Anda di halaman 1dari 19

Pendahuluan

Trauma adalah kata lain untuk cedera atau ruda paksa yang dapat mencederai fisik ataupun

psikis. Trauma jaringan lunak muskuloskeletal dapat berupa vulnus (luka), perdarahan,

memar (kontusio), regangan atau robek parsial (sprain), ptus atau robek (avulsi atau ruptur),

gangguan pembuluh darah, dan gangguan saraf (neurofraksia, aksonotmesis, neurolisis)

Cedera patah tulang menimbulkan patah tulang (fraktur) dan dislokasi. Fraktur juga dapat

terjadi di ujung tulang dan sendi (intra-artikuler) yang sekligus menimbulkan dislokasi sendi.

Fraktur ini di sebut fraktur dislokasi.

Prinsip penanganan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi (mengenali), reduksii

(mengembalikan), retaining ( mempertahankan), dan rehabilitasi.

Reduksi berarti mengembalikan jaringan atau fragmen ke posisi semula (reeposisi). Dengan

kembali ke bentuk semula, diharapkan bagian yang sakit dapat berfungsi kembali dengan

maksimal.

Retaining adallah tindakan memperthankan hasil reposisi dengan fiksasi (imobilisasi). Hal ini

akan menghilangkan spasme otot pada ekstremitas yang sakit esehingga terasa lebih nyaman

dan sembuh lebih cepat.

Rehabilitasi berartimengembalikan kemampuan anggota yang sakit agar dapat berfungsi

kembali.

I. Definisi Fraktur

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan

yang umumnya disebabkan oleh tekanan tulang yang berlebihan biasanya di sertai cedera di

daerah sekitar.

1
Gejala klasik fraktur adalah riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di bagian tulang yang

patah, deformitas, nyeri tekan, krepitasi, gangguan fungsi muskuloskeletal akibat nyeri,

putusnya kontinuitas tulang dan gangguan neurovaskular. Apabila gejala klasik itu ada,

secara klinis diagnosa fraktur dapat di tegakkan walaupun jenis konfigurasi frakturnya belum

dapat di tentukan.

Pemeriksaan radiologi dapat di lakukan untuk menentukan jenis dan keududukan fragmen

fraktur. Seperti foto roentgen dan pemeriksaan khusus seperti CT-scan atau MRI kadang di

perlukan , misnya pada kasus fraktur vertebra yang di sertai gejala neurologis.

Klasifikasi fraktur

Secara klinis, fraktur di bagi menurut ada tidaknya hubungan patahan tulang dengan dunia

luar, yauitu fraktur tertutupdan fraktur terbuka.fraktur terbuka memungkinkan masuknya

kuman dari luar ke dalam luka patah tulang terbuka di bagi menjadi tiga derajat, yang di

tentukan oleh berat ringannya luka dan fraktur terjadi.

Derajat I

Luka : laserasi <1 cm, kerusakan jaringan lunak tidak berarti relatif bersih

Fraktur : sederhana, dislokasi fragmeen minimal

Derajat II

Luka : laserasi > 1cm, tidak ada kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi

ada kontaminasi

Fraktur : dislokasi fragmen jelas

Derajat III

2
Luka : luka lebar dan rusak hebat, atau hilangnya jaingan sekitarnya,

kontaminasi hebat

Fraktur : kominutif, segmental, fragmen tulang ada yang hilang.

Menurut garis frakturnya, patah tulangdi bagi menjadi fraktur komplit dan inkomplit,

transversa, obliq, spiral, kompresi, simpel, kominutif, segmental, kupu-kupu dan impaksi.

Menurut lokasi patahan di tulang, fraktur di bagi menjadi epifisis, metafisis, dan diafisis.

Sedangkan dislokasi atau berpindahnya ujung tulang patah di sebabkan oleh berbagai

kekuatan, sebagai cedera, tonus atau kontraksi otot dan tarikan.

II. DIAGNOSA FRAKTUR

A. ANAMNESA

Ada beberapa hal yang menyebabkan penderita datang untuk meminta pertolongan,

a. Sakit / nyeri

3
b. Kekakuan / kelemahan.

c. Kelainan bentuk / pembengkokan.

a. Sakit / nyeri

 Sifat dari sakit / nyeri

 Lokasi setempat / meluas / menjalar.

 Apa ada penyebabnya. Misalnya Trauma.

 Sejak kapan dan apakah sudah pernah mendapat pertolongan.

 Bagaimana sifatnya ; pegel / seperti ditusuk – tusuk / rasa panas / ditarik –

tarik.

 Intensitasnya ; terus – menerus / hanya waktu bergerak / waktu istirahat, dst.

 Apakah keluhan ini untuk pertama kali atau sering hilanh timbul

b. Kekakuan / kelemahan.

Kekakuan, Pada umumnya mengenai persendian. Apakah hanya kaku atau disertai

nyeri sehingga pergerakan terganggu.

KelemahaN, Apakah yang dimaksud dengan Instability atau kekuatan otot menurun /

melemah / kelumpuhan.

c. Kelainan bentuk / pembengkoka

 Angulasi / rotasi / discrepancy (pemendekan / selisih panjang).

 Benjolan atau karena ada pembengkakan.

4
Dari hasil anamnesa yang baik secara aktif oleh penderita maupun aktif (ditanya oleh

pemeriksa) dipikirkan kemungkinan yang diderita oleh pasien, sehingga apa yang didapat

dari anamnesis dapat dicocokan pada pemeriksaan fisik kemudian.

B. PEMERIKSAAN FISIK

Dibagi menjadi dua, yaitu ;

1. Pemeriksaan umum (Status Generalisata).

2. Pemeriksaan setempat (Status Lokalis).

1. Pemeriksaan Umum (Status Generalisata)

Perlu menyebutkan ;

a. Keadaan umum (KU) ; baik / buruk

Yang dicatat adalah tanda – tanda vital, yaitu :

 Kesadaran penderita ; compos mentis / delirium / soporus / coma.

 Kesakitan

 Tanda vital ; tensi, nadi, pernafasan dan suhu.

b. Periksa dari mulai kepala, leher, dada (thorax), perut (abdomen ; hati, lien),

kelenjar getah bening serta kelamin.

c. Ekstremitas atas dan bawah serta punggung (tulang belakang).

2. Pemeriksaan Setempat (Status Lokalis)

Harus dipertimbangkan keadaan proksimal serta bagian distal dari anggota tubuh

terutama mengenai status neurovaskuler. Pada pemeriksaan orthopedi /

musculoskeletal yang penting adalah (appley) :

a. Look (Inspeksi)

5
b. Feel (Palpasi)

c. Move ( pergerakan, terutama mengenai lingkup gerak)

Disamping gerak perlu dilakukan pengukuran bagian yang penting untuk

membuat kesimpulan kelainan, apakah suatu pembengkakan atau atrofi, serta melihat

adanya selisih panjang (discrepancy).

a. Look (Inspeksi)

Perhatikan apa yang dapat dilihat, antara lain :

 Sikatrik (jaringan parut, baik yang alamiah maupun yang buatan (bekas

pembedahan))

 Café au lait spot (birth mark)

 Fistulae

 Warna (kemerahan / kebiruan (livide) / hiperpigmentasi)

 Benjolan / pembengkakan / cekukan dengan hal – hal yang tidak biasa,

misalnya adanya rambut diatasnya, dst.

 Posisi serta bentuk dari ekstremitas (deformitas).

 Jalan pasien (gait, waktu masuk kamar periksa)

b. Feel ( Palpasi)

Pada waktu ingin palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki agar

dimulai dari posisi netral / posisi anatomi. Pada dasarnya ini merupakan

pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik bagi pemeriksa maupun

bagi penderita. Karena itu perlu selalu diperhatikan wajah penderita atau

menanyakan perasaan penderita.

Yang dicatat adalah :

 Perubahan suhu terhadap sekitarnya serta kelembaban kulit.

6
 Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau hanya oedema,

terutama daerah persendian.

 Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainannya (1/3 proksimal /

medial / distal)

 Otot, tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi.

 Benjolan yang terdapat dipermukaan tulang atau melekat pada tulang.

 Sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya dan

pergerakan terhadap permukaan atau dasar, nyeri atau tidak dan

ukurannya.

c. Move / Gerak

Setelah memeriksa feel, pemeriksaan diteruskan dengan menggerakan

anggota gerak dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pada

pemeriksaan Move, periksalah bagian tubuh yang normal terlebih dahulu, selain

untuk mendapatkan kooperasi dari penderita, juga untuk mengetahui gerakan

normal penderita.

 Apabila ada fraktur, tentunya akan terdapat gerakan yang abnormal

didaerah fraktur (kecuali fraktur incomplete).

 Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat gerakan dari tiap arah

pergerakan, mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dengan ukuran metric.

Pencatatan ini penting untuk mengetahui apakah ada gangguan gerak.

 Kekakuan sendi disebut ankylosis dan hal ini dapat disebabkan oleh factor

intraarticuler atau ekstraarticuler.

 Pergerakan yang perlu dilihat adalah gerakan aktif (apabila penderita

sendiri yang menggerakan karena disuruh oleh pemeriksa) dan gerak pasif

(bila pemeriksa yang menggerakan).

7
Selain pencatatan pemeriksaan penting untuk mengetahui gangguan gerak, hal ini

juga penting untuk melihat kemajuan / kemunduran pengobatan.

Dibedakan istilah Contraction dan Contracture. Contraction adalah apabila perubahan

fisiologis dan contracture adalah apabila sudah ada perubahan anatomis.

Pada pemeriksaan selain penderita duduk atau berbaring, juga perlu dilihat waktu

berdiri dan berjalan. Pada pemeriksaan jalan, perlu dinilai untuk mengetahui apakah

adanya pincang atau tidak. Pincang dapat disebabkan oleh karena instability, nyeri,

discrepancy atau fixed deformity.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan

sinar roentgen (X-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan

kedudukan tulang sulit, oleh karena itu minimal diperlukan 2 proyeksi tambahan

(khusus) atas indikasi khusus untuk memperlihatkan patologi yang dicari, karena

adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan X-ray harus atas dasar indikasi

kegunaan pemeriksaan penunjang tersebut dan hasilnya dibaca sesuai dengan

permintaan, misalnya :

a. Untuk fraktur baru, indikasi X-ray adalah untuk melihat jenis dan kedudukan

fraktur dan karenanya perlu tampak seluruh bagian tulang (kedua ujung

persendian) karena kemungkinan terjadinya fraktur dan dislokasi pada jenis

fraktur tertentu, seperti :

 Monteggeia

 Galeazzi

8
 Fraktur segmental femur dengan atau tanpa dislokasi sendi panggul

yan sering meleset diagnosisnya karena discrepancy yang terjadi bukan

saja oleh frakturnya melainkan juga karena adanya dislokasi.

Kelainan tulang belakang, karena adanya super imposed dari iga dan sendi bahu

seperti darah cervico-thoracal atau pada fraktur acetabulum diperlukan proyeksi

oblique.

Hal yang perlu dibaca pada X-ray adalah :

b. Bayangan jaringan lunak

c. Tipis tebalnya cortex sebagai akibat reaksi periost atau karena akibat

biomekanik (Wolff’s Law) atau rotasi.

d. Trabukulasi ada tidaknya rare fraction.

e. Sela sendi serta bentuk arsitektur sendi.

Selain foto polos X-ray (plane X-ray) mungkin perlu teknik khusus :

 Tomografi

Tomografi telah berkembang lebih maju dengan adanya CT

(Computerised Tomografy) yang dapat membuat selain potongan longitudinal

juga potongan tranversal / axial.

 Atau dengan contrast, seperti :

o Myelografy

o Arthrografy

o Fistulografy

 Scintigrafy menggunakan radioisotope untuk mengetahui penyebaran

(metastasis).

9
 MRI / NMR (Magnectic Resonance Imaging atau Nuclear Magnectic

Resonance)

Pemeriksaan penunjang lainnya adalah untuk mengetahui tempat berapa jauh dari

patologi musculo skeletal diakibatkan / mengakibatkan gangguan saraf, yaitu

pemeriksaan :

 EEG

 EMG

 MMT

Untuk membedakan kekuatan otot (0 – 5) dan sensoris / sensible deficit

dengan pemeriksaan neurologist yang baik.

Biofeedback terhadap response stimulasi walaupun klinis secara kasar dapat

dibedakan antara kelainan :

 UMN

 LMN

Pemeriksaan laboratorium penunjang lainnya adalah :

 Pemeriksaan darah rutin untuk mengetahui keadaan umum, infeksi akut /

menahun.

 Atas indikasi tertentu, diperlukan pemeriksaan :

 Kimia darah

 Reaksi imunologi

 Fungsi hati / ginjal

Bahkan kalau perlu dilakukan pemeriksaan Bone Marrow

 Pemeriksaan urin rutin (+Esbach, Bence jones)

10
 Pemeriksaan micro organism kultur dan sensitivity test.

III. PENATALAKSANAAN

Perbaikan jaringan dan penyembuhan luka

1. Fase hematoma

2. Fase proliferatif

3. Fase pembentukan kalus

4. Fase konsolidasi

5. Fase remodeling

Waktu penyembuhan fraktur tergantung dari

1. Umur penderita

2. Lokasi dan konfigurasi fraktur

3. Pergeseran awal fraktur

4. Vaskularisasi pada kedua fragmen.

5. Reduksi serta immobilisasi

6. Waktu immobilisasi

7. Ruang diantara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan lunak.

8. Adanya infeksi

9. Kaitan synovial gerakan aktif dan pasif anggota gerak juga mempengaruhi.

Penyembuhan abnormal pada fraktur

1. Malunion

sembuh pada saatnya, deformitas bentuk angulasi,varus atau valgus,rotasi,pendek

atau union menyilang.

11
2. Delayed union

tidak sembuh selama 3 bulan pada extremitas atas dan 5 bulan pada extremitas

bawah

3. Non union

tidak sembuh selama 6 sampai 8 bulan, tidak terbentuk konsolidasi, sehingga

terbentuk pseudoartosis

Tujuan pengobatan fraktur:

1. Menghilangkan nyeri

2. Mendapatkan dan mendapatkan posisi yang memadai, dari fragmen fraktur.

3. Mengharapkan dan mengusahakan union

4. Mengembalikan posisi secara optimal dengan cara memperthankan fungsi otot

dan sendi,mencegah atrofi otot,adhesi dan kekakuan sendi,mencegah terjadinya

komplikasi seperti dekubitus,trombosis vena, infeksi saluran kencing, serta

pembentukan batu ginjal.

5. Mengembalikan fungsi secara maksima merupakan tujuan akhir dari pengobatan

fraktur.

Prinsip umum pengobatan fraktur

1. Jangan membuat keadaan menjadi lebih jelek.

2. Pengobatan berdasarkan diagnosa dan prognosis yang akurat

3. Seleksi pengobatan dengan tujuan khusus.

4. Bersifat realistis dan praktis dalam memilih pengobatan

5. Seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara individual.

12
Urutan menangani pasien fraktur:

1. Pertolongan pertama:

basic life support,resusitasi kardiorespirasi, pada cedera muskuloskeletal

dilakukan splinting.

ATLS (advance trauma life support) termasuk primary survei dan secondary

survei,

a. airways

b. breathing

c. circulation

d. disability

e. Exposure

2. .Pengangkutan

3. Terapi syok, perdarahan dan cedera yang berkaitan.

Penatalaksanaan prinsip 4r:

1. Recognition

diagnosis penilaian fraktur:

1. Pada awal pengobatan perlu diperhatikana.

a. Lokalisasi fraktur

b. Bentuk fraktur

c. Menetukan teknik yang sesuai untuk pengobatan

d. Komplikasi yang mugkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.

2. Reduction / reduksi fraktur apabila perlu.

posisi yang baik adalah:

a. Alignment yang sempurna

b. Aposisi yang sempurna

13
Dua metode reduksi:

a. Reduksi terbuka

b. Reduksi tertutup.

3. Retention

Imobilisasi fraktur:

 Traksi kontinu

 Pembebatan dengan gips

 Pemakaian penahanan fungsional

 Fiksasi internal

 Fiksasi eksternal

a. Traksi kontinu

macam traksi berdasarkan mekanisme traksi

 Traksi menetap

 Traksi berimbang

b. Pembebatan dengan gips:

salah satu pengobatan konservative pilihan pada fraktur

14
c. Pemakaian penahanan fungsional:

memasang gips pada badan tulang sehingga sendi dapa bebas bergerak.

d. Fiksasi internal

fragmen tulang dapat diikat dengan skrup,pen, atau paku pengikat,plat logam yang

diikat dengan skrup,paku intramedular yang panjang (dengan atau tanpa skrup

pengunci) , ciscumferential bands, atau kombinasi dari metode ini.

e. Fiksasi eksternal

fraktur dipertahankan dengan skrup pengikat atau kawat penekan yang melalui

tulang diatas dan dibawah fraktur, dan dilekatkan pada suatu kerangka luar.

4. Rehabilitasi

tujuannya adalah mengembangkan aktivitas fungsional semaksimal mungkin

 rehabilitasi: mengembangkan aktifitas funsinal semaksimal mungkin

 diperlukan tindakan rehabilitasi untuk mencegah disuse athrophy dan kekakuan sendi

distal dari tulang yang fraktur dengan melaksankan aktif isometrik exercise.

fraktur tertutup:

metode pengobatan fraktur pada umumnya dibagi dalam:

1. Konservatif

2. Reduksi tertutup dengan fiksasi interna dan fiksasi perkutan dengan K-wire

3. Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) atau dengan fiksasi eksterna (OREF)

4. Eksisi fragmen tulang dan pergantian dengan protesis.

METODE KONSERVATIF

1. Proteksi semata-mata (tanpa reduksi atau imobilisasi)

2. Imobilisasi dengan bidai eksterna tanpa reduksi

15
3. Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi imobilisasi eksterna,

mempergunakan gips

4. Reduksi berlanjut dengan traksi berlanjut diikuti dengan imobilisasi

5. Reduksi tertutup dengan traksi berlanjut diikuti dengan imobilisasi

6. Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan countertraksi.

ORIF (open reduction internal fixation)

indikasi:

1. Fraktur intraartikuler

2. Reduksi tertutup yang mengalami kegagalan

3. Terdapat interposisi jaringan diantara kedua fragment

4. Diperlukan fiksasi rigid.

5. Terdapat fraktur dislokasi yang tidak dapat direduksi secara baik dengan

reduksi tertutup.

6. Fraktur terbuka

7. Terdapat kontraindikasi pada mobilisasi sedangkan sedangkan dibutuhkan

mobilisasi yang cepat.

8. Eksisi fragmen yang kecil

9. Eksisi fragment tulang yang kemungkinan mengalami nekrosis avaskuler.

10. Fraktur avulsi

11. Fraktur epifisis tertentu pada grade 3 dan 4 pada anak2.

12. Fraktur multiple

13. Untuk mempermudah perawatan penderita.

16
OREF (open reduction external fixation)

indikasi

1. Fraktur terbuka pada grade 2 dan 3

2. Fraktur terbuka disertai hilangnya jaringan atau tulang yang hebat.

3. Fraktur dengan infeksi atau infeksi pseudoartritis.

4. Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF

5. Fraktur yang miskin jaringan ikat.

6. Nonunion

7. Kadang2 pada fraktur bagian bawah penderita DM

8. Fraktur dengan gangguan neurovaskuler.

9. Fraktur kominutif

10. Fraktur pelvis

11. Fraktur multiple

Prinsip dasar pengelolaan fraktur terbuka

1. Obati fraktur terbuka dengan satu kegawatan

2. Ada evaluasi awal dan diagnosis akan adanya kelainan yang dapat

menyebabkan kematian.

3. Berikan antibiotik dalam ruang gawat darurat, dikamar operasi dan setelah

operasi.

4. Segera dilakukan debridement dan irigasi yang baik

5. Ulangi debridement 24-72 jam berikut.

6. Stabilisasi fraktur

17
7. Biarkan luka terbuka 5 sampai 7 hari.

8. Lakukan bone graft autogenous secepatnya.

9. Rehabilitasi anggota gerak yang terkena.

Tahap tahap pengobatan fraktur terbuka

1. Pembersihan luka

2. Eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati

3. Pengobatan fraktur itu sendiri

4. Penutupan kulit

5. Pemberian antibiotika

6. Pencegahan tetanus

18
DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidajat, R ; Dahlan, Murnizat; Jusi, De Jong. Sistem muskuloskeletal, dalam Buku

Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Editor : Sjamsuhidayat R. dan De Jong, Win. Jakarta : EGC, 2003,

Hal : 960-963, 1039-1045.

Darmawan. M., 1995, fraktur dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, FKUI, Jakarta

19

Anda mungkin juga menyukai