SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Humaniora
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang
berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan Plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indonesia.
ii
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang
NPM : 0606086413
Tanda tangan :
iii
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 13 Januari 2011
oleh
Dekan
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
iv
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Mudah-mudahan skripsi ini
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.
vi
Dibuat di : Depok
Pada tanggal: 13 Januari 2011
Yang menyatakan
vii
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME............................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................... iv
KATA PENGANTAR............................................................................................. v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH................................ vi
ABSTRAK............................................................................................................... viii
ABSTRACT............................................................................................................. viii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………... ix
DAFTAR FOTO..................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................. xiii
1. PENDAHULUAN…………………………………………………………....... 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 1
1.2 Permasalahan dan Tujuan Penelitian...……....…………………………….. 3
1.3 Metode Penelitian…………………………....…………………………….. 4
1.4 Sistematika Penulisan.................................................................................... 7
ix Universitas Indonesia
4. KESIMPULAN.....................................................................………………… 65
DAFTAR REFERENSI…..……………………………………………………. 68
x Universitas Indonesia
xi Universitas Indonesia
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Humaniora Jurusan Arkeologi pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini,
sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. R. Cecep Eka Permana, S.S., M.Si. selaku pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan serta melatih
mental saya agar tetap bersabar dan tekun dalam menyelesaikan skripsi
ini, Ingrid Harriet Eileen Pojoh, S.S., M.Si. dan Tawalinuddin Haris, M.S.
yang telah bersedia membaca, mengoreksi, memberikan saran serta
menuntun saya dengan sabar dalam pengerjaan skripsi.
2. Pihak pengurus Gereja Paulus yang telah membantu saya dalam usaha
memperoleh data yang saya perlukan terutama Pak Julius dan Ibu Hotni
yang selalu mengizinkan saya mengumpulkan foto-foto gereja. Bapak Ian
Iskandar dari Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta
yang telah memberikan worksheet dari Gereja Paulus.
3. Papa dan Mama, atas doa, semangat dan dukungan penuh selama masa
studi di Universitas Indonesia. Yai dan Nyai yang telah menjadi motivasi
saya dalam mengerjakan skripsi ini. Dek Fahri yang turut membantu
pembuatan gambar-gambar Gereja Paulus. Serta Dek Reza yang sering
membangunkan saya di tengah malam.
4. Sri Utami Putri yang selalu setia menemani saya, memberikan semangat,
motivasi dan bersabar menghadapi keluhan dan kegusaran hati saya
selama mengerjakan skripsi.
5. Teman-teman Arkeologi angkatan 2006 yaitu Ario Febrianto dan Tornado
Gregorius sebagai sesama peneliti gereja yang telah memberi saya banyak
masukan dan sering menjadi teman sharing, Alvin Abdul Jabbar, Virta
Skripsi ini membahas mengenai gaya bangunan pada abad ke-20. Obyek
penelitian ini adalah Gereja Paulus yang terletak di Jalan Sunda Kelapa No.12,
Menteng, Jakarta Pusat. Metode penelitian dilakukan dengan cara
membandingkan elemen-elemen yang ada pada Gereja Paulus dengan bangunan
yang ada di Eropa dan Indonesia. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa
terdapat beberapa macam unsur gaya yang dipadukan pada bangunan Gereja
Paulus. Di dalamnya terdapat perpaduan gaya Eropa dan tradisional Indonesia.
Perpaduan dua gaya antara Eropa dan tradisional Indonesia ini disebut dengan
arsitektur Indis. Maka dari itu, diperoleh kesimpulan bahwa Gereja Paulus
Menteng merupakan salah satu bangunan bergaya Indis.
Kata Kunci: Gereja, Gereja Paulus, gaya arsitektur gereja, eklektisme, arsitektur
Indis, bangunan Indis.
ABSTRACT
The focus of this thesis is architectural style in 20th century. Object of this
research is the Paulus Church which located at Jalan Sunda Kelapa No.1,
Menteng, Central of Jakarta. Method used in this research is comparison of
elememnts of the Paulus Church with building from similiar period in Europe and
Indonesia. Analysis result shows that there some architectural style applied in
Paulus Church. There is a mixture of European architectural style with Indonesian
tradisional style. The mixture of those architectural style called as Indis
Architecture. This research conclude that Paulus Church is one of the Indis
architecture building.
1 Universitas Indonesia
tersebut bercampur dan membentuk suatu gaya baru yang belum pernah ada
sebelumnya (Whittick, 1974: 17-19).
Di Indonesia, paham eklektisme mempengaruhi bentuk bangunan-
bangunan yang didirikan pada awal abad ke-20. Bentuk bangunan di Indonesia
ikut terpengaruh eklektisme karena adanya para arsitek Belanda yang membawa
aliran tersebut dan bekerja di Indonesia. Dalam bangunan yang didirikan, tidak
hanya menerapkan berbagai unsur gaya arsitektur Eropa, tetapi juga menggunakan
unsur arsitektur tradisional Indonesia dan disesuaikan dengan iklim (Handinoto,
1996: 151-152). Unsur Eropa terlihat pada bangunan yang sekarang menjadi
Museum Nasional. Bangunan tersebut memiliki ciri arsitektur Yunani yang
terlihat pada bagian muka bangunan yang berupa portico1 dan pediment2, selain
itu pada sayap kiri dan kanannya terdapat deretan kolom Dorik, sehingga
membuat bangunan tersebut tampak seperti kuil Yunani (Heuken, 2008: 75).
Selain itu, ciri Eropa terlihat juga pada bangunan Museum Sejarah Jakarta. Dilihat
dari luar, bangunan ini memiliki bentuk yang simetris. Pada dinding bagian atas
dan bawah terdapat jendela-jendela berukuran lebar yang memiliki dua daun
jendela. Pada sisi miring atap terlihat adanya dormer3, sedangkan di tengah-
tengah atap bangunannya terdapat cupola4.
Unsur arsitektur tradisional Indonesia dan penyesuaian terhadap iklim
dapat terlihat pada bangunan-bangunan tradisional dari berbagai daerah, misalnya
rumah tradisional Jawa. Rumah tradisional Jawa memiliki denah persegi atau
persegi panjang, biasanya didirikan di atas tanah yang ditinggikan kurang lebih
30 cm dari permukaan tanah. Hal ini dimaksudkan agar udara basah dan lembab
yang berasal dari dalam tanah tidak mempengaruhi ruang di dalamnya. Dinding
rumah tradisional Jawa terbuat dari anyaman bambu, sedangkan atapnya memiliki
kemiringan yang sangat tajam dan lebar yang melebihi lebar bangunan (Wuisman,
2007: 39-40).
1
Portico adalah konstruksi beratap yang ditumpu oleh deretan kolom, sebagai ruang peralihan luar
dan dalam (Sumalyo, 2003: 545).
2
Pediment adalah konstruksi segitiga pada atap yang disangga oleh kolom-kolom (Sumalyo, 2003:
544).
3
Dormer adalah jendela kecil yang terdapat pada sisi miring atap (Sumalyo, 2003: 542).
4
Cupola adalah struktur menyerupai kubah yang biasanya terdapat pada puncak atap (Sumalyo,
2003: 543)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Protestan yang terdapat di daerah Menteng (Yayasan Untuk Indonesia, 2005: 348)
yang dibangun dengan konsep pemukiman modern. Sejak dibangun, belum
pernah mengalami perubahan yang berarti sehingga keasliannya masih tetap
terjaga hingga sekarang. Selain itu hingga kini belum diketahui pasti mengenai
gaya bangunan Gereja Paulus tersebut. Oleh karena itu, muncul pertanyaan:
Bagaimanakah gaya bangunan yang terdapat pada Gereja Paulus? Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui gaya bangunan yang terdapat pada Gereja
Paulus.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 1 : PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang, permasalahan dan tujuan, metode, dan
sistematika penelitian. Latar belakang berisi alasan pemilihan topik penelitian.
Permasalahan dan tujuan penelitian berisi masalah yang menjadi pertanyaan
dalam penelitian dan tujuan yang diharapkan dari penelitian yang dilakukan.
Metode berisi tahapan penelitian yang dilakukan sejak dari awal hingga akhir
penelitian. Sistematika penelitian berisi tahapan penulisan penelitian yang
dilakukan dari awal hingga akhir penelitian.
Universitas Indonesia
BAB 4 : KESIMPULAN
Bab ini berisi kesimpulan dari data yang telah dianalisis. Hasil analisis dari
elemen-elemen bangunan yang menyusun Gereja Paulus akan disimpulkan secara
keseluruhan agar dapat diketahui gaya bangunan dari Gereja Paulus.
Universitas Indonesia
5
Nama ini diambil dari nama seorang bernama Bisschop, ia pernah menjadi walikota Batavia pada
tahun 1916-1920. Ia merupakan anggota dari vrijmetselaarij (sebuah organisasi semi - rahasia)
yang berkantor di gedung yang sekarang dikenal dengan nama Gedung Bappenas (Heuken,
2001:72).
9 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Bangunan Gereja Paulus memiliki luas 480 m2, dengan bagian depan
menghadap ke timur. Denah bangunan berbentuk salib berlengan sama panjang
atau dikenal juga dengan nama salib Portugis.
14,5 m
4,2 m
2m
6,6 m
9,5 m
5m
14,5 m 14,5 m
3,5 m
10,7 m
14,5 m
Gambar 2.2 Denah Bangunan Gereja Paulus
(Sumber : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, 2008)
Universitas Indonesia
Bangunan Gereja Paulus dinaungi atap pelana besar dan curam yang
memiliki kemiringan 45o. Atap tersebut berupa atap pelana silang yang
menghadap ke keempat arah berbeda. Pada setiap sisi dinding bangunan, mulai
dari dasar hingga ketinggian 3,5 m dilapisi batu halus yang dicat hitam (dulu
dilapisi batu alam). Pada bangunan Gereja Paulus ini terdapat pula menara
lonceng yang terletak di timur laut dan menempel di dinding. Denah menara
berbentuk segi empat, atapnya berbentuk piramid, memiliki kemiringan yang
sangat curam (750). Di puncak atap menara terdapat hiasan ayam jantan sebagai
penanda arah mata angin (Soekiman, 2000: 267). Di bagian atas dinding menara,
pada keempat sisinya, terdapat jam besar (foto 2.1).
Universitas Indonesia
kanan bangunan merupakan sisi yang menghadap ke arah selatan dan bagian kiri
bangunan adalah sisi yang menghadap ke arah utara.
Ventilasi
Atap Menara
Gable
Jendela
Atap Kecil
Teras
Tangga
6
Porch adalah konstruksi beratap yang menempel pada bangunan, kadang-kadang tertutup dinding
atau setengah tertutup. Berfungsi sebagai ruang peralihan antara luar dan dalam (Sumalyo, 2005:
719).
Universitas Indonesia
Di dalam teras terdapat tiga pintu masuk yang disekat oleh dinding yang
memanjang hingga bagian paling atas dari anak tangga. Bagian depan dari dinding
tersebut berupa pilaster7 yang di tengahnya terdapat pegangan tangga. Pada
dinding-dinding teras terdapat hiasan geometri (foto 2.2).
Hiasan
Pilaster
Geometri Pintu
Pegangan
Tangga
Tangga
Tangga masuk bangunan memiliki lebar 10,7 m, terdiri dari enam anak
tangga yang secara keseluruhan setinggi 1,6 m dari permukaan tanah. (foto 2.2).
Ketiga pintu masuk untuk menuju ruang ibadah memiliki ciri dan bentuk yang
sama. Setiap pintu memiliki dua daun pintu. Masing-masing pintu berukuran 1,8
m dan tinggi 2,25 m (satu daun pintu memiliki lebar 90 cm). Pada satu daun pintu
terdapat lima kaca kecil berbentuk persegi panjang yang disusun secara vertikal.
Setiap kaca tersebut berukuran 20 x 15 cm (foto 2.3 halaman 15).
7
Pilaster adalah bagian dinding yang menonjol keluar sehingga terlihat seperti tiang yang
menyatu dengan dinding, kadang dihias dengan kepala (capital) dan landasan (base) (Sumalyo,
2003: 545).
Universitas Indonesia
Pilaster berukuran tinggi 2,5 m, lebar 0,5 m, dan tebal 10 cm. Pilaster
tersebut terdiri dari bagian badan dan kepala. Bagian bawah pilaster hingga
ketinggian 1,7 m, dilapisi dengan batu halus yang dicat hitam. Pada bagian kepala,
terdapat profil horizontal pada bagian bawah dan di bagian atasnya terdapat profil
yang menyerupai huruf L yang saling membelakangi, di tengah kedua huruf
tersebut terdapat profil yang lebih menonjol keluar dibanding yang lainnya (foto
2.4).
Kepala
Badan
Universitas Indonesia
Pada bagian dinding kiri dan kanan teras, terdapat bidang persegi panjang
berukuran panjang 1,5 m dan lebar 0,8 m yang di dalamnya terdapat dua jenis
hiasan. Hiasan pertama terdapat pada bagian atas, berbentuk segi enam yang
berulang, diantara pengulangan tersebut terdapat hiasan berbentuk bulat yang
menonjol. Hiasan ini memiliki ukuran panjang 1,5 m dan lebar 60 cm. Hiasan
kedua terletak di bawah hiasan pertama, hiasan tersebut berupa dua garis
horizontal yang berbentuk persegi panjang, masing-masing berukuran panjang 1,5
m dan lebar 0,1 m (foto 2.5).
Pada bagian muka sebelah kanan terdapat sebuah atap kecil jenis pelana
yang berbahan sirap dan memiliki kemiringan yang sama dengan atap besar
bangunan Gereja Paulus. Atap ini sebenarnya merupakan bagian yang menaungi
tangga yang terdapat di dalam bangunan. Pada bagian tengah atap ini terdapat
jendela berbentuk persegi panjang yang ditampakkan secara vertikal berukuran
1,3 x 0,2 m. Di bagian bawah (kaki) bidang segitiga atap tersebut terdapat bidang
berbentuk persegi panjang yang lazim disebut dengan overstek8 (foto 2.6 halaman
17).
8
Overstek adalah bagian atap yang menjorok (steeken) ke luar (over).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Ventilasi
Atap
Gable
Jendela
Universitas Indonesia
Atap
Jendela
Badan
Kaki
Ruang bagian atas menara dapat dicapai melalui tangga besi yang terdapat
di balkon di dalam bangunan. Tangga tersebut terdiri dari lima tingkat. Masing-
masing tangga berukuran tinggi 4 m dengan kemiringan 750 (foto 2.9 dan 2.10).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Atap Ventilasi
Menara
Jendela
Jendela
Batu Halus
Pada bagian kiri dan kanan kaki segitiga atap, terdapat overstek berbentuk
persegi panjang yang mengarah ke dalam bidang segitiga. Di bagian ujung
overstek terdapat profil horizontal yang berjumlah enam buah, tiga di sebelah
kanan dan tiga di sebelah kiri.
Pada bagian tengah gable terdapat jendela berbentuk persegi panjang yang
disusun berjajar secara vertikal dan simetris. Ukurannya bervariasi mulai dari
ukuran terpendek terletak di sebelah paling kanan dan kiri, semakin ke tengah
semakin panjang. Ukuran jendela dari paling kiri atau kanan adalah dua meter,
empat meter, dan enam meter yang berada di tengah. Di atas jendela terdapat
ventilasi berbentuk lubang persegi panjang yang disusun secara vertikal, sebanyak
Universitas Indonesia
tujuh buah dengan ukuran bervariasi mulai dari 0,5 m, 0,8 m, 1,1 m, dan 1,3 m. Di
bawah jendela tersebut terdapat jendela yang berukuran lebih kecil berjumlah
sembilan buah disusun secara horizontal. Pada sisi bagian atas dan bawah jendela
tersebut terdapat profil horizontal yang sejajar dengan panjang jendela (gambar
2.4 halaman 21).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
bagian depan bangunan, pada arsitektur Gereja Katolik disebut dengan apse. Pada
bagian bawah satu ruangan ini terdapat altar, ruang majelis dan ruang paduan
suara. Sementara itu, bagian atasnya berupa balkon, di dalam balkon terdapat alat
untuk memainkan orgel yang menempel pada dinding di atas balkon. Ruang II
merupakan ruang tempat jemaat duduk, pada arsitektur Gereja Katolik, Ruang II
terdiri dari dua bagian yang disebut dengan nave dan aisle. Pada bagian bawah
Ruang II ini terdapat kursi jemaat, tiang, jendela dan pintu, sedangkan bagian
atasnya berupa balkon di ketiga sisi bangunan yaitu sisi utara, selatan dan timur.
Balkon ini tidak menempel dengan balkon yang terdapat di ruang I.
Keterangan
: Ruang I
O : Tiang
------ :: Ruang
BalkonII
Universitas Indonesia
Foto 2.16 Bagian Bawah Ruang I Foto 2.17 Bagian Atas Ruang I
(Dok. Achmad Ghazali, 2010) (Dok. Achmad Ghazali, 2010)
9
Apse adalah ruang setengah lingkaran, bagian dari lingkaran atau sebagian dari segi banyak,
biasanya di dalam gereja ujung di sumbu tengah dari ruang altar (Sumalyo, 2003: 539).
Universitas Indonesia
Pintu Lampu 1
Balkon Lampu 2
a. Altar
Altar merupakan tempat memimpin peribadatan, berupa bidang berbentuk
persegi panjang berukuran 5 x 6,6 m yang ditinggikan dua tingkat dengan ukuran
40 cm lebih tinggi dibandingkan lantai sekitarnya. Penutup lantai altar berjenis
tegel berbentuk persegi berukuran 40 x 40 cm, berwarna abu-abu polos. Pada
altar terdapat mimbar utama, mimbar kecil, meja altar yang ditempatkan di atas
karpet, wadah baptisan, meja untuk meletakkan kantong sumbangan (kolekte).
Selain itu yang juga termasuk dalam bagian altar adalah meja dengan hiasan salib
tempat untuk memasukkan sumbangan yang terdapat di depan altar (foto 2.18).
Universitas Indonesia
Mimbar kecil terletak di depan sebelah kanan mimbar utama (foto 2.18
halaman 27). Mimbar kecil ini berukuran 70 x 50 cm dan tinggi 1 m. Mimbar ini
terbuat dari kayu berwarna coklat (foto 2.20).
Universitas Indonesia
Di sebelah kanan dan kiri altar terdapat meja untuk meletakkan kantong
sumbangan (kolekte). Meja tersebut berukuran 160 x 30 cm dan tinggi 70 cm.
Pada meja tersebut terdapat garis-garis berbentuk horizontal yang membuat meja
tampak bertingkat-tingkat (foto 2.21).
Universitas Indonesia
c. Ruang Majelis
Ruang Majelis terletak di sebelah kanan altar. Di ruang Majelis ini
terdapat 45 kursi. Kursi-kursi tersebut menghadap ke altar. Jenis kursi yang
terdapat di ruang majelis ini sama dengan kursi yang pada ruang paduan suara,
yaitu berukuran 60 x 60 cm dengan tinggi 70 cm (foto 2.24). Tegel yang
digunakan di ruang ini sama dengan lantai yang terdapat di ruang jemaat.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Jenis kedua adalah satu lampu berbentuk silinder. Rumah lampu terbuat
dari kayu. Lampu tersebut ditutup dengan peredam cahaya berwarna putih. Di atas
lampu tersebut terdapat bagian dinding yang menonjol berbentuk setengah
lingkaran yang terbagi dua oleh garis berbentuk horizontal (foto 2.29).
d. Balkon Ruang I
Pada ruang I terdapat balkon yang berada di atas altar dan menempel pada
dinding sisi barat (gambar 2.7 halaman 26). Balkon tersebut berbentuk persegi
Universitas Indonesia
panjang, berukuran panjang 9,5 m dan lebar 2 m. Bagian muka balkon dilapisi
dengan kayu berwarna coklat (foto 2.30). Di atas balkon terdapat orgel yang
menempel di dinding (foto 2.31). Balkon ini diisi dengan alat untuk memainkan
orgel.
Di bawah balkon terdapat dua penopang balkon terbuat dari beton yang di
cat putih. Bentuknya persegi panjang, pangkalnya menempel pada dinding
sedangkan ujungnya terlihat mengait balkon yang ditopangnya. Pada pangkal
penopang terdapat hiasan berbentuk horizontal (foto 2.32).
Universitas Indonesia
Tiang
Balkon Balkon Jendela
Pintu
Lampu Balkon
Tangga
10
Nave adalah bagian tengah memanjang dari belakang hingga altar, tempat untuk umat dari
sebuah gereja (Sumalyo, 2003: 544).
11
Aisle adalah ruang memanjang pada gereja, paralel di kiri dan kanan dari nave. Biasanya antara
nave dengan aisle dipisahkan oleh deretan kolom (arcade). Kadang aisle digunakan untuk
sirkulasi atau gang di dalam gereja, kadang juga untuk tempat duduk jemaat (Sumalyo, 2003: 539)
Universitas Indonesia
a. Lantai
Penutup lantai Ruang II berjenis tegel berbentuk persegi berukuran 20 x 20
cm, berwarna coklat polos. Tegel ini terdapat di seluruh permukaan ruang II
termasuk di balkon (foto 2.33).
b. Kursi
Kursi pada ruang jemaat berjumlah 306 kursi. Kursi ini berjenis sama
dengan kursi yang terdapat di ruang paduan suara, yaitu berukuran 60 x 60 cm
dengan tinggi 70 cm (foto 2.34), rangka kursi terbuat dari kayu berwarna coklat,
sedangkan sandaran lengan dan punggung terbuat dari anyaman rotan yang
berwarna coklat muda. Kursi ini memenuhi hampir keseluruhan ruang II dan
menghadap ke altar. Kursi ini disandingkan satu sama lainnya menjadi satu
kesatuan melalui ambalan yang terdapat di belakang sandaran. Papan tersebut
biasa digunakan untuk meletakkan Alkitab dan liturgi. Satu kesatuan kursi
tersebut dapat terdiri dari 10, 5, 4 dan 3 kursi.
Universitas Indonesia
c. Tiang
Tiang yang terdapat pada bagian dalam bangunan Gereja Paulus berbentuk
silindris, berdiameter 110 cm dengan tinggi 3 meter (foto 2.35). Pada bagian dasar
tiang dilapisi marmer berwarna hitam setinggi 15 cm (foto 2.36). Sebagian dari
tiang, mulai dari bagian atas lapisan marmer hingga setinggi 2 m dilapisi kayu
berwarna coklat, sisanya hingga “kepala tiang” tidak dilapisi kayu, hanya dicat
putih. Bagian “kepala tiang” ini berbentuk lingkaran, di sekelilingnya terdapat
lampu serta peredam cahaya berwarna putih agar cahaya lampu tidak terlalu
menyilaukan (foto 2.37).
d. Jendela
Jendela terdapat di dinding sisi utara bagian atas dan bawah, dinding sisi
timur bagian atas, dan bagian atas dinding sisi selatan. Jendela pada dinding utara
bagian bawah berjumlah sembilan dan berderet secara horizontal (foto 2.38
halaman 36). Jendela berbentuk persegi panjang dengan ukuran 80 x 50 cm.
Jendela ini dapat dibuka dengan cara ditarik ke dalam. Kaca jendela memiliki pola
kotak-kotak dan berwarna merah, hijau, kuning, putih dan biru. Di dekat jendela
ini terdapat dua pengeras suara, dua exhaust fan dan satu air conditioner (foto
2.39 halaman 36).
Universitas Indonesia
Jendela pada dinding sisi utara dan selatan bagian atas berbentuk persegi
panjang, dipasang secara vertikal, berjumlah lima buah. Jendela tersebut memiliki
ukuran lebar yang sama yaitu 50 cm sedangkan panjangnya berbeda-beda mulai
dari 2 m, 4 m, dan 6 m. Pada kaca jendela terdapat pola persegi panjang yang
terdiri dari bermacam-macam warna yaitu merah, hijau, kuning, putih, dan biru.
Jendela yang terletak paling kiri dan kanan dapat dibuka dengan diputar secara
horizontal. Sedangkan tiga jendela yang terdapat di tengahnya tidak dapat dibuka
(foto 2.40).
Foto 2.40 Jendela pada Dinding Sisi Utara dan Selatan Bagian Atas
(Dok. Achmad Ghazali, 2010)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
f. Lampu
Di Ruang II terdapat dua lampu di dinding sisi timur. Lampu ini terletak
pada dinding sisi timur, di bawah balkon (gambar 2.8 halaman 33). Lampu ini
berbentuk silinder dan merupakan jenis lampu yang sama dengan lampu jenis dua
yang ada di Ruang I, yaitu rumah lampu terbuat dari kayu. Lampu tersebut ditutup
dengan peredam cahaya berwarna putih. Di atas lampu tersebut terdapat bagian
dinding yang menonjol berbentuk setengah lingkaran yang terbagi dua oleh garis
berbentuk horizontal (foto 2.43).
Universitas Indonesia
halaman 33), merupakan tangga yang terbuat dari kayu yang berwarna coklat.
Dinding di sekitar tangga dilapisi kayu berwarna coklat (foto 2.44).
h. Balkon Ruang II
Balkon Ruang II tidak menyambung dengan balkon Ruang I. Balkon ini
merupakan tempat duduk jemaat dan dipenuhi oleh kursi-kursi yang bentuknya
sama dengan kursi jemaat yang terdapat di bagian bawah. Balkon ini terdapat
pada ketiga sisi bangunan yaitu utara, timur dan selatan. Tegel balkon memiliki
jenis dan ukuran yang sama dengan tegel yang berada di bagian bawah Ruang II.
Di belakang balkon ini terdapat dua pintu yang menghubungkan bagian bawah
Ruang II dan balkon. Pintu tersebut berjenis dan berukuran sama dengan pintu
yang menuju Ruang Pertemuan. Selain itu juga terdapat tangga yang
menghubungkan bangunan menuju ruang bagian atas menara (foto 2.45).
Universitas Indonesia
Di bawah balkon yang menempel pada dinding timur terdapat dua beton
penopang. Penopang ini berbentuk persegi panjang yang menempel mulai dari
dinding timur hingga bagian depan balkon. Pada pangkal penopang ini terdapat
ukiran horizontal yang menyerupai tangga (foto 2.46). Sedangkan bagian ujung
penopang yang menempel di bagian depan balkon nampak seperti tonjolan yang
menyerupai persegi panjang.
Di bawah balkon sisi timur terdapat bagian dinding yang menonjol keluar,
berbentuk persegi panjang. Bagian ini terbuat dari beton dan tersambung dengan
lampu silinder yang berada di dekatnya (foto 2.47).
Beton
Menonjol
Universitas Indonesia
Bab ini berisi pengolahan data hasil deskripsi pada bab sebelumnya. Hasil
deskripsi tersebut dianalisis dengan cara mengaitkannya dengan permasalahan dan
tujuan penelitian. Tujuan penelitian untuk mencari gaya bangunan Gereja Paulus
dapat dilakukan dengan cara mempelajari bentuk elemen-elemen yang menyusun
bangunan tersebut. Elemen-elemen penyusun bangunan Gereja Paulus perlu digali
lebih dalam sehingga nantinya akan didapatkan informasi yang dapat
mengarahkan pada kesimpulan bagaimanakah gaya yang terdapat pada bangunan
Gereja Paulus.
Dalam proses analisis elemen penyusun bangunan Gereja Paulus akan
dibagi menjadi empat, yaitu elemen struktural, elemen fungsional, elemen
ornamental dan elemen lepas. Elemen struktural adalah bagian dari bangunan
yang menerima beban konstruksi bangunan secara keseluruhan dan dapat juga
berupa komponen bangunan yang menjadi faktor terbentuknya suatu bangunan.
Elemen fungsional adalah bagian dari bangunan yang mempunyai fungsi tertentu
dan juga berkaitan dengan kenyamanan dalam bangunan. Elemen ornamental
adalah bagian dari bangunan yang berfungsi sebagai penghias untuk menambah
keindahan suatu bangunan. Elemen lepas adalah bagian dari gereja Paulus yang
dapat dengan mudah dipindahkan, misalnya alat-alat yang terdapat dalam
bangunan termasuk juga furnitur.
Sebelum memulai analisis, di bawah ini akan dijelaskan mengenai
beberapa gaya arsitektur yang kemungkinan terdapat pada bangunan Gereja
Paulus. Penjelasan tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman yang
membantu proses analisis mengenai gaya arsitektur Gereja Paulus.
41 Universitas Indonesia
mudah dikenali dari ciri khasnya yang menekankan pada aspek vertikalitas dan
pencahayaan (Frankl, 2000: 263-269).
Beberapa ciri khas dari arsitektur masa Gotik antara lain berupa
penggunaan struktur flying buttress, rib vault (pelengkung rusuk) dan menara.
Flying Butress adalah sistem struktur yang menggunakan balok miring yang
melayang, berfungsi menyalurkan beban dari atap agar dapat memperkuat
bangunan dan juga sebagai estetika. Langit-langit bangunan gotik memiliki
bentuk yang dinamakan dengan rib vault. Rib vault adalah bentuk kubah yang
menyerupai rusuk. Terbentuk dari persilangan pelengkung yang menggunakan
sistem konstruksi kolom dan penyangga atap tidak terpisah sehingga dapat
menghasilkan bentuk runcing pada langit-langit. Menara pada arsitektur Gotik
memiliki bentuk yang berbeda dari masa sebelumnya, penggunaan menara
sebenarnya sudah ada sejak zaman Romawi dengan bentuk yang silinder. Ketika
masa Arsitektur Gotik, menara berbentuk sangat runcing dan menjulang tinggi
(Frankl, 2000: 263-269).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
pada Gereja Katedral Santo Petrus dan Gereja Bethel yang terdapat di Bandung
dan dibangun pada tahun 1920-an (foto 3.1 dan 3.2). Bentuk bangunan Gereja
Paulus pada bagian tampak muka juga memperlihatkan ciri asimetrisme.
Asimetrisme yang dimaksud terlihat dari tidak samanya bentuk sebelah kanan dan
kiri bangunan. Pada sebelah kanan terdapat atap kecil sedangkan pada sebelah kiri
terdapat menara yang menyatu dengan dinding, ciri inilah yang dimaksud dengan
ketidaksimetrisan dalam bangunan yang terdapat pada Gereja Paulus. Berdasarkan
uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa asimetrisme tampak depan
bangunan Gereja Paulus dipengaruhi oleh eklektisme yang berkembang pada abad
ke-20.
3.4.2 Lantai
Lantai memiliki peran yang kuat dalam mempengaruhi, bahkan
menciptakan suasana dalam ruangan. Kriteria lantai, seperti bentuk, warna dan
pola yang berbeda di setiap ruangan akan memberikan kesan yang berbeda pula
(Berman, 1997: 6). Bentuk dan pola lantai menentukan sejauh mana bidang lantai
tersebut membentuk batas-batas ruang atau berfungsi sebagai unsur penyatu untuk
bagian-bagian ruang yg berbeda. Lantai dapat ditinggikan untuk menunjukkan
tempat yang disucikan atau dihormati (Ching, 1999 : 21). Selain itu, warna dapat
Universitas Indonesia
mempengaruhi kesan dalam ruang, yaitu kesan dingin, kaku atau kehangatan
suatu ruangan (Berman, 1997: 14).
Pada bangunan Gereja Paulus terdapat tiga tingkatan lantai, ditandai
dengan tegel yang berbeda warna. Bila dikaitkan dengan dua pendapat di atas,
perbedaan ketinggian lantai dan jenis tegel yang berbeda diduga digunakan untuk
menunjukkan perbedaan fungsi dan tingkat kesakralan pada ruang yang terdapat
di dalam bangunan Gereja Paulus walaupun di antaranya tidak terdapat
sekat/batas fisik yang nyata. Pemilihan warna lantai yang cenderung redup dapat
dianggap sebagai suatu usaha untuk menciptakan suasana yang temaram, sesuai
dengan fungsi bangunan sebagai tempat ibadah.
Selain itu juga, terkait dengan perbedaan ketinggian lantai bangunan
Gereja Paulus secara keseluruhan yang lebih tinggi dari permukaan di sekitarnya,
hal itu bisa jadi merupakan usaha penyesuaian terhadap lingkungan. Karena lantai
yang ditinggikan dari permukaan tanah dapat berfungsi untuk menangkal udara
basah dan lembab (Soekiman, 2000: 138).
3.4.3 Dinding
Dinding merupakan pembatas bangunan dari halaman luar dan juga
sebagai pembatas antar ruang di dalam bangunan (Surowiyono, 1996 :19). Bentuk
dinding yang cukup tebal merupakan salah satu upaya agar panas atau dingin yang
berasal dari luar tidak mempengaruhi keadaan didalam ruangan (Nashed,
1995:22). Pada bangunan yang didirikan pada masa kolonial Belanda, dinding
bangunan dibuat tebal. Hal ini merupakan suatu usaha penyesuaian terhadap
lingkungan sekitar untuk menangkal panas matahari (Soekiman, 2000: 136).
Pada masa awal didirikannya Gereja Paulus, belum digunakan pengatur
suhu udara atau air conditioner, pengaturan suhu dalam ruangan diupayakan
secara alami. Bila dilihat dari ketebalan dinding bangunan Gereja Paulus yang
cukup tebal yaitu 50 cm dan dikaitkan dengan pendapat Soekiman mengenai
ketebalan dinding bangunan, dapat ditarik kesimpulan bahwa hal ini merupakan
suatu usaha yang secara sengaja dilakukan untuk meredam panas matahari agar
tidak mempengaruhi suhu ruangan. Penggunaan dinding tebal ini tidak hanya
terdapat pada bangunan Gereja Paulus, bangunan-bangunan yang didirikan pada
Universitas Indonesia
tahun yang relatif berdekatan seperti Gereja Bethel di Bandung dan Gereja
Theresia yang terletak di satu kawasan yang sama dengan Gereja Paulus juga
memiliki dinding yang juga relatif tebal.
Universitas Indonesia
Pada bangunan Gereja Paulus, tiang hanya terdapat di ruang ibadah yang
berfungsi untuk menopang balkon. Bila diamati secara keseluruhan, tiang pada
bangunan Gereja Paulus tidak terdapat hiasan khusus. Kemungkinan hal ini
disebabkan oleh pengaruh dari eklektisme yang berkembang pada abad ke-20
yang ingin menciptakan suatu bentuk baru, berbeda dari yang sudah ada
sebelumnya. Bentuk yang sederhana dan ketiadaan hiasan pada tiang bangunan
Gereja Paulus merupakan salah satu perwujudan dari “bentuk baru” yang belum
pernah ada pada masa sebelumnya. Bentuk tiang yang memiliki “bentuk baru” ini
dapat juga dijumpai pada bangunan-bangunan lain seperti Gereja PNIEL yang
didirikan tahun 1915 di daerah Pasar Baru Jakarta, Gereja Santa Theresia yang
dibangun pada tahun 1934 di lokasi yang berdekatan dengan Gereja Paulus, dan
Gedung SMN di Semarang yang dibangun tahun 1930. Perwujudan dari
eklektisme pada tiang kesemua bangunan yang disebutkan di atas adalah sama
yaitu berbentuk sederhana dan tidak ada hiasan khusus yang melekat pada bagian-
bagian tiang (foto 3.3, 3.4, dan 3.5).
Foto 3.5
Tiang Bangunan SMN Semarang
Foto 3.4 (Sumber : Sumalyo, 1995: 51)
Foto 3.3 Tiang Gereja PNIEL
(Dok. Achmad Ghazali, 2010) Tiang Gereja Santa Theresia
(Dok.
Ario Febrianto, 2010)
Universitas Indonesia
3.4.6 Langit-Langit
Ketinggian langit-langit merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi
kesejukan dalam ruangan. Bangunan yang mempunyai langit-langit tinggi akan
terasa lebih sejuk bila dibandingkan dengan bangunan yang memiliki langit-langit
rendah. Bentuk langit-langit tinggi yang terdapat pada bangunan-bangunan masa
kolonial merupakan bentuk yang meniru bangunan di Eropa sebagai upaya
adaptasi terhadap iklim tropis (Widodo, 2009 : 20).
Pada Gereja Paulus, jarak dari lantai hingga titik tertinggi langit-langit
adalah 16,3 meter. Bila dibandingkan dengan skala tubuh manusia, jarak tersebut
dapat dikatakan sangat tinggi. Ketinggian ruangan tersebut dipadukan dengan
bukaan-bukaan berupa jendela lebar yang terletak pada bagian atas di keempat sisi
dinding bangunan, dengan cara tersebut udara dalam ruangan dapat bersirkulasi
dengan lancar sehingga tercipta kenyamanan dalam bangunan. Bila dikaitkan
dengan pendapat di atas, ketinggian langit-langit Gereja Paulus dapat disimpulkan
sebagai salah satu ciri adaptasi bangunan terhadap lingkungan yang dapat
memperlancar udara dalam ruangan. Ciri penyesuaian terhadap iklim ini juga
dapat dilihat dari berbagai bangunan di Indonesia yang dibangun pada masa
kolonial Belanda, contohnya bangunan SMN di Semarang, Gereja Santa Theresia
di Menteng, Gereja PNIEL di Pasar Baru, Gereja Santo Josef di Matraman, Gereja
Bethel dan Gereja Santo Petrus di Bandung.
3.4.7 Atap
Atap merupakan bagian yang paling banyak terkena cahaya matahari dan
air hujan, bagian ini merupakan bagian yang paling mempengaruhi kenyamanan
ruangan (Lippsmeier, 1994 :81). Selain itu, atap juga merupakan mahkota
bangunan yang dapat mewujudkan kebanggaan dan martabat dari bangunan itu
sendiri (Krier, 2001: 287). Oleh karena itu, pemilihan bentuk atap dan bahan yang
digunakan sebagai penutup atap sangat penting untuk diperhatikan.
Gereja Paulus memiliki atap pelana yang menghadap ke keempat arah
berbeda yang disebut juga sebagai atap pelana silang atau hip and valley roof
(Corbell dan Archambault, 2007: 415). Kemiringan atapnya dapat dikatakan
sangat curam, dengan bentuk seperti ini memungkinkan air hujan mengalir lebih
Universitas Indonesia
deras ke tanah sehingga tidak terjadi genangan pada bagian atap yang dapat
menyebabkan kebocoran. Bila dikaitkan dengan Arsitektur Indis, bentuk atap
merupakan salah satu unsur yang menunjukkan ciri Indis pada bangunan. Bentuk
atap pada bangunan Indis biasanya diadopsi dari berbagai bentuk atap yang
terdapat di Indonesia (Soekiman, 2000: 136). Pada Gereja Paulus tidak terdapat
ciri bentuk atap bangunan tradisional Indonesia, karena atap pelana merupakan
bentuk yang sangat umum digunakan pada bangunan dimanapun, namun begitu
tidak dapat disimpulkan begitu saja bahwa atap bangunan Gereja Paulus tidak
menunjukkan ciri bangunan Indis. F.Silaban berpendapat dalam merancang
bangunan tidak perlu meniru-niru bentuk bangunan tradisional, tetapi jiwa dalam
arsitektur tradisional itulah yang perlu ditiru dan diterapkan pada bangunan
(Budiharjo, 1983: 84). Dengan meminjam pendapat tersebut, terdapat
kemungkinan “jiwa” bangunan tradisional Indonesia turut melekat dalam
bangunan-bangunan yang didirikan oleh Belanda, termasuk dalam bangunan
Gereja Paulus dalam hal ini pada bagian atapnya yang mencirikan suatu usaha
penyesuaian terhadap iklim tropis. Maka dari itu, atap bangunan Gereja Paulus
dapat dianggap sebagai bagian dari unsur yang diserap pada bangunan Indis.
Atap pelana dengan kemiringan yang sangat curam juga dapat ditemui
pada beberapa bangunan lain yang didirikan ketika masa kolonial Belanda,
misalnya: pada Gereja Santa Theresia Menteng dan Gereja Katolik Maranata
Surabaya (foto 3.6 dan 3.7). Kesemua bangunan tersebut didirikan pada masa
yang berdekatan dengan dibangunnya Gereja Paulus yaitu pada awal abad ke-20,
bentuk atap pada bangunan-bangunan tersebut memang tidak mencirikan atap
bangunan tradisional Indonesia, namun kemiringan atapnya merupakan unsur
yang diserap dari bangunan tradisional Indonesia.
Foto 3.6 Atap Gereja Santa Theresia Jakarta Foto 3.7 Atap Gereja Maranata Surabaya
(Sumber: Heuken, 2001: 76) (Sumber: Sumalyo, 1995: 131 )
Universitas Indonesia
3.4.8 Menara
Bentuk menara pada bangunan Gereja Paulus dapat dikatakan cukup unik
Bila diamati, menara tersebut menunjukkan ciri eklektisme yaitu adanya
percampuran atau beberapa gaya yang menyusunnya. Contohnya dari bentuk
badan menara, badan menara Gereja Paulus memilik denah dasar persegi. Bentuk
persegi ini kemungkinan merupakan pengaruh dari aliran eklektisme yang
berupaya mewujudkan bangunan dengan bentuk sederhana seperti bentuk persegi
di atas. Pengaruh aliran ini juga terlihat dari badan menara yang terkesan bersih
dari unsur-unsur ornamental.
Bagian lain dari menara yang menunjukkan eklektisme adalah pada bagian
atap. Bentuk bagian atap kemungkinan diambil dari gaya Arsitektur Gotik. Pada
Arsitektur Gotik, atap menara sangat khas dengan bentuk runcingnya seperti yang
terlihat pada foto 3.8.
Bila dilihat dari kedua gambar di atas, bentuk atap menara Gereja Paulus
memiliki kemiripan dengan bentuk atap pada Arsitektur Gotik. Bila dibandingkan,
atap pada Arsitektur Gotik berbentuk lebih panjang, runcing dan memiliki
kemiringan yang lebih tajam dibandingkan dengan atap menara Gereja Paulus.
Universitas Indonesia
Bentuk atap runcing tidak terdapat pada arsitektur tradisional Indonesia, maka
dari itu, terdapat kemungkinan bahwa bentuk atap pada menara Gereja Paulus
mengadopsi bentuk atap menara gereja Arsitektur Gotik. Bangunan lain yang juga
dikatakan memiliki menara beratap Gotik adalah Gereja Santo Petrus di Bandung
(foto 3.10).
3.5.1 Pintu
Pintu merupakan elemen penting dalam bangunan selain sebagai peran
fungsionalnya, pintu merupakan bagian penting karena menjadi perhatian
pertama bagi pengunjung sebelum masuk ke dalam bangunan (Weidhaas, 1989:
Universitas Indonesia
130). Terdapat beberapa jenis pintu, yaitu: hinged12, sliding13, folding14 dan
accordion15. Pintu pada Gereja Paulus berjenis single dan double hinged door.
Pada pintu tersebut terdapat panel-panel dan kaca berbentuk persegi panjang dan
juga. Dalam desain pintu, penggunaan panel dan kaca pada pintu sudah sejak lama
digunakan, oleh karena itu hal ini tidak dapat menjadi ciri tertentu.
Namun yang dapat diperhatikan adalah ada atau tidaknya hiasan yang
terdapat di sekitar pintu. Sebelum tahun 1900an, di sekitar pintu banyak terdapat
hiasan-hiasan tertentu, bingkai atau kusen pintu juga dihias dengan berbagai cara
sehingga membuatnya terkesan ramai. Berbeda dengan pintu pada bangunan yang
didirikan setelah tahun 1900an, di sekitar pintu tidak terdapat hiasan apapun,
kusen pintu juga hanya berupa kayu yang mengikuti bentuk pintu. Ciri pintu pada
abad ke-20 kemungkinan dipengaruhi oleh aliran eklektisme yang berkembang
pada masa itu, termasuk juga pintu yang terdapat pada Gereja Paulus. Penggunaan
hiasan pada unsur bangunan seperti pintu dianggap tidak memiliki fungsi oleh
karena itu hiasan-hiasan tersebut dihilangkan. Penggunaan pintu yang berciri
sederhana semacam ini juga dapat dijumpai pada pintu yang terdapat pada
bangunan Gereja PNIEL. Pintu pada bangunan Gereja PNIEL juga tidak memiliki
hiasan khusus dan hanya terdiri panel-panel serta kaca saja (foto 3.11).
Universitas Indonesia
3.5.2 Jendela
Jendela merupakan elemen bangunan yang berfungsi untuk memasukkan
sinar matahari dan juga diperlukan untuk mengalirkan udara ke dalam ruangan.
Selain itu, jendela juga dapat menjadi penghias untuk bagian dalam maupun luar
bangunan. Berdasarkan cara membukanya, jendela pada Gereja Paulus berjenis
pivoted, basement, dan fixed windows. Pivoted windows adalah jenis jendela yang
dapat diputar secara horizontal maupun vertikal. Keuntungan dari jendela jenis ini
adalah memiliki bukaan yang lebar sehingga dapat mengalirkan udara secara
maksimal. Jendela jenis pivoted windows terdapat pada dinding sisi utara dan
selatan bagian atas. Basement windows adalah jenis jendela yang dibuka dengan
cara diayunkan ke arah dalam, dapat diayunkan ke atas maupun ke bawah. Karena
diayunkan ke arah dalam, jendela ini dapat mencegah air hujan untuk masuk ke
dalam ruangan. Jendela jenis basement windows terdapat pada dinding utara
bagian bawah dan dinding timur bagian atas. Jendela dinding utara bagian atas
dibuka dengan cara diayunkan ke bawah, sedangkan jendela pada dinding timur
dibuka dengan cara diayunkan ke atas. Fixed windows adalah jenis jendela yang
tidak dapat dibuka dan hanya berfungsi untuk memasukkan cahaya ke dalam
ruangan. Jendela jenis fixed windows terdapat pada dinding menara dan atap kecil
yang terdapat pada dinding timur.
Universitas Indonesia
Kaca yang terdapat pada jendela bangunan Gereja Paulus memiliki motif
kotak-kotak kecil berwarna merah, biru, kuning, hijau dan putih. Warna tersebut
merupakan warna khas aliran De Stijl yang merupakan aliran Arsitektur Modern
Universitas Indonesia
3.5.3 Ventilasi
Ventilasi pada bangunan Gereja Paulus terletak pada keempat sisi dinding
bagian atas. Kemungkinan ventilasi tersebut berfungsi untuk mengalirkan udara
pada bagian atap karena ventilasi hanya dapat dilihat dari luar bangunan saja.
Ventilasi yang terletak pada bagian atap tersebut juga turut membantu menjaga
agar suhu dalam ruangan tidak panas pada saat siang hari. Dengan adanya
ventilasi ini memungkinkan energi panas matahari yang diterima atap langsung
dialirkan ke luar melalui aliran udara dari keempat ventilasi yang saling
berhadapan tersebut.
Dilihat dari bentuknya, ventilasi tersebut dapat dikatakan sederhana karena
hanya berupa lubang persegi panjang yang terdapat pada dinding dan di
sekelilingnya tidak terdapat hiasan sama sekali. Bentuknya yang berupa bidang
geometris dan susunannya yang diulang-ulang semacam ini memiliki kemiripan
ciri dengan bangunan-bangunan yang mendapat pengaruh dari art deco. Selain itu,
kemungkinan bentuk semacam ini juga dipengaruhi oleh aliran pemikiran
eklektisme, di mana hiasan berlebihan pada bangunan dianggap sia-sia. Namun
kesederhanaan bentuk dengan pola pengulangan itulah yang justru menjadi unsur
penghias dalam bangunan. Ventilasi berbentuk geometri dengan pola berulang ini
sering ditemui pada rumah-rumah Menteng dalam berbagai variasi. Selain itu,
ventilasi berbentuk persegi panjang ini juga dapat dijumpai pada Gedung
Borsumij (sekarang Gedung Bank Mandiri) di Surabaya.
Universitas Indonesia
Ventilasi
3.5.4 Tangga
Tangga merupakan unsur desain dan fungsional yang penting di dalam
bangunan yang mempunyai lebih dari satu tingkat. Sebagai unsur desain, tangga
bisa mempunyai bentuk dan cara pemakaian yang berbeda, dapat ditempelkan di
dinding atau berdiri bebas sebagai pembatas ruang (Ching & Miller, 1983:125).
Pada Gereja Paulus, tangga terletak di sudut ruangan, terpisah dari ruangan
utama gereja karena untuk mencapai tangga harus melalui sebuah pintu. Tangga
pada gereja Paulus berbentuk tangga ulir berbahan kayu. Penggunaan tangga ulir
mulai diperkenalkan pada tahun 1837, ketika di Eropa sedang berkembang gaya
Arts and crafts. Tangga jenis ini dikenal dengan nama “dog leg” (gambar 3.7).
Kelebihan dari tangga seperti ini adalah dapat menghemat luas lahan yang
Universitas Indonesia
Gambar 3.7 Tangga Ulir Gaya Arts and crafts Foto 3.17 Tangga pada GKI Kwitang
(Sumber: Calloway, 1996: 260) (Dok. Achmad Ghazali, 2009)
Universitas Indonesia
Bentuk tersebut terlihat pada dinding dari bagian tampak samping kiri
bangunan, jendela pada bagian ini seperti dibingkai oleh garis-garis horizontal dan
vertikal sekelilingnya. Hiasan tersebut juga terdapat pada permukaan penopang
balkon yang terdapat di Ruang I dan Ruang II. Selain itu, atap datar yang terdapat
di atas porch juga menjadi bagian dari hiasan bangunan Gereja Paulus.
Penggunaan hiasan pada beberapa bagian bangunan tersebut memberikan kesan
bahwa bangunan tersebut berbentuk sederhana, hanya terdiri dari komposisi garis-
garis horizontal dan vertikal tanpa hiasan yang rumit. Bagian yang juga
memperlihatkan ciri art deco adalah bagian pilaster.
Pilaster merupakan tiang semu yang bersifat dekoratif pada bangunan.
Penggunaan pilaster sudah dimulai sejak zaman Romawi, ketika ditemukannya
dinding – dinding yang dapat menopang beban, sehingga penggunaan kolom
sebagai penopang utama bangunan dapat dikurangi. Bagian dari dinding tersebut
ditonjolkan keluar sehingga menyerupai tiang maka dari itu dinamakan tiang
semu. Kadang-kadang, pada bagian dasar dan kepala pilaster terdapat hiasan
(Sumalyo, 2003: 525-526).
Pada abad ke-20, hiasan pada kepala pilaster banyak dipengaruhi oleh
gaya art deco, termasuk pilaster yang terdapat pada gereja Paulus. Gaya art deco
yang dimaksud terlihat pada cirinya yang berupa pengulangan garis-garis
horizontal dan vertikal pada kepala pilaster. Penggunaan bentuk-bentuk garis-
garis tersebut merupakan pengaruh dari aliran pemikiran eklektisme yang
berkembang pada abad ke-20 sehingga hiasan pada bangunan diwujudkan dalam
bentuk yang sederhana (Riley, 2003: 351). Selain itu, perkembangan art deco juga
dipengaruhi perkembangan teknologi mesin dan industri, sehingga terciptalah
bentuk-bentuk pengulangan garis-garis horizontal dan vertikal yang tampak pada
kepala pilaster Gereja Paulus. Bentuk-bentuk pilaster yang berciri art deco ini
terdapat pada beberapa rumah Menteng dengan berbagai variasinya, selain itu
juga terlihat pada gedung Ditjen Perhubungan Laut di Jalan Medan Merdeka
Timur (foto 3.18 dan 3.19 halaman 60).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
3.7.1 Mimbar
Pada tahun 1920an dan 1930an, elemen-elemen bangunan termasuk
furnitur mendapatkan pengaruh dari aliran art deco berupa penggunaan motif
bertingkat atau stepped pattern. Penggunaan stepped pattern pada aliran art deco
ini terinspirasi dari produk kebudayaan Mesopotamia kuno berupa piramid
berbentuk zigurat (Riley, 2003 : 352). Telah disebutkan di atas bahwa bentuk
seperti ini terefleksi pada berbagai elemen bangunan termasuk furnitur. Mimbar
Gereja Paulus memiliki bentuk yang stepped pattern tersebut, pada kanan dan kiri
mimbar berbentuk anak tangga yang bertemu di bagian tengah. Oleh karena itu,
bila dikaitkan dengan stepped pattern yang terdapat pada art deco, kemungkinan
bentuk mimbar ini pun terpengaruh oleh aliran art deco sehingga tercipta bentuk
mimbar yang demikian.
3.7.2 Kursi
Sejak abad ke-12 hingga 16 (zaman pertengahan) di Eropa, tempat duduk
dapat menggambarkan hirarki status sosial yang terdapat di masyarakat. Pada
masa itu terdapat tiga jenis istilah tempat duduk, yaitu chair, stool, dan bench.
Istilah chair merupakan tempat duduk bagi penguasa ataupun orang penting
dalam masyarakat, sedangkan stool dan bench diperuntukkan bagi masyarakat
yang memiliki status lebih rendah. Secara umum, chair memiliki bentuk seperti
kotak dengan penekanan pada garis-garis vertikal, sandaran punggung yang
ditinggikan merupakan bagian terpenting yang dapat menggambarkan status sosial
dan sering dihias dengan hiasan yang berhubungan dengan Arsitektur Gotik
(Blakemore, 2006: 85).
Universitas Indonesia
Pada abad ke-16, tempat duduk jenis chair menjadi benda langka yang
dapat dipakai oleh masyarakat umum. Tempat duduk berjenis chair yang
memiliki sandaran belakang dan sandaran tangan tersebut menjadi bentuk pertama
yang populer di masyarakat (Blakemore, 2006: 108). Karena diperuntukkan bagi
masyarakat secara luas, hiasan-hiasan dari Arsitektur Gotik dikurangi dan bagian
sandaran belakang kursi diturunkan, sehingga bentuk kursi terlihat lebih
sederhana (foto 3.22).
Meskipun sudah lama berlalu sejak abad ke-16, bentuk kursi tersebut
masih ada hingga sekarang. Kemungkinan, pengenalan bentuk kursi pertama
dengan ciri-ciri seperti yang terlihat pada foto 3.23, membuat kursi jenis itu lebih
dipilih dan dipakai secara luas oleh masyarakat. Konsep kursi yang memiliki
empat kaki, sandaran belakang yang rendah dan sandaran tangan memperlihatkan
kemiripan antara kursi abad ke-16 dengan kursi Gereja Paulus. Bentuk kursi di
Gereja Paulus yang sederhana (hanya terdiri dari bidang-bidang persegi panjang
yang kaku dan tidak terdapat hiasan), bisa jadi merupakan pengaruh dari paham
eklektik yang berkembang pada abad ke-20. Karena pada abad-abad sebelum
berkembangnya paham eklektik (abad ke-17 dan ke-18), kursi-kursi dihias
sedemikian rupa dengan menggunakan hiasan-hiasan yang cukup raya, seperti
yang terlihat pada foto 3.24 dan 3.25. Bentuk kursi yang juga mirip dengan kursi
Universitas Indonesia
jemaat yang terdapat di Gereja Paulus adalah bentuk kursi yang terdapat di Gereja
PNIEL di Pasar Baru.
3.7.3 Lampu
Penerangan dengan menggunakan listrik di Indonesia diperkenalkan pada
akhir abad ke-19, sebelumnya penerangan menggunakan gas (Lombard, 2000:
110). Konversi dari gas ke listrik tersebut memberikan desain baru dalam hal
pencahayaan. Pada tahun 1930an, banyak bermunculan lampu dengan gaya art
deco. Awalnya muncul jenis pencahayaan yang disebut dengan pencahayaan tidak
langsung atau indirect lighting, yaitu lampu diberi rumah sehingga penerangan
ruangan berasal dari refleksi cahaya yang sumbernya tersembunyi. Kemudian,
berkembang lampu berbentuk tabung yang menjadi umum digunakan oleh
masyarakat (Pile, 2000: 302).
Lampu pada Gereja Paulus yang terdapat di Ruang I juga memiliki
kesamaan ciri dengan yang disebutkan di atas, yaitu ditutup dengan menggunakan
penutup berbentuk bulat dan silinder/tabung. Bila dikaitkan dengan kedekatan
tahun berkembangnya lampu bergaya art deco di atas dengan pendirian bangunan
Gereja Paulus yaitu pada tahun 1930an, serta ciri yang memiliki kemiripan, dapat
disimpulkan bahwa penggunaan lampu pada Gereja Paulus dipengaruhi oleh
Universitas Indonesia
lampu bergaya art deco yang sedang berkembang pada waktu itu. Variasi lampu
bergaya art deco tersebut dapat dijumpai pada bangunan Gereja PNIEL yang
memiliki lampu berjenis onion lamp dan juga lampu-lampu gantung versi Inggris
yang banyak digunakan antara tahun 1920-1950 (Calloway, 1996: 467).
Universitas Indonesia
65 Universitas Indonesia
Ciri art deco pada Gereja Paulus tampak pada beberapa bagian, terutama
hiasan. Contohnya adalah pada bagian pilaster. Pada bagian pilaster mendapat
pengaruh art deco terlihat dari adanya profil-profil berbentuk horizontal dan
vertikal pada kepalanya. Ciri art deco lain terlihat pada digunakannya hiasan
berbentuk geometris yang ada pada dinding porch. Selain itu juga terlihat pada
Bentuk geometri yang diulang-ulang tersebut merupakan karakter dari art deco
yang menyesuaikan diri dengan penggunaan teknologi. Selain itu, susunan dari
beberapa elemen bangunan seperti jendela dan ventilasi juga menunjukkan ciri art
deco. Jendela dan ventilasi pada bangunan Gereja Paulus berbentuk sederhana
hanya berupa persegi panjang dan disusun dalam jarak tertentu sehingga
menghasilkan komposisi yang simetris seperti yang banyak terlihat pada
bangunan-bangunan art deco.
Di samping unsur ketiga gaya di atas, penerapan konsep eklektisme,
seperti upaya melepaskan diri dari keterikatan arsitektur masa lalu juga turut
mempengaruhi bentuk bangunan Gereja Paulus. Pertama, ciri ini terlihat pada
bagian tampak muka (facade) yang dibuat asimetris, hal ini merupakan
perwujudan dari upaya untuk melepaskan diri dari bentuk-bentuk arsitektur masa
lalu. Kedua, secara keseluruhan, bangunan Gereja Paulus tidak memiliki hiasan
tertentu seperti yang terlihat pada bangunan-bangunan yang didirikan pada Masa
Klasik, elemen-elemen yang menyusun bangunan Gereja Paulus kebanyakan tidak
memiliki hiasan dan bentuknya sederhana, hanya berupa bentuk persegi atau
persegi panjang.
Selain ciri eklektisme berupa unsur-unsur arsitektur yang terdapat di
Eropa, pada bangunan Gereja Paulus terdapat ciri penyesuaian terhadap iklim dan
arsitektur tradisional Indonesia. Bentuk penyesuaian terhadap iklim terlihat pada
penggunaan atap pelana dengan kemiringan yang sangat curam. Kemiringan atap
yang sangat curam bukanlah bentuk yang lazim digunakan oleh bangsa Belanda di
negeri asalnya, akan tetapi banyak digunakan pada rumah-rumah tradisional di
Indonesia. Oleh karena itulah bentuk atap seperti ini dapat dianggap sebagai salah
satu unsur yang diserap dalam rangka penyesuaian terhadap iklim sekitar karena
dapat mengalirkan air hujan dengan lebih cepat. Bentuk penyesuaian juga terdapat
pada ketinggian lantai bangunan yang lebih tinggi daripada permukaan di luar.
Universitas Indonesia
Lantai yang tidak bersentuhan langsung dengan permukaan tanah seperti pada
bangunan Gereja Paulus ini dapat menangkal udara basah dan lembab yang
berasal dari permukaan tanah.
Selain itu, bentuk dinding bangunan juga memperlihatkan adanya upaya
adaptasi terhadap lingkungan. Dinding bangunan dibuat dari tembok yang tebal,
dengan adanya tembok tebal ini panas matahari dapat direndam sehingga tidak
mempengaruhi suhu dalam ruangan. Kemudian, bentuk penyesuaian juga terdapat
pada ketinggian jarak plafon dari permukaan tanah dipadukan dengan banyaknya
bukaan-bukaan berupa jendela. Plafon bangunan Gereja Paulus cukup tinggi,
jarak dari permukaan tanah hingga titik tertinggi langit-langit mencapai 16 m.
Selain itu, pada dinding ketiga sisi bangunan juga terdapat jendela-jendela yang
dapat membantu sirkulasi udara.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa pada bangunan Gereja
Paulus terdapat lebih dari satu gaya arsitektur yang diterapkan pada beberapa
elemen bangunannya. Selain itu juga terdapat unsur arsitektur tradisional
Indonesia dan upaya adaptasi terhadap iklim Indonesia. Dapat disimpulkan,
perpaduan antara ketiga ciri tersebut dipengaruhi oleh paham eklektisme yang
sedang berkembang pada waktu itu. Karena paham eklektisme memberikan
keterbukaan bagi para arsitek dalam berkarya sehingga memungkinkan
diserapnya berbagai sumber untuk diterapkan dalam satu bangunan. Di samping
itu, dari hasil analisis dan uraian kesimpulan di atas, diketahui bahwa unsur-unsur
arsitektur Eropa dan arsitektur tradisional Indonesia melebur dalam satu
bangunan, yaitu Gereja Paulus. Hal ini menunjukkan adanya perpaduan antara
budaya Eropa dan Indonesia, perpaduan antara bentuk arsitektur yang dibawa
Belanda dari Eropa dengan arsitektur tradisional Indonesia ini dikenal dengan
istilah Arsitektur Indis. Maka dari itu, bangunan Gereja Paulus dapat disebut juga
sebagai bangunan berarsitektur Indis.
Universitas Indonesia
Bayer, Patricia. Art deco Architecture: Design, Decoration and Details From the
Twenties and Thirties. London: Thames and Hudson, 1992.
Blakemore, Robbie G. Interior Design and Furniture : From Nineteenth-Century
Europe. New Jersey: John Wiley & Sons.Inc, 2006.
Berman, Alan. Floors. London: Frances Lincoln Limited, 1997.
Budidharjo, Eko. Menuju Arsitektur Indonesia. Bandung: Alumni, 1983.
Calloway, Stephen. The Elements of Style: A Practical Encyclopedia of Interior
Architectural Details from 1485 to The Present. Revised Edition. New
York: Simon and Shuster, 1996.
Ching, Francis & Dalee Miller. Renovasi Rumah. Jakarta: PT Dharma Aksara
Perkasa, 1983.
Ching, Francis. Arsitektur: Bentuk Ruang dan Susunannya. (Paulus Hanoto Adjie,
Penerjemah). Jakarta: Erlangga, 1999.
Corbell, Jean-Claude & Archambault, Ariane. The Visual Dictionary With
Definitions. Canada: QA International, 2007.
Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta. Renovasi dan Perluasan
Kantor Majelis Jemaat GPIB Paulus Jakarta. Jakarta: Dinas Kebudayaan dan
Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, 2008.
---------------. Sejarah Pembangunan Gedung Gereja Paulus. Jakarta: Dinas
Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, 2008.
Frankl, Paul. Gothic Architecture.Connecticut: Yale University Press Pelican History
of Art, 2000.
Heuken, Adolf. Menteng Kota Taman Pertama di Indonesia. Jakarta: Cipta Loka
Caraka, 2001.
Heuken, Adolf. Medan Merdeka-Jantung Ibukota RI. Jakarta: Cipta Loka Caraka,
2008.
Handinoto. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya
(1870 - 1940). Yogyakarta: Andi, 1996.
Katam, Sudarsono, dan Abadi, Lulus. Album Bandung Tempo Doeloe. Bandung:
Navpress Indonesia, 2006.
Krier, Rob. Komposisi Arsitektur. Jakarta: Erlangga, 2001.
68 Universitas Indonesia
Lombard, Denys. Nusa Jawa : Silang Budaya: Kajian Sejarah Terpadu Bagian I:
batas-batas pembaratan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Lippsmeier, George. Bangunan Tropis. Jakarta : Erlangga, 1994.
Majelis Jemaat GPIB “Paulus”. Beryukurlah dan Layanilah “Peringatan 40
Tahun Gedung Gereja Paulus”. Jakarta: Majelis Jemaat GPIB “Paulus”,
1976.
Nashed, Fred. Time-Saver Details For Exterior Wall Design. New York: McGraw
- Hill, 1995.
Pile, John F. History of Interior Design. London: Calmann & King LTD, 2000.
Priatmodjo, Danang. Arsitektur Gereja Katolik. Jakarta: Pusat Penelitian
Teknologi dan Pemukiman Universitas Tarumanagara, 1990.
Riley, Noel. Elements of Design: A Practical Encyclopedia of Decorative Arts
From The Renaissance To The Present. New York: Simon & Schuster
Inc., 2003.
Sidharta, dkk. Perkembangan Arsitektur dan Pendidikan Arsitek di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997.
Snyder, James C dan Anthony J. Catanese. Pengantar Arsitektur. Jakarta:
Erlangga, 1984.
Soekiman, Djoko. Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya
(Abad XVII-Medio Abad XX). Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,
2000.
Sumalyo, Yulianto. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1995.
---------------. Arsitektur Klasik Eropa. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2003.
---------------. Arsitektur Modern: Akhir Abad XIX Dan Abad XX. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2005.
Surowiyono, Tutu. Dasar Perencanaan Rumah Tinggal. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1996.
Weidhaas, Ernest R. Architectural Drafting and Design. Massachusetts: Allyn and
Bacon, 1989.
Universitas Indonesia
Sumber Elektronik
http://www.bandungcity.info/data/upload/image/IMAGES/CATEDRAL/CATHE
DRAL-4-Port.jpg, diunduh pada tanggal 22 November 2010, pukul 17.00
WIB.
http://digilib.petra.ac.id/jiunkpe/mmedia/pust/1990/jiunkpe-ns-mmedia-1990-81-
007-7894-bank_exim-resource1.jpg, diunduh pada tanggal 24 Desember
2010, pukul 10.30 WIB.
http://img.archiexpo.com/images_ae/photo-g/wooden-center-pivot-windows-
127113.jpg, diunduh pada tanggal 24 Desember 2010, pukul 10.50 WIB
http://www.fmwindows.com/images/prod_hp_fixed.jpg, diunduh pada tanggal 24
Desember 2010, pukul 10.55
http://www.jakarta.go.id/v70/images/stories/artekel_img/direktorat%20jenderal%
20perhubungan%20laut%20baru.jpg. Diunduh pada tanggal 27 Desember
2010 pukul 23.10 WIB.
http://img152.imageshack.us/img152/8885/gerejapaulusez7.jpg, diunduh pada
tanggal 30 Desember 2010, pukul 10.50 WIB.
Universitas Indonesia