Pada setiap perjalanan, ada saja cara-cara sang hidup untuk bertutur. Dalam sebuah penerbangan dari Sydney ke
Denpasar, entah apa yang terjadi tiba-tiba badan ini tidak mau membaca dan tidak mau tidur. Sehingga
menerawanglah mata dari atas pesawat ke bawah sana. Ternyata, selama kurang lebih tiga setengah jam
penerbangan tanah-tanah Australia lebih dari sembilan puluh persen berisi tanah kering yang tandus. Bandingkan
misalnya dengan penerbangan dari Jakarta ke Medan. Selama hampir dua jam, di bawah sana terbentang warna hijau
bukit barisan yang indah dan subur.
Di jalan-jalan darat, mata ini juga disuguhi bahan-bahan cerita yang berlimpah. Dalam sebuah perjalanan dari
Medan ke Berastagi, mobil yang saya tumpangi mengikuti sebuah bus antarkota. Yang menarik, di atas bus tadi ada
sekelompok orang yang duduk-duduk tenang dengan wajah gembira. Di sebuah pasar yang membuat jalan jadi
macet, orang-orang yang tidak mengenal dinginnya udara di atas bus yang berjalan ini, tiba-tiba memesan durian
dari atas sana, dan melahapnya dengan penuh gembira. Dari kaca mobil yang diteduhi AC diri ini bergumam kecil :
mereka bisa hidup bahagia seadanya. Dan tiba-tiba teringat sebuah pengalaman ketika menginap di sebuah hotel
berbintang di Bali sana. Dari mobil mewah yang mengkilap, keluar serombongan keluarga yang bermuka merah
saling marah-marah. Sebelum mereka check in, mereka cekcok dan akhirnya kembali dari Bali tanpa bisa berlibur.
Melalui ilustrasi ini, sang hidup seperti sedang bertutur : we can be prosper at any level of income. Kita bisa
sejahtera di setiap tingkatan pendapatan berapapun. Kesejahteraan, memang berkaitan dengan uang. Akan tetapi,
yang paling utama tidak disebabkan oleh uang. Lantas, kalau tidak disebabkan oleh uang, disebabkan oleh apa ?
Sebagaimana sudah dicatat rapi oleh sejarah, kesejahteraan memang berwajah ganda : material dan transendental.
Keduanya memang saling memerlukan dan saling mengisi. Kesejahteraan material tanpa kesejahteraan transendental
sering membuat orang jadi kaya tapi tidak bahagia. Kesejahteraan transendental tanpa kesejahteraan material
menarik manusia ke dalam rangkaian hidup yang tidak seimbang : menoleh ke atas, lupa tugas-tugas di bawah dan
disamping.
Kegagalan banyak manusia untuk merangkum kedua jenis kesejahteraan ini ternyata direspon tidak terlalu antusias
oleh ilmi-ilmu manusia. Nyatanya wilayah-wilayah hubungan antara uang dan kesadaran manusia termasuk wilayah
pengetahuan yang tidak banyak dieksplorasi. Kebingungan dan keterasingan di tengah limpahan uang, sang hidup
yang diperkuda uang, hanyalah sedikit contoh dalam hal ini. Ada sahabat jernih yang pernah berbisik : many people
have career, but they don’t have life. Banyak manusia yang memiliki karir cemerlang, tetapi tidak memiliki hidup.
Berangkat pagi, putera-puteri masih tidur. Setelah pulang, mereka sudah tidur. Tatkala miskin tidak bisa makan enak
karena tidak punya uang. Setelah kaya tidak boleh makan enak karena dilarang dokter. Di awal kehidupan semua
tenaga fisik dikerahkan untuk kehidupan terang kemudian. Setelah materi terang benderang hanya habis untuk
membayar ongkos rumah sakit.
Mungkin betul cerita orang bijak, kalau kehidupan adalah guru yang sempurna. Tubuh ini misalnya, ia sering kali
mengingatkan kita akan perilaku-perilaku menyimpang. Pengalaman-pengalaman yang terbentang luas, juga
bertutur cerewet tentang pedoman-pedoman menemukan kesejahteraan. Sayangnya, tidak sedikit diantara kita yang
tuli akan pesan-pesan sang guru kehidupan. Untuk kemudian, mengulang-ulang lagi keterperosokan-keterperosokan
terdahulu.
Dalam lapisan-lapisan renungan seperti ini, mungkin ada gunanya untuk melihat hakekat uang. Uang, harus diakui,
memang sejenis energi kehidupan. Namun, tanpa kemampuan mengelola yang memadai, ia menjadi kuda yang
minta digendong. Disamping berat, juga membuat sang hidup meneteskan air mata di sepanjang jalan.
Sebuah lagu tua pernah bertutur jernih, hidup ini memang serupa dengan menyapu lantai. Setiap hari kita menyapu
lantai. Hilang debu, datang daun kering dan seterusnya tanpa pernah habis-habis. Demikian juga dengan lantai-lantai
kehidupan. Kita perlu menyapunya setiap hari. Dan sapu kesejahteraan yang paling mengagumkan bernama sapu
cukup. Sekali lagi, cukup adalah sapu pembersih kehidupan yang paling bisa membuat lantai-lantai kehidupan
tampak bersih.
Dan sebagaimana diakui banyak sahabat, justru menemukan sapu cukup inilah bagian terberat dari perjalanan
menemukan kesejahteraan. Terutama karena sang uang – melalui tamu kehidupan yang bernama nafsu - memaksa
untuk digendong. Serupa dengan mulut yang meminta makan ditambah terus ketika enak, dan bisa dihentikan
dengan air putih, kita juga memerlukan air putih kesadaran. Yang bisa membuat kuda uang turun dari gendongan,
dan kemudian kitalah yang naik di atas.
Tidak mudah tentunya. Ia memerlukan serangkaian latihan kehidupan yang panjang. Dan juga menuntut manusia
menjadi supir dari kendaraan kehidupan yang bernama tubuh. Ketika manusia sudah menjadi supir dari tubuhnya,
terbukalah tanda-tanda bisa menjadi kaya raya selamanya. Ketika punya uang, supir mengaturnya dengan rangkaian
manajemen keuangan yang terpadu. Ketika tidak punya uang, supir mengatakan begini : time for break !. Baik
ketika ada maupun tidak ada uang, sang supir menyanyikan lagu syukur sepanjang jalan. Pernah kejernihan berbisik
begini ke saya : ketika kita masih mencari, kita memerlukan tujuan dan masa depan. Tatkala manusia tidak lagi
mencari, ia memiliki semuanya di sini di hari ini.
Mensyukuri Neraka
Oleh: Gede Prama
Entah kapan dimulai, dan siapa yang memulainya tidaklah terlalu jelas. Yang jelas, ada banyak sekali manusia yang
amat rindu akan surga dan amat takut sama neraka. Dari anak kecil sampai orang tua, dari orang desa sampai orang
kota, kebanyakan rindu surga dan takut neraka.
Jujur harus diakui, sayapun pernah lama dilanda kerinduan dan ketakutan semacam itu. Cuman, setelah menelusuri
lorong-lorong kehidupan dengan kedalaman kontemplasi tertentu, rupanya kita manusia sudah terlalu lama manja
dengan buaian surga, dan dibuat takut oleh ancaman neraka. Untuk kemudian kehilangan dua kesempatan emas
dalam hidup. Kesempatan emas pertama, manusia kehilangan kekuatan amat besar yang bernama keikhlasan.
Kesempatan emas kedua, justru melalui tempaan-tempaan neraka yang ditakuti (baca : masalah) kemudian manusia
jadi kuat dan hebat.
Konsepsi surga-neraka, sebagaimana kita tahu, memang memiliki banyak sekali manfaat. Cuman, sebagaimana
wajah dualitas manapun, konsepsi surga-neraka membuat tidak sedikit manusia kemudian "berdagang" dengan
kehidupan. Sebagai akibatnya, manusia kehilangan keikhlasan sebagai kekuatan kehidupan.
Ada cerita tentang sebuah desa yang tidak berhasil memotong pohon besar mengganggu. Karena berbagai peralatan
tidak berhasil membuat pohon tumbang, dicurigai pohon ini ditunggui mahluk dengan kekuatan metafisik tertentu.
Dicarilah orang "pintar" yang bisa membantu. Ternyata, ada orang berpenampilan sederhana yang bisa memotong
pohon tadi dengan gergaji biasa. Orang terakhir hanya memotong pohon tadi dengan kalimat permulaan yang
berbunyi: "Dengan keikhlasan di depan Tuhan, tidak ada yang tidak bisa dilakukan."
Ternyata kinerja orang sederhana ini terdengar ke banyak tempat. Di samping karena kekaguman masyarakat, juga
kerena hadiah besar yang telah diterimanya. Di desa seberang yang memiliki problema yang serupa kemudian
memanggilnya. Dan setelah memotong pohon dengan teknik dan alat yang sama, ternyata berkali-kali hanya
berujung kegagalan. Ada yang berubah, katanya setelah berulang kali gagal, hadiah rupanya melenyapkan
keikhlasan!
Ini memang hanya sebuah cerita, namun layak direnungkan kalau keikhlasan bukanlah sumber kelemahan. Ia sejenis
tenaga dalam yang bisa membuat manusia jadi demikian perkasa. Terinspirasi dari banyak cerita-cerita sufi,
demikian juga dari puisi-puisi Gibran dan Rumi, serta kualitas pemimpin-pemimpin yang masih berkuasa ketika
badannya sudah disebut meninggal oleh dokter, keikhlasan sudah menjadi tema kehidupan yang kuat sejak dulu.
---------------------Catatan Dynamics Consulting:----------------------
Bagi sahabat yang tertarik untuk bersama memperkaya jiwa
Hadiri Program Dynamics Consulting bersama Gede Prama dalam:
Life ReCreation Forum X
Life Innovation Through Heart Inntilligance
(Menemukan Kecerdasan yang Membahagiakan)
Jakarta, Kartika Chandra, Ruang Kirana
Tanggal 27 Mei 2004, Pukul 09.00-16.00 WIB
Sejarah berjalan konsisten! Perang, konflik, permusuhan, perceraian, skandal, semuanya bergerak konsisten.
Semuanya dibawa terus oleh pipa-pipa sejarah tanpa tanda-tanda akan berhenti.
Teknologi berkembang, pengetahuan semakin maju, sejarah semakin jelas catatannya, kekayaan materi bertambah,
manusia bertambah cerdas tapi toh semuanya ini terulang kembali.
Ada yang bertanya, "Kenapa meningginya kecerdasan tidak diikuti oleh bertambahnya kedamaian dan
kebahagian?"