PENDAHULUAN
.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penyusunan referat ini adalah sebagai kajian keilmuan
dalam hal tuberkulosis pada anak. Untuk mengetahui definisi, etiologi,
klasifikasi, pathogenesis, gambaran klinis, diagnosis, terapi, dan prognosis
dari tb anak. Sehingga pada akhirnya dapat dihasilkan pemahaman materi
secara lebih mendalam dalam rangka menunjang kegiatan praktek di lapangan
dengan pasien.
1.3 Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan
pemahaman penulis maupun pembaca mengenai tuberkulosis pada anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan
oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang
sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih
sering menginfeksi organ paru-paru dibandingkan bagian lain tubuh manusia.
Insidensi TBC dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini di
seluruh dunia. Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis / TBC merupakan masalah
kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit
(morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Dengan penduduk lebih dari 200 juta
orang, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China dalam hal jumlah
penderita di antara 22 negara dengan masalah TBC terbesar di dunia.
Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI tahun 1992, menunjukkan bahwa
Tuberkulosis / TBC merupakan penyakit kedua penyebab kematian, sedangkan
pada tahun 1986 merupakan penyebab kematian keempat. Kenyataan mengenai
penyakit TBC di Indonesia begitu mengkhawatirkan, sehingga kita harus waspada
sejak dini & mendapatkan informasi lengkap tentang penyakit TBC.
2.2 Epidemiologi
2.2 Etiologi
Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam
sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali
ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk
mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC
pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP).
Gambar 1. Bakteri Mikobakterium tuberkulosa
2.4 Patofisiologi
Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam droplet nuklei yang
terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik. Akan tetapi
pada sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang
tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit
kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman
TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag,
dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk
lesi ditempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi
disaluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.
Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan
terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer
terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan
antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi
TB berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu. Pada saat
terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi.
Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk,
yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein,
yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif.
Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat
sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi
sebagian kecil kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas
seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera
dimusnakan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer dijaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer
di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika
terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar
melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus akan terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil.
Obstruksi total dapat menyebabkan ateletaksis kelenjar yang mengalami inflamsi
dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,
sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju
dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan
gangguan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut
menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis.
Kuman TB kemudian mencapai berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di
organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa dan
kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti
otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut
tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang
di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat
mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun
pertama) biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga
bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB
endobronkial, dan TB paru kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TB
pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam fokus yang tidak
mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi
sering terjadi pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan manifestasi
TB pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB.
Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, paling
banyak terjadi dalam 1 tahun, tetapi dapat juga 2-3 tahun setelah infeksi primer.
Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala
khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis
tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk
menegakkan diagnosa secara klinik.
a. Gejala sistemik/utama
1. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
2. Penurunan nafsu makan dan berat badan.
3. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
4. Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
b. Gejala khusus
1. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus akibat penekanan kelenjar getah bening yang
membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah
yang disertai sesak.
2. Kalau ada cairan dirongga pleura, dapat disertai dengan keluhan sakit
dada.
3. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang
yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit
di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
4. Pada anak-anak dapat mengenai otak dan disebut sebagai meningitis,
gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan
kejang-kejang.
2.6 Diagnosis
Diagnosis TB pada anak ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit,
gejala klinis, uji tuberkulin serta pemeriksaan penunjang seperti laboratorium
dan radiologi. Uji tuberkulin (tes Mantoux) menjadi alat diagnostik utama
pada kasus TB anak. Sebanyak 0,1 ml tuberkulin jenis PPD-RT 23 2 TU atau
PPD-S 5 TU disuntikan intrakutan di bagian volar lengan bawah. Setelah 48-
72 jam, daerah suntikan dibaca dan dilaporkan diameter indurasi yang terjadi
dalam satuan milimeter. Perlu diperhatikan bahwa diameter yang diukur
adalah diameter indurasi bukan diameter eritema. Untuk meminimalkan
kesalahan pengukuran, lakukan palpasi secara halus pada daerah indurasi, lalu
tentukan tepinya.
Hasil uji tuberkulin dapat dipengaruhi oleh status BCG anak. Pengaruh
BCG terhadap reaksi positif tuberkulin paling lama berlangsung hingga 5
tahun setelah penyuntikan. Jadi, ketika membaca uji tuberkulin pada anak di
atas 5 tahun, status BCG dapat dihiraukan.
Uji tuberkulin dinyatakan positif apabila diameter indurasi ≥5 mm
pada anak dengan faktor risiko seperti menderita HIV dan malnutrisi berat;
dan ≥10 mm pada anak lain tanpa memandang status BCG. Pada anak balita
yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-15 mm masih mungkin
disebabkan oleh BCG selain oleh infeksi TB. Bila indurasi ≥15 mm lebih
mungkin karena infeksi TB daripada BCG.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah hitung sel
darah, laju endap darah, urinalisis, enzim hati dalam serum (SGOT/SGPT).
Asam urat sebaiknya diperiksa apabila akan diberikan pirazinamid dan
penglihatan harus diperiksa bila diberikan ethambutol. Pungsi lumbal
sebaiknya dilakukan pada TB milier atau bila ada tanda-tanda kecurigaan TB
milier atau meningitis TB.
Foto rontgen harus diambil dari 2 sisi yaitu postero-anterior dan
lateral. Gambaran yang umum terlihat adalah pembesaran kelenjar hilus atau
paratrakea. Dapat juga ditemukan kolaps atau konsolidasi dengan hiperinflasi
lokal yang terjadi akibat obstruksi bronkus parsial. Diagnosis banding
pembesaran kelenjar hilus/paratrakea pada anak adalah infeksi Mycoplasma,
atau keganasan (limfoma sel T dan neuroblastoma). Pada beberapa kasus,
interpretasi foto rontgen sulit dilakukan sehingga CT-Scan mungkin
diperlukan.
UKK Respirologi IDAI 2007 menyusun sistim skoring yang dapat
digunakan sebagai uji tapis bila sarana memadai. Bila skor ≥6, beri OAT
selama 2 bulan, lalu evaluasi. Bila respon positif maka terapi diteruskan,
tetapi bila tidak ada respon, rujuk ke rumah sakit untuk ditinjau lebih lanjut.
Rujukan ke rumah sakit dilakukan sesegera mungkin bila ditemukan tanda-
tanda bahaya seperti gambaran milier pada foto rontgen, gibbus,
skrofuloderma, dan terdapat tanda infeksi sistim saraf pusat (kejang, kaku
Parameter 0 1 2 3
Catatan:
Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks,
dan/atau terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan
penurunan kesadaran serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien
harus di rawat inap di RS.
2.7 Tatalaksana
Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R),
isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S).
Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan
pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat lain (second line, lini kedua)
adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide,
prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin,
ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika
terjadi MDR.
Isoniazid
Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT)
yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap
kuman dalam keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang),
bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan
ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh
termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki
angka reaksi simpang (adverse reaction) yang sangat rendah.
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan
adalah 5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu
kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg
dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup
biasanya tidak stabi, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi
puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan
menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui
asetilasi di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada
orang dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari
pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan
dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mmencapai
janin/bayi tidak membahayakan.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan
neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada
pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia.
Sebagian besar pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami
peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan
pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu
pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang
menimbulkan hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin
dilakukan, kecuali bila ada gejala dan tanda klinis.
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat
memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang
tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui
sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan
kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan
dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600
mg/hari, dengan satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan
dengan isoniazid , dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis
isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Distribusinya sama dengan isoniazid.
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang
kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah,
sputum, dan air mata, menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek
samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah), dan
hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan
kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan
bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat
diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal
10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan
dapat menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat
berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin,
teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin
umumnya tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg,
sehingga kurang sesuai digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran
BB. Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa,
tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan
karena dapat menimbulkan malabsorpsi.
Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada
jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel
suasana asam, dan diabsorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid
secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2
gram/hari. Kadar serum puncak 45 µg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid
diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada
saat suasana asam., yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat
banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10 % orang
dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek samping berupa atralgia,
artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis
hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah
hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas
jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg,
tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersamaan makanan.
Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya
pada mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat
bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain
itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi
terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari,
maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 µg dalam
waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg.
etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian
oral dengan dosis satu tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik pada
SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan
etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok
dan buta warna merah-hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari
pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi
WHO yang terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak, etambutol
dianjurkan penggunaanya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari.
Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB
resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam
pengobatan TB tetapi penggunaannya penting penting pada pengobatan fase
intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara
intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan
kadar puncak 40-50 µg/ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi
tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi
baik pada jaringan dan cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal.
Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal
terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama
streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran dengan gejala berupa telinga berdegung
(tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat
menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada
wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin yaitu 30% bayi
akan menderita tuli berat.
Nama Obat Dosis harian Dosis maksimal Efek Samping
(mg/kgBB/hari) (mg/hari)
Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas
Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal
Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang,
buta warna merah-hijau, penyempitan lapang
pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu
bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistemgastrointestinal pada
saat perut kosong (satu jam sebelum makan.
Panduan Obat TB
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga
macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada
fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk
membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka
panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya kekambuhan. Berbeda pada orang dewasa , OAT
diberikan pada anak setiap hari, bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal
ini bertujuan untuk mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang lebih
sering terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari. Saat ini panduan obat yang
baku untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah panduan rifampisin,
isoniazid dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin, isoniazid,
dan pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan
isoniazid.
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti
milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan lain-lain, pada fase intensif
diberikan minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan
etambutol atau streptomisin). Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan
isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB
milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB
diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari dibagi
dalam tida dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian
kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering
off selama 2-4 minggu.
BAB III
KESIMPULAN
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik
karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa
manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu, demam lama (>2 minggu)
dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, berat badan turun tanpa sebab yang jelas
atau tidak naik dalam 1 bulan ,anoreksia dengan failure to thrive, pembesaran
kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multiple, batuk lama lebih
dari 3 minggu, diare persisten serta malaise (letih, lesu, lemah, lelah).