Anda di halaman 1dari 16

TUGAS

MULTIPLE SCLEROSIS

Oleh:
Sriworo Noermalia Dewi
Kelompok :
J32

Pembimbing:
dr. Dhimas Sp.S

Kepaniteraan Klinik SMF Syaraf


Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

Multipel sclerosis (MS) adalah salah satu penyakit saraf yang menyerang sel-
sel saraf di bagian sistem saraf pusat. Penyakit ini menyebabkan kerusakan pada
selubung mielin saraf manusia sehingga menyebabkan gangguan sistem hantaran
impuls pada saraf tersebut.
MS mempengaruhi area dari otak dan syaraf tulang belakang yang dikenal
sebagai substansi alba. Sel-sel substansi alba membawa sinyal antara area substansi
grisea, dimana pemrosesan dilakukan, dan hasilnya dikirimkan ke tubuh. Lebih
khususnya, MS menghancurkan oligodendrocytes yang adalah sel-sel bertanggung
jawab untuk membuat dan memelihara satu lapisan lemak, yang dikenal sebagai
sarung pelindung myelin, yang membantu neuron membawa sinyal elektrik. MS
menyebabkan penipisan atau kerusakan total myelin dan sering memotong perluasan
neuron atau axons. Ketika myelin hilang, neuron tidak bisa lagi secara efektif
menghantarkan sinyal elektrik. Nama multipel sklerosa mengacu pada jaringan parut
(scleroses – lebih dikenal sebagai plak atau lesi) dalam substansi alba. Tingkat
kerusakan myelin dalam lesi ini menyebabkan sebagian dari gejala, bervariasi
tergantung atas daerah yang mengalami kerusakan. Hampir semua gejala neurologis
bisa menyertai penyakit ini. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan pada bab
berikutnya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Multiple sklerosis adalah suatu penyakit autoimun kronik yang menyerang
myelin otak dan medulla spinalis. Penyakit ini menyebabkan kerusakan myelin dan
juga akson yang mengakibatkan gangguan transmisi konduksi saraf. peradangan yang
terjadi di otak dan sumsum tulang belakang yang menyerang daerah substansia alba
dan merupakan penyebab utama kecacatan pada dewasa muda. Penyebabnya dapat
disebabkan oleh banyak faktor, terutama proses autoimun. Focal lymphocytic
infiltration atau sel T bermigrasi keluar dari lymph node ke dalam sirkulasi
menembus sawar darah otak (blood brain barrier) secara terus-menerus menuju
lokasi dan melakukan penyerangan pada antigen myelin pada sistem saraf pusat
seperti yang umum terjadi pada setiap infeksi. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya
inflamasi, kerusakan pada myelin (demyelinisasi), neuroaxonal injury, astrogliosis,
dan proses degenerative. Akibat demyelinasi neuron menjadi kurang efisien dalam
potensial aksi. Transmisi impuls yang disampaikan oleh neuron yang terdemyelinisasi
akan menjadi buruk. Akibat 'kebocoran' impuls tersebut, terjadi kelemahan dan
kesulitan dalam mengendalikan otot atau kegiatan sensorik tertentu di berbagai
bagian tubuh.1,2
2.2 Epidemiologi
Di Indonesia penyakit ini tergolong jarang dibandingkan penyakit neurologis
lainnya. MS lebih sering menyerang perempuan dibandingkan laki laki dengan rasio
2:1. Umumnya penyakit ini diderita mereka yang berusia 20-50 tahun. MS bersifat
progresif dan dapat mengakibatkan kecacatan. Sekitar 50% penderita MS akan
membutuhkan bantuan untuk berjalan dalam 15 tahun setelah onset penyakit.1
2.3 Etiologi
Etiologi dari kelainan tersebut masih belum jelas. Ada beberapa mekanisme penting
yang menjadi penyebab timbulnya MS yaitu autoimun,(molecular mimikri), infeksi,
herediter, paparan sinar matahari. Meskipun bukti yang meyakinkan kurang, faktor
makanan dan paparan toksin telah dilaporkan ikut berkontribusi juga. Mekanisme ini
tidak saling berdiri sendiri melainkan merupakan gabungan dari berbagai faktor.
Virus : EBV
Defisiensi vitamin D: vitamin D berfungsi untuk mengatur respon imun. Vitamin D
mengurangi produksi dari sitokin pro inflamatori dan meningkatkan produksi sitokin
anti inflamatori.
Genetika : penurunan kontrol respon immune 2,3

3
2.4 Klasifikasi
Berdasarkan perbedaan klinis dan gejala, terdapat beberapa tipe MS:

Relapsing remitting MS (RRMS)


Tipe ini ditandai dengan episode relaps atau eksaserbasi yang diikuti dengan episode
remisi (perbaikan). Sekitar 85% pasien MS memiliki tipe RRMS, 65 % diantaranya
akan berkembang menjadi tipe secondary progressive MS (SPMS)
Secondary progressive MS (SPMS)
Banyak pakar yang menganggap SPMS merupakan bentuk lanjut dari RRMS yang
berkembang progresif. Pada tipe ini episode remisi makin berkurang dan gejala
menjadi makin progresif
Primary progressive MS (PPMS)
PPMS diderita oleh 10-15% pasien MS dengan rasio perempuan : laki laki= 1:1.
Gejala yang timbul tidak pernah mengalami fase remisi
Primary relapsing MS (PRMS)
Bentuk PRMS adalah yang paling jarang. Pasien terus mengalami perburukan dengan
beberapa episode eksaserbasi diantaranya. Tidak ada fase remisi atau bebas dari
gejala.1,2

4
2.5 Patofisiologi
Mekanisme autoimun diduga terjadi melalui penurunan aktifitas limfosit T-
supresor pada sirkulasi pasien penderita MS serta adanya molecular mimicry antara
antigen dan MBP (myelin basic protein) yang mengaktifkan klon sel T yang spesifik
terhadap MBP (MBP specific T-cell clone). Limfosit T4 menjadi autoreaktif pada
paparan antigen asing yang strukturalnya mirip dengan MBP. Tidak hanya beberapa
virus dan peptida bakteri saja yang memiliki kesamaan struktural dengan MBP, tetapi
beberapa dari mikroorganisme tersebut dapat mengaktifkan MBP-spesifik T-sel klon
pada pasien MS. 1,2,4
Beberapa infeksi virus diketahui menyebabkan demyelinasi pada manusia
diantaranya progressive multifocal leukoencephalopathy yang disebabkan oleh
polyomavirus JC, subakut sclerosing panencephalitis oleh virus campak. Pada MS
studi serologis awal sulit ditafsirkan. Namun, banyak pasien MS terdapat elevasi titer
CSF terhadap virus campak dan herpes simpleks (HSV), tetapi ini juga tidak spesifik.
1,2,4

Secara patologi, lesi MS akan memperlihatkan plak yang merupakan lesi


demielinisasi. Plak ini merupakan gambaran patognomik MS. Pada fase akut tampak

5
sebukan sel radang, hilangnya myelin, dan pembengkakan parenkim. Pada fase
kronik, kehilangan myelin menjadi lebih jelas, dengan sel sel makrofag disekitarnya
disertai kerusakan akson dan apoptosis oligodendrosit.1,2,4

2.6 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis yang muncul sesuai dengan daerah lesi yang terkena.
Terdapat beberapa gejala dan tanda yang timbul pada MS:
 Kehilangan fungsi sensorik (paresthesia): gejala awal
 Neuritis optik: gejala awal
 Gejala pada corda spinalis (motorik): cramping akibat spastisitas
 Gejala pada corda spinalis (otonom): gangguan BAB dan BAK,
disfungsi seksual
 Cerebellar symptom: triad charcot (disartia, tremor, ataksia)
 Trigeminal neuralgia
 Facial myokymia
 Diplopia akibat ophtalmoplegia internuklear dan nistagmus
 Heat intolerance
 Mudah lelah (70% kasus)
 Nyeri
 Menurunnya fungsi kognitif
 Depresi
 Bipolar, dementia
 Tanda lhermitte (Sensasi listrik dari leher ke bawah yang dirasakan pada
fleksi leher): Pada MS yang menyerang medula spinalis1,2,6

Gejala neurologis yang sering timbul pertama kali pada multipel sklerosis adalah
neuritis optik pada 14-23 % pasien dan lebih dari 50% pasien pernah mengalaminya.
Gejala yang dialami adalah penglihatan kabur, pada orang kulit putih biasanya
mengenai satu mata, sedangkan pada orang asia lebih sering pada kedua mata. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan refleks pupil yang menurun, penurunan visus, gangguan
persepsi warna dan skotoma sentral. Funduskopi pada fase akut menunjukkan papil
yang hiperemis tetapi dapat normal pada neuritis optika posterior/retrobulbar.

6
Sedangkan pada fase kronis dapat terlihat atrofi papil. Selain itu pada neuritis optika
umumnya pasien mengeluh nyeri pada orbita yang dapat timbul spontan terus-
menerus atau pada pergerakan bola mata. Selain itu terdapat suatu fenomena yang
unik yang disebut fenomena Uhthofff dimana gejala penurunan visus (bersifat
temporal) dieksaserbasi oleh suhu panas atau latihan fisik. Diplopia juga dapat
muncul pada MS meskipun lebih jarang dibandingkan neuritis optika. 1,2,6
Gangguan sensorik merupakan manifestasi klinis awal yang juga sering
dialami oleh 21-55% pasien MS. Umumnya gejala yang timbul berupa rasa baal
(hipestesi), kesemutan (parestesi), rasa terbakar (disestesi) maupun hiperestesi.
Kelainan tersebut dapat timbul pada satu ekstremitas atau lebih, dan pada tubuh atau
wajah. Selain itu proprioseptif, rasa vibrasi, dan diskriminasi dua titik juga dapat
terganggu sehingga menimbulkan kesulitan menulis, mengetik atau mengancing baju.
Gejala proprioseptif ini umumnya timbul bilateral dan bila terdapat lesi di daerah
lemniskus gangguan proprioseptif tersebut hanya mengenai lengan yang dinamakan
useless hand syndrome. Gejala tersebut umumnya mengalami remisi dalam beberapa
bulan. Tanda yang sering terjadi pada penderita MS meskipun tidak karakteristik
adalah tanda Lhermitte; bila kepala difleksikan secara pasif, timbul parestesi
sepanjang bahu, punggung dan lengan. Hal ini mungkin disebabkan akson yang
mengalami demyelinisasi sensitivitasnya meningkat terhadap tekanan ke spinal yang
diakibatkan fleksi kepala. 1,2,6
Gangguan serebelum juga sering terjadi pada MS meskipun jarang menjadi
gejala utama. Manifestasi klinisnya ataksia serebelaris, baik yang mengenai gerakan
motorik halus (dismetria, disdiadokokinesia, intention tremor), gait, maupun
artikulasi (scanning speech, disartria). Selain itu dapat timbul pula nistagmus,
terutama yang horizontal dan vertikal. 1,2,6
Hemiparesis yang diakibatkan lesi kortikospinal dapat terjadi pada MS meski
frekuensinya lebih kecil. Demikian juga lesi di medula spinalis dapat menyebabkan
sindroma Brown-Sequard atau mielitis transversa yang mengakibatkan paraplegi
(umumnya tidak simetris), level sensorik dan gangguan miksi-defekasi. Refleks
patologis dan/atau hiperrefleksia bilateral dengan atau tanpa kelemahan motorik
merupakan manifestasi yang lebih sering dan merupakan tanda lesi kortikospinal
bilateral. Yang karakteristik, meskipun kelemahan hanya pada satu sisi, refleks
patologis selalu bilateral. Spastisitas dapat menyebabkan gejala kram otot pada pasien
MS. Kelelahan/fatigue merupakan gejala non spesifik pada MS dan terjadi pada
hampir 90% pasien MS. Kelelahan dapat merupakan kelelahan fisik pada waktu
exercise berlebihan ataupun pada temperatur panas maupun kelelahan/kelambatan
mental. 1,2,6
Gangguan memori dapat terjadi pada pasien MS. Menurut penelitian Thornton
dkk memori jangka pendek, working memori dan memori jangka panjang umumnya

7
terganggu pada pasien MS (13). Selain itu juga didapatkan gangguan atensi. Gangguan
emosi berupa iritabilitas dan afek pseudobulbar berupa forced laughing atau forced
crying umum terjadi pada pasien MS disebabkan lesi hemisfer bilateral.1,2,6
Gejala lainnya yang lebih jarang meliputi neuralgia trigeminal (bilateral),
gangguan lain pada batang otak berupa paresis n. facialis perifer (bilateral), gangguan
pendengaran, tinitus, vértigo, dan sangat jarang penurunan kesadaran (stupor dan
koma) 1,2,6
2.7 Diagnosis
Tidak ada satu tes pun yang dapat memastikan diagnosis MS. Multiple
sclerosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Penegakan diagnosis mempergunakan
kriteria diagnostik seperti Kriteria McDonald. Saat ini yang dipergunakan adalah
kriteria McDonald revisi 2010. Diagnosis MS perlu dipikirkan apabila didapatkan
gejala-gejala neurologis dengan episode remisi dan eksaserbasi ataupun progresif dan
tidak ditemukan sebab lain yang dapat menjelaskan gejala tersebut.1

8
Dengan demikian, untuk menegakkan diagnosis MS, perlu dilakukan pemeriksaan
untuk mengeksklusi diagnosis diferensial, seperti tumor otak, infeksi otak, stroke,
trauma kepala maupun gangguan metabolik.
Pemeriksaan pungsi lumbal harus dilakukan bukan untuk menegakkan
diagnosis, tetapi menyingkirkan kemungkinan infeksi otak. Pemeriksaan oligoclonal
band tidak lagi menjadi standar emas penegakan diagnosis MS, kecuali pada tipe
PPMS—peran oligoclonal band menjadi lebih besar. Pada pemeriksaan MRI kepala
dapat ditemukan lesi hiperintens di periventrikular, jukstakortikal, infratentorial, dan
medulla spinalis. Gambaran yang cukup khas pada lesi MS adalah ovoid lesion dan
dawson finger Multiple sclerosis juga dapat menyerang medula spinalis dan
mengakibatkan gejala, seperti mielitis. Multiple sclerosis yang mengenai medula
spinalis perlu dibedakan dengan neuromielitis optika (NMO) atau Devic’s disease.
NMO awalnya dikategorikan sebagai varian dari MS. Akan tetapi, saat ini telah
diketahui bahwa NMO adalah suatu penyakit autoimun yang berbeda dengan MS.
Membedakan MS dan NMO menjadi penting karena pengobatan kedua penyakit ini
berbeda. Sebagaimana MS, NMO yang merupakan penyakit autoimun dapat
memperlihatkan gejala dengan episode remisi dan eksaserbasi. Gejala utamanya
adalah gangguan penglihatan yang umumnya lebih berat dibandingkan MS dan gejala
mielitis. Gambaran MRI kepala NMO bisa normal atau apabila ditemukan lesi, lesi
tersebut haruslah tidak memenuhi kriteria MS. Sedangkan gambaran lesi myelitis
pada MRI memperlihatkan lesi hiperintens yang mengenai medula spinalis sepanjang
lebih dari 3 segmen vertebra (longitudinally extensive spinal cord lesion) (gambar 4).
Diagnosis NMO ditegakkan dengan menggunakan kriteria Wingerchuck.1

Lumbal pungsi

9
Lumbal pungsi dilakukan jika tidak ada MRI. Pada pemeriksaan ditemukan
oligoclonal band dan produksi IGG intratekal.

2.8 Diagnosis Banding


Diagnosa banding utama untuk menjadi pertimbangan tergantung pada manifestasi
neurologis dalam kasus:
• Defisit saraf kranial mungkin saja berhubungan dengan berbagai jenis lesi fokal,
seperti sebuah tumor dermoid basis kranii, suatu tumor dari serebelopontine angel,
suatu tumor di foramen magnum, suatu optik glioma atau sphenoid wing meningioma
dengan atrofi saraf optik, suatu brainstem astrocytoma, brainstem encephalitis, dan
lain-lain.
• Suatu hemiplegia mungkin saja berhubungan dengan suatu tumor otak atau stroke
• Kejang paraparesis mungkin saja berhubungan dengan suatu tumor saraf tulang
belakang atau cervical spondylotic myelopathy.
• Paraparesis berulang mungkin saja berhubungan dengan suatu malformasi vaskular
pada saraf tulang belakang.
• Gejala dari serebellar dan traktus piramidal, dan mungkin juga gejala dari batang
otak, mungkin saja berhubungan dengan suatu massa atau bentuk malformasi batang
otak atau craniocervical junction. Beberapa gejala sering misdiagnosed sebagai
multipel sklerosis. Bentuk malformasi vaskuler batang otak, juga dapat menyebabkan
gejala neurologis yang berubah-ubah dengan onset usia pertengahan atau usia tua.

10
• Keterlibatan dari berbagai area dari sistem saraf pusat mungkin saja berhubungan
dengan penyakit sistemik seperti sistemik lupus erythematosus, sarcoidosis, penyakit
vaskuler, toxic encephalomyelopathy, hypothyroidism, atau funicular myelosis.
• Keterlibatan mata dan sistem saraf pusat mungkin saja berhubungan dengan suatu
vaskulitis atau intoksikasi. Uveitis ditemukan bersama-sama dengan kelainan
neurologis dalam uveoencephalomyelitis (Vogt-Koyanagi-Harada syndrom), suatu
hal yang jarang, kiranya adalah sindrom virus dimana terjadi uveitis, gangguan gaya
berjalan, leukodermia, munculnya uban, encephalitis, dan tanda meningeal yang
berubah-ubah.
• Behcet’s disease dapat menyebabkan apththous ulcer, manifestasi okular, dan
manifestasi saraf pusat, terutama brainstem encephalitis.1,4,7
2.9 Tatalaksana
A. Terapi simptomatik
Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan diantaranya
adalah :1,5,6
Spasticity, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan program
exercise seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya. Medikasi diberikan ketika ada
kekakuan, spasme, atau klonus saat beraktivitas atau kondisi tidur. Baclofen,
tizanidine, gabapentin, dan benzodiazepine efektif sebagai agen antispastik.
Paroxysmal disorder. Pada berbagai kasus, penggunaan carbamazepin memberikan
respon yang baik pada spasme distonik. Nyeri paroxysmal dapat diberikan
antikonvulsan atau amitriptilin.
Bladder dysfunction. Urinalisis dan kultur harus dipertimbangkan dan pemberian
terapi infeksi jika dibutuhkan. Langkah pertama yang dilakukan ada mendeteksi
problem apakah kegagalan dalam mengosongkan bladder atau menyimpan urin. Obat
antikolinergik Oxybutinin dan Tolterodine efektif untuk kegagalan dalam menyimpan
urin diluar adanya infeksi.
Bowel symptom. Konstipasi merupakan masalah umum pada pasien MS dan harus
diterapi sesegera mungkin untuk menghindari komplikasi. Inkontinensia fekal cukup
jarang. Namun bila ada, penambahan serat dapat memperkeras tinja sehingga dapat
membantu spingter yang inkompeten dalam menahan pergerakan usus. Penggunaan
antikolinergik atau antidiare cukup efektif pada inkontinensia dan diare yang terjadi
bersamaan.
Sexual symptom. Masalah seksual yang muncul antara lain penurunan libido,
gangguan disfungsi ereksi, penurunan lubrikan, peningkatan spastisitas, rasa sensasi

11
panas dapat terjadi. Pada beberapa pasien MS, gangguan disfungsi ereksi dapat
diatasi dengan sildenafil.
Neurobehavior manifestation. Depresi terjadi lebih dari separuh dari pasien dengan
MS. Pasien dengan depresi ringan dan transien dapat dilakukan terapi suportif. Pasien
dengan depresi berat sebaiknya diberikan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors
(SSRIs) yang memiliki efek sedative yang lebih kecil disbanding antidepresan lain.
Amitriptilin dapat digunakan bagi pasien yang memiliki kesulitan tidur atau memiliki
sakit kepala.
Fatigue. Kelelahan dapat diatasi dengan istirahat cukup atau penggunaan medikasi.
Amantadine 100 mg dua kali perhari cukup efektif. Modafinil, obat narcolepsy yang
bekerja sebagai stimulant SSP telah ditemukan memiliki efek yang bagus pada pasien
MS. Obat diberikan dengan dosis 200 mg satu kali sehari pada pagi hari. SSRIs juga
dapat menghilangkan kelelahan pada pasien MS. Amantadine memiliki efek anti
influenza A dan baik diberikan pada Oktober hingga Maret.
B.Terapi relaps
Pengobatan relaps dilakukan dengan pemberian metilprednisolon 500-1000 mg IV
selama 3-5 hari. Metilprednisolon diberikan sekali pada pagi hari dalam saline normal
selama 60 menit. Pemberian metilprednisolon lebih dari 5 hari tidak memberikan
hasil yang lebih baik.1
Pada pasien dengan MS, fisoterapi harus selalu dilakukan untuk meningkatkan fungsi
dan kualitas hidup dari ketergantungan obat therapy. Perawatan pendukung berupa
konseling, terapi okupasi, saran dari sosial, masukan dari perawat, dan partisipasi
dalam patient support group merupakan bagian dari perawatan kesehatan dengan
pendekatan tim dalam pengelolaan MS.1
C. Disease-Modifying Therapies
Interferon beta
Berdasarkan guideline NICE, pasien RRMS direkomendasikan untuk mendapatkan
terapi Interferon Beta, baik jenis Interferon Beta 1a maupun 1b. Beta interferon dapat
mengurangi jumlah lesi inflamasi 50-80% yang terlihat pada MRI. Tipe SPMS juga
direkomendasikan untuk mendapatkan terapi Interferon Beta.1
Glatiramer asetat
Obat ini didesain untuk berkompetisi dengan myelin basic protein. Pemberian
Glatiramer Asetat 20mg/hari subkutan dapat menurunkan
frekuensi relaps pada RRMS.1
Fingolimod

12
Obat ini merupakan satu-satunya obat MS dalam sediaan oral. Fingolimod
diindikasikan untuk tipe aktif RRMS. Atau dapat menjadi pilihan berikutnya apabila
pengobatan RRMS dengan Interferon beta tidak memberikan hasil yang memuaskan.1
Natalizumab
Merupakan suatu antibodi monoklonal yang diberikan pada kasus-kasus MS yang
agresif. Pada kasus RRMS yang tidak memberikan hasil
optimal dengan Interferon Beta, GA maupun Fingolimod maka terapi dapat dialihkan
ke Natalizumab, atau pada kasus-kasus yang
intoleran terhadap obat-obat sebelumya. Natalizumab tergolong dalam obat lini kedua
dalam terapi MS.1
Mitoxantrone
Obat antikanker ini dapat menurunkan frekuensi relaps dan menahan progresifitas
MS. Mitoxantrone direkomendasikan pada RRMS yang sangat aktif atau SPMS yang
sangat progresif. Mitoxantrone tergolong dalam obat lini ke 3 dalam terapi MS.1
Untuk tipe PPMS hingga saat ini tidak ada terapi yang direkomedasikan. Terapi
hanya bersifat simptomatis.1
Fenitoin
Fenitoin yang merupakan obat antiepileptic. Dalam uji coba nya fenitoin bersifat
neuroprotective terhadap degenerasi serabut saraf retina pada pasien neuritis optic.
Fenitoin yang bekerja sebagai sodium channel blocker. Pada daerah inflamasi, akson
akan dipenuhi oleh sodium dan menyebabkan masuknya calcium ke dalam sel yang
menyebabkan kematian sel. Dengan pemberian fenitoin sebagai sodium channel
blocker maka dapat mencegah kematian sel. Dosis yang dipergunakan dalam
penelitian 15 mg/kgbb selama 3 hari dan dilanjutkan 4 mg/kgbb dalam 13 minggu.
Hasil penelitian menunjukkan pasien neuritis optic yang diberikan fenitoin dalam 3
bulan dapat mencegah 30% lebih baik dibanding dengan pemberian placebo.8
2.10 Komplikasi
 Depresi
 Kesulitan dalam menelan
 Kesulitan berppikir dan berkonsentrasi
 Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri
 Membutuhkan kateter
 Osteoporosis

13
 Infeksi saluran kemih7
2.11 Prognosis
Jika tidak diobati, lebih dari 30% pasien dengan MS akan memiliki cacat fisik
yang signifikan dalam waktu 20-25 tahun setelah onset. Kurang dari 5-10% dari
pasien memiliki fenotipe MS klinis ringan, di mana tidak ada cacat fisik yang
signifikan terakumulasi meskipun berlalu beberapa dekade setelah onset (kadang-
kadang terlepas dari lesi baru yang terlihat pada MRI). Pemeriksaan rinci dalam
banyak kasus, mengungkapkan beberapa tingkat kerusakan kognitif.2,7
Pasien laki-laki dengan MS progresif primer memiliki prognosis terburuk,
dengan respon yang kurang menguntungkan untuk pengobatan dan cepat
menimbulkan kecacatan. Insiden yang lebih tinggi dari lesi sumsum tulang belakang
di MS progresif primer juga merupakan faktor dalam perkembangan pesat dari
kecacatan. 2,7
Harapan hidup dipersingkat hanya sedikit pada orang dengan MS, dan tingkat
kelangsungan hidup terkait dengan kecacatan. Kematian biasanya terjadi akibat
komplikasi sekunder (50-66%), seperti penyebab paru atau ginjal, tetapi juga dapat
disebabkan oleh komplikasi utama, bunuh diri, dan menyebabkan tidak berhubungan
dengan MS. Marburg varian dari MS adalah bentuk akut dan klinis fulminan penyakit
yang dapat menyebabkan koma atau kematian dalam beberapa hari. 2,7

14
BAB III
KESIMPULAN

Multiple sclerosis (MS) adalah penyakit autoimun yang terutama menyerang


perempuan usia muda, tergolong penyakit langka di Indonesia. Penyakit ini dapat
mengakibatkan kecacatan dan menurunkan kualitas hidup. Penegakan diagnosis yang
akurat sangat diperlukan agar pasien bisa mendapatkan pengobatan yang adekuat
sedini mungkin. Neuritis optic dan gangguan sensorik merupakan manifestasi awal
dari penyakit ini.

15
Daftar Pustaka

Estiasari R. Sclerosis multiple. Departemen neurologi, fakultas kedokteran universitas


Indonesia RSCM. Jakarta. 2014
Allan H. Ropper, Martin A. Adams & Victor’s Principles of Neurology, 9th Edition.
Boston. 2009.
Munger.K, Levin L, Holis B, Howard M, Ascherio A. Serum 25-Hidroksivitamin D
Levels and Risk of Multiple Sclerosis. Report: JAMA 2006:296:2832-2838
Simon R. Motor Deficit. Clinical Neurology.7 th. McGraw Hill. USA. 2009.
About MS. 2012. Bayer HealthCare Pharmaceuticals. Available from:
http://www.multiplesclerosis.com/global/about_ms.php was accessed on Februari
11th, 2016
Multiple sclerosis. 2012. Medscape References. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1146199-overview
Multiple Sclerosis. Pubmed Health Medicine. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001747/
Phenythoin Neuroprotection in MS. 2015. Medscape References. Available from:
http://www.medscape.com/viewarticle/843393#vp_1

16

Anda mungkin juga menyukai