Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Sebelumnya


Dalam penelitian ini penulis memaparkan beberapa penelitian sebelumnya yang relevan
dengan permasalahan yang dapat diteliti tentang karakteristik pembakaran spray biodiesel
waste cooking oil dengan variasi debit bahan bakar.
Wibawa et al (2015) menjelaskan bahwa pada pengujian variasi tekanan nosel pada
karakteristik semprotan bahan bakar biodiesel dengan membandingkan bahan bakar diesel
ketika semakin besar tekanan pada nosel mengakibatkan ukuran droplet dan bentuk sudut.
Dalam hasil penelitiannya bahwa pada tekanan 120 bar dengan campuran biodiesel 5%
memiliki karakteristik yang hampir sama dengan solar 100%. Baik dari segi kecepatan
semprotan, sudut semprotan maupun jumlah butirannya.
Tabel 2.1
Hasil Pengujian Perbandingan Campuran Biodiesel dan Solar
BD5%
No Tekanan Jarak Aktual Waktu Jarak
(bar) (mm) ms s Teoritis
(mm)
1 90 160 88.95 0.08895 490.71
2 100 160 81.95 0.08195 502.33
3 110 160 73.95 0.07395 498.62
4 120 160 56.95 0.05695 418.90
5 130 160 53.95 0.05395 429.91

Biodiesel 5%
No Tekanan Nosel Jumlah D min D max Luas
Butir Total
(Bar) (n) (μm) % (μm) % (𝛍𝐦)𝟐
1 90 3509 2.31 48.45 30.51 0.03 13972.01
2 100 3713 2.31 22.48 22.48 0.03 15347.55
3 110 3947 2.31 15.30 15.30 0.03 16362.12
4 120 4233 2.31 52.68 23.29 0.02 17154.09
5 130 3806 2.31 52.68 23.86 0.03 15786.12
Sumber: Wibawa (2015)
Pada penelitian Wardana et al (2016) tentang kecepatan pembakaran premixed camp-
uran minyak jarak liquefied petroleum gas (LPG) pada circular tube burner pada
penelitiannya menjelaskan bahwa nyala api berwarna biru menandakan pembakaran yang
terjadi mendekati stoikiometrinya dimana sebagian besar didominasi pembakaran premixed.

5
6

Nyala api biru bewarna tebal merupakan api premixed akibat campuran bahan bakar dan
udara yang disuplai dari kompresor. Sedangkan nyala api biru tipis merupakan pembakaran
difusi dengan udara lingkungan sekitar. Semakin mendekati nilai equivalence ratio = 1
menyebabkan nyala api lebih terang, hal ini dikarenakan pembakaran mendekati kondisi
stoikiometrinya.

Gambar 2.2 Visualisasi api pada debit LPG 0%


Sumber: Wardana et al (2016)
Sasongko dan Wijayanti (2015) dalam penelitiannya mengenai Karakteristik Api
Premiks Biogas pada Counterflow Burner menjelaskan bahwa pada penjelasan mengenai
kestabilan api dinyatakan dalam jumlah minimum konsentrasi oksigen yang diperlukan
dalam proses pembakaran pada berbegai variasi konsentrasi CO 2 dalam Biogas dan massa
alir reaktan pada counterflow konfigurasi. Daerah diatas titik konsentrasi oksigen
menujukkan bahwa pembakaran premiks berlangsung stabil, sedangkan dibawah titik
tersebut menujukkan daerah api padam. Data minimum konsentrasi oksigen saat extinction
didapat dengan cara menurunkan konsentrasi oksigen sedikit demi sedikit dan sampai api
padam. Tetapi, pada saat menurunkan konsentrasi oksigen tersebut, massa alir total gas
reaktan tetap dijaga konstan dengan jalan mengatur aliran gas nitrogen.

Gambar 2.3 Konsentrasi oksigen saat extinction api premiks pada variasi prosentase CO2 dan massa
alir gas reaktan
Sumber: Sasongko dan Wijayanti (2015)
Tamadonfar & Gulder (2014) juga menyatakan bahwa dalam penelitiannya mengenai
flame brush characteristic and burning velocities of premixed turbulent methane/air bunsen
7

flames bahwa semakin tinggi rasio ekuivalen dalam bahan bakar maka semakin kaya bahan
bakar tersebut sehingga flame height semakin besar. Hal ini dipengauhi oleh perbandingan
AFRstoikiometri dengan AFRactual. Gambar 2.4 menjelaskan pengaruh panjang api terhadap
ekuivalen rasio.

Gambar 2.4 Karakteristik ketinggian api sebagai fungsi ekuivalen rasio


Sumber: Tamadonfar (2014)

2.2 Bahan Bakar


Bahan bakar adalah suatu materi yang apabila diberi energi berupa panas dapat
meneruskan pembakaran dengan sendirinya. Biasanya bahan bakar mengandung energi
panas yang dapat dilepaskan dan dimanipulasi. Bahan bakar digunakan dengan proses
pembakaran (reaksi oksidasi) dimana bahan dapat melepaskan kalor setelah direaksikan
dengan oksigen.
Ada beberapa bahan bakar yang digunakan pada kendaraan. Beberapa diantaranya
membentuk senyawa kimia berbahaya dan mudah terbakar, dibutuhkan ketelitian agar tidak
menyebabkan kerusakan pada komponen kerja. Berikut ini jenis bahan bakar ada 2, yaitu
bahan bakar padat dan cair:
1. Bahan bakar padat merupakan bahan bakar berbentuk padat, dan kebanyakan menjadi
sumber energi panas. Misalnya kayu dan batubara. Energi panas yang dihasilkan bisa
digunakan untuk memanaskan air menjadi uap untuk menggerakkan peralatan dan
menyediakan energi. (Ardhany, 2016)
2. Bahan bakar cair merupakan gabungan senyawa hidrokarbon yang diperoleh dari alam
maupun secara buatan. Bahan bakar cair umumnya berasal dari minya bumi. Namun
banyak penelitian yang mengembangkan penemuan bahan bakar cair yang tidak berasal
dari minyak bumi, sebagai contoh oil shale, tar sands, batubara, biomassa dan masih
8

banyak lagi. Minyak bumi merupakan campuran alami hidrokarbon cair dengan sedikit
sulfur, nitrogen, oksigen, sedikit metal, dan mineral (Wiratmaja, 2010).
3. Bahan bakar gas ada dua jenis, yakni Compressed Natural Gas (CNG) dan Liquid
Petroleum Gas (LPG. CNG pada dasarnya terdiri dari metana sedangkan LPG adalah
campuran dari propana, butana dan bahan kimia lainnya. LPG yang digunakan untuk
kompor rumah tangga, sama bahannya dengan Bahan Bakar Gas yang biasa digunakan
untuk sebagian kendaraan bermotor. (Ardhany, 2016)

2.2.1 Biodiesel Waste Cooking Oil


Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif pengganti solar. Biodiesel umumnya
berasal dari minyak nabati yang telah diolah melalui proses transesterifikasi. Biodiesel dapat
digunakan secara langsung pada mesin tanpa modifikasi terlabih dahulu, selain itu
penggunaan biodiesel juga dapat mengurangi emisi CO dan CO2 sehingga ramah lingkungan
(Xu and Wu, 2003). Bahan baku biodiesel dapat berasal dari minyak nabati (Ramos et al.,
2009), atau lemak hewani (Saraf and Thomas, 2007), maupun minyak goreng bekas/jelantah
(Sunthitikawinsakul and Sangathith, 2012).
Waste Cooking Oil (WCO) atau minyak jelantah mudah ditemukan pada berbagai
tempat seperti restoran, kantin, dan industry rumahan. Penelitian saat ini fokus kepada
konversi dari minyak jelantah menjadi biodiesel. Dengan nilai Free Fatty Acid (FFA) atau
asam lemak bebas tinggi yang terdapat pada minyak jelantah menghasilkan percepatan
beberapa reaksi samping yang tidak diinginkan selama proses pembuatan biodiesel. Oleh
karena itu, WCO terlebih dahulu direaksikan dengan mineral acids untuk mengurangi FFA
dan kemudian dilakukan transesterifikasi dengan adanya basa sebagai katalis. Biodiesel yang
disintesis dikarakterisasi dan dibandingkan dengan standar bahan bakar (Sahar, 2018).
Untuk proses pembuatannya, membutuhkan labu leher tiga (250 mL) dengan reflux
condenser yang digunakan untuk menghindari penguapan methanol. Reaksinya berisi 100
mL WCO, 51.25 mL methanol dan 0.2% asam katalis. Campuran reaksi dimasukkan
kedalam labu leher tiga pada suhu 50˚C selama 2 Jam dan disentrifugasi dengan magnetic
spin bar. Setelah 2 jam, parameter yang mempengaruhi (rasio methanol ke minyak, dosis
katalis, waktu reaksi dan suhu) dioptimalkan dan FFA dihitung menggunakan hubungan
yang ditunjukkan dalam persamaan. Gambar 2.5 menjelaskan proses transesterifikasi pada
biodiesel waste cooking oil.
9

Gambar 2.5 Proses transesterifikasi


Sumber: Demirbas (2008)
Adapun beberapa jenis biodiesel berdasarkan campuran dari biodiesel dan hidrokarbon
(solar), antara lain:
B100 : biodiesel murni 100%
B20 : biodiesel 20%, solar 80%
B10 : biodiesel 10%, solar 90%
B5 : biodiesel 5%, solar 95%
Campuran apapun dari 20 persen biodiesel atau kurang, bisa digunakan pada semua tipe
mesin tanpa modifikasi. Biodiesel biasanya dapat digunakan dalam bentuk B100, namun
dalam beberapa penelitian terkadang modifikasi mesin diperlukan guna menghindari
masalah pada mesin. Untuk membuat biodiesel, harus memiliki persyaratan biodiesel seperti
yang terdapat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Persyaratan Kualitas Biodiesel Menurut SNI-04-7 182-2006
No. Parameter dan Satuannya Batas Nilai Metode Uji
1 Massa Jenis pada 40˚C, kg/m3 850-890 ASTM D 1298
2 Viskositas kinematik pada 40˚C, mm2/s 2,3-6,0 ASTM D 445
(cSt)
3 Angka setana Min. 51 ASTM D 613
4 Titik nyala (mangkok tertutup), ˚C Min. 100 ASTM D 93
5 Titik kabur, ˚C Maks. 18 ASTM D 2500
6 Korosi bilah tembaga (3 jam, 50 ˚C) Maks no. 3 ASTM D 130
7 Residu karbon, %-berat,-dalam contoh Maks. 0,05 ASTM D 4530
asli= dalam 10% ampas distilasi (maks 0,03)
8 Air dan sedimen, %-vol. Maks. 0,05 ASTM D 2709
9 Temperatur distilasi 90%, oc Maks. 360 ASTM D1160
10 Abu tersulfatkan, %-berat Maks.0,03 ASTM D 874
11 Belerang, ppm-b (mg/kg) Maks. 10 ASTM D 5453
12 Fosfor, ppm-b (mg/kg) Maks. 10 AOCS Ca 12-55
13 Angka asam, mg-KOH/g Maks. 0,8 AOCS Cd 3-63
14 Gliserol bebas, %-berat Maks. 0,03 AOCS Ca 14-56
15 Gliserol total, %-berat Maks. 0,24 AOCS Ca 14-56
16 Kadar ester alkil, %-berat Min. 96,5 Dihitung*
17 Angka iodium, g-12/(100 g) Maks. 115 AOCS Cd 1-25
18 Uji Halphen Negatif AOCS Cb 1-25
Sumber: Badan Standarisasi Nasional (BSN)
10

2.3 Pembakaran
Menurut Wardana (2008) pembakaran dapat diartikan sebagai reaksi oksidasi sangat
cepat bahan bakar dengan oksidator yang akan menimbulkan panas dan nyala. Sementara
oksidator merupakan substansi yang mengandung oksigen (contohnya udara) yang nantinya
dapat bereaksi dengan bahan bakar. Pembakaran menghasilkan nyala dan panas, sehingga
disebut proses oksidasi eksotermis.
Untuk terjadinya proses pembakaran diperlukan bahan bakar, pengoksidasi
(oksigen/udara), serta panas atau energi aktivasi. Panas diperlukan sebagai pengaktif
molekul-molekul bahan bakar yang disebut sebagai energi aktivasi. Campuran bahan bakar
dan udara harus dinyalakan terlebih dahulu agar terjadi proses pembakaran. Penyalaan ini
harus memenuhi temperatur penyalaan untuk memulai pembakaran. Selain itu campuran
dalam konsentrasi yang cukup juga diperlukan. Batas konsentrasi antarabahan bakar dan
udara harus sesuai atau cukup untuk terjadinya pembakaran. Apabila campuran terlalu kaya
bahan bakar proses penyalaan tidak dapat terjadi. Begitu pula bila dalam kondisi miskin
bahan bakar.
Persamaan reaksi pembakaran secara umum dituliskan sebagai berikut.
Bahan Bakar + Oksidator → Produk Pembakaran
(Reaktan)

2.3.1 Reaksi Kimia Pembakaran


Proses pembakaran dapat menyebabkan unsur–unsur pada bahan bakar teroksidasi, hal
tersebut dapat menghasilkan panas yang biasa disebut sebagai proses oksidasi eksotermis.
Apabila terjadi suatu kondisi dimana oksigen yang masuk pada proses pembakaran diperoleh
dari udara kering, (21% oksigen dan 78% nitrogen), maka reaksi stoikiometri pada
pembakaran hidrokarbon murni CmHn dapat ditulis dengan persamaan:
n n n n
Cm Hn + (m+ 4) O2 +3,76 (m+ 4) N2 →mCO2 + 2 H2 O+3,76 (m+ 4) N2 ..........................(2-1)
Sumber: Edgar (2016)
Persamaan di atas merupakan persamaan reaksi kimia yang disederhanakan dikarenakan
sulitnya memastikan suatu proses pembakaran terjadi secara sempurna dengan rasio
ekuivalen yang tepat dari udara. Apabila terjadi pembakaran secara tidak sempurna, maka
hasil pembakaran pada persamaan di atas (CO2 dan H2O) tidak terjadi, melainkan
membentuk hasil oksidasi parsial berupa CO, HC tak jenuh, formaldehida dan bisa juga
terdapat karbon.
11

2.3.2 Fuel Spray Combustion


Proses pembakaran diesel terjadi di berbagai rasio suhu dan ekuivalen dalam
membentuk proses pembentukan NOx atau jelaga, seperti yang terlihat pada Gambar 2.6 di
daerah dengan rasio ekuivalen tinggi sebagai contoh rich combustion, pembentukan jelaga
atau didaerah dengan rasio ekuivalen rendah ada banyak udara dan temperatur api
membentuk panas NOx.

Gambar 2.6 Kontur yang ditunjukkan dari daerah jelaga dan pembentukan NOx sebagai fungsi dari
bahan bakar/udara rasio ekuivalen dan temperatur api
Sumber: Westlye (2016:33)
Deskripsi konseptual dari proses pembakaran diesel, diilustrasikan pada Gambar 2.7
yang direalisasikan oleh Flynn et al melalui berbagai pengukuran dalam mesin optik. Ketika
bahan bakar cair diinjeksikan dengan kecepatan tinggi melalui sebuah injector nozzle ke
lingkungan, Proses pemecahan yang disebutkan diatas membentuk semprotan padat droplet
kecil. Momentum semprotan menyebabkan gas sekitarnya masuk ke dalam semprotan dan
droplet menggunakan energi dari gas ambient untuk menguap. Proses ini dimulai dari saat
injeksi hingga 4,5 Crank Angle Degrees (CAD) setelah mulai injeksi dan membentuk
selubung gas reaktif diujung semprotan. Pada kira-kira 5˚ setelah injeksi awal, bahan bakar
dalam campuran reaktif mulai terurai menjadi jelaga pada saatnya membentu Poli Aromatic
Hidrokarbon (PAH). Campuran bahan bakar dan udara yang terurai secara otomatis menyala
sekitar 6˚ setelah memulai injeksi. Penyalaan otomatis ini memulai nyala api difusi yang
mengelilingi kantung bahan bakar, cracked fuel, dan jelaga.
12

Gambar 2.7 Model konseptual dari proses pembakaran diesel dari titik injeksi hingga pengembangan
dari quasi-steady-flame
Sumber: Westyle (2016:32)
Api premixed yang kaya menstabilkan diantara campuran bahan bakar dan udara yang
masuk disekeliling nyala api difusi. Gambar 2.8 menjelaskan bahwa campuran bahan
bakar/udara, kecepatan jet, turbulensi, difusivitas termal diseimbangi dengan laju reaksi
lokal, atau kecepatan nyala, sehingga zona reaksi atau nyala api, stabil. Jarak dari nozzle ke
tempat tersebut dikenal sebagai panjang lift-off.

Gambar 2.8 Model konseptual dari quasi-steady spray flame api serupa dengan pembakaran yang
terjadi sebagian besar durasi pelepasan panas dalam mesin CI
Sumber: Westlye (2016:32)
13

2.3.3 Air Fuel Ratio (AFR)


Rasio udara-bahan bakar atau biasa disebut Air Fuel Ratio (AFR) adalah salah satu
parameter yang sering sekali dipakai untuk mendefinisikan campuran pada proses
pembakaran, dimana AFR merupakan perbandingan massa udara dengan bahan bakar pada
suatu titik pengamatan. Secara simbolis, AFR dihitung sebagai:
ma Ma Na
AFR = = ..........................................................................................(2-2)
mf Mf Nf
Sumber: Wardana (2008)
Dimana ma merupakan laju massa udara (kg/s), mf merupakan laju massa bahan bakar,
(kg/s), Ma merupakan massa molar udara, Na merupakan jumlah mol udara, Mf merupakan
massa molar bahan bakar, Nf merupakan jumlah mol bahan bakar. Apabila nilai aktual yang
dihasilkan lebih besar daripada nilai AFR teoritisnya, maka terdapat jumlah udara yang lebih
banyak dari yang dibutuhkan oleh sistem pada proses pembakaran (miskin bahan bakar),
sedangkan apabila nilai aktualnya lebih kecil daripada AFR teoritisnya maka tidak cukup
terdapat udara pada sistem (kaya bahan bakar).

2.4 Injektor/Nozzle
Injektor/nozzle adalah alat untuk memisahkan fluida atau minyak menjadi tetesan kecil
yang membutuhkan energi tertentu, energi yang diberikan melalui aliran yang memiliki
tekanan tinggi. Dengan aliran bertekanan tinggi dapat memecahkan minyak atau fluida
dengan kecepatan tertentu, tekanan dan kecepatan yang diberikan mencapai nilai tertentu
sehingga pada akhirnya memaksa fluida atau miyak melalui lubang nosel.

2.5 Atomisasi (Pengabutan)


Perlakuan terhadap bahan bakar cair sebelum dilakukan proses pembakaran diruang
bakar adalah berupa proses atomisasi. Atomisasi merupakan suatu proses disintegrasi cairan
menjadi droplet-droplet kecil yang membentuk spray di atmosfir gas, yang menghasilkan
suatu luasan penyebaran partikel, dengan membuat kecepatan yang relatif tinggi antara
liquid dengan udara sekitar. Proses atomisasi dimaksudkan untuk memperbesar rasio
penyebaran permukaan partikel terhadap massa, dan memperbesar kemungkinan terjadinya
penguapan sehingga pembakaran lebih mudah terjadi (Huimin, 2000).
14

2.6 Proses Atomisasi


Ada dua metode yang dapat dipakai dalam proses atomisasi, yaitu dengan cara
melepaskan fluida yang berkecepatan tinggi kedalam aliran udara atau gas berkecepatan
rendah dan dengan cara melepaskan fluida berkecepatan rendah ke dalam aliran udara atau
gas berkecepatan tinggi. Proses disintegrasi cairan dapat dipengaruhi oleh desain nozzle,
profil kecepatan awal, air jet, serta ketidakstabilan lainnya.

2.7 Pengabutan Gas


Untuk mesin diesel, penetrasi ujung semprot terlalu lama disebabkan oleh injeksi
tekanan tinggi juga memiliki efek yang merugikan pada control akurasi campuran dan
kinerja emisi karena penguapan. Sehingga untuk dapat mengetahui tingkat penyemprotan
dengan tekanan atomisasi dan dapat diukur sudut kerucut berdasarkan jarak semprotan
seperti yang dijelaskan pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9 Penyemprotan tip penetrasi


Sumber: Wibawa (2015)

2.8 Airblast Atomizers


Sebagian besar atomizers yang digunakan untuk aplikasi industry mengekspoitasi dua
jenis atomisasi. Tipe pertama didasarkan pada pemecahan kapiler atau lembaran cair yang
dikeluarkan dengan kecepatan tinggi dari nozzle dibawah tekanan injeksi tinggi, sedangkan
tipe kedua didasarkan pada pemecahan aerodinamik yang disebabkan oleh kecepatan tinggi
pada fluida gas. Jenis atomizers lain menggunakan berbagai bentuk energi untuk
pembentukan atomisasi (misalnya pada electro-spraying, plasma spraying).
Dalam berbagai desain yang ada pada atomizers airblast, Gambar 2.10 memiliki tujuan
dasar untuk menyebarkan udara yang tersedia dengan cara yang paling efektif untuk
menghasilkan fase cair teratomisasi yang baik.
15

Gambar 2.10 Atomizer airblast dengan pre-film


Sumber: Batarseh (2008)

2.9 Sauter Mean Diameter


Sebagian besar semprotan atau ansambel tetesan mengandung tetesan dengan ukuran
berbeda. Pengukuran dapat memberikan informasi tentang fraksi tetes ukuran yang berbeda
yang dapat disajikan dalam hal jumlah atau volume (massa) seperti yang diilustrasikan
dalam Gambar 2.11. Sejumlah persamaan dengan kompleksitas yang berbeda (dua hingga
empat konstanta yang dapat disesuaikan) telah disarankan untuk menggambarkan distribusi
seperti itu.

Gambar 2.11 Permisalan angka dan volume berdasarkan distribusi ukuran droplet pada posisi sauter
mean diameter dan diameter rata-rata penting lainnya
Sumber: Azzopardi (2011)
Namun, untuk banyak tujuan sebuah angka mencirikan ukuran droplet yang dibutuhkan.
Terkadang diameter median digunakan 50% lebih besar dari droplet (dalam jumlah atau
volume) median dan 50% lebih jecil. Ini biasanya diidentifikasikan sebagai D NM dan DVM.
Dalam beberapa kasus, diameter rata-rata aritmatik dapat cukup untuk menggambarkan
distribusi, tetapi karena luas permukaan droplet dan volume sebanding dengan kuadrat kubik
dari diameter.
Secara umum, mean diameter dapat didefinisikan sebagai:
16

1/(p-q)
∫ ∞ n(D)Dp dD
Dpq = [ ] ...............................................................................................(2-3)
∫ ∞ n(D)Dq dD
Sumber: Azzopardi (2011)
Atau dalam istilah dari finite number pada ukuran kelas diskrit
1/(𝑝−𝑞)
∑∞ ni 𝐷𝑖𝑝
Dpq = [∑𝑖=1
∞ ] ....................................................................................................(2-4)
ni 𝐷𝑖𝑞
𝑖=1
Sumber: Azzopardi (2011)
Diameter rata-rata dengan rasio volume ke permukaan yang sama dengan keseluruhan
ensemble (merupakan salah satu alogritma dalam pembelajaran mesin) dikenal sebagai
diameter rata-rata Sauter atau dikenal SMD (Sauter Mean Diameter).

2.10 Karakteristik Pembakaran Droplet Bahan Bakar Minyak


Proses pembakaran droplet termasuk kedalam proses difusi, seperti yang dipaparkan
pada Gambar 2.12, dikarenakan bahan bakar serta oksigen tidak dalam keadaan tercampur
sebelum mendapatkan energi aktivasi, saat mendapat energi panas maka droplet dapat
menguap serta tercampur dengan oksigen disekitarnya sehingga menghasilkan api difusi.

Gambar 2.12 Model pembakaran droplet


Sumber: Alan (2011)
Hasil pembakaran yang didapatkan dari pembakaran droplet tidak selalu berbentuk bulat
seperti gambar diatas, dikarenakan pengaruh gravitasi bumi, dimana api cenderung oval bila
menyala dalam lingkungan kondisi gravitasi.

2.11 Klasifikasi Pembakaran


Pada umumnya pembakaran digambarkan dengan tiga karakter. Salah satu jenis
pembakaran ditentukan melalui cara reaktan terbakar dalam zona reaksi. Gambar 2.13
menjelaskan apabila bahan bakar dan udara sebagai pengoksida tidak bercampur secara
mekanik, melainkan dibiarkan bercampur secara alami melalui proses difusi dalam ruang
17

bakar maka disebut sebagai pembakaran difusi. Sedangkan pembakaran premixed terjadi
dimana bahan bakar dan udara sudah bercampur terlebih dahulu secara mekanik sebelum
terjadi pembakaran. Pada penelitian ini jenis pembakaran yang digunakan adalah
pembakaran premixed.

Gambar 2.13 Cara reaktan terbakar a) Pembakaran premixed b) Pembakaran difusi


˗˗˗˗˗˗ Permukaan api premixed kaya bahan bakar, -------- Permukaan api premixed kaya
udara
Sumber: Wardana (2008:149)
Pada Gambar 2.13a) Menujukkan percampuran bahan bakar dan udara di zona reaksi
akibat difusi molekul dan setelah bercampur secara sempurna kemudian langsung terbakar.
Pada Gambar 2.13b) sebelum masuk ke ruang bakar, bahan bakar dan pengoksida (oksigen
atau udara) telah dicampur secara sempurna lalu terbakar di dalam zona reaksi. Proses
reaksinya berlangsung sangat cepat biasanya pada tekanan tetap. Setelah melewati zona
reaksi reaktan menjadi produk. Zona reaksinya sangat tipis yang disebut api premixed. Api
premixed dapat merambat menuju kearah reaktan dengan kecepatan unik. Jika kecepatan
reaktan sama dengan kecepatan rambatan api maka api (zona reaksi) stasioner.

2.11.1 Diffusion Flame


Diffusion Flame adalah api yang dihasilkan ketika bahan bakar dan oksigen bercampur
dan penyalaan dilakukan secara bersamaan. Laju difusi reaktan bisa dipengaruhi oleh energi
yag dimiliki oleh bahan bakar. Umumnya pada nyala api difusi pengaruh udara dari luar
sebagai oksidator pembakaran kan berpengaruh pada nyala api yang dihasilkan. Pemunculan
dari nyala api dapat tergantung pada sifat dari bahan bakar dan kecepatan pemancaran bahan
bakar terhadap udara sekitarnya (Nurdiana, 2016).
18

2.11.2 Premixed Flame


Premixed flame adalah api yang dihasilkan ketika bahan bakar bercampur dengan
oksigen yang telah tercampur sempurna sebelum pemberian sumber api. Umumnya indikasi
premixed flame dapat dilihat dari warna api yang berwarna biru. Laju pertumbuhan api
tergantung dari komposisi kimia bahan bakar yang digunakan (Nurdiana, 2016).

2.12 Klasifikasi Nyala Api


Dalam proses pembakaran, bahan bakar dan udara bercampur dan terbakar lalu
pembakarannya dapat terjadi baik dalam mode nyala api ataupun tanpa mode nyala api.
Bahan bakar merupakan segala substansi yang melepaskan panas ketika dioksidasi.
Sementara oksidator adalah segala substansi yang mengandung oksigen (misalnya udara)
yang dapat bereaksi dengan bahan bakar. Berdasarkan buku an introduction to combustion
concept and application, definisi api adalah pengembangan yang bertahan pada suatu daerah
pembakaran yang dialokasikan pada kecepatan subsonic.
Warna api dipengaruhi oleh dua hal yaitu kandungan bahan bakar dan campuran udara
yang ikut terbakar. Ketika api memiliki warna cenderung merah hal tersebut dapat diartikan
bahwa bahan terbakar api tersebut memiliki nilai kalor yang relatif rendah, atau udara yang
mencampuri proses pembakaran hanya sedikit sehingga campuran kaya. Saat api berwarna
kebiruan adalah sebaliknya yang merepresentasikan nilai kalor bahan bakar yang tinggi, atau
campuran miskin. Api hidrokarbon dikarakteristikkan oleh radiasinya yang tampak. Dengan
excess air, daerah reaksi terlihat biru.
Radiasi biru berasal dari eksitasi CH radikal di dalam daerah bertemperatur tinggi. Saat
udara berkurang yang menyebabkan stoikiometrinya berkurang, daerah api bewarna biru-
hijau yang berasal dari eksitasi C2. Dalam kedua jenis apai OH radikal memberikan
kontribusi terhadap radiasi yang tampak.jika campuran api kaya jelaga dapat terbentuk
akibat radiasi hitam. Meskipun radiasi jelaga memiliki intensitas maksimal dalam infra
merah, kepekaan spectrum mata manusia menyebabkan kita melihat cahaya kuning terang
(mendekati putih) akibat pudarnya emisi oranye, tergantung temperatur api (Nurdiana,
2016).

2.13 Equivalence Ratio


Rasio ekuivalen dapat dikatakan sebagai perbandingan antara rasio udara-bahan bakar
(AFR) teoritis dengan rasio udara-bahan bakar (AFR) aktual atau juga bisa dikatakan sebagai
19

perbandingan antara rasio bahan bakar-udara (FAR) aktual dengan rasio bahan bakar-udara
(FAR) teoritis, dapat dirumuskan sebagi berikut.
AFRt FARa
∅= = ...................................................................................................... (2-5)
AFRa FARt
Sumber: Wardana (2008)
Apabila ∅ > 1 maka terjadi kelebihan bahan bakar dan disebut sebagai campuran kaya
bahan bakar (fuel-rich mixture), jika ∅ < 1 campurannya disebut sebagai campuran miskin
bahan bakar (fuel-lean mixture), dan apabila ∅ = 1 merupakan campuran stoikiometri.

2.14 Kestabilan Api Premixed


Pada proses pembakaran, kestabilan api memiliki peranan yang sangat besar. Api dapat
dikatakan stabil apabila tetap stasioner pada posisi tertentu. Peristiwa ini bisa terjadi apabila
kecepatan gas reaktan sama dengan kecepatan rambatan api.
Untuk membahas mekanisme dari kestabilan api, kita dapat melihat pada Gambar 2.14
(b). Pada mulut nozzle api berbentuk kerucut. Permukaan kerucut merupakan permukaan api
atau permukaan gelombang pembakaran. Nozzle dibelah menjadi dua dan ditempatkan pada
posisi horizontal sehingga distribusi kecepatan dan gelombang pembakaran dapat terlihat
seperti pada Gambar 2.14.

Gambar 2.14 Mekanisme kestabilan api premixed (a) Bagian kerucut api; (b) Gradien kecepatan api
dan reaktan
Sumber: Wardana (2008:171)
Dari Gambar 2.14 dapat kita lihat jika kecepatan api lebih besar dari kecepatan gas
reaktan maka api mendekati mulut nozzle, sedangkan jika kecepatan api lebih kecil dari
kecepatan reaktan maka api menjauhi mulut nozzle. Api yang mendekati mulut nozzle adalah
20

peristiwa flashback, sedangkan gerakan api yang menjauhi mulut nozzle adalah peristiwa
blow-off. Baik flashback maupun blow-off merupakan ketidakstabilan api. Peristiwa ini juga
dapat dijelaskan dengan grafik perpotongan antara garis kecepatan gas reaktan dan garis
kecepatan pembakaran. Kondisi pembakaran yang stabil dapatterjadi jika garis kecepatan
reaktan menyinggung garis kecepatan pembakaran.

2.15 Flashback dan Lift-off pada Api Premixed


Ini terjadi akibat dari permasalahan pada kesetimbangan antara kecepatan api dan
kecepatan reaktan. Flashback adalah api masuk dan merambat kearah dalam tabung tanpa
quenching (Pendinginan).
Toleransi minimum untuk terjadi flashback ketika campuran reaktan berada pada
kondisi stoikiometri yang cukup kaya, sehingga terjadi kecepatan api laminar maksimum.
Kestabilan flashback yang dimiliki oleh gas alam lebih tinggi dari gas manufaktur
dikarenankan tingginya kecepatan api H2 pada gas manufaktur.
Lift-off dapat diartikan sebagai api yang tidak menyentuh mulut nozzle pembakar,
namun stabil pada jarak tertentu dari mulut nozzle. Kondisi ini bergantung pada keadaan api
dan sifat aliran dekat mulut nozzle. Pada kecepatan yang rendah, api mendekati mulut nozzle
dan menyentuhnya. Ketika kecepatan reaktan meningkat, sudut api mengecil, permukaan
hulu api menjauh sedikit saja dari mulut nozzle kearah hilir. Meningkatnya kecepatan reaktan
lebih lanjut dapat menyebabkan meningginya bagian hulu api ke posisi hilir yang jauh dari
mulut nozzle yang disebut terangkat (lifted) dan kemudian padam tertiup (blow-off). Hal ini
dijelaskan pada Gambar 2.15 terkait bentuk api flashback, lift-off, blow-off, dan stabil.

(a) (b) (c) (d) (e)


Gambar 2.15 Lifted dan blow-off a) Flashback, b) Stabil, c) Lift-off, d) Lifted, e) Blowoff
Sumber: Wardana (2008:169)
21

2.16 Blow-off
Blow-off merupakan suatu keadaan dimana nyala api padam akibat dari batas kecepatan
aliran lebih besar dari laju nyala atau kecepatan pembakaran. Kondisi seperti ini juga sangat
dihindari. Penelitian tentang blow-off yang dilakukan bersamaan dengan kondisi lift-off
menunjukkan bahwa pada fraksi massa bahan bakar yang rendah maka kecepatan blow off
juga menurun secara linier menjadi lebih rendah dari kecepatan aliran saat lift-off. Hal ini
yang mengakibatkan pada fraksi massa bahan bakar yang rendah tidak dapat terjadi lift-off
karena nyala langsung blow-off tanpa sempat mengalami lift-off. Sebaliknya pada kecepatan
aliran yang tinggi dan bilangan Reynold yang tinggi mendekati blow-off dapat terjadi
‘residual flame’ dan padamnya api di lokasi nyala.

2.17 Hipotesis
Semakin besar aliran debit bahan bakar biodiesel dari beberapa variasi yang disajikan,
maka api yang dihasilkan secara visualisasi api semakin besar. Sehingga variasi tersebut
mempengaruhi tinggi, lebar, dan luasan api biru. Pada keadaan extinction, semakin besar
massa alir bahan bakar maka kebutuhan O2 dalam keadaan extinction akan semakin kecil.
22

Halaman ini sengaja dikosongkan

Anda mungkin juga menyukai