Anda di halaman 1dari 4

Kaya Raya Selamanya

Oleh: Gede Prama

Pada setiap perjalanan, ada saja cara-cara sang hidup untuk bertutur. Dalam sebuah penerbangan dari Sydney ke
Denpasar, entah apa yang terjadi tiba-tiba badan ini tidak mau membaca dan tidak mau tidur. Sehingga
menerawanglah mata dari atas pesawat ke bawah sana. Ternyata, selama kurang lebih tiga setengah jam
penerbangan tanah-tanah Australia lebih dari sembilan puluh persen berisi tanah kering yang tandus. Bandingkan
misalnya dengan penerbangan dari Jakarta ke Medan. Selama hampir dua jam, di bawah sana terbentang warna hijau
bukit barisan yang indah dan subur.
Di jalan-jalan darat, mata ini juga disuguhi bahan-bahan cerita yang berlimpah. Dalam sebuah perjalanan dari
Medan ke Berastagi, mobil yang saya tumpangi mengikuti sebuah bus antarkota. Yang menarik, di atas bus tadi ada
sekelompok orang yang duduk-duduk tenang dengan wajah gembira. Di sebuah pasar yang membuat jalan jadi
macet, orang-orang yang tidak mengenal dinginnya udara di atas bus yang berjalan ini, tiba-tiba memesan durian
dari atas sana, dan melahapnya dengan penuh gembira. Dari kaca mobil yang diteduhi AC diri ini bergumam kecil :
mereka bisa hidup bahagia seadanya. Dan tiba-tiba teringat sebuah pengalaman ketika menginap di sebuah hotel
berbintang di Bali sana. Dari mobil mewah yang mengkilap, keluar serombongan keluarga yang bermuka merah
saling marah-marah. Sebelum mereka check in, mereka cekcok dan akhirnya kembali dari Bali tanpa bisa berlibur.
Melalui ilustrasi ini, sang hidup seperti sedang bertutur : we can be prosper at any level of income. Kita bisa
sejahtera di setiap tingkatan pendapatan berapapun. Kesejahteraan, memang berkaitan dengan uang. Akan tetapi,
yang paling utama tidak disebabkan oleh uang. Lantas, kalau tidak disebabkan oleh uang, disebabkan oleh apa ?
Sebagaimana sudah dicatat rapi oleh sejarah, kesejahteraan memang berwajah ganda : material dan transendental.
Keduanya memang saling memerlukan dan saling mengisi. Kesejahteraan material tanpa kesejahteraan transendental
sering membuat orang jadi kaya tapi tidak bahagia. Kesejahteraan transendental tanpa kesejahteraan material
menarik manusia ke dalam rangkaian hidup yang tidak seimbang : menoleh ke atas, lupa tugas-tugas di bawah dan
disamping.
Kegagalan banyak manusia untuk merangkum kedua jenis kesejahteraan ini ternyata direspon tidak terlalu antusias
oleh ilmi-ilmu manusia. Nyatanya wilayah-wilayah hubungan antara uang dan kesadaran manusia termasuk wilayah
pengetahuan yang tidak banyak dieksplorasi. Kebingungan dan keterasingan di tengah limpahan uang, sang hidup
yang diperkuda uang, hanyalah sedikit contoh dalam hal ini. Ada sahabat jernih yang pernah berbisik : many people
have career, but they don’t have life. Banyak manusia yang memiliki karir cemerlang, tetapi tidak memiliki hidup.
Berangkat pagi, putera-puteri masih tidur. Setelah pulang, mereka sudah tidur. Tatkala miskin tidak bisa makan enak
karena tidak punya uang. Setelah kaya tidak boleh makan enak karena dilarang dokter. Di awal kehidupan semua
tenaga fisik dikerahkan untuk kehidupan terang kemudian. Setelah materi terang benderang hanya habis untuk
membayar ongkos rumah sakit.
Mungkin betul cerita orang bijak, kalau kehidupan adalah guru yang sempurna. Tubuh ini misalnya, ia sering kali
mengingatkan kita akan perilaku-perilaku menyimpang. Pengalaman-pengalaman yang terbentang luas, juga
bertutur cerewet tentang pedoman-pedoman menemukan kesejahteraan. Sayangnya, tidak sedikit diantara kita yang
tuli akan pesan-pesan sang guru kehidupan. Untuk kemudian, mengulang-ulang lagi keterperosokan-keterperosokan
terdahulu.
Dalam lapisan-lapisan renungan seperti ini, mungkin ada gunanya untuk melihat hakekat uang. Uang, harus diakui,
memang sejenis energi kehidupan. Namun, tanpa kemampuan mengelola yang memadai, ia menjadi kuda yang
minta digendong. Disamping berat, juga membuat sang hidup meneteskan air mata di sepanjang jalan.
Sebuah lagu tua pernah bertutur jernih, hidup ini memang serupa dengan menyapu lantai. Setiap hari kita menyapu
lantai. Hilang debu, datang daun kering dan seterusnya tanpa pernah habis-habis. Demikian juga dengan lantai-lantai
kehidupan. Kita perlu menyapunya setiap hari. Dan sapu kesejahteraan yang paling mengagumkan bernama sapu
cukup. Sekali lagi, cukup adalah sapu pembersih kehidupan yang paling bisa membuat lantai-lantai kehidupan
tampak bersih.
Dan sebagaimana diakui banyak sahabat, justru menemukan sapu cukup inilah bagian terberat dari perjalanan
menemukan kesejahteraan. Terutama karena sang uang – melalui tamu kehidupan yang bernama nafsu - memaksa
untuk digendong. Serupa dengan mulut yang meminta makan ditambah terus ketika enak, dan bisa dihentikan
dengan air putih, kita juga memerlukan air putih kesadaran. Yang bisa membuat kuda uang turun dari gendongan,
dan kemudian kitalah yang naik di atas.
Tidak mudah tentunya. Ia memerlukan serangkaian latihan kehidupan yang panjang. Dan juga menuntut manusia
menjadi supir dari kendaraan kehidupan yang bernama tubuh. Ketika manusia sudah menjadi supir dari tubuhnya,
terbukalah tanda-tanda bisa menjadi kaya raya selamanya. Ketika punya uang, supir mengaturnya dengan rangkaian
manajemen keuangan yang terpadu. Ketika tidak punya uang, supir mengatakan begini : time for break !. Baik
ketika ada maupun tidak ada uang, sang supir menyanyikan lagu syukur sepanjang jalan. Pernah kejernihan berbisik
begini ke saya : ketika kita masih mencari, kita memerlukan tujuan dan masa depan. Tatkala manusia tidak lagi
mencari, ia memiliki semuanya di sini di hari ini.

Mensyukuri Neraka
Oleh: Gede Prama
Entah kapan dimulai, dan siapa yang memulainya tidaklah terlalu jelas. Yang jelas, ada banyak sekali manusia yang
amat rindu akan surga dan amat takut sama neraka. Dari anak kecil sampai orang tua, dari orang desa sampai orang
kota, kebanyakan rindu surga dan takut neraka.
Jujur harus diakui, sayapun pernah lama dilanda kerinduan dan ketakutan semacam itu. Cuman, setelah menelusuri
lorong-lorong kehidupan dengan kedalaman kontemplasi tertentu, rupanya kita manusia sudah terlalu lama manja
dengan buaian surga, dan dibuat takut oleh ancaman neraka. Untuk kemudian kehilangan dua kesempatan emas
dalam hidup. Kesempatan emas pertama, manusia kehilangan kekuatan amat besar yang bernama keikhlasan.
Kesempatan emas kedua, justru melalui tempaan-tempaan neraka yang ditakuti (baca : masalah) kemudian manusia
jadi kuat dan hebat.
Konsepsi surga-neraka, sebagaimana kita tahu, memang memiliki banyak sekali manfaat. Cuman, sebagaimana
wajah dualitas manapun, konsepsi surga-neraka membuat tidak sedikit manusia kemudian "berdagang" dengan
kehidupan. Sebagai akibatnya, manusia kehilangan keikhlasan sebagai kekuatan kehidupan.
Ada cerita tentang sebuah desa yang tidak berhasil memotong pohon besar mengganggu. Karena berbagai peralatan
tidak berhasil membuat pohon tumbang, dicurigai pohon ini ditunggui mahluk dengan kekuatan metafisik tertentu.
Dicarilah orang "pintar" yang bisa membantu. Ternyata, ada orang berpenampilan sederhana yang bisa memotong
pohon tadi dengan gergaji biasa. Orang terakhir hanya memotong pohon tadi dengan kalimat permulaan yang
berbunyi: "Dengan keikhlasan di depan Tuhan, tidak ada yang tidak bisa dilakukan."
Ternyata kinerja orang sederhana ini terdengar ke banyak tempat. Di samping karena kekaguman masyarakat, juga
kerena hadiah besar yang telah diterimanya. Di desa seberang yang memiliki problema yang serupa kemudian
memanggilnya. Dan setelah memotong pohon dengan teknik dan alat yang sama, ternyata berkali-kali hanya
berujung kegagalan. Ada yang berubah, katanya setelah berulang kali gagal, hadiah rupanya melenyapkan
keikhlasan!
Ini memang hanya sebuah cerita, namun layak direnungkan kalau keikhlasan bukanlah sumber kelemahan. Ia sejenis
tenaga dalam yang bisa membuat manusia jadi demikian perkasa. Terinspirasi dari banyak cerita-cerita sufi,
demikian juga dari puisi-puisi Gibran dan Rumi, serta kualitas pemimpin-pemimpin yang masih berkuasa ketika
badannya sudah disebut meninggal oleh dokter, keikhlasan sudah menjadi tema kehidupan yang kuat sejak dulu.
---------------------Catatan Dynamics Consulting:----------------------
Bagi sahabat yang tertarik untuk bersama memperkaya jiwa
Hadiri Program Dynamics Consulting bersama Gede Prama dalam:
Life ReCreation Forum X
Life Innovation Through Heart Inntilligance
(Menemukan Kecerdasan yang Membahagiakan)
Jakarta, Kartika Chandra, Ruang Kirana
Tanggal 27 Mei 2004, Pukul 09.00-16.00 WIB
Sejarah berjalan konsisten! Perang, konflik, permusuhan, perceraian, skandal, semuanya bergerak konsisten.
Semuanya dibawa terus oleh pipa-pipa sejarah tanpa tanda-tanda akan berhenti.
Teknologi berkembang, pengetahuan semakin maju, sejarah semakin jelas catatannya, kekayaan materi bertambah,
manusia bertambah cerdas tapi toh semuanya ini terulang kembali.
Ada yang bertanya, "Kenapa meningginya kecerdasan tidak diikuti oleh bertambahnya kedamaian dan
kebahagian?"

Menyatu Dengan Genta Semesta


Oleh: Gede Prama
Ketika Pembangunan Jaya berulang tahun bulan Agustus 2001 lalu, dan meminta saya bertutur di depan puluhan
wakil direktur, direktur, presiden direktur sampai dengan pendiri perusahaan terkemuka ini, ada banyak sekali mata
yang tampak serius mendengarkan pengalaman-pengalaman meditatif saya. Pengusaha terkemuka Ir. Ciputra bahkan
meminta waktu presentasi saya diperpanjang, hanya untuk menjawab pertanyaan beliau : kenapa Pak Ci meditasi
tidak menemukan tempat indah yang saya ceritakan, sementara saya yang jauh lebih muda bisa menemukannya ?
Pertanyaannya tentu saja sederhana, namun jawabannya membuat kepala bekerja keras. Tentu saja Pak Ciputra
memiliki banyak sekali kelebihan dibandingkan dengan saya. Dari umur, kualitas wisdom, track record
kepemimpinan, dan tentu saja prestasi materi. Namun, dalam hal meditasi, sudah lama saya menelusuri jalan setapak
yang panjang dan penuh rintangan. Izinkan saya bertutur tentang jalan terakhir dengan penuh keikhlasan.
Awalnya, meditasi dalam kehidupan saya hanyalah sekumpulan pengetahuan. Ia memasuki wilayah-wilayah
kehidupan sama saja dengan pengetahuan lainnya. Di tataran inilah saya mengenal nama-nama seperti J.
Krishnamurti, Anthony de Mello, Eknath Easwaran, sampai dengan Alexander Simpkins dan Annellen M.
Simpkins. Meditasi, dalam tataran ini, serupa dengan wacana lainnya yang masuk melalui lorong-lorong
pengetahuan.
Merasa ada yang kurang, secara kebetulan dalam frekuensi yang teramat sering, saya membaca karya banyak orang
yang mengutip buku-buku serial yang tergabung dalam Chicken Soup For The Soul. Merasa diri dibombardir oleh
kutipan-kutipan dari buku terakhir, akhirnya saya coba untuk membelinya. Dan ternyata, ada ketagihan untuk
membeli hampir semua serial buku yang amat menggugah sekaligus tidak menggurui ini. Cerita dan kisah yang
tersedia dalam buku ini memang banyak sekali. Akan tetapi, intinya cuma satu : cinta dan hanya cinta. Dan entah
kebetulan, atau ada yang mensutradarai, kemudian saya berkenalan dengan karya-karya seniman besar Kahlil
Gibran. Rangkuman antara cerita cinta ala Chicken Soup, yang bertemu dengan sentuhan kalbu ala Kahlil Gibran,
membuat sayap-sayap cinta seperti tumbuh dalam tubuh dan jiwa ini. Dan tentu saja, rugi kalau punya sayap tidak
digunakan untuk terbang. Bermodalkan sayap terakhir inilah, saya mencoba memberikan warna cinta yang lekat ke
dalam perjalanan hidup ini.
Entah cinta pada keluarga, cinta pada almarhum kedua orang tua, cinta sama tempat kerja sampai dengan cinta pada
Tuhan. Mabuk cinta jenis terakhir ini, kemudian mempertemukan saya pada sebuah karya Masterpiece tentang
Tuhan yang ditulis oleh Karen Armstrong. Buku tebal yang berjudul A History of God ini berisi kisah pencaharian
manusia tentang Tuhan dalam rentang waktu empat ribu tahun secara cross religion. Sehingga dibentuklah saya
dengan wawasan tentang Tuhan yang jauh dari wawasan sempit apa lagi fanatik.
Ramuan antara meditasi sebagai pengetahuan, cinta sebagai vitaminnya jiwa, serta pengetahuan tentang sejarah
Tuhan membuat saya tidak puas hanya berhenti di tataran meditasi sebagai pengetahuan saja. Maka pergilah saya ke
dalam samudera kalbu yang dalam dan luas. Soal teknik memang hanya kendaraan saja. Kalau saya cocok dengan
perahu, Anda cocok dengan pesawat misalnya, saya kira tidaklah perlu diperdebatkan terlalu banyak. Dan ada satu
hal substansial yang bisa membawa banyak orang ‘terbang’ tinggi-tinggi melalui meditasi. Ia bernama keikhlasan.
Untuk alasan tersebutlah, maka baik dalam doa maupun kerja, dalam keluarga maupun tempat kerja saya didik diri
secara amat keras untuk menjalani kehidupan secara amat dan teramat ikhlas. Lebih-lebih setelah dilengkapi ilmu
‘melihat’ (baca : melihat tanpa menghakimi), maka jadilah hidup saya seperti kegiatan menyelam dalam kedalam
lautan-lautan kalbu yang indah. Dalam tahapan ketika tulisan ini dibuat, meditasi berarti jauh lebih dalam dari
sekadar duduk diam di sebuah tempat sunyi. Meditasi, sekurang-kurangnya dalam keterbatasan saya sebagai
pengelana kehidupan, adalah kehidupan itu sendiri. Dari bangun tidur sampai bangun tidur lagi di hari berikutnya
adalah meditasi.
Dulu, ketika pertama kali membaca karya seniman besar India yang bernama Kabir, yang menulis bahwa banyak
manusia hidup seperti ikan yang mati kehausan, untuk kemudian mengajak orang masuk ke dalam samudera batin
sebagai tempat di mana kebahagiaan tersedia gratis dalam jumlah yang tidak terbatas, saya sempat ragu dan tidak
percaya. Sekarang, saya menjadi pejalan kaki kehidupan yang meniti jalan setapak yang pernah dilalui Kabir.
Ada banyak orang yang bertanya, bagaimanakah rasanya berjalan di tempat seperti itu ?. Inilah sulitnya
menerangkan rasanya durian ke orang-orang yang belum pernah makan durian. Kata-kata manapun tidak akan
mewakili seluruh rasa durian. Kalau durian saja tidak bisa diterangkan kata-kata, apa lagi pengalaman meditatif.
Yang jelas, seperti mendengarkan suara genta nan indah. Ia tidak saja menyentuh telinga, bahkan hati, kalbu dan
sang hiduppun ikut tersentuh. Dan bukan tidak mungkin, kalau ada manusia yang tidak hanya bisa mendengar genta
terakhir. Melainkan juga menyatu dengan genta semesta. Kabir, Gibran, Krishnamurti dan manusia-manusia sejenis
saya kira sudah sampai di sana, dan doakan agar saya bisa mengikutinya

Dalam Kesabaran Ada Kesadaran


Oleh: Gede Prama
Ada sebuah kebiasaan yang menyenangkan hati dan jiwa saya belakangan ini. Setiap kali selesai melakukan
meditasi, kemudian menemukan rangkaian pemahaman yang layak untuk dibagi ke banyak orang hari itu, maka saya
tulislah pesan tadi ke dalam pesan SMS yang dikirim ke puluhan sahabat. Dan tidak sedikit sahabat yang
menerusakannya lagi ke puluhan sahabatnya yang lain. Maka jadilah pesan-pesan SMS yang selalu diawali dengan
kata ‘Gede Prama’s message of the day’ sebagai bahan renungan yang ditunggu banyak sahabat. Begitu ada minggu
tanpa SMS terakhir, tidak sedikit sahabat yang mengirimi saya SMS : mana pesan untuk minggu ini ?
Kalau ada orang yang melakukan silaturahmi dengan cara mendatangi rumah kawan, saya melakukan silahturahmi
melalui SMS. Dan dalam pesan-pesan SMS yang umumnya bertemakan cinta, keheningan, kebahagiaan dan
kesabaran, ada yang sempat bertanya, adakah mereka menerima pesan dari seorang konsultan ataukah dari seorang
pendeta ?. Dengan enteng pertanyaan ini saya jawab, bahwa pesan ini datang dari seorang gelandangan intelektual.
Sebuah sebutan yang diberikan oleh salah seorang sahabat, dan kebetulan saya menyukainya. Pasalnya,
pengembaraan saya telah melalui banyak sekali halaman-halaman rumah orang lain.
Lahir dan besar memang di dunia manajemen, namun karena merasa tandus dan kering di tempat lahir ini, saya
melanjutkan pengembaraan ke mana-mana. Seorang sahabat jurnalis yang merangkum karya saya, sempat menyebut
perjalanan saya sejauh ini sebagai campuran antara psikologi, pilosopi dan religi. Dan apapun sebutan dan
campurannya, mirip dengan rumah yang saya tinggali ketika tulisan ini dibuat, rumah intelektual saya juga tanpa
pagar pemisah dan pagar penyekat.
Yang jelas ada satu hal yang amat membantu saya hidup hening dalam rumah intelektual tanpa pagar : kesabaran.
Kita masih bisa berdebat tentang hubungan antara kualitas intelektual serta keheningan di satu sisi, dengan
kesabaran di lain sisi. Namun saya mendapat pelajaran amat banyak dari kesabaran. Ia tidak saja menjadi mesin
kebahagiaan, tetapi juga mesin kejernihan dan keheningan.
Bila menoleh pada tangga-tangga pemahaman saya terdahulu, betapa ketertutupan pikiran dan mind mudah sekali
muncul dalam kualitas kepribadian yang jauh dari kesabaran. Marah adalah pertanda ekstrim yang muncul ke
permukaan sebagai hasil produksi ketidaksabaran. Cuman ketertutupan mind tidak bisa dilihat semudah kita melihat
orang marah. Ia sering kali hadir secara amat tersembunyi.
Ketika masih melanjutkan studi di Inggris dan sempat sedikit terpesona dengan ide-ide orang seperti Derrida dan
Foucault, pernah terpikir untuk ikut mengkonstruksi mind ke dalam weak and strong mind. Di mana kesabaran lebih
dekat dengan weak mind, dan ketidaksabaran menghasilkan strong mind. Namun, semakin sang kesabaran diselami
dan didalami, semakin saya dihadapkan pada borderless mind, sebuah pemahaman tanpa sekat-sekat. Apapun isi
mind dari tua-muda, suka-duka, desa-kota, terdidik-tidak terdidik, sampai dengan born and unborn mind, tetap saja
sekat-sekat itu tidak banyak membantu. Setiap bentuk sekat membuat perjalanan pemahaman tidak tambah dalam,
sebaliknya malah tambah dangkal.
Sebut saja sekat-sekat benar-salah, atau suka-tidak suka. Ia membuat semua orang hanya mampu melihat sebagian
kecil saja dari wajah dunia. Apa lagi sekat-sekat menakutkan seperti ideologi dan agama yang dibela dengan teror
bom dan pada akhirnya menghasilkan air mata. Ia disamping mendangkalkan, juga membuat sang kehidupan
berwajah mengerikan.
Bercermin dari sinilah, saya batalkan niat saya untuk ikut mengkonstruksi weak and strong mind. Kemudian,
berjalan terus bersama kesabaran dengan sebuah cita-cita sederhana : melampaui mind. Bedanya, kalau Derrida dan
Foucault menggunakan kendaraan pikiran, saya sedang belajar melampaui pikiran dengan jalan-jalan Yoga. Sebuah
jalan dengan teramat sedikit bahasa, kata-kata apa lagi sekat.
Di tingkat kesadaran, dunia memang tanpa pagar, pemisah dan tanpa sekat. Namun, ia menjadi sulit dijangkau
karena manusia biasa melihat dan menjelaskan ‘hanya’ melalui bahasa - dari mana sekat dan pemisah itu berasal.
Sungguh tidak mudah berkomunikasi, apa lagi menerangkannya ke Anda bagaimana wajah sang kesadaran melalui
media bahasa. Ingin sebenarnya, suatu waktu kolom ini hanya ada foto dan nama saya, dan sisanya hanya kertas
kosong. Bila mana perlu tanpa kertas, tanpa penjelasan, tanpa apa-apa. Yang ada hanya kosong melompong.
Sayangnya, pengelola majalah ini tidak cukup gila untuk saya ajak masuk dalam kesadaran.
Kembali ke cerita awal saya tentang pesan-pesan SMS yang membuat banyak teman bertanya heran apakah saya
menekuni psikologi, pilosopi atau malah religi, dari tempat pengembaraan saya kemukakan ke sahabat-sahabat, saya
hanyalah seorang pertapa yang disuruh jadi raja. Dan dari kursi raja ini kemudian saya menemukan, kesabaranlah
kendaraan yang bisa membawa kita dalam kesadaran. Apakah Anda akan ikut saya, tidak ikut atau lari ketakutan, itu
urusan Anda masing-masing. Yang jelas, begitu tulisan ini selesai dibuat - asal Anda tahu - saya lari tunggang
langgang meninggalkan penjelasan-penjelasan dangkal dan memalukan ini.

Hadiah Terbaik Untuk Diri Sendiri


Oleh: Gede Prama
Setiap orang pernah mengalami masa-masa sulit dalam kehidupan. Ada masa sulit dalam berumah tangga,
kehidupan karir, kesehatan, atau kehidupan pribadi yang diguncang badai. Kebanyakan juga setuju kalau masa-masa
sulit ini bukanlah keadaan yang diinginkan. Sebagian orang bahkan berdoa, agar sejarang mungkin digoda oleh
keadaan-keadaan sulit. Sebagian lagi yang dihinggapi oleh kemewahan hidup ala anak-anak kecil, mau membuang
jauh-jauh, atau lari sekencang-kencangnya dari godaan hidup sulit.
Akan tetapi, sekencang apapun kita menjauh dari kesulitan, ia tetap akan menyentuh badan dan jiwa ini di waktu-
waktu ketika ia harus datang berkunjung. Rumus besi kehidupan seperti ini, memang berlaku pada semua manusia,
bahkan juga berlaku untuk seorang raja dan penguasa yang paling berkuasa sekalipun. Sadar akan hal inilah, saya
sering mendidik diri untuk ikhlas ketika kesulitan datang berkunjung.
Syukur-syukur bisa tersenyum memeluk kesulitan. Tidak dibuat sakit dan frustrasi saja saya sudah sangat bersyukur.
Pelukan-pelukan kebijakan seperti inilah yang datang ketika sang hidup sempat membanting saya dari sebuah
ketinggian. Sakit memang, tapi karena ia sudah saatnya datang berkunjung, dan kita tidak punya pilihan lain
terkecuali membukakan pintu rumah kehidupan, maka seterpaksa apapun hanya keikhlasanlah satu-satunya modal
berguna dalam hal ini.
Senyum penerimaan terhadap kesulitan memang terasa kecut di bibir. Dan sebagaimana logam yang sedang dibuat
menjadi patung indah, kesulitan memang terasa seperti semprotan panasnya api mesin las, dihajar oleh palu besar,
kencangnya cubitan tang, menyakitkannya goresan-goresan amplas kasar, atau malah tidak enaknya bau cat yang
menyelimuti seluruh badan patung logam. Semua tahu, kalau badan dan jiwa ini kemudian akan menjadi ‘patung
logam’ yang lebih indah dari sebelumnya. Tetapi tetap saja ada sisa-sisa ketakutan – dan bahkan mungkin trauma –
yang membuat kita manusia menghindar dari kesulitan.
Cuman selebar apapun goresan luka yang dibuat oleh kesulitan, ada mahluk yang amat berguna dan amat
dibutuhkan dalam pengalaman-pengalaman menyakitkan ini, ia bernama sahabat. Tidak semua sahabat fasih
memberikan nasehat. Tetapi dengan kesediaannya untuk mendengar, sinaran mata yang berisi empati, kesediaan
untuk menjaga rahasia, sahabat menjadi permata berlian yang amat berguna dalam keadaan-keadaan ini.
Di rumah saya memiliki seorang sahabat yang amat mengagumkan. Dari segi pendidikan formal ia hanya tamatan
SMU. Bahkan SMU tempat ia bersekolah dulu sudah bubar, sebagai tanda ia bukanlah berasal dari sekolah yang
terlalu membanggakan. Namun nasehat serta keteladanan hidupnya kadang mengagumkan. Di kantor saya memiliki
sejumlah bawahan yang datang sama manisnya baik ketika dipuji maupun setelah dimaki. Seorang tetangga
menelpon, mengirim SMS dan bahkan menyempatkan diri berkunjung ke rumah. Tidak untuk memberikan ceramah,
hanya untuk mendengar. Seorang sahabat dekat yang memimpin sebuah raksasa teknologi informasi bahkan
mengatakan bangga menjadi sahabat saya. Ketika tulisan ini dibuat, seorang sahabat lama yang tinggal di Surabaya
menelepon, tanpa bermaksud menggurui ia mengutip kata-kata indah Confucius : ‘Manusia salah itu biasa, tetapi
menarik pelajaran dari kesalahan itu baru luar biasa’.
Apa yang mau saya tuturkan dengan semua ini, rupanya sahabat adalah hadiah paling berharga yang bisa kita
berikan pada diri kita sendiri. Secara lebih khusus ketika kita ditimpa kesulitan yang menggunung. Sehingga patut
direnungkan, kalau kita perlu menabung perhatian, empati, cinta buat para sahabat. Tidak untuk berdagang dengan
kehidupan. Dalam arti, memberi dengan harapan agar diberi kelak. Melainkan, sebagaimana cerita dan pengalaman
di atas, dalam dunia persahabatan, dalam memberi kita sebenarnya sudah diberi. Bahkan, setiap sahabat yang
memberi perhatian dan empati pada sahabat lainnya, ketika itu juga mengalami the joy of giving. Ketika itu juga
seperti ada beban di bahu yang berkurang jauh beratnya.
Ada memang orang yang memiliki banyak sekali teman. Kemana-mana namanya dipanggil orang. Cuman, sedikit
diantara semua teman yang banyak ini kemudian bisa menjadi sahabat. Bercermin dari kenyataann inilah, maka saya
lebih memusatkan diri untuk mencari dan membina sahabat. Jumlahnya memang tidak akan pernah banyak. Bahkan
ia lebih sedikit dari jumlah jari tangan. Cuman sesedikit apapun jumlahnya, sahabat tetap sejenis hadiah terbaik yang
bisa kita bisa berikan buat diri sendiri.
Mobil mewah memang bisa membawa kita ke tempat jauh lengkap dengan gengsinya. Rumah mewah memang bisa
meningkatkan kenyamanan tinggal sekaligus meningkatkan kelas. Ijazah lengkap dengan gelarnya yang mentereng
juga bisa meningkatkan percaya diri. Akan tetapi, baik mobil mewah, rumah mewah maupun ijazah tidak bisa
menghadirkan empati yang menyentuh hati ke diri ini. Lebih-lebih ketika sang kesulitan datang menghimpit badan.
Di sebuah Sabtu pagi, seorang sahabat yang membaca harian Kompas yang memberitakan bahwa saya
mengundurkan diri dari jabatan presiden direktur di sebuah kelompok usaha amat besar di negeri ini, langsung
menelepon saya dari tempat yang jauh. Ia berucap sederhana : ‘saya bangga jadi teman Anda’. Inilah hadiah terbaik
yang bisa dihadiahkan ke diri sendiri. Ia tidak dibungkus kado, ia juga tidak hanya datang ketika hari raya atau ulang
tahun. Ia justru lebih sering datang ketika kita amat membutuhkannya.

Anda mungkin juga menyukai