Anda di halaman 1dari 69

Karsinoma Serviks

1. Definisi
Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks. Serviks merupakan
sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris, menonjol, dan berhubungan dengan
vagina melalui ostium uteri eksternum.

2. Etiologi
Penyebab kanker serviks diketahui adalah virus HPV (Human Papilloma Virus) subtipe
onkogenik, terutama subtipe 16 dan 18. Pada proses karsinogenesis asam nukleat virus
tersebut dapat bersatu ke dalam gen dan DNA sel tuan rumah, sehingga menyebabkan
mutasi sel.
3. Patofisiologi
HPV merupakan faktor inisiator kanker serviks yang menyebabkan gangguan sel serviks.
Onkoprotein E6 dan E7 berasal dari HPV merupakan penyebab degenerasi keganasan.
Integrasi DNA virus dengan genom sel tubuh merupakan awal proses yang mengarah
transformasi. Integrasi DNA virus dimulai pada daerah E1-E2, menyebabkan E2 tidak
berfungsi, menimbulkan rangsangan terhadap E6 dan E7 yang akan menghambat p53 dan
pRb. E6 akan mengikat p53, sehingga tumor suppressor gene (TSG) p53 akan kehilangan
fungsinya, yaitu untuk menghentikan siklus sel pada fase G1. Sedangkan onkoprotein E7
akan mengikat TSG Rb, menyebabkan terlepasnya E2F, yang merupakan faktor
transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol. Hambatan kedua TSG
menyebabkan siklus sel tidak terkontrol, perbaikan DNA tidak terjadi, dan apoptosis
tidak terjadi.
Perkembangan kanker invasif berawal dari terjadinya lesi neoplastik pada lapisan epitel
serviks, dimulai dari neoplasia intraepitel serviks (NIS) 1, NIS 2, NIS 3 atau karsinoma in
situ (KIS). Selanjutnya setelah menembus membrana basalis akan berkembang menjadi
karsinoma mikroinvasif dan invasif.

4. Klasifikasi
5. Stadium
0 Karsinoma in situ (karsinoma preinvasif)
I Karsinoma serviks terbatas di uterus (ekstensi ke korpus uterus dapat diabaikan)
IA Karsinoma invasif didiagnosis hanya dengan mikroskop. Semua lesi yang terlihat
secara makroskopik, meskipun invasi hanya superfisial, dimasukkan ke dalam
stadium IB
IA1 Invasi stroma tidak lebih dari 3,0 mm kedalamannya dan 7,0 mm atau kurang
pada ukuran secara horizontal
IA2 Invasi stroma lebih dari 3,0 mm dan tidak lebih dari 5,0mm dengan penyebaran
horizontal 7,0 mm atau kurang
IB Lesi terlihat secara klinik dan terbatas di serviks atau secara mikroskopik lesi
lebih besar dari IA2
IB1 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar 4,0 cm atau kurang
IB2 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar lebih dari 4,0 cm
II Invasi tumor keluar dari uterus tetapi tidak sampai ke dinding panggul atau
mencapai 1T3 bawah vagina
IIA Tanpa invasi ke parametrium
IIA1 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar 4,0 cm atau kurang
IIA2 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar lebih dari 4,0 cm
IIB Tumor dengan invasi ke parametrium
III Tumor meluas ke dinding panggulT atau mencapai 1T3 bawah vagina danTatau
menimbulkan hidronefrosis atau afungsi ginjal
IIIA Tumor mengenai 1T3 bawah vagina tetapi tidak mencapai dinding panggul
IIIB Tumor meluas sampai ke dinding panggul dan T atau menimbulkan hidronefrosis
atau afungsi ginjal
6. Gejala dan Tanda
Tanda-tanda dini kankerserviks mungkin tidak menimbulkan gejala. Tanda-tanda
dini yang tidak spesifik seperti sekret vagina yang agak berlebihan dan kadang-kadang
disertai bercak perdarahan. Gejala umum yang sering terjadi berupa perdarahan
pervaginam (pascasanggama, perdarahan diluar haid) dan keputihan.
Pada penyakit lanjut keluhan berupa keluar cairan pervaginam yang berbau
busuk, nyeri panggul, nyeri pinggang dan pinggul, sering berkemih, buang air kecil atau
buang air besar yang sakit. Gejala penyakit yang residif berupa nyeri pinggang, edema
kaki unilateral dan obstruksi ureter.
7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas atas dasar anamnesis, pemeriksaan klinik. Pemeriksaan
klinik ini meliputi inspeksi, kolposkopi, biopsi serviks, sistoskopi, rektoskopi, USG,
BNO-IVP, foto toraks dan bone scan, CT scan atau MRI, PET scan. Kecurigaan
metastasis ke kandung kemih atau rektum harus dikonfirmasi dengan biopsi dan
histologik. Konisasi dan amputasi serviks dianggap sebagai pemeriksaan klinik. Khusus
pemeriksaan sistoskopi dan rektoskopi dilakukan hanya pada kasus dengan stadium IB2
atau lebih.
Stadium kanker serviks didasarkan atas pemeriksaan klinik oleh karena itu
pemeriksaan harus cermat kalau perlu dilakukan dalam narkose. Stadium klinik ini tidak
berubah bila kemudian ada penemuan baru. Kalau ada keraguan dalam penentuan maka
dipilih stadium yang lebih rendah.
8. Tatalaksana
a. Tatalaksana lesi prakanker
Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas pelayanan kesehatan,
sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang ada.
Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas dapat
dilakukan program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA. Skrining dengan tes
IVA dapat dilakukan dengan cara single visit approach atau see and treat program,
yaitu bila didapatkan temuan IVA positif maka selanjutnya dapat dilakukan
pengobatan sederhana dengan krioterapi oleh dokter umum atau bidan yang sudah
terlatih.
Pada skrining dengan Papsmear, temuan hasil abnormal direkomendasikan untuk
konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan kolposkopi. Bila diperlukan maka
dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter Procedure (LEEP) atau
Large Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ) untuk kepentingan
diagnostik maupun sekaligus terapeutik.
Bila hasil elektrokauter tidak mencapai bebas batas sayatan, maka bisa
dilanjutkan dengan tindakan konisasi atau histerektomi total.
Berbagai metode terapi lesi prakanker serviks:
1. Terapi NIS dengan Destruksi Lokal
Beberapa metode terapi destruksi lokal antara lain: krioterapi dengan N2O dan
CO2, elektrokauter, elektrokoagulasi, dan laser. Metode tersebut ditujukan
untuk destruksi lokal lapisan epitel serviks dengan kelainan lesi prakanker
yang kemudian pada fase penyembuhan berikutnya akan digantikan dengan
epitel skuamosa yang baru.
- Krioterapi
Krioterapi digunakan untuk destruksi lapisan epitel serviks dengan metode
pembekuan atau freezing hingga sekurang-kurangnya -20oC selama 6
menit (teknik Freeze-thaw-freeze) dengan menggunakan gas N2O atau
CO2. Kerusakan bioselular akan terjadi dengan mekanisme: (1) sel‐sel
mengalami dehidrasi dan mengkerut; (2) konsentrasi elektrolit dalam sel
terganggu; (3) syok termal dan denaturasi kompleks lipid protein; (4)
status umum sistem mikrovaskular.

- Elektrokauter
Metode ini menggunakan alat elektrokauter atau radiofrekuensi dengan
melakukan eksisi Loopdiathermy terhadap jaringan lesi prakanker pada
zona transformasi. Jaringan spesimen akan dikirimkan ke laboratorium
patologi anatomi untuk konfirmasi diagnostik secara histopatologik untuk
menentukan tindakan cukup atau perlu terapi lanjutan.
- Diatermi
Elektrokoagulasi Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan
lebih luas dan efektif jika dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi harus
dilakukan dengan anestesi umum. Tindakan ini memungkinkan untuk
memusnahkan jaringan serviks sampai kedalaman 1 cm, tetapi fisiologi
serviks dapat dipengaruhi, terutama jika lesi tersebut sangat luas.
- Laser
Sinar laser (light amplication by stimulation emission of radiation), suatu
muatan listrik dilepaskan dalam suatu tabung yang berisi campuran gas
helium, gas nitrogen, dan gas CO2 sehingga akan menimbulkan sinar laser
yang mempunyai panjang gelombang 10,6 u. Perubahan patologis yang
terdapat pada serviks dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu penguapan
dan nekrosis. Lapisan paling luar dari mukosa serviks menguap karena
cairan intraselular mendidih, sedangkan jaringan yang mengalami nekrotik
terletak di bawahnya. Volume jaringan yang menguap atau sebanding
dengan kekuatan dan lama penyinaran.

b. Tatalaksana Kanker Serviks Invasif


-Stadium 0 T KIS (Karsinoma in situ)
Konisasi (Cold knife conization). Bila margin bebas, konisasi sudah adekuat pada
yang masih memerlukan fertilitas. Bila tidak bebas, maka diperlukan re-konisasi. Bila
fertilitas tidak diperlukan histerektomi total. Bila hasil konisasi ternyata invasif, terapi
sesuai tatalaksana kanker invasif.

-Stadium IA1 (LVSI negatif)


Konisasi(Cold Knife) bila free margin (terapi adekuat) apabila fertilitas dipertahankan
(Tingkat evidens B). Bila tidak free margin dilakukan rekonisasi atau simple
histerektomi. Histerektomi Total apabila fertilitas tidak dipertahankan.

-Stadium IA1 (LVSI positif)


Operasi trakelektomi radikal dan limfadenektomi pelvik apabila fertilitas
dipertahankan. Bila operasi tidak dapat dilakukan karena kontraindikasi medik dapat
dilakukan Brakhiterapi.

-Stadium IA2,IB1,IIA1
Pilihan :
1. Operatif. Histerektomi radikal dengan limfadenektomi pelvik. (Tingkat evidens 1 T
Rekomendasi A) Ajuvan Radioterapi (RT) atau Kemoradiasi bila terdapat faktor
risiko yaitu metastasis KGB, metastasis parametrium, batas sayatan tidak bebas
tumor,deep stromal invasion, LVSI dan faktor risiko lainnya. Hanya ajuvan radiasi
eksterna (EBRT) bila metastasis KGB saja. Apabila tepi sayatan tidak bebas tumor T
closed margin, maka radiasi eksterna dilanjutkan dengan brakhiterapi.
2. Non operatif Radiasi (EBRT dan brakiterapi) Kemoradiasi (Radiasi : EBRT dengan
kemoterapi konkuren dan brakiterapi)

-Stadium IB 2 dan IIA2


Pilihan :
1. Operatif (Rekomendasi A) Histerektomi radikal dan pelvik limfadenektomi Tata
laksana selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil patologi anatomi untuk
dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.
2. Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C) Tujuan dari Neoajuvan Kemoterapi
adalah untuk mengecilkan massa tumor primer dan mengurangi risiko komplikasi
operasi. Tata laksana selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil patologi
anatomi untuk dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.

-Stadium IIB
Pilihan :
1. Kemoradiasi (Rekomendasi A)
2. Radiasi (Rekomendasi B)
3. Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C) Kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal
histerektomi dan pelvik limfadenektomi.
4. Histerektomi ultraradikal, laterally extended parametrectomy (dalam penelitian)

-Stadium III A  III B


1. Kemoradiasi (Rekomendasi A)
2. Radiasi (Rekomendasi B)

-Stadium IIIB dengan CKD


1. Nefrostomi T hemodialisa bila diperlukan
2. Kemoradiasi dengan regimen non cisplatin atau
3. Radiasi

-Stadium IV A tanpa CKD


1. Pada stadium IVA dengan fistula rekto-vaginal, direkomendasi terlebih dahulu
dilakukan kolostomi, dilanjutkan :
2. Kemoradiasi Paliatif, atau
3. Radiasi Paliatif Stadium IV A dengan CKD, IVB 1. Paliatif 2. Bila tidak ada
kontraindikasi, kemoterapi paliatif T radiasi paliatif dapat dipertimbangkan.

DAFTAR PUSTAKA
Puteri, A.P. 2020. Karsinoma Serviks: Gambaran Radiologi dan Terapi Radiasi.
RSUD Provinsi Nusa Tenggara Barat:Mataram. CDK-285T vol. 47 no. 4 th. 2020

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. 2017. Kanker Serviks. Komite


Penanggulangan Kanker Nasional. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Karsinoma Ovarium
1. Definisi
Karsinoma ovarium merupakan tumor dengan histiogenesis yang beraneka
ragam, dapat berasal dari ketiga dermoblast - ektodermal, endodermal,
mesodermal  dengansifatsifat histiologis maupun  biologis yang beraneka
ragam.
Karsinoma ovarium sebagian besar berbentuk kista berisi cairan maupun
padat. Kanker ovarium disebut sebagai silent killer. Karena ovarium terletak di
bagian dalam sehingga tidak mudah terdeteksi 70-80% kanker ovarium baru
ditemukan pada stadium lanjut dan telah menyebar (metastatis) kemana-mana.
2. Epidemiologi
Amerika Serikat, insidensi kanker ovarium sebanyak 12,1 dari 100.000
wanita per tahunnya  berdasarkan kasus tahun 2008-2012. Insiden kanker
ovarium telah menurun secara perlahan sejak pertengahan tahun 1980. Penurunan
terjadi sebanyak 0,9% setiap tahun dari tahun 2007 hingga tahun 2011.  
Kanker ovarium lebih umum ditemukan pada wanita berkulit putih
daripada ras Afrika-Amerika. Kanker ovarium epithelial dapat muncul pada
wanita usia muda sejak 15 tahun, tetapi rata-rata umur terdiagnosis pada umur 63
tahun, dan kebanyakan kasus terdiagnosis  pada rentang usia 55-64 tahun. Risiko
pada Amerika Serikat ditemukan sebesar 1,3%. Asosiasi Kanker Amerika Serikat
memperkirakan sebanyak 22.280 kasus baru kanker ovarium akan didiagnosis dan
14.240 perempuan akan meninggal pada setiap tahun.
Walaupun kanker ovarium merupakan kanker yang umum terjadi pada
wanita, kanker ovarium merupakan penyebab paling sering urutan kelima dalam
kanker penyebab kematian pada wanita terhitung dari 5% kematian akibat kanker
lebih dari kanker ginekolog lain.
3. Etiologi
Penyebab pasti kanker ovarium tidak diketahui, namun beberapa faktor risiko
telah diidentifikasi yaitu:
a. Faktor Reproduksi
Paritas merupakan faktor risiko yang penting pada kanker ovarium. Risiko
kanker ovarium epithelial meningkat pada wanita yang belum memiliki anak
dan pada wanita yang mengalami menarke dini atau menopausme terlambat.
Wanita yang pernah hamil memiliki 50% penurunan risiko untuk mengalami
kanker ovarium dibandingkan wanita nulipara. Kehamilan yang dialami
memiliki efek protektif terhadap wanita. Penggunaan kontrasepsi oral dapat
menurunkan risiko kanker ovarium secara signifikan. Faktor-faktor ini
mendukung gagasan bahwa risiko terjadinya kanker ovarium terkait dengan
ovulasi. Teori ovulasi memaparkan bahwa trauma berulang pada epitel
ovarium yang disebabkan pecahnya folikel dan mengalami perbaikan
menyebabkan terjadinya perubahan genetik pada epitel permukaan. Teori
gonadotropin mengusulkan bahwa stimulasi terus menerus ovarium oleh
gonadotropin ditambah efek lokal hormone endogen, meningkatkan proliferasi
epitel permukaan dan aktivitas mitosis selanjutnya.
b. Faktor Genetic
5-10% penyakit ini karena faktor herediter (ditemukan di keluarga sekurang-
kurangnya dua keturunan dengan kanker ovarium). Sebagian kecil dari kanker
ovarium disebabkan oleh mutasi gen yang diwariskan. Gen-gen yang
diketahui meningkatkan risiko kanker ovarium disebut gen kanker payudara 1
(BRCA1) dan gen kanker payudara 2 (BRCA2). Gen ini awalnya
diidentifikasi dalam keluarga dengan beberapa kasus kanker payudara, tapi
wanita dengan mutasi ini juga memiliki peningkatan risiko yang signifikan
dari kanker ovarium. Link genetik lain yang dikenal melibatkan sindrom
diwariskan turun-temurun disebut kanker kolorektal nonpolyposis (HNPCC).
Perempuan dalam keluarga HNPCC akan meningkatkan risiko kanker dinding
rahim (endometrium), usus besar, ovarium dan perut.
c. Penggunaan Terapi Hormon Sebelumnya
Sebuah studi kohort prospektif nasional lebih dari 10 tahun yang meliputi
seluruh wanita Denmark berusia 50-79 tahun menyimpulkan bahwa risiko
kanker ovarium meningkat dengan terapi hormone, terlepas dari durasi
penggunaan, formulasi, dosis esterogen, rejimen, jenis progestin, dan rute
administrasi. Hampir 1 juta wanita tanpa kanker sensitive hormone atau
oovorektomi bilateral mengikuti follow up, dalam kurun waktu 8 tahun 3068
kanker ovarium terdeteksi dimana 2681 diantaranya kanker epithelial.
Pengguna terapi hormone memiliki tingkat rasio insiden 1,38 dibandingkan
wanita yang tidak pernah menggunakan terapi hormone.

4. Patofisiologi
Secara historis, kebayakan teori patofisiologi kanker ovarium meliputi
konsep yang dimulai dengan dediferensiasi sel yang melapisi ovarium. Selama
ovulasi, sel-sel ini dapat masuk ke dalam ovarium, dimana kemudian mengalami
proliferasi. Namun, bukti baru menunjukkan  bahwa mayoritas tumor ini berasal
dari fimbria tuba falopi. Studi patofisiologis rinci telah mendorong beberapa
pemikiran mengenai asal tumor. Kanker ovarium biasanya menyebar ke
permukaan peritoneum dan omentum. Penyebaran dapat terjadi dengan ekstensi
lokal, invasi limfatik, implantasi intraperitoneal adalah karakteristik yang  paling
umum dan diakui dari kanker ovarium. Sel-sel ganas dapat tertanam dimana saja
di rongga peritoneum tetapi lebih mungkin untuk tertanam di situs statis
sepanjang sirkulasi cairan  peritoneal. Mekanisme penyebaran ini mewakili
pemikiran untuk melakukan bedah staging operasi debulking, dan administrasi
kemoterapi intraperitoneal. Sebaliknya, penyebaran hematogen tidak   biasa pada
stadium awal proses penyakit, meskipun tidak jarang terjadi pada pasien dengan
penyakit lanjut.
Tumor epitel mewakili histology yang paling umum (90%) dari tumor
ovarium. Histologi lain meliputi
- Sex cord stromal tumors
- Germ cell tumors
- Primary peritoneal carcinoma
- Metastatic tumors of the ovary
4.1 Karsinoma Epitel Ovarium
Kanker epitel ovarium diduga berasal dari epitel yang menutupi
fimbria dari saluran tuba, atau indung telur, yang keduanya berasal dari
epitel selom dalam perkembangan janin. Epitel selom ini juga terlibat
dalam pembentukan saluran mullerian yang berkembang menjadi tuba
falopi, uterus, cervix, dan vagina bagian atas. Empat subtype histologs
utama, yang mirip dengan karsinoma, timbul dalam lapisan epitel serviks,
uterus, dan tuba fallopi, sebagai berikut:
-Serous (Fallopian tube)
-Endometrioid (endometrium)
-Mucinous (cervix)
- Clear cell (mesonephros)
Beberapa variasi diamati dalam pola penyebaran dan distribusi
penyakit dalam berbagai subtype histologist. Tumor epitel ditemukan
sebagai lesi kistik dalam komponen solid. Permukaan dapat halus atau
tertutupi proyeksi papiler, dan kista berisi cairan mulai dari berwarna
jerami menjadi  buram coklat atau hemoragik. Kanker epitel ovarium yang
paling sering menyebar diawali dalam rongga peritoneum. Penyakit
metastasis sering ditemukan pada permukaan peritoneal, terutama pada
permukaan bawah diafragma, celah paracolic, kandung kemih, dan cul-de-
sac. Tempat lain yang cukup umum sebagai berikut
-Permukaan hati
-Mesenterikum dan serosa dari usus halus dan besar 
-Omentum
-Uterus
-Para-aorta dan nodus limfa pelvis
Di luar rongga peritoneum, kanker ovarium epitel dapat menyebar
ke celah pleura, paru-paru, dan getah bening pangkal paha. Kehadiran
efusi pleura tidak selalu menunjukkan penyakit di dada, dan keganasan
hanya dapat didiagnosis secara sitologi. Tumor mucinous cenderung
membentuk massa yang dominan besar, sementara tumor serosa papiler
memiliki distribusi yang lebih menyebar dan lebih sering bilateral.
Endometrioid dan jelas sel varian yang lebih umum menunjukkan invasi
lokal, penyakit retroperitoneal, dan metastasis hati.
Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa proporsi tinggi
bermutu tinggi karsinoma serosa  berasal dari distal epitel tuba fallopi atau
persimpangan tuboperitoneal daripada epitel  permukaan ovarium.
Intraepithelial serosa atau karsinoma invasif awal telah ditemukan pada
10% dari saluran tuba dari operator mutasi BRCA yang telah menjalani
profilaksis bilateral salpingo-ooforektomi. Secara klinis, molekul, dan
genetik studi, serta model vitro dan hewan,  juga telah mendukung
karsinoma ovarium serosa berasal dari tuba.

4.2 Malignant Germ Cell Tumor


Meliputi disgerminoma, tumor sinus endodermal, teratoma ganas,
karsinoma embrional, dan koriokarsinoma, diduga berasal dari sel
germinal primitif dalam gonad embrio. GCT ovarium lebih jarang
dibandingkan GCT dari testis pada laki-laki, dan banyak dari
pengembangan  pendekatan manajemen telah berdasarkan pengalaman
dengan GCT laki-laki. Karakteristik umum dari tumor ini termasuk
pertumbuhan yang cepat, kecenderungan untuk  menyebar limfatik, sering
terjadi percampuran jenis tumor, dan pola didominasi unilateral
keterlibatan ovarium -kecuali disgerminoma. GCT jauh lebih umum pada
wanita muda tapi kadang-kadang terjadi pada bayi dan wanita yang lebih
tua. Banyak GCT menghasilkan penanda tumor yang dapat diukur dalam
darah dan kemudian digunakan untuk memantau respon terhadap
pengobatan dan perawatan tindak lanjut. Tumor  sinus endodermal
mensekresikan alphafetoprotein dan koriokarsinoma, dan disgerminoma
sesekali mengeluarkan beta human chorionic gonadotropin (bHCG).
Disgerminoma bisa mengeluarkan dehidrogenase laktat dan plasenta alkali
fosfatase. Tidak ada faktor telah dibentuk terkait dengan etiologi, selain
dari peningkatan insiden terkait dengan gonad disgenetik.
4.3 Tumor Stroma sex-cord
Ini termasuk tumor yang timbul dari korda seks; sel granulosa; sel sertoli;
dan stroma khusus  genital ridge, teka, dan sel-sel leydig. Terdiri kurang
dari 5% dari semua tumor ovarium. Meskipun tumor sel granulosa yang
ganas dan tumor sel sertoli-leydig kurang begitu ganas, mereka
berperilaku dengan cara ganas jauh lebih sedikit daripada kanker epitel
ovarium. Tumor  jinak dalam kelompok termasuk thecoma dan fibroma.
Tumor sel granulosa dan tumor sel sertoli murni umumnya mensekresikan
estrogen, sedangkan tumor sel leydig dan dikombinasikan tumor sertoli-
leydig sering mengeluarkan androgen.
5. Tanda dan Gejala
Kanker ovarium stadium awal menyebabkan gejala yang minimal, nonspesifik
atau tanpa gejala. Pasien kanker ovarium dapat mengeluh merasakan massa pada
daerah abdomen. Kebanyakan kasus didiagnosa pada stadium lanjut. Kanker
ovarium epiteliat timbul dengan gejala yang luas dan tidak spesifik, termasuk
diantaranya
-Kembung; distensi abdomen atau ketidaknyamanan
-Efek penekanan pada kandung kemih dan rectum
-Sembelit
-Perdarahan vagina
-Gangguan pencernaan dan reflux asam lambung
-Sesak napas
-Kelelahan
-Penurunan berat badan
-Cepat merasa kenyang
Gejala independen terkait dengan adanya kanker ovarium meliputi nyeri panggul
dan perut,  peningkatan ukuran perut, kembung, kesulitan makan atau merasa
kenyang. Gejala yang  berhubungan dengan stadium yang lebih lanjut mencakup
gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, konstipasi, dan diare. Tanda yang
dapat ditemukan berupa pembengkakan kaki karena thrombosis vena walaupun
tidak umum ditemukan.
6. Diagnosis
Pedoman dari Society of Gynecologic Oncology and American Society of
Clinical Oncology merekomendasikan bahwa evaluasi klinis utama untuk kanker
ovarium menggunakan computed tomography (CT) scan perut dan panggul
dengan kontras oral dan intravena, dan pencitraan dada (lebih disarankan CT)
untuk mengevaluasi sejauh mana penyakit dan kelayakan reseksi bedah.
Guideline national comprehensive cancer network merekomendasikan x-ray dada
atau CT. Sesuai dengan indikasi klinis, dan USG atau CT abdomen/pelvis atau
magnetic resonance imaging (MRI) sesuai indikasi klinis. Positron emission
tomography PET/CT scan atau MRI dapat diindikasikan untuk lesi intermediate
jika hasil akan mengubah manajemen.
MRI dapat meningkatkan spesifitas evaluasi pencitraan dalam kasus
dimana penampilan USG lesi tak menentu. MRI tidak definitif, namun pada MRI,
kista endometriosis dengan nodul mral dapat ditemukan sebagai cirri khas dari
kanker ovarium, tetapi dapat juga mungkin fitu neoplasma jinak dan bahkan
penyakit inflamasi. Nodul luas yang ditingkatkan dengan kontras  pada kista
endometriosis luas pada pasien usia lanjut lebih mungkin merujuk pada
keganasan. Ultrasonografi merupakan pemeriksaan awal yang paling berguna
pada pasien yang ditemukan memiliki massa panggul. Hal ini dapat menentukan
morfologi tumor panggul. Selain itu, dapat menentukan apakah terdapat massa
lain yang terdapat dalam abdomen, termasuk liver. Radiografi dada dilakukan
secara rutin, karena berguna dalam membantu menyingkirkan  penyebaran paru
dari penyakit ganas ovarium. CT scan dada jarang diindikasikan. Keuntungan
utama menggunakan MRI dalam mengevaluasi massa ovarium adalah
kemampuan untuk  menggunakan modalitas ini dalam karakterisasi jaringan.
Kehadiran lemak, perdarahan, mucin, cairan, dan jaringan yang solid dalam massa
ovarium dapat ditentukan dengan bantuan MRI. Kemampuan untuk
mengkarakterisasi jaringan dengan cara ini adalah yang paling berguna dalam
menentukkan apakah massa pasti jinak
Pada penderita dengan kanker epitel ovarium stadium I-III, pemeriksaan
radiologi memiliki keterbatasan. Asites dapat mudah terdeteksi tetapi metastase
omental yang besar dapat tidak  terlihat pada pemeriksaan CT scan. Nilai false
negatif pemeriksaan CT scan sebesar 45%. Pada sebuah penelitian yang
menyatakan bahwa CT scan memiliki sensitifitas 90% dan spesifisitas 85% dalam
mendeteksi kanker ovarium recurrent, dan sepertinya dapat berguna dalam
mendiagnosis kanker ovarium recurrent jika hasil CA125 mengalami
peningkatan. Kriteria yang digunakan dalam menilai respon terapi adalah
berdasarkan kriteria Response Evaluation Criteria in Solid Tumours (RECIST)
yang pertama kali dipublikasi pada tahun 2000. Kunci penting dari kriteria
RECIST ini adalah definisi ukuran maksimum massa yang dapat terukur,
instrtuksi  berapa banyak lesi yang diikuti, penggunaan pengukuran unidimensi
dan langkah evaluasi seluruh massa tumor
Pengukuran menurut kriteria RECIST melalui seluruh pengukuran harus
dicatat dalam notasi metrik,jika dinilai berdasarkan klinis maka digunakan
kaliper. Seluruh pengukuran awal dilakukan sedekat mungkin dengan dimulainya
terapi dan dengan jarak tidak lebih 4 minggu dengan dimulainya terapi. Harus
digunakan metode penilaian dan teknik yang sama dalam mengidentifikasi dan
melaporkan lesi pada penilaian awal dan follow up. Evaluasi berbasis imaging
harus dilakukan dibandingkan dengan pemeriksaan klinis,kecuali pada pada lesi
yang  pada imaging tidak dapat dinilai tetapi dapat dinilai dengan pemeriksaan
klinis. Beberapa  pemeriksaan bebrbasis imaging yang dapat digunakan adalah
pemeriksaan CT scan dan MRI. CT scan merupakan pemeriksaan yang tersedia
secara luas, dapat diproduksi ulang dalam mengukur besarnya lesi sebagai
penilaian respon terhadap terapi. Panduan ini mendefinisikan lesi berdasarkan CT
scan, dengan asumsi bahwa ketebalan potongan CT 5 mm atau kurang.
Pemeriksaan dengan menggunakan ultrasound tidak dapat digunakan
sebagai metode penilaian, hal ini disebabkan hasil pemeriksaan ultrasonografi ini
sangat bergantung pada kemampuan operator sehingga kesamaan teknik
pengukuran tidak mungkin menggambarkan hasil yang sama  jika diambil dari
operator yang berbeda.
Penggunaan tumor marker secara tunggal juga tidak dapat digunakan dalam
menilai respon  penilaian. Jika tumor marker pada awal terapi diatas normal,maka
pada pasien dengan complete respon harus menunjukkan kadar tumor marker
yang normal. CA 125 tidak dapat digunakan secara tunggal dalam memonitor
kanker ovarium karena keterbatasannya pada kadar yang dapat  berubah-ubah
seperti pada laparotomi atau peritonitis. Serta adanya kemungkinan variasi hasil
pemeriksaan diantara beberapa laboratorium yang berbeda-beda.
Berikut adalah kriteria respon menurut RECIST. Complete Response
(CR) adalah hilangnya seluruh target lesi. Terjadinya reduksi seluruh kelenjar
limfe patologi (baik target atau tidak) pada axis pendek sampai <10 mm. Partial
response (PR) adalah berkurangnya jumlah diameter target lesi sedikitnya 30%,
dengan referensi total diameter pada pengukuran awal. Progressive disease (PD)
terjadinya peningkatan diameter total lesi target setidaknya 20% dan
menunjukkan  peningkatan absolut massa setidaknya 5 mm , dengan referensi
total diameter pada pengukuran awal. Stable disease (SD) berkurangnya ukuran
masa yang tidak cukup untuk masuk dalam kriteria partial respon atau
peningkatan massa yang tidak cukup untuk masuk dalam kriteria  progressive
disease dengan mengambil diameter jumlah terkecil sebagai referensi pada
penelitian.
7. Stadium
Stadium I
Pertumbuhan terbatas pada ovarium
Stadium Ia : pertumbuhan terbatas pada satu ovarium, kapsul tumor utuh, tidak
ada  pertumbuhan di permukaan ovarium, tidak ada sel tumor cairan asites
ataupun pada bilasan cairan di rongga peritonium
Stadium Ib : pertumbuhan terbatas pada kedua ovarium, tidak ada pertumbuhan di
permukaan ovarium, tidak ada sel tumor cairan asites ataupun pada bilasan cairan
di rongga peritonium
Stadium Ic : tumor terbatas pada satu atau dua dengan salah satu factor dari
kapsul tumor   pecah, pertumbuhan tumor pada permukaan kapsul, ditemukan sel
tumor ganas pada cairan asite maupun bilasan rongga peritoneum.

Stadium II
Pertumbuhan pada satu atau kedua ovarium dengan perluasan ke panggul. 
Stadium IIa : perluasan dan/atau metastasis ke uterus dan/atau tuba.
Stadium IIb : perluasan ke jaringan pelvis lainnya
Stadium IIc : tumor stadium IIa dan IIb tetapi dengan tumor pada permukaan satu
atau kedua ovarium, kapsul pecah, atau dengan asites yang mengandung sel ganas
atau  bilasan peritoneum positif.

Stadium III
Tumor mengenai satu atau kedua ovarium dengan implantasi di peritoneum di
luar pelvis dan/atau KGB retroperitoneal atau ingunal positif. Metastasis
permukaan liver masuk stadium III. Tumor terbatas dalam pelvis kecil, tetapi
secara histologik terbukti meluas ke usus besar atau omentum. 
Stadium IIIa : tumor terbatas di pelvis kecil dengan kelenjar getah bening negatif
tetapi secara histologik dan dikonfirmasi secara mikroskopik adanya pertumbuhan
di  permukaan peritoneum abdominal.
Stadium IIIb : tumor mengenai satu atau kedua ovarium dengan implantasi di
permukaan  peritoneum dan terbukti secara mikroskopik, diameter tidak melebihi
2 cm, dan kelenjar getah bening negatif.
Stadium IIIc : implantasi di abdomen >2 cm dan/atau kelenjar detah bening
retroperitoneal atau inguinal positif.

Stadium IV
Pertumbuhan mengenai satu atau kedua ovarium dengan metastasis jauh. Bila
efusi pleura dan hasil sitologinya positif dimasukkan dalam stadium IV. Begitu
juga metastasis parenkim hati.

8. Tatalaksana
Penatalaksaan kanker ovarium sangat ditentukan oleh stadium, derajat
diferensiasi, fertilitas, dan keadaan umum penderita. Pengobatan utama adalah
pengankatan tumor primer dan metastasisnya, dan bila perlu diberikan terapi
adjuvant seperti kemoterapi, radioterapi, imunoterapi dan terapi hormone.
- Operasi Sitoreduksi
Ada dua teknik sitoreduksi yaitu:
a. Sitoreduksi konvensional
Teknik ini adalah teknik yang biasa dilakukan, yaitu operasi yang
bertujuan untuk  menbuang masa tumor sebanyak mungkin dengan
menggunakan alat operasi yang lazim dipakai. Dengan operasi ini
keberhasilan mereduksi tumor dibedakan atas 2 golongan yaitu:
• Optional debulking : jika diameter sisa tumor setelah operasi kurang
dari 2 cm
• Suboptional debulking : jika masa tumor sisa lebih dari 2 cm
Griffith dan kawan-kawan menyatakan bahwa terdapat hubungan
terbalik antara survival dengan residu tumor. Pasien dengan optional
debulking memilki survival yang lebih baik yaitu dengan mean-
survival 39 bulan, sedang pasien dengan suboptional debulking adalah
17 bulan dan tidak ada yang hidup lebih dari 26 bulan
b. Teknik baru:
• Argon Beam Coagulator 
• Cavitron ultrasonic surgical aspirator (CUSA)
• Teknik laser 
- Kemoterapi
Sejak tahun 1980 kemoterapi dengan cysplatin-based telah dipakai
untuk pengobatan kanker  ovarium stadium lanjut. Kemudian, karboplatin,
generasi kedua golongan platinum, yang mempunyai pengaruh sama
terhadap kanker ovarium tetapi kurang toksis terhadap system saraf dan
ginjal, kurang menimbulkan nausea, dipakai pula untuk kemoterapi
adjuvant, meskipun lebih toksis terhadap sum-sum tulang. Untuk stadium
I atau lanjut dapat diberikan kemoterapi tunggal atau kombinasi.
Penelitian GOG III oleh McGuire dan kawan-kawan pada kasus dengan
suboptimal debulking  memperlihat bahwa pemberian 6 siklus kombinasi
sisplatin (75 mg/m2) dan paklitaksel (135 mg/m2) memberikan hasil yang
lebih baik daripada kombinasi sisplatin (75 mg/m2) dan siklofosfamid
(600 mg/m2).
Kemoterapi kombinasi yang mengandung paklitaksel mengurangi
mortalitas sebanyak 36%. Data dari penelitian GOG III ini diperkuat oleh
penelitian gabungan dari EORTC (European Organigation for the Reseach
and Treatment of Cancer, NOCOVA (Nordic Ovarian Cancer Study
Group) dan NCIC (National Cancer Institute of Canada) pada  penderita
dengan optimal debulking dan suboptimal debulking. Pada penelitian ini
kelompok  yang mendapat terapi kombinasi dengan paklitaksel,
memberikan perbaikan yang signifikan  pada  progression free survival
dan overall survival  baik pada kelompok penderita dengan optimal
debulking  maupun pada kelompok penderita dengan suboptimal
debulking. Penelitian GOG 158 membandingkan efektivitas terapi
kombinasi karboplatin AUC 7,5 dan  paklitaksel 175/m2  dengan
kombinasi sisplatin 75 mg/m2  dan paklitaksel 135 mg/m2 . Penelitian ini
menghasilkan angka survival yang sama tetapi toksisitas kemoterapi pada
kelompok yang mendapat karboplatin lebih ringan dari kelompok yang
mendapat sisplatin. Toksisitas gastrointestinal dan neurotoksisitas dari
kelompok yang mendapat karboplatin lebih ringan daripada yang
mendapat sisplatin. Berdasarkan penelitian-penelitian diatas, protokol
kemoterapi yang dianjurkan untuk kanker  ovarium stadium lanjut adalah
kombinasi paklitaksel dan karboplatin.
- Radioterapi
Radiasi seluruh abdomen atau intaperitoneal radiokoloid dapat
menjadi terapi alternatif  pengganti kemoterapi kombinasi pada kasus-
kasus tertentu kanker ovarium stadium rendah. Dari  beberapa penelitian
oleh GOG dan penelitian multisenter di Italia disimpulkan bahwa
pemberian kemoterapi intraperitoneal radiokoloid 32p bila dibandingkan
dengan kemoterapi melfalan, memberikan  survival yang tidak berbeda.
Akan tetapi,  platimun based chemotherapy memberikan 84% disease free
survival, sedangkan intraperitoneal radiokoloid 32p memberikan disease
free survival 16% (p<0,01). Oleh karena itu, disimpulkan bahwa  platimun
based  chemotherapy dianjurkan untuk digunakan pada terapi kanker
ovarium stadium rendah. Radiasi seluruh abdomen juga tidak bermanfaat
pada kanker ovarium stadium rendah sehingga dianjurkan untuk tidak
digunakan lagi.
- Terapi biologi dan imunologi
Konsep dasar terapi biologi dan imunologi adalah dengan
meningkatkan respons imunologi, maka akan terjadi regresi tumor.
Pemakaian gamma interferon dengan sisplatin dan siklofosfamid
tampaknya bermanfaat. Penelitian penggunaan gamma interferon pada
kemoterapi kombinasi karboplatin dan paklitaksel saat ini sedang
berlangsung. Begitu juga penggunaan antibody monoclonal seperti
herseptin her-2/neu sudah dilakukan oleh GOG dan ternyata responnya
rendah.
Pertumbuhan tumor padat untuk menjadi besar dari 1 mm ,
membutuhkan neovaskularisasi.  Neovaskularisasi ini juga kelak dapat
menjadi jalur perjalanan metastasis sel kanker. Angiogenesis ini terutama
dipicu oleh vascular endothelial growth factor (VEGF). Dengan terjadinya
angiogenesis, akan terjadi pertumbuhan progresif tumor, metastasis, dan
terjadinya rekurensi. Penggunaan obat antiangiogenesis tampaknya
member harapan. Pada saat ini sudah ditemukan antibody monoclonal
yang menghambat reseptor VEGF yaitu anti VEGT (bevasizumab).
Dengan terhambatnya angiogenesis, pertumbuhan tumor akan terhambat
dan akhirnya akan terjadi regresi tumor.

DAFTAR PUSTAKA
Norwit H, Errol dan Schorge, John, 2007. At a Glance Obstetri &
Ginekologi Edisi kedua. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Surveillance, Epidemiology, and End Results Program.2017. SEER Stat


Fact Sheets: Ovary Cancer. National Cancer Institute. Available at
http://seer.cancer.gov/statfacts/html/ovary/html

American Cancer Society. Cancer Facts & Figures 2016. American


Cancer Society. Available at
http://www.cancer.org/acs/groups/content/@research/documents/documen
t/acspc047079.pdf

Prawirohardjo. S, Wijknjosastro. H, Sumapraja. S, Saifuddin AB. Ilmu


Kandungan. Edisi ketiga. Jakarta:PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.2011.h.307-11
Kista Dermoid
1. Definisi
Kista dermoid adalah satu teratoma yang jinak di mana struktur-
struktur ektodermal dengan differensiasi sempurna, seperti epitel kulit,
rambut, gigi dan produk glandula sebasea berwarna putih kuning
menyerupai lemak nampak lebih menonjol daripada elemen-elemen
entoderm dan mesoderm.
Kista dermoid merupakan suatu massa kistik yang dilapisi oleh
epitel gepeng disertai adanya struktur adneksa seperti kelenjar sebasea,
rambut, folikel rambut, serta struktur lain seperti tulang, otot, dan
kartilago. Kista dermoid dapat bersifat kongenital atau didapat,
walaupun secara klinis dan histopatologis tidak terdapat perbedaan
diantara keduanya.
Pada tahun 1955, Meyer mengemukakan konsep bahwa secara
histologis terdapat 3 varian kista dermoid yaitu kista epidermoid,
kista dermoid dan teratoid. Pada jenis epidermoid, kista dilapisi
oleh epitel gepeng tanpa disertai adneksa. Sedangkan pada kista
dermoid, selain dilapisi oleh epitel gepeng, juga disertai adneksa
seperti rambut, folikel rambut dan kelenjar sebasea. Pada teratoid,
selain epitel berlapis gepeng dan adneksa, juga ditemukan
adanya elemen mesoderm seperti otot, tulang, dan kartilago.
Kista dermoid sama halnya dengan kista mosinosum yang
dibutuhkan kehati-hatian pada ibu hamil. Hal ini dikarenakan jika kista
tersebut meletus akan mengeluarkan cairan lengket dan isi cairan
tersebut akan masuk ke dalam perut dan bisa mengakibatkan rasa sakit
yang luar biasa.
Kista dermoid terjadi karena jaringan telur tidak dibuahi.
Kemudian tumbuh menjadi beberapa jaringan seperti rambut, tulang
dan lemak. Kista ini dapat terjadi pada dua indung telur dan biasanya
tanpa gejala. Timbul gejala rasa sakit apabila kista terpuntir atau
pecah.
Ciri-ciri yang khas pada kista dermoid:
-Dinding kista kelihatan putih keabu-abuan, dan agak tipis.
-Konsistensi tumor sebagian kistik kenyal, dibagian lain padat.
-Sepintas lalu terlihat seperti kista berongga satu, tetapi bila
dibelah, biasanya nampak satu kista besar dengan ruangan kecil-
kecil dalam dindingnya.
-Pada umunya terdapat satu daerah pada dinding bagian dalam,
yang menonjol dan padat.
-Tumor mengandung elemen-elemen ektodermal, mesodermal, dan
entodermal. Maka dapat ditemukan kulit, rambut, kelenjar sebase,
gigi, tulang rawan, serat otot jaringan ikat, dan mukosa traktus
gastrointestinal, epitel saluran pernapasan, dan jaringan tiroid.
-Bahan yang terdapat dalam rongga kista ialah produk dari kelenjar
sebasea berupa massa lembek sperti lemak, bercampur dengan
rambut.
-Pada kista dermoid dapat terjadi torsi tangkai dengan gejala nyeri
mendadak di perut bagian bawah. Ada kemungkinan pula
terjadinya sobekan dinding kista dengan akibat pengeluaran isi
kista dalam rongga peritoneum.

2. Epidemiologi
Kista dermoid adalah sejenis tumor sel germ. Kista ini bersifat
jinak dan jumlahnya sekitar 10%. Pada umumnya kista dermoid terjadi
pada wanita yang berusia dibawah 20 tahun. Hampir 85% teratoma
matur terdapat pada wanita usia 16-55 tahun, dengan rata-rata umur
32-35 tahun. Angka kejadian kista dermoid adalah sekitar 25-40% dari
neoplasma ovarium dan 95% dari semua teratoma ovarium. Sering
timbul pada dekade kedua dan ketiga. Usia paska menopause berkisar
10-20%. Di Indonesia frekuensi berkisar antara 11,1% sampai 16,9%.
Resiko transformasi maligna dijumpai pada 1-2% kasus dan pada
umumnya terjadi pada wanita paska menopause.

3. Etiologi
Penyebabnya saat ini belum diketahui secara pasti. Namun ada
salah satu pencetusnya yaitu faktor hormonal, kemungkinan faktor
resiko yaitu:
1. Faktor genetik/ mempunyai riwayat keluarga dengan kanker
ovarium dan payudara.
2. Faktor lingkungan (polutan zat radio aktif)
3. Gaya hidup yang tidak sehat
4. Ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron, misalnya
akibat penggunaan obat-obatan yang merangsang ovulasi dan obat
pelangsing tubuh yang bersifat diuretik.
5. Kebiasaan menggunakan bedak tabur di daerah vagina.
Kista ini diduga berasal dari sel telur melalui proses
parthenogenesis. Kista ini terjadi karena jaringan dalam telur yang
tidak dibuahi. Perkembangan tidak sempurna dari hasil konsepsi pada
akhir stadium blastomer. Tumor berasal dari perkembangan ovum
tanpa fertilisasi yang oleh pengaruh faktor rangsang yang tidak
diketahui kemudian membentuk bermacam macam komponen jaringan
janin yang tidak sempurna, seperti rambut, tulang dan lemak. Kista
dapat terjadi pada dua indung telur dan biasanya tanpa gejala. Timbul
gejala rasa sakit apabila kista terpuntir atau pecah.

4. Gambaran Klinis
Gambaran klinis adalah nyeri mendadak di perut bagian bawah
karena torsi tangkai kista dermoid. Dinding kista dapat ruptur sehingga
isi kista keluar di rongga peritoneum. Bentuk cairan ini seperti
mentega, kandunganya tidak hanya cairan tapi juga partikel lain seperti
rambut, gigi, tulang atau sisa-sisa kulit. Seperti kista mosinosum juga
sama dengan kista dermoid memerlukan hati-hati pada ibu hamil
karena bila meletus akan mengakibatkan cairan lengket isi cairanya
seperti rambut, gigi atau tulang bisa masuk perut akan mengakibatkan
dan menimbulkan sakit luar biasa.
Gejala kista dermoid yang sering timbul, yakni :
1. Adanya massa tumor
2. Nyeri pada perut
3. Gangguan miksi
4. Nyeri pada punggung

Makroskopis kista dermoid adalah kista dengan permukaan luar


licin, warna putih keabuan dan agak tipis. Konsitensi tumor sebagian
kistik, kenyal dan dibagian lain padat. Kista dermoid kelihatan seperti
kista berongga satu, tapi bila dibelah biasanya nampak suatu kista
besar dengan ruangan kecil kecil dalam dindingnya.
a. Ektodermal : kulit, rambut, kelenjar sebasea, gigi
b. Mesodermal : tulang rawan , serat otot , jaringan ikat
c. Endodermal : mukosa traktus gastrointestinal , epitel saluran nafas
dan jaringan tiroid
Dalam rongga kista sering dijumpai produk dari kelenjar sebasea
berupa masa lembek seperti lemak bercampur dengan rambut. Rambut
ini terdapat beberapa lembar saja, tetapi dapat berupa gelondongan
seperti konde. Teratoma jinak ini dapat terapung di dalam rongga
abdomen dan dengan tangkai ovarium yang memanjang menyebabkan
dapat terletak di depan dan kadang diatas uterus.
5. Diagnosis
5.1 Anamnesis
Pada anamnesa rasa sakit atau tidak nyaman pada perut
bagian bawah. Rasa sakit tersebut akan bertambah jika kista
tersebut terpuntir atau terjadi ruptur. Terdapat juga rasa penuh di
perut. Tekanan terhadap alat-alat di sekitarnya dapat menyebabkan
rasa tidak nyaman, gangguan miksi dan defekasi. Dapat terjadi
penekanan terhadap kandung kemih sehingga menyebabkan
frekuensi berkemih menjadi sering.
5.2 Pemeriksaan fisik
Kista yang besar dapat teraba dalam palpasi abdomen.
Walau pada wanita premonopause yang kurus dapat teraba
ovarium normal tetapi hal ini adalah abnormal jika terdapat pada
wanita postmenopause. Perabaan menjadi sulit pada pasien yang
gemuk. Teraba massa yang kistik, mobile, permukaan massa
umumnya rata. Cervix dan uterus dapat terdorong pada satu sisi.
Dapat juga teraba, massa lain, termasuk fibroid dan nodul pada
ligamentum uterosakral, ini merupakan keganasan atau
endometriosis. Padaperkusi mungkin didapatkan ascites yang pasif.
5.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Laparaskopi
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengetahui apakah
sebuah tumor berasal dari ovarium atau tidak, dan untuk
menentukan silat-sifat tumor itu.
b. Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan letak dan batas
tumor apakah tumor berasal dari uterus, ovarium, atau kandung
kencing, apakah tumor kistik atau solid, dan dapatkah
dibedakan pula antara cairan dalam rongga perut yang bebas
dan yang tidak.
c. Foto Rontgen
Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan adanya
hidrotoraks. Selanjutnya, pada kista dermoid kadang-kadang
dapat dilihat gigi dalam tumor. Penggunaan foto rontgen pada
pictogram intravena dan pemasukan bubur barium dalam colon
disebut di atas.
d. Parasentesis
Telah disebut bahwa fungsi pada asites berguna
menentukan sebab asites. Perlu diingatkan bahwa tindakan
tersebut dapat mencemarkan cavum peritonei dengan kista bila
dinding kista tertusuk.

Kista dermoid memiliki gambaran masa kistik berisi focus


dan material ekogenik dimana distribusinya tidak merata atau
gambaran sebuah area dengan ekogenik kuat berasal dari
jaringan tulang dan gigi. Proses penulangan dan gigi dapat juga
dilihat melalui pemeriksaan radiologis.

6. Tatalaksana
Tindakan laparoskopi atau laparotomi merupakan pilihan
penanganan untuk kista dermoid, namun harus dipertimbangkan
keuntungan dan kerugiannya. Beberapa peneliti menyebutkan tindakan
laparoskopi dapat menyebabkan terjadi tumor spill dan bisa
menyebabkan peritonitis 0,2% serta meningkatkan terjadinya
perlengketan. Resiko terjadi rekurensi 4% dan resiko keganasan
sekitar 0,17%-2%. Pada kista dermoid >6 cm atau ada riwayat
pembedahan dengan sangkaan perlengketan maka laparotomi
merupakan pilihan terbaik. Kistektomi dengan meninggalkan jaringan
ovarium yang sehat bagi pasien yang masih ingin mempertahankan
fungsi reproduksinya. Ooforektomi bila memang tidak memungkinkan
mempertahankan jaringan ovarium atau fungsi reproduksi tidak
diperlukan atau pasien mendekati usia menopause.
Pada kehamilan dengan teratoma matur, penanganan sebaiknya
dilihat dari ukuran kista tersebut serta usia kehamilan. Pada kehamilan
kemungkinan terjadi torsi kista sebesar 19%, ruptur atau pecahnya
kista teratoma sekitar 3%, 14% menimbulkan obstruksi. Kemungkinan
terjadi keganasan sekitar 5%. Beberapa peneliti merekomendasikan
bila besar tumor lebih dari 6cm dan usia kehamilan 16 minggu, maka
sebaiknya tindakan laparoskopi lebih aman dilakukan dibandingkan
dengan tindakan laparotomi, bahkan pada satu penelitian menyebutkan
bisa terjadi abortus spontan serta kemungkinan terjadi peningkatan
persalinan preterm.
Sedangkan penanganan kista dermoid pada anak-anak yaitu
dengan cara tradisional (ooforektomi) dan laparotomi. Pada usia
dewasa penanganannya laparoskopi-kistektomi. Sedangkan untuk
kasus kista yang ukurannya lebih besar dan dicurigai ada keganasan,
maka pendekatan lebih kepada tindakan laparotomi.

DAFTAR PUSTAKA
Katz VL. Benign Gynecologic Lesions : Vulva, Vagina, Cervix,
Uterus, Oviduct, Ovary. In: Katz VL, Lentz GM, Lobo RA,
Gershenson DM, editors. Comprehensive Gynecology. 5th ed.
Philadelphia; Elsevier: 2007

DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. Current Diagnosis


& Treatment Obstetrics & Gynecology. 10th ed. New York: McGraw-
Hill; 2007.

Sastrawinata, Sulaiman. dkk. 2004. Ilmu Kesehatan Reproduksi:


Obstetri Patologi.Edisi 2. Jakarta: EGC

Sindroma ovarium polikistik. Hadibroto, Budi R. Departemen Ostetri


dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2005

Moeloek FA, Nuranna L, Wibowo N, Purbadi S. Standar Pelayanan


Medik Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia; 2008

Wiknjosastro, H. 2007. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-9. Jakarta: Yayasan


BinaPustaka Sarwono Prawirohardjo.

Kista Ovarium
1. Definisi
Kista adalah pertumbuhan berupa kantung (pocket, pouch) yang tumbuh dibagian
tubuh tertentu. Kista ovarium adalah suatu kantung yang berisi cairan atau materi
semisolid yang tumbuh dalam ovarium.
2. Jenis kista
Berdasarkan tingkat keganasannya, kista dibedakan menjadi dua macam, yaitu
kista non-neoplastik dan kista neoplastik.
2.1 Kista ovarium non neoplastik
a. Kista folikel
Kista ini berasal dari folikel de graaf yang tidak sampai berovulasi,
namun tumbuh terus menjadi kista folikel. Bisa didapatkan satu kista atau
beberapa dan besarnya biasanya berdiameter 1-1 ½cm.
Dalam menangani tumor ovarium, timbul persoalan apakah tumor
yang dihadapi itu neoplasma atau kista folikel. Umumnya jika diameter
tumor tidak lebih dari 5 cm, dapat di tunggu dahulu karena kista folikel
dalam 2 bulan akan hilang sendiri.
Kista folikuler secara tipikal kecil dan timbul dari folikel yang
tidak sampai saat menopause, sekresinya akan terlalu banyak mengandung
estrogen sebagai respon terhadap hipersekresi FSH ( folikel stimulating
hormone) dan LH (luteinizing hormone) normalnya ditemui saat
menopause berdiameter 1 -10 cm (folikel normal berukuran limit 2,5 cm);
berasal dari folikel ovarium yang gagal mengalami involusi. Dapat
multipel dan bilateral. Biasanya asimtomatik.
b. Kista korpus lutein
Dalam keadaan normal korpus luteum lambat laun mengecil dan
menjadi korpus albikans. Kadang-kadang korpus luteum akan
mempertahankan diri (korpus luteum persisten); perdarahan yang terjadi di
dalamnya akan menyebabkan kista, berisi cairan berwarna merah coklat
karena darah tua.
Pada pembelahan ovarium kista korpus luteum memberi gambaran
yang khas. Dinding kista terdiri atas lapisan berwarna kuning, terdiri atas
sel-sel luteum yang berasal dari sel-sel teka.
Penanganan kista luteum ini menunggu sampai kista hilang sendiri.
Dalam hal ini dilakukan operasi atas dugaan kehamilan ektopik terganggu,
kista korpus luteum diangkat tanpa mengorbankan ovarium.
c. Kista teka lutein
Kista biasanya bilateral dan sebesar tinju. Pada pemeriksaan
mikroskopik terlihat luteinisasi sel-sel teka. Tumbuhnya kista ini ialah
akibat pengaruh hormone koriogonadrotropin yang berlebihan.
Kista granulosa lutein yang terjadi di dalam korpus luteum indung
telur yang fungsional dan membesar bukan karena tumor, disebabkan oleh
penimbunan darah yang berlebihan saat fase pendarahan dari siklus
menstruasi.
Kista teka-lutein biasanya berisi cairan bening, berwarna seperti
jerami; biasanya berhubungan dengan tipe lain dari pertumbuhan indung
telur, serta terapi hormon.
d. Kista inklusi germinal
Terjadi karena invaginasi dan isolasi bagian - bagian terkecil dari
epitel germinativum pada permukaan ovarium. Biasanya terjadi pada
wanita usia lanjut dan besarnya jarang melebihi 1 cm. Kista terletak di
bawah permukaan ovarium dan isinya cairan jernih dan serous.
e. Kista endometrium
Kista ini merupakan endometriosis yang berlokasi di ovarium.
2.2 Neoplastik jinak
1. Kistik:
a. Kistoma ovari simpleks
Kista ini mempunyai permukaan yang rata dan halus, biasanya
bertangkai, seringkali bilateral dan dapat menjadi besar. Dinding kista
tipis dan cairan di dalam kista jernih, serous dan berwarna kuning.
Terapinya terdiri atas pengangkatan kista dengan reseksi ovarium,
akan tetapi jarinngan yang dikeluarkan harus segera diperiksa secara
histologik untuk mengetahui apakah ada keganasan.
b. Kistadenoma ovarii serosum
Berasal dari epitel permukaan ovarium, umumnya jenis ini tak
mencapai ukuran yang sangat besar, di bandingkan dengan
kistadenoma muscinosum. Pertumbuhan menjadi ganas apabila di
temukan pertumbuhan papilifer, proliferasi dan stratifikasi epitel, serta
anaplasia dan mitosis pada sel-sel. Secara mikroskopik di golongkan
dalam kelompok tumor ganas.
c. Kistadenoma ovarii musinosum
Asal tumor belum diketahui dengan pasti. Menurut meyer, berasal
dari teratoma dimana di dalam pertumbuhannya satu elemen
mengalahkan elemen-elemen lain. Umumnya berbentuk multilokuler,
ukurannya dapat mencapai ukuran yang amat besar.
d. Kista endometroid
Terjadi karena lapisan didalam rahim (yang biasanya terlepas
sewaktu haid dan terlihat keluar dari kemaluan seperti darah); tidak
terletak dalam rahim tetapi melekat pada dinding luar ovarium. Akibat
peristiwa ini setiap kali haid, lapisan tersebut menghasilkan darah haid
yang akan terus menerus tertimbun dan menjadi kista. Kista ini bisa 1
pada dua indung telur. Timbul gejala utama yaitu rasa sakit terutama
sewaktu haid/ sexual intercourse.

e. Kista dermoid
Terjadi karena jaringan dalam telur yang tidak dibuahi kemudian
tumbuh menjadi beberapa jaringan seperti rambut, tulang, lemak. Kista
dapat terjadi pada kedua indung telur dan biasanya tanpa gejala.
Timbul gejala rasa sakit bila kista terpuntir/ pecah.

2. Solid
Semua tumor ovarium yang padat adalah neoplasma. Akan tetapi,
ini tidak berarti bahwa termasuk suatu neoplasma yang ganas, meskipun
semuanya berpotensi maligna. Potensi menjadi ganas sangat berbeda pada
berbagai jenis yaitu:
- Fibroma
- Leiomioma
- Fibroadenoma
- Papiloma
- Angioma
- Limfangioma
- Tumor brenner

3. Etiologi dan Faktor Resiko


Penyebab terjadinya kista ovarium yaitu terjadinya gangguan
pembentukan hormon pada hipotalamus, hipofise, atau ovarium itu
sendiri. Kista ovarium timbul dari folikel yang tidak berfungsi selama
siklus menstruasi.
Faktor resiko terjadinya kista ovarium:
- Riwayat kista ovarium sebelumnya
- Siklus menstruasi yang tidak teratur
- Meningkatnya distribusi lemak tubuh bagian atas
- Menstruasi dini
- Tingkat kesuburan

4. Patofisiologi
Setiap hari, ovarium normal akan membentuk beberapa kista kecil
yang disebut Folikel de Graaf. Pada pertengahan siklus, folikel dominan
dengan diameter lebih dari 2.8 cm akan melepaskan oosit mature. Folikel
yang ruptur akan menjadi korpus luteum, yang pada saat matang memiliki
struktur 1,5 – 2 cm dengan kista ditengah-tengah. Bila tidak terjadi
fertilisasi pada oosit, korpus luteum akan mengalami fibrosis dan
pengerutan secara progresif. Namun bila terjadi fertilisasi, korpus luteum
mula-mula akan membesar kemudian secara bertahap akan mengecil
selama kehamilan. Kista ovari yang berasal dari proses ovulasi normal
disebut kista fungsional dan selalu jinak. Kista dapat berupa folikular dan
luteal yang kadang-kadang disebut kista theca-lutein. Kista tersebut dapat
distimulasi oleh gonadotropin, termasuk FSH dan HCG.
Kista fungsional multiple dapat terbentuk karena stimulasi
gonadotropin atau sensitivitas terhadap gonadotropin yang berlebih. Pada
neoplasia tropoblastik gestasional (hydatidiform mole dan
choriocarcinoma) dan kadang-kadang pada kehamilan multiple dengan
diabetes, hcg menyebabkan kondisi yang disebut hiperreaktif lutein.
Pasien dalam terapi infertilitas, induksi ovulasi dengan menggunakan
gonadotropin (FSH dan LH) atau terkadang clomiphene citrate, dapat
menyebabkan sindrom hiperstimulasi ovari, terutama bila disertai dengan
pemberian HCG.
Kista neoplastik dapat tumbuh dari proliferasi sel yang berlebih
dan tidak terkontrol dalam ovarium serta dapat bersifat ganas atau jinak.
Neoplasia yang ganas dapat berasal dari semua jenis sel dan jaringan
ovarium. Sejauh ini, keganasan paling sering berasal dari epitel
permukaan (mesotelium) dan sebagian besar lesi kistik parsial. Jenis kista
jinak yang serupa dengan keganasan ini adalah kistadenoma serosa dan
mucinous. Tumor ovari ganas yang lain dapat terdiri dari area kistik,
termasuk jenis ini adalah tumor sel granulosa dari sex cord sel dan germ
cel tumor dari germ sel primordial. Teratoma berasal dari tumor germ sel
yang berisi elemen dari 3 lapisan germinal embrional; ektodermal,
endodermal, dan mesodermal. Endometrioma adalah kista berisi darah dari
endometrium ektopik. Pada sindroma ovari pilokistik, ovarium biasanya
terdiri folikel-folikel dengan multipel kistik berdiameter 2-5 mm, seperti
terlihat dalam sonogram.
5. Tanda dan Gejala
Kebanyakan wanita dengan kanker ovarium tidak menimbulkan
gejala dalam waktu yang lama. Gejala umumnya sangat bervariasi dan
tidak spesifik.
Pada stadium awal gejalanya dapat berupa:
- Gangguan haid
- Jika sudah menekan rectum atau VU mungkin terjadi konstipasi atau
sering berkemih.
- Dapat terjadi peregangan atau penekanan daerah panggul yang
menyebabkan nyeri spontan dan sakit diperut.
- Nyeri saat bersenggama.
Pada stadium lanjut berupa:
- Asites
- Penyebaran ke omentum (lemak perut) serta organ di dalam rongga perut
- Perut membuncit, kembung, mual, gangguan nafsu makan
- Gangguan buang air besar dan kecil.
- Sesak nafas akibat penumpukan cairan di rongga dada.

6. Diagnosis
6.1 Anamnesa
Diagnosis dimulai dari anamnesis berdasarkan keluhan pasien.
Banyak tumor ovarium tidak menunjukkan gejala dan tanda, terutama
tumor ovarium yang kecil. Adanya tumor bisa menyebabkan
pembenjolan perut. Rasa sakit atau tidak nyaman pada perut bagian
bawah. Rasa sakit tersebut akan bertambah jika kista tersebut terpuntir
atau terjadi ruptur. Terdapat juga rasa penuh di perut. Tekanan
terhadap alat-alat di sekitarnya dapat menyebabkan rasa tidak nyaman,
gangguan miksi dan defekasi. Dapat terjadi penekanan terhadapat
kandung kemih sehingga menyebabkan frekuensi berkemih menjadi
sering.
Kista ovarium dapat menyebabkan obstipasi karena pergerakan
usus terganggu atau dapat juga terjadi penekanan dan menyebabkan
defekasi yang sering. Pasien juga mengeluhkan ketidaknyamanan
dalam coitus, yaitu pada penetrasi yang dalam. Pada tumor yang besar
dapat terjadi tidak adanya nafsu makan dan rasa enak dan rasa sesak.
Pada umumnya tumor ovarium tidak mengubah pola haid, kecuali jika
tumor tersebut mengeluarkan hormon. Ireguleritas siklus menstruasi
dan pendarahan vagina yang abnormal dapat terjadi. Pada anak muda,
dapat menimbulkan menarche lebih awal.
Polikistik ovari menimbulkan sindroma polistik ovari, terdiri dari
hirsutism, inferilitas, aligomenorrhea, obesitas dan acne. Pada
keganasan, dapat ditemukan penurunan berat badan yang drastis.
6.2 Pemeriksaan Fisik
Kista yang besar dapat teraba dalam palpasi abdomen. Walau pada
wanita premonopause yang kurus dapat teraba ovarium normal tetapi
hal ini adalah abnormal jika terdapat pada wanita postmenopause.
Perabaan menjadi sulit pada pasien yang gemuk. Teraba massa yang
kistik, mobile, permukaan massa umummnya rata. Serviks dan uterus
dapat terdorong pada satu sisi. Dapat juga teraba, massa lain, termasuk
fibroid dan nodul pada ligamentum uterosakral, ini merupakan
keganasan atau endometriosis. Pada perkusi mungkin didapatkan
ascites yang pasif.
6.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Tidak ada tes laboratorium diagnostik untuk kista ovarium.
Cancer antigen 125 (CA 125) adalah protein yang dihasilkan oleh
membran sel ovarium normal dan karsinoma ovarium. Level serum
kurang dari 35 U/ml adalah kadar CA 125 ditemukan meningkat
pada 85% pasien dengan karsinoma epitel ovarium. Terkadang CA
125 ditemukan meningkat pada kasus jinak dan pada 6% pasien
sehat.
b. Laparoskopi
Mengetahui asal tumor dari ovarium atau tidak, dan
menentukan sifat- sifat tumor.
c. Ultrasonografi
Menentukan letak dan batas tumor kistik atau solid, cairan
dalam rongga perut yang bebas dan tidak. USG adalah alat
diagnostik imaging yang utama untuk kista ovarium. Kista
simpleks bentuknya unilokular, dindingnya tipis, satu cavitas yang
didalamnya tidak terdapat internal echo. Biasanya jenis kista
seperti ini tidak ganas, dan merupakan kista fungsioal, kista luteal
atau mungkln juga kistadenoma serosa atau kista inklusi.
Kista kompleks multilokular, dindingnya menebal terdapat
papul ke dalam lumen. Kista seperti ini biasanya maligna atau
mungkin juga kista neoplasma benigna. USG sulit membedakan
kista ovarium dengan hidrosalfing, paraovarian dan kista tuba.
USG endovaginal dapat memberikan pemeriksaan morfologi yang
jelas dari struktur pelvis. Pemeriksaana ini tidak memerlukan
kandung kemih yang penuh. USG transabdominal lebih baik dari
endovaginal untuk mengevaluasi massa yang besar dan organ
intrabdomen lain, seperti ginjal, hati dan ascites. Ini memerlukan
kandung kemih yang penuh.
d. MRI
MRI memberikan gambaran jaringan lunak lebih baik dari CT
scan, dapat memberikan gambaran massa ginekologik yang lebih
baik. MRI ini biasanya tidak diperlukan
e. CT Scan
Untuk mengidentifikasi kista ovarium dan massa pelvik, CT
Scan kurang baik bila dibanding dengan MRI. CT Scan dapat
dipakai untuk mengidentifikasi organ intra abdomen dan
retroperitoneum dalam kasus keganasan ovarium.
f. Parasentesis
Pungsi pada asites berguna untuk menentukan sebab asites.
g. Tes kehamilan
Pada tes HCG negatif, kecuali bila terjadi kehamilan.

Diagnosis kista ovarium dapat ditegakkan bila ditemukan hal-hal berikut yaitu
pada anamnesa menunjukkan gejala seperti yang disebutkan diatas disertai pada
pemeriksaan fisik:

- Ditemukan tumor di rongga perut bagian depan dengan ukuran >5cm


- Pada pemeriksaan dalam, letak tumor di parametrium kiri atau kanan atau
mengisi kavum douglasi
- Konsistensi kistik, mobile, permukaan tumor umumnya rata.

7. Tatalaksana
Dapat dipakai prinsip bahwa tumor ovarium neoplastik
memerlukan operasi dan tumor non neoplastik tidak. Tumor non
neoplastik biasanya besarnya tidak melebihi 5 cm. Tidak jarang tumor-
tumor tersebut mengalami pengecilan secara spontan dan menghilang.
Tindakan operasi pada tumor ovarium neoplastik yang tidak ganas
adalah pengangkatan tumor dengan mengadakan reseksi pada bagian
ovarium yang mengandung tumor. Tetapi jika tumornya besar atau ada
komplikasi perlu dilakukan pengangkatan ovarium, disertai dengan
pengangkatan tuba. Seluruh jaringan hasil pembedahan perlu dikirim ke
bagian patologi anatomi untuk diperiksa.
Pasien dengan kista ovarium simpleks biasanya tidak
membutuhkan terapi. Penelitian menunjukkan bahwa pada wanita
postmenopause, kista yang berukuran kurang dari 5 cm dan kadar CA 125
dalam batas normal, aman untuk tidak dilakukan terapi, namun harus
dimonitor dengan pemeriksaan USG serial. Sedangkan untuk wanita
premenopause, kista berukuran kurang dari 8 cm dianggap aman untuk
tidak dilakukan terapi.
Terapi bedah diperlukan pada kista ovarium simpleks persisten
yang lebih besar 10 cm dan kista ovarium kompleks. Laparoskopi
digunanan pada pasien dengan kista benigna, kista fungsional atau
simpleks yang memberikan keluhan. Laparotomi harus dikerjakan pada
pasien dengan resiko keganasan dan panda pasien dengan kista benigna
yang tidak dapat diangkat dengan laparaskopi. Eksisi kista dengan
konservasi ovarium dikerjakan pada pasien yang menginginkan ovarium
tidak diangkat untuk fertilitas di masa mendatang.
Pengangkatan ovarium sebelahnya harus dipertimbangkan pada
wanita postmenopause, perimenopause, dan wanita premenopasue yang
lebih tua dari 35 tahun yang tidak menginginkan anak lagi serta yang
beresiko menyebabkan karsinoma ovarium. Diperlukan konsultasi dengan
ahli endokrin reproduksi dan infertilitas untuk endometrioma dan sindrom
ovarium polikistik. Konsultasi dengan onkologi ginekologi diperlukan
untuk kista ovarium kompleks dengan serum CA 125 lebih dari 35 U/ml
dan pada pasien dengan riwayat karsinoma ovarium pada keluarga.
Radioterapi hanya efektif untuk jenis tumor yang peka terhadap
radiasi, disgerminoma dan tumor sel granulosa. Kemoterapi menggunakan
obat sitostatika seperti agents alkylating (cyclophosphamide,
chlorambucyl) dan antimetabolit (adriamycin). FoIlow up tumor ganas
sampai 1 tahun setelah penanganan setiap 2 bulan, kemudian 4 bulan
selama 3 tahun setiap 6 bulan sampai 5 tahun dan seterusnya setiap tahun
sekali.

DAFTAR PUSTAKA
Wiknjosastro H. Buku Ilmu Kandungan Edisi 3., editor: Saifuddin
A.B,dkk. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.2011:
13-14

DeChemey AH, Pernoll ML. Current Obstetric and Gynecologic


Diagnosis and Treatment 8th edition. Norwalk : Appleton & Lange; 1994.
p. 744-51.
Helm, CW. Medscape: Ovarian Cyst. 19 maret 2008. Available at :
http://.emedicine.com/med/topic1699.htm
Koriokarsinoma

1. Definisi
Koriokarsinoma adalah salah satu jenis dari Penyakit Trofoblastik Gestasional
(PTG) dimana merupakan suatu tumor ganas yang berasal dari sel-sel sitotrofoblas serta
sinsitiotrofloblas (pembentuk plasenta) yang menginvasi miometrium, merusak jaringan
di sekitarnya termasuk pembuluh darah sehingga menyebabkan perdarahan.
2. Epidemiologi
Insiden penyakit trofoblas gestasional secara keseluruhan dari berbagai Negara
dimulai dari yang rendah, 23/100.000 kehamilan (Paraguay), sampai yang tinggi
1.299/100.000 kehamilan (Indonesia). Sedangkan insiden yang dilaporkan di Amerika
sekitar 110 – 120/100.000 kehamilan. Kejadian meningkat pada wanita yang memiliki
keturunan asia. Untuk insiden koriokarsinoma yang dilaporkan di Amerika terjadi sekitar
2-7/100.000 kehamilan dan terjadi sekitar 1/100.000 pada wanita berusia 15-49 tahun.
Koriokarsinoma merupakan kanker yang jarang terjadi karena angka kejadiannya
kurang dari 20 kasus per tahun terjadi di Inggris. Kebanyakan koriokarsinoma terjadi
setelah adanya kehamilan mola. Namun tidak menutup kemungkian untuk terjadi pada
jenis kehamilan apapun atau usia kehamilan berapapun. Namun hal ini termasuk jarang
karena akan terjadi pada 1:50.000 kehamilan.
3. Etiologi
Etiologi terjadinya koriokarsinoma belum jelas diketahui. Trofoblas normal
cenderung menjadi invasive dan erosi pembuluh darah berlebih-lebihan. Metastase sering
terjadi lebih dini dan biasanya sering melalui pembuluh darah jarang melalui getah
bening. Tempat metastase yang paling sering adalah paru- paru ﴾75%﴿ dan kemudian
vagina ﴾50%﴿. Pada beberapa kasus metastase dapat terjadi pada vulva, ovarium, hepar,
ginjal, dan otak. Disebutkan bahwa koriokarsinoma selama kehamilan bisa didahului
oleh:
a. Mola hidatidosa ( 50% kasus )
b. Aborsi spontan ( 20% kasus )
c. Kehamilan ektopik ( 2% kasus )
d. Kehamilan normal ( 20-30% kasus )
4. Faktor Resiko
Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya koriokarsinoma antara lain:
a. Faktor ovum
Ovum yang memang sudah patologik sehingga nantinya terjadi kelainan saat
perkembangannya, tetapi terlambat dikeluarkan dari Rahim.
b. Immunoselektif dari trofoblast
Dengan terjadinya kematian fetus, pembuluh darah pada stroma villi menjadi
berkurang dan stroma villi menjadi rapuh sehingga ada mekanisme umpan balik dan
akhirnya terjadi hyperplasia sel- sel trofoblast.
c. Keadaan sosial ekonomi yang rendah
Keadaan sosial ekonomi akan berpengaruh terhadap pemenuhan gizi ibu yang
pada akhirnya akan mempengaruhi pembentukan ovum abnormal yang mengarah
pada terbentuknya mola hidatidosa.
d. Paritas tinggi
Ibu dengan paritas tinggi, memiliki kemungkinan terjadinya abnormalitas pada
kehamilan berikutnya, sehingga ada kemungkinan kehamilan berkembang menjadi
mola hidatidosa dan berikutnya menjadi koriokarsinoma.
e. Kekurangan protein
Sesuai dengan fungsi protein untuk pembentukan jaringan atau fetus sehingga
apabila terjadi kekurangan protein saat hamil menyebabkan gangguan pembentukan
fetus secara sempurna yang menimbulkan jonjot-jonjot korion
f. Infeksi virus dan faktor kromosom
g. Konsanguinitas (perkawinan dengan kerabat dekat)

5. Klasifikasi dan Stadium


Klasifikasi dari koriokarsinoma yaitu:
a. Koriokarsinoma Villosum.
Penyakit ini termasuk ganas tetapi derajat keganasannya lebih rendah. Sifatnya
seperti mola, tetapi dengan daya penetrasi yang lebih besar. Sel- sel trofoblas dengan
villi korialis akan menyusup ke dalam miometrium kemudian tidak jarang
mengadakan perforasi pada dinding uterus dan menyebabkan perdarahan intra
abdominal. Walaupun secara lokal mempunyai daya invasi yang berlebihan, tetapi
penyakit ini jarang disertai metastasis. Invasive mola berasal dari mola hidatidosa.
b. Koriokarsinoma Non Villosum.
Penyakit ini merupakan yang terganas dari penyakit trofoblas. Sebagian besar
didahului oleh mola hidatidosa (83,3%) tetapi dapat pula didahului abortus atau
persalinan biasa masing-masing 7,6%. Tumbuhnya sangat cepat dan sering
menyebabkan metastasis ke organ-organ lain, seperti paru-paru, vulva, vagina, hepar
dan otak. Apabila tidak diobati biasanya pasien meninggal dalam 1 tahun. Apabila
dibandingkan dengan jenis kanker ginekologik lainnya, koriokarsinoma mempunyai
sifat yang berbeda, misalnya:
- Koriokarsinoma mempunyai periode laten yang dapat diukur, yaitu jarak
waktu antara akhir kehamilan dan terjadinya keganasan.
- Sering menyerang wanita muda
- Dapat sembuh secara tuntas tanpa kehilangan fungsi reproduksi, dengan
pengobatan sitostatika
- Dapat sembuh tanpa pengobatan melalui proses regresi spontan.
c. Koriokarsinoma Klinis
Apabila setelah pengeluaran jaringan mola hidatidosa kadar hCG turun lambat
apalagi menetap atau meningkat, maka kasus ini dianggap sebagai penyakit trofoblas
ganas. Artinya ada sel-sel trofoblas yang aktif tumbuh lagi di uterus atau di tempat
lain (metastasis) dan mengahasilkan hCG. Diagnosis keganasan tidak ditentukan oleh
pemeriksaan histopatologik tetapi oleh tingginya kadar hCG dan adanya metastasis.

Berdasarkan jauhnya penyebaran koriokarsinoma dibagi menjadi 4, yaitu:


- Stadium I yang terbatas pada uterus
- Stadium II, sudah mengalami metastasis ke parametrium, serviks dan
vagina
- Stadium III, mengalami metastasis ke paru-paru
- Stadium IV, metastasis ke oragan lain, seperti usus, hepar atau otak.
6. Patofisiologi
Bentuk tumor trofoblas yang sangat ganas ini dapat dianggap sebagai suatu
karsinoma dari epitel korion, walaupun perilaku pertumbuhan dan metastasisnya mirip
dengan sarkoma. Faktor-faktor yang berperan dalam transformasi keganasan korion tidak
diketahui. Pada koriokarsinoma, kecenderungan trofoblas normal untuk tumbuh secara
invasif dan menyebabkan erosi pembuluh darah sangatlah besar. Apabila mengenai
endometrium, akan terjadi perdarahan, kerontokan dan infeksi permukaan. Masa jaringan
yang terbenam di miometrium dapat meluas keluar , muncul di uterus sebagai nodul-
nodul gelap irreguler yang akhirnya menembus peritoneum.
Gambaran diagnostik yang penting pada koriokarsinoma, berbeda dengan mola
hidatidosa atau mola invasif adalah tidak adanya pola vilus. Baik unsur sitotrofoblas
maupun sinsitium terlibat, walaupun salah satunya mungkin predominan. Dijumpai
anplasia sel, sering mencolok, tetapi kurang bermanfaat sebagai kriteria diagnostik pada
keganasan trofoblas dibandingkan dengan pada tumor lain. Pada pemeriksaan hasil
kuretase uterus, kesulitan evaluasi sitologis adalah salah satu faktor penyebab kesalahan
diagnosis koriokarsinoma. Sel-sel trofoblas normal di tempat plasenta secara salah di
diagnosis sebagai koriokarsinoma. Metastasis sering berlangsung dini dan umumnya
hematogen karena afinitas trofoblas terhadap pembuluh darah.
Koriokarsinoma dapat terjadi setelah mola hidatidosa, abortus, kehamilan ektopik
atau kehamilan normal . tanda tersering, walaupun tidak selalu ada, adalah perdarahan
irreguler setelah masa nifas dini disertai subinvolusi uterus. Perdarahan dapat kontinyu
atau intermitten, dengan perdarahan mendadak dan kadang-kadang masif. Perforasi
uterus akibat pertumbuhan tumor dapat menyebabkan perdarahan intraperitonium. Pada
banyak kasus, tanda pertama mungkin adalah lesi metatatik. Mungkin ditemukan tumor
vagina atau vulva. Wanita yang bersangkutan mungkin mengeluh batuk dan sputum
berdarah akibat metastasis di paru.
Pada beberapa kasus, di uterus atau pelvis tidak mungkin dijumpai
koriokarsinoma karena lesi aslinya telah lenyap, dan yang tersisa hanya metastasis jauh
yang tumbuh aktif.

7. Tanda dan Gejala


Karena koriokarsinoma merupakan penyakit yang bisa menyerang banyak bagian
tubuh manusia, maka klien pun akan merasakan banyak tanda dan gejala, antara lain:
a. Rahim membesar, perut tampak membesar
b. Peningkatan jumlah kadar ß-hCG
- Kadar ß-hCG normal pada tiap umur kehamilan berbeda, dari 5-25 IU/ml.
- Kadar ß-hCG yang dianggap mola < 100.000 IU/urine 24jam
- Kadar ß-hCG yang dianggap kanker adalah > 100.000 IU/urine 24jam >40.000 u/ml
dalam interval lebih dari 4 bulan
c. Perdarahan per vaginam
d. Batuk berdarah dan sesak nafas
e. X-ray dada menunjukkan adanya perembesan cairan di ujung kedua paru- paru
f. Sakit kepala dan hemiplegi
g. Sakit tulang belakang
h. Sklera menjadi kuning, Jaundice
i. Berat badan turun serta anorexia

8. Diagnosis
8.1 Anamnesis
a. Terdapat gejala-gejala hamil muda yang kadang-kadang lebih parah dari
kehamilan biasa
b. Kadang ada tanda toksemia gravidarum
c. Terdapat perdarahan yang sedikit atau banyak, tidak teratur, bewarna tengguli tua
atau kecoklatan
d. Pembesaran uterus tidak sesuai dengan tuanya kehamilan seharusnya (lebih besar)
e. Keluarnya jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada)

8.2 Pemeriksaan Fisik


a. Inspeksi: Muka dan kadang-kadang badan terlihat pucat kekuning- kuningan yang
disebut muka mola (mola face), apabila gelembung mola keluar dapat dilihat
dengan jelas
b. Palpasi: Uterus lebih besar/membesar tidak sesuai dengan tuanya kehamilan,
teraba lembek, tidak teraba bagian-bagian janin dan ballottement juga gerakan
janin, adanya fenomena harmonica: darah dan gelembung mola keluar dan fundus
uteri turun, lalu naik lagi karena terkumpulnya darah baru
c. Auskultasi: Tidak terdengar bunyi DJJ, terdengan bising dan bunyi khas
d. Pemeriksaan dalam: Terdapat pembesaran rahim, rahim terasa lembek, tidak ada
bagian-bagian janin, terdapat perdarahan dan jaringan dalam kanalis servikalis
dan cavum vagina, serta evaluasi keadaan serviks.
8.3 Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Menurut The International Federation of Gynecology and Oncology
(FIGO) menetapkan beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
PTG termasuk koriokarsinoma adalah:
- Menetapnya kadar ß hCG pada empat kali penilaian dalam 3 minggu atau
lebih (misalnya hari 1,7, 14 dan 21)
- Kadar ß hGC meningkat pada selama tiga minggu berturut-turut atau lebih
(misalnya hari 1,7 dan 14)
- Tetap terdeteksinya ß hCG sampai 6 bulan pasca evakuasi mola.
- Reaksi kehamilan. Karena kadar HCG yang tinggi maka uji biologic dan
uji imunologik (galli mainini dan planotest) akan positif setelah pengenceran
(titrasi)
 galli mainini 1/3000 (+) maka suspect mola hidatidosa atau
koriokarsinoma
 galli mainini 1/2000 (+) maka kemungkinan mola atau hamil
kembar
b. Uji Sonde
Sonde (penduga rahim) dimasukkan pelan-pelan dan hati-hati ke dalam
kanalis servikalis dan kavum uteri. Bila tidak ada tahanan sonde diputar setelah
ditarik sedikit, bila tetap tidak ada tahanan, kemungkinan mola atau
koriokarsinoma.
c. Foto Rontgen
Tidak terlihat tulang-tulang janin (pada kehamilan 3-4 bulan).
d. USG

8.4 Tatalaksana
Penatalaksanaan koriokarsinoma tergantung dari metastase yang terjadi:
1. Pada koriokarsinoma tanpa metastase
a. Histerektomi. Biasa dilakukan pada wanita dengan usia ≥ 40 tahun atau pada
wanita yang memang menginginkan untuk dilakukan hysterektomi.
Hysterektomi juga disarankan pada infeksi berat dan perdarahan yang tidak
terkendali dan resisten terhadap kemoterapi.
b. Bilateral ooforektomi
c. Tambahan kemoterapi
d. Reseksi yang dilakukan secara lokal, pada kasus yang resisten terhadap
kemoterapi
- metastase pada hati, paru, dan ginjal
- metastase pada otak jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial akibat
perdarahan atau edema sistem saraf pusat. Untuk perdarahan lokal dilakukan
angiografi, dengan disertai embolisasi arteri/vena sehingga pembuluh
darahnya tertutup.
2. Radioterapi
Dapat diberikan pada metastase sistem saraf pusaat. Diberikan 3000 cgy selama 3
minggu. Radiasi pada metastase hati sudah jarang dilakukan.
3. Kemoterapi
Kemoterapi agen tunggal menggunakan obat metotreksat, metotreksat (MTX) dan
asam folat (FA), aktinomisin D, 5-fluorourasil, etoposid.
- Koriokarsinoma merupakan tumor yang sensitif terhadap obat-obatan kemoterapi,
dari hasil survey menunjukkan bahwa dengan kemoterapi pasien dengan
koriokarsinoma mengalami kesembuhan 90-95%
- Terapi dengan agen single methotrexate or actinomycin D. Terapi ini digunakan
untuk koriokarsinoma yang belum bermetastase meluas ke seluruh tubuh atau dengan
skala ringan.
- Terapi kombinasi EMACO (etoposide, methotrexate, actinomycin D,
cyclosphosphamide and oncovin) Terapi komplek ini digunakan untuk
koriokarsinoma dengan skala sedang atau berat

DAFTAR PUSTAKA
American Cancer Society. 2014. “What is estational trophoblastic disease?”. The
American Cancer Society is a qualified 501(c)(3) tax-exempt organization.
http://www.cancer.org/cancer/gestationaltrophoblasticdisease/detailedguide/gestas
ional-trophoblastic-disease-what-is-g-t-d.

Dhanda, Sunita, Ramani, Subhash, Thakur, Meenkashi. 2014. “Gestational


Trophoblastic Disease: A Multimodality Imaging Approach with Impact on
Diagnosis and Management”. Hindawi Publishing Corporation Radiology
Research and Practice Volume 2014, Article ID 842751. Available at:
http://dx.doi.org/10.1155/2014/842751

Lurain, John R.. 2010. “Gestational trophoblastic disease I: epidemiology,


pathology, clinical presentation and diagnosis of gestational trophoblastic disease,
and management of hydatidiform mole”. American Journal of Obstetrics &
Gynecology December 2010. doi: 10.1016/j.ajog.2010.06.073. Available at:
http://www.ajog.org/

Lurain, John R.. 2011. “Gestational trophoblastic disease II: classification and
management of gestational trophoblastic neoplasia”. American Journal of
Obstetrics & Gynecology December 2011. doi: 10.1016/j.ajog.2010.06.072.
Available at: http://www.ajog.org/
Myoma Uteri
1. Definisi
Mioma uteri merupakan tumor jinak monoklonal dari sel-sel otot polos
yang ditemukan pada rahim manusia. Tumor ini berbatas tegas dan terdiri dari
sel- sel jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid, dan kolagen. Mioma
uteri berbentuk padat karena jaringan ikat dan otot rahimnya lebih dominan.
Mioma berwarna lebih pucat, relatif bulat, kenyal, berdinding licin, dan
apabila dibelah bagian dalamnya akan menonjol keluar sehingga
mengesankan bahwa permukaan luarnya adalah kapsul.
2. Epidemiologi
Angka kejadian mioma uteri paling sering terjadi pada perempuan usia
reproduktif, yaitu sekitar 20%-25% dengan faktor yang tidak diketahui secara
pasti. Kejadian lebih tinggi pada usia 35 tahun. Tingginya kejadian mioma
uteri antara usia 35-50 tahun, menunjukkan adanya hubungan mioma uteri
dengan estrogen. Insiden mioma uteri 3-9 kali lebih banyak pada ras kulit
berwarna dibandingkan dengan ras kulit putih. Selama 5 dekade terakhir,
ditemukan 50% kasus mioma uteri terjadi pada ras kulit berwarna. Sebuah
penelitian di AS dari perempuan yang dipilih secara acak usia 35-49 tahun,
kejadian mioma uteri pada ras Arfika-Amerika sebanyak 60% pada usia 35
tahun dan >80% pada usia 50 tahun. Pada ras kaukasia angka kejadian
menunjukkan 40% pada usia 35 tahun dan hampir 70% pada usia 50 tahun. Di
Indonesia angka kejadian mioma uteri ditemukan 2,39%-11,87% dari semua
pasien ginekologi yang dirawat.
3. Etiologi
Etiologi pasti penyebab mioma uteri belum diketahui, dan diduga
merupakan penyakit multiaktorial. Beberapa faktor yang diduga sebagai
faktor predisposisi terjadinya mioma uteri, yaitu:
3.1 Pengaruh Hormonal
a. Estrogen
Mioma uteri dijumpai setelah menarche. Seringkali
terdapat pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan dan
terapi estrogen eksogen. Mioma uteriakan mengecil pada saat
menopause dan pada pengangkatan ovarium. Mioma uteri banyak
ditemukan bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita
dengan sterilitas. Selama fase sekretorik, siklus menstruasi dan
kehamilan, jumlah reseptor estrogen di miometrium normal
berkurang. Pada mioma reseptor estrogen dapat ditemukan
sepanjang siklus menstruasi, tetapi ekskresi reseptor tersebut
tertekan selama kehamilan.
b. Progesterone
Reseptor progesteron terdapat di miometrium. Pada mioma
reseptor ditemukan sepanjang siklus menstruasi dan kehamilan.
Progesteron merupakan antagonis natural dari estrogen.
Progesteron menghambat pertumbuhan mioma dengan dua cara
yaitu mengaktifkan 17-Beta hidroxydesidrogenase dan
menurunkan jumlah reseptor estrogen pada mioma.
c. Hormon Pertumbuhan
Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan,
tetapi hormon yang mempunyai struktur dan aktivitas biologik
serupa, terlihat pada periode ini memberi kesan bahwa
pertumbuhan yang cepat dari mioma selama kehamilan mungkin
merupakan hasil dari aksi sinergistik antara hormon pertumbuhan
dan estrogen.
3.2 Umur
Frekuensi kejadian mioma uteri paling tinggi antara usia 35-50
tahun yaitu mendekati angka 40%, sangat jarang ditemukan pada usia
dibawah 20 tahun. Sedangkan pada usia menopause hampir tidak
pernah ditemukan. Pada usia sebelum menarche kadar estrogen
rendah, dan meningkat pada usia reproduksi, serta akan turun pada
usia menopause. Pada wanita menopause mioma uteri ditemukan
sebesar 10%.
3.3 Riwayat Keluarga
Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita
mioma uteri mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita
mioma dibandingkan dengan wanita tanpa garis keturunan penderita
mioma uteri.
3.4 Obesitas
Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini
mungkin berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi
estrogen oleh enzim aromatase di jaringan lemak. Hasilnya terjadi
peningkatan jumlah estrogen tubuh, dimana hal ini dapat menerangkan
hubungannya dengan peningkatan prevalensi dan pertumbuhan mioma
uteri.
3.5 Paritas
Wanita yang sering melahirkan lebih sedikit kemungkinannya
untuk terjadinya perkembangan mioma ini dibandingkan wanita yang
tidak pernah hamil atau satu kali hamil. Statistik menunjukkan 60%
mioma uteri berkembang pada wanita yang tidak pernah hamil atau
hanya hamil satu kali.
3.6 Kehamilan
Angka kejadian mioma uteri bervariasi dari hasil penelitian yang
pernah dilakukan ditemukan sebesar 0,3%-7,2% selama kehamilan.
Kehamilan dapat mempengaruhi mioma uteri karena tingginya kadar
estrogen dalam kehamilan dan bertambahnya vaskularisasi ke uterus.
Kedua keadaan ini ada kemungkinan dapat mempercepat pembesaran
mioma uteri. Kehamilan dapat juga mengurangi resiko mioma karena
pada kehamilan hormon progesteron lebih dominan.
4. Patofisiologi
4.1 Hormonal
Mutasi genetik menyebabkan produksi reseptor estrogen di bagian
dalam miometrium bertambah signifikan. Sebagai kompensasi, kadar
estrogen menjadi meningkat akibat aktivitas aromatase yang tinggi.
Enzim ini membantu proses aromatisasi androgen menjadi estrogen.
Estrogen akan meningkatkan proliferasi sel dengan cara menghambat
jalur apoptosis, serta merangsang produksi sitokin dan platelet derived
growth factor (PDGF) dan epidermal growth factor (EGF). Estrogen
juga akan merangsang terbentuknya reseptor progesteron terutama di
bagian luar miometrium.
Progesteron mendasari terbentuknya tumor melalui perangsangan
insulin like growth factor (IGF-1), transforming growth factor (TGF),
dan EGF. Maruo, dkk. meneliti peranan progesteron yang merangsang
proto-onkogen, Bcl-2 (beta cell lymphoma-2), suatu inhibitor
apoptosis dan menemukan bukti bahwa gen ini lebih banyak
diproduksi saat fase sekretori siklus menstruasi. Siklus hormonal inilah
yang melatarbelakangi berkurangnya volume tumor pada saat
menopause.
Teori lain yang kurang berkembang menjabarkan pengaruh
hormon lain seperti paratiroid, prolaktin, dan human chorionic
gonadotropin (HCG) dalam pertumbuhan mioma.
4.2 Proses Inflamasi
Masa menstruasi merupakan proses inflamasi ringan yang ditandai
dengan hipoksia dan kerusakan pembuluh darah yang dikompensasi
tubuh berupa pelepasan zat vasokonstriksi. Proses peradangan yang
berulang kali setiap siklus haid akan memicu percepatan terbentuknya
matriks ekstraseluler yang merangsang proliferasi sel. Obesitas yang
merupakan faktor risiko mioma ternyata juga merupakan proses
inflamasi kronis; pada penelitian in vitro, pada obesitas terjadi
peningkatan TNF-α. Selain TNF-α, sejumlah sitokin lain juga
memiliki peranan dalam terjadinya tumor antara lain IL1, IL-6, dan
eritropoietin.
4.3 Growth Factor
Beberapa growth factor yang melandasi tumorigenesis adalah
epidermal growth factor (EGF), insulin like growth factor (IGF I-II),
transforming growth factor-B, platelet derived growth factor, acidic
fibroblast growth factor (aFGF), basic fibroblast growth factor (bFGF),
heparin-binding epidermal growth factor (HBGF), dan vascular
endothelial growth factor (VEG-F). Mekanisme kerjanya adalah
dengan mencetak DNA-DNA baru, induksi proses mitosis sel dan
berperan dalam angiogenesis tumor. Matriks ekstraseluler sebagai
tempat penyimpanan growth factor juga menjadi faktor pemicu mioma
uteri karena dapat mempengaruhi proliferasi sel.

5. Klasifikasi
Berdasarkan lokasinya, mioma diklasifikasikan atas beberapa tipe antara
lain:
a. Tipe 0 - merupakan pedunculated intracavitary myoma, tumor berada
submukosa dan sebagian dalam rongga rahim „
b. Tipe 1 - merupakan tipe submukosa dengan < 50% bagian tumor
berada di intramural „
c. Tipe 2 - tumor menyerang ≥ 50% intramural „
d. Tipe 3 - seluruh bagian tumor berada dalam dinding uterus yang
berdekatan dengan endometrium „
e. Tipe 4 - tipe tumor intramural yang lokasinya berada dalam
miometrium „
f. Tipe 5 - tipe serosa dengan ≥ 50% bagian tumor berada pada
intramural „
g. Tipe 6 - jenis subserosa yang mengenai < 50% intramural „
h. Tipe 7 - tipe pedunculated subserous „
i. Tipe 8 - kategori lain ditandai dengan pertumbuhan jaringan di luar
miometrium yang disebut cervicalparasitic lesion.
6. Diagnosis
6.1 Anamnesis
Keluhan berupa lama haid memanjang dan perdarahan vagina di
luar siklus haid; biasanya lebih berat terutama pada mioma tipe
submukosa. Gejala lain adalah nyeri perut dan pinggang bawah saat
menstruasi, sensasi kenyang, sering berkemih, sembelit, dan nyeri saat
berhubungan seksual. Keluhan penting adalah seringnya abortus
spontan atau sulit hamil terutama pada mioma submukosa. Mioma
intramural dengan ukuran >2,5 cm dapat mengganggu proses
persalinan normal.
6.2 Pemeriksaan Fisik
Dijumpai kondisi anemis yang ditandai konjungtiva, tangan dan
kaki pucat. Volume tumor akan menyebabkan keluhan pembesaran
perut.
6.3 Pemeriksaan Penunjang
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang yang paling
direkomendasikan untuk diagnosis mioma uteri. Dibanding USG
abdominal, USG transvaginal lebih sensitif namun kurang
direkomendasikan jika pasien belum menikah dan mengalami mioma
submukosa. Pada kondisi tersebut lebih dianjurkan penggunaan
histeroskop. Selain USG, diperlukan pemeriksaan laboratorium darah
untuk menentukan status anemia. Untuk menyingkirkan potensi
maligna, dianjurkan biopsi endometrium dan MRI.
7. Tatalaksana
7.1 Observasi
Observasi dilakukan jika pasien tidak mengeluh gejala apapun
karena diharapkan saat menopause, volume tumor akan mengecil.
7.2 Medikamentosa
a. Agonis Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH)
Mekanisme kerjanya adalah melalui down regulation
reseptor GnRH, sehingga terjadi penurunan produksi FSH dan LH
yang akan menurunkan produksi estrogen. Obat ini
direkomendasikan pada mioma jenis submukosa. Durasi
pemberian yang dianjurkan adalah selama 3-6 bulan; pemberian
jangka panjang >6 bulan harus dikombinasi dengan progesteron
dengan atau tanpa estrogen. Pada pemberian awal bisa terjadi
perburukan keluhan akibat efek samping obat.1 Analog GnRH
juga dapat digunakan pre-operatif selama 3-4 bulan sebelum
pembedahan.
b. Preparat Progesteron
Preparat progesteron antara lain antagonis progesteron atau
selective progesterone receptor modulator (SPRM). Suatu studi
prospektif acak menyimpulkan bahwa pemberian mifepristone 25
mg sehari selama 3 bulan akan menurunkan ukuran tumor sebesar
40%. Ukuran tumor menurun jauh lebih besar, sebesar 50%, pada
pemberian ulipristal 10 mg dengan durasi pengobatan yang
sama.Berdasarkan farmakodinamikanya, golongan obat ini juga
digunakan pre-operatif. Kemudian, setelah 2-4 siklus pengobatan
dianjurkan menggunakan levonorgestrelintrauterine devices (LNG
IUS) untuk mencegah relaps. IUD jenis ini juga direkomendasikan
sebagai terapi mioma intramural.
c. Aromatase Inhibitor
Aromatase inhibitor terbagi dua jenis, yaitu aromatase
inhibitor kompetitif yakni anastrazole dan letrozole, dan senyawa
inaktivator yakni exemestane. Kerja keduanya hampir sama yakni
menghambat proses aromatisasi yang merupakan dasar patogenesis
mioma. Kelebihan obat ini adalah tidak ada efek tromboemboli
yang dapat menjadi kausa mortalitas.
d. Asam Traneksamat
Asam traneksamat berfungsi membantu mengatasi
perdarahan. Durasi pemberian adalah selama 3-4 hari dalam
sebulan.
e. NSAID
Golongan NSAID digunakan untuk mengurangi nyeri dan
perdarahan
7.3 Pembedahan
a. Histerektomi
Direkomendasikan untuk pasien berusia di atas 40 tahun
dan tidak berencana memiliki anak lagi.8 Histerektomi dapat
dilakukan dengan metode laparotomi, mini laparotomi, dan
laparoskopi. Histerektomi vagina lebih dipilih karena komplikasi
lebih rendah serta durasi hospitalisasi lebih singkat
b. Miomektomi
Miomektomi direkomendasikan pada pasien yang
menginginkan fertility sparing. Miomektomi dapat dengan teknik
laparotomi, mini laparotomi, laparoskopi, dan histeroskopi. Teknik
laparotomi dan mini laparotomi adalah tindakan yang paling sering
dilakukan, sedangkan laparoskopi paling jarang dilakukan karena
lebih sulit. Histeroskopi direkomendasikan pada mioma
submukosa dengan ukuran tumor < 3 cm yang 50% nya berada
dalam rongga rahim dan pada mioma multipel.
7.4 Radioterapi Non Invasif
a. Embolisasi Arteri Uterina
Metode ini dilakukan dengan embolisasi melalui arteri
femoral komunis untuk menghambat aliran darah ke rahim.
Efek yang diharapkan adalah iskemia dan nekrosis yang secara
perlahan membuat sel mengecil. Teknik ini direkomendasikan
pada pasien yang menginginkan anak dan menolak transfusi,
memiliki penyakit komorbid, atau terdapat kontraindikasi
operasi. Di sisi lain, teknik ini dikontraindikasikan pada
kehamilan, jika terdapat infeksi arteri atau adneksa dan alergi
terhadap bahan kontras.
b. Miolisis/Ablasi Tumor
Teknik ini bekerja langsung menghancurkan sel tumor
dengan media radiofrekuensi, laser, atau Magnetic Resonance
Guided Focused Ultrasound Surgery (MRgFUS). Metode
terakhir menggunakan gelombang ultasonik intensitas tinggi
yang diarahkan langsung ke sel tumor. Gelombang ini akan
menembus jaringan lunak dan menyebabkan denaturasi
protein, iskemia, dan nekrosis koagulatif. Teknik ini tidak
direkomendasikan pada mioma uteri saat kehamilan.

DAFTAR PUSTAKA
Rafael FV, Geraldine EE. Pathophysiology of uterine myomas
and its clinical implications. New York: Springer; 2015

Andrea C, Jacopo DG, Piergiorgio S, Nina M, Stefano RG,


Petro L, et al. Uterine fibroids: Pathogenesis and interactions
with endometrium and endomyometrial junction. Obstet
Gynecol Int. 2013;2013:173184.

Persatuan obstetri dan ginekologi. Standar pelayanan medik


obstetri dan ginekologi. 2006 .p. 129-30

Maria SD, Edward MB. Uterine fibroids: Diagnosis and


treatment. Am Fam Physician. 2017;95(2):100-7

Alistair RW. Uterine fibroids-what’s new? Pubmed Central.


2017; 6: 2109.

Radmilla S, Ljijiana M, Antonio M, Andrea T. Epidemiology


of uterine myomas: A review. Internat J Fertil Steril.
2016;9(4):424-35
Georgios A, Georgios D. Uterine myomas: Recent advances in
their treatment. J Gynaecol Women’s Health. 2016. DOI:
10.19080/JGWH.2016.01.555560
Gangguan Ereksi

1. Definisi
Ereksi merupakan suatu keadaan neuro-vaskular yang dipengaruhi oleh hormon.
Termasuk kedalamnya ialah dilatasi arteri, relaksasi dari otot halus trabekular, dan
pengaktifan dari mekanisme veno – occlusive corporeal. Disfungsi ereksi merupakan
ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk
senggama yang memuaskan.
2. Etiologi
Disfungsi ereksi bisa diakibatkan oleh karena penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan hipogonadisme, kebiasaan sosial, stimulus seksual, rokok, penyakit
kronik dan penggunaan obat-obatan.

3. Tanda dan Gejala


Manifestasi klinis dapat berpengaruh secara emosional seperti depresi, anxietas
atau malu. Perkawinan terganggu dan menghidnari keintiman. Kepatuhan obat juga
menjadi masalah.
4. Diagnosis
Dalam mendiagnosa disfungsi ereksi, selain menggali riwayat penyakit dahulu
maupun riwayat sosial dari pasien, pemeriksa juga harus melakukan beberapa
pemeriksaan terhadap pasien. Hal ini bertujuan selain untuk memastikan diagnosa pasien,
tetapi juga dapat memastikan tingkat keparahan dari disfungsi ereksi yang dialami pasien
dan jenis terapi yang akan diberikan kepada pasien.
Etiologi dari disfungsi ereksi terbagi dalam beberapa hal, namun seringnya pasien
yang datang ke dokter dengan keluhan disfungsi ereksi mempunyai keluhan pada sistem
kardiovaskularnya. Dengan banyaknya evidence based mengenai keterkaitan antara
kelaianan sistem kardiovaskular dan disfungsi ereksi.
Selain dari pada hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, diperlukan juga beberapa
pemeriksaan untuk membantu penegakan diagnosa disfungsi ereksi. Tabel berikut
merupakan indikasi pasien yang akan dilakukan pemeriksaan khusus untuk menegakkan
diagnosa disfungsi ereksi dan jenis – jenis pemeriksaan yang akan dilakukan.

Dalam penegakan diagnosa disfungsi ereksi, terdapat pemeriksaan yang disebut


dengan The International Index of Erectile Function (IIEF) score dan Erectile Hard Score
(EHS). Kedua skor ini digunakan dalam mendiagnosa tingkat keparahan dari disfungsi
ereksi yang dialami oleh pasien.
1. The International Index of Erectile Function (IIEF) score The International
Index of Erectile Function (IIEF) score, merupakan kumpulan pertanyaan yang berbentuk
kuesioner yang dimana butir – butir pertanyaannya mengenai:
-Fungsi ereksi
-Fungsi orgasme
-Keinginan seksual
-Kepuasaan dari pasangan
- Kepuasan dari keseluruhan hubungan seksual
Dari pertanyaan - pertanyaan tersebut, penilaian jawabannya terbagi atas 5 skor
yang berbeda – beda , yaitu berupa:
0 No Sexual activity
1 almost never or never
2 a few times
3 sometimes
4 most times
5 Almost always or always
Dari keseluruhan jawaban tersebut, semua skornya akan dikumpulkan lalu
dijumlahkan. Dari total skor yang didapatkan oleh pasien, pemeriksa dapat menentukan
tingkat keparahan dari disfungsi ereksi yang dialami oleh pasien. Berikut pembagian dari
total skor dan tingkat keparahan dari disfungsi ereksi:
- 22-25: No erectile dysfunction
- 17-21: Mild erectile dysfunction
- 12-16: Mild to moderate erectile dysfunction
- 8-11: Moderate erectile dysfunction
- 5-7: Severe erectile dysfunction
2. Erectile Hard Score (EHS)
Erectile Hard Score (EHS) merupakan sebuah skor yang digunakan pemeriksa
untuk menilai secara akurat keparahan dari disfungsi ereksi yang dialami oleh pasien dan
juga menilai apakah tatalaksana yang selama ini didapatkan oleh pasien direspon dengan
baik atau tidak. EHS dilakukan dengan menilai kekerasan dari ereksi yang dialami pasien
dengan berbagai waktu yang beebeda – beda. Penilaian EHS terbagi atas:
- 1, Penis is larger than normal, but not hard
- 2, Penis is hard, but not hard enough for penetration
- 3, Penis is hard enough for penetration but not completely hard
- 4, Penis is completely hard and fully rigid
5. Tatalaksana
Tujuan utama dari tatalaksana terhadap pasien dengan disfungsi ereksi ialah untuk
menentukan etiologi/penyebab dan dilakukan penatalaksanaan terhadap penyebabnya,
bukan saja terhadap gejala. Disfungsi ereksi kemungkinan berhubungan dengan faktor
risiko yang dapat diperbaiki seperti life style atau faktor risiko yang berkaitan dengan
obat – obatan. Disfungsi ereksi dapat ditangani dengan sukses dengan pilihan – pilihan
terapi saat ini, tetapi tidak dapat disembuhkan, kecuali pada kasus disfungsi ereksi
psikogenik, post traumatik arteriogenic pada pasien muda, dan yang berkaitan dengan
hormonal (hypogonadism dan hyperprolactinaemia) yang secara potensial dapat
disembuhkan dengan tatalaksana spesifik.
5.1 Medikamentosa

5.2 Vacum Erection Device (VED)


Mekanisme kerjanya adalah mempertahankan sirkulasi amsuk ke arteri
dan mengurangi sirkulasi vena keluar dari penis. Mula kerja tergantung
pasien, sekitar 30 menit. Efek samping VED adalah rasa sakit atau terluka
akibat jepitan pita/cincin dari alat tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Parsons, K. 2014. Europian Association of Urology. European Association of
Urology. 2014. P:623 – 646
Parsons, K. 2015. Europian Association of Urology. European Association of
Urology. 2015. P:146 – 151

Rosen R. Riley A, Wagner G, et al. The International Index of Erectile


Function (IIEF): A Multidemensional Scale for Assessment of Erectile
Disfungsion. Urology. 1997. 49;822 – 830

Weiss P, Broody S.2011.Internatioanl Index Of Erectile Function (IIEF)


Scores Generated By Men Or Female Partners Correlate Equally Well With
Own Satisfaction (Sexual, Partnership, Life, And Mental Health).J Sex Med.
Vol 8 (5);p: 1404-1410

Parosit J, Yiou R, Solomon L, de la Taille A, Lingombet O, et.al. 2014.


Erection hardness score for the evaluation of erectile dysfunction: further
psychometric assessment in patients treated by intracavernous prostaglandins
injections after radical prostatectomy.J Sex Med. Vol 11 (8); p:2109-2118
Cracked Nipple

1. Definisi
Cracked nipple (puting susu lecet) merupakan perlukaan pada puting susu yang
disebabkan karena trauma pada puting susu saat menyusui, kadang kulitnya sampai
terkelupas atau luka dan berdarah.
2. Epidemiologi
Trauma pada puting memiliki angka kejadian yang tinggi, terutama pada 30 hari
postpartum. Karena hal ini merupakan kondisi yang menyakitkan, biasanya hal ini
menyebabkan gangguan pemberian ASI eksklusif.
Di New York, 35% wanita berhenti menyusui setelah 1 minggu setelah persalinan
karena lecet pada puting, dan 30 % wanita berhenti setelah 1 dan 4 minggu postpartum.
Hal yang sama terjadi di Brazil, 25% wanita beresiko tinggi mengalami gangguan dalam
pemberian ASI eksklusif pada bulan pertama laktasi ketika terdapat lecet pada putting.
Masalah-masalah menyusui yang sering terjadi adalah puting susu lecet atau
nyeri. Sekitar 57% dari ibu-ibu menyusui dilaporkan pernah menderita kelecetan pada
putingnya dan payudara bengkak.Payudara bengkak sering terjadi pada hari ketiga dan
keempat sesudah ibu melahirkan, karena terdapat sumbatan pada satu atau lebih duktus
laktiferus dan mastitis serta abses payudara yang merupakan kelanjutan atau komplikasi
dari mastitis yang disebabkan karena meluasnya peradangan payudara. Sehingga dapat
menyebabkan tidak terlaksananya Air Susu Ibu (ASI) eksklusif.
3. Etiologi
Ada beberapa penyebab terjadinya cracked nipple:
a. Kesalahan dalam teknik menyusui
Kesalahan dalam teknik menyusui, bayi tidak menyusui sampai areola tertutup
oleh mulut bayi. Bila bayi hanya menyusui pada puting susu, maka bayi akan
mendapatkan ASI sedikit, karena gusi bayi tidak menekan sinus latiferus, sedangkan
pada ibunya akan menjadi nyeri/lecet pada puting.
b. Moniliasis (Infeksi Candida albicans)
Infeksi pada mulut bayi yang kemudian menular ke puting susu ibu
c. Terkena paparan bahan
Sabun, krim, alkohol atau zat iritan lainnya untuk membersihkan puting susu ibu.
d. Bayi dengan tali lidah yang pendek
Bayi dengan tali lidah (frenulum lingual) yang pendek, sehingga menyebabkan
bayi sulit menghisap sampai ke areola dan isapan hanya pada puting susu saja.
e. Penggunaan breast pump yang kurang tepat
Penggunaan pada level suction yang tinggi dapat mencederai payudara.

4. Patofisiologi
Terjadinya puting lecet di awal menyusui pada umumnya disebabkan oleh salah satu
atau kedua hal berikut: posisi dan pelekatan bayi yang tidak tepat saat menyusu, atau bayi
tidak mengisap dengan baik. Meskipun demikian, bayi dapat belajar untuk mengisap
payudara dengan baik ketika ia melekat dengan tepat saat menyusu (mereka akan belajar
dengan sendirinya). Jadi, proses mengisap yang bermasalah seringkali disebabkan oleh
pelekatan yang kurang baik. Infeksi jamur yang terjadi di puting (disebabkan oleh Candida
Albicans) dapat pula menyebabkan puting lecet. Vasospasme yang disebabkan oleh iritasi
pada saluran darah di puting akibat perlekatan yang kurang baik dan/atau infeksi jamur,
juga dapat menyebabkan puting lecet. Rasa sakit yang disebabkan oleh pelekatan yang
kurang baik dan proses mengisap yang tidak efektif akan terasa paling sakit saat bayi
melekat ke payudara dan biasanya akan berkurang seiring bayi menyusu. Namun jika
lecetnya cukup parah, rasa sakit dapat berlangsung terus selama proses menyusui akibat
pelekatan kurang baik/mengisap tidak efektif. Rasa sakit akibat infeksi jamur biasanya
akan berlangsung terus selama proses menyusui dan bahkan setelahnya.
Banyak ibu mendeskripsikan rasa sakit seperti teriris sebagai akibat pelekatan yang
kurang baik atau proses mengisap yang kurang efektif. Rasa sakit akibat infeksi jamur
seringkali digambarkan seperti rasa terbakar. Jika rasa sakit pada puting terjadi padahal
sebelumnya tidak pernah merasakannya, maka rasa sakit tersebut mungkin disebabkan oleh
infeksi Candida, meskipun infeksi tersebut dapat pula merupakan lanjutan dari penyebab
lain sakit pada puting, sehingga periode tanpa sakit hampir tidak pernah terjadi. Retak pada
puting dapat terjadi karena infeksi jamur. Kondisi dermatologis (kulit) dapat pula
menyebabkan sakit pada putting/
5. Manifestasi klinis
 Luka lecet kekuningan
 Kulit tampak terkelupas/ luka berdarah sampai mengakibatkan rasa sakit pada saat
menyusui
o Infeksi jamur  rasa sakit terbakar
o Perlekatan yg kurang baik  rasa sakit teriris
 Tampak lebih merah
 Terlihat retak

6. Diagnosis
6.1 Anamnesis
Pasien mengeluh perasaan seperti teriris pisau atau terbakar. Pasien juga
mengatakan rasa nyeri pada puting terjadi saat awal menyusui dan akan membaik
seiring dengan waktu menyusuinya. Rasa nyeri dapat terjadi di awal menyusui, dapat
pula terjadi secara terus-menerus saat menyusui, bahkan sampai saat setelah selesai
menyusui. Rasa nyeri pada puting dapat dibagi menjadi 2 penyebab yang sering. Jika
terjadi nyeri karena puting lecet saat awal menyusui dan membaik seiring dengan
waktu menyusui biasanya disebabkan oleh posisi dan perlekatan bayi yang kurang
tepat saat menyusu, atau bayi tidak menghisap puting dengan baik. Nyeri yang
disebabkan oleh perlekatan ini biasanya dirasakan seperti diiris dengan pisau. Lalu
ada pula nyeri yang dirasakan secara terus-menerus sebelum, saat, bahkan sampai
setelah menyusui. Nyeri ini biasanya disebabkan oleh infeksi. Infeksi yang paling
sering adalah infeksi jamur Candida albicans. Nyeri karena infeksi ini biasanya
dirasakan seperti rasa terbakar pada daerah puting susu.
6.2 Pemeriksaan Fisik
 Pada inspeksi dapat ditemukan adanya lecet dan kemerahan pada daerah puting susu,
pada palpasi dapat ditemukan adanya nyeri tekan
 Pemeriksaan payudara bisa juga dilakukan dengan teknik SADARI.
SADARI sebaiknya dilakukan sebulan sekali, kira-kira satu minggu setelah masa
menstruasi karena disaat inilah payudara lebih lunak karena pengaruh hormon.
Wanita usia 20-an awal bisa memulai memeriksa payudara sendiri.

7. Tatalaksana
7.1 Penanganan – sebelum menyusui

 Sebelum menyusui bayi kompres payudara dengan kompres dingin,dengan mengkompres


bagian yang terluka dapat mengurangi rasa sakit terutama saat perlekatan awal.
 Periksa apakah bayi menderita infeksi jamur atau tidak  jika ada  dapat diberikan
antijamur seperti nistatin

7.2 Penanganan – saat menyusui


 Bayi harus disusukan terlebih dahulu pada puting yang normal yang lecetnya lebih sedikit
dan untuk menghindari payudara yang bengkak ASI dapat dipompa dan disusukan pada
bayi lewat sendok atau pipet.
 Harus yakin bahwa teknik menyusui benar
 Posisi perlekatan yang paling baik adalah pada bagian tengah payudara dengan bagian
areola bawah lebih banyak masuk ke mulut bayi
 Menyusui lebih sering (8-12 kali dalam 24 jam) sehingga payudara tidak sampai terlalu
penuh dan bayi tidak begitu lapar juga tidak menyusu terlalu rakus,kurangi durasi
menyusui pada payudara yang lecet
 Gunakan posisi yang berbeda, dengan mencoba beberapa posisi menyusui ibu dapat
mendapatkan posisi yang sesuai dan nyaman untuk bayi dan ibu.

7.3 Penanganan – setelah menyusui


 Setiap kali selesai menyusui bekas ASI tidak perlu dibersihkan, tapi diangin-anginkan
sebentar agar melembutkan puting sekaligus sebagai anti infeksi dan pada puting susu
dapat diberikan lanolin atau minyak kelapa.
 Bilasan Air Garam
Tipe spesial dari air garam ini dinamakan Normal Saline. Larutan ini mempunyai
konsentrasi garam yang sama dengan air mata. Jadi, tidak menyakitkan untuk digunakan.
1) Setelah menyusui, rendam puting susu dalam larutan garam yang hangat beberapa
menit sampai rata mengenai seluruh area puting.
2) Hindari perendaman yang terlalu lama (lebih dari 5-10 menit) karena dapat
menyebabkan super-hidrasi pada kulit yang menyebabkan lecet semakin parah dan
memperlambat penyembuhan.
3) Keringkan dengan hati-hati menggunakan handuk yang lembut.
4) Jika bayi terganggu dengan rasa asin dari sisa larutan garam, bilas terlebih dahulu
dengan air putih dan keringkan kembali sebelum menyusui.
 Setelah Membilas Dengan Air Garam
1) Untuk menjaga kelembaban kulit dalam tanpa menyebabkan kulit luar puting basah,
gunakan salep lanolin (Lansinoh, Purelan, dsb), vaseline atau hydrogel (Comfort Gel,
Soothies, dsb).
2) Jika terdapat infeksi jamur, gunakan salep anti jamur.
3) Jika diperlukan, gunakan salep antibiotik atau All Purpose Nipple Ointment (berisi
antibiotik, anti-inflamasi, dan anti –jamur) setelah menyusui.
7.4 Penanganan – Diantara Waktu Menyusui
o Biarkan puting susu terkena udara selama memungkinkan. Gunakan “Nipple Shells” jika
perlu untuk melindungi puting dari kelembaban dan gesekan.
o Jika ada luka (bekas gigitan, dsb) kompres dengan es yang dibungkus dengan kain,
selama 20 menit on, 20 menit off, dan ulangi seperlunya.
o Dapat digunakan obat analgetik yang aman bagi ibu menyusui untuk mengurangi nyeri.

DAFTAR PUSTAKA
Buchanan P. 2002. Assessing the Evidence: Cracked Nipples and Moist Wound Healing.
The Breastfeeding Network

Santos, et al. 2016. Prevalence and factors associated with cracked nipples in the first
month postpartum. BMC Pregnancy and Childbirth

Tait, Prscilla, et al. 2000. Nipple Pain in Breearfeeding women: Causes, Treatment, and
Prevention Strategies. Journal of Midwifery & Women’s Health.

Kent, Jacqueline C., et al. 2015. Nipple Pain in Breatfeeding Mothers: Incidence, Causes
and treatments. International Journal of Enviromental Research and Public Health.

Martin J. 2012. “Nipple Pain: Causes, Treatments, and Remedies”. Leaven. 36(1):10-11.
Inverted Nipple

1. Definisi
Inverted nipple adalah puting susu terbenam adalah puting susu yang tidak dapat menonjol
dan cenderung masuk kedalam, sehingga ASI tidak dapat keluar dengan lancar.
2. Etiologi
a. Penyebab yang sering terjadi
- Faktor menyusui: penyusuan yang tertunda, perlekatan yang tidak baik, penyusuan yang jarang
atau dilakukan dalam waktu singkat, tidak menyusui pada malam hari, pemberian botol atau
empeng, pemberian minuman selain ASI.
- Faktor psikologis ibu: kurang percaya diri, ibu khawatir/terlalu stress, ibu terlalu lelah, ibu tidak
suka menyusui dan ibu mengalami baby blues
b. Penyebab jarang terjadi
- Kondisi fisik ibu:penggunaan pil kontrasepsi, obat diuretic, kehamilan berikutnya semasa
menyusui, kekurangan gizi yang cukup berat, ibu minum-minuman yang mengandung alcohol
atau merokok, tersisanya jaringan plasenta dalam rahim dan payudara yang kurang berkembang
- Kondisi bayi: bayi sakit dan bayi memiliki kelainan seperti bibir sumbing sehingga bayi menjadi
sulit menghisap.
3. Patofisiologi
Pada kasus inversi puting secara kongenital, kelainan ini terjadi pada tahap
perkembangan embrionik dari payudara. Proses pembentukan puting pada embriologi
manusia dimulai dengan penebalan dan penonjolan bagian ektoderm di regio dimana
kelenjar akan berada nantinya pada minggu keempat kehamilan. Penebalan ektoderm
menjadi terdepresi ke mesoderm di bawahnya, sehingga permukaan bagian mammae
kemudian menjadi datar dan akhirnya masuk lebih dalam dari epidermis di sekitarnya.
Mesoderm yang berhubungan dengan pertumbuhan ke dalam dari ektoderm menjadi
terkompresi, dan bagian dari mesoderm ini menjadi tersusun menjadi lapisan konsentris
dan nantinya akan menjadi stroma dari kelenjar. Dengan pembelahan dan percabangan,
massa yang tumbuh ke dalam dari sel ektodermal akan membentuk lobus dan lobulus dan
nantinya juga membentuk alveoli.
Saat usia gestasi 16 minggu, tahap percabangan telah menghasilkan 15 hingga 25
garis epitelial pada fetus yang nantinya akan menjadi alveoli sekretorik. Pada saat gestasi
28 minggu, hormon seksual plasental memasuki sirkulasi fetal dan menyebabkan
kanalisasi pada jaringan mammae fetal. Duktus laktiferus dan cabangnya terbentuk dari
perkembangan di lumen. Duktus ini membuka ke arah depresi dangkal dari epidermal
yang dikenal sebagai mammary pit. Cekungan ini menjadi terelevasi sebagai hasil dari
proliferasi mesenkimal yang membentuk puting dan areola. Inversi puting adalah
kegagalan dari elevasi cekungan ini.
4. Klasifikasi
a. Grade 1 : dapat dengan mudah ditarik keluar secara manual dan menjaga proyeksinya
dengan baik tanpa traksi. Puting keluar dengan palpasi ringan di sekitar areola.
Jaringan lunak intak pada bentuk ini dan duktus laktiferus normal.
b. Grade 2 : juga dapat keluar dengan palpasi namun tidak semudah pada grade I. Puting
cenderung teretraksi. Puting memiliki fibrosis sedang dan duktus laktiferus secara
ringan teretraksi namun tidak memerlukan pemotongan untuk melepaskan fibrosis.
Puting ini telah terbukti memiliki stromata kolagen yang kaya dengan sekumpulan
otot polos.
c. Grade 3 : merupakan bentuk yang parah dimana inversi dan retraksi signifikan.
Mengeluarkan puting secara manual cukup sulit. Jahitan traksi diperlukan untuk
mempertahankan puting untuk menonjol. Fibrosis di bawah puting berpengaruh
signifikan dan jaringan lunak tidak mencukupi. Pada pemeriksaan histologis, duktus
terminal laktiferus dan unit lobuler menjadi atropi dan digantikan dengan fibrosis
berat

5. Tatalaksana
5.1 Non Pembedahan
a. Menarik putting
Metode menarik puting atau dikenal juga dengan nipple rolling (tug and
roll) merupakan intervensi pertama dari inversi puting. Latihan ini dilakukan tiga
hingga empat kali setiap hari. Ibu secara lembut menarik dan menggulirkan puting
keluar dengan jari-jari dan ibujarinya hingga ia merasa terenggang. Rotasikan
jari-jari dan ibu jari di sekitar puting dan kemudian diulang kembali.
b. Latihan Hoffman
Teknik Hoffman dapat dilakukan dengan meletakkan kedua ibu jari pada
dasar puting dan dengan lembut dilakukan gerakan menjauhkan kedua ibu jari
satu sama lain. Latihan menggunakan teknik Hoffman ini dilakukan tiga hingga
empat kali sehari untuk memisahkan adhesi yang mungkin menyebabkan retraksi
atau inversi dari puting. Latihan ini dilakukan dengan arah gerakan kedua ibu jari
secara horizontal dan kemudian dilanjutkan dengan arah gerakan vertical

c. Cup (Shell) payudara


Penggunaan cup (shell) payudara, dengan ukuran yang sesuai dengan
ukuran bra, memberikan tekanan lembut ke payudara. Penggunaan cup (shell)
payudara ini awalnya digunakan selama satu hingga dua jam per hari, perlahan
penggunaannya semakin lama hingga satu hari penuh. Cup (shell) payudara harus
dilepas saat tidur untuk mencegah terjadinya blokade saluran air susu. Dengan
penekanan lembut dari cup (shell) payudara, puting dan areola akan menonjol ke
bagian tengah dari shell. Pada cup (shell) payudara terdapat lubang udara yang
sebaiknya diposisikan di atas sehingga mencegah kebocoran air susu ke baju.
5.2 Pembedahan
Terdapat pula berbagai macam prosedur yang telah dijelaskan untuk koreksi
pembedahan, akan tetapi terjadinya hiposensitisasi dan kehilangan kemampuan untuk
menyusui merupakan masalah utama dari prosedur pembedahan ini. Kebanyakan
prosedur melibatkan insisi kecil areolar atau insisi pada dasar puting. Jaringan ikat
yang menempel akan terenggangkan namun seringkali diperlukan pembelahan dari
duktus.

DAFTAR PUSTAKA

Hunt, Kelly K; Green, Marjorie C.; Buchholz, Thomas A. 2012. Disease of the Breast. Sabiston

Textbook of Surgery 19th ed. Elsevier.

Karacaoglu, Ercan. 2012. Correction of Inverted Nipple: Comparison of Techniques with Novel

Approaches. Current Concepts in Plastic Surgery. InTech: Eropa.

Lawrence, Robert M; Lawrence, Ruth A. 2014. The Breast and the Physiology of Lactation.

Creasy and Resnik’s Maternal-Fetal Medicine: Principle and Practice. Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai