Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS INDIVIDU

MENINGOENCEPHALITIS

Oleh:
Sriworo Noermalia Dewi

Pembimbing
dr. Irawan .S. Sp. S

SMF NEUROLOGI
RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-
Nya, penulisan dapat menyelesaikan laporan kasus stase syaraf dengan kasus
“Meningoencephalitis”, dimana laporan ini diajukan untuk memenuhi tugas individu stase
syaraf. Sholawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan kepada Rasulullah SAW, yang telah
menuntun dari zaman yang gelap pada zaman yang terang benderang.
Dengan terselesaikannya laporan kasus ini kami ucapkan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada dr.Irawan spesialis syaraf, selaku pembimbing, yang telah membimbing dan
menuntun penulis dalam pembuatan laporan kasus ini. Tidak lupa penulis ucapkan terima
kasih kepada orang tua yang selalu memanjatkan doa dan memberi dukungan baik secara lahir
maupun batin sehingga penulis mampu menyelesaikan laporan kasus individu dengan baik.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu penulis tetap membuka diri untuk kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, semoga
laporan kasus ini dapat bermanfaat.

Lamongan, September 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Meningitis adalah penyakit infeksi dari cairan yang mengelilingi otak dan spinal cord
(Meningitis Foundation of America). Classic triad dari meningitis adalah demam, leher kaku,
sakit kepala, dan perubahan di status mental. Sistem saraf pusat manusia dilindungi dari
benda-benda asing oleh Blood Brain Barrier dan oleh tengkorak, sehingga apabila terjadi
gangguan pada pelindung tersebut, sistem saraf pusat dapat diserang oleh benda-benda
patogen.Angka kejadian meningitis mencapai 1-3 orang per 100.000 orang (Centers for
Disease Control and Prevention).
Penyebab paling sering dari meningitis adalah Streptococcus pneumonie (51%) dan
Neisseria meningitis (37%). Vaksinasi berhasil mengurangi meningitis akibat infeksi
Haemophilus dan Meningococcal C. Faktor resiko meningitis antara lain: pasien yang
mengalami defek dural, sedang menjalani spinal procedure, bacterial endocarditis, diabetes
melitus, alkoholisme, splenektomi, sickle cell disease, dan keramaian
Patogen penyebab meningitis berbeda pada setiap grup umur. Pada neonatus, patogen
penyebab meningitis yang paling sering adalah Group B beta-haemolitic streptococcus,
Listeria monocytogenes, dan Escherichia coli. Pada bayi dan anak-anak, patogen penyebab
meningitis yang paling sering adalah Haemophilus influenza (bila lebih muda dari 4 tahun dan
belum divaksinasi), meningococcus (Neisseria meningitis), dan Streptococcus pneumonie
(pneumococcus). Pada orang remaja dan dewasa muda, patogen penyebab meningitis yang
paling sering adalah S. pneumonie, H. influenza, N. meningitis, gram negative Bacilli,
Streptococci, dan Listeria monocytogenes. Pada dewasa tua dan pasien immunocompromised,
patogen penyebab meningitis yang paling sering adalah Pneumococcus, Listeria
monocytogenes, tuberculosis, gram negative organis, dan Cryptococcus. Sedangkan penyebab
meningitis bukan infeksi yang paling sering antara lain sel-sel malignan (leukemia, limpoma),
akibat zat-zat kimia (obat intratekal, kontaminan), obat (NSAID, trimetoprim), Sarkoidosis,
sistemis lupus eritematosus (SLE), dan Bechet’s disease (Tidy, 2009). 4
Meningitis juga dapat disebabkan oleh tindakan medis. 0,8 sampai 1,5% pasien yang
menjalani craniotomy mengalami meningitis. 4 sampai 17% pasien yang memakai I.V. Cath.
mengalami meningitis. 8% pasien yang memakai E. V. Cath. mengalami meningitis. 5%
pasien yang menjalani lumbar catheter mengalami meningitis. Dan meningitis terjadi 1 dari
setiap 50.000 kasus pasien yang menjalani lumbar puncture (van de Beek, 2010).
Secara keseluruhan, mortality rate pasien meningitis adalah 21%, dengan kematian pasien
pneumococcal meningitis lebih tinggi dari pasien meningococcal meningitis (van de Beek,
2004). Di Afrika, antara tahun 1988 dan 1997, dilaporkan terdapat 704.000 kasus dengan
jumlah kematian 100.000 orang. Di antara tahun 1998 dan 2002 dilaporkan adanya 224.000
kasus baru meningococcal meningitis. Tetapi angka ini dapat saja lebih besar di kenyataan
karena kurang bagusnya sistem pelaporan penyakit. Sebagai tambahan, banyak orang
meninggal sebelum mencapai pusat kesehatan dan tidak tercatat sebagai pasien meninggal di
catatan resmi (Centers for Disease Control and Prevention).
B. Epidemiologi
WHO(2005) melaporkan adanya 7.078 kasus meningitis yang disebabkan
oleh bakteri terjadi di Niamey – Nigeria pada tahun 1991 – 1996 dengan penyebab
Neisseria Meningitidis (57,7%), Streptococcus Pneumoniae (13,2%) dan Haemophilus
influenzae (9,5%).
BAB II
MENINGOENCEPHALITIS

A. ANATOMI ORGAN TERKAIT (MENINGENS DAN ENCEPHALON)


Dalam pembahasan anatomi meningoencephalitis akan dibahas dua bagian anatomi
yaitu meningens dan encephalon. Meningens merupakan selaput atau membran yang
terdiri atas jaringan ikat yang melapisi dan melindungi otak. Selaput otak atau meningens
terdiri dari tiga bagian yaitu:
1. Durameter
Durameter dibentuk dari jaringan ikat fibrous. Secara konvensional durameter ini
terdiri atas dua lapis, yaitu endosteal dan lapisan meningeal. Kedua lapisan ini melekat
dengan rapat, kecuali sepanjang tempat-tempat tertentu, terpisah dan membentuk
sinus-sinus venosus. Lapisan endosteal sebenarnya merupakan lapisan periosteum
yang menutupi permukaan dalam tulang cranium. Lapisan meningeal merupakan
lapisan durameter yang sebenarnya, sering disebut dengan cranial durameter. Lapisan
meningeal ini terdiri atas jaringan fibrous padat dan kuat yang membungkus otak dan
melanjutkan menjadi durameter spinalis setelah melewati foramen magnum yang
berakhit sampai segmen kedua dari os sacrum.
Lapisan meningeal membentuk septum ke dalam, membagi rongga cranium menjadi
ruang-ruang yang saling berhubungan dengan bebas dan menampung bagian-bagian
otak. Fungsi septum ini adalah untuk menahan pergeseran otak. Adapun empat septum
itu antara lain:
Falx cerebri adalah lipatan durameter berbentuk bulan sabit yang terletak pada
garis tengah diantara kedua hemisfer cerebri. Ujung bagian anterior melekat pada
crista galli. Bagian posterior melebar, menyatu dengan permukaan atas tentorium
cerebelli.
Tentorium cerebelli adalah lipatan durameter berbentuk bulan sabit yang menutupi
fossa crania posterior. Septum ini menutupi permukaan atas cerebellum dan
menopang lobus occipitalis cerebri.
Falx cerebelli adalah lipatan durameter yang melekat pada protuberantia occipitalis
interna.
Diapharma sellae adalah lipatan sirkuler kecil dari durameter, yang mmenutupi
sella turcica dan fossa pituitary pada os sphenoidalis. Diafragma ini memisahkan
pituitary gland dari hypothalamus dan chiasma opticum. Pada bagian tengah
terdapat lubang yang dilalui oleh tangkai hypophyse.

Pada pemisahan dua lapisan durameter ini, terdapat sinus duramatris yang berisi darah
vena. Sinus venosus/duramatris ini menerima darah dari drainase vena pada otak dan
mengalir menuju vena jugularis interna. Dinding dari sinus-sinus ini dibatasi oleh
endothelium. Sinus pada calvaria yaitu sinus sagitalis superior. Sinus sagitalis inferior, sinus
transverses dan sinus sigmoidea. Sinus pada basis crania antara lain: sinus occipitalis, sinus
sphenoidalis, sinus cavernosus, dan sinus petrosus.
Pada lapisan durameter ini terdapat banyak cabang-cabang pembuluh darah yang
berasal dari arteri carotis interna, a. maxilaris, a.pharyngeus ascendens,a.occipitalis dan
a.vertebralis. Dari sudut klinis, yang terpenting adalah a. meningea media (cabang dari
a.maxillaris) karena arteri ini umumnya sering pecah pada keadaan trauma capitis. Pada
durameter terdapat banyak ujung-ujung saraf sensorik, dan peka terhadapa rgangan sehingga
jika terjadi stimulasi pada ujung saraf ini dapat menimbulkan sakit kepala yang hebat.

2. Arachnoid
Lapisan ini merupakan suatu membran yang impermeable halus, yang menutupi
otak dan terletak diantara piameter dan durameter. Mebran ini dipisahkan dari
durameter oleh ruang potensial yaitu spatium subdurale dan dari piameter oleh cavum
subarachnoid yang berisi cerebrospinal fluid. Cavum subarachnoid (subarachnoid
space) merupakan suatu rongga/ruangan yang dibatasi oleh arachnoid dibagian luar
dan piameter pada bagian dalam. Dinding subarachnoid space ini ditutupi oleh
mesothelial cell yang pipih. Pada daerah tertentu arachnoid menonjol ke dalam sinus
venosus membentuk villi arachnoidales. Agregasi ini berfungsi sebagai tempat
perembesan cerebrospinal fluid ke dalam aliran darah.
Arachnodi berhubungan dengan piameter melalui untaian jaringan fibrosa halus
yang melintasi cairan dalam cavum subarachnoid. Struktur yang berjalan dari dan ke
otak menuju cranium atau foraminanya harus melalui cavum subarachnoid.
3. Piameter
Lapisan piameter berhubungan erat dengan otak dan sum-sum tulang belakang,
mengikuti tiap sulcus dan gyrus. Piameter ini merupakan lapisan dengan banyak
pembuluh darah dan terdiri atas jaringan penyambung yang halus serta dilalui
pemmbuluh darah yang memberi nutrisi pada jaringan saraf.
Astrosit susunan saraf pusat mempunyai ujung-ujung yang berakhir sebagai end
feet dalam piameter untuk membentuk selaput pia-glia Selaput ini berfungsi untuk
mencegah masuknya bahan-bahan yang merugikan ke dalam susunan saraf pusat.
Piameter membentuk tela choroidea, atap ventriculus tertius dan quartus dan
menyatu dengan ependyma membentuk plexus choroideus dalam ventriculus lateralis,
tertius dan quartus.

Gambar 1. Penampang melintang lapisan pembungkus jaringan otak


Sedangkan encephalon adalah bagian sistem saraf pusat yang terdapat di dalam
cranium; terdiri atas proencephalon (disebut juga forebrain yaitu bagian dari otak yang
berkembang dari anterior tiga vesikel primer terdiri atas diensefalon dan telensefalon);
mesencephalon (disebut juga brainstem yaitu bagian dari otak yang berkembang dari
bagian tengah tiga vesikel primer, terdiri atas tektum dan pedunculus); dan
rhombencephalon (disebut juga hindbrain,terdiri atas metensefalon (serebelum dan pons)
dan mielensefalon (medulla oblongata).

Gambar 2. Skema pembagian jaringan otak (encephalon)

Gambar 3. jaringan otak (encephalon)

B. DEFINISI MENINGOENCEPHALITIS
Meningoencephalitis adalah peradangan yang terjadi pada encephalon dan meningens.
Nama lain dari meningoencephalitis adalah cerebromeningitis, encephalomeningitis, dan
meningocerebritis.
C. ETIOLOGI MENINGOENCEPHALITIS
Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau beberapa kasus yang jarang
disebabkan oleh jamur. Istilah meningitis aseptic merujuk pada meningitis yang
disebabkan oleh virus tetapi terdapat kasus yang menunjukan gambaran yang sama yaitu
pada meningitis yang disebabkan organisme lain (lyme disease, sifilis dan tuberculosis);
infeksi parameningeal (abses otak, abses epidural, dan venous sinus empyema); pajanan
zat kimia (obat NSAID, immunoglobulin intravena); kelainan autoimn dan penyakit
lainnya.
Bakteri yang sering menyebabkan meningitis bacterial sebelum ditemukannya vaksin
Hib, S.pneumoniae, dan N. meningitidis. Bakteri yang menyebabkan meningitis neonatus
adalah bakteri yang sama yang menyebabkan sepsis neonatus.

Tabel 1. Bakteri penyebab meningitis


Golongan Bakteri yang paling sering Bakteri yang jarang menyebabkan
usia menyebabkan meningitis meningitis
Neonatus Group B streptococcus Staphylococcus aureus
Escherichia coli Coagulase-negative staphylococci
Klebsiella Enterococcus faecalis
Enterobacter Citrobacter diversus
Salmonella
Listeria monocytogenes
Pseudomonas aeruginosa
Haemophilus influenzae types a, b, c, d, e,
f, dan nontypable
>1 bulan Streptococcus pneumonia H. influenzae type b
Neisseria meningitides Group A streptococci
Gram-negatif bacilli
L. monocytogenes

Virus yang menyebabkan meningitis pada prinsipnya adalah virus golongan


enterovirus dimana termasuk didalamnya adalah coxsackieviruses, echovirus dan pada
pasien yang tidak vaksinasi (poliovirus). Virus golongan enterovirus dan arbovirus (St.
Louis, LaCrosse, California vencephalitis viruses) adalah golongan virus yang paling
sering menyebabkan meningoencephalitis. Selain itu virus yang dapat menyebabkan
meningitis yaitu HSV, EBV, CMV lymphocytic choriomeningitis virus, dan HIV. Virus
mumps adalah virus yang paling sering menjadi penyebab pada pasien yang tidak
tervaksinasi sebelumnya. Sedangkan virus yang jarang menyebabkan meningitis yaitu
Borrelia burgdorferi (lyme disease), B. hensalae (cat-scratch virus), M. tuberculosis,
Toxoplasma, Jamus (cryptococcus, histoplasma, dan coccidioides), dan parasit
(Angiostrongylus cantonensis, Naegleria fowleri, Acanthamoeba).
Encephalitis adalah suatu proses inflamasi pada parenkim otak yang biasanya
merupakan suatu proses akut, namun dapat juga terjadi postinfeksi encephalomyelitis,
penyakit degeneratif kronik, atau slow viral infection. Encephalitis merupakan hasil dari
inflamasi parenkim otak yang dapat menyebabkan disfungsi serebral. Encephalitis sendiri
dapat bersifat difus atau terlokalisasi. Organisme tertentu dapat menyebabkan encephalitis
dengan satu dari dua mekanisme yaitu (1). Infeksi secara langsung pada parenkim otak
atau (2) sebuah respon yang diduga berasal dari sistem imun (an apparent immune-
mediated response) pada sistem saraf pusat yang biasanya bermula pada beberapa hari
setelah munculnya manifestasi ekstraneural.

Tabel 2. Virus penyebab meningitis


Akut Subakut
Adenoviruses HIV
1. Amerika utara JC virus
 Eastern equine encephalitis Prion-associated encephalopathies
 Western equine encephalitis (Creutzfeldt-Jakob disease, kuru)
 St. Louis encephalitis
 California encephalitis
 West Nile encephalitis
 Colorado tick fever
2. Di luar amerika utara
 Venezuelan equine
encephalitis
 Japanese encephalitis
 Tick-borne encephalitis
 Murray Valley encephalitis
Enteroviruses
Herpesviruses
 Herpes simplex viruses
 Epstein-Barr virus
 Varicella-zoster virus
 Human herpesvirus-6
 Human herpesvirus-7
HIV
Influenza viruses
Lymphocytic choriomeningitis virus
Measles virus (native atau vaccine)
Mumps virus (native atau vaccine)
Virus rabies
Virus rubella

Virus adalah penyebab utama pada infeksi encephalitis akut. Encephalitis juga dapat
merupakan hasil dari jenis lain seperti infeksi dan metabolik, toksik dan gangguan
neoplastik. Penyebab yang paling sering menyebabkan encephalitis di U.S adalah
golongan arbovirus (St. Louis, LaCrosse, California, West nile encephalitis viruses),
enterovirus, dan herpesvirus. HIV adalah penyebab penting encephalitis pada anak dan
dewasa dan dapat berupa acute febrile illness.

D. PATOFISIOLOGI DARI MENINGOENCEPHALITIS


Dalam proses perjalanan penyakit meningitis yang disebabkan oleh bakteri, invasi
organisme harus mencapai ruangan subarachnoid. Proses ini berlangsung secara
hematogen dari saluran pernafasan atas dimana di dalam lokasi tersebut sering terjadi
kolonisasi bakteri. Walaupun jarang, penyebaran dapat terjadi secara langsung yaitu dari
fokus yang terinfeksi seperti (sinusitis, mastoiditism, dan otitis media) maupun fraktur
tulang kepala.
Penyebab paling sering pada meningitis yang mengenai pasien < 1 bulan adalah
Escherichia colli dan streptococcus group B. Infeksi Listeria monocytogenes juga dapat
terjadi pada usia < 1 bulan dengan frekuensi 5-10% kasus. Infeksi Neisseria meningitides
juga dapat menyerang pada golongan usia ini. Pada golongan usia 1-2 bulan, infeksi
golongan streptococcus grup B lebih sering terjadi sedangkan infeksi enterik karena
bakteri golongan gram negatif frekuensinya mulai menurun. Streptococcus pneumonia,
Haemophilus influenzae, dan N. Meningitidis akhir-akhir ini menyebabkan kebanyakan
kasus meningitis bakterial. H. influenzae dapat menginfeksi khususnya pada anak-anak
yang tidak divaksinasi Hib.
Organisme yang umum menyebabkan meningitis (seperti N.Meningitidis,
S.pneumoniae, H. influenzae) terdiri atas kapsul polisakarida yang memudahkannya
berkolonisasi pada nasofaring anak yang sehat tanpa reaksi sistemik atau lokal. Infeksi
virus dapat muncul secara sekunder akibat penetrasi epitel nasofaring oleh bakteri ini.
Selain itu melalui pembuluh darah, kapsul polisakarida menyebabkan bakteri tidak
mengalami proses opsonisasi oleh pathway komplemen klasik sehingga bakteri tidak
terfagosit.
Terdapat bakteri yang jarang menyebabkan meningitis yaitu pasteurella multocida,
yaitu bakteri yang diinfeksikan melalui gigitan anjing dan kucing. Walaupun kasus jarang
terjadi namun kasus yang sudah terjadi menunjukan morbiditas dan mortalitaas yang
tinggi. Salmonella meningitis dapat dicurigai menyebabkan meningitis pada bayi berumur
< 6 bulan. Infeksi bermula saat ibu sedang hamil.
Pada perjalanan patogenesis meningitis bakterial terdapat fase bakterial dimana pada
fase ini bakteri mulai berpenetrasi ke dalam cairan serebropsinal melalui pleksus choroid.
Cairan serebrospinal kurang baik dalam menanggapi infeksi karena kadar komplomen
yang rendah dan hanya antibody tertentu saja yang dapat menembus barier darah otak.
Dinding bakteri gram positif dan negatif terdiri atas zat patogen yang dapat memacu
timbulnya respon inflamasi. Asam teichoic merupakan zat patogen bakteri gram positif
dan lipopolisakarida atau endotoksin pada gram negatif. Saat terjadinya lisis dinding sel
bakteri, zat-zat pathogen tersebut dibebaskan pada cairan serebrospinal.
Terapi antibiotik menyebabkan pelepasan yang signifikan dari mediator dari respon
inflamasi. Adapun mediator inflamasi antara lain sitokin (tumor necrosis factor,
interleukin 1, 6, 8 dan 10), platelet activating factor, nitric oxide, prostaglandin, dan
leukotrien. Mediator inflamasi ini menyebabkan terganggunya keseimbangan sawar darah
otak, vasodilatasi, neuronal toxicity, peradangan meningeal, agregasi platelet, dan aktifasi
leukosit. Sel endotel kapiler pada daerah lokal terjadinya infeksi meningitis bacterial
mengalami peradangan (vaskulitis), yang menyebabkan rusaknya agregasi vaskuler.
Konsekuensi pokok dari proses ini adalah rusaknya mekanisme sawar darah otak, edema
otak, hipoperfusi aliran darah otak, dan neuronal injury.
Akibat kerusakan yang disebabkan oleh respons tubuh terhadap infeksi, agen anti-
inflamasi berbagai telah digunakan dalam upaya untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas meningitis bakteri. Hanya deksametason yang telah terbukti efektif.
Meningitis viral atau meningitis aseptik adalah infeksi umum pada sebagian besar
infeksi sistem saraf pusat khususnya pada anak-anak < 1 tahun. Enterovirus adalah agen
penyebab paling umum dan merupakan penyebab penyakit demam tersering pada anak.
Patogen virus lainnya termasuk paramyxoviruses, herpes, influenza, rubella, dan
adenovirus. Meningitis dapat terjadi pada hampir setengah kejadian dari anak-anak < 3
bulan dengan infeksi enterovirus. infeksi enterovirus dapat terjadi setiap saat selama tahun
tetapi dikaitkan dengan epidemi di musim panas dan gugur. Infeksi virus menyebabkan
respon inflamasi tetapi untuk tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan infeksi
bakteri. Kerusakan dari meningitis viral mungkin karena adanya ensefalitis terkait dan
tekanan intrakranial meningkat.
Meningitis karena jamur jarang terjadi tetapi dapat terjadi pada pasien
immunocompromised; anak-anak dengan kanker, riwayat bedah saraf sebelumnya, atau
trauma kranial, atau bayi prematur dengan tingkat kelahiran rendah. Sebagian besar kasus
pada anak-anak yang menerima terapi antibiotik dan memiliki riwayat rawat inap. Etiologi
meningitis aseptik yang disebabkan oleh obat belum dipahami dengan baik. Namun jenis
meningitis ini jarang terjadi pada populasi anak-anak.
Ensefalitis adalah penyakit yang sama dari sistem saraf pusat. Penyakit ini adalah suatu
peradangan dari parenkim otak. Seringkali, terdapat agen virus yang bertanggung jawab
sebagai promotor. Masuknya virus terjadi melalui jalur hematogen atau neuronal.
Ensefalitis yang sering terjadi adalah ensefalitis yang ditularkan oleh gigitan nyamuk dan
kutu yang terinfeksi virus. Virus berasal dari, Flavivirus, dan Bunyavirus keluarga
Togavirus. Jenis ensefalitis yang paling umum terjadi di Amerika Serikat adalah La Crosse
virus, ensefalitis virus kuda timur, dan St Louis virus. Seringkali, penyebab ensefalitis ini
menyebabkan tanda-tanda dan gejala yang sama. Konfirmasi dan diferensiasi berasal dari
pengujian laboratorium. Namun, manfaatnya terbatas pada sejumlah patogen
diidentifikasi.
Virus West Nile adalah menjadi penyebab utama ensefalitis, disebabkan oleh arbovirus
dari keluarga Flaviviridae. Nyamuk dan migrasi burung merupakan peantara dalam
penyebaran infeksi virus ini. Nyamuk menggigit manusia dan manusia adalah dead-end
host bagi virus. Sebagian besar manusia tidak menularkan infeksi ini. Sekitar 1 infeksi
bergejala berkembang untuk setiap 120-160 orang tanpa gejala. Namun pada orang dewasa
beresiko terkena penyakit bergejala. Hal ini telah menjadi masalah kesehatan publik yang
lebih besar, mengingat bahwa penyebaran terjadi karena migrasi burung. Kasus pertama
diidentifikasi di New York City pada tahun 1999, dengan kasus tambahan yang
diidentifikasi dalam tahun-tahun berikutnya di seluruh Amerika Serikat.
Ensefalitis dapat ditularkan dengan cara lain. Ensefalitis Herpetic dan rabies adalah
dua contoh, di mana penularan masing-masing terjadi melalui kontak langsung dan gigitan
mamalia. Dalam kasus ensefalitis herpes, terdapat bukti reaktivasi virus dan transmisi
intraneuronal sehingga menyebabkan ensefalitis.
E. PENDEKATAN DIAGNOSIS MENINGOENCEPHALITIS
ANAMNESIS
1. Anamnesis pada meningitis bakterial
- Riwayat pada anak yang merupakan faktor resiko seperti: semakin muda anak semakin
kecil kemungkinan ia untuk menunjukan gejala klasik yaitu demam, sakit kepala, dan
meningeal; trauma kepala; splenektomi; penyakit kronis; dan anak dengan selulitis
wajah, selulitis periorbital, sinusitis, dan arthritis septic memiliki peningkatan risiko
meningitis.
- Meningitis pada periode neonatal dikaitkan dengan infeksi ibu atau pireksia saat proses
persalinan sedangkan meningitis pada anak < 3 bulan mungkin memiliki gejala yang
sangat spesifik, termasuk hipertermia atau hipotermia, perubahan kebiasaan tidur atau
makan, iritable atau kelesuan, muntah, menangis bernada tinggi, atau kejang.
- Setelah usia 3 bulan, anak dapat menampilkan gejala yang lebih sering dikaitkan
dengan meningitis bakteri, dengan demam, muntah , lekas marah, lesu, atau perubahan
perilaku
- Setelah usia 2-3 tahun, anak-anak mungkin mengeluh sakit kepala, leher kaku, dan
fotofobia

2. Anamnesis untuk meningoencephalitis viral


- Anak yang tidak mendapatkan imunisasi untuk campak, gondok dan rubella beresiko
mengalami meningoencephalitis viral

3. Anamnesis untuk meningitis akibat infeksi jamur


- pasien immunocompromised beresiko mengalami meningoencephalitis akibat infeksi
jamur

4. Anamnesis untuk meningitis aseptik


- Terdapat riwayat mengkonsumsi obat biasanya obat anti-inflammatory drugs
(NSAID), IVIG, dan antibiotik. Gejala mirip dengan meningitis virus. Gejala dapat
terjadi dalam beberapa menit menelan obat.

5. Anamnesis untuk ensefalitis


- Informasi seperti musim tahun, perjalanan, kegiatan, dan paparan dengan hewan
membantu diagnosis.

MANIFESTASI SECARA KLINIK


Temuan pada pemeriksaan fisik bervariasi berdasarkan pada usia dan organisme
penyebab infeksi. Penting untuk diingat bahwa anak muda, jarang menunjukan gejala
spesifik.
- Pada bayi muda temuan yang pasti mengarah ke meningitis jarang spesifik:
a. Hipotermia atau mungkin bayi demam
b. Ubun-ubun membumbung, diastasis (pemisahan) pada sutura jahitan, dan kaku
kuduk tapi biasanya temuan ini muncul lambat.
- Saat anak tumbuh lebih tua, pemeriksaan fisik menjadi lebih mudah dicari.
a. tanda-tanda meningeal lebih mudah di amati (misalnya, kaku kuduk, tanda kernig
positif dan Brudzinski juga positif)

Gambar 4. Gambar pemeriksaan brudzinski dan kernig

b. tanda fokal neurologis dapat ditemukan sampai dengan 15% dari pasien yang
berhubungan dengan prognosis yang buruk
c. Kejang terjadi pada 30% anak dengan meningitis bakteri
d. Kesadaran berkabut (obtundation) dan koma terjadi pada 15-20 % dari pasien dan
lebih sering dengan meningitis pneumokokus.
- Dapat ditemukan tanda peningkatan tekanan intrakranial dan pasien akan mengeluhkan
sakit kepala, diplopia, dan muntah. Ubun-ubun menonjol, ptosis, saraf cerebral
keenam, anisocoria, bradikardia dengan hipertensi, dan apnea adalah tanda-tanda
tekanan intrakranial meningkat dengan herniasi otak. Papilledema jarang terjadi,
kecuali ada oklusi sinus vena, empiema subdural, atau abses otak.
- Pada infeksi ensefalitis akut biasanya didahului oleh prodrome beberapa hari gejala
spesifik, seperti batuk, sakit tenggorokan, demam, sakit kepala, dan keluhan perut,
yang diikuti dengan gejala khas kelesuan progresif, perubahan perilaku, dan defisit
neurologis. Kejang yang umum pada presentasi. Anak-anak dengan ensefalitis juga
mungkin memiliki ruam makulopapular dan komplikasi parah, seperti fulminant coma,
transverse myelitis, anterior horn cell disease (polio-like illness), atau peripheral
neuropathy. Selain itu temuan fisik yang umum ditemukan pada ensefalitis adalah
demam, sakit kepala, dan penurunan fungsi neurologis. Penurunan fungsi saraf
termasuk berubah status mental, fungsi neurologis fokal, dan aktivitas kejang. Temuan
ini dapat membantu mengidentifikasi jenis virus dan prognosis. Misalnya akibat
infeksi virus West Nile, tanda-tanda dan gejala yang tidak spesifik dan termasuk
demam, malaise, nyeri periokular, limfadenopati, dan mialgia. Selain itu terdapat
beberapa temuan fisik yang unik termasuk makulopapular, ruam eritematous;
kelemahan otot proksimal, dan flaccid paralysis.

TEMUAN DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG


Jika dicurigai bakteri meningitis dan encephalitis, pungsi lumbal harus dilakukan.
Pungsi lumbal harus dihindari dengan adanya ketidakstabilan kardiovaskular atau tanda-
tanda tekanan intrakranial meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal rutin termasuk
hitung WBC, diferensial, kadar protein dan glukosa, dan gram stain. Bakteri meningitis
ditandai dengan pleositosis neutrophilic, cukup dengan protein tinggi nyata, dan glukosa
rendah. Viral meningitis ditandai dengan protein pleositosis limfositik ringan sampai
sedang, normal atau sedikit lebih tinggi, dan glukosa normal. Sedangkan pada encephalitis
menunjukkan pleositosis limfositik, ketinggian sedikit kadar protein, dan kadar glukosa
normal. Peningkatan eritrosit dan protein CSF dapat terjadi dengan HSV. Extreme
peningkatan protein dan rendahnya kadar glukosa menunjukan infeksi tuberkulosis, infeksi
kriptokokus, atau carcinomatosis meningeal. Cairan serebrospinal harus dikultur untuk
mengetahui bakteri, jamur, virus, dan mikobakteri yang menginfeksi. PCR digunakan
untuk mendiagnosis enterovirus dan HSV karena lebih sensitif dan lebih cepat dari biakan
virus. Leukositosis adalah umum ditemukan. Kultur darah positif pada 90% kasus.
Pemeriksaan Electroencephalogram (EEG) dapat mengkonfirmasi komponen
ensefalitis. EEG adalah tes definitif dan menunjukkan aktivitas gelombang lambat,
walaupun perubahan fokal mungkin ada. Studi neuroimaging mungkin normal atau
mungkin menunjukkan pembengkakan otak difus parenkim atau kelainan fokal.
Serologi studi harus diperoleh untuk arbovirus, EBV, Mycoplasma pneumoniae, cat-
scratch disease, dan penyakit Lyme. Sebuah uji IgM serum atau CSF untuk infeksi virus
West Nile tersedia, tetapi reaktivitas silang dengan flaviviruses lain (St Louis ensefalitis)
dapat terjadi. pengujian serologi tambahan untuk patogen kurang umum harus dilakukan
seperti yang ditunjukkan oleh perjalanan, sosial, atau sejarah medis. Selain pengujian
serologi, sampel CSF dan tinja dan usap nasofaring harus diperoleh untuk biakan virus.
Dalam kebanyakan kasus ensefalitis virus, virus ini sulit untuk mengisolasi dari CSF.
Bahkan dengan pengujian ekstensif dan penggunaan tes PCR, penyebab ensefalitis masih
belum ditentukan di satu pertiga dari kasus.
Biopsi otak mungkin diperlukan untuk diagnosis definitif dari penyebab ensefalitis,
terutama pada pasien dengan temuan neurologik fokal. Biopsi otak mungkin cocok untuk
pasien dengan ensefalopati berat yang tidak menunjukkan perbaikan klinis jika diagnosis
tetap tidak jelas. HSV, rabies ensefalitis, penyakit prion-terkait (Creutzfeldt-Jakob
penyakit dan kuru) dapat didiagnosis dengan pemeriksaan rutin kultur atau biopsi
patologis jaringan otak. Biopsi otak mungkin penting untuk mengidentifikasi arbovirus
dan infeksi Enterovirus, tuberkulosis, infeksi jamur, dan penyakit non-menular, terutama
primer SSP vasculopathies atau keganasan.

Tabel 3. Temuan pada pemeriksaan cairan serebrospinal


pada beberapa gangguan sistem saraf pusat

kondisi Tekanan Leukosit (/μL) Protein Glukosa keterangan


(mg/dL) (mg/dL)
Normal 50-180 <4; 60-70% 20-45 >50 atau 75%
mm H2O limfosit, glukosa darah
30-40%
monosit,
1-3% neutrofil
Meningitis Biasanya 100-60,000 +; 100-500 Terdepresi Organisme
bakterial akut meningkat biasanya apabila dapat dilihat
beberapa ribu; dibandingkan pada Gram
PMNs dengan stain dan
mendominasi glukosa kultur
darah;
biasanya <40
Meningitis Normal 1-10,000; >100 Terdepresi Organisme
bakterial yang atau didominasi atau normal normal dapat
sedang meningkat PMNs tetapi dilihat;
menjalani mononuklear pretreatment
pengobatan sel biasa dapat
mungkin menyebabkan
mendominasi CSF steril
Apabila
pengobatan
sebelumnya
telah lama
dilakukan
Tuberculous Biasanya 10-500; PMNs 100-500; <50 usual; Bakteri tahan
meningitis meningkat mendominasi lebih menurun asam mungkin
: dapat pada awalnya tinggi khususnya dapat terlihat
sedikit namun khususnya apabila pada
meningkat kemudian saat pengobatan pemeriksaan
karena limfosit dan terjadi tidak adekuat usap CSF;
bendunga monosit blok
n cairan mendominasi cairan
serebrospi pada akhirnya serebrospi
nal pada nal
tahap
tertentu
Fungal Biasanya 25-500; PMNs 20-500 <50; Budding yeast
meningkat mendominasi menurun dapat terlihat
pada awalnya khususnya
namun apabila
kemudian pengobatan
monosit tidak adekuat
mendominasi
pada akhirnya
Viral meningitis Normal PMNs 20-100 Secara umum
atau atau mendominasi normal; dapat
meningoencefali meningkat pada awalnya terdepresi
tis tajam namun hingga 40
kemudian pada beberapa
monosit infeksi virus
mendominasi (15-20% dari
pada akhirnya ; mumps)
jarang lebih dari
1000 sel kecuali
pada eastern
equine
Abses (infeksi Normal 0-100 PMNs 20-200 Normal Profil
parameningeal) atau kecuali pecah mungkin
meningkat menjadi CSF normal

F. DIAGNOSIS BANDING MENINGOENCEPHALITIS


Beberapa diagnosis banding untuk meningoencephalitis adalah
1. Kejang demam
2. Meningitis
3. Encephalitis
4. Intracranial abscess
5. Sekuele dari edema otak
6. Infark cerebral
7. Perdarahan cerebral
8. Vaskulitis
9. Measles
10. Mumps
G. PENANGANAN MENINGOENCEPHALITIS

Table 100-3. Initial Antimicrobial Therapy by Age for Presumed Bacterial Meningitis
Age Recommended Treatment Alternative Treatments
Newborns (0-28 days) Cefotaxime or ceftriaxone plus Gentamicin plus
ampicillin with or without gentamicin ampicillin
Ceftazidime plus
ampicillin
Infants and toddlers (1 Ceftriaxone or cefotaxime plus Cefotaxime or ceftriaxone
mo-4 yr) vancomycin plus rifampin
Children and adolescents Ceftriaxone or cefotaxime plus Ampicillin plus
(5-13 yr) and adults vancomycin chloramphenicol

Penatalaksanaan
1. Perawatan umum
a. Penderita dirawat di rumah sakit.
b. Mula – mula cairan diberikan secara infus dalam jumlah yang cukup dan jangan
berlebihan.
c. Bila gelisah diberi sedativa seperti Fenobarbital atau penenang.
d. Nyeri kepala diatasi dengan analgetika.
e. Panas diturunkan dengan :
Kompres es
Paracetamol
Asam salisilat
Pada anak dosisnya 10 mg/kg BB tiap 4 jam secara oral
f. Kejang diatasi dengan :
Diazepam
Dewasa : dosisnya 10 – 20 mg IV
Anak : dosisnya 0,5 mg/kg BB IV
Fenobarbital
Dewasa : dosisnya 6 – 120 mg/hari secara oral
Anak : dosisnya 5 – 6 mg/kg BB/hari secara oral
Difenil hidantoin
Dewasa : dosisnya 300 mg/hari secara oral
Anak : dosisnya 5 – 9 mg/kg BB/hari secara oral
g. Sumber infeksi yang menimbulkan meningitis purulenta diberantas dengan obat –
obatan atau dengan operasi
h. Kenaikan tekanan intra kranial diatasi dengan :
Manitol
Dosisnya 1 – 1,5 mg/kg BB secara IV dalam 30 – 60 menit dan dapat diulangi
2 kali dengan jarak 4 jam
Kortikosteroid
Biasanya dipakai deksametason secara IV dengan dosis pertama 10 mg lalu
diulangi dengan 4 mg setiap 6 jam. Kortikosteroid masih menimbulkan
pertentangan. Ada yang setuju untuk memakainya tetapi ada juga yang
mengatakan tidak ada gunanya.
Pernafasan diusahakan sebaik mungkin dengan membersihkan jalan
nafas.
i. Bila ada hidrosefalus obstruktif dilakukan operasi pemasangan pirau (shunting).
j. Efusi subdural pada anak dikeluarkan 25 – 30 cc setiap hari selama 2 – 3 minggu,
bila gagal dilakukan operasi.
k. Fisiotherapi diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat.

2. Pemberian Antibiotika.
Antibiotika spektrum luas harus diberikan secepat mungkin tanpa menunggu hasil
biakan. Baru setelah ada hasil biakan diganti dengan antibiotika yang sesuai. Pada terapi
meningitis diperlukan antibiotika yang jauh lebih besar daripada konsentrasi bakterisidal
minimal, oleh karena :
Dengan menembusnya organisme ke dalam ruang sub araknoid berarti daya tahan
host telah menurun.
Keadaan likuor serebrospinalis tidak menguntungkan bagi leukosit dan fagositosis
tidak efektif.
Pada awal perjalanan meningitis purulenta konsentrasi antibodi dan komplemen
dalam likuor rendah.
Pemberian antibiotika dianjurkan secara intravena yang mempunyai spektrum luas baik
terhadap kuman gram positif, gram negatif dan anaerob serta dapat melewati sawar darah otak
(blood brain barier). Selanjutnya antibiotika diberikan berdasarkan hasil test sensitivitas
menurut jenis bakteri.
Antibiotika yang sering dipakai untuk meningitis purulenta adalah :
a. Ampisilin
Diberikan secara intravena
Dosis : Neonatus : 50 – 100 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Umur 1 – 2 bulan : 100 – 200 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian.
Umur > 2 bulan : 300 – 400 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
Dewasa : 8 – 12 gram/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
b. Gentamisin
Diberikan secara intravena
Dosis : Prematur : 5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Neonatus : 7,5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian.
Bayi dan dewasa : 5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian.
c. Kloramfenikol
Diberikan secara intravena
Dosis : Prematur : 25 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Bayi genap bulan : 50 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Anak : 100 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.

Dewasa : 4 – 8 gram/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
d. Sefalosporin
Diberikan secara intravena
Sefotaksim
Dosis : Prematur & neonatus : 50 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Bayi & anak : 50 – 200 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2–4 kali pemberian.
Dewasa : 2 gram tiap 4 – 6 jam.
Bila fungsi ginjal jelek, dosis diturunkan.
Sefuroksim
Dosis : Anak : 200 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
Dewasa : 2 gram tiap 6 jam

Bila dilakukan kultur dan bakteri penyebab dapat ditemukan, biasanya antibiotika yang
digunakan adalah seperti yang tercantum dalam tabel berikut ini
Tabel 2.7: Pilihan antibiotik berdasakan kuman penyebab
No Kuman penyebab Pilihan pertama Alternatif lain
1. H. influenzae Ampisilin Cefotaksim
2. S. pneumoniae Penisillin G Kloramfenikol
3. N. meningitidis Penisillin G Kloramfenikol
4. S. aureus Nafosillin Vancomisin
5. S. epidermitis Sefotaksim Ampisillin bila
Enterobacteriaceae sensitif dan atau
ditambah
aminoglikosida
secara intrateca.
6. Pseudomonas Pipersillin + Sefotaksim
Tobramisin
7. Streptococcus Penicillin G Vankomisin
Group A / B
8. Streptococcus Ampisillin +
Group D Gentamisin
9. L monocytogenes Ampisillin Trimetoprim
Sulfametoksasol

Terapi suportif melibatkan pengobatan dehidrasi dengan cairan pengganti


dan pengobatan shock, koagulasi intravaskular diseminata , patut sekresi hormon antidiuretik ,
kejang , peningkatan tekanan intrakranial , apnea , aritmia , dan koma.Terapi suportif juga melibatkan
pemeliharaan perfusi serebral yang memadai dihadapan edema serebral .
Dengan pengecualian dari HSV dan HIV , tidak ada terapi spesifik untuk virusensefalitis
. Manajemen mendukung dan sering membutuhkan masuk ICU , yangmemungkinkan terapi
agresif untuk kejang , deteksi tepat waktu kelainan elektrolit ,dan , bila perlu , pemantauan jalan
napas dan perlindungan dan pengurangan peningkatan tekanan intrakranial .IV asiklovir adalah
pilihan perawatan untuk infeksi HSV . Infeksi HIV dapat diobatidengan kombinasi ARV .
Infeksi M. pneumoniae dapat diobati dengan doksisiklin ,eritromisin , azitromisin , klaritromisin
atau , meskipun nilai mengobati penyakitmikoplasma SSP dengan agen ini masih diperdebatkan.
Perawatan pendukung sangat penting untuk menurunkan
tekanan intrakranial dan untuk mempertahankan tekanan perkusi serebral yang memadai dan
oksigenasi.

2.7.10 Prognosis
Prognosis penyakit ini bervariasi, tergantung pada :
1. Umur : Anak Makin muda makin baguS prognosisnya
Dewasa Makin tua makin jelek prognosisnya
2. Kuman penyebab
3. Lama penyakit sebelum diberikan antibiotika
4. Jenis dan dosis antibiotika yang diberikan
5. penyakit yang menjadi faktor predisposisi.
Pada banyak kasus, penderita meningitis yang ringan dapat sembuh sempurna walaupun
proses penyembuhan memerlukan waktu yang lama. Sedangkan pada kasus yang berat, dapat
terjadi kerusakan otak dan saraf secara permanen, dan biasanya memerlukan terapi jangka
panjang
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn.. R
Umur : 42 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama/suku : Islam/Jawa
Tanggal dan Jam Datang : 20/08/2019 jam 21.01 WIB

3.2 Anamnesis
Keluhan utama : Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang :
(heteroanamnesis) pasien datang dengan keluhan kejang dirasakan sejak jam 12 siang , kejang
seluruh tubuh dengan anggota gerak tubuh kaku dan mata melirik keatas, durasi kejang kurang
lebih 5 menit, lidah tergigit dan mengeluarkan darah saat terjadi kejang. Dan saat setelah kejang
pasien sadar. Sejak 1 minggu SMRS pasien mengeluhkan sering nyeri kepala, leher terasa kaku,
riwayat mual dan muntah disangkal, riwayat demam disangkal. Riwayat tertusuk besi atau luka
disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu :

Hipertensi (-), DM (-), pernah oprasi radang usus 3 thn yang lalu

Riwayat Penyakit Keluarga : Adik pasien pernah mengalami kejang

Riwayat Sosial : (-)

3.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : kesakitan pada lidah
Kesadaran : compos mentis
GCS : 456
Tanda-tanda vital
Pemeriksaan di IGD :
Tekanan Darah : 115/70
Nadi : 112x/ menit
Frekuensi Nafas : 20x/menit
Temperatur : 36°C
Pemeriksaan di ruangan :
Tekanan Darah : 108/83 mmHg
Nadi : 82 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,0 °C
Status Generalis
Kepala/Leher
Inspeksi :anemia -, icterus -, sianosis -, dispsneu -, mata cowong -, KGB - , Lidah kaku dan
berdarah
Thorax
Paru Jantung Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris, retraksi -
Palpasi : krepitasi -
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler/vesikuler
Rh -/-, Wh -/-, S1S2 Tunggal, Murmur -, gallop –
Abdomen
Inspeksi : Flat
Palpasi : Soepel, nyeri tekan epigastrium -, hepar lien tidak teraba
Perkusi : Thympani
Auskultasi : BU + N
Ekstremitas : Inspeksi : Deformitas(-) oedem (-)
Palpasi : Hangat, kering, merah, CRT<2 detik
Pemeriksaan Neurologis

1. Kepala : Posisi : Normal


Penonjolan : Tidak ada
2. Nervus Kranialis :
Kanan Kiri

N.I (Olfaktorius) Normal Normal

N.II (Optikus) Baik,>2/60 (ruang terbatas) Baik,>2/60 (ruang terbatas)


Tajam Penglihatan Tidak ada penyempitan LP Tidak ada penyempitan LP
Lapang Penglihatan Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi
Funduskopi

N. III (Okulomotorius) Baik ke segala arah Baik ke segala arah


Pergerakan bola mata Bulat, 3 mm Bulat, 3 mm
Pupil + +
Reflek cahaya + +
Langsung Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi
Tidak langsung
Nistagmus

N.IV (Troklearis) Normal (tengah) Normal (tengah)


Posisi Bola Mata

N.VI (Abdusen) Baik ke segala arah Baik ke segala arah


Pergerakan mata

N.V (Trigeminus) Normal Normal


N. V I Normal Normal
N. V II Normal Normal
N. V III Wajah simetris
Motorik Tidak dievaluasi
Inspeksi susah karena lidah kaku
Palpasi susah karena lidah kaku
Mengunyah Tidak dievaluasi
Menggigit Tidak dievaluasi
Reflek dagu / masseter
Reflek kornea

N.VII (Fasialis) Dbn Dbn


Motorik: Dbn Dbn
m. frontalis Dbn Dbn
m. Oblik okuli Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi
m. oblik oris
pengecap 2/3 lidah
depan

N.VIII Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi


(Vestibulokoklearis)

N.IX (Glossofaringeus) Tidk dievaluasi


Pengecapan 1/3 (bagian belakang) Tidak dievaluasi
Sensibilitas faring

N.X (Vagus) Sulit dievaluasi


Posisi arkus faring Tidak evaluasi
Reflek telan/ reflek muntah

N.XI (Acsessorius) Dbn


Mengangkat bahu Dbn
Memalingkan kepala

N.XII (Hipoglossus) +
Deviasi lidah -
Fasikulasi +
Tremor -
Atrofi
3. Leher
Tanda perangsangan selaput otak :
- Kaku kuduk : Positif
Kelenjar lymphe : tidak ada pembesaran
Arteri karotis :
- Palpasi : teraba kuat
- Auskultasi : bruit (-)
Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran

4. Abdomen
Reflek kulit dinding perut : -
-
-
5. Kolumna vertebralis
Inspeksi : normal
Palpasi : normal
Pergerakan : normal
Perkusi : normal
6. Ekstremitas
Motorik
- Pergerakan: Tidak ada
- Kekuatan : Tidak dievaluasi
- Tonus otot : normal
Otot yang terganggu :-
Reflek fisiologis :
- BPR : +2/ +2
- TPR : +2/ +2
- KPR : +2/ +2
- APR : +2/ +2
Reflek patologis :
- Hoffman-tromner : - / -
- Babinski :-/-
- Chaddock :-/-
- Gordon :-/-
- Schaefer : - /-
- Oppenheim :-/-
Atrofi : Tidak ada
7. Pergerakan abnormal spontan : negatif
8. Gangguan koordinasi
- Tes jari hidung : Tidak dapat dievaluasi
- Tes pronasi supinasi : Tidak dapat dievaluasi
- Tes tumit lutut : Tidak dapat dievaluasi
9. Gait : Tidak dapat dievaluasi

3.4 Pemeriksaan Laboratorium

- Darah Lengkap :
GDA : 148 mg/dl MCV : 91.50 fl
MCH : 29.40pg
LED : 55 mm/jam MCHC : 32.20g/dL
Leukosit : 17.4 RDW-CV : 11 %
Neutrofil : 90.0 Monosit : 7.5
Limfosit : 2.2 Eosinofil : 0.1 %
Hematokrit : 43.2 Hemoglobin : 13.9
Trombosit : 449/ul
Eritrosit : 4.72 juta/ul
Basofil : 0,2%
3.5 Pemeriksaan Radiologi

3.6 Diagnosis

Diagnosis klinik : Konvulsi (+), sakit kepala (+), Kaku kuduk (+), Leukositosis,

Diagnosis topis : Meningen = jaringan otak

Diagnosis etiologis : Meningoencephalitis

3.7 Planning Diagnosis : Ct Scan

3.8 Planning Terapi

- o2 NRM 10 lpm

- Inf RL 1500cc/24 jam

- Inj Antrain 3x1 gr

- Inj Ranitidin 2 x 50 mg

- Inj Kalmethason 4x1 amp

- Inj ceftriaxone 2x1 gr


BAB IV

PEMBAHASAN
Pasien laki-laki usia 42 tahun dengan (heteroanamnesis) pasien datang ke IGD RSML
dengan keluhan kejang dirasakan sejak jam 12 siang , kejang seluruh tubuh dengan anggota
gerak tubuh kaku dan mata melirik keatas, durasi kejang kurang lebih 5 menit, lidah tergigit dan
mengeluarkan darah saat terjadi kejang. Dan saat setelah kejang pasien sadar. Sejak 1 minggu
SMRS pasien mengeluhkan sering nyeri kepala, leher terasa kaku, riwayat mual dan muntah
disangkal, riwayat demam disangkal. Riwayat tertusuk besi atau luka disangkal. . Saat diruangan
pada pemeriksaan fisik dan neurologis di ruangan didapatkan : tekanan darah 108/83 mmHg,
nadi 82x/menit, frekuensi nafas 20x/menit dan temperatur 360C. Didapatkan tanda-tanda
meningeal sign, berupa Kaku Kuduk. Tidak ditemukan defisit neurologis pada pemeriksaan di
ruangan. Pemeriksaan foto thorax tidak didapatkan gambaran TB Milier.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, kemungkinan penyebab
keluhan dari pasien adalah konvulsi et causa meningoencephalitis .Tanda-tanda rangsangan
meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku .
Terapi yang diberikan untuk pasien adalah pasien mendapatkan terapi supportif
berupaO2 NRM 10 lpm untuk mempertahankan breating, infus RL 1500 cc dalam 24 jam untuk
menjaga cairan tetap pada keadaan euvolemi, ranitidine 2x50 mg untuk mencegah stress ulcer
dan inj citicolin 3x250mg sebagai neuroprotektan, inj antrain 3x1 gr untuk mengurangi nyeri, Inj
Ceftriaxone 2 x 1 gr untuk menurunkan infeksi , dan Inj Kalmethason 4x1 amp sebagai
penghambat edema serebri dan timbulnya perlekatan antara araknoid dan otak.
DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono. 2003. Meningitis. Kapita Selekta Neurologi. 2 URL :


http://www.uum.edu.my/medic/meningitis.htm
2. Japardi, Iskandar. 2002. Meningitis Meningococcus. USU digital library
URL:http://library.usu.ac.id/download/fk/bedahiskandar%20japardi23.pdf
3. Quagliarello, Vincent J., Scheld W. 1997. Treatment of Bacterial Meningitis. The New
England Journal of Medicine. 336 : 708-16 URL
:http://content.nejm.org/cgi/reprint/336/10/708.pdf
4. Cambell W, DeJong’s The Neurologic Examination Sixth edition, Lippincott Williams
and Wilkins, Philadelpia, 2005;19-20,37-40,97-277
5. Lumbantobing SM, Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental, FKUI, Jakarta,
2004; 7-111
6. Juwono T, Pemeriksaan Klinik Neurologi dalam Praktek. EGC, Jakarta; 5-53
7. Posner JB, Schiff ND, Saper CB, Plum F, Plum and Posner Diagnosis of Stupor and
Coma fourth edition, Oxford University Press, Oxford, 2007; 38-42
8. Markam S, Penuntun Neurologi, Binarupa Aksara, Jakarta; 18-50
9. Chusid JG, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional Bagian Satu, Gajah Mada
University Press, Jogjakarta, 1990; 150-190
10. Duus Peter, Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda dan Gejala edisi II,
EGC, Jakarta; 78-127
11. Fitzgerald MJ, Gruener G, Mtui E, Clinical Neuroanatomy and Neuroscience Fifth
edition International edition, Saunders Elsevier, British, 2007; 225-257
12. Ellenby, Miles., Tegtmeyer, Ken., Lai, Susanna., and Braner, Dana. 2006. Lumbar
Puncture. The New England Journal of Medicine. 12 : 355 URL
:http://content.nejm.org/cgi/reprint/355/13/e12.pdf

Anda mungkin juga menyukai