Anda di halaman 1dari 21

TUGAS

GBS (Guillain Barre syndrome)

Oleh:

Sriworo Noermalia Dewi

Kelompok :

J32

Pembimbing:

dr. Dhimas Sp.S

Kepaniteraan Klinik SMF Syaraf

Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan

2019

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Guillain Barre syndrome (GBS) adalah penyakit neurologi yang sangat jarang,
kejadiannya bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun.
Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian
mendapatkan rata-rata insidensi 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi
antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2
tahun.
Insidensi sindroma Guillain-Barre Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3
bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari
pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit
hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di
Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra
menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama.
Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan
wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d
Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
Penyakit ini sering menyebabkan kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada
usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya
karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat
menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.
GBS biasanya mempunyai prognosa yang baik yaitu sekitar 80% tetapi sekitar 15 %
nya mempunyai gejala sisa/ defisit neurologis.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic
polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious
Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain
Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre
Syndrome.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Sindrom Guillan Bare adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan
akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut
Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid
yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya
adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.

B. ETIOLOGI

Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/ penyakit yang
mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain:
1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Penyakit sistematik:
a) keganasan
b) systemic lupus erythematosus
c) tiroiditis
d) penyakit Addison
5. Kehamilan atau dalam masa nifas
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus
GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4
minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal.
Telah diketahui bahwa infeksi salmonela tiposa dapat menyebabkan GBS.
Kemungkinan timbulnya sindrom Guillain-Barre pada demam tifoid perlu lebih

3
diketahui dan disadari, khususnya di Indonesia di mana demam tifoid masih
merupakan penyakit menular yang besar.

Tabel 1. jenis - jenis infeksi yang sering menjadi penyebab GBS

C. PATOGENESIS
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi
pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan
jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang
paling sering adalah infeksi virus.

4
a. Teori-teori Imun
Faktor humoral (antibodi terhadap gangliosid) - respon seluler (aktivasi
makrofag). Berbagai laporan melaporkan adanya antibodi terhadap glikolipid,
termasuk GM1, GQ1b, berbagai gangliosid lain, seluruh komponen membran akson
Histologi saraf tepi menunjukkan infiltrasi monosit perivaskuler endoneurial dan
demielinasi multifocal. Saraf-saraf tepi dapat terkena dari radiks sampai akhiran saraf
distal (poliradikuloneuropati)

b. Peran imunitas seluler


Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone
marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam
jaringan limfoid dan peredaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus
dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan
(fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan
memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC).
Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu
limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi
interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi
molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam
membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan
makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein
myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.

c. Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan
saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan
pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul
pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa

5
limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel
schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan
berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enam puluh enam, sebagian radiks
dan saraf tepi telah hancur. Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama
yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil
pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila
peradangannya berat akan berkembang

Gambar 1. Sistem imunopathologi saraf pada SGB

menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang


menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan
akson.

6
D. Klasifikasi

Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:


1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan
jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan
GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel
Schwann.

2. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang


terjadi dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan
jenis GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama
kali dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia.
Terdapat antibodi Anti-GQ1bdalam 90% kasus.

3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik


Cina, menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan
Meksiko. Hal inidisebabkan oleh respon autoimun yang menyerang
aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat
berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi
Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.

4. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan


AMAN, juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang
saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan
sering tidak sempurna.

5. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling


jarang. Dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan
kardiovaskular dan disritmia.

6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff’s (BBE), ditandai oleh onset


akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks
Babinski (menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit

7
dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler
terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun
gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik.

Gambar 2. Skema klasifikasi SGB


E. Gejala klinis dan kriteria diagnose
Gangguan autonom terlihat pada lebih dari 50%, gangguan otonomik biasanya
bermanifestasi sebagai takikardia tetapi bisa menjadi gangguan yang lebih serius
yaitu disfungsi saraf otonom.termasuk aritmia, hipotensi, hipertensi, dan dismotilitas
Gastrointestinal.
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
 Terjadinya kelemahan yang progresif
 Hiporefleksi
II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis GBS

8
a. Ciri-ciri klinis:
 Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu,
80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
 Relatif simetris
 Gejala gangguan sensibilitas ringan
 Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral.
Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah
dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari
otot ekstraokuler atau saraf otak lain
 Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat
memanjang sampai beberapa bulan.
 Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dan gejala vasomotor.
 Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
 Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada LP serial
 Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
 Varian:
- Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
- Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3

c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:


Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya
kecepatan hantar kurang 60% dari normal.

Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis. BGS ditandai dengan


timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan

9
didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi
sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer. 2

Tabel 2. Gejala klinis GBS

F. KRITERIA DIAGNOSTIK

Kelemahan ascenden dan simetris. Anggota gerak bawah terjadi lebih dulu dari
anggota gerak atas. Kelemahan otot proksimal lebih dulu terjadi dari otot distal,
kelemahan otot trunkal ,bulbar dan otot pernafasan juga terjadi. 2 Kelemahan terjadi
akut dan progresif bisa ringan sampai tetraplegi dan gangguan nafas. Penyebaran
hiporefleksia menjadi gambaran utama, pasien GBS biasanya berkembang dari
kelemahan nervus cranial, seringkali kelemahan nervus fasial atau faringeal.
Kelemahan diaframa sampai nervus phrenicus sudah biasa. Sepertiga pasien GBS

10
inap membutuhkan ventilator mekanik karena kelemahan otot respirasi atau
orofaringeal.5
1. Puncak defisit dicapai 4 minggu
2. Recovery biasanya dimulai 2-4minggu
3. Gangguan sensorik biasanya ringan bisa parasthesi, baal atau sensasi
sejenis
4. Gangguan Nn cranialis: facial drop, diplopia disartria, disfagia (N. VII,
VI, III, V, IX, dan X)
5. Banyak pasien mengeluh nyeri punggung dan tungkai

Menurut Maria Belladonna terdapat beberapa tanda abnormalitas


a. Abnormalitas motorik (kelemahan)
Mengikuti gejala sensorik, khas: mulai dari tungkai, ascenden ke lengan -
10% dimulai dengan kelemahan lengan - Walaupun jarang, kelemahan
bisa dimulai dari wajah (cervical-pharyngeal-brachial) Kelemahan wajah
terjadi pada setidaknya 50% pasien dan biasanya bilateral - Refleks:
hilang / pada sebagian besar kasus
b. Abnormalitas sensorik
Klasik : parestesi terjadi 1-2 hari sebelum kelemahan, glove & stocking
sensation, simetris, tak jelas batasnya - Nyeri bisa berupa mialgia otot
panggul, nyeri radikuler, manifes sebagai sensasi terbakar, kesemutan,
tersetrum - Ataksia sensorik krn proprioseptif terganggu - Variasi :
parestesi wajah & trunkus
c. Disfungsi Otonom
1) Hipertensi - Hipotensi - Sinus takikardi / bradikardi
2) Aritmia jantung - Ileus - Refleks vagal
3) Retensi urine

11
Gambar 3. fase perjalan klinis
Fase-fase serangan GBS Maria Belladonna
1. Fase Prodromal
Fase sebelum gejala klinis muncul
2. Fase Laten
a. Waktu antara timbul infeksi/ prodromal yang
b. mendahuluinya sampai timbulnya gejala klinis.
c. Lama : 1 – 28 hari, rata-rata 9 hari
3. Fase Progresif
a. Fase defisit neurologis (+)
b. Beberapa hari - 4 mgg, jarang > 8 mgg.
c. Dimulai dari onset (mulai tjd kelumpuhan yg
d. bertambah berat sampai maksimal
e. Perburukan > 8 minggu disebut› chronic inflammatory-
demyelinating polyradiculoneuropathy (CIDP)
4. Fase Plateau
a. Kelumpuhan telah maksimal dan menetap.
b. Fase pendek :2 hr, >> 3 mg, jrg > 7 mg

12
5. Fase Penyembuhan
a. Fase perbaikan kelumpuhan motorik
b. beberapa bulan

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. LCS
- Disosiasi sitoalbumin
Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 g/l, tanpa
peningkatan dari sel < 10 limposit/mm3 - Hitung jenis pada panel
metabolik tidak begitu bernilai 5 Peningkatan titer dari agent seperti CMV,
EBV, membantu menegakkan etiologi.
a. Antibodi glicolipid
b. Antibodi GMI
2. EMG
a. Gambaran poliradikuloneuropati
b. Test Elektrodiagnostik dilakukan untuk mendukung klinis bahwa
paralisis motorik akut disebabkan oleh neuropati perifer.
c. Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat dan respon F dan H
abnormal.
3. Ro: CT atau MRI
Untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti mielopati.

H. DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Kelainan batang otak
a. Trombosis arteri basilaris dengan infark batang otak*
b. Ensefalomielitis batang otak
Kelainan medulla spinalis
a. Mielitis transversa
b. Mielopati nekrotik akut

13
c. Kompresi neoplasma pada medulla spinalis servikal / foramen
magnum
d. Mielopati akut lain
Kelainan sel kornu anterior
a. Poliomielitis
b. Rabies
c. Tetanus
Poliradikulopati
a. Difteri
b. Paralisis Tick
c. Logam berat : arsen, timbal, thallium, emas
d. Keracunan organofosfat
e. Heksakarbon (neuropati penghirup lem)
f. Perhexiline
g. Obat-obatan : vincristine, disulfiram, nitrofurantoin
h. Critical illness polyneuropathy
Kelainan transmisi neuromuskuler
a. Myastenia gravis
b. Botulismus
c. Hipermagnesemi
d. Paralisis yang diinduksi antibiotika
e. Bisa gigitan ular
Miopati
a. Polimiositis
b. Miopati akut lain, misalnya akibat induksi obat
Abnormalitas metabolik
a. Hipokalemi
b. Hipermagnesemia
c. Hipofosfatemia

14
Lain-lain
a. Histeri
b. Malingering

I. KOMPLIKASI

1. Paralisis menetap
2. Gagal nafas
3. Hipotensi
4. Tromboembolisme
5. Pneumonia
6. Aritmia Jantung
7. Ileus
8. Aspirasi
9. Retensi urin
10. Problem psikiatrik
GBS dapat berdampak pada kinerja dan kehidupan pribadi pasien dalam jangka
waktu yang lama, dapat sampai 3 sampai 6 tahun setelah onset penyakit. Kesembuhan
biasanya berlangsung perlahan dan dapat berlangsung bertahun-tahun. Baik pasien
maupun keluarga pasien harus diberitahu tentang keadaan pasien yang sebenarnya
untuk mencegah ekspektasi yang berlebihan atau pesimistik. Kesembuhan pasien
berlangsung selama tahun – tahun pertama, terutama enam bulan pertama, tetapi pada
sebagian besar pasien dapat sembuh sempurna pada tahun kedua atau setelahnya.
Kecacatan yang permanen terlihat pada 20% - 30% pasien dewasa.tetapi lebih
sedikit pada anak-anak. Disabilitas yang lama pada dewasa lebih umum pada axonal
GBS dan GBS yang berbahaya, misalnya pada pasien dengan ventilator.
Gangguan fungsi otonomik yang serius dan fatal termasuk aritmia dan hipertensi
ekstrim atau hipotensi terjadi kurang lebih 20% dari pasien dengan GBS.gangguan
lain yang signifikan adalah ileus dinamik, hipontremia, dan defisiensi dari fungsi
mukosa bronchial. 7

15
J. TERAPI

Tidak ada drug of choice


Roboransia saraf parenteral.
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara
umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh
sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan
(gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi
khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan
melalui sistem imunitas (imunoterapi).

1. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid
tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.

2. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan
faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih
cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama
perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti
200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih
bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).

3. Pengobatan imunosupresan
a. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih
ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari

16
dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari
sampai sembuh.

b. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
 6 merkaptopurin (6-MP)
 azathioprine
 cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan
sakit kepala.

c. Terapi fisik: - alih baring


1) latihan ROM dini u/ cegah kontraktur
2) Hidroterapi
d. Supportif: profilaksis DVT (heparin s.c)
e. Analgesik
Analgesic ringan atau OAINS mungkin dapat digunakan untuk
meringankan nyeri ringan, namun tidak untuk nyeri yang
sangat,penelitian random control trial mendukung penggunaan
gabapentin atau carbamazepine pada ruang ICU pada perawatan SGB
fase akut. Analgesic narkotik dapat digunakan untuk nyeri dalam,
namun harus melakukan monitor secara hati-hati kepada efeksamping
denervasi otonomik.terapi ajuvan dengan tricyclic antidepressant ,
tramadol, gabapentin, carbamazepine, atau mexilitene dapat
ditambahkan untuk penatalaksanaan nyeri neuropatik jangka panjang.

Pengobatan fase akut termasuk program penguatan isometric,


isotonic, isokinetic, dan manual serta latihan secara progresif.
Rehabilitasi harus difokuskan untuk posisi limbus, posture,
orthotics,dan nutrisi yang sesuai.richard

17
K. PEMULIHAN

1. 80% pasien pulih dalam waktu 6 bulan


2. 15% pulih sempurna
3. 65% pulih dengan defisit neurologis ringan yg tak pengaruhi ADL
4. 5-10% mengalami kelamahan motorik menetap
5. Pada pasien dengan kelemahan motorik menetap, pemulihan dapat
berlangsung >2 tahun
6. Mortalitas: 3-5%
7. Relaps: 2-10%
8. Perburukan: 6% menjadi CIDP (Chronic Inflammatory
Demyelinating Polyradiculoneuropathy)
L. PROGNOSIS
Faktor yang mempengaruhi buruknya prognostik
1. Penurunan hebat amplitudo potensial aksi berbagai otot
2. Umur tua
3. Kebutuhan dukungan ventilator
4. Perjalanan penyakit progresif & berat
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian
kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi
penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain:
a. pada pemeriksaan NCV- EMG relatif normal
b. mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
c. progresifitas penyakit lambat dan pendek
d. pada penderita berusia 30-60 tahun

18
19
BAB III
KESIMPULAN

Guillain Bare Syndrom (GBS) secara khas digambarkan dengan kelemahan


motorik yang progresif dan arefleksia. Mekanisme autoimun dipercaya
bertanggungjawab atas terjadinya sindrom ini. Terapi farmakoterapi, terapi fisik, dan
prognosis GBS tergantung pada progresifitas penyakit, derajat degenerasi aksonal,
dan umur pasien

20
DAFTAR PUSTAKA

Japardi, Iskandar. Dr. 2002. Sindroma Guillain-Barre. Bagian Bedah Fakultas


Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Teguh, Dwi. Patofisiologi guillain barre syndrome diakses melalui


http://www.scribd.com/doc/56064409/Patofisiologi-Guillain-Barre-Syndrome

Guillain-Barre Syndrome, an overview for the Layperson, 9th ed. Guillain-Barre


Syndrome Foundation International 2000.

Radinal, dkk. 2012. Guillain Barre Syndrome. Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanudin diakses melalui
http://www.scribd.com/doc/81353857/Guillain-Barre-Syndrome

21

Anda mungkin juga menyukai