TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3
bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m².
Batasan penyakit ginjal kronik:
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
Kelainan patologik
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan radiologi
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan
oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan
nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi
penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal
dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan
penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan
penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan
penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Hal ini dapat
dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut:
2.2 Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)
dan ginjal polikistik (10%).
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis akut mengarah pada serangkaian tertentu penyakit ginjal
di mana mekanisme kekebalan tubuh memicu peradangan dan proliferasi jaringan
glomerular yang dapat mengakibatkan kerusakan pada membran basal,
mesangium, atau endotelium kapiler. Hippocrates awalnya menggambarkan
manifestasi nyeri punggung dan hematuria, lalu juga oliguria atau anuria. Dengan
berkembangnya mikroskop, Langhans kemudian mampu menggambarkan
perubahan pathophysiologic glomerular ini. Sebagian besar penelitian asli
berfokus pada pasien pasca-streptococcus.. Glomerulonefritis akut didefinisikan
sebagai serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, dan
silinder sel darah merah. Gambaran klinis ini sering disertai dengan hipertensi,
edema, dan fungsi ginjal terganggu.
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan
primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal
dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal
terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus
sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis.
Kebanyakan kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10%
terjadi pada pasien yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut
yaitu dapat terjadi hematurim oligouri, edema preorbital yang biasanya pada pagi
hari, hipertensi, sesak napas, dan nyeri pinggang karena peregangan kapsul ginjal.
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit
ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam
keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara
perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti
minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat
badan yang menurun.
Terjadinya diabetes ditandai dengan gangguan metabolisme dan
hemodinamik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan
tekanan darah sistemik, dan mengubah pengaturan tekanan intracapillary. Di
ginjal, perubahan ini mungkin menyebabkan munculnya protein dalam urin.
Kehadiran protein urin tidak hanya tanda awal penyakit ginjal diabetes, tetapi
dapat menyebabkan kerusakan dan tubulointerstitial glomerular yang pada
akhirnya mengarah ke glomerulosclerosis diabetes. Hubungan yang kuat antara
proteinuria dan komplikasi diabetes lainnya mendukung pandangan bahwa
peningkatan ekskresi protein urin mencerminkan gangguan vaskular umum yang
mempengaruhi banyak organ, termasuk mata, jantung, dan sistem saraf .
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi.
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.
Tabel 3. Klasifikasi tekanan darah sistolik, diastolik, modifikasi gaya hidup, serta terapi obat
berdasarkan Joint National Committee (JNC) VII:
Klasifikasi Sistolik Diastolik Modifikasi Terapi
Tekanan (mmHg) (mmHg) Gaya
Darah Hidup
Normal < 120 Dan < 80 edukasi tidak perlu obat
Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89 Ya
antihipertensi
Stage 1 HT 140 – 159 Atau 90 – 99 Ya Thiazid tipe diuretik
Dapat juga ACEI, ARB,
BB, CCB, atau
kombinasi
Stage 2 HT > 160 Ya Kombinasi 2 jenis obat
(biasanya thiazid tipe
diuretik dan ACEI atau
ARB atau BB atau
CCB)
Target tekanan darah pada terapi pasien dengan CKD atau diabetes adah
<130/80 mmHg.
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang
paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit
ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian
besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat
ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal
lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.
2.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat menyatakan insidens penyakit ginjal kronik
diperkitakan 100 juta kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat
sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia diperkirakan terdapat 1800 kasus baru
gagal ginjal pertahunnya. Di Negara berkembang lainnya, insidens ini
diperkirakan sekitar 40-60 kasis perjuta penduduk per tahun.
Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun
2000:
1. Glomerulonefritis (46,39%)
2. Diabetes Mellitus (18,65%)
3. Obstruksi dan infeksi (12,85%)
4. Hipertensi (8,46%)
5. Sebab lain (13,65%)
Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.
Insidennya pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih.
2.4 Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, penyakit autoimun, batu ginjal, sembuh dari gagal ginjal
akut, infeksi saluran kemih, berat badan lahir rendah, dan faktor social dan
lingkungan seperti obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan
individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal
dalam keluarga, berpendidikan rendah, dan terekspos dengan bahan kimia dan
lingkungan tertentu.
2.5 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nefron) sebagai
upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis,
dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-
aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth
factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan
fibrosis glomerolus maupun interstitial.
Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium.
Stadium ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini
kreatinin serum dan kadar BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan
fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberi beban kerja yang
berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan kemih yang lama atau dengan
mengadakan test LFG yang teliti.
Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana
lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari
normal). Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal.
Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar protein
dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat
melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita misalnya
mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada stadium
insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh
kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons
terhadap stress dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita
biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut
hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti.
Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal
ginjal stadium akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar
90% dari massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang
masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin
mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum
dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai respons
terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal
tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam
tubuh. Kemih menjadi isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap
sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang
dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-
mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala
yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada
stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia
mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.
Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat
stadium, tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium-
stadium tersebut.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal
disease).
2. Terapi simptomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik
dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus
segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20
mEq/L.
b. Anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis
inisial 50 u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL
kurangi dosis pemberian menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian
200 u/kg dan tidak lebih dari tiga kali dalam seminggu.
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah
satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian
transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian
mendadak. Sasaran hemoglobin adalah 11-12 gr/dL.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang
sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan
keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang
lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan
kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat
Enzym Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE
inhibitor). Melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses
pemburukan antihipertensi dan antiproteinuria.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
merupakan hal yang penting, karena 40-50% kematian pada penyakit
ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Tindakan yang
diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita, termasuk
pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi
terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbanagan elektrolit.
2.10 Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan
yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan
kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin
kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah,
anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat
badan.3
BAB III
KESIMPULAN