7 menjadi 23 persen dari
tahun 1985 sampai 1998. Sejak saat itu, prevalensi penyakit yang mematikan ini
meningkat di seluruh dunia hampir secara geometris. Di Amerika Serikat sampai
tahun 1998, Fauci (1999) menyebut sekitar 650.000 sampai 900.000 orang
terinfeksi dan hampir setengah juta meninggal. Pada tahun 1994, kematian akibat
infeksi HIV menjadi penyebab utama kematian pada orang berusia 25 sampai 44
tahun. Seperti diperkirakan, infeksi perinatal juga meningkat. Sampai tahun 1993,
Centers for Disease Control and Prevention memperkirakan bahwa di Amerika
Serikat 15.000 anak terinfeksi HIV lahir dari wanita positif HIV.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. HIV dalam kehamilan


AIDS singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yaitu penyakit
yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immuno Deficiency Virus) yang merusak
sel T, yaitu sel yang membuat zat anti dalam tubuh manusia, akibatnya tubuh tidak
dapat menahan serangan penyakit. AIDS adalah kumpulan berbagai gejala penyakit
akibat melemahnya daya tahan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV. Seseorang
yang terinfeksi HIV dengan mudah akan diserang oleh berbagai jenis penyakit yang
lain karena daya tahan tubuhnya yang sudah dilemahkan oleh HIV tidak mampu
lagi melawan serangan penyakit tersebut.4
HIV dalam kehamilan merupakan salah satu masalah utama dalam bidang
obstetri. Transmisi heteroseksual dan penyalahgunaan obat intravena meningkat
kejadiannya secara signifikan di antara wanita. Resiko infeksi bayi baru lahir dari
ibu HIV-seropositif diperkirakan 13 hingga 39 %. Kebanyakan anak-anak yang
terinfeksi bertahan hidup hingga usia 5 tahun.5 Pada tahun 1992, the Centers for
Disease Control and Prevention memperkirakan prevalensi HIV-seropositif
diantara wanita usia reproduksi adalah 1 sampai 2 per 1000.4
Penularan infeksi HIV dari ibu ke anak merupakan penyebab utama infeksi
HIV pada anak usia di bawah 15 tahun. Sejak HIV menjadi pandemik di dunia,
diperkirakan 5,1 juta anak di dunia terinfeksi HIV. Hampir sebagian besar penderita
tersebut tertular melalui penularan dari ibu ke anak. Setiap tahun diperkirakan lebih
dari 800.000 bayi menjadi terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke anak. Dan
diikuti adanya sekitar 610.000 kematian anak karena virus tersebut.6
Di Indonesia menurut Ditjen PPM dan PL Departemen Kesehatan tercatat
4333 kasus HIV positif dan 5823 kasus AIDS dari 1 Januari 1987 s/d 31 maret 2013,
dengan jumlah kematian 1430 kasus.7 Penelitian yang dilakukan Yayasan Pelita
Ilmu dan Bagian kebidanan FKUI/RSCM selama tahun 1999-2001 melakukan
pemeriksaan pada 558 ibu hamil di daerah miskin di Jakarta, menunjukkan hasil
sebanyak 16 orang (2,86%) mengidap infeksi HIV.6

2.2. Etiologi
Penyebab sindrom imunodefisiensi ini adalah DNA retrovirus yang dikenal
sebagai human immunodeficiency virus, HIV-1 dan HIV-2. Pada tahun 1992
kebanyakan kasus di seluruh dunia disebabkan oleh infeksi HIV-1. Infeksi HIV-2
endemik di Afrika Barat, namun tidak umum ditemukan di AS.5
HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan
kemudian menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah
putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk limfosit
yang disebut ”sel T-4” atau ”sel T-helper”, atau disebut juga ”sel CD-4”.8
Jumlah sel T-4 pada orang sehat secara umum berkisar antara 500-1200 per
mikroliter. Jika jumlah sel T-4 menurun di bawah 200, maka ia dapat dikatakan
sudah masuk pada fase AIDS.8,9

2.3. Patogenesis
Limfosit CD4 merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai
afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4 berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi
tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif. Kejadian infeksi HIV
primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian Immunodeficiency Virus
(SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4 dan monosit pada mukosa vagina.
Virus dibawa oleh antigen presenting cells ke kelenjar getah bening regional. Pada
model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening dalam 5 hari setelah inokulasi.
Sel individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi
dengan hibridasi in situ dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV
dideteksi 7-21 hari setelah infeksi.4
Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening
berhubungan dengan puncak antigenemia p26. Jumlah sel yang mengekspresikan
virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat dan dihubungkan
sementara dengan pembentukan respon imun spesifik. Insiden dengan
menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8. Walaupun demikian
tidak dapat dikatakan bahwa respon sel limfosit CD8 menyebabkan kontrol optimal
terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan “steady state”
beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relatif stabil selama beberapa
tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat
replikasi HIV adalah heterogenitas kapasitas replikatif virus dan heterogenitas
intrinsik pejamu.4,5
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi.
Namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah
menurun sampai ke level “steady state”. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki
aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat
mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibodi dengan
melakukan adaptasi pada envelopnya, termasuk kemampuannya mengubah situs
glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi
yang diperantarai antibodi tidak dapat terjadi.5
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.
Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu
setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare atau batuk. Setelah infeksi akut,
dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini
umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang
perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang
perjalanannya lambat (non-progressor). Seiring dengan makin memburuknya
kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi
oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran
kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes.4
Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak
menunjukkan gejala, secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi
HIV akan memburuk, dan akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin
berat, pasien masuk tahap AIDS. Manifestasi awal dari kerusakan kekebalan tubuh
adalah kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV
yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in
situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan
diperedaran darah tepi. 4,5
Siklus Replikasi HIV adalah sebagai berikut :
1. Terjadi fusi dari sel HIV ke permukaan sel inang.
2. Dengan bantuan enzim reverse transcriptase, RNA HIV terintegrasi
dan virus protein lainnya memasuki sel inang.
3. DNA virus terbentuk akibat proses transkripsi terbalik.
4. DNA virus diangkut melintasi inti dan terintegrasi ke dalam DNA
inang.
5. RNA virus baru digunakan sebagai RNA yang digunakan untuk
membuat protein virus.
6. RNA virus baru dan protein pindah ke permukaan sel yang baru dan
masih imatur, terbentuklah virus HIV baru.
7. Virus matang oleh enzim protease HIV dan melepaskan protein
individu.

Gambar 1. Siklus Replikasi HIV.5


2.4. Respon Imun Terhadap Infeksi HIV
Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawanan immun
yang intensif. Sel-sel B menghasilkan antibodi-antibodi spesifik terhadap berbagai
protein virus. Di temukan antibodi netralisasi terhadap regio-regio di gp120
selubung virus dan bagian eksternal gp 41. Deteksi antibodi adalah dasar bagi
berbagai uji HIV (misalnya, enzyme linked immunosorbant assay /ELISA). Di
dalam darah dijumpai kelas antibodi immunoglobulin G (IgG) maupun
immunoglobulin M (IgM), tetapi seiring dengan menurunnya titer IgM, titer IgG
(pada sebagian besar kasus) tetap tinggi sepanjang infeksi. Antibodi IgG adalah
antibodi utama yang digunakan dalam uji HIV. Antibodi terhadap HIV dapat
muncul dalam 1 bulan setelah infeksi awal dan pada sebagian besar orang yang
terinfeksi HIV muncul dalam 6 bulan setelah terinfeksi. 5
Produksi immunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4, dimana sel limfosit T
CD4 diaktifkan oleh sel penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan berbagai
sitokin seperti IL-2 yang membantu merangsang sel B untuk membelah dan
berdiferensiasi menjadi sel plasma. Sel plasma ini kemudian menghasilkan
immunoglobulin yang spesifik untuk antigen yang merangsangnya. Sitokin IL-2
penting dalam aktivitas intrasel. CD4 berfungsi untuk mengeluarkan berbagai
sitokin yang memperlancar proses-proses misalnya produksi immunoglobulin dan
pengaktifan sel T tambahan dan makrofag. Dua sitokin spesifik yang dihasilkan
oleh limfosit ( CD4,IL-2 dan interferon gamma berperan dalam imunitas seluler.
Pada kondisi normal, limfosit CD4 mengeluarkan interferon gamma yang menarik
makrofag dan mengintensifkan reaksi immun terhadap antigen. Namun apabila
limfosit CD4 tidak berfungsi dengan benar maka produksi interferon gamma akan
menurun. IL-2 penting untuk memfasilitasi tidak saja produksi sel plasma tetapi
juga pertumbuhan dan aktivitas antivirus sel CD8 dan replikasi limfosit CD4.
Limfosit CD4 tidak mampu membelah diri sehingga timbul fenomena yang disebut
anergi. 4,5
Teori lain menyatakan adanya peran pembentukan sinsitium. Pada
pembentukan sinsitium, limfosit CD4 yang tidak terinfeksi berfusi dengan sel-sel
yang terinfeksi sehingga mengalami banyak sel yang tidak terinfeksi. Akhirnya,
menurunnya jumlah limfosit CD4 mungkin disebabkan oleh terbentuknya virus-
virus baru melalui proses pembentukan tunas, virus-virus tersebut menyebabkan
rupturnya membran limfosit CD4 yang secara efektif mematikan sel tersebut.
Apapun teori yang menjelaskan berkurangnya limfosit CD4, gambaran utama pada
infeksi HIV tetaplah deplesi sel-sel tersebut. Deplesi limfosit CD4 tersebut
bervariasi di antara para pengidap infeksi HIV. Sebagian faktor yang
mempengaruhinya adalah fungsi sistem imun pejamu (misalnya : penyakit
kongenital, metabolik, defisiensi gizi) atau perbedaan strain virus.5

2.5. Cara penularan


HIV dapat menular melalui 3 jalur :
 Melalui hubungan seksual baik secara heteroseksual dan atau homoseksual
dengan seseorang yang sudah terinfeksi HIV.
 Melalui transfusi darah atau alat-alat yang telah tercemar HIV
 Melalui ibu yang terinfeksi HIV kepada janin/bayinya saat intrauterin, partus,
dan pasca persalinan.(menyusui).
Meningkatnya infeksi HIV pada anak adalah karena akibat penularan
selama perinatal (periode kehamilan, selama dan setelah persalinan). Lebih dari
90% AIDS pada anak yang dilaporkan tahun 1994 terjadi karena transmisi dari ibu
hamil ke anak.5
Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa terjadi melalui ASI. Angka kejadian
penularan dari ibu ke anak diperkirakan sekitar 20% - 30%. Penularan HIV dari ibu
ke janin tanpa dilakukan intervensi dilaporkan berkisar antara 15 – 45%.5
Resiko penularan di negara berkembang sekitar 21% - 43%, ini lebih tinggi
dibandingkan risiko penularan di negara maju sekitar 14%-26%. Resiko infeksi
penularan terbanyak terjadi saat persalinan sebesar 18%, di dalam kandungan 6%
dan pasca persalinan sebesar 4%.6
Penularan di dalam kandungan didiagnosis jika pemeriksaan virologis
negatif dalam 48 jam pertama setelah kelahiran, selanjutnya tes minggu pertama
menjadi positif dan bayi tidak disusui Ibu. Selama persalinan bayi dapat tercemar
darah atau cairan servikovaginal ibu yang mengandung HIV melalui paparan
trakeobronkial atau tertelan pada saat janin berada dijalan lahir.6
Peningkatan risiko transmisi telah digambarkan selama persalinan yang
memanjang, pecah ketuban yang lama, perdarahan plasenta dan adanya cairan
amnion yang mengandung darah.6 Risiko transmisi vertikal secara pasti tidak
diketahui tapi telah ditentukan sekitar 25-40% dari bayi yang lahir hidup dari
wanita terinfeksi HIV.4,10 Studi awal menunjukkan angka transmisi bervariasi dari
13% diEropa sampai 25% di Amerika Serikat dan 40% di Afrika.7 Efek kehamilan
pada perjalanan penyakit HIV yang berhubungan dengan ibu dan efek infeksi HIV
pada hasil kehamilan tetap belum dapat ditentukan dengan baik. Bukti awal
menyarankan bahwa ibu HIV positif berada dalam risiko tinggi untuk melahirkan
anak dengan hasil yang tidak menguntungkan.8,9,11

Gambar 2. Jumlah penularan HIV ibu ke bayi7


Beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi
HIV. Yang paling mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang ada di dalam
darah) ibunya.10 Oleh karena itu, salah satu tujuan utama terapi adalah mencapai
viral load yang tidak dapat terdeteksi seperti juga ART untuk siapa pun terinfeksi
HIV. Viral load penting pada waktu melahirkan. Penularan dapat terjadi dalam
kandungan yang dapat disebabkan oleh kerusakan pada plasenta, yang seharusnya
melindungi janin dari infeksi HIV.9,12 Kerusakan tersebut dapat memungkinkan
darah ibu mengalir pada janin. Kerusakan pada plasenta dapat disebabkan oleh
penyakit lain pada ibu, terutama malaria dan TB.
Namun risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan, karena bayi
tersentuh oleh darah dan cairan vagina ibu waktu melalui saluran kelahiran. Jelas,
jangka waktu antara saat pecah ketuban dan bayi lahir juga merupakan salah satu
faktor risiko untuk penularan. Juga intervensi untuk membantu persalinan yang
dapat melukai bayi, misalnya vakum, dapat meningkatkan risiko. Karena air susu
ibu (ASI) dari ibu terinfeksi HIV mengandung HIV, juga ada risiko penularan HIV
melalui menyusui.
Faktor risiko lain termasuk kelahiran prematur (bayi lahir terlalu dini) dan
kekurangan perawatan HIV sebelum melahirkan.12 Sebenarnya semua faktor risiko
menunjukkan satu hal, yaitu mengawasi kesehatan ibu. Beberapa pokok kunci yang
penting adalah:
a. status HIV bayi dipengaruhi oleh kesehatan ibunya,
b. status HIV bayi tidak dipengaruhi sama sekali oleh status HIV ayahnya, dan
status HIV bayi tidak dipengaruhi oleh status HIV anak lain dari ibu.

2.6. Pengaruh HIV/AIDS pada kehamilan


Penularan HIV-1 dapat terjadi di dalam rahim (intrauterin), pada saat
persalinan (intrapartum), atau postnatal melalui menyusui. Bukti transmisi dalam
rahim yaitu terjadi dalam 8 minggu kehamilan, infeksi berasal dari deteksi HIV-1,
dimana virus di isolasi yang diambil dalam spesimen janin dan jaringan plasenta,
didapatkan sekitar 20% -60% dari bayi yang terinfeksi pada saat lahir, didapatkan
antigen p24 diserum janin. Bukti dalam transmisi intrapartum di dapat dari
pengamatan kelahiran bayi kembar, yang menemukan bahwa bayi kembar yang
lahir pertama kali memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi tertular HIV-1
dibandingkan dengan bayi kembar yang lahir kedua. 13
Paparan janin terhadap virus dalam cairan servikovaginal diperkirakan sangat
berperan. Selain itu, laporan terbaru menunjukkan bahwa cara persalinan dapat
mempengaruhi tingkat transmisi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pecahnya ketuban lebih dari 4 jam dapat meningkatkan risiko penularan HIV.14
Sekitar setengah dari bayi yang terinfeksi, akan memiliki studi virus negatif pada
waktu kelahiran. Transmisi postnatal lebih banyak ditemukan di negara Afrika.
Kontribusi masing-masing transmisi dari keseluruhan tampaknya belum
menunjukkan bahwa penularan di dalam rahim jarang terjadi dan sebagian besar
infeksi terjadi pada saat persalinan atau pada akhir kehamilan. Kesimpulan ini
berdasarkan tidak ditemukannya sindrom dismorfik HIV-1, kurangnya manifestasi
infeksi HIV-1 pada kelahiran, dan temuan bahwa HLV-1 terdeteksi pada minggu
pertama kehidupan. Virus terdeteksi dalam waktu 48 jam setelah lahir, keadaan ini
dianggap bayi telah terinfeksi selama kehamilan. Sedangkan infeksi intrapartum
diasumsikan jika studi virus negatif selama minggu pertama kehidupan, namun
akan menjadi positif antara 7 dan 90 hari kemudian. 13,14
Tabel 1. Faktor Yang Mempengaruhi Transmisi HIV dari Ibu ke Janin.
VIRUS Genotip dan fenotip virus
Resistensi virus & jumlah virus
MATERNAL Status immunologis ibu
Status nutrisi ibu
Faktor perilaku
Pengobatan ART
OBSTETRI Pecah ketuban (>4 jam)
Cara persalinan
Perdarahan intrapartum
Prosedur obstetric
FETAL Prematuritas
BAYI Menyusui
Faktor traktus gastrointestinal
Sistem immun immature

2.7. PENEGAKAN DIAGNOSIS


Penegakan diagnosis dilakukan dengan menggunakan sistem CDC ( centers
for disease control dan prevention classification system) dan WHO (World Health
Organization). Dikatakan AIDS jika telah terinfeksi virus HIV dengan jumlah CD4
< 200 sel/ul atau persentase CD4 < 14% yang dihubungkan dengan tanda dan gejala
dari adanya infeksi kuman HIV. Sistem CDC digunakan untuk kepentingan klinik
dan penelitian epidemiologi. Berbeda dengan sistem WHO, klasifikasi dari sistem
WHO digunakan berdasarkan manifestasi klinik yang ditemukan.14
2.7.1. Klasifikasi Diagnosis Infeksi HIV Menurut Sistem CDC
Kategori CDC HIV/AIDS diambil berdasarkan adanya penurunan sel CD4
dan kondisi yang berhubungan dengan diagnosis HIV. Sebagai contoh, jika pasien
ditemukan dengan kondisi yang termasuk kriteria kategori B tetapi tanpa gejala,
pasien tersebut dapat dimasukkan ke dalam kategori B. Sebagai tambahan,
pengkategorian berdasarkan kondisi spesifik, sesuai indikasi di bawah. Pasien yang
termasuk kategori A3,B3 dan C1-C3 dianggap terdiagnosis HIV.14
Tabel 2. Sistem Klasifikasi CDC pada Infeksi HIV pada Anak & Remaja.14
Jumlah Sel CD4 Kategori klinik

A B* C#
Tanpa gejala, HIV Bergejala, tidak AIDS-Sesuai
Fase akut atau PGL Termasuk dengan
Kategori A atau Indikasi
C
(1) ≥500 cells/µL A1 B1 C1
(2) 200-499 A2 B2 C2
cells/µL
(3) <200 cells/µL A3 B3 C3

1. Kategori B Kondisi bergejala


Kategori B dengan kondisi bergejala merupakan kondisi yang terjadi saat infeksi
HIV pada remaja dan dewasa yang ditemukan pada kriteria, yaitu : mereka yang
terkait dengan infeksi HIV atau terindikasi memiliki kelainan pada imunitas sel
mediated dan mereka yang termasuk memilliki gejala klinik atau pertimbangan
terapi bagi mereka yang telah mengalami komplikasi akibat infeksi HIV.14 Contoh
yang termasuk kriteria adalah dibawah ini :
1. Angiomatosis basiler
2. Candidiasis orofaring (thrush)
3. Candidiasis vulvovaginalis, persisten atau resisten
4. Pelvic inflammatory disease (PID)
5. Cervical dysplasia (sedang atau berat) atau (cervical carcinoma in situ)
6. Hairy leukoplakia oral
7. Herpes zoster, melibatkan dua atau lebih kekambuhan atau setidaknya satu
dermatom
8. Purpura Idiopathic thrombocytopenia
9. Constitutional symptoms, seperti demam (>38.5ºC) atau diare >1 bulan
10. Neuropati perifer
2. Kategory C (AIDS Indikator bergejala)
1. Bakterial pneumonia, bersifat rekuren (dua atau lebih episode dalam 12
bulan)
2. Kandidiasis pada bronkus, trakhea, atau paru-paru
3. Kandidiasis esofagus
4. Cervical carcinoma invasive, dikonfirmasi dengan biopsi
5. Coccidioidomycosis, yang telah menyebar atau terdapat diluar paru
6. Cryptococcosis ekstrapulmoner
7. Cryptosporidiosis kronik intestinal (durasi >1 bulan)
8. Penyakit Cytomegalovirus
9. Ensefalopati, yang terkait HIV
10. Herpes simpleks: Ulkus kronik (durasi >1 bulan), atau bronkhitis,
pneumonitis, atau esophagitis
11. Histoplasmosis, yang telah menyebar atau terdapat diluar paru
12. Isosporiasis kronik intestinal (durasi >1 bulan)
13. Sarkoma Kaposi
14. Limfoma Burkitt, immunoblastik, atau primary central nervous system
15. Mycobacterium avium complex (MAC) atau Mycobacterium kansasii,
disseminated atau ekstrapulmoner
16. Mycobacterium tuberculosis, pulmonary or extrapulmonary
17. Pneumocystis jiroveci (formerly carinii) pneumonia (PCP)
18. Progressive multifokal leukoencephalopathy (PML)
19. Salmonella septicemia, rekuren (non tifoid)
20. Toxoplasmosis di otak
21. Wasting syndrome karena HIV (hilangnya berat badan >10 kg ) disertai
dengan diare kronik

2.7.2. Klasifikasi Diagnosis Infeksi HIV Menurut Sistem WHO


Penentuan stadium berdasarkan penemuan klinis yang didapatkan dari
diagnosis, evaluasi dan pengelolaan HIV/AIDS yang tidak disertai hasil CD4.
Sistem stadium ini banyak digunakan dibanyak negara untuk menentukan
kelayakan penggunaan ART (anti retrovirus). Stadium klinis dikategorikan dari
stadium 1 sampai 4. Tahap ini ditentukan oleh kondisi klinis dan gejala tertentu dan
tidak bergantung oleh jumlah CD4. Sistem stadium digunakan di berbagai negara
untuk pertimbangan pemberian terapi antiretrovirus. Stadium klinis dikategorikan
dari stadium 1 sampai stadium 4, yang dimulai saat terjadi infeksi HIV primer.
Dibawah ini adalah kondisi klinis atau gejala dan tanda yang didapatkan pada
pasien yang terinfeksi HIV. Pada sistem stadium menurut WHO, remaja dan orang
dewasa di definisikan sebagai individu yang berusia lebih dari atau sama dengan
usia 15 tahun.15
Tabel 3. STADIUM KLINIS HIV/AIDS UNTUK REMAJA DAN DEWASA
BERDASARKAN WHO15
STADIUM KLINIS I

 Asimptomatik
 Limfadenopati Generalisata Persisten
STADIUM KLINIS II

 Penurunan berat badan bersifat sedang yang tak diketahui


penyebabnya (<10% dari perkiraan berat badan atau berat badan
sebelumnya)
 Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis
media, faringitis)
 Herpes zoster
 Keilitis angularis
 Ulkus mulut yang berulang
 Papular pruritic eruption
 Infeksi jamur pada kuku
 Dermatitis seboroik
STADIUM KLINIS III
 Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui
penyebabnya (lebih dari 10% dari perkiraan berat badan atau berat
badan sebelumnya)
 Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1
bulan
 Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya (bersifat
intermitten atau konstan lebih dari 1 bulan)
 Kandidiasis pada mulut yang menetap
 Oral hairy leukoplakia
 Tuberkulosis paru
 Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema,
meningitis, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, meningitis,
bakteremia)
 Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis
 Anemia yang tak diketahui penyebabnya (<8g/dl), netropenia (<0.5
x 109/l) dan/atau trombositopenia kronis (<50 x 10 9/l)
STADIUM KLINIS IV
 Sindrom wasting HIV
 Pneumonia Pneumocystis jiroveci
 Pneumonia bakteri berat yang berulang
 Infeksi herpes simplex kronis (orolabial,genital, atau anorektal selama
lebih dari 1 bulan atau viseral di bagian manapun)
 Kandidiasis esofageal (atau kandidiasis trakea, bronkus atau paru)
 Tuberkulosis ekstra paru
 Sarkoma Kaposi
 Penyakit Cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain )
 Toksoplasmosis di sistem saraf pusat
 Ensefalopati HIV
 Kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis
 Infeksi mycobacteria non tuberkulosis yang menyebar
 Leukoensepfalopati multifokal progresif
 Cyrptosporidiosis kronis
 Isosporiasis kronis
 Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
 Limfoma (serebral atau Sel B non-Hodgkin)
 Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatik
 Septikemi yang berulang (termasuk Salmonella non-tifoid)
 Karsinoma serviks invasif
 Leishmaniasis diseminata atipikal

2.7.3. Diagnosis
Pemeriksaan standar yang dapat digunakan untuk mendiagnosis HIV seperti
enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA) dan analisa Western Blot.15,16
Imunoglobulin G (IgG) tidak dapat dipakai untuk mendiagnosis HIV pada bayi di
bawah usia 18 bulan. Hal ini disebabkan karena masih ditemukannya IgG anti HIV
ibu yang melewati plasenta di darah bayi, bahkan kadang hingga usia 24 bulan.
Sedangkan IgA dan IgM anti HIV tidak dapat melalui plasenta sehingga dapat
dijadikan konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada bayi. Namun sensitifitas kedua
pemeriksaan tersebut masih sangat rendah.16
Pemeriksaan yang bisa dilakukan pada usia di bawah usia 18 bulan adalah
pemeriksaan kultur HIV, tehnik PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk
mendeteksi DNA atau RNA HIV dan deteksi antigen p24. Infeksi HIV pada bayi di
bawah 18 bulan dapat ditegakkan bila dua sampel dari dua kali pemeriksaaan yang
berbeda dengan kultur, DNA HIV atau RNA HIV menunjukkan hasil positif.
Infeksi HIV bisa disingkirkan bila 2 macam sampel tes yang berbeda menunjukkan
hasil negatif.15,16
Pemeriksaan dengan PCR atau kultur virus dapat dilakukan sejak lahir dan
usia 1 atau 2 bulan. Jika dengan PCR kultur virus positif, maka pemeriksaan harus
diulang segera untuk konfirmasi sebelum diagnosis HIV dibuat. Bila hasil PCR atau
kultur virus dilakukan saat lahir dan usia 1-2 bulan tidak menunjukkan hasil positif
dan bayi tidak menunjukkan gejala maka pemeriksaan diulang pada usia 4 bulan.16

2.8. Penatalaksanaan
2.8.1. Konseling dan Tes Antibodi HIV terhadap Ibu
Petugas yang melakukan perawatan antenatal di Puskesmas maupun di
tempat perawatan antenatal lain sebaiknya mulai mengadakan pengamatan tentang
kemungkinan adanya ibu hamil yang berisiko untuk menularkan penyakit HIV
kepada bayinya. Anamnesis yang dapat dilakukan antara lain dengan menanyakan
apakah ibu pemakai obat terlarang, perokok, mengadakan hubungan seks bebas,
dan lain-lainnya. Bila ditemukan kasus tersebut di atas, harus dilakukan tindakan
lebih lanjut. Risiko penularan HIV secara vertikal dapat berkurang sampai 1-2%
dengan melakukan tata laksana yang baik pada ibu dan anak. Semua usaha yang
akan dilakukan sangat tergantung pada temuan pertama dari ibu-ibu yang berisiko.9
Oleh karena itu, semua ibu usia reproduksi yang akan hamil sebaiknya
diberi konseling HIV untuk mengetahui risiko, dan kalau bisa, sebaiknya semua ibu
hamil disarankan untuk melakukan tes HIV-1 sebagai bagian dari perawatan
antenatal, tanpa memperhatikan faktor risiko dan prevalensi HIV-1 di masyarakat.
Akan tetapi, ibu hamil sering menolak untuk dilakukan tes HIV, karena belum ada
peraturan yang memaksa ibu hamil untuk di tes HIV. Cukup banyak ibu hamil
sudah terinfeksi HIV-1 pada saat masa pancaroba dan dewasa muda yang justru
pada masa ini mereka tidak terjangkau oleh sistem pelayanan kesehatan. Padahal
pada masa-masa ini banyak terjadi penularan melalui hubungan seks bebas, dan
juga banyak karena penggunaan obat terlarang. Sebaiknya mereka harus diberi
konseling dan disarankan untuk dilakukan tes infeksi HIV-1.9
Kemudian, jika ditemukan ada ibu hamil yang terinfeksi HIV dan sebagai
pengguna obat terlarang, maka harus dimasukkan ke dalam program pengobatan
atau program detoksifikasi. Ibu yang sudah diketahui terinfeksi HIV sebelum hamil,
perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui jumlah virus di dalam plasma,
jumlah sel T CD4+, dan genotip virus. Juga perlu diketahui, apakah ibu tersebut
sudah mendapat antiretrovirus (ARV) atau belum. Data tersebut kemudian dapat
digunakan sebagai bahan informasi kepada ibu tentang risiko penularan terhadap
pasangan seks, bayi, serta cara pencegahannya. Selanjutnya, ibu harus diberi
penjelasan tentang faktor risiko yang dapat mempertinggi penularan infeksi HIV-1
dari ibu ke bayi.9,15
2.8.2. Pencatatan dan Pemantauan Ibu Hamil
Banyak ibu terinfeksi HIV hamil tanpa rencana. Ibu hamil sangat jarang
melakukan perawatan prenatal. Di samping itu, ibu-ibu ini sering terlambat untuk
melakukan perawatan prenatal. Kelompok ibu-ibu ini juga sangat jarang melakukan
konseling dan tes HIV pada waktu prenatal, sehingga mereka tidak dapat dicatat
dan dipantau dengan baik. Catatan medis yang lengkap sangat perlu untuk ibu hamil
terinfeksi HIV termasuk catatan tentang kebiasaan yang meningkatkan risiko dan
keadaan sosial yang lain, pemeriksaan fisik yang lengkap, serta pemeriksaan
laboratorium untuk mengetahui status virologi dan imunologi. Pada saat penderita
datang pertama kali harus dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan ini
akan digunakan sebagai data dasar untuk bahan banding dalam melihat
perkembangan penyakit selanjutnya. Pemeriksaan tersebut adalah darah lengkap,
urinalisis, tes fungsi ginjal dan hati, amilase, lipase, gula darah puasa, VDRL,
gambaran serologis hepatitis B dan C, subset sel T , dan jumlah salinan RNA HIV
.9
Selanjutnya, ibu harus selalu dipantau. Cara pemantauan ibu hamil
terinfeksi HIV sama dengan pemantauan ibu terinfeksi HIV tidak hamil.
Pemeriksaan jumlah sel T CD4+ dan kadar RNA HIV -1 harus dilakukan setiap
trimester (yaitu,setiap 3-4 bulan) yang berguna untuk menentukan pemberian ARV
dalam pengobatan penyakit HIV pada ibu. Bila fasilitas pemeriksaan sel T CD4+
dan kadar HIV-1 tidak ada maka dapat ditentukan berdasarkan kriteria gejala klinis
yang muncul.9,15
2.8.3. Pengobatan dan Profilaksis Antiretrovirus (ARV) Pada Ibu yang
Terinfeksi HIV
Untuk mencegah penularan vertikal dari ibu ke bayi maka ibu hamil terinfeksi
HIV harus mendapat pengobatan atau profilaksis antiretrovirus (ARV). Tujuan
pemberian ARV pada ibu hamil, di samping untuk mengobati ibu, juga untuk
mengurangi risiko penularan perinatal kepada janin atau neonatus. Ternyata ibu
dengan jumlah virus sedikit di dalam plasma (<1000 salinan RNA/ml), akan
menularkan HIV ke bayi hanya 22%, sedangkan ibu dengan jumlah muatan virus
banyak menularkan infeksi HIV pada bayi sebanyak 60%. Jumlah virus dalam
plasma ibu masih merupakan faktor prediktor bebas yang paling kuat terjadinya
penularan perinatal. Karena itu, semua wanita hamil yang terinfeksi HIV harus
diberi pengobatan antiretrovirus (ARV) untuk mengurangi jumlah muatan virus.9,15
Pemilihan antiretrovirus untuk ibu hamil terinfeksi HIV sama dengan ibu
yang tidak hamil. Yang harus diketahui dari ibu hamil terinfeksi HIV adalah status
penyakit HIV (beratnya penyakit AIDS ditentukan berdasarkan perhitungan sel T
CD4+, perkembangan infeksi ditentukan berdasarkan jumlah muatan virus, antigen
p24 atau RNA/DNA HIV di dalam plasma), riwayat pengobatan antiretrovirus saat
ini dan sebelumnya, usia kehamilan, dan perawatan penunjang yang diperlukan
seperti perawatan psikiater, nutrisi, aktivitas seksual harus memakai kondom, dan
lain-lain. ARV cukup aman diberikan kepada ibu hamil. Obat ini tidak bersifat
teratogenik pada manusia, dan tidak bersifat lebih toksik pada ibu hamil
dibandingkan dengan ibu tidak hamil. Walaupun demikian, pemantauan jangka
pendek dan jangka panjang tentang toksisitas dari paparan sampai penggunaan
kombinasi ARV untuk janin di dalam kandungan dan pada bayi adalah sangat
penting, karena keterbatasan informasi, dan data yang ada sering tidak sesuai.15,17
Indikasi pemberian antiretrovirus pada wanita hamil sama dengan pada wanita
tidak hamil. Untuk wanita hamil yang sudah mendapat pengobatan antiretrovirus,
keputusan untuk mengganti obat adalah sama dengan wanita tidak hamil. Rejimen
kemoprofilaksis ZDV diberikan tunggal atau bersama dengan antiretrovirus lain,
mulai diberikan pada usia kehamilan 14 minggu dan jangan ditunda. Karena dengan
menunda maka efektivitasnya akan menurun. Hal ini harus didiskusikan dan
ditawarkan kepada seluruh ibu hamil yang terinfeksi agar risiko penularan HIV
perinatal berkurang.15
Walaupun keputusan pemilihan dan penggunaan ARV berbeda-beda,
umumnya keputusan dibuat berdasarkan pertimbangan : 1) risiko penyakit
berkembang pada ibu bila tanpa pengobatan, 2) manfaat untuk menurunkan jumlah
virus, agar risiko penularan perinatal berkurang, 3) kemungkinan terjadi toksisitas
obat, 4) kemungkinan ada infeksi oleh virus yang sudah resisten obat, dan 5) efek
paparan obat jangka panjang pada bayi dalam kandungan.17
2.8.3.1. Golongan Obat ARV
Golongan obat anti-HIV pertama adalah nucleoside reverse transcriptase
inhibitor atau NRTI, juga disebut analog nukleosida. Obat golongan ini
menghambat perubahan genetik HIV dari bentuk RNA menjadi bentuk DNA.15,17
Obat dalam golongan ini yang disetujui di AS dan masih dibuat adalah :
1. Lamivudine (3TC)
2. Abacavir (ABC)
3. Zidovudine (AZT/ZDV)
4. Stavudine (D4T)
5. Didanosine (Ddl)
6. Emtricitabine (FTC)
7. Tenofovir (TDF)
Golongan obat kedua menghambat langkah yang sama dalam siklus hidup
HIV, tetapi dengan cara lain. Obat ini disebut nonnucleoside reverse transcriptase
inhibitor atau NNRTI17, diantaranya adalah :
1. Delaviridine (DLV)
2. Evavirens (EFV)
3. Etravirine (ETV)
4. Nevirapine (NVP)
5. Rilpivirine (RPV)
Golongan ketiga ARV adalah protease inhibitor (PI). Obat golongan ini
menghambat pematangan virus. Obat golongan PI yang disetujui dan masih dibuat
di AS:
1. Atazanavir (ATV)
2. Darunavir (DRV)
3. Fosamprenavir (FPV)
4. Indinavir (IDV)
5. opinavir (LPV)
6. Nelfinavir (NFV)
7. Ritonavir (RTV)
8. Saquinavir (SQV)
9. Tipranavir (TPV)
Golongan ARV keempat adalah fusion inhibitor.17 Obat golongan ini
mencegah pengikatan HIV pada sel. Dua obat golongan ini sudah disetujui di AS:
1. Enfuvirtide (T-20)
2. Maraviroc (MVC)
Golongan ARV terbaru adalah integrase inhibitor (INI).15,17 Obat golongan
ini mencegah pemaduan kode genetik HIV dengan kode genetik pada sel. Contoh
dua obat ini adalah :
1. Raltegravir (RGV)
2. Elvitegravir (EGV)
2.8.3.2. Pemberian Terapi Antiretrovirus (ARV) Berdasarkan WHO 2013
2.8.3.2.1 Kapan memulai pemberian ARV
Pemberian pengobatan secara dini dikaitkan dengan manfaat pencegahan klinis
HIV, keadaan ini dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan mengurangi
kejadian infeksi HIV pada tingkat masyarakat. Pada pedoman WHO 2013
merekomendasikan bahwa program HIV nasional yaitu memberikan ART bagi
semua orang dengan diagnosis HIV konfirmasi dengan jumlah CD4 ≤ 500 sel/mm3,
Pedoman ini memberikan prioritas untuk memulai ART bagi mereka dengan
penyakit HIV berat atau jumlah ≤ CD4 350 cells/mm3. Hal ini juga dianjurkan
untuk memulai ART pada orang dengan penyakit TB aktif dan koinfeksi HBV
dengan penyakit hati yang berat, semua wanita hamil dan menyusui dengan HIV,
semua anak dengan usia lima tahun hidup dengan HIV dan semua orang dengan
HIV dalam hubungan serodiskordan, tanpa memandang jumlah CD4.9,15
2.8.3.2.2. Pemberian ARV Pada Ibu Hamil & Menyusui
Rekomendasi Terbaru
1. Semua wanita hamil dan menyusui dengan HIV harus memulai triple ARV
yang harus dipertahankan selama terdapat risiko penularan dari ibu ke anak.
Wanita yang memenuhi kriteria diatas dan mendapatkan pengobatan ARV
harus dilanjutkan seumur hidup.17
2. Untuk alasan program dan operasional, semua wanita hamil dan menyusui
dengan HIV harus memulai ARV sebagai pengobatan seumur hidup.17
3. Di beberapa negara, pada wanita yang tidak memenuhi syarat untuk pemberian
ARV disarankan untuk menghentikan rejimen ARV selama risiko penularan
dari ibu ke anak risiko telah berhenti.17
Tabel 4. Rekomendasi Awal Pemberian ART Pada Remaja, Orang Dewasa,
Ibu Hamil dan Menyusui dan Anak-anak.17
Tabel 5. Pilihan Pemberian Terapi ARV17

2.8.3.2.3. Latar Belakang


Obat ARV yang digunakan untuk wanita hamil dan menyusui dengan HIV
bertujuan untuk menjaga kesehatan ibu dan mencegah anak terinfeksi. Manfaat
lainnya untuk mencegah penularan HIV secara seksual. Pedoman WHO PMTCT
2010 merekomendasikan penggunaan ARV seumur hidup untuk perempuan yang
memenuhi syarat dalam pengobatan (berdasarkan kriteria kelayakan 2010, yaitu
jumlah CD4 ≤ 350 sel/mm3 atau berdasarkan WHO stadium klinis penyakit 3 atau
4 ) dan pemberian ARV profilaksis untuk PMTCT bagi wanita dengan HIV yang
tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan pengobatan. Bagi mereka yang tidak
memenuhi syarat untuk dua rejimen profilaksis yang direkomendasikan adalah
“Opsi A”, yaitu AZT untuk ibu selama kehamilan, dan dosis tunggal NVP ditambah
AZT dan 3TC untuk ibu saat melahirkan dan dilanjutkan selama seminggu
postpartum, dan "Opsi B" yaitu (triple obat ARV) bagi ibu selama kehamilan dan
selama menyusui. Profilaksis direkomendasikan untuk dimulai sedini mungkin,
yaitu pada usia kehamilan 14 minggu, dan pilihan penggunaan profilaksis
dilakukan selama empat sampai enam minggu peripartum, yaitu diberikan obat
NVP atau AZT untuk bayi, terlepas dari apakah ibu sedang menyusui.17
Pada tahun 2011, di Malawi dilaksanakan program pendekatan terbaru untuk
terapi ARV, yaitu pemberian terapi ARV seumur hidup bagi semua ibu hamil dan
menyusui dengan HIV tanpa melihat jumlah CD4 atau status klinis, program
tersebut dimasukkan dalam "Opsi B+". Pedoman 2013 merekomendasikan terapi
ARV (triple ARV) untuk semua ibu hamil dan menyusui dengan HIV selama
periode risiko penularan dari ibu ke bayi dan terapi ARV digunakan seumur hidup.
Opsi A tidak lagi dianjurkan.17
2.8.3.3.Lini Pertama Pemberian ART Untuk Ibu Hamil dan Menyusui dan
Obat ARV Pada Bayi
2.8.3.3.1.Rekomendasi Terbaru
1. Dosis tetap kombinasi dari TDF + 3TC (atau FTC) + EFV yang
direkomendasikan sebagai lini pertama ART pada wanita hamil dan menyusui
adalah diberikan sekali sehari, termasuk wanita hamil pada trimester pertama
kehamilan dan wanita usia reproduksi. Rekomendasi ini berlaku untuk
pengobatan seumur hidup dan pemberian ART untuk PMTCT dan kemudian
dihentikan.17
2. Bayi dari ibu yang mendapatkan ART dan sedang menyusui harus mendapatkan
terapi profilaksis dengan NVP harian selama enam minggu. Jika bayi menerima
makanan pengganti, mereka harus diberikan terapi profilaksis harian selama
empat sampai enam minggu dengan NVP harian (atau AZT dua kali sehari).
Profilaksis pada bayi harus dimulai pada saat lahir atau ketika didapatkan HIV
saat postpartum.17
Tabel 6. Pemberian Lini Pertama ART untuk Remaja, Dewasa, Ibu Hamil dan
Menyusui dan Anak-anak.17

Tabel 7. Dosis ARV untuk ibu hamil


2.8.3.3.2. Latar Belakang
Berdasarkan pedoman WHO tahun 2010 pada PMTCT direkomendasikan
bahwa terdapat empat pilihan rejimen yang berbeda untuk wanita hamil dan
menyusui dengan HIV, yaitu : AZT + 3TC atau TDF + 3TC (atau FTC) ditambah
NVP atau EFV. Pemberian obat NVP dikhawatirkan karena dapat memberikan efek
toksik pada wanita hamil, maka rejimen yang dianjurkan adalah triple ARV pada
PMTCT yaitu : AZT + 3TC atau TDF + 3TC (atau FTC) + EFV sebagai rejimen
NNRTI. Rejimen alternatif adalah AZT + 3TC ditambah LPV/r atau ABC.18
Berdasarkan pedoman WHO 2010 direkomendasikan bahwa pemberian
profilaksis yaitu NVP (atau AZT) selama empat sampai enam minggu sebagai post
exposure profilaksis diberikan kepada semua bayi baru lahir dari ibu yang
menerima rejimen triple ARV bertujuan untuk keperluan pengobatan dan
pencegahan. Pemberian profilaksis NVP harian pada bayi baru lahir dan selama
menyusui direkomendasikan jika ibu tidak menerima pengobatan triple ARV.17,18
2.8.3.3.3. Alasan & Bukti Pendukung
Rejimen lini pertama yang ideal untuk wanita hamil dan menyusui dengan HIV
yaitu tersedia sebagai kombinasi dosis tetap, aman bagi wanita hamil dan menyusui
dan pada bayi mereka. Rejimen TDF + 3TC (atau FTC) + EFV tersedia sebagai
kombinasi dosis tetap sekali sehari dan merupakan rekomendasi rejimen lini
pertama untuk orang dewasa karena mudah terjangkau. Keselamatan pada bayi
merupakan isu penting untuk wanita hamil dan menyusui dan pada bayi mereka
serta wanita yang akan hamil. Meskipun data menyebutkan bahwa pemberian EFV
dan TDF digunakan terbatas pada ibu hamil, lebih banyak data telah tersedia sejak
tahun 2010 dan memberikan peningkatan jaminan untuk merekomendasikan TDF
+ 3TC (atau FTC) + EFV sebagai lini pertama rejimen ARV untuk wanita hamil
dan menyusui.9,17
Tabel 8. Dosis Rekomendasi Pemberian Profilaksis Pada Bayi Baru lahir :
NVP.17
Infant age Daily dosing
Birtha to 6 weeksb
1. Birthweight 2000-2499 g 10 mg once daily
2. Birthweight ≥ 2500 g 15 mg once daily
> 6 weeks to 6 monthsc 20 mg once daily
> 6 months to 9 months 30 mg once daily
> 9 months until breastfeeding 40 mg once daily
ends
a infants weighing <2000 g should receive mg/kg dosing; the suggested starting dose is 2 mg/kg once daily.

b recommended for 6 weeks, but 4 weeks may be considered in setting with replacement feeding.

c dosing beyond 6 weeks of age in special situations in which prolonged dosing of to 12 weeks should be considered

(such as the mother had limited ART and not being likely to be virally suppressed;the infants is identified as HIV

exposed after birth and is breastfeeding. This is based on the dosing required to sustain exposure among infants

of>100ng/ml with the least dose change

Tabel 9. Dosis Rekomendasi Profilaksis Pada Bayi Baru Lahir.17

Tidak ada data baru menginformasikan perubahan dalam rekomendasi pada


profilaksis pada bayi. Untuk bayi menyusui, dianjurkan pemberian NVP selama
enam minggu, karena bayi menerima makanan pengganti empat sampai enam
minggu, pemberian NVP atau AZT tetap direkomendasikan. Jika terjadi efek
toksisitas dari NVP pada bayi maka harus dilakukan penghentian obat, obat tersebut
dapat digantikan dengan 3TC. Beberapa studi telah aman digunakan profilaksis
bayi selama menyusui dengan 3TC.17,18
2.8.3.4. Aturan pengobatan Alternatif: toksisitas, intoleransi atau kurangnya
ketersediaan rejimen yang direkomendasikan.
AZT direkomendasikan sebagai NRTI alternatif bagi wanita yang tidak
hamil dan yang tidak bisa menerima TDF. Mengingat bahwa AZT bersifat aman
pada wanita hamil dan menyusui. Untuk wanita yang tidak hamil dan yang tidak
bisa menggunakan EFV, yang direkomendasikan adalah NNRTI alternatif, yaitu
NVP. Namun, karena ART (triple ARV) sekarang dianjurkan untuk wanita hamil
dan menyusui tidak memandang jumlah CD4, kekhawatiran pemberian NVP tetap
tinggi pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang tinggi. 17
Meskipun pedoman 2010 menyatakan bahwa manfaat dari NVP sangat
berisiko untuk wanita dengan jumlah CD4 250-350 sel/mm3. Data keamanan pada
perempuan dengan jumlah CD4 ≥ 350 sel/mm3 sangat terbatas, dan telah ditemukan
efek toksik pada hepar yang mengancam nyawa ketika NVP digunakan setelah
terpapar infeksi HIV dengan jumlah CD4 yang tinggi. Namun, tinjauan sistematis
baru-baru ini menyebutkan bahwa risiko toksisitas nevirapin pada wanita hamil
menunjukkan frekuensi efek samping yang tidak lebih tinggi dari populasi dewasa
umumnya.18,19
Tabel 10. Perbedaan Pemberian ARV Profilaksis Pada Ibu dan Bayi
Berdasarkan Skenario Klinik.17

Tabel 11. Algoritma Rekomendasi untuk Wanita Hamil dan Menyusui


Menurut WHO 2013. 17
Tabel 12. Algoritma Rekomendasi untuk Wanita Hamil dan Menyusui
Menurut WHO 2013. 17

Tabel 13. Algoritma Rekomendasi 2013 Penatalaksanaan HIV pada Remaja


dan Dewasa.17
2.8. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi
Program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, dilaksanakan
secara komprehensif dengan menggunakan empat prong, yaitu:
 Prong 1: mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif.
 Prong 2: mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif.
 Prong 3: mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi
yang dikandungnya.
 Prong 4: memberikan dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kepada ibu
HIV positif beserta bayi dan keluarganya.
Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, diimplementasikan Prong
1 dan Prong 2. Pada daerah dengan prevalensi HIV yang terkonsentrasi,
diimplementasikan semua prong. Ke-empat prong secara nasional dikoordinir dan
dijalankan oleh pemerintah, serta dapat dilaksanakan institusi kesehatan swasta dan
lembaga swadaya masyarakat.18
Pedoman baru dari WHO mengenai pencegahan penularan dari ibu ke bayi
(preventing mother-to-child transmission/PMTCT) berpotensi meningkatkan
ketahanan hidup anak dan kesehatan ibu, mengurangi risiko (mother-to-child
transmission/MTCT) hingga 5% atau lebih rendah serta secara jelas memberantas
infeksi HIV pediatrik.18,19
Pedoman itu memberikan perubahan yang bermakna pada beberapa tindakan di
berbagai bidang. Anjuran kunci adalah:
1. ART untuk semua ibu hamil yang HIV-positif dengan jumlah CD4+ di
bawah 350 atau penyakit WHO stadium 3 atau penyakit HIV stadium 4,
tidak menunda mulai pengobatan dengan tulang punggung AZT dan 3TC
atau tenofovir dan dengan 3TC atau FTC.
2. Penyediaan antiretroviral profilaksis yang lebih lama untuk ibu hamil yang
HIV-positif yang membutuhkan ART untuk kesehatan ibu.
3. Apabila ibu menerima ART untuk kesehatan ibu, bayi harus menerima
profilaksis nevirapine selama enam minggu setelah lahir apabila ibunya
menyusui, dan profilaksis dengan nevirapine atau AZT selama enam
minggu apabila ibu tidak menyusui.
4. Untuk pertama kalinya ada cukup bukti bagi WHO untuk mendukung
pemberian ART kepada ibu atau bayi selama masa menyusui, dengan
anjuran bahwa menyusui dan profilaksis harus dilanjutkan hingga bayi
berusia 12 bulan apabila status bayi adalah HIV-negatif atau tidak diketahui.
5. Apabila ibu dan bayi adalah HIV-positif, menyusui harus didorong untuk
paling sedikit dua tahun hidup, sesuai dengan anjuran bagi populasi umum.
6. Untuk mencegah penularan pada bayi, yang paling penting adalah
mencegah penularan pada ibunya dulu. Harus ditekankan bahwa bayi hanya
dapat tertular oleh ibunya. Jadi bila ibunya HIV-negatif, maka bayi juga
tidak terinfeksi HIV. Status HIV ayah tidak mempengaruhi status HIV
bayi.18

Hal ini dapat dijelaskan karena sperma dari penderita HIV tidak
mengandung virus, yang mengandung virus adalah air mani. Oleh sebab itu, telur
ibu tidak dapat ditularkan sperma. Jelas, bila perempuan tidak terinfeksi, dan
melakukan hubungan seks dengan laki-laki tanpa kondom dalam upaya membuat
anak, ada risiko si perempuan tertular. Dan bila perempuan terinfeksi pada waktu
tersebut, dia sendiri dapat menularkan virus pada bayi. Tetapi laki-laki tidak dapat
langsung menularkan janin atau bayi. Hal ini menekankan pentingnya kita
menghindari infeksi HIV pada perempuan.18,19
Tetapi untuk ibu yang sudah terinfeksi, kehamilan yang tidak diinginkan
harus dicegah. Bila kehamilan terjadi, harus ada usaha mengurangi viral load ibu
di bawah 1.000 agar bayi tidak tertular dalam kandungan, mengurangi risiko kontak
cairan ibunya dengan bayi waktu lahir agar penularan tidak terjadi waktu itu, dan
hindari menyusui untuk mencegah penularan melalui ASI. Dengan semua upaya
ini, kemungkinan si bayi terinfeksi dapat dikurangi jauh di bawah 8%.19
Jelas yang paling baik adalah mencegah penularan pada perempuan. Hal ini
membutuhkan peningkatan pada program pencegahan, termasuk penyuluhan,
pemberdayaan perempuan, penyediaan informasi dan kondom, harm reduction, dan
hindari transfusi darah yang tidak benar-benar dibutuhkan.18,19
BAB III
PENYAJIAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Ny. L
Umur : 27 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Dusun Sekingat 007/003, Belimbing Bengkayang
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SD
Status : Menikah
No CM : 500XXX

B. ANAMNESIS
B.1 KELUHAN UTAMA
Pasien datang dengan keluhan demam sejak kurang lebih 1 hari
SMRS.

B.2 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien datang keluhan demam sejak ± 1 hari SMRS. Demam
dirasakan naik turun, tinggi terutama pada malam hari. Keluhan disertai
batuk tidak berdahak dan nyeri menelan. Keluhan pilek (-), mual (-),
muntah (-), sesak (-), nyeri perut (-), diare (-), batuk lama (-), dan nyeri
saat BAK (-) disangkal. Pasien hanya minum obat penurun panas dan
panas dirasakan turun. Pasien segera berobat ke RSUD Bengkayang dan
kemudian dirujuk ke RSUD Abdul Azis Singkawang.
Pasien sedang hamil anak ke-3. Pasien mengeluhkan mules (+),
namun tidak terlalu kuat disertai pengeluaran lendir (+). Tetapi keluhan
pengeluran air (-), pengeluran darah (-) disangkal. Gerakan janin dirasakan
aktif.
B.3 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien menyangkal memiliki penyakit Darah Tinggi (-), Diabetes
Melitus (-), dan Asma (-). Sejak melahirkan anak kedua, pasien dinyatakan
positif HIV. Kemudian, pasien mengaku pernah dilakukan skrining TB
dan Hepatitis B, namun hasilnya negatif.

B.4 RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Suami pasien memiliki riwayat HIV on ARV sejak 4 tahun yang lalu
(2015), tetapi riwayat TB (-) dan Hepatitis B (-) disangkal. Kedua anak
pasien sudah pernah melakukan VCT dan menunjukkan hasil negatif.
Namun, menurut pengakuan pasien, kedua anak pasien tidak diketahui
riwayat Hepatitis B, dan tidak pernah menderita TB.

B.5 RIWAYAT PENGOBATAN


Pasien hanya mengonsumsi obat panas untuk keluhan demam yang
dialami sekarang. Pasien rutin mengonsumsi ARV sejak 2017 dan suami
pasien sejak 2015. Pasien mengaku tidak pernah putus pengobatan. Sejak
minum ARV, pasien mengaku belum pernah dilakukan pemeriksaan untuk
menilai status penyakit HIV pasien.

B.6 RIWAYAT OBSTETRI


Kehamilan pasien merupakan kehamilan yang ke-3, dengan jarak
dengan anak ke-2 yaitu 2 tahun dan HPHT tanggal 12 Oktober 2018 (TP:
19 Juli 2019). Selama hamil, pasien mengaku tidak pernah mengeluhkan
sakit, misalnya mual (-) dan muntah (-) berlebihan, darah tinggi (-),
bengkak di daerah tungkai (-), merokok (-), konsumsi alcohol (-), dan
keputihan (-). Pasien mengaku tidak pernah mengalami keguguran (-) dan
tidak pernah diimunisasi selama kehamilan. Selama hamil, pasien rutin
memeriksakan kehamilannya ke bidan puskesmas dan pernah di USG
sebanyak 3x. USG terakhir dilakukan 2 minggu yang lalu, serta pasien
mengaku tidak ada masalah pada kehamilannya berdasarkan hasil
pemeriksaan USG. Berikut merupakan riwayat persalinan pasien.
Status Obstetri: G3P2A0 hamil 38-39 minggu dengan HIV (+) on ARV
Jenis Riwayat
Anak Ke- Usia BBL
Kelamin Persalinan
Anak Ke-1 Laki-laki 4 tahun 2,5 kg Spontan
dibantu oleh
bidan RS
Anak Ke-2 Laki-laki 2 tahun 2,5 kg Spontan
dibantu oleh
bidan RS

B.7 RIWAYAT GINEKOLOGI


Pasien pertama kali mengalami menstruasi pada usia 14 tahun.
Pasien mengaku menstruasi selalu teratur dan tidak pernah mengeluarkan
darah yang berlebihan. Pasien pertama kali aktif berhubungan seksual
ketika berusia 21 tahun setelah menikah dengan suami pasien. Selama ini
pasien tidak pernah mengonsumsi pil kontrasepsi ataupun menggunakan
kontrasepsi lainnya. Pasien juga tidak pernah mengeluhkan masalah yang
berkaitan dengan kandungan. Riwayat Pap Smear atau IFA tes disangkal.

B.8 RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


Pasien merupakan ibu rumah tangga. Keseharian pasien bekerja di
rumah mengurus keperluan rumah tangga. Suami pasien berkerja sebagai
Tani dengan penghasilan yang diakui pasien bersama suami yaitu cukup.
Jarak dari tempat tinggal ke fasilitas kesehatan terdekat membutuhkan
waktu tempuh 2 jam perjalanan dengan menggunakan sepeda motor.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : E4M6V5
3. Tanda Vital
 Tekanan darah : 100/60 mmHg
 Nadi : 120 kali/menit
 Frekuensi napas : 22 kali/menit
 Suhu : 37,30C

4. Berat badan dan Tinggi Badan


BB : 50 kg
TB : 151 cm

5. Kepala : Normocephali (+), jejas (-), hematom (-)


 Mata :
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+),
pupil isokor (+) diameter 3 mm
 THT :
Deviasi septum nasi (-), faring hiperemis (-), T1/T1

6. Leher
Massa (-), pembengkakan KGB (-)

7. Dada : Pengembangan dada kiri = kanan, retraksi (-)


 Jantung : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
 Paru : Ves (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)

8. Abdomen :
Cembung (+), striae gravidarum (+), NT epigastrium (-), sikatriks (-).

9. Ekstrimitas :
Akral hangat, CRT < 2”, pitting edema (+/+)

10. Status Obstetri


 Muka : Edema palpebra (-/-)
 Mammae : Hiperpigmentasi aerola dan papilla (+)
 Abdomen :
 Inspeksi : Cembung (+), striae gravidarum (+)
 Palpasi : Nyeri tekan (-) epigastrium
 Leopold 1 : Fundus uteri teraba massa padat dan lembut
TFU : 24 cm
 Leopold 2 : Teraba rata dan keras pada abdomen sisi kanan
BJA : 154 kali/menit
 Leopold 3 : Teraba bulat dan keras
 Leopold 4 : Belum masuk PAP
 His :-
 Pemeriksaan dalam : Tidak dilakukan

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hematologi Rutin
Pemeriksaan Hasil Rujukan
Sel Darah Merah 3,68 x 106 3,8-5,2 x 106 /uL
Hemoglobin 11,9 11,7-15,5 g/dL
Hematokrit 36,3% 35-47 %
Leukosit 10.570 3.600-11.000 /uL
Trombosit 228.000 150.000-400.000 /uL
Golongan Darah B -
HBsAg Nonreaktif Nonreaktif
Anti-HIV Reaktif Nonreaktif
2. USG

Hasil Interpretasi USG:


- Usia Janin: 36-37 minggu
- Berat janin: 2,4 kg
- Ketuban: Cukup

E. DIAGNOSIS KERJA
Pasien didiagnosis dengan G3P2A0 hamil 38-39 minggu dengan HIV
(+) on ARV dan observasi febris.

F. TATALAKSANA
Tatalaksana yang diberikan pada pasien Ny. L, 27 tahun, dengan
G3P2A0 hamil 38-39 minggu dengan riwayat HIV on ARV dan observasi
febris, adalah sebagi berikut:
 Observasi, KU, TTV, dan DJJ
 IVFD RL 20 tpm
 Inj. Dexametasone 6 mg / 12 jam IV selama 2 hari
 PO. Paracetamol 3 x 500 mg
 PO. Nivedipine 4 x 10 mg
 PO. Cefixime 2 x 200 mg
 ARV dilanjutkan

G. FOLLOW UP
Tanggal Temuan Klinis Managemen
07/07/19 S: Mules (-), Demam (-) bebas demam  Observasi, KU, TTV,
1 hari dan DJJ
O: KU: CM; TD: 110/60 mmHg; HR:
88 x/m; RR: 21 x/m; T: 36,8o C; DJJ:  IVFD RL 20 tpm
132 x/m  Inj. Dexametasone 6
A: G3P2A0 Hamil 38-39 minggu
mg / 12 jam IV selama
dengan HIV (+) on ARV dan
observasi febris 2 hari
 PO. Paracetamol 3 x
500 mg
 PO. Nivedipine 4 x 10
mg
 ARV dilanjutkan

08/07/19 S: Mules (-), Demam (-) bebas demam  Terapi dilanjutkan


2 hari  (+) USG
O: KU: CM; TD: 120/80 mmHg; HR:  (+) PO. Cefixime 2 x
80 x/m; RR: 20 x/m; T: 36,5o C; DJJ: 200 mg
136 x/m
A: G3P2A0 Hamil 38-39 minggu
dengan HIV (+) on ARV dan
observasi febris
09/07/19 S: Mules (-), Demam (-) bebas demam  Terapi ganti oral
3 hari  BLPL
O: KU: CM; TD: 110/70 mmHg; HR:  Saran kontrol ulang
76 x/m; RR: 18 x/m; T: 36,6o C; DJJ: di RS Serukam
142 x/m
A: G3P2A0 Hamil 38-39 minggu
dengan HIV (+) on ARV dan
observasi febris
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Penegakan Diagnosis


Pasien tersebut didiagnosis HIV berdasarkan beberapa temuan klinis
berikut ini:
1. Anamnesis
Diketahui bahwa pasien tersebut memiliki riwayat mengonsumsi
ARV sejak 2 tahun yang lalu. Pasien telah didiagnosis HIV seropositif sejak
melahirkan anak ke-2. Sejak itu, pasien memulai pengobatan ARV dan rutin
meminum obat. Pengobatan pasien dilakukan di RSUD Kabupaten dengan
pembiayaan BPJS. Adapun Obat ARV yang diterima pasien adalah:
Lamivudine, Efavirenz, dan Tenofovir. Pasien berobat ke rumah sakit
dengan keluhan demam sejak 2 hari yang lalu. Penyebab demam pada
pasien belum dapat ditentukan sebabnya dan akan dibahas pada topik
berikutnya.
2. Pemeriksaan fisik
Dari hasil pemeriksaan fisik dan pemantauan pasien selama dirawat
dirumah sakit, tidak ditemukan kelaian pada pemeriksaan fisik paru,
jantung, dan abdomen, serta tidak ditemukan adanya stomatitis orafaringeal
(-), pustulopapular eritematosus (-), dan pembesaran kelenjar getah bening
regional. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa secara klini pasien tidak
disertai infeksi oportunistik. Terdapat perbedaan antara usia kehamilan yang
ditentukan berdasarkan HPHT dan USG. Jika berdasarkan perhitungan
HPHT, maka usia kehamilan pasien adalah 38-39 minggu, namun hasil
USG menunjukkan usia kehamilan pasien adalah 36-37 minggu. Perlu
diperhatikan bahwa pada pemeriksaan Leopord I, diketahui tinggi TFU
yang hnya 24 cm, dimana menandakan usia kehamilan hanya ±6-7 bulan.
Hal ini dikarenakan HPHT menilai usia kehamilan, sedangkan USG menilai
usia janin, kemudian TFU berkaitan dengan status gizi ibu yang pada pasien
ini kesan gizi kurang. Terdapat pengaruh kenaikan berat badan ibu selama
kehamilan dengan berat badan janin, namun pada pasien ini tidak diketahui
berat badan sebelum hamil.
3. Pemeriksaan Penunjang
Dari hasil pemeriksaan penunjang, hanya ditemukan hasil reaktif
pada pemeriksaan serologi anti-HIV. Hasil pemeriksaan darah rutin
menggambarkan keadaan yang normal.

4.2 Demam pada Kehamilan


Demam pada pasien ini dapat disebabkan beberapa hal, berikut
beberapa penyebab demam pada kehamilan.

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.


Tidak ditemukan kelainan yang bermakna yang dapat mengarahkan etiologi
lain penyebab demam pada pasien. Sehingga demam pada pasien merupakan
gejala klinis dari HIV yang dideritanya. Proses demam pada ODHA biasanya
diakibatkan adanya infeksi oportunistik lain yang belum ditemukan pada kasus
ini.

Penelitian berbeda yang dilakukan oleh Vibha S. More pada tahun


2017, menunjukkan beberapa penyakit infeksi penyebab demam pada ibu
hamil yang paling sering adalah sebagai berikut.
4.3 HIV dalam Implementasinya pada Kehamilan
Kehamilan pasien merupakan kehamilan yang ke-3, dengan
sebelumnya pasien telah mengonsumsi ARV. ARV diterima pasien sebelum
kehamilan ke-3 terjadi. Hal yang harus diperhatikan dalam kehamilan pasien
adalah upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, sesuai dengan
rekomendasi program Prong ke-3.18 Penularan HIV dari ibu ke bayi, dapat
melalui 3 hal, yaitu sebagai berikut:
1. Transmisi melalui plasenta
2. Transmis pascapersalinan
3. Transmisi melalui ASI
Berikut merupakan beberapa faktor resiko yang memengaruhi transmisi
HIV dari ibu ke anak.
Plasenta memiliki fungsi sebagai barrier melalui sifatnya yang selektif
permeabel terhadap sirkulasi darah ibu dan dan janin. Apabila terjadi inflamasi
pada plasenta, sifat selektif permeabel akan terganggu dan fungsi proteksi
terganggu dan memungkinkan transmisi intrauterine. Faktor resiko terjadinya
inflamasi pada plasenta adalah kondisi plasenta plasenta previa yang tidak
ditemukan pada pasien ini.5,6
Konseling dan edukasi perlu diberikan terhadap pasien, terutama
mengenai rencana persalinan dan menajemen setelah persalinan. Sangat
dianjurkan persalinan melalui SC. Hal ini bertujuan untuk mencegah transmisi
HIV pascasalinan. Transimi selama persalinan melalui aspirasi cairan vaginal
dan darah ibu yang mengandung virus HIV selama persalinan oleh bayi. Faktor
resiko penularan meningkat jika terjadi kondisi ketuban pecah dini, laserasi
jalan lahir, dan persalinan lama.5,6
Bayi sebaiknya tidak diberikan ASI, mengingat virus dalam ditemukan
dalam ASI. Bayi pasien juga harus diberikan profilaksis sesuai dengan
rekomendasi WHO (2010), bahwa pemberian profilaksis yaitu NVP (atau
AZT) selama empat sampai enam minggu sebagai post exposure profilaksis
diberikan kepada semua bayi baru lahir dari ibu yang menerima rejimen triple
ARV bertujuan untuk keperluan pengobatan dan pencegahan.17,18

4.4 Pengaruh ARV pada Kehamilan


Pada umumnya, ARV aman digunakan pada kehamilan. Pasien
mendapatkan terapi ARV berupa Efavirenz, Lamivudine, dan Tenofovir.
Ketiga regimen ini atau terapi triple regimen yang diterima pasien sesuai
dengan rekomendasi dari WHO (TDF + 3TC (atau FTC) + EFV. Adapun obat
ARV yang harus diperhatikan pada kehamilan adalah Pemberian obat
Niverapine (NVP) dikhawatirkan dapat memberikan efek toksik pada wanita
hamil. Niverapine diberikan pada usia kehamilan ≥ 14 minggu, serta sebagai
profilaksi pada wanita hamil yang baru diketahui status HIV positif.17,18

4.5 Pengaruh Pemberian Dexametasone Ibu pada Janin


Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan
surfaktan paru janin, menurunkan risiko Respiratory Distress Syndrome
(RDS), mencegah perdarahan intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan
duktus arteriosus, yang akhirnya menurunkan kematian neonatus.
Kortikosteroid perlu diberikan bilamana usia kurang dari 35 minggu. Obat
yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian steroid ini
tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian siklus
tunggal kortikosteroid ialah:20,21
1. Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.
2. Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.
Kortikosteroid diberikan terutama pada kehamilan yang memiliki
resiko lahir prematur, terutama usia kehamilan 28-34 minggu. Diketahui bahwa
usia kehamilan pasien adalah 38-39 minggu dan pasien mendapatkan terapi
dexamethasone injeksi 2 x 6 mg selama 2 hari. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Hasanah, N. (2014), pemberian kortikosteroid efektif diberikan
pada usia kehamilan 28-34 minggu dan kurang efektif pada usia kehamilan <
28 minggu dan >34 minggu.22
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Perhatian khusus pada pasien ini ditekankan untuk mencegah transmisi
HIV dari ibu ke janin. Perencanaan persalinan dan asuhan pascapersalinan ibu
dan bayi perlu diperhatikan. Meskipun pasien sudah rutin mengonsumsi ARV,
tidak menutup kemungkinan terjadinya transmisi maternalfetal. Pemeriksaan
viral load, kadar CD4, dan evaluasi terapi perlu dilakukan pada pasien untuk
menilai stadium klinis dan respon terapi ARV terhadap pasien.

Anda mungkin juga menyukai