Kasus : Data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, menunjukkan sebanyak 7.000 tenaga kesehatan (Nakes) terinfeksi hepatitis B. Sebanyak 4.900 di antaranya disebabkan karena tertusuk jarum suntik, dan hanya 2.200 yang terinfeksi dari populasi. Hal ini menunjukkan jika tenaga kesehatan menjadi profesi yang paling rawan tertular hepatitis B. Penularan virus hepatitis B terjadi dalam insiden ‘kecelakaan’. Kecelakaan berupa tertusuk jarum terjadi saat Nakes mencoba menutup jarum suntik terutama saat selesai melakukan tindakan seperti setelah selesai melakukan pemberian obat atau pengambilan sampel darah. Dengan metode penutupan yang salah dan kurang hati-hati, banyak Nakes yang akhirnya tertusuk jarum. “Rata-rata empat dari tindakan menutup jarum suntik bekas pakai, satu diantaranya tertusuk jarum,” Peneliti Hepatitis dari Universitas Indonesia, dr Lukman Hakim Tarigan MMedSc, ScD, di Jakarta, kemarin.
2.2 Learning Objective
2.2.1 Identifikasi Upaya Pencegahan Risiko Dan Hazard Pada Setiap Tahap Asuhan Keperawatan Hazard : Terinfeksi hepatitis B akibat tertusuk jarum suntik saat menutup jarum suntik setelah digunakan dari pasien. Upaya Pencegahan Dari Rumah Sakit/ Tempat Kerja: 1. Memberikan imunisasi hepatitis pada semua tenaga kesehatan yang bekerja dan belum mendapat imunisasi hepatitis sebelumnya, terlebih pada tenaga kesehatan yang mempunyai resiko tinggi tertular. Mereka harus diberi perlindungan khusus misalnya dengan memberikan dalam tiga dosis vaksinasi. Alasan: Dengan memberikan imunisasi pada semua tenaga kesehatan dapat dapat menjadi pencegahan awal / preventif agar tenaga kesehatan bebas tertular penyakit akibat kerja seperti tertular virus hepatitis B, dan prinsip mencegah lebih baik dari pada mengobati. 2. Rutin mengadakan konseling dan rutin mengadakan pemeriksaan kesehatan berkala kepada tenaga kesehatan, terutama tenaga kesehatan yang bergelut di tempat beresiko terkena kecelakaan kerja. Alasan: Dengan mengadakan konseling rutin dan pemeriksaan kesehatan berkala dapat menjadi suatu pendeteksi kesehatan tenaga kerja, konseling dapat digunakan sebagai upaya untuk memberikan edukasi kepada tenaga kesehatan, dan pemeriksaan kesehatan berkala dapat dilakukan sebagai upaya perlindungan kesehatan, serta pendeteksian awal apabila terkena penularan penyakit sehingga dapat cepat tertangani / terobati. 3. Memberikan pendidikan, pengetahuan kepada seluruh tenaga kesehatan tentang cara menutup jarum suntik yang benar , tidak membahayakan, dan sesuai dengan prosedur. Alasan: pendidikan ini sangat penting diberikan kepada perawat agar terhindar dari kecelakaan yang membahayakan kesehatan. Sehingga apabila perawat mengetahui cara yang benar akan menjauhkan diri dari kecelakaan terutama tertusuknya jarum suntik. 4. Menyediakan tempat sampah khusus jarum dan benda-benda tajam yang sesuai dan praktis. Alasan: Dengan penyediaan tempat sampah khusus jarum dapat mempermudah kerja perawat sehingga saat perawat lalai atau terburu- buru perawat bisa langsung membuang jarum tersebut ke tempat sampah khusus jarum. 5. Menyediakan semua alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan yang sesuai dengan standart keselamatan. Alasan: apabila tersedia semua alat pelindung diri secara lengkap dapat meminimalkan terjadinya kecelakaan saat kerja. 6. Menyediakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman. Seperti kelengkapan perlengkapan kerja dll. Alasan: Dengan lingkungan kerja yang aman dan nyama dapat meningkatkan kinerja baik bagi tenaga kesehatan, serta tenaga kesehatan bisa lebih focus dan berkonsentrasi saat bekerja. Upaya Pencegahan Pada Perawat: 1. Membentengi diri dengan imunisasi seperti imunisasi hepatitis sebagai upaya preventif awal bagi diri sendiri. Alasan: Dengan membentengi diri dengan imunisasi dapat menghindarkan diri dari terinfeksi dan tertularnya penyakit terutama akibat kerja, karena di dalam tubuh sudah ada imunisasi sebagai benteng. 2. Menggunakan APD yang lengkap seperti handscoon, masker, dan google jika diperlukan. Alasan: Dengan memakai alat pelindung diri sesuai dengan standart saat bekerja dapat meminimalkan resiko terjadinya kecelakaan dan menjaga diri dari saat bekerja. 3. Selalu menerapkan tindakan aseptic kepada semua klien. Alasan: Tindakan aseptic sangat diperlukan dan diterapkan sebelum,saat, dan sesudah bekerja, agar kita terhindar dari tertularnya dan terinfeksi dari penyakit. 4. Menanamkan sifat kehati-hatian, konsentrasi yang tinggi, dan ketenangan saat bekerja terutama saat melakukan tindakan yang beresiko ke pasien. Alasan: sifat hati-hati, berkonsentrasi, dan ketenangan sangat diperlukan saat bekerja, agar tidak terjadi kesalahan, kelalaian saat bekerja, sehingga tercipta kesehatan dan keselamatan bagi diri sendiri selain juga bagi pasien. 5. Memahami prosedur penggunaan jarum suntik dan cara selesai digunakan terutama saat menutup jarum suntik. Alasan: Dengan mempunyai keahlian yang lebih dapat menghindarkan diri kita dari berbagai macam kelalaian saat bekerja 6. Memahami prosedur dan pertolongan awal apabila terjadi sesuatu yang membahayakan. Alasan: Dengan memahami prosedur dan pertolongan awal terutama saat terjadi kecelakaan dapat meminimalkan terjadinya kondisi yang semakin buruk, dan agar dapat mendapat penanganan secara cepat juka kita memahami prosedur pertolongan. 7. Menyiapkan peralatan dengan lengkap seperti menyiapkan bengkok sebagai tempat awal pembuangan jarum suntik. Alasan: Persiapan alat yang lengkap sesuai dengan prosedur saat memerlukan tindakan juga sangat diperlukan untk menghindrkan dari kecelakaan kerja, jika alat-alat sudah disiapkan dengan maksimal maka tidak akan mengganggu kinerja. Sehinggan keamanan dan keselamatan bisa terus terjaga. 2.2.2 Tata laksana Pajanan dan Alur Pelaporan sesuai SOP Tujuan tata laksana pajanan adalah untuk mengurangi waktu kontak dengan darah, cairan tubuh atau jaringan sumber pajanan dan untuk membersihkan dan melakukan dekontaminasi tempat pajanan. Tatalaksananya adalah sebagai berikut: a. Bila tertusuk jarum segera bilas dengan air mengalir dan sabun / cairan antiseptic sampai bersih. b. Bagian tubuh yang tertusuk tidak boleh ditelan dan dihisap dengan mulut. c. Tentukan status infeksi sumber pajanan (bila belum diketahui) d. Jika tertusuk jarum suntik bekas pasien hepatitis B, maka segera lakukan imunisasi pasif (suntikan imunoglobin hepatitis B) maksimal 7 hari setelah tertusuk jarum suntik. Pelaporan Insiden Kecelakaan Kerja, yaitu sebagai berikut: a. Setiap petugas yang mengalami insiden atau kecelakaan kerja karena tertusuk jarum setelah tindakan pada pasien atau tertusuk jarum bekas dan benda tajam lainnya yang berhubungan dengan pasien harus segera dibawa ke unit gawat darurat untuk diberi pertolongan pertama. b. Setelah mendapat pertolongan dari UGD: bila korban tertusuk jarum dengan pasien hepatitis atau penyakit infeksi lainnya, maka petugas yang mengalami kecelakaan kerja cukup diberi pertolongan di UGD untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan di poli pegawai. Setelah mendapat pertolongan, petugas atau rekan korban melaporkan kejadian kecelakaan kerja langsung kepada atasan. Atasan korban segera membuat laporan insiden atau kecelakaan kerja dengan formulir laporan insiden pada jam kerja ditanda tangani pelapor dan diketahui oleh atasan langsung. Atasan langsung akan memeriksa laporan dan melakukan investigasi sederhana penyebab terjadinya kecelakaan. Setelah selesai melakukan investigasi, laporan hasil investigasi dan laporan insiden dilaporkan ke ketua komite mutu K3RS dalam waktu 2 × 24 jam setelah terjadinya insiden atau kecelakaan kerja. Komite mutu K3RS akan menganalisa kembali hasil investigasi dan laporan insiden untuk menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan. Hasil investigasi lanjutan, rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan ke direksi. Rekomendasi untuk perbaikan dan pembelajaran diberikan umpan balik kepada unit kerja terkait. Unit kerja membuat analisa dan trend kejadian insiden atau kecelakaan kerja di unit kerjanya masing – masing setiap 1 bulan 1 kali. FORMAT 1 FORMAT 2
2.2.3 Organisasi IPCN di Rumah Sakit
IPCN atau Perawat Pencegah dan Pengendali Infeksi merupakan tenaga professional dan praktisi dalam pelaksanaan PPI di RS dan fasilitas kesehatan lainnya. Berdasarkan SK Menkes tahun 2007 bahwa setiap RS harus melaksanakan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) dan memiliki IPCN dengan perbandingan 1 IPCN terhadap 100-150 tempat. Tujuan program pencegahan dan pengendalain infeksi (PPI) adalah untuk mengidentifikasi dan menurunkan risiko terkena penularan infeksi di antara pasien, staf klinis dan nonklinis, pekerja kontrak, petugas sukarela, mahasiswa, dan pengunjung.
Peran dan fungsi IPCN menurut mereka adalah sebagai ;
1. Praktisi klinik yang tugasnya mengunjungi area klinik : Mengkaji status pasien, mengobservasi adanya tanda dan gejala infeksi, memberikan saran kepada staf sehubungan dengan adanya tanda dan gejala infeksi, menganjurkan melakukan teknik yang benar dalam rangka mencegah infeksi. Mengidentifikasi strategik PPI, memonitor dan mengidentifikasi prosedur tindakan, penempatan pasien infeksi atau resiko infeksi,discharged planning, berpatisipasi dalam memantau penggunaan antimikroba. 2. Surveilor yang tugasnya membuat perencanaan surveilans, membuat format surveilans, mengumpulkan data surveilens, menghitung insiden rate infeksi, menganalisis, mengintrepretasi,dan menginformasikan insiden rate infeksi. Menggunakan teknik statistik yang tepat untuk menggambarkan data rate infeksi, menggunakan tabel, graph,chart dalam pelaporan tulisan. 3. Investigator yang tugasnya mengidentifikasi dan menginvestigasi KLB, menginvestigasi dan menindak lanjuti staf,pasien, pengunjung yang terpapar atau tertusuk jarum tajam atau benda tajam lainnya bekas pakai 4. Manajer yang tugasnya merencanakan, membuat, memonitor dan mengevaluasi, mengembangkan serta merevisi program, kebijakan, SOP PPI bersama Komite PPI, mengajukan peralatan, personil dan sumber-suber untuk program PPI, menganjurkan teknik yang benar mengambil, mengirim dan menyimpan spesimen. Mengajukan kepada staf administratif tentang implikasi dalam arsitektur dan renovasi atau pembangunan gedung, menyiapkan laporan kegiatan bulanan, triwulan, tahunan program PPI. Mengkaji kebutuhan pasien, keluarga , pengunjung dalam usaha PPI, membangun kreatifitas dan inovasi di praktek. PPI, mempertimbangkan Cost Effectiveness dalam membuat rekomendasi PPI. 5. Edukator yang tugasnya mengkaji kebutuhan pendidikan staf, pasien, pengunjung dalam upaya PPI, memberikan pendidikan dan pelatihan kepada staf, pasien, pengunjung tentang PPI, mengembangkan tujuan, objektif dan rencana pembelajaran untuk kebutuhan pendidikan dalam program PPI. Mengembangkan kemampuan dan evaluasi pelaksanaan dalam upaya PPI, mengembangkan prisip belajar dewasa dalam pengembangan strategik pendidikan, berpatisipasi dalam program orientasi kepada staf. 6. Konsultan yang tugasnya memberikan konsultasi kepada individu, staf, pasien, pengunjung tentang PPI, memberikan konsultasi tentang kompensasi staf berhubungan dengan terpaparnya infeksi. Memberikan konsultasi kepada individu, staf, pasien, pengunjung tentang PPI, memberikan konsultasi tentang kompensasi staf berhubungan dengan terpaparnya infeksi. 7. Auditor yang kewajibannya melakukan audit tentang program PPI seperti: kepatuhan kebersihan tangan, kepatuhan membuang limbah, fasiltas kebersihan tangan, Bundles HAIs, pelaksanaan PPI lainnya. 8. Advokator yang tugasnya memberi saran tentang pembatasan kerja bagi karyawan yang terpapar infeksi, menganjurkan kepada semua petugas agar melapor jika ada tertusuk jarum atau benda tajam, menindak lanjuti staf, pasien, pengunjung yang terpapar infeksi 9. Koordinator yang tugasnya melaksanakan koordinasi PPI dengan lintas sektoral, kolaborasi dengan dokter karyawan dalam program immunisasi staf, mengkoordinasikan dengan bagian manajemen risiko dalam investigasi pasien yang klaim dengan infeksi. Koordinator sebagai penghubung antara staf, dokter, petugas lain yang berhubungan dengan PPI, mengkoordinasikan penampilan fasilitas atau memperbaiki kualitas kegiatan sehubungan dengan upaya PPI, 10. Komunikator tugasnya mengkomunikasikan metode, teknologi baru dalam PPI, mengkomunikasikan sumber informasi dan akreditasi yang dibutuhkan, mengkomunikasikan penemuan baru dan anjuran Komite kepada orang yang memerlukan. Komunikator mengomunikasikan kebijakan dan prosedur tindakan PPI, mempromosikan program PPI dengan institusi lain, mengkomunikasikan teknik yang efektif dalam usaha PPI kepada staf 11. Motivator yang tugasnya memotivasi staf , pasien, pengunjung serta masyarakat Rumah Sakit untuk melaksanakan PPI yang baik dan benar. 12. Evaluator (melakukan evaluasi input, proses,out put,), melakukan pengukuran pencapaian program PPI, evaluasi lingkungan, produk, peralatan, gedung, evaluasi data entry komputer untuk program PPI, evaluasi efektifitas hasil pembelajaran PPI. Evaluator ( melakukan evaluasi input, proses,out put,), melaksanakan evaluasi dan perbaikan dalam usaha PPI, evaluasi penggunaan teknik baru dalam usaha PPI, evaluasi secara periodik keefektifan dari surveilans dan modifikasi bila perlu 13. Peneliti yang kewajibanya melaksanakan penelitian terhadap terjadinya infeksi, melakukan penelitian tentang upaya PPI, berpatisipasi dalam proyek penelitian PPI ataupun terjadinya infeksi, 14. Member yang tugasnya, berpatisipasi di berbagai profesi yang berhubungan dengan PPI, mengikuti pertemuan ilmiah profesi, berpatisipasi di berbagai organisasi untuk meningkatkan pengetahuan, meningkatkan dan mempertahankan pengetahuan PPI yang mutakhir melalui networking, literatur, pertemuan profesi, melengkapi pengisian & mengumpulkan formulir surveilans setiap pasien di unit masing-masing, serta menyerahkannya kepada IPCN.