Anda di halaman 1dari 4

Nama : Cahya Septia Sardiawan

Sumber : https://www.jubi.co.id/menegakkan-keadilan-merawat-keberagaman/

Menegakkan keadilan, merawat keberagaman

Oleh: Erik Yepmum Bitdana

Bangsa Indonesia dilanda konflik. Suasana kenyamanan semakin tidak terasa, kebutuhan
pokok manusia sebagai makhluk sosial semakin jauh, konflik horizontal maupun vertikal
semakin memanas. Baru-baru ini kita dikejutkan dengan rasialitas sebagai sebuah
fenomena klasik sepanjang masa, yang kini menjadi topik terhangat di seluruh Nusantara,
termasuk Papua dan dunia.

Sebagian dari media massa, baik media lokal, maupun media nasional hingga
internasional, menjadikan “rasialitas-rasisme” yang dialami orang Papua sebagai berita
ter-update.
Rasisme menjadi penyebab utama rusaknya nama baik nusa dan bangsa, derajat (harkat)
dan martabat pribadi–kelompok dan ras yang makin terhina, hingga menjadi konsumsi
publik.

Para penegak hukum pun membuka mata, telinga, dan hati terhadap mereka yang sekian
lama terpendam dalam kemelaratan. Nyata. Tak terpungkiri, para kaum humanis tak
dapat menutup mata hati dan telinga, untuk mendengar tangisan dan derita kaum marjinal
gambaran kolonialis.

Dalam suasana mencekam, tanggung jawab pribadi dan harapan akan terciptanya
keadilan, kedamaian, kebebasan dan kesejahteraan menjadi semakin sulit tercipta.
Banyak dari kita yang memiliki pengalaman traumatis maupun inspiratif, saat mengamati
seluruh dinamika kehidupan sosial bangsa kita–konflik vertikal dan horizontal di
Nusantara, termasuk Tanah Papua.
Hal ini bisa kita lihat, saksikan, dengar dan alami sepanjang demonstrasi masyarakat sipil
Papua yang menjadi korban tindakan rasialis di Surabaya, Jawa Timur (Cepos,
18/8/2019).

Mengenal dan memahami diri


Ada beragam cara untuk menemukan siapa diri kita sebenarnya dan bagaimana
seharusnya kita hidup di dunia ini dalam relasinya dengan sesama dan Tuhan. Dalam
setiap tindakan etis kita terhadap diri, sesama, alam semesta maupun Tuhan, menjadi
sebuah sebab-akibat dengan melihat semua keragaman suku, agama, buday, dan ras.

Apalagi Indonesia dikenal sebagai salah satu negara majemuk yang terdiri dari beragam
etnis/suku, budaya, dan agama yang disatukan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika,
tetap satu tapi berbeda dari Sabang-Merauke (Nation in versity and diversity, 2009).

Semboyan ini menjadi pengakuan akan adanya kesatuan dan realitas perbedaaan
antarmasyarakat, dengan menyadari keberagaman dan hidup sebagai warga
negara. Maka kita sebagai makhluk sosial, manusia serigala, manusia ekonomis,
manusia politik, dan manusia yang berilmu pengetahuan, dituntut untuk mengenal dan
memahami pribadi sebagai kunci untuk mengenal dan memahami kebhinekaan.

Dengan begitu, kita pun bisa secara humanis bertindak, bertutur kata dan bertingkah laku
terhadap sesama, untuk menghormati harkat dan martabat, tanpa menghina
keberadaannya sebagai manusia.

Menurut saya, langkah awal untuk mengenal orang lain adalah lewat pengenalan diri.
Sokrates, filsuf Yunani kuno berpendapat, bahwa pengenalan akan diri sendiri menjadi
pintu masuk untuk mengenal orang lain, tentang kebenaran-kebenaran yang mencakup
segala kelebihan dan kekurangan dalam kehidupan manusia, dengan semboyan
“kenalilah dirimu sendiri” (nosce te ipsum).
Selain Sokrates, St. Agustinus, salah satu filsuf zaman patristik pernah mengatakan
bahwa manusia merupakan makhluk yang dapat keliru dari sebuah tindakannya.
Maksudnya bahwa tindakan kita tidak selalu benar dan baik bagi orang lain dan pribadi,
sehingga pentingnya memahami dan mengenal diri adalah sebuah tanggung jawab
pribadi di zaman (post) modern ini.

Mengenal diri sendiri mengantarkan kita pada sebuah tahap “menerima diri” dengan
segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada diriku. Dengan begitu, pribadi-pribadi
akan dituntut untuk mengenal sesama dan membiarkan orang lain menjadi dirinya sendiri,
tanpa ada sifat memaksa atau memberikan stigma yang tidak manusiawi.

Ungkapan kekeliruan bagi manusia adalah hal yang wajar, tetapi kekeliruan tidak boleh
dijadikan sebagai simbol untuk membenarkan atau melarikan diri dari tanggung jawab,
karena ada akal budi, sikap etis dan norma hukum dan agama, untuk membantu kita
berpikir sehat–yang akan membawa kita pada suatu tindakan yang konstruktif,
membangun rasa “menghormati dan mengasihi sesama manusia”.

Norma agama dan hukum membantu kita menjauhi kejahatan, dengan mencintai dan
mengasihi orang lain sebagai diriku yang lain, bukan sebagai lawan untuk bertindak
diskriminatif. Saya yakin bahwa kesalahan manusia merupakan pengalaman yang
destruktif dan konstruktif di sisi lain .

Oleh karena itu, kita sebaliknya menjadikan kesalahan sebagai sebuah pengalaman dan
sarana introspeksi diri untuk sebuah pembelajaran. Dengan demikian, kesalahan-
kesalahan yang dilakukan manusia berubah menjadi semakin bermutu, rasional efektif
dan bermanfaat bagi diri dan sesama, demi kebaikan bersama.

Dalam konteks kehidupan kita saat ini di Papua dan Indonesia umumnya, manusia
berlaku tidak seperti yang diharapkan dan dicita-citakan bangsa dalam falsafah bangsa,
tidak menyadari diri sebagai manusia berakal budi, tidak menyadari adanya sesama
manusia adalah teman hidup. Sehingga yang terjadi adalah perbedaaan, lawan dan
musuh yakni “manusia menjadi srigala bagi sesamanya”.

Hal ini bisa kita lihat, dengar dan saksikan lewat sejarah bangsa Indonesia sejak
kemerdekaan hingga pengintegrasian Papua dalam Indonesia, terus terjadi sepanjang
waktu, bagai warisan budaya klasik.

Yang ada adalah kuatnya (sikap) defensif mempertahankan diri menghadapi sesamanya
sebagai saingan dan ancaman bagi pemenuhan kebutuhan dan kelangsungan hidup,
dengan berbaga kebutuhan popularitas diri, demi kenaikan jabatan, pangkat dan karier,
sehingga tidak segan-segan menjadikan teman sebagai tumbal.

Pada hal perlakuan seperti ini sifatnya menghancurkan–dengan memecah belah


keluarga, bangsa, suku, ras, dan negara. Oleh karena itu, demi menjaga kebersamaan,
persaudaraan dan keutuhan suatu wilayah, maka perlu ada kesadaran akan memahami
sesama manusia sebagai teman dan sahabat hidup.

Dengan mengembangkan sikap solider dan menolong untuk meringankan beban dalam
masyarakat dan hidup bernegara, perlu ada suatu usaha, yaitu merawat kebersamaan.

Merawat keberagaman dalam kebersamaan


Dalam hidup yang solider dengan sesama, saya ingin “engkau bersatu sebagai kita dan
saling melibatkan diri”. Inilah perkataan yang tepat dan bernilai untuk membangun
keberagaman bangsa demi harapan bersama, yakni harapan akan kehidupan sejati,
kedamaian, kesejahteraan, kebebasan dan keadilan, dengan menaruh kepercayaan
kepada yang Ilahi (Allah) sebaga manusia beriman.

Juga harapan akan hidup damai dan bebas dari belenggu penindasan, penjajahan, teror,
penistaan, dan bebas dari segala macam stigma negatif rasialitas,
untuk mengekspresikan diri seutuhnya sebagai manusia yang beradab. Harapan ini
akan selalu disertai dengan kegembiraan hidup bersama yang lain bersama Tuhan.

Harapan manusia akan menemukan dirinya sebagai manusia peziarah, yang merasa
yakin ditopang oleh kekuatan Ilahi dalam menempuh perjalanan hidup yang penuh
dengan penderitaan, maka hal utama yang perlu diprioritaskan adalah persahabatan.
Kata ini terdengar popular karena di sana terdapat nilai-nilai etis yang terpuji, luhur
(keterbukaan, pengorbanan, kejujuran, kepercayaan, kebebasan, keadilan dan cinta
kasih).

Sementara itu, persahabatan pun memesona ketika pribadi-pribadi yang berlainan


karakter dan latar belakang sosial, ekonomi, budaya, agama dan ras, bertekad untuk
berjalan bersama sebagai saudara dengan saling mendukung, mencintai, menghormati,
dan menerima sesama apa adanya.

Inilah persahabatan yang sesungguhnya perlu didukung dan diperjuangkan. Oleh karena
itu, kiranya penting untuk mempromosikan keragaman budaya, bahasa, dan merawat
persahabatan sebagai taman kehidupan, dan itulah tanggung jawab kita bersama.

Menegakkan keadilan sebagai habitus baru


Tidak disangsikan lagi, bahwa mutu kehidupan sebagain besar bangsa kian merosot.
Moral berantakan, lingkungan hidup rusak, korupsi meningkat, dan pelanggaran HAM
terus menggerogoti keharmonisan, dan ekploitasi sumber daya alam terus merajalela.

Di tengah hiruk-pikuk ini kita semua mengharapkan suatu tindakan tegas yang bijaksana
demi menyelamatkan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat, dalam hal menyelamatkan
bumi dan manusia. Kita tahu, bahwa keadilan sebagai kunci utama untuk membuka pintu
hati manusia dengan rasa “membangun budaya adil”.

Bertindak adil atau jujur adalah sebuah tindakan yang humanis dan terpuji. Tindakan adil
ini mendapat kehormatan dari tiap pribadi, karena di sana terdapat keselamatan yang
mencakup “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, dalam kerangka
kemanusiaan yang adil dan beradab, dengan berketuhanan Yang Mahaesa demi
persatuan Bangsa..

Oleh karenanya, keadilan menjadi kebutuhan pokok bagi terbangunnya sebuah


persekutuan sosial yang baik dan membangun habitus hidup baru bersama, dengan
rukun dan damai menjadi tawaran solutif. (*)

Penulis adalah anggota Kebadaby Voice Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar
Timur Abepura, Papua

Anda mungkin juga menyukai