Anda di halaman 1dari 13

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi dan Karakteristik Kitosan

Kitosan merupakan polimer karbohidrat yang diturunkan dari deasetilasi


kitin, yang merupakan biopolimer alami yang berlimpah setelah selulosa (No dan
Meyers 1995). Kitosan atau β-1,4-glukosamin (2-amino-2-deoksi-β-D-glukosa)
memiliki tiga tipe gugus fungsional reaktif, yaitu sebuah gugus amino serta dua
gugus hidroksil primer dan sekunder yang masing-masing berada pada posisi C-2,
C-3, dan C-6. Modifikasi kimiawi dari ketiga gugus ini menyebabkan kitosan
memiliki banyak kegunaan untuk diaplikasikan pada berbagai bidang (Shahidi et
al. 1999). Struktur selulosa, kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber: Kumar (2000)

Gambar 1. Struktur kimia selulosa, kitin dan kitosan


Oleh karena sifat-sifat fungsional yang dimilikinya, kitosan dapat
diaplikasikan sebagai bahan antimikroba, edible film, bahan tambahan pangan,
perbaikan kualitas gizi pangan, pemulihan bahan-bahan padat dari limbah
pengolah makanan, pemurni air dan aplikasi lainnya (Shahidi et al. 1999). Kitosan
sebagai antimikroba bersifat bakterisidal (Darmadji dan Izumimoto 1994; Tsai et
al. 2002) dan fungisidal (Sagoo et al. 2002b; Park et al. 2005). Kitosan sebagai
bahan tambahan pangan antara lain berfungsi sebagai pengemulsi, menstabilkan
warna dan bahan pengemulsi (Knorr 1982; Knorr 1983; Cho et al. 1998), bahan
pengendali tekstur, penstabil dan pengental (Shahidi et al. 1999), antioksidan
(Darmadji dan Izumimoto 1994; Kamil et al. 2002; Kim dan Thomas 2007) serta
bahan penjernih dan penurun tingkat keasaman pada jus buah-buahan
(Devlieghere et al. 2004; Park et al. 2005). Kitosan dilaporkan bersifat
hipokolesterolemik dan hipolipidemik (Winterowd dan Standford 1995) dan
bahan enkapsulasi mikronutrien (Han et al. 2008).

2.2. Kitosan sebagai Antibakteri dan Antioksidan


2.2.1. Aktivitas antibakteri pada kitosan dan mekanismenya
Kitosan merupakan bahan pengawet pangan alami yang potensial karena
memiliki kemampuan aktivitas antimikroba terhadap mikroba perusak makanan
maupun patogen, baik bakteri, khamir dan jamur (Sagoo et al. 2002a). Sifat-sifat
penting kitosan antara lain disebabkan memiliki muatan positif dalam larutan
asam, dimana gugus amina pada molekul kitosan mengikat proton sesuai dengan
persamaan reaksi: kitosan-NH2 + H3O+ ↔ kitosan-NH3+ + H2O, dimana
kitosan-NH3+ juga memiliki aktivitas antimikroba terhadap berbagai
mikroorganisme (Rhoades dan Rastall 2006).
Kitosan dilaporkan mampu menghambat pertumbuhan berbagai jenis
bakteri seperti Escherichia coli dan Staphylococcus aureus (Darmadji dan
Izumimoto 1994; Tsai et al. 2002; Rao et al. 2005), Pseudomonas aeruginosa,
Vibrio cholerae dan V. parahaemolyticus (Tsai et al. 2002), serta Bacillus cereus
(Devlieghere et al. 2004; Rao et al. 2005). Yadav dan Bhise (2000) melaporkan
bahwa kitosan efektif menghambat pertumbuhan Salmonella enterica var.
Parathypi-A dan S. enterica var. Parathypi-B.

5
Beberapa penelitian mengenai penggunaan kitosan sebagai bahan
pengawet pangan telah dilaporkan. Rhoades dan Roller (2000) melaporkan bahwa
jus apel yang telah dipasteurisasi dan disimpan pada suhu 7 oC dan ditambahkan
0,3 g kitosan/l dapat mencegah pertumbuhan khamir selama 13 hari pengamatan.
Oh et al. (2000) melaporkan penggunaan kitosan untuk menghambat pertumbuhan
bakteri perusak pada mayonis yaitu Lactobacillus plantarium, L. fructivorans dan
Zygosaccharomyces bailii. Hasilnya menunjukkan bahwa penambahan kitosan
pada semua konsentrasi perlakuan (100, 500, 1000 ppm) yang disimpan pada suhu
25 oC mampu mempertahankan stabilitas emulsi mayonis sampai 10 minggu.
Aplikasi kitosan untuk memperpanjang umur simpan produk perikanan
juga telah dilakukan. Skonberg (2000) melaporkan penggunaan larutan kitosan
1,75% sebagai film pelapis untuk memperpanjang umur simpan filet ikan salmon
atlantik dan ikan haddock pada suhu 5 oC. Hasilnya menunjukkan selama 7 hari
pertama penyimpanan filet ikan mengindikasikan nilai TVB, pH, dan TPC yang
rendah. Jeon et al. (2002) melaporkan pengaruh pelapisan kitosan dengan berat
molekul yang berbeda untuk memperpanjang umur simpan filet ikan cod atlantik
(Gadus morhua) dan ikan hering (Clupea harangus) yang dievaluasi selama 12
hari penyimpanan dingin (4 ± 1 oC). Hasilnya menunjukkan bahwa pelapisan
kitosan pada filet ikan dapat mereduksi oksidasi lemak kitosan dan kerusakan
kimiawi seperti basa nitrogen dan hipoksantin. Tsai et al. (2002) juga melaporkan
pelapisan kitosan dengan konsentrasi yang bervariasi (0,2%; 0,5%; 1,0%) pada
filet salmon yang disimpan pada suhu 4 oC. Hasilnya menunjukkan bahwa
semakin tinggi konsentrasi kitosan yang diberikan pada filet ikan, lebih efektif
menghambat laju pertumbuhan bakteri psikrotropik dan bakteri mesofilik serta
pembentukan basa-basa volatil dibandingkan kontrol setelah 9 hari penyimpanan.
Shahidi et al. (1999) menjelaskan bahwa mekanisme kerja kitosan dalam
menghambat pertumbuhan mikroba adalah adanya interaksi antara muatan positif
(gugus NH3+) pada molekul kitosan dengan muatan negatif pada membran sel
mikroba menyebabkan lepasnya unsur-unsur protein dan unsur-unsur lain
penyusun intraseluler. Kitosan juga dapat bertindak sebagai pengkelat logam
sehingga dapat menghambat produksi toksin dan pertumbuhan mikroba.

6
Tsai dan Su (1999) menjelaskan bahwa kitosan berinteraksi dengan
permukaan sel bakteri dimana kemungkinan adanya kekuatan elektrostatis.
Setelah terjadi pengikatan, perubahan dalam permeabilitas membran
menyebabkan pecahnya komponen intraseluler seperti glukosa dan laktat
dehidrogenase (LDH) yang akhirnya menyebabkan kematian sel. Sejumlah proton
bermuatan positif (NH3+) pada kitosan dan elektronegativitas permukaan sel
bakteri mempengaruhi interaksi ini. Russel (2005) menjelaskan bahwa bahan-
bahan pengkelat logam diketahui dapat meningkatkan permeabilitas membran luar
pada bakteri Gram-negatif, dimana pengkelatan kation anorganik seperti Mg2+
akan mengekstrak lipopolisakarida, protein maupun lipida.
Shahidi et al. (1999) juga menjelaskan bahwa kitosan bertindak sebagai
bahan pengikat lemak, dan menghambat berbagai aktivitas enzim. Selain itu,
pengikatan kitosan dengan DNA dan penghambatan sintesis mRNA terjadi
melalui penetrasi kitosan yang memiliki berat molekul rendah pada nuclei
mikroorganisme menyebabkan terhambatnya sintesis mRNA dan protein. Russel
(2005) menjelaskan bahwa membran sitoplasma kaya akan enzim yang umumnya
berasosiasi dengan rantai transpor elektron yang digunakan pada proton sebagai
kekuatan transpor aktif. Beberapa bahan antibakteri akan berinteraksi dengan
gugus thiol (sulfihidril, -SH) yang terdapat di dalam struktur protein dan enzim.
Gugus thiol yang diturunkan dari residu sistein memiliki peranan penting pada
aktivitas sejumlah enzim dan gugus ini bereaksi dengan bahan antimikroba
menyebabkan inaktivasi sel bakteri. Rusaknya membran sitoplasma oleh bahan
antibakteri umumnya disebabkan oleh lepasnya komponen intraseluler, dimana
pada awalnya ion kalium (K+) akan terlepas dilanjutkan fosfat anorganik (Pi),
asam-asam amino, kemudian membesarnya berat molekul bahan-bahan (seperti
RNA/DNA) sebagai indikasi kerusakan sel bakteri.

2.2.2. Aktivitas antioksidan pada kitosan dan mekanismenya

Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa kitosan berpotensi sebagai an-


tioksidan (Darmadji dan Izumimoto 1994; Shahidi et al. 2002; Kim dan Thomas
2007; Yen et al. 2008). Darmadji dan Izumimoto (1994) mencatat bahwa penam-
bahan kitosan 1% pada daging mampu mereduksi nilai TBA sampai 70% setelah

7
penyimpanan selama 3 hari pada suhu 4 oC. Shahidi et al. (2002) melaporkan
bahwa kitosan dengan konsentrasi yang rendah (50-200 ppm), mampu melindungi
ikan masak terhadap oksidasi dan timbulnya bau (off-flavor) selama penyimpanan
dan kitosan dengan viskositas 14 Cp pada konsentrasi 200 ppm sudah sangat efek-
tif dalam mengendalikan oksidasi lipida pada sampel ikan cod. Kim dan Thomas
(2007) meneliti nilai TBA pada ikan salmon yang ditambahkan kitosan pada kon-
sentrasi 0,2%, 0,5% dan 1% (w/v) dan disimpan selama 15 hari pada suhu 4 oC.
Hasilnya memperlihatkan bahwa nilai TBA tertinggi terdapat pada ikan salmon
yang tidak diberi perlakuan (kontrol), sebaliknya nilai TBA terendah terdapat pa-
da ikan salmon yang diberi kitosan. Hasil ini membuktikan bahwa pemberian ki-
tosan mampu menghambat laju oksidasi lipida pada ikan salmon. Yen et al.
(2008) melaporkan kitosan yang berasal dari kepiting memiliki sifat-sifat antiok-
sidan yang baik, terutama pada aktivitas antioksidan, kemampuan mengikat gugus
radikal hidroksil, dan kemampuan mengkelat ion-ion ferous.
Yen et al. (2008) melaporkan dengan menggunakan metode konjugasi
diena, kitosan yang berasal dari kepiting memperlihatkan aktivitas antioksidan,
yaitu sekitar 58,3–70,2% pada konsentrasi 1 mg/ml dan 79,9–85,2% pada 10
mg/ml. Meningkatnya konsentrasi kitosan akan meningkatkan kemampuan
aktivitas antioksidan. Kemampuan kitosan dalam mengikat DPPH (1,1-diphenyl-
2-picrylhydrazyl) juga telah dilaporkan. Lin dan Chou (2004) melaporkan bahwa
turunan kitosan disakarida N-alkilasi pada konsentrasi 0,1 mg/ml memperlihatkan
kemampuan mengikat radikal DPPH yang tinggi yaitu 80–95%, namun Xing et al.
(2005) melaporkan bahwa turunan kitosan sulfat 0,05 mg/ml kurang efektif
mengikat radikal DPPH, dan Yen et al. (2008) melaporkan kitosan yang berasal
dari kepiting kurang efektif mengikat radikal DPPH, yaitu sekitar 46,4-52,3%. Hal
ini menunjukkan bahwa kemampuan scavenging pada kitosan meningkat setelah
proses N-alkilasi disakarida dan menurun setelah proses sulfasi (Yen et al. 2008)
Secara umum antioksidan dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme
kerjanya sebagai antioksidan primer dan sekunder. Antioksidan primer dapat
bekerja sebagai aseptor radikal bebas yang akan menghambat tahap inisiasi atau
memecahkan tahap propagasi pada proses autooksidasi. Antioksidan primer
bereaksi dengan lipida dan radikal peroksi membentuk suatu molekul yang lebih

8
stabil dan menjadi produk yang tidak radikal. Antioksidan sekunder lebih
mengarah kepada pencegahan terhadap proses oksidasi, dimana antioksidan ini
bekerja untuk memperlambat laju oksidasi dengan beberapa aksi, namun tidak
dapat mengubah radikal bebas menjadi produk yang lebih stabil. Mekanisme kerja
antioksidan sekunder antara lain dapat mengkelat logam-logam yang merupakan
pro-oksidan dan mendeaktivasi-nya, menyediakan hidrogen untuk antioksidan
primer, mendekomposisi hidroperoksida menjadi jenis yang tidak radikal,
deaktivasi singlet oksigen, mengabsorbsi radiasi sinar ultraviolet, atau bertindak
sebagai pengikat oksigen (Reische et al. 2002).
Berdasarkan mekanisme antioksidan tersebut, kitosan dilaporkan dapat
bertindak sebagai antioksidan primer maupun antioksidan sekunder (Yen et al.
2008). Park et al (2004b) menjelaskan bahwa kitosan mampu mengurangi
berbagai radikal bebas yang bereaksi dengan gugus nitrogen pada posisi C-2. Kim
dan Thomas (2007) menyatakan bahwa aktivitas pengikatan radikal bebas oleh
kitosan dipengaruhi oleh konsentrasi dan berat molekulnya. Aktivitas pengikatan
radikal pada kitosan mengalami peningkatan pada konsentrasi 0,2% - 1%, namun
dilaporkan menurun pada berat molekul tinggi (120 kDa). Mekanisme antioksidan
sekunder pada kitosan adalah adanya kemampuan dalam mengkelat logam dan
mengikat lipida.
Xie et al. (2001) menjelaskan bahwa mekanisme pengikatan radikal bebas
oleh kitosan berhubungan dengan fakta bahwa gugus radikal OH• dari proses
oksidasi lipida dapat bereaksi dengan ion hidrogen dari gugus ion amonium
(NH3+) pada kitosan membentuk suatu molekul yang lebih stabil. Aktivitas
pengikatan oleh kitosan terhadap gugus radikal OH• dapat terjadi sebagai berikut:
1. Gugus hidroksil di dalam unit polisakarida pada kitosan dapat bereaksi
dengan OH• oleh tipe reaksi pemutusan gugus atom H.
2. Gugus OH• dapat bereaksi dengan gugus amino bebas (NH2) membentuk
radikal molekul yang stabil.
3. Gugus NH2 dapat membentuk gugus amonium NH3+ dengan mengabsorbsi
ion H+ dari larutan, kemudian bereaksi dengan OH• melalui reaksi lanjutan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan kitosan mengkelat ion
lebih kompleks. Inoue et al. (1988) diacu dalam Yen et al. (2008) menjelaskan

9
pengkelatan Cu2+ oleh kitosan terjadi pada gugus hidroksil di C6 dan gugus amino
di C2, dan mekanisme serupa juga terjadi pada pengkelatan ion ferous (Fe2+) oleh
kitosan. Qin (1993) mengindikasikan bahwa kemampuan mengkelat ion pada
kitosan dipengaruhi oleh derajat deasetilasi, dimana keberadaan gugus asetil akan
melemahkan aktivitas pengkelatan pada kitosan. Transisi ion-ion logam dapat
menginisiasi peroksidasi lipida dan memulai suatu reaksi rantai yang
menyebabkan kerusakan citarasa dan bau dalam makanan. Oleh karena ion ferous
sangat efektif sebagai pro-oksidan di dalam sistem makanan, maka kemampuan
mengkelat ion ferous oleh kitosan akan bermanfaat bila diformulasikan dalam
makanan (Yen et al. 2008).
Kemampuan kitosan mengikat lipida juga dapat berperan dalam
menghambat proses oksidasi. Hennen (1996) menjelaskan bahwa mekanisme
kitosan mengikat lipida belum dipahami secara jelas, tetapi ada dua mekanisme
dasar yang berperan. Mekanisme pertama melibatkan daya tarik muatan yang
berlawanan, dimana muatan positif (NH3+) pada kitosan menarik muatan negatif
(ROO-) pada asam lemak. Mekanisme kedua adalah proses penjerapan lipida oleh
kitosan dalam suatu jaringan, dimana kitosan memerangkap di sekitar droplet
lemak dan mencegah lipida diuraikan oleh enzim-enzim lipida.

2.3. Kombinasi Kitosan dengan Bahan Lain sebagai Bahan Antibakteri

Beberapa penelitian mengenai kitosan yang dikombinasikan dengan bahan


lain untuk meningkatkan aktivitas antimikroba telah dilaporkan. Keuntungan dari
mengkombinasikan kitosan dengan bahan antimikroba lainnya adalah dapat
digunakan untuk mengawetkan makanan terutama terhadap kontaminasi bakteri
perusak (Cagry et al. 2004).
Penggunaan kitosan dengan protamin dan lisosim telah dipatenkan sebagai
bahan deoksidasi dalam makanan kemasan (Ueno et al. 1996). Klaim mereka
adalah dengan penambahan satu atau lebih bahan tambahan yaitu protamin (250-
2000 ppm), kitosan (15,6-1000 ppm), dan lisosim (40-500 ppm) dapat digunakan
untuk mengawetkan makanan selama penyimpanan dengan mempertahankan
konsentrasi oksigen dan merusak mikroba seperti Lactobacilllus casei,

10
Leuconostoc lactis, Streptococcus pyogenes, Saccharomyces cerevisiae, Candida
utilis, Cryptococcus laurentii, Rhodotorula rubra, dan Torulopsis candida.
Ouattara et al. (2000) mengkaji peningkatan efektivitas film kitosan yang
memiliki aktivitas antimikroba dengan menambahkan asam asetat, asam propionat
dan asam laurat. Mereka melaporkan karakteristik film kitosan sebagai bahan
antimikroba yang ditambahkan dengan bahan-bahan tersebut dan menyarankan
dapat diaplikasikan pada pengawetan bahan pangan.
Kombinasi kitosan dengan asam sorbat dan bahan antibakteri lainnya
(tidak disebutkan) untuk memperpanjang umur simpan caviar (telur ikan salmon
dan ikan sejenis) telah dipatenkan di Rusia. Bykova et al. (2001) menggunakan
campuran dari 0,05-0,1% kitosan, 0,1% asam sorbat dan 0,3-0,5% antibac yang
diklaim mampu meningkatkan aktivitas antimikroba, antioksidasi dan
memperpanjang umur simpan dari caviar.
Sagoo et al. (2002b) meneliti aktivitas antimikroba dari kombinasi kitosan
dengan natrium benzoat terhadap khamir perusak yaitu Saccharomyces exiguus, S.
ludwigii dan Torulaspora delbrueckii. Hasilnya menunjukkan bahwa kitosan
0,005% yang dikombinasikan natrium benzoat 0,025% mampu menghambat
pertumbuhan khamir hampir dua kali dibandingkan dengan masing-masing bahan
diuji tunggal, dimana dapat menghambat pertumbuhan khamir sekitar log 1-2
sampai log 2-4, tergantung pada pH dan jenis organismenya.
Park et al. (2004a) melaporkan sifat-sifat antimikroba dari kombinasi
kitosan dengan lisosim. Mereka menggabungkan larutan kitosan 2% dengan
larutan lisosim 10% dengan rasio pencampuran 0%, 20%, 60%, dan 100% (w
lisosim/w kitosan). Hasilnya adalah kecenderungan penghambatan sinergis ada
pada perlakuan 60% yang dapat mengurangi jumlah Escherichia coli dan
Streptococcus faecalis masing-masing mencapai 3,8 log cfu/g dan 2,7 log cfu/g.
Duan et al. (2007) melaporkan kitosan yang ditambahkan 60% lisosim (per berat
kering kitosan) untuk digunakan sebagai film pelapis pada keju (mozarella
cheese). Keju yang telah dilapisi film kitosan-lisosim kemudian diinokulasi
dengan Listeria monocytogens, Escherichia coli dan Pseudomonas fluorescens
sebanyak 104 cfu/g, selanjutnya dikemas vakum, disimpan pada suhu 10 oC dan
dianalisis pada hari ke 1, 7, dan 14. Hasilnya dapat mereduksi bakteri L.

11
monocytogenes, E. coli dan P. fluorescens masing-masing 0,32-1,35 log cfu/g,
0,43-1,25 log cfu/g dan 0,40-1,40 log cfu/g pada keju.
Zivanovich et al. (2003) meneliti penggunaan kitosan dan minyak esensial
sebagai biopestisida untuk mempertahankan mutu buah stroberi, arbei, dan anggur
pascapanen. Buah-buah tersebut diberi larutan pembentuk lapisan yang dibuat dari
kombinasi kitosan 1% dan minyak esensial 4%, lalu dikemas dalam kantong
poliethylene dan disimpan pada suhu 4 oC. Hasilnya menunjukkan semua buah
yang diberi pelapisan kitosan-minyak esensial memperlihatkan reduksi mikroba
yang sempurna dengan tidak ada pertumbuhan jamur selama 18 hari
penyimpanan. Pelapisan kitosan pada buah anggur, arbei dan stroberi mampu
mencegah pertumbuhan jamur masing-masing 9 hari, 6 hari dan 0 hari masa
penyimpanan, sedangkan buah-buah yang tidak diberi perlakuan memperlihatkan
pertumbuhan jamur yang tinggi sejak diawal percobaan. Lebih lanjut, Zivanovich
et al. (2005) melakukan penambahan lemak esensial pada film kitosan untuk
meningkatkan umur simpan sosis panggang. Mereka melaporkan bahwa
kombinasi asam lemak oregano 1% dan 2% pada kitosan dapat mengurangi
jumlah Listeria monocytogenes sampai 3,6 log cfu/g dan 4 log cfu/g.

2.4. Keamanan Kitosan

Arai (1968), diacu dalam Winterowd dan Sandford (1995) telah


melaporkan nilai keamanan pada kitosan dengan menentukan nilai LD50-nya,
yaitu > 17,9 g/hari/kg berat badan tikus. Landes dan Bough (1976) diacu dalam
Winterowd dan Sandford (1995) melaporkan nilai LD50 kitosan adalah 16,5
g/hari/kg berat badan tikus dan menganjurkan konsentrasi kitosan yang diberikan
adalah kurang dari 5% dari total makanan yang dikonsumsi karena tidak
ditemukan efek samping yang merugikan.
Hennen (1996) menjelaskan faktor keamanan kitosan dengan nilai LD50 16
g/hari/kg berat badan tikus. Tikus bukan manusia, sehingga untuk tujuan
keamanan, data yang diperoleh dari tikus dibagi 12 untuk memperoleh nilai
ekuivalen pada manusia, sehingga nilai LD50 relatif pada manusia adalah 1,33
g/hari/kg. Bila rata-rata manusia memiliki berat badan 70 kg, artinya kitosan

12
menjadi toksik bagi orang tersebut bila mengkonsumsi > 90 g/hari, namun untuk
lebih aman lagi, jumlah tersebut dihitung dibawah tingkat 10% yaitu 9 g/hari.
Koide (1998) menjelaskan beberapa efek samping yang dapat terjadi bila
mengkonsumsi kitosan. Kitosan adalah suatu serat yang membentuk gel dalam
lambung yang bersifat asam. Kitosan memiliki sifat dapat mengikat lipida dan
mineral, sehingga berpotensi pula mengikat vitamin larut lemak seperti A, D, E
dan K. Defisiensi vitamin tersebut dalam tubuh dapat merugikan dalam jangka
panjang. Kitosan dapat mempengaruhi metabolisme tulang karena mengurangi
kalsium dan mengabsorbsi vitamin D, sehingga tidak dianjurkan dikonsumsi oleh
wanita yang sedang hamil.

2.5. Bahan Pengawet Kimiawi

Antimikroba makanan adalah bahan yang memiliki kemampuan


menghambat mikroorganisme perusak sehingga diharapkan dapat memperpanjang
umur simpan dan mempertahankan mutu makanan. Penggunaan antimikroba pada
makanan disebut juga sebagai bahan pengawet makanan, meskipun istilah bahan
pengawet sering termasuk bahan yang memiliki sifat antioksidan (Davidson dan
Harrison 2002)
Saat ini, penggunaan bahan pengawet pada makanan yang aman banyak
digunakan. Pengertian bahan pengawet menurut Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 adalah senyawa yang
mampu menghambat dan menghentikan proses fermentasi, pengasaman atau
bentuk kerusakan lainnya atau bahan yang dapat memberikan perlindungan bahan
pangan dari pembusukan. Departemen Kesehatan RI (Depkes 1999) telah
mengijinkan penggunaan bahan-bahan pengawet organik dan anorganik pada
batas penggunaan tertentu pada suatu produk pangan. Bahan pengawet organik
yang diijinkan antara lain asam benzoat dan garamnya, asam sorbat dan
garamnya, asam propionat dan garamnya, asam asetat dan garamnya, dan nisin,
sedangkan bahan pengawet anorganik antara lain sulfit, nitrat dan nitrit. Bahan
pengawet organik ini lebih banyak dipakai daripada anorganik karena lebih
mudah dibuat (Winarno 2004). Bahan-bahan pengawet organik seperti asam

13
sorbat dan asam benzoat diharapkan dapat memberikan efek sinergis dalam
memperpanjang umur simpan makanan bila dikombinasikan dengan kitosan.

2.5.1. Asam sorbat

Asam sorbat (CH3-CH=CH-CH=CH-COOH) tergolong asam lemak


monokarboksilat yang berantai lurus dan mempunyai ikatan tidak jenuh (-diena).
Bentuk sorbat yang digunakan umumnya adalah garam Na- dan K- sorbat
digunakan untuk menghambat pertumbuhan kapang dan bakteri. Sorbat aktif pada
pH di atas 6,5 dan aktivitasnya menurun dengan meningkatnya pH (Winarno
2004). Garam kalium sorbat memiliki kelarutan yang lebih besar daripada
asamnya, sehingga bentuk garamnya lebih sering digunakan. Garam ini
mempunyai aktivitas yang hampir sama dengan bentuk asamnya, karena pada
produk perikanan, garam ini akan dihidrolisis menjadi asam sorbat yang aktif
(Germinder 1959, diacu dalam Jenie et al. 1993).
Mekanisme asam sorbat dalam mencegah pertumbuhan mikroba adalah
dengan mencegah kerja enzim dehidrogenase terhadap asam lemak. Struktur -
diena pada asam sorbat dapat mencegah oksidasi asam lemak oleh enzim tersebut.
Sebaliknya hewan tingkat tinggi dapat memetabolisasi asam sorbat seperti asam
lemak biasa (Winarno 2004). Daya kerja efektif sorbat adalah pada pH 6-6,5
(Stophfort et al. 2005).
Konsentrasi penghambatan mikroba yang efektif dari asam dan garam
sorbat umumnya sekitar 0,05-0,3%. Bakteri yang dihambat pertumbuhannya
antara lain Acetobacter, Achromobacter, Clostridium, Escherichia, Pseudomonas,
Proteus, Salmonella, Staphylococcus dan Vibrio. Konsentrasi penghambatan ini
masih di bawah nilai LD50 untuk sorbat, yaitu pada kisaran 4,2-10,5 g/kg berat
badan (Stophfort et al. 2005). Depkes (1999) menentukan batas maksimum asam
sorbat dan bentuk garamnya yang boleh digunakan adalah 3 g/kg untuk sediaan
keju olahan dan 1 g/kg untuk keju dan margarin.
Kalium sorbat telah diteliti secara luas sebagai bahan antimikroba yang
digunakan untuk memperpanjang umur simpan produk hewani dengan
menghambat pertumbuhan patogen (Elliot et al. 1985, diacu dalam Jenie et al.
1993). Jenie et al. (1993) melaporkan udang segar direndam kalium sorbat 1%

14
selama 1 menit dan dikemas CO2 yang disimpan pada suhu 4 oC memiliki umur
simpan sampai 15 hari. Waliszewski (2000) menggunakan kombinasi potasium
sorbat, asam askorbat, dan asam sitrat untuk memperpanjang umur simpan ikan
tilapia pada suhu -10 oC. Hasilnya menunjukkan tilapia yang tidak diberi bahan
pengawet memiliki kadar hipoksantin yang telah melewati batas konsentrasi,
sedangkan yang diberi tambahan bahan pengawet diketahui konsentrasi
trimethylamine, hipoksantin dan jumlah bakteri total masih pada angka yang dapat
diterima setelah 63 hari penyimpanan.

2.5.2. Asam benzoat

Asam benzoat (C6H5COOH) merupakan bahan pengawet yang luas


penggunaannya dan sering digunakan pada bahan makanan yang bersifat asam.
Bahan ini digunakan untuk mencegah pertumbuhan khamir dan bakteri. Benzoat
efektif pada pH 2,5-4,0. Oleh karena kelarutan garamnya lebih besar maka
umumnya digunakan dalam bentuk garam Na-benzoat, sedangkan di dalam bahan
makanan, garam benzoat terurai menjadi bentuk efektif yaitu bentuk asam benzoat
yang tidak terdisosiasi. Tubuh manusia memiliki mekanisme detoksifikasi
terhadap asam benzoat, sehingga tidak terjadi penumpukan asam benzoat. Asam
benzoat akan bereaksi dengan glisin menjadi asam hipurat yang akan dibuang oleh
tubuh (Winarno 2004). Meskipun banyak digunakan untuk menghambat
pertumbuhan jamur dan khamir, natrium benzoat dan asam benzoat juga dapat
menghambat bakteri pengurai dan patogen, seperti Escherichia coli, Listeria
monocytogenes, Bacillus cereus, dan Salmonella thypimurium (Cagry et al. 2004).

2.6. Ekstrak Terung Pungo (Solanum sp.) sebagai Bahan Antibakteri

Terung pungo (Solanum sp.) merupakan tanaman di daerah pesisir yang


telah turun temurun digunakan sebagai obat tradisional oleh masyarakat Aceh.
Tanaman ini terutama daunnya telah dimanfaatkan untuk mengobati sakit gigi.
Khasiat dari tanaman ini diduga berasal dari senyawa 1,2-benzenedicarboxylic
acid, bis (2-ethylhexyl) ester berdasarkan identifikasi menggunakan GC-MS dan
LC-MS yang memiliki kemampuan aktivitas antibakteri (Haswirna 2006).
Ekstrak Solanum sp. dengan menggunakan pelarut etil asetat dan metanol
memperlihatkan aktivitas antibakteri. Pengujian dilakukan dengan menggunakan

15
metode difusi agar dengan konsentrasi ekstrak 300 µg/paper disc memperlihatkan
zona hambat terhadap pertumbuhan Escherichia coli dan Staphylococcus aureus.
Meskipun Solanum sp. memperlihatkan aktivitas antibakteri, namun zona hambat
yang dihasilkan masih lebih rendah dibandingkan dengan kontrol yang
menggunakan kloramfenikol (Haswirna 2006).

2.7. Bandeng Presto

Jenis olahan bandeng presto atau bandeng duri lunak merupakan salah satu
diversifikasi pengolahan hasil perikanan terutama sebagai modifikasi
pemindangan yang mempunyai kelebihan yaitu tulang dan duri dari ekor hingga
kepala menjadi lunak sehingga tidak menimbulkan gangguan pada mulut saat
dimakan. Prinsip pengolahan bandeng presto adalah dengan menggunakan suhu
tinggi (115-121 oC) dengan tekanan 15 psi. Suhu dan tekanan yang tinggi dapat
dicapai dengan menggunakan autoclave atau pressure cooker (Hadiwiyoto dan
Naruki 1999). Persyaratan mutu bandeng presto dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Persyaratan mutu bandeng presto berdasarkan SNI 01-4106-1996


Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu

a) Organoleptik
1. Nilai minimum 7
2. Kapang tidak tampak
b) Cemaran Mikroorganisme
1. ALT, maksimum koloni/g 2 x 105
2. Escherichia coli APM/g <3
3. Vibrio cholerae per 25 g negatif
4. Salmonella per 25 g negatif
5. Staphylococcus aureus koloni/g 100
Koagulasi positif, maksimum
c) Cemaran Kimia
1. Timbal, maksimum mg/g 2,0
2. Tembaga, maksimum mg/g 20,0
3. Seng, maksimum mg/g 100,0
4. Timah, maksimum mg/g 40,0
5. Raksa, maksimum mg/g 0,5
6. Arsen, maksimum mg/g 1,0

d) Kimia
1. Air, maksimum % bobot/bobot 60
e) Fisika
1. Berat bersih sesuai label

16

Anda mungkin juga menyukai