Disusun oleh:
Melpa Yohana Sianipar 04054821820041
Pembimbing:
dr. H.A.R. Toyo, Sp.S (K)
DEPARTEMEN NEUROLOGI
2019
1
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Oleh:
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
di Bagian/Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh.
Hoesin Palembang Periode 29 Juli – 02 September 2019.
2
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah S.W.T. karena berkat rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul ”Penurunan Kesadaran dengan
CVD Hemoragik”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Neurologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. H.A.R. Toyo, Sp.S (K) selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan laporan
kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Semoga
laporanini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Penulis
4
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. 1
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... 2
KATA PENGANTAR ........................................................................................... 3
DAFTAR ISI.......................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 5
BAB II STATUS PASIEN ................................................................................ 6
Identifikasi ............................................................................................. 6
Anamnesis ............................................................................................. 6
Pemeriksaan Fisik.................................................................................. 7
Pemeriksaan Penunjang ........................................................................ 16
Diagnosis .............................................................................................. 16
Tatalaksana ........................................................................................... 19
Prognosis .............................................................................................. 19
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 20
BAB IV ANALISIS KASUS .............................................................................. 42
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 45
5
BAB I
PENDAHULUAN
Stroke adalah gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah
otak.Stroke adalah penyakit multifaktorial dengan berbagai penyebab disertai manifestasi
klinis mayor, dan penyebab utama kecacatan dan kematian di Negara-negara
berkembang.Menurut WHO, stroke didefinisikan sebagai suatu tanda klinis yang berkembang
cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama
24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas
selain vaskuler.
Stroke menduduki urutan ketiga sebagai penyebab utama kematian setelah penyakit
jantung koroner dan kanker di negara-negara berkembang. Negara berkembang juga
menyumbang 85,5% dari total kematian akibat stroke di seluruh dunia. Di Indonesia,
prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per 1000 penduduk. Daerah yang memiliki prevalensi
stroke tertinggi adalah Aceh (16,6 per 1000 penduduk). Menurut Riskesdas tahun 2007,
stroke bersama-sama dengan hipertensi, penyakit jantung iskemik dan penyakit jantung
lainnya, merupakan penyakit tidak menular utama penyebab kematian di Indonesia.
Insiden stroke pada laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan pada usia
lebih muda, tetapi tidak demikian halnya pada usia tua. Di Indonesia, penelitian berskala
cukup besar pernah dilakukan oleh ASNA (ASEAN Neurological Association) di 28 Rumah
Sakit (RS) seluruh Indonesia. Dari 2.065 pasien stroke akut, dijumpai rata-rata usia adalah
58,8 tahun (range 18-95 tahun) dengan kasus pada pria lebih banyak dari pada wanita.
Stroke dapat dibagi menjadi dua, yaitu stroke non hemoragik dan stroke
hemoragik.Sebagian besar (80%) disebabkan oleh stroke non hemoragik.Berdasarkan
penelitian-penelitia sebelumnya, di Indonesia kejadian stroke iskemik lebih sering ditemukan
dibandingkan stroke hemoragik. Adapun faktor resiko yang memicu tingginya angka
kejadian stroke iskemik adalah faktor yang tidak dapat dimodifikasi (contoh: usia, ras,
gender, genetic, dll) dan faktor yang dapat dimodifikasi (contoh: obesitas, hipertensi,
diabetes, dll). Identifikasi faktor resiko sangat penting untuk mengendalikan kejadian stroke
di satu negara.
6
BAB II
STATUS PENDERITA
2.1 IDENTIFIKASI
Nama : Ny. YC
Umur : 70 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Talang Simpang, Sungai Keruh, Palembang
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
MRS Tanggal : 04 Agustus 2019
No. Rekmed :1134309
2.2 ANAMNESIS
Penderita dirawat di bagian neurologi RSMH karena mengalami penurunan kesadaran
yang terjadi secara tiba-tiba.
Sejak ±11 jam SMRS, penderita mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba saat
sedang beraktivitas. Sebelumnya sakit kepala tidak ada, muntah ada sebanyak dua kali,
kejang tidak ada, kelemahan sesisi tubuh kanan ada, bicara pelo belum dapat dinilai, sudut
mulut kanan tertinggal, gangguan sensibilitas berupa rasa baal dan kesemutan belum dapat
dinilai. Kemampuan penderita untuk mengungkapkan isi pikiran orang lain baik secara lisan,
tulisan maupun isyarat belum dapat dinilai, dan kemampuan penderita mengerti isi pikiran
orang lain yang disampaikan secara lisan, tulisan maupun isyarat belum dapat dinilai.
Riwayat hipertensi ada sejak tahun 2 tahun yang lalu tetapi tidak rutin minum obat.
Riwayat kencing manis tidak ada. Riwayat kolesterol tidak ada, riwayat trauma kepala tidak
ada.Riwayat penyakit jantung tidak ada, riwayat sesak nafas tidak ada, riwayat berkeringat
banyak tidak ada.
Penyakit seperti ini dialami untuk pertama kalinya.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga dengan riwayat penyakit yang sama
7
2.3 Pemeriksaan Fisik
2.3.1 Status Internus ( Agustus, 2019)
Kesadaran : GCS = 10 (E3M5V2)
Tekanan Darah : 190/100 mmHg
Nadi : 84 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Suhu Badan : 36,5º C
Pernapasan : 20 kali/menit
BB : 65 kg
TB : 158 cm
Kepala dan leher : Konjungtiva palpebra pucat (-), tidak ada tanda trauma, tidak ada
bekas suntikan, tidak ada perdarahan, JVP (5-2) cmH20, pembesaran
KGB (-)
Thorax
Paru : I: Statis dan dinamis simetris kanan = kiri
P: Stem fremitus kanan= kiri
P: Sonor di kedua lapang paru
A: Vesikuler (+) normal, wheezing (-/-), ronki (-/-)
Jantung :I: Iktus kordis tidak terlihat
P: Iktus kordis teraba
P: Batas jantung normal
A: Bunyi jantung I-II normal,HR = 101x/menit,murmur(-), gallop(-)
Abdomen : Datar, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral pucat (-), edema pretibial (-)
Genitalia : Tidak diperiksa
8
2.3.4 Status Neurologikus
KEPALA
Bentuk : Normochepali Deformitas : tidak ada
Ukuran : normal Fraktur : tidak ada
Simetris : simetris Nyeri fraktur : tidak ada
Hematom : tidak ada Pembuluh darah: tidak ada pelebaran
Tumor : tidak ada Pulsasi : tidak ada
LEHER
Sikap : lurus Deformitas : tidak ada
Torticolis : tidak ada Tumor : tidak ada
Kaku kuduk : tidak ada Pembuluh darah: tidak ada pelebaran
SYARAF-SYARAF OTAK
N. Olfaktorius Kanan Kiri
Penciuman Belum dapat dinilai
Anosmia Belum dapat dinilai
Hiposmia Belum dapat dinilai
Parosmia Belum dapat dinilai
N. Optikus Kanan Kiri
Visus Belum dapat dinilai
Campus visi V.O.D V.O.S
9
N. Occulomotorius, Trochlearis, & Abducens Kanan Kiri
Diplopia bdd Bdd
Celah mata tidak ada tidak ada
Ptosis tidak ada tidak ada
Sikap bola mata
- Strabismus tidak ada tidak
(-) ada
- Exophtalmus tidak ada tidak
(-) ada
- Enophtalmus tidak ada tidak
(-) ada
- Deviation conjugae tidak ada tidak ada
Gerakan bola mata bdd bdd
Pupil
- Bentuk Bulat Bulat
- Diameter 3 mm 3 mm
- Isokor/anisokor Isokor Isokor
- Midriasis/miosis Tidak ada Tidak ada
- Refleks cahaya
Langsung + +
Konsensuil + +
Akomodasi + +
- Argyl Robertson - -
10
N. Fasialis Kanan Kiri
Motorik
- Mengerutkan dahi Simetris
- Menutup mata Lagophtalmus (-)
- Menunjukkan gigi Sudut mulut kanan tertinggal
- Lipatan nasolabialis Plica nasolabialis kanan datar
- Bentuk muka
Istirahat Simetris
Berbicara/bersiul Belum dapat dinilai
Sensorik
- 2/3 depan lidah Belum dapat dinilai
Otonom
- Salivasi Tidak ada kelainan
- Lakrimasi Tidak ada kelainan
- Chvostek’s sign -
11
Refleks
- Muntah Tidak ada
- Batuk Tidak ada
- Okulokardiak Tidak ada
- Sinus karotikus Tidak ada
Sensorik
- 1/3 belakang lidah Belum dapat dinilai
MOTORIK
LENGAN Kanan Kiri
Gerakan Kurang Cukup
Kekuatan 3 5
Tonus Meningkat Normal
Refleks fisiologis
- Biceps Meningkat Normal
- Triceps Meningkat Normal
- Radius Meningkat Normal
- Ulna Meningkat Normal
Refleks patologis
- Hoffman Ttromner (-) (-)
- Leri (-) (-).
- Meyer (-) (-)
Trofik (-) (-)
12
TUNGKAI Kanan Kiri
Gerakan Kurang Cukup
Kekuatan 4 5
Tonus Meningkat Normal
Klonus
- Paha (-) (-)
- Kaki (-) (-)
Refleks fisiologis
- KPR Meningkat Normal
- APR Meningkat Normal
Refleks patologis
- Babinsky (+) (-)
- Chaddock (+) (-)
- Oppenheim (-) (-)
- Gordon (-) (-)
- Schaeffer (+) (-)
- Rossolimo (-) (-)
- Mendel Bechterew (-) (-)
13
SENSORIK : Belum dapat dinilai
FUNGSI VEGETATIF
Miksi : tidak ada kelainan
Defekasi : tidak ada kelainan
KOLUMNA VERTEBRALIS
Kyphosis : tidak ada
Lordosis : tidak ada
Gibbus : tidak ada
Deformitas : tidak ada
Tumor : tidak ada
Meningocele : tidak ada
Hematoma : tidak ada
Nyeri ketok : tidak ada
14
- Neck : (-)
- Cheek : (-)
- Symphisis : (-)
- Leg I : (-)
- Leg II : (-)
GERAKAN ABNORMAL
Tremor : (-)
Rigiditas : (-)
Bradikinesia : (-)
Chorea : (-)
Athetosis : (-)
Ballismus : (-)
Dystoni : (-)
Myocloni : (-)
REFLEKS PRIMITIF
Glabella : (-)
Palmomental : (-)
FUNGSI LUHUR
15
Afasia motorik : Belum dapat dinilai
Afasia sensorik : Belum dapat dinilai
Apraksia : Belum dapat dinilai
Agrafia : Belum dapat dinilai
Alexia : Belum dapat dinilai
Afasia nominal : Belum dapat dinilai
Stroke hemoragik
16
LABORATORIUM( 6 Agustus 2019)
DARAH
Hb : 12.5 g/dL Ureum : 45 mg/dL
Eritrosit : 4.26 x 106/mm3 Kreatinin : 0.96 mg/dL
Leukosit : 12.41 x 103/mm3
Diff Count : 0/0/90/8/2 %
Trombosit : 290 x 103/μL Natrium : 137 mEq/L
Hematokrit : 37 % Kalium : 4.1 mEq/L
Klorida : 112 mmol/L
INR : 0,96
APTT : 24.7 (32.5) detik Fibrinogen : 374 (404) mg/dL
D-dimer : 1,96 mg/L
17
2. CT Scan Kepala
Kesan :
Acute hemorrhage intra cerebri fronto-temporalis kiri dengan edema perifokal,
menekan ventrikel lateralis cornu frontalis kiri, midline shift ke kanan.
3. EKG
18
Irama sinus, reguler, HR: 100 x/menit, axis normal, Gelombang P normal, PR interval <
0,2 detik, QRS kompleks < 0,12 s
2.5 Diagnosis
Diagnosis Klinik : Obs Penurunan Kesadaran
: Hemiparese Dextra Tipe Spastik
: Parese N VII Dextra tipe sentral
Diagnosis Topik : Lobus frontal sinistra
Diagnosis Etiologi : CVD Hemoragik (ICH)
Diagnosis Tambahan : Hipertensi Stage II
HHD
2.7 Penatalaksanaan
A. Non farmakologis
- Head up 30o
- O2 3-4 L/menit
- Diet cair 1700 kkal TKTP /NGT
B. Farmakologis
- IVFD NS 0,9% gtt xx/menit
- Manitol 250cc dilanjutkan 4x125cc
- Inj. Ranitidin 2x50 mg (IV)
- Drip nicardipin 2 amp dalam 100 cc dosis titrasi
- Neurodex 1x1 tab PO
- PCT 3 x 1 g PO
19
20
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi
3.1.1 Vaskularisasi Otak
Otak memperoleh darah melalui dua sistem yakni sistem karotis (arteri karotis
interna kanan dan kiri) dan sistem vertebral. Arteri koritis interna, setelah memisahkan
diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak melalui kanalis
karotikus, berjalan dalam sinus kavernosum, mempercabangkan arteri oftalmika untuk
nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua: arteri serebri anterior dan arteri
serebri media. Untuk otak, sistem ini memberi darah bagi lobus frontalis, parietalis dan
beberapa bagian lobus temporalis. Sistem vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan
dan kiri yang berpangkal di arteri subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis
21
tranversalis di kolumna vertebralis servikal, masuk rongga kranium melalui foramen
magnum, lalu mempercabangkan masing-masing sepasang arteri serebeli inferior. Pada
batas medula oblongata dan pons, keduanya bersatu arteri basilaris, dan setelah
mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri, pada tingkat mesensefalon, arteri basilaris
berakhir sebagai sepasang cabang: arteri serebri posterior, yang melayani darah bagi
lobus oksipitalis, dan bagian medial lobus temporalis. Ke 3 pasang arteri serebri ini
bercabang-cabang menelusuri permukaan otak, dan beranastomosis satu bagian lainnya.
Cabang- cabang yang lebih kecil menembus ke dalam jaringan otak dan juga saling
berhubungan dengan cabang-cabang arteri serebri lainya.1
22
Ada tiga sirkulasi yang membentuk sirkulus willisi di otak. Ketiga sirkulasi tersebut
adalah:
1. Sirkulasi anterior, terdiri dari middle cerebral artery (MCA), anterior cerebral artery
(ACA) dan arteri komunikans anterior yang menghubungkan kedua ACA
2. Sirkulasi posterior yang terdiri dari PCA
23
3. Arteri komunikans posterior yang menghubungkan MCA dengan PCA.
Kegunaan sirkulus willisi ini adalah untuk proteksi terjaminnya pasokan darah ke otak
apabila terjadi sumbatan di salah satu cabang. Misal bila terjadi sumbatan parsial pada
proksimal dari anterior cerebral artery kanan, maka arteri serebri kanan ini akan menerima
darah dari arteri karotis komunis lewat ACA kiri dan anterior communicating artery.
3.2 Fisiologi
Faktor darah, selain viskositas darah dan daya membekunya, juga di antaranya
seperti kadar/tekanan parsial CO2 dan O2 berpengaruh terhadap diameter
arteriol.Kadar/tekanan parsial CO2 yang naik, PO2 yang turun, serta suasana jaringan
yang asam (pH rendah), menyebabkan vasodilatasi, sebaliknya bila tekanan darah parsial
CO2 turun, PO2 naik, atau suasana pH tinggi, maka terjadi
vasokonstriksi.Viskositas/kekentalan darah yang tinggi mengurangi ADO. Sedangkan
koagulobilitas yang besar juga memudahkan terjadinya trombosis, aliran darah lambat,
akibat ADO menurun.1
24
1. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intaserebral dibagi menjadi dua, yaitu perdarahan intaserebral primer dan
perdarahan intraserebral sekunder. Perdarahan intraserbral primer disebabkan oleh hipertensi
kronik yang menyebabkan vaskulopati serebral dengan akibta pecahnya pembuluh darah
otak. Sedangkan perdarahan sekunder terjadi aakibat adanya anomaly vaskular congenital,
koagulopati, tumor otak, vaskulitis, maupun akibat obat-obat antikoagulan. Diperkirakan
sekitar 50% dari penyebab perdarahan intraserebral adalah hipertensi kronik. 4
2. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid terjadi bila keluarnya darah ke ruang subarachnoid sehingga
menyebakan reaksi yang cukup hebat berupa sakit keapala yang hebat dan bahkan penurunan
kesadaran. Perdarahan subarachnoid dapat terjadi akibat pecahnya aneurisma sakuler.
25
selaput akson massa putih “dissecan splitting” tanpa merusaknya. Dalam keadaan ini,
absorpsi darah akan diikuti oleh pulihnya fungsi-fungsi neurologi. Sedangkan bila perdarahan
yang terjadi dalam jumlah besar, maka akan merusak struktur anatomi dari otak, peningkatan
tekanan intracranial dan bahkan dapat menyebabkan herniasi otak pada falx serebri atau lewat
foramen magnum. Perdarahan intraserebral yang yang tidak diatasi dengan baik akan
menyebar hingga ke ventrikel otak sehingga menyebabkan perdarahan intraventrikel.
Perdarahan intraventrikel ini diikuti oleh hidrosefalus obstruktif dan akan memperburuk
prognosis. Jumlah perdarahan yang lebih dari 60 ml akan meningkatkan resiko kematian
hingga 93%. 1,2,14
26
3.3.4 Diagnosis Stroke Hemoragik4,5
1. Anamnesis
Pada anamnesa akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak, mulut mengot atau bicara pelo
yang terjadi secara tiba-tiba pada saat sedang beraktivitas. Selain itu, pada anamnesa juga
perlu ditanyakan penyakit-penyakit tedahulu seperti diabetes mellitus atau kelainan jantung.
Obat-obatan yang dikonsumsi, riwayat penyakit dalam keluarga juga perlu ditanyakan pada
anamnesa.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pasien stroke perlu dilakukan pemeriksaan fisik neurologi seperti tingkat kesadaran,
ketangkasan gerakan, kekuatan otot, refleks tendon, refleks patologis dan fungsi saraf kranial.
Pemeriksaan tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu sebagai berikut :
Tabel 3. Glasgow Coma Scale(GCS)
Respon Skor
a. Membuka mata
1) Membuka spontan 4
2) Membuka dengan perintah 3
3) Membuka mata karena rangsang nyeri 2
4) Tidak mampu membuka mata 1
b.Kemampuan bicara
1) Orientasi dan pengertian baik 5
2) Pembicaraan yang kacau 4
3) Pembicaraan tidak pantas dan kasar 3
4) Dapat bersuara, merintih 2
5) Tidak ada suara 1
c.Tanggapan motorik
1) Menanggapi perintah 6
2) Reaksi gerakan lokal terhadap rangsang 5
3) Reaksi menghindar terhadap rangsang nyeri 4
4) Tanggapan fleksi abnormal 3
5) Tanggapan ekstensi abnormal 2
6) Tidak ada gerakan 1
27
Derajat kesadaran :
Kompos mentis = GCS 15-14
Somnolen = GCS 13-8
Sopor = GCS 7-4
Koma = GCS 3
Gangguan ringan ketangkasan gerakan jari-jari tangan dan kaki dapat dinilai melalui tes yang
dilakukan dengan cara menyuruh penderita membuka dan menutup kancing bajunya.
Kemudian melepas dan memakai sandalnya.
Penilaian kekuatan otot dalam derajat tenaga 0 sampai 5 secara praktis mempunyai
kepentingan dalam penilaian kemajuan atau kemunduran orang sakit dalam perawatan dan
bukan suatu tindakan pemeriksaan yang semata-mata menentukan suatu kelumpuhan.
Pemeriksaan kekuatan otot adalah sebagai berikut :
0 : Tidak ada kontraksi otot
1 : Terjadi kontraksi otot tanpa gerakan nyata
2 : Pasien hanya mampu menggeserkan tangan atau kaki
3 : Mampu mengangkat tangan, tetapi tidak mampu menahan gravitasi
4 : Tidak mampu menahan tangan pemeriksa
5 : Kekuatan penuh
Refleks patologis dapat dijumpai pada sisi yang hemiparetik. Refleks patologis yang dapat
dilakukan pada tangan ialah refleks Hoffmann–Tromner. Sedangkan refleks patologis yang
dapat dibangkitkan di kaki ialah refleks Babinsky, Chaddock, Oppenheim, Gordon, Schaefer
dan Gonda.4
Saraf kranial adalah 12 pasang saraf pada manusia yang keluar melalui otak, berbeda dari
saraf spinal yang keluar melalui sumsum tulang belakang. Saraf kranial merupakan bagian
dari sistem saraf sadar. Dari 12 pasang saraf, 3 pasang memiliki jenis sensori (saraf I, II,
VIII), 5 pasang jenis motorik (saraf III, IV, VI, XI, XII) dan 4 pasang jenis gabungan (saraf
V, VII, IX, X).
28
Tabel 4. Gangguan nervus kranialis. 20
29
dan visera abdomen
CT scan
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan baku emas untuk membedakan stroke infark
dengan stroke perdarahan.
Pada stroke karena infark, gambaran CT scannya secara umum adalah didapatkan
gambaran hipodens sedangkan pada stroke perdarahan menunjukkan gambaran hiperdens.
Intracranial Hemorrhage
Pada intracranial hemorrhage, pada fase akut (<24 jam), gambaran radiologi akan
terlihat hyperdense, sedangkan jika fase subakut (24 jam – 5 hari) akan terlihat isodense,
sedangkan pada fase kronik (> 5hari) akan terlihat gambaran hypodense. Perdarahan terjadi
di intracerebral sehingga gambaran CSF akan terlihat jernih.
30
Subarachnoid Hemorrhage
Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan ini sangat baik untuk menentukan adanya lesi di batang otak (sangat
sensitif). Secara umum juga lebih sensitif dibandingkan CT scan, terutama untuk mendeteksi
pendarahan posterior.
Pemeriksaan Angiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan apakah lokasi pada sistem karotis atau
vertebrobasiler, menentukan ada tidaknya penyempitan, oklusi atau aneurisma pada
pembuluh darah.
Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini untuk menilai pembuluh darah intra dan ekstra kranial, menentukan
ada tidaknya stenosis arteri karotis.
Pemeriksaan ini digunakan apabila tidak ada CT scan atau MRI. Pada stroke
perdarahan intraserebral didapatkan gambaran LCS seperti cucian daging atau berwarna
kekuningan. Pada perdarahan subaraknoid didapatkan LCS yang gross hemorragik. Pada
stroke infark tidak didapatkan perdarahan (jernih).
31
Pemeriksaan Penunjang Lain.
Pemeriksaan untuk menetukan faktor risiko seperti darah rutin, komponen kimia
darah (ureum, kreatinin, asam urat, profil lipid, gula darah, fungsi hepar), elektrolit darah,
foto toraks, EKG, echocardiografi.
2. Stadium Akut
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30 mL, perdarahan
intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung memburuk. Tekanan
darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila tekanan sistolik
>180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan volume hematoma bertambah.
Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera diturunkan dengan labetalol iv 10 mg
(pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg;
enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral. Jika didapatkan
tanda tekanan intracranial meningkat, posisi kepala dinaikkan 30º, posisi kepala dan dada di
satu bidang, pemberian manitol (lihat penanganan stroke iskemik), dan hiperventilasi (pCO2
20-35 mmHg). 4,5,16
Terapi umum:
a. Letakkan kepala pasien pada posisi 30º, kepala dan dada pada satu bidang; ubah
posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah
stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit sampai
didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi
32
dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih
penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten).
b. Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL dan
elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin isotonik.
Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan
gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui selang nasogastrik.
c. Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150
mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia
(kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan
dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya.
d. Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan sesuai
gejala. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik
≥220 mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) ≥ 130
mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan
infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan
darah maksimal adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium nitroprusid,
penyekat reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi
hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90 mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl
0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8
jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah
sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit sampai tekanan
darah sistolik ≥ 110 mmHg.
e. Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit, maksimal 100
mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin).
Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka
panjang.
f. Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25
sampai 1 g/ kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan
umum memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5
hari. Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif,
dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
Terapi khusus
33
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tindakan bedah
mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian
memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat
perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan perdarahan lobar >60
mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi. Pada
perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium (nimodipin) atau tindakan
bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun gamma knife) jika penyebabnya adalah
aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous malformation, AVM). 1,2,15
3. Stadium Subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi wicara, dan
bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan penyakit yang panjang,
dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan tujuan
kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan program preventif primer dan
sekunder.
Terapi fase subakut:
a. Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya,
b. Penatalaksanaan komplikasi,
c. Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi, terapi wicara,
terapi kognitif, dan terapi okupasi,
d. Prevensi sekunder
e. Edukasi keluarga dan Discharge Planning
3.3.6 Prognosis4,5
1. Perdarahan Intraserebral
Prediktor terpenting untuk menilai outcome perdarahan intra serebri (PIS) adalah
volume PIS, tingkat kesadaran penderita (menggunakan skor Glasgow Coma Scale (GCS),
dan adanya darah intraventrikel. Volume PIS dan skor GCS dapat digunakan untuk
memprediksi tingkat kematian dalam 30 hari dengan sensitivitas sebesar 96% dan spesifitas
98%. Prognosis buruk biasanya terjadi pada pasien dengan volume perdarahan (>30mL),
lokasi perdarahan di fossa posterior, usia lanjut dan MAP >130 mmHg pada saat serangan.
GCS <4 saat serangan juga bisa memberi prognosis buruk.
Suatu PIS dengan volume >60 mL dan skor GCS ≤ 8 memiliki tingkat mortalitas
sebesar 91% dalam 30 hari, dibanding dengan tingkat kematian 19% pada PIS dengan
34
volume <30 mL dan GCS skor ≥ 9. Perluasan PIS ke intraventrikel meningkatkan mortalitas
secara umum menjadi 45% hingga 75%, tanpa memperhatikan lokasi PIS, sebagai bagian dari
adanya hidrosefalus obstruktif akibat gangguan sirkulasi liquor cerebrospinal (LCS).
Pengukuran volume hematom dapat dilakukan secara akurat dengan CT scan. Secara klinis,
edema berperan dalam efek massa dari hematom, meningkatkan tekanan intrakranial dan
pergeseran otak intrakranial. Secara paradoks, volume relatif edema yang tinggi berhubungan
dengan outcome fungsional yang lebih baik, yang menimbulkan suatu kerancuan apakah
edema harus dijadikan target terapi atau hanya merupakan variabel prognostik.
2. Perdarahan Subarachnoid
Tingkat mortalitas pada tahun pertama dari serangan stroke hemoragik perdarahan
subarachnoid sangat tinggi, yaitu 60%. Sekitar 10% penderita perdarahan subarachnoid
meninggal sebelum tiba di RS dan 40% meninggal tanpa sempat membaik sejak awitan.
Perdarahan ulang juga sangat mungkin terjadi. Rata-rata waktu antara perdarahan pertama
dan perdarahan ulang adalah sekitar 5 tahun.
35
1. Siriraj Stroke Score
Variabel Gejala Klinis Skor
Derajat kesadaran Sadar 0
Apatis 1
Koma 2
Muntah Iya 1
Tidak 0
Sakit Kepala Iya 1
Tidak 0
Tanda-tanda atheroma
Angina Pectoris Iya 1
Tidak 0
Claudicatio Intermitten Iya 1
Tidak 0
Diabetes Melitus Iya 1
Tidak 0
Siriraj Stroke Score = (2,5 X Derajat Kesadaran) + (2 X muntah) + (2 X sakit kepala) + (0,1
X tekanan darah diastol) – (3 X ateroma) – 12.
Apabila skor yang didapatkan < 1 maka diagnosisnya stroke non perdarahan dan
apabila didapatkan skor ≥ 1 maka diagnosisnya stroke perdarahan.6
36
BAB III
ANALISIS KASUS
A. ANAMNESIS
Pada anamnesis, didapatkan penderita mengalami penurunan kesadaran secara
tiba-tiba saat sedang beraktivitas. Sebelumnya sakit kepala tidak ada, muntah ada
sebanyak dua kali, kejang tidak ada, kelemahan sesisi tubuh kanan ada, bicara pelo
belum dapat dinilai, sudut mulut kanan tertinggal, gangguan sensibilitas berupa rasa
baal dan kesemutan belum dapat dinilai. Kemampuan penderita untuk
mengungkapkan isi pikiran orang lain baik secara lisan, tulisan maupun isyarat belum
dapat dinilai, dan kemampuan penderita mengerti isi pikiran orang lain yang
disampaikan secara lisan, tulisan maupun isyarat belum dapat dinilai.
Riwayat hipertensi ada sejak tahun 2 tahun yang lalu tetapi tidak rutin minum
obat. Riwayat kencing manis tidak ada. Riwayat kolesterol tidak ada, riwayat trauma
kepala tidak ada. Penyakit seperti ini dialami untuk pertama kalinya.
Dalam kasus ini, pasien memiliki faktor resiko yang berperan besar
menimbulkan serangan stroke. Faktor resiko yang pertama adalah hipertensi tidak
terkontrol. Hipertensi tidak terkontrol membuat pembuluh darah menjadi rentan pecah
karena terbentuknya aneurisma akibat dari penipisan dinding pembuluh darah.
B. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang menunjang ke arah diagnosis kerja adalah bukti
hipertensi. Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko penyebab tersering penyakit
jantung dan serangan stroke hemorgik. Hipertensi membuat dinding pembuluh darah
menipis karena tekanan darah terhadap dinding terlalu tinggi.
Pemeriksaan rangsang meningeal dan kaku kuduk yang negatif dapat
membantu menyingkirkan kemungkinan ICH terutama bila ICH sampai mengisi
ventrikel. Dari pemeriksaan nervus kranialis didapatkan kesan lesi pada N.VII sentral
dextra. Hal ini membantu memperkirakan letak lesi..Dari pemeriksaan gangguan
sensibilitas berupa rasa baal dan kesemutan belum bisa dinilai. Pasien saat ini belum
37
bisa dinilai apakah dapat mengerti dan mengungkapkan isi pikiran baik secara lisan,
tulisan, maupun isyarat.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik sebelum dilakukannya CT-scan
dapat dilakukan penegakkan diagnosis berdasarkan sistem skoring:
Siriraj skor
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan CT-scan didapatkan perdarahan di lobus fontal sinistra yang
menyebabkan pergeseran garis tengah.
Penatalaksanaan pada pasien stroke perdarahan yang pertama adalah oksigen
untuk mencegah terjadinya hipoksia otak.Penatalaksanaa pada pasien ini berupa head
up 30o sebagai penanganan peningkatan TIK. Selanjutnya diberikan infus NaCl 0,9%
untuk menjaga keadaan tubuh tetap euvolemik. Pemberian asam traneksamat untuk
membantu menghentikan perdarahan dan mengurangi risiko perdarahan berulang
dengan meningkatkan kekentalan darah dengan menghambat fibrinolisis. .Pemberian
Ranitidine sebagai antagonis H2 bertujuan untuk mencegah terjadinya stress ulcer.
Manitol diberikan untuk mengurangi tekanan intrakranial. Pemberian vitamin B
kompleks karena sifatnya yang neurotropik sehingga dapat menutrisi dan membantu
regenerasi neuron pada penderita stroke.
38
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Aliah A, Kuswara FF, Limoa RA, Wuysang G. Gambaran umum tentang gangguan
peredaran darah otak. Dalam: eds. Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Edisi ke-2.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press; 2005. h.81-82.
2. Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/793904-overview
3. Feigin, Valery. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan Pemulihan
Stroke. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. 2006.
4. Anonim. Mekanisme gangguan vaskular susunan saraf. Dalam: eds. Mardjono M,
Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat; 2004. h. 274-8.
5. D. Adams. Victor’s. Cerebrovasculer diseases in Principles of Neurology 8 th Edition.
McGraw-Hill Proffesional. 2005. Hal: 660-67
6. Bronstein SC, Popovich JM, Stewart-Amidei C. Promoting Stroke Recovery. A
Research-Based Approach for Nurses. St.Louis, Mosby-Year Book, Inc., 1991:13-24.
7. Majalah Kedokteran Atma Jaya Vol. 1 No. 2 September 2002. Hal: 158-67.
8. Wibowo, Samekto. Gofir, Abdul. Farmakoterapi stroke prevensi primer dan prevensi
sekunder dalam Farmakoterapi dalam Neurologi. Penerbit Salemba Medika. Hal: 53-
73.
9. Kelompok Studi Serebrovaskuler Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.,
2004. Guidelines Stroke 2004. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI)
10. Widiastuti, Priska. 2015. Sistem Skoring Dianostik untuk Stroke: Skor Siriraj. CDK-
233/ vol. 42 no. 10, th. 2015
11. American Associations of Neurological Surgeons. 2016. Cerebrovascular Disease.
Diakses pada http://www.aans.org/Patients/Neurosurgical-Conditions-and-
Treatments/Cerebrovascular-Disease
40
41