Anda di halaman 1dari 41

ALIH BARING

Melakukan tindakan alih baring pada pasien


PENGERTIAN immobile untuk mencegah komplikasi akibat
immobilisasi
1. Mencegah kerusakan integritas kulit
TUJUAN
2. Memperbaiki sirkulasi dan perfusi
KEBIJAKAN Pada pasien dengan gangguan immobilisasi
PETUGAS Perawat
PERALATAN Bantal atau guling

A. Tahap Pra Interaksi


1. Melakukan verifikasi program pengobatan klien
2. Mencuci tangan
3. Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar

B. Tahap Orientasi
1. Memberikan salam sebagai pendekatan
therapeutic
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada
klien/keluarga
3. Menanyakan persetujua

n dan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan

C. Tahap Kerja
1. Menjaga privacy pasien
PROSEDUR
2. Merubah posisi dari terlentang ke miring:
PELAKSANAAN
a. Menata beberapa bantal disebelah klien
b. Memiringkan klien kearah bantal yang disiapkan
c. Menekuk lutut kaki yang atas
d. Memastikan posisi klien aman
3. Merubah posisi dari miring ke terlentang:
a. Menata beberapa bantal di sebelah klien
b. Menelentangkan klien kearah bantal yang
disiapkan
c. Meluruskan kedua lutut
d. Memastikan posisi klien aman
4. Merapikan pasien

D. Tahap Terminasi
1. Mengevaluasi hasil tindakan
2. Berpamitan dengan pasien/keluarga
3. Menginformasikan akan dating 2 jam lagi untuk
merubah

IAN
Melakukan tindakan alih baring pada pasien immobile untuk
mencegah komplikasi akibat immobilisasi
TUJUAN
1. Mencegah kerusakan integritas kulit
2. Memperbaiki sirkulasi dan perfusi
KEBIJAKAN Pada pasien dengan gangguan immobilisasi
PETUGAS Perawat
PERALATAN Bantal atau guling
PROSEDUR
PELAKSANAAN

A. Tahap Pra Interaksi


1. Melakukan verifikasi program pengobatan klien
2. Mencuci tangan
3. Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar
B. Tahap Orientasi
1. Memberikan salam sebagai pendekatan therapeutic
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada
klien/keluarga
3. Menanyakan persetujuan dan kesiapan klien
sebelum kegiatan dilakukan
C. Tahap Kerja
1. Menjaga privacy pasien
2. Merubah posisi dari terlentang ke miring:
3. Menata beberapa bantal disebelah klien
4. Memiringkan klien kearah bantal yang disiapkan
5. Menekuk lutut kaki yang atas
6. Memastikan posisi klien aman
7. Merubah posisi dari miring ke terlentang:
8. Menata beberapa bantal di sebelah klien
9. Menelentangkan klien kearah bantal yang
disiapkan
10. Meluruskan kedua lutut
11. Memastikan posisi klien aman
12. Merapikan pasien
D. Tahap Terminasi
1. Mengevaluasi hasil tindakan
2. Berpamitan dengan pasien/keluarga
3. Menginformasikan akan dating 2 jam lagi untuk
merubah posisi selanjutnya
4. Mencuci tangan
5. Mencatat kegiatan dalam lembar catat
Melakukan tindakan alih baring pada pasien immobile untuk mencegah komplikasi akibat
immobilisasi.
Alih baring adalah suatu keadaan dimana pasien mengalami imobilisasi dan mengharuskan
pasien melakukan gerakan-gerakan untuk menghindari bedrest agar tidak menimbulkan
decubitus.
Karena apabila pasien bedrest dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan kulit menjadi
lembab dan menyebabkan decubitus. Alih baring dilakukan dengan cara memiringkan pasien
dari terlentang ke miring ataupun sebaliknya biasanya alih baring mutlak diberikan kepada
penderita hemiplegic, koma dll.
Alih baring dilakukan setiap 2 jam kearah kanan dan 2 jam kearah kiri. Tanpa melihat sejauh
mana efektifitas keberhasilan dari alih baring tersebut, sementara pasien tetap terjadi dekubitus.
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL Tanggal Terbit : Unit Kerja :

Pengertian :
Memindahkan pasien yang tidak dapat/tidak boleh berjalan, dilakukan dari
tempat yang satu ke tempat yang lain.
Tujuan :
1. Mengurangi/menghindarkan pergerakan pasien sesuai dengan
keadaan fisiknya

2. Memenuhi kebutuhan konsultasi atau pindah ruangan

Kebijakan :
Pelaksanaan dilakukan oleh petugas yang terampil

Prosedur A.
: PERSIAPAN
1. Persiapan Alat :
- Kursi roda
- Handscun atau sarung tangan (jika perlu)
2. Persiapan Pasien :
- Pasien berada di tempat tidur
- Jelaskan prosedur pada pasien
- Atur posisi tempat tidur pasien pada posisi paling rendah, sampai kaki
pasien bisa menyentuh lantai.
- Letakkan kursi roda sejajar atau sedekat mungkin dengan tempat tidur,
kunci semua roda kursi
A. PELAKSANAAN
1. Bantu pasien duduk di tepi tempat tidur
2. Kaji postural hipotensi
3. Intruksikan pasien untuk bergerak ke depan dan duduk di tepi bed
4. Intruksikan mencondongkan tubuh ke depan mulai dari pinggul
5. Intruksikan meletakkan kaki yang kuat di bawah tepi bed, sedangkan kaki
yang lemah berada di depannya
6. Meletakkan tangan pasien di atas permukaan bed atau diatas kedua bahu
perawat
7. Berdiri tepat di depan pasien, condogkan tubuh ke depan, fleksikan
pinggul, lutut, dan pergelangan kaki. Lebarkan kaki dengan salah satu di
depan dan yang lainnya di belakang
8. Lingkari punggung pasien dengan kedua tangan perawat
9. Tangan otot gluteal, abdominal, kaki dan otot lengan anda siap untuk
melakukan gerakan
10. Bantu pasien untuk berdiri, kemudian bergerak-gerak bersama
menuju korsi roda
11. Bantu pasien untuk duduk, minta pasien untuk membelakangi
kursi roda, meletakkan kedua tangan di atas lengan kursi roda atau tetap
pada bahu perawat
12. Minta pasien untuk menggeser duduknya sampai pada posisi yang
paling aman
13. Turunkan tatakan kaki, dan letakkan kedua kaki pasien di
atasnya
Buka kunci roda pada kursi

Search

Blogger templates

Popular Posts

 KEBUTUHAN OKSIGENASI
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Oksigenasi adalah pemenuhan akan kebutuhan
oksigen (O2). Kebutuhan fisiologis oksigenasi merupakan...
 PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik adalah peninjauan dari ujung rambut sampai ujung kaki pada setiap
system tubuh yang memberikan informasi objektif tentang ...
 PENGENDALIAN INFEKSI
BAB I PENDAHULUAN 1.1 latar belakang Kesehatan yang baik tergantung pada lingkungan
yang aman. Praktisi atau teknisi yang memantau untu...
 KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cairan dan elektrolit sangat penting untuk
memoertahankan keseimbangan atau homeostasis tubuh. Ga...
 KEBUTUHAN AKTIVITAS: MOBILITAS
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk
bergerak bebas, mudah, teratur, mempunyai tujuan mem...
 SISTEM URINARIA
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saluran kemih terdiri dari ginjal yang terus menerus
membentuk kemih, dan berbagai saluran dan reser...
 HORMON PERTUMBUHAN (SOMATOTROPIN)
Somatotropin adalah hormon polipeptida yang memiliki berat molekul 22.000. Hormon ini
merupakan 10% dari berat kelenjar hipofisis kering. H...
 EMBRIOLOGI
Embriologi adalah ilmu yang mempelajari perkembangan embrio dalam rahim.
Embriogenesis adalah proses pembentukan dan perkembangan embrio. P...
 KEBUTUHAN ISTIRAHAT, TIDUR DAN BERMAIN
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Istirahat dan Tidur A. Istirahat Istirahat merupakan keadaan
relaks tanpa adanya tekanan emosional, bukan...
 PARTAI POLITIK INDONESIA
Partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan
tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelomp...

Blogger news

UNTUK PEMASANGAN IKLAN DENGAN HARGA TERJANGKAU, HUBUNGI 08977553488 ATAU


EMAIL rizckymrinaldi@gmail.com

Blogroll

About

Categories

 EMBRIOLOGI (1)
 FARMAKOLOGI (1)
 KDM (7)
 KEWARGANEGARAAN (1)

Diberdayakan oleh Blogger.

MAKALAH KEPERAWATAN
 BERANDA

KEBUTUHAN OKSIGENASI
POSTED ON 15.46 BY ADMIN | 2 COMMENTS

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Oksigenasi adalah pemenuhan akan kebutuhan oksigen (O2). Kebutuhan fisiologis
oksigenasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk kelangsungan
metabolisme sel tubuh, untuk mempertahankan hidupnya, dan untuk aktivitas berbagai
organ atau sel. Apabila lebih dari 4 menit orang tidak mendapatkan oksigen maka akan
berakibat pada kerusakan otak yang tidak dapat diperbaiki dan biasanya pasien akan
meninggal.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari kebutuhan oksigenisasi?
2. Sistem tubuh apa saja yang berperan dalam kebutuhan oksigenisasi?
3. Bagaimana terjadinya proses oksigenisasi beserta?
4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kebutuhan oksigenisasi?
5. Seperti apa jenis pernafasan dan pengukuran fungsi paru?
6. Bagaimana proses keperawatan pada masalah kebutuhan oksigenisasi?
1.3 Tujuan
• Untuk mengetahui hal yang berhubungan dengan kebutuhan oksigenisasi
• Untuk mengetahui jenis pernafasan dan pengukuran fungsi paru
• Untuk mengetahui proses keperawatan pada masalah kebutuhan oksigenisasi
1.4 Sitematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut
:
Bab I. Pendahuluan, berisi pendahuluan yang menjelaskan latar belakang masalah, rumusan
masalah, maksud dan tujuan, sistematika penulisan, metode penulisan.
Bab II. Pembahasan, berisi pembahasan yang menjelaskan tentang kebutuhan aktivitas
Bab III. Penutup, berisi kesimpulan, dan saran.
1.5 Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu dengan studi kepustakaan.
Studi kepustakaan adalah suatu metode pengumpulan data dengan cara mencari,
mengumpulkan, dan mempelajari materi-materi dari buku maupaun dari media informasi
lainnya dalam hal ini yang berkaitan dengan kebutuhan oksigenisasi.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kebutuhan Oksigenasi
Oksigen memegang peranan penting dalam semua proses tubuh secara fungsional. Tidak
adanya oksigen akan menyebabkan tubuh secara fungsional mengalami kemunduran atau
bahkan dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu, kebutuhan oksigen merupakan
kebutuhan yang paling utama dan sangat vital bagi tubuh.
Pemenuhan kebutuhan oksigen ini tidak terlepas dari kondisi sistem pernapasan secara
fungsional. Bila ada gangguan pada salah satu organ sistem respirasi, maka kebutuhan
oksigen akan mengalami gangguan. Sering kali individu tidak menyadari terhadap
pentingnya oksigen. Proses pernapasan dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.
Banyak kondisi yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan dalam pemenuhan
kebutuhan oksigen, seperti adanya sumbatan pada saluran pernapasan. Pada kondisi ini,
individu merasakan pentingnya oksigen.

2.2 Sistem Tubuh yang Berperan dalam Kebutuhan Oksigenasi


Saluran pernapasan bagian atas:
a. Hidung, proses oksigenasi diawali dengan masuknya udara melalui hidung.
b. esophagus.
c. Laring, merupakan saluran pernapasan setelah faring.
d. Epiglotis, merupakan katup tulang rawan yang bertugas menutup laring saat proses
menutup.
Saluran pernapasan bagian bawah:
a. Trakhea, merupakan kelanjutan dari laring sampai kira-kira ketinggian vertebrae torakalis
kelima.
b. Bronkhus, merupakan kelanjutan dari trakhea yang bercabang menjadi bronchus kanan
dan kiri.
c. Bronkiolus, merupakan saluran percabangan setelah bronchus.
d. Alveoli, merupakan kantung udara tempat terjadinya pertukaran oksigen dengan
karbondioksida.
e. Paru-Paru (Pulmo), Paru-paru merupakan organ utama dalam sistem pernapasan.

2.3 Proses Oksigenasi


a. Ventilasi
Merupakan proses keluar masuknya oksigen dari atmosfer ke dalam alveoli atau dari alveoli
ke atmosfer. Proses ventilasi di pengaruhi oleh beberapa hal, yaitu adanya perbedaan
tekanan antara atmosfer dengan paru, semakin tinggi tempat maka tekanan udara semakin
rendah, demikian sebaliknya, semakin rendah tempat tekanan udara semakin tinggi.
Pengaruh proses ventilasi selanjutnya adalah complienci dan recoil. Complience merupakan
kemampuan paru untuk mengembang. sedangkan recoil adalah kemampuan CO2 atau
kontraksi menyempitnya paru. Pusat pernapasan, yaitu medulla oblongata dan pons, dapat
dipengaruhi oleh ventilasi. Proses ventilasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor :
1. Adanya konsentrasi oksigen di atmosfer
2. Adanya kondisi jalan napas yang baik
3. Adanya kemampuan toraks dan alveoli pada paru-paru dalam melaksanakan ekspansi
atau kembang kempis.
b. Difusi Gas
Difusi gas merupakan pertukaran antara oksigen dialveoli dengan kapiler paru dan co2 di
kapiler dengan alveoli. Proses pertukaran ini dipengaruhi oleh beberapa paktor, yaitu
luasnya permukaan paru, tebal membran respirasi atau permeabilitas yang terdiri atas
epitel alveoli dan interstisial (keduanya dapat mempengaruhi proses difusi apabila terjadi
proses penebalan). Perbedaan tekanan dan konsentrasi O2 (hal ini sebagai mana O2 dari
alveoli masuk kedalam darah oleh karena tekanan O2 dalam rongga alveoli lebih tinggi dari
tekanan O2 dalam darah vena pulmonalis, masuk dalam darah secara difusi).
c. Transfortasi Gas
Transfortasi gas merupakan proses pendistribusian O2 kapiler ke jaringan tubuh dan Co2
jaringan tubuh ke kapiler. Transfortasi gas dapat dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu
curah jantung (kardiak output), kondisi pembuluh darah, latihan (exercise), perbandingan sel
darah dengan darah secara keseluruhan (hematokrit), serta eritrosit dan kadar Hb.

2.4 Jenis Pernapasan


1. Pernapasan Eksternal
Pernapasan eksternal merupakan proses masuknya O2 dan keluarnya CO2 dari tubuh, sering
disebut sebagai pernapasan biasa. Proses pernapasan ini dimulai dari masuknya oksigen
melalui hidung dan mulut pada waktu bernapas, kemudian oksigen masuk melalui trakea
dan pipa bronchial ke alveoli, lalu oksigen akan menembus membrane yang akan diikat oleh
Hb sel darah merah dan dibawa ke jantung. Setelah itu, sel darah merah dipompa oleh arteri
ke seluruh tubuh untuk kemudian meninggalkan paru dengan tekanan oksigen 100 mmHg.
2. Pernapasan Internal
Pernapasan internal merupakan proses terjadinya pertukaran gas antar sel jaringan dengan
cairan sekitarnya yang sering melibatkan proses Semua hormon termasuk derivate
catecholamine dapat melebarkan saluran pernapasan.

2.5 Pemeriksaan Fungsi Paru Dengan Alat Spirometri


Respirasi (Pernapasan atau ventilasi) sebagai suatu siklus inspirasi dan ekspirasi. Frekuensi
pernapasan orang dewasa normal berkisar 12 - 16 kali permenit yang mengangkut kurang
lebih 5 liter udara masuk dan keluar paru. Volume yang lebih rendah dari kisaran normal
seringkali menunjukkan malfungsi sistem paru. Volume dan kapasitas paru diukur dengan
alat berupa spirometer atau spirometri, sedang hasil rekamannya disebut dengan spirogram.
Udara yang keluar dan masuk saluran pernapasan saat inspirasi dan ekspirasi sebanyak 500
ml disebut dengan volume tidal, sedang volume tidal pada tiap orang sangat bervariasi
tergantung pada saat pengukurannya. Rata-rata orang dewasa 70% (350 ml) dari volume
tidal secara nyata dapat masuk sampai ke bronkiolus, duktus alveolus, kantong alveoli dan
alveoli yang aktif dalam proses pertukaran gas. Sedang sisanya sebanyak 30% (150 ml)
menetap di ruang rugi (anatomic dead space).
Volume total udara yang ditukarkan dalam satu menit disebut dengan minute volume of
respiration (MVR) atau juga biasa disebut menit vantilasi. MVR ini didapatkan dari hasil kali
antara volume tidal dan frekuensi pernapasan normal permenit. Rata-rata MVR dari 500 ml
volume tidal sebanyak 12 kali pernapasan permenit adalah 6000 ml/menit.
Volume pernapasan yang melebihi volume tidal 500 ml dapat diperoleh dengan mengambil
nafas lebih dalam lagi. Penambahan udara ini biasa disebut volume cadangan inspirasi
(Inspiratory reserve volume) sebesar 3100 ml dari volume tidal sebelumnya, sehingga
volume tidal totalnya sebesar 3600 ml.
Meskipun paru dalam keadaan kosong setelah fase ekspirasi maksimal, akan tetapi
sesungguhnya paru-paru masih memiliki udara sisa yang disebut dengan volume residu
yang mempertahankan paru-paru dari keadaan kollaps, besarnya volume residu sekitar
1200 ml.
Berikut cara pemeriksaan vital paru dengan alat spirometri :
1. Siapkan alat spirometri
2. Nyalakan alat terlebih dahulu dengan memencet tombol ON. Masukkan data seperti umur,
seks, TB, BB
3. Kemudian masukkan mouthpiece yang ada dalam alat spirometri kedalam mulutnya dan
tutuplah hidung dengan penjepit hidung.
4. Untuk mengatur pernapasan, bernapaslah terlebih dahulu dengan tenang sebelum
melakukan pemeriksaan.
5. Tekan tombol start jika sudah siap untuk memulai pengukuran.
6. Mulai dengan pernapasan tenang sampai timbul perintah dari alat untuk ekspirasi
maksimal (tidak terputus). Bila dilakukan dengan benar maka akan keluar data dan kurva
pada layar monitor spirometri.
7. Kemudian ulangi pengukuran dengan melanjutkan inspirasi dalam dan ekspirasi
maksimal.
8. Setelah selesai lepaskan mouthpiece, periksa data dan kurva kemudian dilanjutkan
dengan mencetak hasil rekaman (tekan tombol print pada alat spirometri).

2.6 Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Oksigen


Kebutuhan tubuh terhadap oksigen tidak tetap, sewaktu-waktu tubuh memerlukan oksigen
yang banyak, oleh karena suatu sebab. Kebutuhan oksigen dalam tubuh dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya lingkungan, latihan, emosi, gaya hidup dan status kesehatan.
1. Lingkungan
Pada lingkungan yang panas tubuh berespon dengan terjadinya vasodilatasi pembuluh
darah perifer, sehingga darah banyak mengalir ke kulit. Hal tersebut mengakibatkan panas
banyak dikeluarkan melalui kulit. Respon demikian menyebabkan curah jantung meningkat
dan kebutuhan oksigen pun meningkat. Sebaliknya pada lingkungan yang dingin, pembuluh
darah mengalami konstriksi dan penurunan tekanan darah sehingga menurunkan kerja
jantung dan kebutuhan oksigen.
Pengaruh lingkungan terhadap oksigen juga ditentukan oleh ketinggian tempat. Pada
tempat tinggi tekanan barometer akan turun, sehingga tekana oksigen juga turun.
Implikasinya, apabila seseorang berada pada tempat yang tinggi, misalnya pada ketinggian
3000 meter diatas permukaan laut, maka tekanan oksigen alveoli berkurang. Ini
menindikasikan kandungan oksigen dalam paru-paru sedikit. Dengan demikian, pada tempat
yang tinggi kandungan oksigennya berkurang. Semakin tinggi suatu tempat maka makin
sedikit kandungan oksigennya, sehingga seseorang yang berada pada tempat yang tinggi
akan mengalami kekurangan oksigen.
Selain itu, kadar oksigen di udara juga dipengaruhi oleh polusi udara. Udara yang dihirup
pada lingkungan yang mengalami polusi udara, konsentrasi oksigennya rendah. Hal tersebut
menyebabkan kebutuhan oksigen dalam tubuh tidak terpenuhi secara optimal. Respon
tubuh terhadap lingkungan polusi udara diantaranya mata perih, sakit kepala, pusing, batuk
dan merasa tercekik.
2. Latihan
Latihan fisik atau peningkatan aktivitas dapat meningkatkan denyut jantung dan respirasi
rate sehingga kebutuhan terhadap oksigen semakin tinggi.
3. Emosi
Takut, cemas, dan marah akan mempercepat denyut jantung sehingga kebutuhan oksigen
meningkat.
4. Gaya Hidup
Kebiasaan merokok akan memengaruhi status oksigenasi seseorang sebab merokok dapat
memperburuk penyakit arteri koroner dan pembuluh darah arteri. Nikotin yang terkandung
dalam rokok dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah perifer dan pembuluh darah
darah koroner. Akibatnya, suplai darah ke jaringan menurun.
5. Status Kesehatan
Pada orang sehat, sistem kardiovaskuler dan sistem respirasi berfungsi dengan baik
sehingga dapat memenuhi kebutuhan oksigen tubuh secara adekuat. Sebaliknya, orang
yang mempunyai penyakit jantung ataupun penyakit pernapasan dapat mengalami
kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan oksigen tubuh.

2.7 Gangguan Oksigenasi


Permasalahan dalam hal pemenuhan kebutuhan oksigen tidak terlepas dari adanya
gangguan yang terjadi pada sistem respirasi baik pada anatomi maupun fisiologis dari
organ-organ respirasi. Permasalahan dalam pemenuhan tersebut dapat disebabkan adanya
gangguan pada sistem tubuh lain, misalnya sistem kardiovaskuler.
Gangguan pada sistem respirasi dapat disebabkan diantaranya oleh peradangan, obstruksi,
trauma, kanker, degeneratif dan lain-lain. Gangguan tersebut akan menyebabkan kebutuhan
oksigen dalam tubuh tidak terpenuhi secara adekuat. Secara garis besar, gangguan-
gangguan respirasi dikelompokkan menjadi tiga yaitu gangguan irama/frekuensi
pernapasan, insufisiensi pernapasan dan hipoksia.
a. Gangguan irama/frekuensi pernapasan
1. Gangguan irama pernapasan antara lain:
a) Pernapasan ‘Cheyne-stokes’ yaitu siklus pernapasan yang amplitudonya mula-mula
dangkal, makin naik kemudian menurun dan berhenti. Lalu pernapasan dimulai lagi dengan
siklus baru. Jenis pernapasan ini biasanya terjadi pada klien gagal jantung kongesti,
peningkatan tekanan intrakranial, overdosis obat. Namun secara fisiologis, jenis pernapasan
ini terutama terdapat pada orang di ketinggian 12.000-15.000 kaki di atas permukaan laut
dan pada bayi saat tidur.
b) Pernapasan ‘Biot’ yaitu pernapasan yang mirip dengan pernapasan Cheyne-stokes, tetapi
amplitudonya rata dan disertai apnea. Keadaan pernapasan ini kadang ditemukan pada
penyakit radang selaput otak.
c) Pernapasan ‘Kussmaul’ yaitu pernapasan yang jumlah dan kedalamannya meningkat
sering melebihi 20 kali/menit. Jenis pernapasan ini dapat ditemukan pada klien dengan
asiidosis metabolik dan gagal ginjal.
2. Gangguan frekuensi pernapasan
a) Takipnea/hiperpnea, yaitu frekuensi pernapasan yang jumlahnya meningkat di atas
frekuensi pernapasa normal.
b) Bradipnea, yaitu kebalikan dari takipnea dimana ferkuensi pernapasan yang jumlahnya
menurun dibawah frekuensi pernapasan normal.

b. Insufisiensi pernapasan
Penyebab insufisiensi pernapasan dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama yaitu:
1. Kondisi yang menyebabkan hipoventilasi alveolus, seperti:
a) Kelumpuhan otot pernapasan, misalnya pada poliomielitis, transeksi servikal.
b) Penyakit yang meningkatkan kerja ventilasi, seperti asma, emfisema, TBC dan lain-lain.
2. Kelainan yang menurunkan kapasitas difusi paru:
a) Kondisi yang menyebabkan luas permukaan difusi berkurang, misalnya kerusakan
jaringan paru, TBC, kanker dan lain-lain.
b) Kondisi yang menyebabkan penebalan membran pernapasan, misalnya pada edema paru,
pneumonia, dan lain-lain.
c) Kondisi yang menyebabkan rasio ventilasi dan perfusi yang tidak normal dalam beberapa
bagian paru, misalnya pada trombosis paru.
3. Kondisi paru yang menyebabkan terganggunya pengangkutan oksigen dari paru-paru ke
jaringan yaitu:
a) Anemia dimana berkurangnya jumlah total hemoglobin yang tersedia untuk transpor
oksigen.
b) Keracunan karbondioksida dimana sebagian besar hemoglobin menjadi tidak dapat
mengankut oksigen.
c) Penurunan aliran darah ke jaringan yang disebabkan oleh karena curah jantung yang
rendah.
c. Hipoksia
Hipoksia adalah kekurangan oksigen di jaringan. Istilah ini lebih tepat daripada anoksia.
Sebab, jarang terjadi tidak ada oksigen sama sekali dalam jaringan. Hipoksia dapat dibagi ke
dalam empat kelompok yaitu hipoksemia, hipoksia hipokinetik, overventilasi hipoksia dan
hipoksia histotoksik.
1. Hipoksemia
Hipoksemia adalah kekurangan oksigen di darah arteri. Terbagi atas dua jenis yaitu
hipoksemia hipotonik (anoksia anoksik) dan hipoksemia isotonik (anoksia anemik).
Hipoksemia hipotonik terjadi dimana tekanan oksigen arteri rendah karena karbondioksida
dalam darah tinggi dan hipoventilasi. Hipoksemia isotonik terjadi dimana oksigen normal,
tetapi jumlah oksigen yang dapat diikat hemoglobin sedikit. Hal ini terdapat pada kondisi
anemia, keracunan karbondioksida.
2. Hipoksia Hipokinetik (stagnat anoksia/anoksia bendunagn)
Hipoksia hipokinetik yaitu hipoksia yang terjadi akibat adanya bendunagn atau sumbatan.
Hipoksia hipokinetik dibagi kedalam dua jenis yaitu hipoksia hipokinetik ischemic dan
hipoksia hipokinetik kongestif. Hipoksia hipokinetik ischemic terjadi dimana kekurangan
oksigen pada jaringan disebabkan karena kuarngnya suplai darah ke jaringan tersebut
akibat penyempitan arteri. Hipoksia hipokinetik kongestif terjadi akibat penumpukan darah
secara berlebihanatau abnormal baik lokal maupun umum yang mengakibatkan suplai
oksigen ke jaringan terganggu, sehingga jarinagn kekurangan oksigen.

3. Overventilasi hipoksia
Overventilasi hipoksia yaitu hipoksia yang terjadi karena aktivitas yang berlebihan sehingga
kemampuan penyediaan oksigen lebih rendah dari penggunaannya.
4. Hipoksia histotoksik
Hipoksia histotoksik yaitu keadaan dimana darah di kapiler jaringan mencukupi, tetapi
jaringan tidak dapat menggunakan oksigen karena pengaruh racun sianida. Hal tersebut
mengakibatkan oksigen kembali dalam darah vena dalam jumlah yang lebih banyak
daripada normal (oksigen darah vena meningkat).

2.8 Masalah Keperawatan Berkaitan dengan kebutuhan oksigen


a. Tidak efektifnya jalan napas
Masalah keperawatan ini menggambarkan kondisi jalan napas yang tidak bersih, misalnya
karena adanya sumbatan, penumpukan sekret, penyempitan jalan napas oleh karena
spasme bronkhus dan lain-lain.
b. Tidak efektifnya pola napas
Tidak efektifnya pola napas ini merupakan suatu kondisi dimana pola napas, yaitu respirasi
dan ekspirasi menunjukan tidak normal. Penyebabnya bisa karena kelemahan
neoromuskular, adanya sumbatan di trakheo-bronkhial, kecemasan dan lain-lain.
c. Gangguan pertukaran gas
Gangguan pertukaran gas merupakan suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan
antara oksigen yang dihirup dengan karbondioksida yang dikeluarkan pada pertukaran gas
antara alveoli dan kapiler. Penyebabnya bisa karena perubahan membran alveoli, kondisi
anemia, proses penyakit dan lain-lain.
d. Penurunan perfusi jaringan
Adalah suatu keadaan dimana sel kekurangan suplai nutrisi dan oksigen. Penyebabnya
dapat terjadi karena kondisi hipocolemia, hipervolemia, retensi karbondioksida, penurunan
cardiac output dan lain-lain
e. Intoleransi aktivitas
Adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami penurunan kemampuan untuk
melakukan aktivitasnya. Penyebabnya antara lain karena ketidakseimbangan antara suolai
dan kebututhan oksigen, produksi energi yang dihasilkan menurun dan lain-lain.

f. Perubahan pola tidur


Gangguan kebutuhan oksigen dapat mengakibatkan pola tidur terganggu. Kesulitan
bernapas (sesak napas) menyebakan seseorang tidak bisa tidur pada jam biasa tidur.
Perubahan pola tidur juga dapat terjadi karena kecemasan dengan penyakit yang
dideritanya.
g. Risiko terjadinya iskemik otak
Gangguan oksigenasi mengakibatkan suplai darah ke otak berkurang. Hal tersebut
disebabkan oleh cardiac output yang menurun, aliran darah ke otak berkurang, gangguan
perfusi otak, dan lain-lain. Akibatnya, otak kekurangan oksigen sehingga berisiko terjasi
kerusakan jaringan otak.

2.9 Metode pemenuhan kebutuhan oksigen


1. Pemberian oksigen
Pemberian oksigen merupakan tindakan memberikan oksigen ke dalam paru-paru melalui
saluran pernapasan dengan alat bantu oksigen. Pemberian oksigen pada pasien dapat
melalui tiga cara yaitu melalui kanula, nasal, dan masker. Pemberian oksigen tersebut
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan mencegah terjadinya hipoksia.
Persiapan Alat dan Bahan :
1. Tabung oksigen lengkap dengan flowmeter dan humidifier
2. Nasal kateter, kanula, atau masker
3. Vaselin,/lubrikan atau pelumas ( jelly)
Prosedur Kerja :
1. Cuci tangan
2. Jelaskan pada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan
3. Cek flowmeter dan humidifier
4. Hidupkan tabung oksigen
5. Atur posisi semifowler atau posisi yang telah disesuaikan dengan kondisi pasien.
6. Berikan oksigen melalui kanula atau masker.
7. Apabila menggunakan kateter, ukur dulu jarak hidung dengan telinga, setelah itu berikan
lubrikan dan masukkan.
8. Catat pemberian dan lakukan observasi.
9. Cuci tangan

2. Fisioterapi dada
Fisioterapi dada merupakan suatu rangkaian tindak keperawatan yang terdiri atas perkusi,
vibrasi dan postural drainage.
a. Perkusi
Disebut juga clapping adalah pukualn kuat, bukan berarti sekuat-kuatnya, pada dinding dada
dan punggung dengan tangan dibentuk seperti mangkuk.
Tujuannya, secara mekanik dapat melepaskan sekret yang melekat pada dinding bronkhus.
Prosedur:
1. Tutup area yang akan dilakkan perkusi dengan handuk atau pakaian untuk mengurangi
ketidaknyamanan.
2. Anjurkan klien tarik napas dalam dan lambat untuk meningkatkan relaksasi
3. Perkusi pada tiap segmen paru selama 1-2 menit
4. Perkusi tidak boleh dilakukan pada daerah dengan struktur yang mudah cedera seperti :
mammae, sternum dan ginjal.
b. Vibrasi
Getaran kuat secara serial yang dihasilkan oleh tangan perawat yang diletakkan datar pada
dinding dada klien.
Tujuannya, vibrasi digunakan setelah perkusi untuk meningkatkan turbulensi udara ekspirasi
dan melepaskan mukus yang kental. Sering dilakukan bergantian dengan perkusi,
Prosedur:
1. Letakkan telapak tangan, telapak tangan menghadap ke bawah di area dada yang akan di
drainage. Satu tangan diatas tangan yang lain dengan jari-jari menempel bersama dan
ekstensi. Cara yang lain: tangan bisa diletakkan secara bersebelahan.
2. Anjurkan klien menarik napas dalam melalui hidung dan menghembuskan napas secara
lambat lewat mulut atau pursed lips.
3. Selama masa ekspirasi, tegangkan seluruh otot tangan dan lengan dan gunakan hampir
semua tumit tangan. Getarkan (kejutkan) tangan keaarh bawah. Hentikan getaran jika klien
melakukan inspirasi.
4. Setelah tiap kali vibrasi, anjurkan klien batuk dan keluarkan sekret ke dalam tempat
sputum.
c. Postural drainage
Merupakan salah satu intervensi untuk melepaskan sekresi dari berbagai segmen paru-paru
dengan menggunakan pengaruh gaya gravitasi. Waktu yang terbaik utnuk melakukannya
yaitu sekitar 1 jam sebelum sarapan pagi dan sekitar 1 jam sebelum tidur pada malam hari.
Postural drainage harus lebih sering dilakukan apabila lendir klien berubah warnanya
menjadi kehijauan dan kental atau ketika klien menderita demam.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan postural drainage yaitu:
a. Batuk 2 atau 3 kali berurutan setelah setiap kali berganti posisi
b. Minum air hangat setiap hari sekitar 2 liter.
c. Jika harus menghirup bronkodilator, lakukanlah 15 menit sebelum melakukan postural
drainage
d. Lakukan latihan napas dan latihan lain yang dapat membantu mengencerkan lendir.
Peralatan:
a. Bantal
b. Papan pengatur posisi
c. Tisu wajah
d. Segelas air
e. Sputum pol
Prosedur:
1. cuci tangan
2. pilih area yang tersumbat yang akan di drainage berdasarkan pengkajian semua area
paru, data klinis dan chest X-ray.
3. Baringkan klien dalam posisi untuk mendrainage area yang tersumbat.
4. Minta klien mempertahankan posisi tersebut selama 10-15 menit.
5. Selama 10-15 menit drainage pada posisi tersebut, lakukan perkusi dan vibrasi dada
diatas area yang di drainage
6. Setelah drainage pada posisi pertama, minta klien duduk dan batuk. Bila tidak bisa batuk,
lakukan suction. Tampung sputum di sputum spot.
7. Minta klien istirahat sebentar bila perlu
8. Anjurkan klien istirahat sebentar bila perlu.
9. Anjurkan klien minum sedikit air.
10. Ulangi langkah 3-8 sampai semua area tersumbat telah ter drainage
11. Ulangi pengkajian dada pada semua bidang paru.
12. Cuci tangan
13. Dokumentasikan

3. Napas dalam dan batuk efektif


a. Napas dalam
Yaitu bentuk latihan napas yang terdiri dari atas pernapasan abdominal (diafragma) dan
purse lips breathing.
Prosedur:
1. Atur posisi yang nyaman
2. Fleksikan lutut klien untuk merelaksasikan otot abdomen
3. Tempatkan 1 atau 2 tangan pada abdomen, tepat dibawah tulang iga
4. Tarik napas dalam melalui hidung, jaga mulut tetap tertutup. Hitung samapi 3 selama
inspirasi
5. Hembuskan udara lewat bibir seperti meniup (purse lips braething) secara perlahan-lahan
b. Batuk efektif
Yaitu latihan batuk untuk mengeluarkan sekret.
Prosedur:
1. Tarik napas dalam lewat hidung dan tahan napas untuk beberapa detik
2. Batukkan 2 kali. Pada saat batuk tekan dada dengan bantal. Tampung sekret pada sputum
pot.
3. Hindari penggunaan waktu yang lama selama batuk karena dapat menyebabkan fatigue
dan hipoksia.

4. Suctioning (pengisapan lendir)


Pengisapan lendir (suction) merupakan tindakan pada pasien yang tidak mampu
mengeluarkan sekret atau lendir secara sendiri. Tindakan tersebut dilakukan untuk
membersihkan jalan napas dan memenuhi kebutuhan oksigenasi.
Persiapan Alat dan Bahan :
1. Alat pengisap lendir dengan botol yang berisi larutan desinfektan
2. Kateter pengisap lendir
3. Pinset steril
4. Dua kom berisi larutan akuades/NaCl 0,9% dan larutan desinfektan
5. Kasa steril
6. Kertas tisu
Prosedur Kerja :
1. Cuci tangan
2. Jelaskan pada pasien mengenai prosedur yang akan dilaksanakan.
3. Atur pasien dalam posisi terlentang dan kepala miring ke arah perawat
4. Gunakan sarung tangan
5. Hubungakan kateter penghisap dengan selang penghisap
6. Hidupkan mesin penghisap
7. Lakukan penghisapan lendir dengan memasukan kateter pengisap ke dalam kom berisi
akuades atau NaCl 0,9% untuk mencegah trauma mukosa.
8. Masukkan kateter pengisap dalam keadaan tidak mengisap
9. Tarik lendir dengan memutar kateter pengisap sekitar 3-5 detik
10. Bilas kateter dengan akuades atau NaCl 0,9%
11. Lakukan hingga lendir bersih
12. Catat respon yang terjadi
13. Cuci tangan

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Oksigen memegang peranan penting dalam semua proses tubuh secara fungsional. Tidak
adanya oksigen akan menyebabkan tubuh secara fungsional mengalami kemunduran atau
bahkan dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu, kebutuhan oksigen merupakan
kebutuhan yang paling utama dan sangat vital bagi tubuh.
Pemenuhan kebutuhan oksigen ini tidak terlepas dari kondisi sistem pernapasan secara
fungsional. Bila ada gangguan pada salah satu organ sistem respirasi, maka kebutuhan
oksigen akan mengalami gangguan.
3.2 Saran
Dalam mempelajari materi ini, harusnya mahasiswa dan pembaca dapat mencari berbagai
referensi agar isi tidak menyimpang dari materi dan sesuai dengan yang seharusnya pada
BPKM.

DAFTAR PUSTAKA
Asmadi, 2008, Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien,
Jakarta: Salemba Medika
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia : Aplikasi Konsep dan
Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Categories: KDM
Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda

2 komentar:

1.

Noval si Jemes Bond8 Mei 2013 00.34


yaudah bagus
Balas

2.

andi rahmat adnan rizal8 Desember 2014 05.27


makalahnya sangat membantu kk.tugas aku slesai .yah smoga
mendapatkan banyak pahala dan sukses slalu yah kk
Balas
Langganan: Posting Komentar (Atom)
Copyright © 2019 MAKALAH KEPERAWATAN | Powered by Blogger
Design by Fabthemes | Blogger Template by NewBloggerThemes.com

A. PENGERTIAN
Pengertian aktivitas adalah suatu energi atau keadaan bergerak dimana manusia memerlukannya
untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Kemampuan seseorang untuk melakukan suatu aktivitas seperti
berdiri, berjalan dan bekerja merupakan salah satu dari tanda kesehatan individu tersebut dimana
kemampuan aktivitas seseorang tidak terlepas dari keadekuatan sistem persarafan dan muskuloskeletal.
Aktivitas fisik yang kurang memadai dapat menyebabkan berbagai gangguan pada sistem
musculoskeletal seperti atrofi otot, sendi menjadi kaku dan juga menyebabkan ketidakefektifan fungsi
organ internal lainnya.
Latihan merupakan suatu gerakan tubuh secara aktif yang dibutuhkkan untuk menjaga kinerja otot
dan mempertahankan postur tubuh. Latihan dapat memelihara pergerakan dan fungsi sendi sehingga
kondisinya dapat setara dengan kekuatan dan fleksibilitas otot. Selain itu, latihan fisik dapat membuat
fungsi gastrointestinal dapat bekerja lebih optimal dengan meningkatkan selera makan orang tersebut
dan melancarkan eliminasinya karena apabila seseorang tidak dapat melakukan aktifitas fisik secara
adekuat maka hal tersebut dapat membuat otot abdomen menjadi lemah sehinga fungsi eliminasinya
kuang efektif.
Aktivitas sehari-hari (ADL) merupakan salah satu bentuk latihan aktif pada seseorang termasuk
didalamnya adalah makan/minum, mandi, toileting, berpakaian, mobilisasi tempat tidur, berpindah dan
ambulasi/ROM. Pemenuhan terhadap ADL ini dapat meningkatkan harga diri serta gambaran diri pada
seseorang, selain itu ADL merupakan aktifitas dasar yang dapat mencegah individu tersebut dari suatu
penyakit sehingga tindakan yang menyangkut pemenuhan dalam mendukung pemenuhan ADL pada
klien dengan intoleransi aktifitas harus diprioritaskan.
Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah dan
teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan guna mempertahankan kesehatannya. Kehilangan
kemampuan untuk bergerak menyebabkan ketergantungan dan ini membutuhkan tindakan keperawatan.
Mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan kemandirian diri, meningkatkan kesehatan dan memperlambat
proses penyakit – khusunya proses degeneratif dan untuk aktualisasi diri (harga diri dan citra
tubuh). Imobilitas atau imobilisasi merupakan keadaan dimana seseorang tidak dapat bergerak secara
bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan misalnya mengalami trauma tulang belakang,
cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas dan sebagainya.

B. NILAI-NILAI NORMAL
Kategori tingkat kemampuan aktivitas adalah sebagai berikut :
Tingkat aktivitas / mobilitas Kategori
Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara penuh
Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat
Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau pengawasan orang
lain
Tingkat 3 Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain
dan peralatan
Tingkat 4 Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan
atau berpartisipasi dalam perawatan
Keadaan postur yang seimbang sesuai dengan garis sumbu dengan sentralnya adalah gravitasi.
Kemampuan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan seperti kemampuan mangangkat beban,
maksimal 57 %.

C. HAL-HAL YANG PERLU DIKAJI PADA KLIEN YANG MENGALAMI GANGGUAN KEBUTUHAN
AKTIVITAS DAN LATIHAN
ngkat aktivitas sehari-hari
- Pola aktivitas sehari-hari
- Jenis, frekuensi dan lamanya latihan fisik
2. Tingkat kelelahan
- Aktivitas yang membuat lelah
- Riwayat sesak napas
3. Gangguan pergerakan
- Penyebab gangguan pergerakan
- Tanda dan gejala
- Efek dari gangguan pergerakan
4. Pemeriksaan fisik
- Tingkat kesadaran
- Postur/bentuk tubuh (Skoliosis, Kiposis, Lordosis, Cara berjalan)
- Ekstremitas (Kelemahan, Gangguan sensorik, Tonus otot, Atropi, Tremor, Gerakan tak terkendali,
Kekuatan otot, Kemampuan jalan, Kemampuan duduk, Kemampuan berdiri, Nyeri sendi, Kekakuan
sendi)
MAKALAH KDM Kebutuhan Dasar Mobilisasi dan Transportasi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam angka memenuhi kebutuhan dasar manusia dan asuhan keperawatan, salah satu tugas
perawat yaitu memenuhi kebutuhan mobilisasi dimana saat itu pasien tidak memiliki kemampuan untuk
melakukan pepindahan secara mandiri. Oleh karena itu kami akan membahas bagaimana cara
melakukan mobilisasi pada pasien yang akan berpindah dari tempat tidur ke kursi roda dan dari tempat
tidur ke kereta dorong (brankart).

1.2 Identifikasi Masalah

Bagaimana cara memindahkan pasien dari :

1. Tempat tidur ke kursi roda, dan

2. Tempat tidur ke kereta dorong (brankart).

1.3 Tujuan Penulisan

 Tujuan umum :

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebutuhan Dasar Manusia I yang diberikan
oleh .................................................

 Tujuan Khusus :

1. Untuk mengetahui cara membantu pasien dalam berpindah dari tempat tidur ke kursi roda, dan

2. Untuk mengetahui cara membantu pasien dalam berpindah dari tempat tidur ke kereta dorong
(brankart)
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Mobilisasi

Pengkajian mobilitas pasien berfokus pada rentang gerak (Orange of motion), cara berjalan,
latihan fisik, toleransi aktivitas, dan kesejajaran tubuh. Bagian ini akan membahas rentang gerak saja.
Rentang gerak adalah jumlah maksimum gerakan yang mungkin pada satu sendi dalam salah satu dari
tiga potongan tubuh, seperti sagital, frontal, dan transversal. Rentang gerak adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan rentang penuh gerakan sendi. Bahkan ketika pasien mampu berdiri
untuk berjalan dengan jarak pendek atau duduk dikursi, mereka mungkin perlu lebih banyak melatih
beberapa sendi. .

1. Latihan rentang gerak aktif


Latihan disebut rentang gerak aktif jika pasien melakukan sendiri dengan instruksi dan
kemungkinan beberapa bantuan dari perawat dan anggota keluarga. Perawat menunjukkan pasien
bagaimana melakukan latihan pada titik tahanan ringan. Latihan tidak boleh menimbulkan nyeri.

2. Latihan rentang gerak pasif

Kadangkala pasien terlalu sakit untuk melakukan latihan rentang gerak pada kasus ini perawat
melatih seni untuk pasien. Ini disebut latihan rentang gerak pasif.

Beberapa pasien mulai dengan latihan rentang gerak pasif dan meningkat pada latihan rentang
gerak aktif. Latihan rentang gerak pasif, seperti yang aktif, harus dilakukan pada titik tahanan tetapi
bukan pada titik yang menyebabkan nyeri. Kewaspadaan klinis: latihan rentang gerak pasien tidak boleh
dilakukan pada sendi yang mengalami inflamasi.

Ketika mengkaji rentang gerak, perawat mengajukan anamnese (pertanyaan) dan membuat
observasi untuk mengumpulkan data tentang kekakuan sendi, pembengkakan sendi, nyeri, keterbatasan
sendi, dan gerakan yang tidak seimbang. Pasien yang mobilitas sendinya terbatas karena penyakit,
viabilitas, atau trauma memerlukan latihan sendi untuk mengurangi bahaya mobilitas.

Teknik ini dapat digunakan oleh perawat untuk memberi perawatan pada klien imobilisasi.
Teknik ini membutuhkan mekanika tubuh yang sesuai sehingga memungkinkan perawat untuk
menggerakan, mengangkat atau memindahkan klien dengan aman dan juga melindungi perawat dari
cedera sistem musculoskeletal. Tujuannya untuk mengurangi resiko cedera pada klien dan perawat

Hal-hal yang harus dipersiapkan:

a) Kaji kekuatan otot, mobilisasi sendi, paralisis atau paresis, hipotensi, ortostatik, toleransi aktivitas, tingkat
kesadaran, tingkat kenyamanan, dan kemampuan klien mengikuti instruksi

b) Siapkan peralatan dan persediaan yang dibutuhkan

c) Jelaskan prosedur kepada klien

d) Tutup pintu atau gorden

e) Cuci tangan

2.2 Mobilisasi dan Transportasi pada Pasien

a) Memindahkan pasien dari tempat tidur ke kursi roda

Sebelum kita membantu pasien untuk berpindah ke kursi roda, yang harus kita lakukan adalah
mengkaji kekuatan otot, mobilisasi sendi, paralisis atau paresis, hipotensi, ortostatik, toleransi aktivitas,
tingkat kesadaran, tingkat kenyamanan, dan kemampuan klien mengikuti instruksi. Diana tujuan dari
pengkajian ini adalah agar mengurangi resiko cedera pada klien dan perawat.

 Pengertian

Suatu kegiatan yang dilakukan pada klien dengan kelemahan kemampuan fungsional untuk berpindah
dari tempat tidur ke kursi roda.(Firmansyah, Memindahkan Pasien Ke Kursi, 2009).
 Tujuan

1. Melatih otot skelet untuk mencegah kontraktur atau sindrom disuse,

2. Mempertahankan kenyamanan pasien,

3. Mempertahankan kontrol diri pasien,

4. Memindahkan pasien untuk pemeriksaan(diagnostik, fisik, dll.),

5. Memungkinkan pasien untuk bersosialisasi,

6. Memudahkan perawat yang akan mengganti seprei (pada pasien yang toleransi dengan kegiatan ini), dan

7. Memberikan aktifitas pertama (latihan pertama) pada pasien yang tirah baring.

 Waktu Pelaksanaan

Aktivitas ini dilakukan pada pasien yang membutuhkan bantuan untuk berpindah dari tempat tidur ke
kursi roda.(Suparyanto, 2010).

 Persiapan:

 Kaji kekuatan otot pasien,

 Mobilitas sendi,

 Toleransi aktivitas,

 Tingkat kesadaran,

 Tingkat kenyamanan,

 Kemampuan untuk mengikuti instruksi.

 Selalu kunci rem pada kedua roda kursi sebelum anda memindahkan pasien ke kursi roda. Naikkan
sanggaan kaki sehingga pasien dapat duduk di kursi roda. Turunkan sangaan kaki ketika pasien berada di
atas kursi roda.

 Alat dan Bahan :

 Kursi Roda,

 Handscun atau sarung tangan (jika perlu),

 Sabuk pemindah (bila diperlukan),


 Kursi roda (posisi kursi pada sudut 45 terhadap tempat tidur, dikunci, angkat penyokong kaki, dan kunci
kaki tempat tidur),

 Jelaskan prosedur pada pasien, dan

 Tutup pintu atau pasang tirai.

 Cara Kerja :

1. Cuci tangan,

2. Lakukan persiapan yang telah disebutkan di atas,

3. Bantu pasien untuk posisi duduk di tepi tempat tidur, dan siapkan kursi roda dalam posisi 45 terhadap
tempat tidur,

4. Pasang sabuk pemindah bila perlu,

5. Pastikan bahwa pasien menggunakan sepatu/sandal yang stabil dan tidak licin,

6. Renggangkan kedua kaki Anda,

7. Fleksikan kedua panggul dan lutut Anda, sejajarkan lutut Anda dengan lutut pasien,

8. Genggam sabuk pemindah dari bawah atau rangkul aksila pasien dan tempatkan tangan Anda di skapula
pasien,

9. Angkat pasien sampai berdiri pada hitungan ke-3 sambil meluruskan panggul dan tungkai Anda, dengan
tetap mempertahankan lutut agak fleksi,

10. Pertahankan stabilitas tungkai yang lemah atau paralisis dengan lutut,

11. Tumpukan pada kaki yang jatuh dari kursi,

12. Instrusikan pasien untuk menggunakan lengan yang memegang kursi untuk menyokong,

13. Fleksikan panggul dan lutut Anda sambil menurunkan pasien ke kursi,

14. Kaji pasien untuk kesejajaran yang tepat untuk posisi duduk,

15. Posisikan pasien pada posisi yang dipilih,

16. Observasi pasien untuk menentukan respons terhadap pemindahan. Observasi terhadap kesejajaran
tubuh yang tepat dan adanya titik tekan,

17. Cuci tangan setelah prosedur yang dilakukan, dan

18. Catat prosedur dalam catatan keperawatan.

Tabel 1.1 Tindakan dan rasional saat pemindahan pasien ke kursi roda
No Tindakan Rasional
1 Cuci tangan Menghindari terjadinya kontaminasi silang perawat ke
pasien
2 Kursi roda dalam posisi 45° Agar pasien mudah untuk dipindahkan, duduk di kursi roda
terhadap tempat tidur

3 Sabuk pemindah (jika perlu) agar pasien tidak terjatuh saat dipindahkan ke
kursi roda
4 Sepatu / Sandal Agar aman dan terlindungi dari benda-benda yang
membahayakan dan/atau melukai kaki pasien

5 Fleksikan kedua panggul dan lutut Untuk mensejajarkan posisi agar mempermudah dalam
pengangkatan pemindahan pasien

6 Menggunakan lengan yang Agar pasien duduk dengan nyaman, pantatnya tidak
memegang kursi untuk menyokong terhempas

7 Observasi pasien Memeriksa tingkat respons pasien, mengetahui jika ada


cedera atau perubahan fisik yang mungkin terjadi saat kita
melakukan tindakan pemindahan pasien

8 Cuci tangan sesudah prosedur menghindari terjadinya kontaminasi silang pasien ke


perawat
9 Mencatat prosedur Pendokumentasian

Memindahkan pasien dari kursi roda ke tempat tidur

 Pengertian

Memindahkan klien dari atas kursi roda ke tempat tidur dengan maksud tertentu

 Tujuan

Mengembalikan klien ke tempat idur setelah menjalani prosedur tertentu atau setelah aktivitas lain

 Persiapan alat

Sarung tangan (jika perlu)

 Langkah prosedur

1. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

2. Atur kursi roda dalam posisi terkunci dan dekatkan dengan tempat tidur (pastikan juga dalam posisi
terkunci)
3. Ankat kedua tatakan kursi roda dan minta klien untuk meletakkan kaki yang kuat di bawah kursi roda
sedangkan kaki yang lemah di depannya

4. Minta klien untuk berpegangan pada kedua lengan kursi roda dengan kuat sambil menghentakkan tubuh
(jika tetap tidak mampu, rangkul tubuh klien dan bantu klien untuk berdiri)

5. Minta klien untuk berpegangan pada tepi tempat tidur

6. Bantu klien duduk di tepi tempat tidur

7. Minta klien untuk beringsut ke bagian tengah tempat tidur hingga klien dapat berbaring

8. . Atur posisi klien hingga merasa nyaman di tempat tidur

9. Bawa kursi roda menjauh dari tempat tidur klien

b) Membantu Pasien Berpindah dari Tempat Tidur ke Kereta Dorong (Brankart)

 Pengertian

Tindakan pemindahan pasien yang dilakukan oleh dua sampai tiga orang perawat. Pemindahan ini dapat
dari tempat tidur ke brankart atau tempat tidur ke tempat tidur lain. Pemindahan ini biasanya dilakukan
pada pasien yang tidak dapat dan atau tidak boleh melakukan pemindahan sendiri. Hal yang perlu
disiapkan sama dengan pemindahan pasien dari tempat tidur ke kursi roda.(Hidayat & Uliyah, 2004)

 Tujuan

Memindahkan pasien dari ruangan ke ruangan lain untuk tujuan tertentu (pemeriksaan diagnostik,
pindah ruangan, dll.).(Firmansyah, Memindahkan Pasien dari Tempat Tidur ke Brangkar, 2009)

 Waktu Pelaksanaan

Aktivitas ini dilakukan pada pasien yang membutuhkan bantuan untuk berpindah dari tempat tidur ke
kursi roda.(Hidayat & Uliyah, 2004)

 Persiapan :

 Kaji kekuatan otot pasien,

 Mobilitas sendi,

 Toleransi aktivitas,

 Tingkat kesadaran,

 Tingkat kenyamanan, dan

 Kemampuan untuk mengikuti instruksi.


 Alat dan Bahan :

 Brankart atau tempat tidur, dan

 Bantal (bila perlu).

 Cara Kerja

1. Cuci tangan,

2. Lakukan persiapan seperti disebut di atas,

3. Dua atau tiga perawat dengan tinggi badan kurang lebih sama yang berdiri berdampingan menghadap
tempat tidur pasien,

4. Setiap orang bertanggung jawab untuk salah satu dari area tubuh pasien (kepala dan bahu, panggul,
paha, dan pergelangan kaki),

5. Masing-masing pasien membentuk dasar pijakan yang luas yang mendekat ke tempat tidur di depan,
lutut agak fleksi,

6. Lengan pangangkat ditempatkan di bawah kepala dan bahu, panggul, paha dan pergelangan kaki pasien,
dengan jari jemari mereka menggenggam sisi tubuh pasien,

7. Pengangkat menggulingkan pasien kearah dada mereka,

8. Pada hitungan ke-3, pasien diangkat dan digendong ke dada perawat,

9. Pada hitungan ke-3 yang kedua, perawat melangkah ke belakang dan menumpu salah satu kaki untuk
mengarah ke brankart/tempat tidur lain, dengan bergerak ke depan (bila perlu),

10. Perawat dengan perlahan menurunkan pasien ke bagian tengah brankart/tempat tidur lain dengan
memfleksikan lutut dan panggul mereka sampai siku mereka pada setinggi tepi brankart/tempat tidur,

11. Perawat mengkaji kesejajaran tubuh pasien, tempatkan pagar tempat tidur pada posisi terpasang,

12. Posisikan pasien pada posisi yang dipilih,

13. Observasi pasien untuk menentukan respons terhadap pemindahan. Observasi terhadap kesejajaran
tubuh yang tepat dan adanya titik tekan,

14. Cuci tangan setelah prosedur dilakukan, dan

15. Catat prosedur dalam catatan keperawatan.

Tabel 1.1 Tindakan dan rasional saat pemindahan pasien ke brankart

No Tindakan Rasional
1 Cuci tangan Menghindari terjadinya kontaminasi silang perawat ke pasien
2 Dua atau tiga perawat Dengan tinggi badan kurang lebih sama yang berdiri berdampingan
menghadap tempat tidur pasien, untuk mempermudah
memindahkan pasien

3 Menggulingkan pasien kearah Untuk mempererat pengangkatan pasien sehingga tidak terjadi
dada resiko yang membahayakan jiwa pasien, misal : terjatuh

4 Observasi pasien Memeriksa tingkat respons pasien, mengetahui jika ada cedera
atau perubahan fisik yang mungkin terjadi saat kita melakukan
tindakan pemindahan pasien

5 Cuci tangan sesudah prosedur menghindari terjadinya kontaminasi silang pasien ke perawat

6 Mencatat prosedur Pendokumentasian

Memindahkan klien dari brankart ke tempat tidur

 Pengertian

Memindahkan klien dari atas brankart ke tempat tidur dengan maksud tertentu

 Tujuan

1. Melaksanakan tindakan perawatan tertentu yang tidak dapat dikerjakan diatas brankart

2. Memindahkan klien pada tempat perawatan selanjutnya

 Persiapan alat

Sarung tangan (jika perlu)

 Langkah prosedur

1. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

2. Atur brankart dalam posisi terkunci dan dekatkan dengan tempat tidur

3. Satu perawat berada disisi tempat tidur, sedangkan posisi dua perawat yang lain di samping brankart

4. Silangkan tangan klien didepan dada

5. Gunakan pengalas dibawah tubuh klien untuk media mengangkat

6. perawat yang berada di sisi tempat tidur, memegang dan siap menarik pengalas
7. Dua perawat lain yang berada di samping brankart, mengangkat pengalas dzn tubuh klien hingga
mencapai tempat tidur

8. Jauhkan brankart

9. Atur posisi klien hingga merasa nyaman di tempat tidur


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

 Pengkajian keperawatan pada masalah mekanika tubuh dan ambulasi, antara lain menilai adanya
kemampuan dan keterbatasan dalam bergerak dengan cara bangkit dari posisi berbaring ke posisi duduk,
kemudian bangkit dari kursi ke posisi berdiri, atau perubahan posisi.

 Diagnosis keperawatan yang dapat terjadi pada masalah mekanika tubuh dan ambulasi antara lain :

 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan adanya kelemahan akibat spasme musculoskeletal pada
ekstrimitas, nyeri akibat peradangan sendi, atau penggunaan alat bantu dalam waktu lama,

 Risiko cedera berhubungan dengan adanya pasilisis, gaya berjalan tidak stabil, atau penggunaan tongkat
yang tidak benar,

 Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik secara umum.

 Perencanaan keperawatan diantaranya :

 Terapi latihan, mobilitas sendi,

 Pengaturan posisi,

 Berikan penguatan positif selama aktivitas,

 Dukung pasien untuk memandang keterbatasan secara realistis,

 Monitor keterbatasan aktivitas, kelemahan saat aktivitas,

 Bantu pasien dalam melakukan aktivitas sendiri,


 Catat tanda vital sebelum dan sesudah aktivitas,

 Lakukan diet yang adekuat dengan kolaborasi ahli diet,

 Berikan pendidikan kesehatan.

 Pelaksanaan/tindakan keperawatan dengan :

 Latihan ambulasi,

 Membantu ambulasi dengan memindahkan pasien.

3.2 Saran

Evaluasi keperawatan yang diharapkan dari hasil tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah
mekanika tubuh dan ambulasi adalah untuk menilai kemampuan pasien dalam penggunaan mekanika
tubuh dengan baik.

Daftar Pustaka
Perry, Peterson, Potter; Buku Saku Keterampilan dan Prosedur Dasar

Azis Alimul Hidayat, S.Kp; Buku Saku Praktikum KDM

WHO. 2005. Pedoman Perawatan Pasien. Jakarta:EGC

http://andaners.wordpress.com/2009/06/19/memindahkan-pasien-dari-tempat-tidur-ke-brangkar/

http://tiaralufitasari.blogspot.com/2012/01/teknik-memindahkan-dan-transportasi.html

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Eliminasi fekal adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh berupa
bowel (feses). Pengeluaran feses yang sering, dalam jumlah besar dan
karakteristiknya normal biasanya berbanding lurus dengan rendahnya
insiden kanker kolorektal (Robinson& Weigley, 1989). Defekasi adalah
pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel
movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari
beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga
bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses
kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang
dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi. Eliminasi
yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk fungsi tubuh yang
normal. Perubahan pada eliminasi dapat menyebabkan masalah pada
gastrointestinal dan bagian tubuh yang lain. Karena fungsi usus tergantung
pada keseimbangan beberapa faktor, pola eliminasi dan kebiasaan masing-
masing orang berbeda. Klien sering meminta pertolongan dari perawat untuk
memelihara kebiasaan eliminasi yang normal. Keadaan sakit dapat
menghindari mereka sesuai dengan program yang teratur. Mereka menjadi
tidak mempunyai kemampuan fisik untuk menggunakan fasilitas toilet yang
normal ; lingkungan rumah bisa menghadirkan hambatan untuk klien dengan
perubahan mobilitas, perubahan kebutuhan peralatan kamar mandi. Untuk
menangani masalah eliminasi klien, perawata harus mengerti proses
eliminasi yang normal dan faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi
Eliminasi produk sisa pencernaan yang teratur merupakan aspek penting
untuk fungsi normal tubuh. Perubahan eliminasi dapat menyebabkan
masalah pada sistem gastrointestinal dan system tubuh lainnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Pencernaan normal dan eliminasi ?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi eliminasi ?
3. Apa saja masalah defekasi yang umum ?
4. Apa itu diversi usus ?
5. Bagaimana proses keperawatan eliminasi fekal ?
C. TUJUAN
1. Mengetahui pencernaan normal dan eliminasi.
2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi eliminasi.
3. Mengetahui masalah defekasi yang umum.
4. Mengetahui diversi usus.
5. Mengetahui proses keperawatan dan eliminasi fekal.

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ELIMINASI FEKAL

Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urin atau
bowel (feses).
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel
movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali
perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang.
Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum,
saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap
kebutuhan untuk defekasi.
Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau
berisiko tinggi mengalami statis pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air
besar, keras, feses kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya
dilakukan huknah, baik huknah tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan
hangat melalui anus sampai ke kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti.

B. PENCERNAAN NORMAL DAN ELIMINASI


Saluran gastrointestiral ( GI ) merupakan serangkaian organ muscular berongga yang
dilapisi oleh membrane mukosa ( selaput lendir ). Tujuan kerja organ ini ialah
mengabsorpsi cairan dan nutrisi, menyiapkan makanan untuk diabsorpsi dan digunakan
oleh sel – sel tubuh, serta menyediakan tempat penyimpanan fese sementara. Fungsi
utama system GI adalah membuat keseimbangan cairan. GI juga menerima banyak
sekresi dari organ – organ, seperti kandung empedu dan pancreas. Setiap kondisi yang
secara serius mengganggu absorpsi atau sekresi normal cairan GI, dapat
menyebabkan ketidakseimbangan cairan.
Organ – organ saluran gastrointestinal :
Anatomi fisiologi saluran pencernaan terdiri dari :
1. Mulut
Saluran GI secara mekanis dan kimiawi memecah nutrisi ke ukuran dan bentuk yang
sesuai. Semua organ pencernaan bekerja sama untuk memastikan bahwa masa atau
bolus makanan mencapai daerah absorpsi nutrisi dengan aman dan efektif. Gigi
mengunyah makanan, memecahkan menjadi berukuran yang dapat di telan. Sekresi
saliva mengandung enzim, seperti ptyalin, yang mengawali pencernaan unsure –
unsure makanan tertentu. Saliva mencairkan dan melunakkan bolus makanan di dalam
mulut sehingga lebih mudah ditelan.
2. Esophagus
Begitu makanan memasuki bagian atas esophagus, makanan berjalan
melalui otot sirkular, yang mencegah udara memasuki esophagus dan
makanan mengalami refluks ( bergerak ke belakang ) kembali ke
tenggorokan. Bolus makanan menelusuri esophagus yang panjangnya kira –
kira 25 cm. makanan didorong oleh gerakan peristaltic lambat yang
dihasilkan oleh kontraksi involunter dan relaksasi otot halus secara
bergantian. Pada saat bagian esophagus berkontraksi di atas bolus makanan,
otot sirkular di bawah ( atau di depan ) bolus berelaksasi. Kontraksi –
kontraksi otot halus yang saling bergantian ini mendorong makanan menuju
gelombang berikutnya.
Dalam 15 detik, bolus makanan bergerak menuruni esophagus dan
mencapai sfingter esophagus bagian bawah. Sfingter esophagus bagian
bawah terletak di antara esophagus dan lambung. Factor – factor yang
mempengaruhi tekanan sfingter esophagus bagian bawah meliputi antacid,
yang meminimalkan refluks, dan nikotin serta makanan berlemak, yang
meningkatkan refluks.

3. Lambung
Di dalam lambung, makanan disimpan untuk sementara dan secara mekanis
dan kimiawi dipecahkan untuk dicerna dan diabsorpsi. Lambung menyekresi
asam hidroklorida ( HCL ), lendir, enzim pepsin, dan factor intrinsic.
Konsentrasi HCL mempengaruhi keasaman lambung dan keseimbangan
asam – basa tubuh. HCL membantu mencampur dan memecahkan makanan
di lambung. Lendir melindungi mukosa lambung dari keasaman dan
aktivitasenzim. Pepsin mencerna protein, walaupun tidak banyak pencernaan
yang berlangsung di lambung. Factor intrinsik adalah komponen penting
yang dibutuhkan untuk absopsi viatamin B12 di dalam usus dan selanjutnya
untuk pembentukan sel darah merah normal. Kekurangan factor intrinsic ini
mengakibatkan anemia dan pernisiosa.
Sebelum makan meninggalkan lambung, makanan diubah menjadi materi
semicair yang disebut kimus. Kimus lebih mudah dicerna dan diabsorpsi
daripada makanan padat. Klien yang sebagian lambungnya diangkat atau
yang memiliki pengosongan lambung yang cepat ( seperti pada gastritis )
dapat mengalami masalah pencernaan yang serius karena makanan tidak
dipecah menjadi kimus.

4. Usus Halus
Selama proses pencernaan normal. Kimus meninggalkan lambung dan
memasuki usus. Usus halus merupakan sebuah saluran dengan diameter
sekitar 2.5 cm dan panjang 6 m. Usus halus dibagi mkenjadi 3 bagian :
duodenum, jejunum, dan ileum. Kimus bercampur dengan enzim – enzim
pencernaan ( missal : empedu dan amylase ) saat berjalan memalui usus
halus. Segmentasi ( kontrasi dan relaksasi otot halus secara bergantian )
mengaduk kimus, memecahkan makanan lebih lanjut untuk dicerna. Pada
saat kimus bercampur, gerakan peristaltic berikutnya sementara berhenti
sehingga memungkinkan absorpsi. Kimus berjalan perlahan melalui usus
halus untuk memungkinkan absorpsi.
Kebanyakan nutrisi dan elektrolit diabsorbsi di dalam usus halus. Enzim dari
pancreas ( missal : amylase ) dan empedu dari kandungan empedu
dilepaskan ke dalam duodenum. Enzim di dalam usus halus memecahkan
lemak, protein, dan karbohidrat menjadi unsure – unsur dasar. Nutrisi hampir
seluruhnya diabsorbsioleh duodenum dan jejunum. Ileum mengabsorpsi
vitamin – vitamin tertentu, zat besi, dan garam empedu. Apabila fungsi ileum
terganggu, proses pencernaan akan mengalami perubahan besar. Inflamasi,
reseksi bedah, atau obstruksi dapat mengganggu peristaltic, mengurangi
area absorpsi, atau menghambat aliran kimus.

5. Usus Besar
Saluran GL bagian bawah disebut usus besar ( kolon ) karena ukuran
diameternya lebih besar daripada usus halus. Namun, panjangnya, yakni 1,5
sampai 1,8 m jauh lebih pendek. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon,
dan rectum. Usus besar merupakan utama dalam eliminasi fekal.

a. Sekum
Kimus yang tidak diabsorpsi memasuki sekum melalui katup ileosekal. Katup
ini merupakan lapisan otot sirkulat yang mencegah regurgitasi dan
kembalinya isi kolon ke usus halus.

b. Kolon
Walaupun kimus yang berair memasuki kolon, volume air menurum saat
kimus bergerak di sepanjang kolon. Kolon dibagi menjadi kolon asendens,
kolon transversal, kolon desenden, kolon sigmoid. Kolon dibangun oleh
jaringan otot, yang memungkinkannya menampung dan mengeliminasi
produk buangan dalam jumlah besar.
Kolon memiliki empat fungsi yang saling berkaitan : absorpsi, proteksi,
sekresi, dan eliminasi.

c. Rectum
Produk buangan yang mencapai bagian kolon sigmoid, disebut feses. Sigmoid
menyimpan feses sampai beberapa saat sebelum defekasi. Rectum merupakan bagian
akhir pada saluran GL. Panjang rectum bervariasi menurut usia :
Bayi 2,5 sampai 3,8 cm
Toddler 5 cm
Prasekolah 7,5 cm
Anak usia sekolah 10 cm
Dewasa 15 sampai 20 cm
Dalam kondisi normal, rectum tidak berisi feses sampai defekasi. Rectum dibangun
oleh lipatan – lipatan jaringan vertical dan transversal. Setiap lipatan vertical berisi
sebuah arteri dan lebih dari satu vena. Apabila vena menjadi distensi akibat tekanan
selama mengedan, maka terbentuk hemoroid. Hemoroid dapat membuat proses
defekasi terasa nyeri. Apabila masa feses atau gas bergerak kedalam rectum untuk
membuat dindingnya berdisensi, maka proses defekasi dimulai. Proses ini melibatkan
control voluntary dan control involunter. Sfingter interna adalah sebuah otot polos ynag
di persarafi oleh system saraf otonom.
Saat sfingter interna relaksasi sfingter eksterna juga relaksasi. Orang dewasa dan anak
– anak yang sudah menjalani toilet training ( latihan defekasi ) dapat mengontrol
sfingter eksterna secara volunteer ( sadar ). Tekanan untuk mengeluarkan feses dapat
dilakukan dengan meningkatkan tekanan intraabdomen atau melakukan valsava
maneuver. Maneuver valsava ialah kontraksi volunter otot – otot abdomen saat indivudu
mengeluarkan nafas secara paksa, sementara glottis menutup (menahan napas saat
mengedan).

C. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ELIMINASI FEKAL

Faktor eliminasi fekal:


1. Usia
Perubahan dalam tahapan perkembangan dalam mempengaruhi status
eliminasi terjadi disepanjang kehidupan. Seorang bayi memiliki lambung
yang kecil dan lebih sedikit menyekresi enzim pencernaan. Beberapa
makanan, seperti zat pati yang kompleks, ditoleransi dengan buruk. Bayi
tidak mampu mengontrol defekasi karana kurangnya perkembangan
neuromuskolar. Perkembangan ini biasanya tidak terjadi sampai 2 sampai 3
tahun. Pertumbuhan usus besar terjadi sangat pesat selama masa remaja.
Sekresi HCL meningkat khususnya pada anak laki-laki. Anak remaja biasanya
mengkonsumsi makana dalam jumlah lebih besar. Sistem GI pada lansia
sering mengalami perubahan sehingga merusak proses pencernaan dan
eliminasi. Beberapa lansia mungkin tidak lagi memiliki gigi sehingga mereka
tidak mampu mengunyah makanan dengan baik. Makanan yang memasuki
saluran GI hanya dikunyah sebagian dan tidak dapat dicerna karena jumlah
enzim pencernaan didalam saliva dan volume asam lambung menurun
seiring dengan proseas penuaan. Ketidakmampuan untuk mencerna
makanan yang mengandung lemak mencerminkan terjadinya kehilangan
enzim limpase.

2. Diet
Asupan makanan setiap hari secara teratur membantu mempertahankan
pola peristaltic yang teratur di dalam kolon. Makanan yang dikonsumsi
individu mempengaruhi eliminasi. Serat, residu makanan yang tidak dapat
dicerna, memungkinkan terbentuknya masa dalam materi feses. Makanan
pembentuk masa mengabsorbsi cairan sehingga meningkatkan masa feses.
Dinding usus teregang, menciptakan gerakan peristaltic dan menimbulkan
reflex defekasi. Usus bayi yang belum matang biasanya tidak dapat
mentoleransi makanan berserat sampai usianya mencapai beberapa bulan.
Dengan menstimulasi peristaltic, masa makanan berjalan dengan cepat
melalui usus, mempertahankan feses tetap lunak. Makanan-makanan berikut
mengandung serat dalam jumlah tinggi (masa).
i. Buah-buahan mentah (apel,jeruk)
ii. Buah-buahan yang diolah (prum,apricot)
iii. Sayur-sayuran (bayam,kangkung,kubis)
iv. Sayur-sayuran mentah (seledri,mentimun)
v. Gandum utuh (sereal, roti)
Mengkonsumsi makanan tinggi serat meningkatkan kemungkinan normalnya
pola eliminasi jika factor lain juga normal. Makanan yang menghasilkan gas,
seperti bawang, kembang kol, dan buncis juga menstimulasi peristaltic. Gas
yang dihasilkan membuat dinding usus berdistensi , meningkatkan motilitas
kolon. Beberapa makanan pedas dapat meningkatkan peristaltic , tetapi juga
dapat menyebabkan pencernaan tidak berlangsung dan feses menjadi encer.
Beberapa jenis makanan, seperti susu dan produk-produk susu, sulit atau
tidak mungkin dicerna oleh beberapa individu. Hal ini disebabkan oleh
intoleransi laktosa. Laktosa, suatu bentuk karbohidrat sederhana yang
ditemukan di dalam susu, secara normal dipecah oleh enzim lactase.
Intoleransi terhadap makana tertentu dapat mengakibatkan diare, distensi
gas, dank ram.

3. Asupan Cairan
Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang menyebabkan
kehilangan cairan (seperti muntah) mempengaruhi karakter feses. Cairan
mengencerkan isi usus, memudahkannya bergerak melalui kolon. Asupan
cairan yang menurun memperlambat pergerakan makanan yang melalui
usus. Orang dewasa harus minum 6 sampai 8 gelas (1400 sampai 2000ml)
cairan setiap hari. Minuman ringan yang hangat dan jus buah memperlunak
feses dan meningkatkan peristaltic. Konsumsi susu dalam jumlah besar
dapat memperlambat peristaltic pada beberapa individu dan menyebabkan
konstipasi.

4. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik meninkatkan peristaltic, sementara imobilisasi menekan
motilitas kolon. Ambulasi dini setelah klien menderita suatu penyakit
dianjurkan untuk meningkatkan dipertahankannya eliminasi normal
Upaya mempertahankan tonus otot rangka, yang digunakan selama proses
defekasi, merupakan hal yang penting. Melemahnya otot-otot dasar panggul
dan abdomen merusak kemampuan individu untuk meningkatkan tekanan
intraabdomen dan untuk mengontrol sfingter eksterna. Tonus otot dapat
melemah atau hilang akibat penyakit yang berlangsung dalam jangka waktu
lama atau penyakit neurologis yang merusak transmisi saraf.

5. Faktor Psikologis
Fungsi dari hampir semua sistem tubuh dapat mengalami gangguan akibat
stress emosional yang lama. Apabila individu mengalami kecemasan,
ketakutan, atau marah, muncul respons stress, yang memungkinkan tubuh
membuat pertahanan. Untuk menyediakan nutrisi yang dibutuhkan dalam
upaya pertahanan tersebut, proses pencernaan dipercepat dan peristaltic
meningkat. Efek samping peristaltic yang meningkat antara lain diare dan
distensi gas. Apabila individu mengalami depresi, sistem saraf otonom
memperlambat impuls saraf dan peristaltic dapat menurun. Sejumlah
penyakit pada saluran GI dapat dikaitkan dengan stress. Penyakit ini meliputi
colitis ulseratif, ulkus lambung, dan penyakit crohn. Upaya penelitian
berulang yang dilakukan sejak lama telah gagal membuktikan mitos bahwa
penyebab klien mengalami penyakit tersebut adalah karena memiliki kondisi
psikopatologis. Namu, ansietas dan depresi mungkin merupakan akibat dari
masalah kronik tersebut (cooke,1991)

6. Kebiasaan pribadi
Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi usus. Kebanyakan individu
merasa lebih mudah melakukan defekasi dikamar mandi mereka sendiri
pada waktu yang paling efektif dan paling nyaman bagi mereka. Jadwal kerja
yang sibuk dapat mengganggu kebiasaan dan mengakibatkan perubahan
seperti konstipasi. Individu harus mencari waktu terbaik untuk melaksanakan
eliminasinya. Reflex gastrokolik adalah reflex yang paling mudah distimulasi
untuk menimbulkan defekasi setelah sarapan.

7. Posisi Selama Defekasi

Posisi jongkok merupakan posisi yang normal saat melakukan defekasi. Toilet
modern dirancang untuk memfasilitasi posisi ini, sehingga memungkinkan
individu untuk duduk tegak ke arah depan, mengeluarkan tekanan
intraabdomen dan mengontraksi otot-otot pahanya. Namun, klien lansia atau
individu yang menderita penyakit sendi, seperti artritis, mungkin tidak
mampu bangkit dari tempat duduk tpilet memampukan klienuntuk bangun
dari posisi duduk di toilet tanpa bantuan. Klien yang mengguanakan alat
tersebut dan individu yang berposter pendek, mungkin membutuhkan
pijakan kaki yang memungkinkan ia menekluk pinggulnya dengan benar.
Untuk klien imobilisasi di tempat tidur, defekasi seringkali dirasakan sulit.
Posisi telentang tidak memungkinkan klien mengontraksi otot-otot yang
digunakan selama defekasi. Membantu klien ke posisi duduk yang lebih
normal pada pispot. Akan meningkatkan kemampuan defekasi.

8. Nyeri
Dalam kondisi normal, kegiatan defekasi tidak menimbulkan nyeri. Namun,
pada sejumlah kondisi, termasukhemoroid, bedah rectum, fistula rectum,
bedah abdomen, dan melahirkan anak dapat menimbulkan rasa tidak
nyaman ketika defekasi. Pada kondisi-kondisi seperti ini, klien seringkali
mensupresi keinginanya untuk berdefekasi guna menghindari rasa nyeri
yang mungkin akan timbul. Konstipasi merupakan masalah umum pada klien
yang merasa nyeri selama defekasi.

9. Kehamilan
Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan dan ukuran fetus, tekanan
diberikan pada rectum. Obsetruksi semenmtara akibat keberadaan fectus
mengganggu pengeluaran feses. Konstipasi adalah masalah umum yang
muncul pada trimester terakhir. Wanita hamilselama defekasi dapat
menyebabkan terbentukannya hemoroid yang permanen.

10. Pembedahan dan Anestesia


Agen anestesi yang digunakan selama proses pembedahan, membuat
gerakan peristaltic berhenti untuk sementara waktu. Agens anestesi yang
dihirup menghambat impuls saraf parasimpatis ke otot usus. Kerja anestesi
tersebut memperlambat atau menghentikan gelombang peristaltic. Klien
yang menerima anestesi local atau regional beresiko lebih kecil untuk
mengalami perubahan eliminasi karena aktivitas usus hanya dipengaruhi
sedikitt atau bahkan tidak dipengaruhi sama sekali.
Pembedahan yang melibatkan manipulasi usus secara langsung, sementara
akan menghentikan gerakan peristaltic. Kondisi ini disebut ileus paralitik
yang biasanya berlangsung sekitar 24 sampai 48 jam. Apabila klien tetap
tidak aktif atau tidak dapat makan setelah pembedahan, kembalinya fungsi
normal usus dapat terhambat lebih lanjut.

11. Obat-obatan
Obat-obatan untuk meningkatkan defekasi telah tersedia . laksatif dan
katartik melunakkan feses dan meningkatkan peristaltic. Obat-obatan seperti
disiklomin HCL (Bentyl) menekan gerakan peristaltic dan mengobati diare.
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat mengganggu eliminasi.
Obat analgesic narkotik menekan gerakan peristaltic. Opiat umumnya
menyebabkan konstipasi.

Obat-obatan antikolinergik, seperti atropin, atau glikopirolat (robinul), menghambat


sekresi asam lambung dan menekan motilitas saluran GI. Walupun bermanfaat dalam
mengobati gangguan usus, yakni hiperaktivitas usus, agens antikolinegik dapat
menyebabkan konstipasi, banyak antibiotik menyebabkan diare dengan menggangu
flora bakteri normal didalam saluran GI. Apabila diare dan kram abdomen yang terkait
dengan diare semakin parah, obat-obatan yang diberikan kepada klien mungkin perlu
diubah. Intervensi keperawatan dapat digunakan untuk diare osmotic, yang disebabkan
oleh obat-obatan hiperosmolar telah diuraikan oleh Fruto(1994)

12. Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan diagnostik, yang melibatkan visualisasi struktur saluran GI,
sering memerlukan dikosongkannya isi dibagian usus. Klien tidak diizinkan
untuk makan atau minum setelah tengah malam jika esoknya akan dilakukan
pemeriksaan, seperti pemeriksaan yang menggunakan barium enema,
endoskopi saluran GI bagian bawah atau serangkaian pemereksaan saluran
GI bagian atas. Pada kasus penggunaan barium enema atau endoskopi, klien
biasanya meneri,ma katartik dan enema. Pengosongan usus dapat
mengganggu eliminasi sampai klien dapat makan dengan normal.
Prosedur pemeriksaan menggunakan barium menimbulkan masalah
tambahan. Barium mengeras jika dibiarkan di dalam saluran GI. Hal ini dapat
menyebabkan konstipasi atau impaksi usus. Seorang klien harus menerima
katartik untuk meningkatkan eliminasi barium setelah prosedur dilakukan.
Klien yang mengalami kegagalan dalam mengevakuasi semua barium,
mungkin usus klien perlu dibersihkan dengan menggunakan enema.

D. MASALAH DEFEKASI YANG UMUM


Perawat mungkin merawat klien yang mengalami atau beresiko mengalami
masalah eliminasi akibat stress emosional ( ansietas atau depresi ),
berubahan fisiologis pada saluran GI, perubahan truktur usus melalui
pembedahan, program terapi lain, atau gangguan yang mengganggu
defekasi.

1. Konstipasi
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya frekuensi
BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejan. BAB
yang keras dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses
berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak air diserap.
Penyebabnya :
a. Kebiasaan BAB tidak teratur, seperti sibuk, bermain, pindah tempat, dan
lain-lain
b. Diet tidak sempurna/adekuat : kurang serat (daging, telur), tidak ada gigi,
makanan lemak dan cairan kurang
c. Meningkatnya stress psikologik
d. Kurang olahraga / aktifitas : berbaring lama.
e. Obat-obatan: kodein, morfin, anti kolinergik, zat besi. Penggunaan obat
pencahar/laksatif menyebabkan tonus otot intestinal kurang sehingga refleks
BAB hilang.
f. Usia, peristaltik menurun dan otot-otot elastisitas perut menurun sehingga
menimbulkan konstipasi.
g. Penyakit-penyakit : Obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal
cord dan tumor.

2. Impaction
Impaction merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga tumpukan feses
yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan feses sampai
pada kolon sigmoid. Penyebabnya pasien dalam keadaan lemah, bingung, tidak sadar,
konstipasi berulang dan pemeriksaan yang dapat menimbulkan konstipasi. Tandanya :
tidak BAB, anoreksia, kembung/kram dan nyeri rektum.

3. Diare
Diare merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk.
Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam
kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi
mukosa. Akibatnya feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat
mengontrol dan menahan BAB.

4. Inkontinensia fecal
Yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus, BAB
encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan fungsi
spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor
spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar
akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan dasar pasien
tergantung pada perawat.

5. Flatulens
Yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang dan
distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar melalui mulut
(sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di
usus adalah pemecahan makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas
metan, pembusukan di usus yang menghasilkan CO2. Makanan penghasil
gas seperti bawang dan kembang kol.

6. Hemoroid
Yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa internal atau
eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung
dan penyakit hati menahun. Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika
dinding pembuluh darah teregang. Jika terjadi infla-masi dan pengerasan,
maka pasien merasa panas dan gatal. Kadang-kadang BAB dilupakan oleh
pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami
konstipasi.

E. DIVERSI USUS
Penyakit tertentu menyebebkan kondisi-kondisi yang mencegah pengeluaran
feses secara normal dari rectum. Hal ini menimbulkan kebutuhan untuk
membentuk suatu lubang (stoma) buatan yang permanen atau sementara.
Lubang uyang dibuat melalui upaya bedah(ostomi ) paling sering di bentuk
di Ileum (ileostomi) atau di kolom (kolostomi)(Mc. Garity,1992). Ujung usus
kemudian ditarik kesebuah lubang di dinding abdomen untuk membentuk
stoma.
Ada dua jenis ostomi yaitu:
1. Ostomi Kontinen : klien memiliki control terhadap pengeluaran feses.
Dimana dalam ostomi kontingen tipe pembedahan tertentu memungkinkan
kontinensia pada klien tertentu yang mengalami kolektomi (pengangkatan
kolon). Ostomi Kontinen ini juga disebut Disversi kontinen atau reservoir
kontinen. Pada sebuah prosedur yang disebut dengan ileoanal pull-through,
kolon diangkat dan ileum dianastomosis atau disambungkan ke sfingter anus
yang utuh.
Di beberapa prosedur bedah terbaru yang didasarkan pada upaya ileoanal
pull-through adalah reservoar ileoanal .Reservoar ileoanal juga disebut
protokolektomi restorasi, anastomosis kantong ileum anus, atau kantong
pelvis. Pada prosedur ini klien tak memiliki stoma eksterna yang permanen
dan dengan demikian tidak perlu mengenakan
kantong ostomi.klien mengenakan kantung interna yang berasal dari
ileumnya.
Kantong ileum ini dapat di bentuk dalam berbagai bentuk seperti bentuk
lateral, S,J,atau W. Ujung kantong kemudian dijahit atau di anastomosis ke
anus.pembedahan dilakukan dalam berbagai tahapandan klien dapat
mempunyai ostomi yang bersifat sementara sampai kantung ileum yang
dibentuk melalui upaya bedah telah sembuh.

2. Ostomi Inkintingen: klien tidak mempunyai control terhadap pengeluaran


Feses.
Pada hal ini lokasi ostomi menentukan kosistensi feses. Sebuah ileostomi
merupakan jalan pintas keluarnya feses sehingga feses tidak melalui seluruh
bagian usus besar. Akibatnya feses akan keluar lebih sering dan dalam
bentuk cair. Kejadian serupa juga terjadi pada kolostomi di kolon asenden.
Kolostomi pada kolon transversal umumnya akan menghasilkan feses yang
lebih padat dan berbentuk, sedangkan kolostomi sigmoid menghasilkan
feses yang sudah mendekati feses normal. Dalam hal ini kolostm dibagi
menjadi 3 yaitu:
a. Loop Colostomy
Loop colostomy biasanya di lakukan dalam kondisi kedaruratan medis yang
nantinya colostomy tersebut akan ditutup. Jenis colostomy ini biasanya
mempunyai stoma yang berukuran besar, dibentuk di kolon transversal dan
sifatnya sementara.
b. End Colostomy
End Coostomy terdiri dari satu stoma, yang dibentuk dari ujung proksimal
usus dengan bagian distal saluran GI dapat dibuang atau dijahit tertutup
(disebut kantong Hartmann) dan dibiarkan di dalam rongga abdomen.
c. Double Barrel colostomy
Tidak seperti loop colostomy , usus dipotong melalui pembedahan kedalam
bentuk double barrel colostomy dan kedua ujungnya ditarik keatas
abdomen . Double-barrel colostomy terdiri dari dua stoma yang berbeda
yaitu stoma proksimal yang berfungsi dan stoma distal yang tak berfungsi.

Pertimbangan Psikologi
Sebuah ostomi dapat menimbulkan perubahan citra tubuh yang serius,
terutama apabila ostomi tersebut bersifst permanen. Klien yang memiliki
riwayat penyakit usus kronik dalam jangka waktu yang lama seperti penyakit
Crohn atau Kolitis ulseratif telah meningkatkan kualitas hidupnya, tetapi
memiliki citra tubuh yang lebih rendah. Sebaliknya, Klien yang
membutuhkan ostomi akibat kanker memiliki citra tubuh yang lebih tinggi,
tetapi kualitas hidupnya berkurang.
Klien sering mempersepsikan stoma sebagai bentuk pemotongan/perusakan.
Walaupun pakaian menutupi ostomi, klien merasa berbeda. Banyak klien
memiliki kesulitan untuk mempertahankan/memulai hubungan seksual yang
normal. Faktor penting yang mempengaruhi reaksi klien adalah karakter
sekresi feses dan kemampuan untuk mengontrolnya. Bau busuk kebocoran
atau tumpahan feses tang encer dan ketidakmempuan mengatur defekasi
membuat klien kehilangan harga dirinya.

F. PROSES KEPERAWATAN ELIMINASI FEKAL


1. Pengkajian
a. Frekwensi buang air besar pada bayi sebanyak 4 – 6 kali sehari ,
sedangkan orang dewasa adalah 2 – 3 kali per hari dengan jumlah rata-rata
pembuangan per hari adalah 150 gr

b. Keadaan feses :
• warna hitam atau merah
• berbau tidak sedap
• konsistensi cair
• bentuk kecil seperti pensil
• terdapat darah

2. Diagnosa
a. Konstipasi berhubungan dengan:
• defek persarafan, kelemahan pelvis, imobilitas akibat cedera akibat
medulla spinalis, dan CVA
• nyeri akibat hemoroid
• menurunya peristaltic akibat stress
b. Diare berhubungan dengan:
• melabsorpsi atau inflamasi akibat penyakit infeksi atau gastritis, kulkus, dll
• peningkatan peristaltic akibat peningkatan metabolism
• stress psikololgis
c. Inkontinensia usus berhubungan dengan:
• gangguan sfingter rectal akibat cedera rectum atau tindakan pembedahan
• distensi rectum akiibat konstipasi kronis
• ketidak mampuan mengenal atau merespon proses defekasi akibat depresi
atau kerusakan kognitif
d. Kurangnya volume cairan berhubungan dengan:
• pengluaran cairan yang berlebihan (diare)

3. Perencanaan
Tujuan :
• Mempertahankan asupan makanan dan minuman cukup
• Mempertahankan kebiasaan defikasi secara teratur
• Mempertahankan defikasi secara normal
• Mencegah gangguan integritas kulit
Rencana tindakan :
1. Kaji perubahan faktor yang mempengaruhi masalah eliminasi
2. Kurangi faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah seperti konstipasi
akibat nyeri dan inkontenensia usus
3. Jeleskan mengenai eliminasi yang normal kepada pasien
4. Bantu defikasi secara manual
5. Bantu latihan buang air besar
6. Pertahankan asupan makanan dan minuman

4. Pelaksanaan
1. Menyiapkan feses untuk bahan pemeriksaan
2. Menolong buang air besar dengan menggunakan pispot
3. Memberikan gliserin untuk merangsang peristaltic usus sehingga pasien
dapat buang air besar
4. Mengeluarkan feses dengan jari
5. Kolaborasi dengan ahli gizi

5. Evaluasi
Evaluasi terhadap kebutuhan eliminasi dapat dinilai dengan adanya
kemampuan dalam :
1. Memahami cara eliminasi yang normal
2. Mempertahankan defektasi secara normal yang ditunjukan dengan
kemampuan pasien dalam mengontrol defektasi tanpa bantuan obat atau
enema , berpartisipasi dalam program latihan secara teratur , defikasi tanpa
mengedan
3. Mempertahankan rasa nyaman yang ditunjukan dengan kenyamanan
dalam kemampuan defikasi , tidak terjadi bleeding , tidak terjadi inflamasi
dan lain-lain
4. Mempertahankan integritas kulit yang ditunjukan dengan keringnya area
perianal , tidak ada inflamasi atau ekskoriasi , keringnya kulit sekitar stoma
dan lain-lain
5. Melakukan latihan secara teratur , seperti rentang gerak atau aktifitas lain
(jalan , berdiri , dll)
6. Mempertahankan asupan makanan dan minuman yang cukup dapat
ditunjukan dengan adanya kemampuan dalam merencanakan pola makan ,
seperti makan dengan tinggi atau rendah serat (tergantung dari tendensi
diare / konstipasi serta mampu minum 2000 – 3000 ml)

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Eliminasi fekal adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh berupa bowel
(feses). Faktor yang mempengaruhi eleminasi fecal yaitu, usia, diet, asupan Cairan,
aktivitas Fisik, faktor Psikologis, kebiasaan pribadi, Posisi Selama Defekasi, Nyeri,
Kehamilan, Pembedahan dan Anestesia, Obat-obatan, Pemeriksaan Diagnostik.
Dengan kita mengetahui faktor-faktor tersebut akan mempermudah saat kita melakukan
asuhan keperawatan.

B.SARAN

Semoga makalahini dapat menjadi bahan pembelajaran agar kita dapat mengetahui
segala sesuatu yang berhubungan dengan eliminasi fekal.

DAFTAR PUSTAKA

Alimul Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan

Perry, Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 1. Jakarta :


EGC

Perry, Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 2. Jakarta :


EGC

http://www.proses_pencernaan_makanan.html

Anda mungkin juga menyukai