Anda di halaman 1dari 187

Roem TOPATIMASANG

Roem TOPATIMASANG
Perpustakaan Nasional lndonesa,
KATALOG DALAM TERBITAN (KOT)

TOPATIMASANG, Roem;
Sekolah itu Candu/ Yogyakarta, INSISTPress, 2010

i-xx + 178 halaman; 13 x 19 cm; gambar-gambar

ISBN 979-3457-85-6

1. Kritik Sekolah 2. Filsafat Pendidikan 3. Pendidikan Altematif


II. Judul

© INSISTPress
Cetakan ketiga Juli 2010
Cetakan kedua Desember 2009
Cetakan pertama Juli 2007
pertama kali diterbitkan oleh Pustaka Pelajar tahun 1998

Kompugrafi: Rumah Besi


Sampul: Eddy Susanto
llustrasi: Ignatius Ade Gunawan

Diterbitkan dan dicetak oleh:


INSISTPress
JI. Gandok Tambakan No.85 RT04 RW20, Sinduharjo
Ngaglik, Sleman, Yogyakarta 55581
Telp/Faks: +62 274 883452
Email: press@insist.or.id
Website: www.insist.or.id
dari penerbit

Buku ini pertama kali terbit pada tahun 1998,


oleh penerbit Pustaka Pelajar, Jogyakarta.
Selama beberapa tahun, buku ini menjadi salah
satu 'buku terlaris' (best seller), sehingga
Pustaka Pelajar mencetak-ulangnya beberapa
kali sampai cetakan kedelapan. Setelah
permbicaraan khusus dengan penulisnya dan
dengan Pustaka Pelajar, akhirnya disepakati
bahwa untuk cetakan-cetakan berikutnya, hak
penerbitan buku ini dialihkan ke INSISTPress.

Untuk itu, kami melakukan beberapa sentuhan


baru, mulai dari perubahan sampul sampai tata­
letak dan kompugrafi. Penulisnya juga
menambahkan tiga tulisan baru. Dua dari tulisan
baru tersebut ('Sekolah Anak-anak Laut' dan
'Jalan Sekolah') dikembangkan dari 'esei visual'
(rekaman foto dan suara) oleh penulis tentang
dua sekolah di pelosok terpencil. Sebagai bonus,
kami menyisipkan satu cakram digital berisi
kedua esei visual tersebut yang dapat anda
jalankan langsung (autorun) pada komputer anda.

Selamat membaca & menonton,


INSISTPress
. ..... ....... ....... . .
..................... ..... . ".
"'.
"'. ........................................................... . .. ....... ....... " ."' ...... ...,....
. . ..... . ..
.. ...
.. ...
.. ...
.. ...
.. ... ...... .....
.. ..... .. ........ .
.....
.". .....
pe11gantar

BACAAN MAKAR SAAT PENGAP

"Jangan sampai putus sekolah ..., kalau putus


sekolah bisa berabe," demikian ujar Mandra
dalam pariwara televisi 'Ayo Sekolah' yang
disponsori oleh UNICEF.
Demikian pentingnya sekolah, sehingga Bank
Pembangunan Asia dan Bank Dunia segera
mengucurkan utang baru untuk menjamin anak­
anak Indonesia tetap di bangku sekolah di tengah
masa krisis beruntun saat ini. Untuk menjamin
agar dana tersebut dapat sampai pada
tujuannya, maka jalur birokrasi pun dipangkas.
Sudah sejak beberapa tahun, anggaran belanja
negara untuk sektor pendidikan merupakan
primadona. Tetapi, jangan tanya soal
kebocorannya. Simak saja laporan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) setiap tahunnya
yang menunjukkan bahwa Departemen
Pendidikan Nasional masih tetap merupakan
salah satu lembaga pemerintah yang paling
korup, banyak salah-urus, dan sangat ruwet.
Namun yang lebih penting adalah
pertanyaan: apakah tujuan untuk mencerdaskan
bangsa dapat diraih lewat proses yang dipacu-
laju (accelerated) dengan tambahan dana besar
tersebut? Pertanyaan kunci adalah apakah usaha
ini merupakan usaha yang layak (benefit of
risk)? Apakah program ini akan mampu
menghindari bangsa kita dari keterpurukan yang
lebih jauh, khususnya ketika pasar bebas mulai
diterapkan?
Prof Dr. Wardiman Djojodiningrat (Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet
Pembangunan VI) menolak tudingan bahwa
pendidikan tidak mampu menjawab kebutuhan
pasar tenaga kerja, ketika beliau meluncurkan
program link and match-nya. Sebenarnya, ini
sudah merupakan suatu pengakuan diam-diam
bahwa sistem pendidikan kita selama ini memang
tidak mampu melahirkan tenaga siap-pakai.
Belum lagi kalau kita simak muatan kurikulum
itu sendiri, yang sangat ideologis dan sarat
dengan nilai-nilai yang harus dikunyah oleh para
siswa didik, walaupun kenyataan sehari-hari
bertolak belakang dengan nilai-nilai yang harus
dihafalkan bak mantra suci dan sakti itu.
Sistem kurikulum dan sistem manajemen
sekolah juga tidak kalah serunya, karena hampir
setiap kali pergantian menteri, kebijakan
mengalami bongkar-pasang. Bukankah bisnis 'buku
pelajaran sekolah' ('buku INPRES') merupakan
bisnis yang sangat menguntungkan? Seragam
sekolah anak SD pun hampir menjadi objek
bisnis 'kolusi-korupsi-nepotisme' (KKN). Syukur,
media massa cukup tanggap, sehingga proyek itu
layu sebelum berkembang. Pendek kata
pendidikan telah menjadi komoditi bisnis dan objek
KKN. Mesin birokrasi yang kita miliki memang
sudah sedemikian canggih, sehingga
penumpukan kekayaan yang jelas-jelas berbau
KKN pun ternyata masih sulit untuk diseret ke
meja hijau (legal tapi hasil KKN!).
Bukankah peran serta masyarakat untuk turut
menyelenggarakan pendidikan bagi mereka
sendiri, sudah tergadai dengan diterapkannya
sistem SD dan SMP INPRES? Memang benar
bangunan sekolah menjadi standar, tidak ada
lagi sekolah dengan atap rumbia yang didirikan
oleh masyarakat sendiri. Sebagai gantinya
bangunan-bangunan sekolah baru yang relatif
megah untuk suasana pedesaan. Tetapi, di
sebalik pemandangan kasat-mata itu, ada sesuatu
lebih mendasar yang terasa hilang. Masalah ini
digambarkan dengan sangat indah dan puitis
oleh Roem dalam buku ini, pada tulisan yang
berjudul "Robohnya Sekolah Kami". Uraiannya
senafas dengan kritik Everett Reimer lewat
bukunya School is Dead (Sekolah sudah Mati)!
Di tengah kepengapan sistem pendidikan
macam ini, Roem mengajak kita untuk menyimak
sistem pendidikan kita, sehingga tidak salah jika
judul yang dipilihnya adalah 'Sekolah itu
Candu'. Candu memang punya dampak
membius, membuat semua orang terlena dari
kenyataan yang sudah parah. Lewat jenjang
pendidikan dan akreditasi, disahkan ketimpangan
pembagian pendapatan yang sangat jomplang.
Para manajer puncak perusahaan swasta di kota­
kota besar meraup penghasilan lebih dari 50 juta
rupiah per bulan, mungkin sama dengan
penghasilan petani selama 5 tahun. Masyarakat
dibius dengan materialisme dan kapitalisme yang
tak kenal malu.

Buku ini berlatar belakang tahun 2222 dan


menampilkan tokoh Sukardal, seorang petani yang
tanpa sengaja menemukan satu naskah tua di
Museum Bank Naskah Nasional, yang diberi
label amaran resmi sebagai 'bacaan terlarang'.

Ya, buku kecil (tegasnya: pamfiet) Roem ini


memang dapat digolongkan sebagai bacaan
subversif, karena jelas-jelas menggugat
kemapanan sistem pendidikan yang berlangsung
di republik ini sejak lebih dari dua dasawarsa
yang lalu. Krisis beruntun yang sedang melanda
negeri ini melahirkan momentum untuk
merefieksi dan melakukan dekonstruksi atas
kemapanan dunia pendidikan kita yang selama
ini menikmati bagian besar dari kue
pembangunan nasional.
Ya, kita butuh banyak bacaan makar -­

gagasan-gagasan yang menentang kemapanan


dan kemandegan, pikiran-pikiran yang tidak
umum, yang memberi ilham, yang membuat
terobosan baru-- di masa-masa pengap dan
sumpek seperti sekarang.

Selamat menikmati pamflet Illichian yang


cerdas ini.

Roy Tjio11g
Ketua Dewan Pengawas INSIST, 2005-2008
NENEI< MOYANG l<ITA
TAIC ICEN.�L IJ!IZAH
SEKOlAH JUGA TA!( ADA

f�?�ELAJAR
TAPI MEREkA I SEGALA SOAL
BELAJA!l ! J
�) ; (,....
., ' '-../

.�

lllEMBENAl ALAT·ALAT SEMUA OR�NB SEMUA TEMPAT 1


PENTING... GURU ! SEKOlAH !
MAKLUMAT

HARAP MAKLUM, buku kecil ini asal


mulanya adalah kumpulan tulisan seorang
mahasiswa ilmu pendidikan, yang selalu gelisah
dengan 'dunia'nya, yang ditulisnya sebagai
pengantar diskusi di kampusnya pada paruh
kedua 1970an. Entah bagaimana, tulisan-tulisan
itu masih saja tersimpan, meski acak-acakan,
dalam berkas-berkas perpustakaan pribadinya.
Suatu waktu, di awa11980an, ketika ia sudah
bukan mahasiswa lagi, beberapa orang rekan
dekatnya sempat membaca kumpulan tulisan
tersebut. Sewaktu membacanya, mereka semua
memberikan reaksi yang sama: geleng-geleng
kepala, sesekali berkerut dahi, tetapi lebih banyak
tersenyum-senyum, nyengar-nyengir, bahkan ada
yang tertawa terpingkal-pingkal!

HARAP MAKLUM, yang empunya tulisan


lantas jadi penasaran sendiri: mestinya ada
banyak yang menarik atau, paling tidak, cukup
lucu dalam tulisan-tulisan itu! Nah, atas dasar
keinginan untuk menampilkan sesuatu, terutama
yang membuat orang-orang bisa senyum­
senyum dan tertawa itulah, ia lalu
menyunting dan menyusun kembali semua
tulisan ini. Beberapa tulisan sekedar ditambahi
data terbaru, sementara beberapa tulisan
dipermak habis gaya penyajiannya saja tanpa
mengubah makna isinya yang semula. Ada juga
beberapa tulisan tambahan baru sama sekali,
termasuk penambahan catatan-catatan kaki
dalam semua tulisan, bukan agar 'nampak
ilmiah' atau berlagak 'sok ilmiah', tapi lebih
sekadar penjelasan tentang sumber-sumber ilham
dan latar belakang permasalahan di balik
gagasan-gagasan pokok yang tertuang dalam
seluruh kumpulan tulisan ini.

HARAP MAKLUM, karena keterbatasan


waktu dan, terutama sekali karena yang
empunya tulisan memang suka bekerja
serabutan dan hanya mengerjakannya kalau
sempat saja, proses penyuntingan dan
penyusunan kembali itu temyata berlangsung
cukup lama sampai beberapa tahun. Praktis baru
selesai pada pertengahan 1988. Pada tahun
1994, beberapa teman di Yogya menyarankan
untuk menyunting kembali dan menerbitkannya
dengan harapan agar kumpulan tulisan ini
merniliki nasib yang layak, seperti buku-buku
pada umumnya.

HARAP MAKLUM, buku kecil yang semula


berjudul satu kata saja: Seko/,ah! --dan seluruh
isinya memang bicara soal sekolah-- namun
yang empunya tulisan tak ada maksud sama
sekali untuk menjadikannya buku bacaan anak
sekolahan, apalagi sebagai bacaan wajib!
Sungguh, buku kecil ini tak ditulis untuk
keperluan akademis atau ilmiah apapun.
Adapun yang empunya tulisan sudah cukup
senang kalau buku kecil ini bisa jadi bacaan
waktu senggang (sesuai arti harfiah kata
'sekolah' itu sendiri) di warung-warung, di
kereta api dan bus (yang suka naik pesawat
terbang mungkin tak sempat atau tak berminat),
dan akan lebih senang lagi kalau sempat
memancing diskusi di antara siapa saja, kapan
saja, di mana saja.
HARAP MAKLUM, sekali lagi, terutama
dalam rangka membuat orang tersenyum dan
tertawa itulah maksud utama buku kecil ini
disajikan ke hadapan anda semua. Kalau ada
banyak di antara pembaca nanti yang
menyelewengkan, sengaja atau tidak sengaja,
maksud utama itu --misalnya saja anda
lantas berkerut dahi sambil mengangguk­
angguk dan berkhayal bahwa memang ada
sesuatu yang tidak beres dengan dunia
pendidikan kita, lantas anda berencana
melakukan sesuatu untuk merombaknya habis­
habisan-- maka itu menjadi tanggung jawab
anda sendiri. Tetapi, kalau ternyata banyak atau
semua pembaca buku kecil ini lantas
melakukan penyelewengan yang serupa...
nah!, mungkin kita memang perlu melakukan
sesuatu dan bertanggungjawab bersa.rna-sarna.
Yang jelas, semua isi tersurat maupun tersirat
buku kecil ini menjadi tanggung jawab
empunya tulisan sendiri, termasuk
penyelewengan kalau isi dan makna buku kecil
ini ternyata tidak mampu memenuhi tujuan
utamanya: membuat anda tersenyum dan
tertawa!
Jadi, HARAP MAKLUM lah!

Toto Rahardjo
(penyunting akhir)
Ketua Dewan Pendidikan INSISr, 2005-2008
dan, secara khusus untuk kawan-kawan lama,
'kawan-kawan sekelas di Sekolah Kehidupan':
Mansour Fakih (almarhum), Utomo Dananjaya,
Russ Dilts, Mochtar Abbas, Sugeng Setyadi, Ahmad
Mahmudi, Saleh Abdullah, S. Indro Tjahjono,
Simon Hate, Toto Rahardjo, ltja Frans, Craig
Thorburn, Piet Elmas, Nus Ukru, Eliza Kissya, Odik
Remiassa, Edo Rahail, Fritz Elmas, Hans Wamir,
Mochsen Reinhart, Herman Lengam, Netty Letnora,
Merry Ngamel, Tan Jo Hann, Anna Har, Jerald
Joseph, Limao Dali, Nelson Nyanggai; serta Erwin
Panjaitan (almarhum) dan Masi! Eliar
(almarhumah).
. ..... ....... ....... . .
..................... ..... . ".
"'.
"'. ........................................................... . .. ....... ....... " ."' ...... ...,....
. . ..... . ..
.. ...
.. ...
.. ...
.. ...
.. ... ...... .....
.. ..... .. ........ .
.....
.". .....
SENARAIISI

Dari Penerbit, v

Pengantar, vii-xi
Maklumat, xiii-xvi
Senarai lsi, xix

Prolog: Sekolah Masa Lalu, 1-4

1 Sekolah: dari Athena ke Cuernavaca, 5-12


2 Sekolah Disana-sini, 13-30
3 Seragam Sekolah, 31-38
4 Dirikanlah Sekolah!, 39-52
S Sekolah dan Perusahaan, 53-60
6 Sekolah Anak-anak Tenda, 61-70
7 Sekolah Anak-anak Laut, 71-78
8 Robohnya Sekolah Rakyat Kami, 79-90
9 Involusi Sekolah, 91-112
10 Jalan Sekolah, 113-118
11 Sekolah itu Candu!, 119-128
12 Selamat Tinggal, Sekolah!, 129-136
13 Sekolah Sudah Mati!, 137-144
14 Sekolah: dari Analogi ke Altematif, 145-156

Epilog: Sekolah Masa Depan, 157-163

lndeks, 165-176
Penulis, 177
Pro log

SEKOLAH MASA LALU

Tahun 2222 ...


Di sudut yang temaram dan pengap, di
lantai -20 (baca: minus 20) gedung pencakar
bumi1 Museum Bank Naskah Nasional,
Sukardal membongkar-bongkar setumpukan
berkas tua: 'Naskah-naskah Bawah Tanah'.
Secara serampangan saja, ia menarik satu
bundel naskah yang paling berdebu dan
nampaknya paling lama sudah tak pernah
disentuh oleh tangan manusia. Sam.bi!
mengibas-ngibaskan debu pada sampulnya,
Sukardal melihat ada secarik tempelan kertas

1Teknologi arsitektur-mu takhir tidak saja memungkinkan


membangun gedung-gedung pencakar langit (skyscraper),
tetapi juga pencakar bumi (earthscraper) yang
menghunjam jauh ke bawah permukaan tanah. Karya
spektakuler pertama teknologi ini berada di kampus
Universitas Minnesota, Pennsylvania, Amerika Serikat.
Selengkapnya, lihat Majalah Sains & Teknologi Populer,
Scientiae, 1985, Jakarta.
merah transparan dengan tulisan dan cap
resmi pengelola museum:

BACAAN TERLARANG
GOLONGAN A
(SANGAT BERBAHAYA)
Daftar Indeks2: 0987654321

Cap bertinta merah kusam itu membuat


Sukardal penasaran. Matanya langsung
membaca amaran resmi di bawahnya:

2 Buku-buku terlarang juga dikenal sebagai buku-buku


yang masuk dalam 'Daftar lndeks' yang, konon, dirnulai
oleh Gereja Katolik Roma beberapa ratus tahun lalu
untuk memberangus pemikiran-pemikiran yang
bertentangan dengan paharn resmi gereja (antara lain,
karya utama Galileo Galilei). Ironisnya, lama setelah
kebijakan semacam itu dikecam dan dihapuskan di
berbagai bagian dunia, termasuk oleh Vatikan sendiri, di
Indonesia (oleh Kejaksaan Agung) justru rnasih
diberlakukan sampai hari ini. Satu penerbit radikal di
Eropa mencoba memperingatkan salah satu dari noktah
hitam sejarah peradaban itu dengan menerbitkan satu
berkala khusus, Index, yang merehal karya-karya tulis
Quga karya musik dan seni) dari seluruh dunia yang
pernah dinyatakan 'terlarang'.
DILARANG KERAS MEMBACA, APALAGI
MEMPERBANYAK DAN ATAU
MENYEBARLUASKAN BAHAN BACAAN INI.
BARANG SIAPA YANG TERTANGKAP BASAH
MEMBACA, MEMPERBANYAK, DAN
MENYEBARLUASKAN, APALAGIMENCOBA
MENGHAYATI DAN MENGAM.ALKANISIDAN
MAKNANYA YANG JELAS-JELAS MENGANDUNG
RACUN BAGI PIKIRAN DAN PERASAAN, MAKA
ORANG ITU DIANCAM HUKUMAN WAJIB
BELAJARDIKAMPRE-EDUKASISELAMAJANGKA
WAKTU TAK TERBATAS SAMPAl IA
MENYATAKAN DIRI BERTOBATDAN
DINYATAKAN TELAH SUCI KEMBALI ISi OTAK
DAN HATINYADENGANPEMBUKTIAN'SURAT
KETERANGAN BEBAS PIKIRAN & PERASAAN
SESAT' (SKBPPS) DAN 'SURATTANDA LULUS
UJIANSIDANG' (STLUS) DARI MAJELIS SENAT
DAN GURU BESAR LEMBAGA PEWARISAN DAN
PELESTARIAN NILAl-NILAI LUHUR BANGSA
(LEMWARLFSNILHURBANG), SESUAI DENGAN
KETENTUANKITAB UNDANG-UNDANGHUKUM
PIDANA YANG BERLAKU DAN DIBERLAKUKAN.

Tertanda

BADAN SENSOR NASIONAL

Amaran resmi itu malah membuat Sukardal


kian penasaran. Cepat-cepat dia buka halaman
pertama, halaman sampul dalam, dan dia baca
judul berkas tua itu. Temyata, judulnya sama
sekali tidak sensasional, apalagi revolusioner.
Judulnya cuma satu kata, yang agak asing dan
samar-samar buat Sukardal ketika itu, yakni:
SEKOLAH!
Dan, Sukardal pun mulai membaca .....
1Sekol a h:
dari Athena ke Cuernavaca
Mendengar kata 'sekolah', pada
umumnya seseorang akan membayangkan
suatu tempat di mana orang-orang
melewatkan sebagian dari masa hidupnya
untuk belajar atau mengaji sesuatu.

Kata itu urnumnya memang diacukan pada


suatu sistem, suatu lembaga, suatu organisasi
besar dengan segenap kelengkapan
perangkatnya: sejurnlah orang yang belajar
dan atau mengajar, sekawanan bangunan
gedung, secakupan peralatan, serangkaian
kegiatan terjadwal, selingkupan aturan, dan
sebagainya, dan seterusnya.
Padahal, dalam bahasa aslinya, yakni kata
skhole, scola, scolae atau schola (Latin), kata itu
secara harfiah berarti 'waktu luang' atau
'waktu senggang'. Nah, apa dulunya tak
terjadi kekeliruan pada Si Jan atau Si Jack,
yang menyebut kata itu dalam bahasa ibu
mereka dengan ejaan school, yakni asal mula
kata sekolah dalam bahasa kita sekarang?

Sebenarnya, tak ada yang keliru. Pangkal


perkaranya bisa dilacak kembali jauh ke
belakang, ke zaman Yunani Kuno, zaman dan
tempat asal-muasal kata tersebut.

Alkisah, orang Yunani tempo dulu biasanya


mengisi waktu luang mereka dengan cara
mengunjungi suatu tempat atau seseorang
pandai tertentu untuk mempertanyakan dan
mempelajari hal-ikhwal yang mereka rasakan
memang perlu dan butuh untuk mereka
ketahui. Mereka menyebut kegiatan itu dengan
kata atau istilah skhole, scola, scolae atau
schola. Keempatnya punya arti sama: 'waktu
luang yang digunakan secara khusus untuk
belajar' (leisure devoted to learning}1.

Lama kelamaan, kebiasaan mengisi waktu


luang mempelajari sesuatu itu, akhimya, tidak
lagi semata-mata jadi kebiasaan kaum lelaki
dewasa atau sang ayah dalam susunan
keluarga pati masyarakat Yunani Kuno.
Kebiasaan itu juga kemudian diberlakukan
bagi putra-putri mereka, terutama anak laki-

1 Lihat: SCHOOL, dalam The Heritage Tllustrated


Dictionary of tire English Language, Volume 11, Houghton
Mifflin, Boston, Mass., 1979.
laki, yang diharapkan nantinya dapat menjadi
pengganti sang ayah. Karena desakan
perkembangan kehidupan yang kian beragam
dan kian menyita waktu, sang ayah dan sang
ibu merasa bahwa mereka pun tak lagi punya
waktu untuk mengajarkan banyak hal kepada
putra-putrinya. Karena itu, mereka kemudian
mengisi waktu luang anak-anak mereka
dengan cara menyerahkannya pada seseorang
yang dianggap tahu atau pandai di suatu
tempat tertentu, biasanya adalah orang dan
tempat di mana mereka dulu pernah ber­
skhole. Di tempat itulah anak-anak bisa
bermain, berlatih melakukan sesuatu, belajar
apa saja yang mereka anggap memang patut
untuk dipelajari, sampai tiba saatnya kelak
mereka harus pulang kembali ke rumah
menjalankan kehidupan orang dewasa
sebagaimana lazimnya.

Maka, sejak saat itulah, telah beralih


sebagian dari fungsi scola mattema
(pengasuhan ibu sampai usia tertentu), yang
merupakan proses dan lembaga sosialisasi
tertua umat manusia, menjadi scola in loco
parentis (lembaga pengasuhan anak pada
waktu senggang di luar rumah, sebagai
pengganti ayah dan ibu). ltulah pula sebab
mengapa lembaga pengasuhan ini kemudian
biasa juga disebut 'ibu asuh' atau 'ibu yang
memberikan ilmu' (alma mater).

Waktu terus berlalu. Para orangtua makin


terbiasa saja memercayakan pengasuhan
putra-putri mereka kepada orang-orang atau
lembaga-lembaga pengasuh pengganti mereka
di luar rumah tersebut, dalam jangka waktu
yang semakin lama dan dengan pola yang
semakin teratur pula. Karena makin banyak
anak yang harus diasuh, maka mulai pula
diperlukan lebih banyak pengasuh yang
bersedia meluangkan waktunya secara khusus
untuk mengasuh anak-anak di suatu tempat
tertentu yang telah disediakan, dengan
peraturan yang lebih tertib, dan dengan
imbalan jasa berupa upah dari para orang tua
anak-anak itu.
Adalah seorang Johannes Amos Comenius,
Uskup Agung Moravia, melalui mahakaryanya
yang kemudian dianggap sebagai fons et origo­
nya ilmu pendidikan (tepatnya: teori
pengajaran), yakni kitab Didactica Magna2,
melontarkan gagasan pelembagaan pola dan
proses pengasuhan anak-anak itu secara

2Untuk pemahaman lebih lengkap tentang Comenius


(nama asli: Jan Amos Komensky), antara lain, lihat: John
E.Sadler, 1966, J.A.Comenius and the Concept of Universal
Education, N.Y. Juga: Matthew Spinka, 1943, John Amos
Comenius, N.Y.
sistematis dan metodis, terutama karena
kenyataan memang adanya keragaman latar
belakang dan proses perkembangan anak-anak
asuhan tersebut yang memerlukan penanganan
khusus.
Melanjutkan tradisi Comenius, adalah
seorang berkebangsaan Swiss, Johann Heinrich
Pestalozzi, pada abad ke-18, tampil dengan
gagasan yang lebih terinci. Orang ini
melangkah lebih jauh dengan mengatur
pengelompokan anak-anak asuhannya secara
berjenjang, termasuk perjenjangan urutan
kegiatan (kemudian disebut 'mata pelajaran')
yang harus mereka lalui secara bertahap. Juga
pengaturan tentang cara-cara mereka harus
melalui pelajaran tersebut pada setiap tahapan
menurut batasan-batasan khas dan terbaku.
Upaya yang kemudian dikenal dengan nama

'Sistem Klasikal Pestalozzi' ini akhimya


menjadi cikal bakal pola pelajaran sekolah­
sekolah modem yang kita kenal sekarang
dengan penjenjangan kelas dan tingkatannya.
Sebegitu jauh, skhole-nya masyarakat
Yunani Kuno pun menjadi suatu tradisi
mendunia dengan berbagai keragaman bentuk
pengembangan dan penyesuaiannya di
berbagai tempat. Memang, orang-orang Yunani
Kuno bukanlah bangsa pertama dan satu­
satunya yang memulai tradisi sekolah. Konon,
bahkan sebelum Socrates dan muridnya, Plato,
menyelenggarakan academia atau lyceum di
Athena, bangsa Cina Purba kabarnya juga
sudah memulainya pada 2000 tahun sebelum
Jesus lahir. Dan konon, itulah lembaga sekolah
tertua di dunia yang pernah diketahui sampai
saat ini. Juga, kaum Brahmin India sudah
membangun 'Sekolah-sekolah Veda' mereka
setengah abad sesudahnya. Sejarah pun
mencatat bahwa hampir semua bangsa di
dunia ini sesungguhnya memiliki tradisi pola
pengasuhan anak dan lembaga
persekolahannya sendiri-sendiri, tentu saja
dalam ragam bentuk, sifat, dan sebutan yang
berbeda-beda3.

Pun, nenek moyang kita di Nusantara


memiliki tradisi serupa yang diwarisi dari
tradisi anak benua India dan kemudian juga
dari tradisi jazirah Arab. Tetapi, untuk
menjelaskan pengertian sekolah seperti yang
kita kenal dan pahami dalam bentuknya yang
umum saat ini, maka akar keberadaan dan alur
kesejarahannya yang berpangkal pada zaman

dan tradisi Yunani Kuno itulah yang mesti

3Selengkapnya, lihat: EDUCATION, dalam Encyclopedia


Americana, Grollier International, Danbury, Conn., 1982,
h.642-652. Juga: EDUCATION, dalam Encyclopedia of Social
Sciences, MacMillan, London, 1983, h.509-539.
ditelusuri, yang kemudian kita warisi melalui
tradisi sekolah-sekolah kolonial, berkat
kebijaksanaan 'politik balas-budi' (etische
politiek) kaum sosialis-humanis, Belanda dan
Inggris, kala itu.
Ah, kalau begitu, mudah saja menerangkan
bagaimana kiranya kata sekolah yang semula
cuma berarti pengisian waktu luang, kini
bermakna dan mewujudkan diri sebagai suatu
siste.m kelembagaan pendidikan yang -­

kadangkala dan celakanya sekaligus-- diartikan


sebagai wujud hakikat pendidikan itu sendiri.
Kata itu mestinya memang dipahami dalam
konteks kesejarahannya sebagai bagian dari
keseluruhan perkembangan peradaban umat
manusia di mana lembaga itu mewujudkan
diri.
Kesadaran kesejarahan kontekstual inilah
yang teramat penting untuk memahami
hakikat dinarnika semua lembaga
kemasyarakatan kita, termasuk lembaga
sekolah: bagaimana sebenarnya ia mewujud
pada saat ini, sebagai hasil dari suatu
perjalanan panjang di masa lalu, dan ke arah
mana mestinya ia ditujukan untuk menghadapi
masa depan yang sangat boleh jadi akan
berbeda sama sekali.
"Eureka ... !", seru seorang kawan
menirukan gaya Archimedes (untungnya ia
tidak benar-benar latah berbugil-bugil seperti si
penemu Hukum Berat Jenis itu). Ketika saya
tanya apakah gerangan yang sudah
ditemukannya, ia cuma membacakan
sepenggalan kalimat dari salinan naskah
Deklarasi Cuernavaca 1971: ...apakah kita
"

sedang bergerak ke arah pendidikan yang


diperluas dan menyusun rencana dengan
gagasan bahwa perkembangan individu adalah
suatu praxis, ataukah kita justru sedang
menuju ke arah scolae dalam arti kata yang
sebenarnya?"4
Ya, jawablah!
Ledeng, 2 Mei 1980

4 Deklarasi Cuemavaca adalah satu pernyataan resmi


para pemuka Centre for Intercultural Documentation
(CIDOC) yang bermarkas di Cuernavaca, Mexico,
setelah pertemuan tahunan mereka tahun 1971.
Lembaga ini memang dikenal sebagai salah satu pusat
pengajian pembaharuan dan pemikiran alternatif.
Deklarasi 1971 ini ditandatangani oleh beberapa
pemuka CIDOC, antara lain Ivan Illich dan Everett
Reimer. Kutipan selengkapnya lihat; Edgar Faure et.al:,
(eds.), 1966, Leaming To be: Education Today and Tomorrow,
Paris: International Committee for Educational
Development, UNESCO. (Pernah diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia, 1980, Belajar rmtuk Hidup: Pendidikan
Hari Ini dan Esok, Jakarta: Bhratara Karya Aksara).
2 Sekolah Disana-sini

Terserahlah, mau percaya atau tidak,


nyatanya toh ada sekolah yang tak punya
daftar mata pelajaran baku, tak punya
jadwal jam belajar resmi, tak punya
kelas-kelas yang dibagi-bagi per tingkat
atau per jurusan, tak menyelenggarakan
ulangan atau ujian kolektif seperti yang
lazim selama ini, dan ini yang penting,
murid-muridnya pun bebas memilih dan
menetapkan sendiri apa yang mau
mereka pelajari dan dengan cara
bagaimana yang mereka anggap paling
tepat dan sesuai untuk diri mereka.
Nah, itulah Universitas Rockefeller di
kota New York.
Tapi, ini sekolah bukan sekolah
sembarangan, apalagi 'sekolah papan nama'.
Inilah sekolah tempat berkumpulnya para
pendekar dan jago-jago penemu kelas dunia.
Tak kurang dari dua orang mahasiswanya
dan enam belas orang tenaga pengajarnya
adalah pemegang Hadiah Nobel. Di sekolah
ini pernah mangkal beberapa nama besar:
David Baltimore, si penemu enzyme-reverse­
transcriptae; Gerald Edelmann, si pengurai
susunan rumit gamma-glohidin; Theodosius
Dobzhansky, salah seorang pengilham
kelahiran ilmu rekayasa genetika modern;
Rene Dubos, si penyiasat pertama pemakaian
zat antibiotika; dan beberapa nama sohor
lainnya.
Herannya, ini sekolah justru kurang sohor
dibanding banyak nama besar para
penghuninya. Dalam waktu cukup lama, ini
sekolah malah tenggelam jauh di bawah
bayang-bayang narna besar perguruan tinggi
the big ten Arnerika Serikat seperti Harvard,
Yale, Cambridge, Princeton, MIT, Stanford,
dan Berkeley. Saking tidak populernya,
bahkan sopir-sopir taksi New York sekali pun
selalu bingung kalau ada penumpang yang
minta diantar ke kampus universitas ini di
bagian timur kota. Padahal, siapa lagi yang
paling hafal jalan-jalan dan lekuk liku satu
kota besar kalau bukan sopir taksi dan polisi
patroli? Tak kurang dari seorang Detlev
Bronk, rektornya yang pertama, pernah
menjadi salah seorang korban
ketidakpopuleran universitas yang didirikan
dan dibiayai oleh Yayasan Rockefeller ini.
Begitulah, pada suatu hari di tahun 1961,
maka Bronk, satu di antara para
administrator kampus paling cemerlang di
Amerika Serikat, melepaskan jabatannya yang
bergengsi sebagai rektor Universitas John
Hopkins yang terkenal dan terkemuka,
terutama di bidang kajian ilmu kedokteran
mutakhir, di Baltimore, dalam wilayah ibukota
Washington. Lalu, ia datang ke New York
untuk menerima tawaran memimpin
universitas yang baru lahir dan belum terkenal
ini. Begitu tiba di New York, Bronk menyetop
taksi dan rninta diantar ke kampus Universitas
Rockefeller. Tapi, sang sopir taksi mengerutkan
dahi dan geleng kepala, lalu balik tanya:
"Universitas Rockefeller? Dimana itu, Tuan?".
Bronk tak kalah kaget, terperangah sejenak,
lalu tanpa banyak cakap lagi dia langsung
turun sambil membanting pintu taksi keras­
keras. Beberapa taksi lain lagi dicegatnya dan
jawaban sang sopir tetap sama: "Tidak tahu!"
Saking jengkelnya, Pak Bronk membanting
semua pintu taksi tersebut semakin keras
sambil mengumpat semakin seru pula. Tapi,
akhimya ia menyerah, lalu menelpon ke
kampus dan minta dijemput di hotel!1
Profesor Bronk, tentu saja tak pemah
memenangkan perang urat-syaraf yang
dilancarkannya terhadap sopir-sopir taksi kota
New York itu. Tapi, kedongkolannya mudah
dimaklumi. Barangkali sama mudahnya
memaklumi kedongkolan seseorang yang
mencegat taksi di salah satu bagian kota
Jakarta dan minta diantar ke kampus
Universitas Indonesia di Salemba Raya, tapi
jawaban sang sopir adalah satu pertanyaan
balik: "Dimana itu, Pak?" Atau, bayangkanlah
seorang Soedjatmoko mencegat taksi di suatu
bagian lain kota Jakarta dan minta diantar ke
Akademi Jakarta! Agaknya, dia akan
sedongkol Bronk, karena hampir bisa
dipastikan bahwa tak satupun sopir taksi kota
Jakarta yang kenal sekolah rnacam apa pula ini
dan tahu di mana letaknya. Jangankan para

1 Peristiwa ini dilaporkan lengkap oleh pewarta lepas,


Gene Bylinsky, dalam majalah Fortune yang kemudian
diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia
oleh United States Information Service (USIS), Kedutaan
Besar Amerika Serikat di Jakarta, dalam berkala mereka,
Titian, #817, 1976.
sopir taksi, bahkan anak sekolah dan
mahasiswa sekali pun masih banyak yang tidak
kenal atau bahkan mungkin baru saja
mendengar nama itu. Soalnya, ini akademi
memang bukan sekolahan biasa dan karena itu,
sama sekali tidal< populer. Karena, ini akademi
adalah 'sekolahan'nya para budayawan sepuh
Indonesia yang mangkal di kompleks Taman
Ismail Marzuki (TIM) di bilangan Cikini,
Jakarta Pusat.2
Padahal, betapa banyak lembaga sejenis di
dunia ini yang memakai nama sekolahan
sebagai namanya. Sebutlah: Akademi Perancis
yang jadi contoh model gagasan dan
mengilhami kelahiran Akademi Jakarta tadi.
Atau: Akademi Ilmu Pengetahuan Swedia
yang tiap tahun membagi-bagikan Hadiah
Nobel dan; karena itu, cukup populer. Atau,
yang benar-benar populer, seperti Akademi
Ilmu dan Seni Gambar-hidup (Academy of

2Akademi Jakarta adalah suatu lembaga yang


dimaksudkan sebagai pusat pemikiran bagi
pengembangan kesenian dan kebudayaan nasional
Indonesia. Para anggotanya diangkat seumur hidup dari
kalangan seniman dan budayawan terkemuka.
Soedjatmoko, seorang pemikir terkemuka Indonesia pada
dasawarsa 1970 dan 1980an, adalah salah seorang
anggotanya. Anggota lain, antaranya: Sutan Takdir
Alisyahbana, Mochtar Lubis, Affandi, Popo lskandar, dll.
Motion Picture Arts & Sciences) di Hollywood
yang saban tahun bikin pesta Hadiah Oscar.
Semuanya bukanlah akademi dalam artian
sekolahan yang jamak, tetapi lebih sebagai
suatu lembaga pusat pemikiran dan penelitian
tempat kumpulnya para pakar. Bahkan, dalam
kasus akademi yang di Hollywood, anggotanya
pun mencakup ratusan penduduk biasa,
termasuk anak-anak, yang bertugas menguji
dan membanding-bandingkan hasil
pengamatan dan penilaian mereka terhadap
karya-karya film yang patut menerima gelar
tertinggi dari akademi.
Lembaga-lembaga dengan nama sandangan
sekolah semacam itu memang mirip
paguyuban para pakar. Bahkan banyak yang
jelas-jelas memakai kata 'sekolah' sebagai
namanya. Misalnya: Sekolah Frankfurt3, suatu
paguyuban ilmiah para pakar ilmu-ilmu sosial
aliran garda-depan dari mazhab teori kritis
rintisan Max Horkheimer dan Theodor Adorno,
yang sangat berpengaruh besar pada
pemikiran-pemikiran alternatif di zaman

3Nama asli dan resminya adalah Lembaga untuk Kajian


Sosial (Institute for Social Research) yang didirikan pada
tahun 1923 di Frankfurt, Jerman Barat. Beberapa
anggotanya yang sangat berpengaruh dan sohor, antara
lain, Jurgen Habermas, Herbert Marcuse, dan Walter
Benjamin.
modern ini. Lalu, ada juga Sekolah Wina,
paguyubannya para pakar psikoanalisa
rintisan Alfred Adler. Juga, Sekolah Chicago,
kelompok pembaharu teori ilmu politik di
Amerika Serikat, tetapi juga nama dari satu
kelompok pembaharu teknik dan seni
arsitektur.

Nama sandangan sekolah itu mudah


dipahami penggunaannya dalam hal yang
terakhir ini. Karena, kata 'sekolah', dalam
bahasa-bahasa kontinental, bisa juga berarti
suatu 'aliran pemikiran' (school of thought)
tertentu. Jadi, kalau sekali waktu anda
membaca nama Sekolah Durkheim, misalnya,
rnaka harap rnaklurn kalau itu bukanlah nama
suatu kornpleks gedung atau lernbaga
persekolahan di suatu ternpat di Perancis atau
di Jerman, tetapi itulah nama suatu rnazhab
besar sosiologi teoritis yang diambil dari nama
perurnusnya yang pertama, Emile Durkheim.

Baiklah, pemah dengar atau baca narna


Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
berkedudukan di Tokyo?

Nah, ini juga bukan jenis sekolahan yang


urnum dan karenanya, tak populer. Bagi
banyak orang Indonesia, nama universitas ini
bahkan baru saja rnereka kenal setelah
Soedjatmoko, sebagai seorang warga Indonesia,
diangkat sebagai rektomya pada tahun 1980.
Padahal, inilah sekolah yang dicanangkan
sebagai pusat penggodokan pemikiran tingkat
dunia. Hanya, jangan coba bayangkan sekolah
ini sebagaimana anda membayangkan
universitas yang lazim dan kini bermunculan di
mana-mana bagai kerakap di musim hujan.
Soalnya, sekolah ini lebih berupa satu pusat
pengajian, penelitian, dokumentasiL dan
komunikasi masalah-masalah sejagad demi
kepentingan bersama seluruh umat manusia di
masa depan. Kalau saja Soedjatmoko pernah
mencobanya, maka sangat mungkin ia pun
akan mengalami nasib serupa dengan Bronk di
New York. Hampir bisa dipastikan bahwa
sopir-sopir taksi kota Tokyo akan lebih
mengenal universitas-universitas yang memang
sudah lazim, populer dan bahkan juga 'favorit'
disana, seperti Universitas Tokyo, Waseda,
Sophia, Tsukuba, dan sebagainya.
Tapi, memang begitulah nasib sekolah­
sekolah yang tidak jamak dan tidak biasa,
meskipun juga bukan Sekolah Luar Biasa
(SLB) yang justru sudah biasa. Gampang
dimengerti kalau sekolah-sekolah yang nyeleneh
itu justru paling sering tak bisa dimengerti oleh
banyak orang. Misalnya saja, kalau
disampaikan kepada mereka bahwa ada
sekolah yang tak punya gedung, bukan karena
tak mampu beli atau sewa gedung, tapi
terutama karena memang tak terlalu butuh
punya gedung. Namanya: Sekolah Pamong,
sekolah yang murid-muridnya boleh dan bisa
belajar kapan dan di mana saja, serta
menerima murid pada usia berapa saja.
Sekolah ini memang 'numpang' di gedung
sekolah terdekat, jika memang ada dan
mungkin untuk itu. Jika tidak, keadaan itu tak
menghalangi murid-murid dan guru-gurunya
berkegiatan di rumah-rumah penduduk, di
pendopo desa, di lapangan terbuka, atau
bahkan di tegalan sawah dan ladang, sambil
bermain dan atau bekerja. Jenis sekolah ini
pernah dimasyarakatkan di beberapa daerah
pedesaan Indonesia. Tapi, seberapa banyak
orang Indonesia menganggap ini memang
sekolah beneran dan mau memasukkan anak­
anak mereka secara sukarela ke sana?
Bagi mereka yang sudah terlanjur
menganggap sekolah dalam pengertiannya
yang galib selama ini, maka memang sulit
untuk memahami bahwa sekolah justru bisa
saja sangat berbeda dengan apa yang mereka
pikirkan. lni satu contoh lagi. Bayangkan: ada
sekolah yang sepenuhnya berkegiatan bukan di
suatu gedung atau ruang kelas, tetapi di
gerbong kereta api bawah tanah yang sedang
meluncur! ltulah Sekolah Keahlian
Administrasi Perusahaan yang dibina oleh
beberapa universitas terkemuka di kota
metropolitan New York. Di sekolah ini,
mahasiswanya berkuliah setiap pagi dan sore
hari saat berangkat atau pulang kerja.
Umumnya, mereka memang para karyawan
yang ingin lebih meningkatkan kemampuan
profesionalnya, namun tak punya banyak
waktu luang selain dalam perjalanan di antara
rumah dengan tempat kerja mereka, saat
berangkat atau pulang kerja. Ya, di dalam
gerbong kereta api bawah tanah itulah!4
Malah, masih di kota New York, ada sekolah
yang sepenuhnya berkegiatan di pinggir jalan,
di kawasan perkampungan kumuh (slum)
kaum miskin kota dunia itu. Namanya: Sesame
Street School, nama yang masih untung bisa
dikenal dunia luar berkat tiruan acaranya di
layar televisi serta lagu jazz sendu khas Harlem
dan Bronx: 'Sesame Street'! 1ni sungguh­
sungguh sekolahnya para 'anak jalanan' yang
dalam banyak hal bisa diperbandingkan
dengan Sekolah Gelandangan yang mulai
banyak bermunculan di sudut-sudut remang
dan kotor kota-kota besar negara berkembang,

4 Dikutip dari naskah acara siaran radio bertajuk 'Dunia


Ilmu', disiarkan oleh Suara Amerika (VOA) --maaf,
tanggal dan tahunnya lupa, sementara naskahnya yang
hanya tiga halaman itu, sudah hilang entah kemana.
dari Rio de Janeiro sampai ke Nairobi, New
Delhi, Calcutta, Bangkok, Ho Chi Minh,
ManilaL dan Gangan lupa) ... Jakarta!
Tapi, seperti juga di kota-kota besar Amerika
Serikat yang adikuasa itu, bahkan di kota yang
paling resik dan konservatif seperti London
pun tetap ada saja 'sekolah jalanan' yang
memang tak mau ambil pusing dengan ada
atau tidaknya ruang kelas belajar bagi murid­
muridnya. Kurang yakin? Baik, silahkan
bersurat ke alamat ini: School Without Walls,
c/o Ms. Patricia Holland, 8-10 Neals Yard,
London WC2, U.K.; Phone 01-240-1864!5 (se- •..

4 Lihat: David Heat, ed., 1968, Free Way to Learning,


Hammondsworth: Penguin. Untul< gambaran 'sekolah­
sekolah jalanan' di Amerika Serikat dan latar belakang
sosiologisnya, lihat misalnya: Raul Tunley, 1962, Kids,
Crime and Chaos, N.Y.: Harper & Row. Atau dalam Michael
Harrington, 1963, The Other America, N.Y.: MacMillan.
Untuk fenomena 'sekolah-sekolah jalanan' di Dunia
Ketiga, dapat dibaca dalam banyak laporan lembaga
pelayanan sosial dan organisasi non pemerintah selama
ini, antara lain UNESCO dan UNICEF. Khusus di Jakarta,
beberapa mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi
pernah mencoba merintis sekolah untuk anak-anak
gelandangan di perkampungan kumuh Planet Senen,
Bongkaran Tanah Abang, dan Tanjung Priok. Namun, tak
terdengar lagi kabarnya. Yang masih aktif terdengar,
antara lain, beberapa kelompok anak-anak miskin asuhan
Yayasan Anak Merdeka di Bandung dan Kelompok Girli
(Pinggir Kali) asuhan Romo Mangunwijaya dkk di Kali
Code, Yogyakarta.
moga belum kena gusur petugas kotapraja).

Sekolah yang dapat berkegiatan di


sembarang tempat, ternyata bukan monopoli
'sekolah-sekolah jalanan' saja. Jenis sekolah ini
malah bisa lebih menisbikan ruang dan waktu,
karena kegiatan belajarnya bisa saja dilakukan
di. .. kamar kecil! Namanya: 'Sistem Belajar
Jarak Jauh' yang kemudian lebih dikenal
dengan nama Sekolah Terbuka. Soalnya,
inilah jenis sekolah yang sebagian besar
pelajarannya disiarkan melalui media cetak,
televisi --terutama televisi kabel dan jaringan
siaran terbatas (closed circuit television)-- dan
siaran radio6• Nah, membaca buku pelajaran
atau mendengar siaran radio 'kan boleh-boleh
saja di WC sambil. . . . .?!

Dan, yang mungkin agak jauh lebih


mencengangkan pikiran banyak orang adalah

5Melalui Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan &


Kebudayaan (TKPK), Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan, Indonesia juga sudah menyelenggarakan
Universitas Terbuka (UT). Sayangnya, UT ini mencangkok
gagasan pendidikan jarak jauh lebih pada unsur
teknologisnya yang memang efisien dan canggih, bukan
pada hakikatnya sebagai suatu sistem pendidikan
altematif yang lebih merata (adil), merakyat, dan
manusiawi. Dalam kenyataannya, UT tetap
memberlakukan kaidah-kaidah sistem persekolahan yang
serba resmi dan cenderung tetap elitis.
jika dikatakan bahwa ada jenis sekolah yang
sama sekali tak menyediakan ijazah atau
semacamnya dan, karena itu, pun tak
menyediakan segala macam tetek-bengek gelar
akadernis beserta segala prosesinya. Betul,
sekolah-sekolah dasar dan menengah umum,
juga kursus-kursus keterampilan berjangka
pendek dan menengah, atau program non
gelar dalam jalur sistem multistrata perguruan
tinggi Indonesia saat ini, juga tak menyediakan
gelar-gelar akadernis. Namun, tetap saja
menyediakan ijazah atau diploma atau setifikat
atau surat keterangan sejenis.

Nah, sekolah yang dimaksudkan disini


justru tidak menyediakan kedua-duanya
sekaligus. lnilah jenis sekolah hanya
mempersyaratkan falsafah 'punya ilrnu dan
amalkan', tak lebih tak kurang. Agar anda
lebih yakin saja, maka silahkan menjenguk
banyak pondok pesantren di pedalaman
Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Meskipun,
memang disayangkan, sekolah-sekolah jenis ini
sekarang sudah banyak yang terbawa arus dan
sekedar menjadi duplikasi dari sekolah-sekolah
umum lainnya: menjiplak mentah-mentah
kurikulum resrni, latah bikin jadwal, ruang
kelas, kenaikan kelasL dan ijazah. Bahkan, juga
ikut-ikutan 'gengsi' bikin perguruan tinggi
dengan irning-irning gelar akadernis-lengkap
dengan segenap upacara-upacaranya, sembari
tak perduli apakah sumberdaya (perangkat
keras maupun lunak) yang mereka miliki
sudah sanggup untuk itu. Praktis, mereka kini
sudah kehilangan identitasnya yang khas dan
mandiri, menjadi serba tanggung. Masih bagus
kalau tidal< karena terpaksa dan didesak oleh
keadaan, terutama oleh persepsi masyarakat
yang sudah terlanjur salah kaprah semakin
menciutkan arti lembaga sekolah, disamping
juga oleh iklim politik pendidikan nasional
yang sangat terpusat dan serba konformistik.
lni pula yang menyebabkan semua upaya
untuk mewujudkan gagasan lembaga
pendidikan alternatif yang menyimpang dari
kebiasaan, menjadi suatu upaya yang nyaris
tak layak, masih untung kalau tak dicap 'gila'.

Satu contoh lagi: Sekolah Tinggi


Wiraswasta di kawasan Pondok Gede, Jakarta
Timur. Sejak awal pendiriannya, sekolah ini
secara sadar dan sengaja menyatakan kepada
para mahasiswanya bahwa mereka tidak akan
memperoleh ijazah atau gelar akademis apa
pun dari sekolah ini; bahwa mereka disiapkan
hanya untuk satu tujuan yang tegar: mampu
mandiri dan berkarya, sekecil apapun juga!
Akibatnya, sudah bisa diduga: sekolah ini pun
bubar setelah mencoba bertahan selama tiga
tahun (1979-1981) dalam keadaan 'hidup
enggan, mati pun tak hendak'. Penyebabnya
sama dan klasik: hampir tak ada lulusan SLTA
dan orang tua yang meminatinya (tercatat
tidak sampai 100 orang mahasiswanya selama
tiga tahun tersebut); tak ada satu pun lembaga
dana sosial yang mau mendukungnya secara
penuh dan berkesinambungan, bahkan juga
yayasan induk pengelolanya hanya mau
melanjutkan kehidupan sekolah ini jika
didaftarkan resmi ke Direktorat Perguruan
Tinggi Swasta, Departemen Pendidikan &
Kebudayaan. Tentu saja, dengan konsekuensi
harus menjalankan semua ketentuan yang
berlaku di dunia persekolahan mapan pada
umumnya, termasuk ujian kenaikan tingkat,
pemberian ijazah, dan gelar akademis!

Apa boleh buat, ini memang dilema tragis


sekolah-sekolah yang mencoba menyimpang
dari kebiasaan umum: tidak populer, tidak
diminati, bahkan juga tak bisa dimengerti oleh
orang banyak. Persoalannya hanyalah karena
sekolah telah menjadi suatu pengertian
stereotip, bahkan suatu stigma kental, dalam
alam pikiran masyarakat. Padahal, dalam
kenyataannya dan dalam kesemestiannya
tidaklah demikian. Lalu, mengapa ia mesti
dibebani dengan sejuta keharusan dan
pembatasan yang malah makin mempersempit
ruang gerak, wawasanL dan dinamikanya?
Sekolah, pada akhirnya memang hanyalah
satu kata, istilah, sebutan, nama, untuk suatu
tujuan dan makna yang sesungguhnya sama
sekali tak dapat ditandai pada cara wujudnya,
pada wadag lahirnya. Semua atributnya yang
resmi dan mapan selama ini, bukanlah sesuatu
yang sakral dan mesti dikeramatkan. Semua
sandangan kehormatannya yang sudah
mentradisi selama ratusan atau bahkan ribuan
tahun, boleh saja diubah: boleh tetap ada,
tetapi juga boleh tak ada, bahkan boleh
ditiadakan sama sekali!

Maka, tak perlu sewot amat kalau ada


montir bengkel yang benar-benar jagoan
kemudian membikin Sekolah Mengemudi;
atau, seorang pakar penjinak binatang yang
sungguh piawai kemudian mendirikan
Sekolah Anjing; atau, bahkan jika ada lagi
tuan-tuan dan puan-puan nekad bikin
semacam Sekolah Tanneke Burki yang pernah
bikin heboh di Bandung7. Juga, tak perlu
rewellah kalau ada orang yang serius

7 lni adalah suatu peristiwa geger pada tahun 1970an


ketika koran-koran Bandung (terutama harian-harian
Pikiran Rakyat dan Gala) dan Jakarta memberitakan adanya
'Sekolah Tanneke Burki' di Bandung yang, konon,
mengajarkan praktik bersenggama dengan peragaan.
Suami istri Tanneke Burki membantah keras berita-berita
tersebut dan menggugatnya ke pengadilan, meskipun
mendirikan Taman Kakek-Nenek atau justru
Akademi Kanak-Kanak. Bahkan, kalau
ternyata nanti kelompok badut Srimulat sudah
sedemikian mempengaruhi cara pikir dan sikap
hidup banyak orang, maka tak perlu senewen
benar kalau dalam buku-buku teks sosiologi di
perguruan tinggi kita nantinya, misalnya,
dapat dibaca istilah Sekolah Srimulat,
sekalipun!
Siapa tahu!?

Jatiwaringin, 10 Oktober 1980

kasusnya sendiri tidak sempat terungkap tuntas di luar


ruang pengadilan sehingga akhirnya dilupakan orang
begitu saja. Salah satu
pendapat keras yang mengecam
prakarsa pasangan Tanneke Burki (kalau memang benar
demikian) adalah keberatan digunakannya kata 'sekolah'
yang, katanya hanya patut dipakai oleh Jembaga-Jembaga
pendidikan resmi.
"KEOAULATAN RAKYAT"
MINGGU PAHING �JUNI 2007 (8� 1940)

TIDAKLULUS UJIAN NAsIONAL

S•ISWI• SMP Gantung Diri.


KABANGANYAR IKB> •
Didup kanna Udil Jul"'
Ujlan Nulonel<µN), End•ng
Leetari (16) warp Du.sun
Taomoyo RT 02/RW 01,De.a
Tawuipari, KecamNn J<er.
jo, Karanpnyar, nebtmeng­
akhiri hidupn.ya cMnpn.....
tung diri, Sabtu (23.'6). 8iawl
kela1 3 SMP Nepri 1 Kerjo
'*8ebut eempat dilarikan Ile
puek•mee �
$...... llP>UD Jl)'AWll?Ja
tidak tartolonrclan ...... da·
lam petja.luwb
Informul ,..,,. dlhlmpun
KR� bunuhdiri
YMll dilakukan analt kedua
pUQgaD Suparlan-Sukemi
lni diketahul Mldtar pukul
14.00 WIB �� "91*� ••·
3 seragam Sekolah

Tentang kapan saatnya seorang remaja


putri tampak benar-benar cantik, orang
boleh saja berbeda pendapat. Ungkapan
umum selama ini adalah bahwa seorang
wanita tampak cantik alamiah ketika ia
baru saja bangun dari tidur lelap, atau
baru saja selesai mandi keramas. Saya
sendiri tak suka ungkapan itu, karena saya
merasa seorang perempuan, khususnya
seorang remaja putri, tampak cantik kala
ia memakai... seragam sekolahnya!

Tentu ada sebabnya. Sebab itu adalah


karena saya punya pengalaman cukup intens
menikmati kecantikan seorang gadis remaja
saat dia mengenakan pakaian seragam
sekolahnya. Gadis itu tetangga saya. Anak dara
yang sedang ranum-ranumnya ini, sebenarnya
tak benar-benar jelita bagai Brooke Shields. la
tak punya postur luar biasa alias biasa-biasa
sajalah!
Tapi, tatkala dia berseragam kemeja putih
dengan rok abu-abu kebiruan sampai ke batas
lutut, dengan sepatu putih dan kaos kaki putih
sebatas mata kakinya, dengan tas sekolah
bersandang pada bahunya, dengan jepitan
rambut yang ditata dengan gaya Lady Di,
nyaris tanpa polesan pupur-gincu pada
wajahnya, lalu melangkah anggun lewat
depan rumah saya saat ia berangkat atau
pulang sekolah . . . . . .ambooiiii, cantiknya!
Sungguh, tak pernah bosan saya
mengagumi kecantikan anak perawan yang
satu ini dalam penampilan seperti itu, setiap
hari, biarpun sudah sekian tahun saya
menikrnatinya. Bahkan juga ketika ia masih
seorang gadis kecil, semasa ia masih duduk di
bangku Sekolah Dasar. Waktu itu, dengan
seragam kemeja putih dan rok merah hati,
dengan dasi kecil merah hati juga, dengan
rambut kepang dua model buntut kuda terikat
pita satin putih, menyandang tas sekolah,
mendekap seikat kembang warna-warni,
melangkah tegap dengan tatapan matanya
yang bulat-hitam tajam lurus ke depan ...nah,
dia sempat mengilhami saya dengan satu
gagasan artistik: saya akan menghadangnya
dari balik pagar tembok depan rumah, dengan
auto-winder dan telezoom-lens pada jarak
medium dan long-shot bergantian, dan tepat
pada posisi counter-camera, sebelum ia benar­
benar sadar kalau telah saya intip sekian lama,
saya pun segera menekan tombol dan....emulsi
segulung film diakromatik segera merekamnya
dalam satu judul puitis: From School with
Flowers! (Saya rasa, hasil gambarnya akan
sangat bagus dan sesuai dengan almanak atau
kartupos peringatan Hari Anak-Anak Sedunia
atau untuk kampanye perdamaian anti-nuklir
sekali pun!).
Jadi, begitulah saya berkesimpulan bahwa
seorang gadis remaja akan tampak benar-benar
cantik kala dia mengenakan pakaian seragam
sekolahnya. Tak bisa tidak mesti begitu, karena
saya pun sering memergoki gadis tetangga saya
itu dalam penarnpilannya yang sama sekali
berbeda. Misalnya, kala dia asyik berrnain
sepatu roda pada sore hari, sernasa dia masih
SMP dulu, dengan T-shirt penuh grafiti entah
apa saja dan celana jengki. Dalam penarnpilan
seperti itu, sungguh saya tak bersemangat
rnemandangnya. Pernah juga, setelah ia
rnenjadi seorang gadis besar seperti sekarang,
saya malah sering rnenemukannya sedang
bersantai dalam gaya rernaja rnutakhir:
bercelana gombrang sebatas lutut dengan
kombinasi kemeja longgar bermotif kembang
lurak-lurik, pernah pula dengan army-look,
dengan ikat pinggang kecil yang ujungnya
disimpul di depan pinggul mirip tali pandu,
dengan gelang ebonit warna-warni pada kedua
lengannya, dengan polesan cat kuku jari
tangan dan kaki, dengan pupur pemerah pipi,
lalu eye shadow.... naudzubiliah min dzalik,
noraknya!!

Maka, saya pun kian yakin-ainulyakin-wal­


haqqulyakin saja: gadis remaja belasan tahun
akan selalu tampak cantik dalam pakaian
seragam sekolahnya!

Ya, ini memang selera pribadi. Karena itu,


saya tak berselera besar memperdebatkannya.
Namanya saja 'selera', sangat mempribadi,
subjektif. Karena itu pula, saya pun tak
bernafsu mencampuradukannya dalam hal
penentuan perlu atau tidaknya anak-anak
sekolah berseragam. Cita rasa pribadi saya
menyenangi kecantikan anak sekolah
berpakaian seragam adalah satu hal. Tentang
perlu atau tidaknya anak sekolah berseragam,
itu soal lain lagi.

Bagi saya, sederhana saja: mau berseragam


atau tidak, terserahlah! Buat saya, biarlah
perkara ini jadi urusannya para perancang
mode, toko busana, dan salon kecantikan. Ada
apa pula urusannya dengan urusan sekolah?
Ya, Tuhan! ...anak-anak gadis, yang masih
penuh dengan mimpi-mimpi dunia remaja
mereka yang serba ceria itu, kini ke sekolah
pakai jilbab saja diributkan, dicurigai, bahkan
dituduh sebagai oknum-oknum yang telah
dipengaruhi oleh anasir-anasir Revolusi Iran­
nya Ayatullah Rohullah Khomeini!1
Astagaaaa... (maaf, pinjam ungkapannya
Rendra): "bahkan pakaian anak sekolah pun
mereka perpolitikan!"2
Politik?
Ya. Sekolah, ternyata memang bukan
sesuatu yang netral atau bebas-nilai. Sekolah,
sebagai lembaga pendidikan yang terlanjur
dianggap sebagai wahana terbaik bagi
'pewarisan dan pelestarian nilai-nilai',
akhirnya memang cuma akan menjadi sekadar

1 Peristiwa pengawasan ketat, pelarangan keras, dan


pemberian hukuman tegas (skorsing atau bahkan dipecat
dari sekolah) pemah dikenakan pada banyak siswi SLTP
dan SLTA yang memakai jilbab. Rangkaian peristiwa
kontroversial ini menghangat dan dapat diikuti dalam
banyak pemberitaan koran sepanjang tahun 1978-1983.
2 Ungkapan aslinya berbunyi: "Astaga, bahkan seks pun
mereka perpolitikan", dalam salah satu bait sajak Rendra
yang sangat terkenal: "Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota
Jakarta", dalam kumpulan puisi, 1964, Blues untuk Bonnie,
Jakarta: Pustaka Jaya.
alat untuk 'mewariskan dan melestarikan nilai­
nilai resmi yang sedang berlaku dan direstui',
tentu saja, oleh siapa yang berkuasa
menentukan apa nilai-nilai resmi yang mesti
berlaku dan direstui pada saat itu. Dibungkus
dengan slogan-slogan indah tapi membius,
misalnya, nation and character building, nilai­
nilai resmi itu wajib diajarkan di semua sekolah
dengan satu penafsiran resmi yang seragam
pula!3
Maka, lihatlah: setelah semua anak sekolah
diwajibkan berpakaian seragam, menyusul
pula kewajiban-kewajiban 'berseragam'
lainnya, nyaris dalam segala hall Dan, inilah
yang lebih membuat saya pusing tujuh keliling:
pakaian seragam, mata pelajaran seragam,
bahasa dan cara bicara seragam, tingkah laku

3 Secara teoritis, lembaga pendidikan (baca: sekolah);


disamping sebagai alat untuk memacu pertumbuhan
ekonomi dan rekonstruksi (tepatnya: rekayasa) sosial,
adalah juga wahana sosialisasi politik bagi generasi
muda, termasuk di dalamnya pengertian proses seleksi,
rekrutmen, dan induksi ke dalam budaya politik yang
sedang berlaku. Untuk kajian lanjut, lihat misalnya: James
S.Coleman, ed., 1965, Education and Political Develapment,
N.J.: Princeton University Press. Juga: Gabriel A.Almond
and Sidney Verba, 1963, The Civic Culture: Political Attitudes
and Democracy in Five Nations, N.J.: Princeton University
Press.
seragam, dan, lama-kelamaan, wajib seragam
pula isi kepala atau bahkan isi hati mereka!
Eh, omong-omong, saya kok tiba-tiba ingat
sama orang yang namanya George Orwell?!
Masya Allah Nineteen Eighty Four4 itu
. . . . kan
sekarang, ya?!

Roxy, 1 Januari 1984

• Judul novel karya puncak George Orwell (nama asli: Eric


Arthur Blair) yang paling terkenal dan kontroversial,
terbit pertama kali tahun 1949. Novel ini mengisahkan
suatu negara raksasa di kawasan Eurasia, pada tahun 1984,
yang mengontrol sedemikian rupa totaliter semua
rakyatnya, bahkan sampai ke isi hati dan isi otak mereka.
Pernah diterjemahkan oleh Djoko Lelono ke dalam
bahasa Indonesia, 1961, 1984, Jakarta: Djambatan.
KOMPAS, SENIN 28 MEI 2007

Lindungi Guru yang Buka


Praktik Kecurangan UN
DPR Pnllatin, Ekses Ujian Nasional Tidak Sehat bagi PembelaJaran
J,\KARTA. EOMPAJ
r-lll X OPll......
----- -
--......i-wi
flnl J9tC I
MCn Jr
lltcu-calun
1rtkrneanlljiln......
-us-.­
. ...._,...
...°"'*-..­
..
-·,.,."'"',...
- lllNllllki"""""
...... .... -
---­
lorl._._,,,.t_
= --=.:=;
6lr1 ...... ..... '"'
iedrlllh
__....___ _uu______ !'I=-- -
"
"X
L• •
' .._ .... ......
I ,9. . .....
...... ,. ...... ..
.... ..-...
.... �
.... .... .. -. :-
;�z-:-r•-� ...
......
..
......- ... -
.......
_ __

.. ...... ............. .... ,...,.... ...... , � �� ....


l:""
�-
��o:.�
•llnl)'l ll _
!':"
et:=·�·.:.
.... _
·.... .... ....
=..
.. .. ....
....
....
.... :r;, ,

.... �·
:, .
,,.
=:w
... *1
.. ... ...... ..... ....
... t:
.... ....
.. ....
----
.... ... ........ ,
....
... ....... ... ....
-.-. -- - _ ..., ___ ----
� -- ..... 9... ..... ......... ....... ..... ,......
�=-·= ��-=:- � = --
- ..... UN.._ �

-- - ·-- ,
"jj-
-
_ ...-
....·
....._ -
.-- .....
- oil - - ....____ ---Ulf-•
.. _ _,
., , ,,..__
_,. :
_I____
-U!I. --...
"
" - --- -X_"W,.. ,.,_ - 'o 'F *- - - --
._ _,UN•.._ - ...._._o.u: ... ._ -. .,,.
....
..._.
. ..... ....
. ...
__.
- - .... �--·· - --- -
_
- --
- -....
-- --c- - -- - -
:..-=!'!,..
-
:
:O: "s·- --· ==- - - -�- ....::. ....!.k
.=r..=..-:= ..:�;....:: : C
?:-1'.=:r'
..: -
�. 'w�
,.Ju,.
·--
.
u ,.
:'! •
_
,...
-
_
-
_
-_-__
____ - · __ ....
_ _
_ --�
,..
... - -
--
......_ ,...
-
- -
.,.,...__
--
_
4oirikanlah Sekolah!

He who can, does!


He who cannot, teaches!
(Dia yang bisa, kerjakan!
Dia yang tak bisa, ajarkan!)

Ungkapan ini datang dari George Bernard


Shaw. Cukup bijak, malahan teramat bijak,
sehingga mestilah dipahami dengan suatu
kearifan tersendiri. Jika tidak, ia bisa saja
disalahpahami secara mengenaskan: seorang
guru besar ilmu pendidikan di Bandung
sampai-sampai menuduh Shaw memandang
remeh pekerjaannya sebagai pendidik, lalu
menganggap ungkapan itu suatu sindiran yang
menyakitkan1. Padahal, barangkali dia lupa,
Shaw itu memang penulis pamflet sosial dan
drama komedi, meskipun memang
banyolannya teramat sering tragis dan bernada
sengak.
Tetapi, barangkali itu memang cuma 'humor
keras' gaya Inggris yang susah dicema oleh
bangsa lain, sehingga orang Inggris jua lah
yang bisa memahaminya dengan arif. Seorang
guru besar ilmu ekonomi di Universitas
London, menyitir ungkapan populer Shaw itu
dengan meningkahinya secara jenaka untuk
'menertawakan' dirinya sendiri. Dia menulis:
He who can, does! He who cannot, teaches! He
who cannot teach, takes up research! He who fails
at all of these, writes textbook! (Dia yang bisa,
kerjakan! Dia yang tak bisa, ajarkan! Dia yang
tak bisa ngajar, bikin penelitian! Dia yang gagal
dalam semua itu, tulis saja buku pelajaran!)2
Tahu kenapa?
Sang profesor memang kesohor sebagai
penulis buku-buku baku pelajaran ekonomi.

1Oteng Soetisna, 1977, Pendidikan dan Pembangunan,


Bandung: Ganaco.
2Kata pengantar dalam Mark Blaug, 1979, An Introduction
to the Economics ofEducation, Hammondsworth, U.K.:
Penguin.
Maka, sembari membayangkan diri sedang
menonton satu penggalan fragmen dari Shaw
dalam lakon Man and Superman (Manusia dan
Maha-manusia)3, saya pun menikmati sepenuh
hati suatu percakapan di satu warung kopi
pinggir jalan:

"Ow, jadi sekarang sudah pensiun ya, Pak?"


"Ya, begitulah!"
"Wah, enak dong?"
"Enak apanya? Kau pikir enak hidup tanpa
kesibukan sama sekali?"
"Lho, kan tinggal ongkang-ongkang di
rumah, habis bulan terima duit. Apalagi?"
"Dasar!"
"Koq?"
"Iyaaa. . . . kalau pensiunannya gede! Kalau
pas-pasan? Tahu nggak, kita kalau sudah biasa
sibuk, terus tiba-tiba nggak punya kerjaan......
uuaahhhh, malah pusing!"
"ltu sih gampang, Pak. Bikin saja kesibukan

3 Salah satu naskah komedi Shaw yang paling sarat


dengan dialog dan pemikiran, karya tahun 1903, sehingga
sering diberi judul tambahan: A Comedy and A Philosophy,
meskipun kurang populer dibanding naskah komedinya
yang lain, seperti Candida (1894).
di rumah. Yaaa . . . tanam-tanam kembanglah,
nambal-nambal dinding. atau atap bocor... kan
beres tuh?"
"Kalau cuma itu, tak perlu kau ceramahin
saya. Saya ini sekarang justru perlu yang lebih
dari itu. Kata orang sih, itung-itung mengisi
sisa umur di masa tua begini."

"Ooooo...g1'tu to.I?"
.

(DIA MENYERUPUT KOPI PANAS DARI


TATAKAN GELASNYA)

"Eh, omong-omong, kau ada ide nggak?"


"Soal?"

"Kegiatan yang kira-kira cocok buat


pensiunan macam saya inilah?"

"Mmmmm. . . apa, ya?"


"Yaaa. . . pokoknya halal, untuk nambah­
nambahin pensiun. Tapi, saya mau juga ada
unsur sosialnya. Gini-gini juga kan bekas
pejuang, lho!"

"Betul, Pak. Setua ini kita tidak boleh mikirin


diri kita melulu. Apalagi namanya bekas
pejuang, veteran! Tapi, mmm . . . kegiatan apa
ya?"

"Makanya saya nanya kau!"

"Kalau . . . ah, bagaimana kalau buka usaha


saja, Pak?"

"Usaha? Usaha apa?"

"Apa saja!"

"Serius nih?"

"Serius, Pak!"

"Oke. Tapi, kalau buka usaha. . . bagaimana


dengan unsur sosialnya, dong?"

"Ah, Bapak ini bagaimana? Buka usaha itu


kan artinya buka lapangan kerja baru. Apalagi
kalau usahanya nanti bisa maju dan jadi besar,
kan makin banyak tenaga kerja yang bisa
ditampung? Nah, itu kan sosial juga
namanya?"

"Ya, tapi itu perlu modal besar. Dari


mana?"

"Ya, siapa tahu Bapak masih ada tanah


warisan atau pusaka lain yang sekarang
nganggur. Dijual saja, Pak. Jadi modal! Atau,
jadikan boroh untuk pinjam duit di bank.
Gimana?"

"Walah, urusannya ruwet! Saya rasa nggak


sanggup ngurus gitu-gituan. Nggak bakatlah
jadi wiraswasta. Saya kan bekas orang
kantoran? Yaaa, paling-paling bisanya cuma
ngerjain yang tidak jauh beda dengan kerjaan
kantoran juga."

"Melamar jadi karyawan kantor swasta,


sajalah!"

"ltu sih jelas-jelas nggak ada unsur


sosialnya. Dan... ah, bosan rasanya jadi anak
buah melulu. Dulu, di kantoran jadi anak buah
juga. Kapan jadi komandannya?"

"Maunya gitu to? Mmm.... jadi Pak Lurah


sajalah!"

"Lebih ruwet lagi. Terlalu banyak politik­


politikannya. Males!"

(KEDUANYA MENYERUPUT KOPI LACI,


HAMPIR BERBARENGAN)

"Oh ya, keahlian Bapak dulu di kantor apa,


Pak?"

"Administrasi. Terakhir sih sempat menjabat


Kepala Bagian Tata Usaha. Sebelumnya pernah
jadi Kepala Biro Rumah Tangga dan
Perlengkapan. Lalu, Biro Personalia."

"Ahli manajemen dong, Pak?"

"Praktis!"

"Tapi teori kan bisa juga?"

"Ya, pemah juga sih disekolahin beberapa


kali oleh kantor."

"Nnnaahh ... passs!"

"Apanya?"
"Anu... buka kursus saja, Pak!"
"Kursus?"

"Maksud saya, bapak ngajarkan kembali


ilmu dan pengalaman yang pernah Bapak
dapat dulu itu."
"Ngajar? Rasanya koq nggak punya bakat
.
. ct·i guru.? Tapi. ."
Ja .

(DIA MENYULUT ROKOK KRETEKNYA,


MENGHISAPNYA DALAM-DALAM.
MATANYA TERCENUNG, DAHINYA
BERKERUT DAN SETELAH TERDIAM
LAMA, IA KEMUDIAN MENGANGGUK
ANGGUK SAMBIL TERSENYUM-SENYUM
KECIL)

"Nah, sekarang lebih baik Bapak bikin saja


dulu rencananya yang komplit, lalu jual
gagasan itu pada orang-orang. Saya kira, akan
banyak yang berminat, Pak."
"Taunya?"

"Lha, wong ini kegiatan pendidikan, ikut


mencerdaskan kehidupan bangsa! Itu kan salah
satu tujuan nasional kita, Pak? Artinya,
membantu program pemerintah juga. Nah,
pemerintah rasanya akan mendukung, apalagi
kalau melihat ini digerakkan oleh orang seperti
Bapak. Dari kalangan terpelajar, pensiunan
pegawai negeri yang tak perlu diragukan
loyalitasnya. Veteran, lagi! Wah, bakal lancar
deh! Tinggal soal bagaimana meyakinkan
orang saja, dan saya percaya itu bukan soal
besar bagi Bapak. Pokoknya, bisa diatur!"
"Betul juga, kau. Saya ingat sekarang, ada
beberapa orang kawan lama, teman-teman
seperjuangan dulu yang juga sudah pensiun
semua, yang katanya mau mewakafkan
tanahnya untuk kegiatan sosial. Malah ada
yang anaknya sudah jadi pengusaha katanya
bersedia menjadi penyandang dana dan
mencarikan sumber-sumber dana lainnya lagi,
kalau perlu....... "

"Nahhh... apalagi?"
"Iya, tapi 'kan bukan itu saja butuhnya?"
"Misalnya?"
"Misalnya . . . tenaga pengajar kualifaid!"
"Lha, Bapak kan punya banyak relasi
dengan orang-orang universitas?"
"Ya, ada juga berapa."
"Nah, ajak saja mereka. Dosen-dosen kan
sekarang banyak yang gitu. Ngobyek! Tinggal
soal ngatur-ngatur waktunya saja. Kalau bisa
dapat yang profesor-profesor, lebih bagus lagi.
Kan banyak tuh profesor-profesor tua di
universitas negeri yang sebentar lagi mau
pensiun atau tidak punya jabatan lagi. Kalau
perlu pinjam namanya saja untuk pajangan.
Kan promosi bagus tuh, Pak?"
"Tapi honornya harus merangsang, dong?"
"Alaaa, itu sih tinggal soal itung-itungan
saja. Coba kita bikin kira-kiraan begini. Tanah,
gedung, peralatan kantor, komplit semuanya
dapat sumbangan dan bantuan dari yang
Bapak sebut-sebut tadi. Juga dari pemerintah.
Tak ada masalah to?"
"Lantas?"
"Lantas soal gaji guru-guru dan karyawan.
Juga biaya kantor sehari-hari, transportasi, dan
sebagainya. Katakanlah semua itu butuh sekian
juta rupiah setahun atau sebulannya. Nah,
ambil saja dari uang pembayaran peserta atau
siswa. Tinggal bagi saja dengan jurnlah dana
yang dibutuhkan itu, nanti ketemu sudah
berapa uang pembayaran yang mesti
dibebankan kepada para pendaftar. Supaya
tidak tekor, lebihkan saja dua kali lipat atau
kira-kira segitulah. ltungan biasa to, Pak?"
"Bisa kemahalan jatuhnya?"
"Tergantung! Orang sekarang nggak terlalu
mikirin soal mahal atau murah. Yang penting,
mutu! Apalagi kalau kursus-kursusnya nanti
sudah mulai terkenal, punya nama, pasti
diserbu peminat. Nggak peduli, Pak, berapa
saja akan mereka bayar! "
"Ah, masa?"
"Jangan tanya lagi, Pak! Pokoknya, banjir!
Coba saja lihat, sekarang ini orang makin lama
makin pengen kerja kantoran. Nah, kursus
administrasi atau manajemen, pasti laku keras.
Lihat saja, sekarang ini makin banyak model
kursus seperti itu dan semuanya makin lama
makin besar saja!"
"lyyaa, yah!?"
'"Kan?"
"Ah, encer juga kau!"
"Ah, soalnya sudah jamak, Pak!"

(NYERUPUT KOPI LAGI, LALU


KEDUANYA TERTAWA, BERBARENGAN)

"Pak!?"
"Mmm!"
"Pikir-pikir, sebaiknya jangan serba
tanggung. Maksud saya, nanti kalau sudah
jalan dan berkembang, bisa lebih diperluas lagi.
Misalnya, lalu buka kursus sekretaris, terus
kursus pembukuan, bahasa asing, terussssss...
ah, itu yang lagi mode sekarang... kursus
komputer! Terussss ... wah, jadi besar deh,
Pak!"
"Jadi sekolahan komplit, ya?"
"Universitas, Pak!"
"Universitas?"
"Harus kesana mikirnya, Pak! Jangka
panjang! Karena yang merintisnya Bapak,
nanti nama Bapak bisa diabadikan sebagai
nama Universitas itu, to?"
"Ah, tambah encer saja kau!"
"Terima kasih. Oh ya, Bapak nanti
sebaiknya jadi Ketua Yayasannya saja. Enak
deh, ketja tinggal ngatur-ngatur orang, terus
dapat duit, nama baik, dan unsur sosialnya
jelas-jelas jalan! Kan semua itu yang Bapak
mau?"
"Pas!"
"Klop!"

Klop!, gumam saya spontan. Lirih. Deru


mesin kendaraan yang berseliweran di jalanan,
menyerbu masuk ke warung bagai tepukan
para penonton di ruang pertunjukan, memberi
salut pada fragmen yang baru saja selesai. Saya
sendiri tak bergerak di kursi. Termangu.
Entahlah! Dulu, ketika selesai menonton
komedi Shaw yang lain yang disadur dalam
film May Fair Lady4, saya langsung tersenyum­
senyum. Tapi, sekarang?
Saya akhimya tersenyum-senyum juga
bahkan terbahak-bahak, sampai keluar air
mata saya, bahkan ketika mau tidur pun! Tapi,
sungguh, saya tak tahu pasti, apakah saya
memang tertawa atau menangis?
Ah, Shaw benar rupanya. Blaug juga. Orang
pensiunan itu juga: He who can, does! He who
cannot, teaches! He who cannot teach, builds
school! (Dia yang bisa, kerjakan! Dia yang tak
bisa, ajarkan! Dia yang tak bisa ngajar, dirikan
sekolah!)
Apa salahnya?
Bedanya, barangkali, cuma: Shaw sengaja
nyindir (meskipun teramat sublim dan kritis);
Blaug terang-terangan sekadar mau berseloroh
mengolok-olok dirinya sendiri (meskipun
teramat arif dan bijak); sementara orang

4Film drama musikal, produksi tahun 1964, yang sangat


terkenal ini adalah saduran langsung dari naskah komedi
Shaw, Pygmalion (1912), suatu satir tentang ketimpangan
sosial dan struktur kelas masyarakat tradisional dan
konservatif Inggris (dan di mana saja) dengan
menampilkan dua tokoh: Eliza Doolitle (diperankan oleh
Audrey Hepburn) dan Prof. Higgins (Rex Harrison).
pensiunan tadi justru bersungguh-sungguh dan
yakin (meskipun teramat dangkal dan naif).
ltu saja!
Memang?

Ciputat, 18 Juni 1982

tt--1\-----·�·--+----rf
-====:::i '

12:: 22 x3

18 =.2x!.2

7
1 2.

\
·\ \

Prisma, 1980
S sekolah & Perusahaan

Awal tahun ajaran adalah masa paling


hiruk-pikuk dan halai-balai bagi semua
sekolah. Ini memang masa pengumuman
hasil ulangan dan ujian akhir murid­
murid, pengumuman kenaikan kelas,
penyusunan laporan tahunan, dan juga
geger musiman: pendaftaran, ujian
masuk, penerimaan murid baru!

Ini memang masanya para orangtua murid


repot kasak-kusuk, para calon murid dan siswa
sibuk sana-sini dan, tak kalah puyengnya,
adalah para guru serta pengelola sekolah
sendiri. Yang terakhir ini memang tak nyaman
posisinya: didesak-desak para orangtua murid
(lewat 'bawah meja' atau pakai 'jalan
belakang'), disodok-sodok setumpuk peraturan
(resmi maupun tak resmi) dan dibayang-
bayangi oleh berita-berita koran (yang benaran
maupun yang cuma cari sensasi murahan).
lnilah memang waktu yang bisa bikin para
pengurus sekolah, para kepala sekolah, juga
guru-guru, jadi senewen kalau tak kuat-kuat
tahan diri. Konon, banyak kepala sekolah dan
guru-guru yang sengaja minta jatah cuti
tahunannya pada minggu-minggu yang gerah
ini (padahal, menurut kitab pelajaran Ilmu
Bumi Alam Falak Indonesia, justru musim
penghujan belum lagi berakhir). Mereka yang
tak bisa cuti, apa boleh buat, siap-siap untuk
bersitegang urat syaraf setiap hari di sekolah.
Begitulah, seorang Kepala Sekolah di satu
SMA swasta di Jakarta, masih pagi benar,
sudah terlibat dalam perdebatan dengan
seorang guru stafnya:

"Brengsek! !!"
"Ada apa, Pak?"
"Koran-koran! Coba saja baca topiknya hari
.1ni.
. ,,,

"Tentang?"
"Biasa! Kalau sudah tahun ajaran baru
seperti ini, redaktur-redaktur koran paling
doyan bikin tajuk dan pasang kepala berita
yang itu-itu juga: orangtua susah, mengeluh,
semua bingung cari sekolahan anak-anaknya!"
"Nyatanya memang begitu sih, Pak?"
"Betul! tapi mengapa terus-terusan
menyalahkan pihak sekolahan? Sekolah lah
yang jadi biang kerok, jadi kambing hitam!
Coba pikir, kita orang dituduh bikin ......"
"Apa? Sekolah kita ini, Pak?!"
"Bukan! Dengar dulu. Maksudnya, kita
semua orang-orang sekolahan, ya guru-guru,
ya kepala sekolah, ya pengurus yayasan,
semuanya dituduh bikin aturan penerimaan
siswa baru yang ruwet dan banyak tetek­
bengeknya, tapi katanya tidak cukup becus
untuk menjalankannya sendiri. Malah, mereka
menuduh banyak penyelewengan ini dan itu.
Apa mereka pikir ngatur sekolahan itu
gampang?"
"(Iyyaa, ya?!)" (DALAM HATI)
"Enak saja! Kalau cuma ungkat-ungkit
peraturan, tak terlalu soal. Tapi yang betul­
betul bikin kuping panas dan hati sakit, itu Iho,
soal uang pendaftaran dan uang sekolah yang
katanya kelewat batas dan mencekik leher
orangtua. Lebih-lebih lagi kita yang sekolah
swasta ini, katanya, terlalu komersial! Edan!!
Sekolah-sekolah negeri yang dibiayai
pemerintah saja masih perlu pungut SPP.
Memang tak sebesar kita di swasta, tapi itu kan
duit rakyat juga? Belum lagi yang namanya
dana bantuan proyek berkala, atau subsidi, dan
segala macam dana bantuan lainnya. Apa
mereka kira sekolah itu tak perlu biaya?"
"(Betul juga!)" (MASlli DALAM HATI)
"Mahal-mahal begini, kan mutu terjamin!?
Ini juga fakta! Buktinya, lulusan sekolah swasta
sering prestasinya jauh lebih bagus dibanding
lulusan sekolah negeri. Jumlahnya juga lebih
banyak! Pokoknya, kita bersainglah!"
"Itu sih bukan rahasia lagi, Pak!"
"Makanya.... ! Yang begitu itu malah jarang
diungkapkan oleh koran-koran sial itu.
Doyannya cuma yang jelek-jelek saja!"
"Ah, namanya juga koran, Pak!"

"Tapi mereka mestinya mikirlah! Taruhan,


mana lebih sulit ngurus sekolah atau ngurus
usaha penerbitan? Uhh, nggak pemah
ngerasain bagaimana ruwetnya ngurus yang
namanya anak sekolah. Lha, wong itu
manusia, bukan mesin! Belum lagi ngatur yang
namanya guru-guru, karyawan. Semuanya
juga manusia yang banyak maunya!"
"Tapi. .. mereka juga kan ngatur manusia,
Pak? Yaaa . . . wartawan, yaa ... karyawan."
"Betul! Tapi, mereka lebih pada mengatur
pekerjaan manusianya, bukan langsung
manusianya itu sendiri. Lha, kalau kita? Kita
ini kan ngurus sampai isi kepala dan isi hati
manusianya? Dan itu tak ada rumusnya!
Sepuluh kepala murid, harus dihadapi dengan
sepuluh atau bahkan seratus cara!"

"Tapi, ngurusin perusahaan rasanya tidak


gampang juga, Pak?"

"Apa bedanya dengan kita? Kita juga


ngurus segala macam seperti mereka, dari yang
namanya administrasi, manajemen, proyeksi­
proyeksi, rencana induk pengembangan,
anggaran belanja, efisiensi, moral kerja,
kredibilitas, promosi, relasi, bahkan juga tiap
tahun harus pandai-pandai menghitung
kecenderungan arus penawaran dan
permintaan. Pokoknya, semuanya lah! Nah,
kalau tidak pakai prinsip manajemen modem
dan paham apa itu misalnya prinsip economic of
scale, apa kita juga nggak bubar, nggak
bangkrut!"

"Wah, jadi seperti direktur perusahaan saja,


Pak?"

"Ya! Ngurus sekolah sama dengan ngurus


perusahaan, perusahaan besar malah. Coba
saja lihat sekolah kita ini. Tiap hari kita
ngurusin ratusan murid dan karyawan. Malah
kita sebenarnya jauh lebih sulit. Apalagi
sekolah swasta seperti kita ini yang segalanya
tergantung pada perhitungan yang benar-
benar terinci dan tepat. Itu kalau kita memang
mau tetap bertahan hidup! Persaingan kan
makin hari makin ketat saja?!"

"Persiissss!"

"Apanya?"

"Mmm .. anu, maksud saya, yang Bapak


.

barusan bilang itu persis seperti yang pernah


,,
saya baca...

"Koran lagi, ya?"

"Oww bukan, Pak. Buku!"

"Buku? Buku apa?"

"Itu tuh, karangannya Illich."

"Siapa?"

"Illich. Ivan Illich, Pak!"


.
atanya.
"B aru dengar.I Tap1.... oh ya, apa k ?"

"Ya, seperti kata Bapak tadi."

"Iyaa, apa?!'

"Mmmm .. maaf, Pak. Katanya, sekolah­


.

sekolah di zarnan modern ini memang dikelola


sebagai suatu perusahaan..."

"Nah, kan?!"

"Ya... dia juga bilang karena sistem sekolah


yang ada sekarang ini pada dasamya memang
sudah menuntut pengelolaan semacarn itu.
Malahan, katanya, sekolah-sekolah zaman
sekarang ini sudah menjadi majikan terbesar
dan paling anonim dari semua majikan..."1
"Nah,redaktur-redaktur koran mesti baca
itu buku, biar nyaho!"
"(Nah, lu!") (TETAPI, INI JUGA CDMA
DALAM HATI)

Roxy, 8 Juli 1983

1 Ivan Illich, De-schooling Society, Harper & Row, N.Y., 1974;


atau terjemahan lndonesianya: Bebas Dari Sekolali, Sinar
Harapan, Jakarta, 1983.
PELAJAR DAff MRMAllS'WA DI Pl�AHlC.At.I DARI PtRtOJtLAN MASJARAKJ\T
YAllG SESENARNYA. MtR�kA HANYA llEl,.J.�R , 8ELllJAR MN BEL AJAR . - -

"-·--- ··-- --- -- =-�. --:_.:..:=.__ J


"·------ -

MEREJCA MENGEJAR IJAZAH


PADAllAL
kETIDAIC ADIL.AN
T E P,US SEMENTARI\ RAKYAT
BER.UNGSUNG...
ME GAP- ME GAP
CARI SESUAP NASI

APA SEl<OLAH
MACAM ITU
MASIH .A.DA ?
6 sekolah Anak-anak Tenda

Jane, begitu dia menyebut namanya, tapi


saya lupa siapa lengkapnya, sebenarnya
berkepribadian cukup menarik.

Ia cukup santun menampilkan diri, sangat


fasih omong, meskipun sesekali bicaranya
meletup-letup. Berdandan sederhana tapi
serasi, meskipun terkesan agak tomboy, tapi
sorot matanya tajam dan cerdas. Cantiiikk lagi!
Sosoknya mengingatkan pada seorang Jane
yang lain: Fonda! Saya pikir, dia memang
pantas untuk peketjaannya sebagai penyebar
gagasan suatu lembaga pengkhidmat masalah­
masalah kemanusiaan yang berpusat di kota
New York dan, dalam rangka itulah, dia
sekarang berada di Indonesia. Karena Jane
adalah seorang anggota suatu perhimpunan
masyarakat filantropi terkemuka di Amerika
dan pernah menjadi sukarelawan di barak­
barak pengungsi Palestina di Yordania dan
Lebanon Selatan, kantor saya mengundangnya,
untuk menyampaikan kesan dan pengalaman
dia dari kawasan penuh pergolakan itu.
Maka, berdirilah Jane di depan saya serta
kerabat kerja saya sekantor. Dengan tangkas,
Jane menuturkan pengalaman dan pandangan­
pandangannya. Menarik. Tetapi, yang paling
menarik, paling tidak, menurut saya dan
beberapa rekan lain, adalah pandangan Jane
sendiri tentang bangsa Palestina dan masa
depan mereka.
Kata Jane: bangsa Palestina sangat mungkin
akan berhasil memiliki suatu negara merdeka
dan berdaulat pada suatu waktu kelak.
Namun, pada saat itulah nanti mereka akan
segera dihadapkan pada suatu masalah besar
yang nyaris tak terlalu dipikirkan pada saat ini,
baik oleh mereka sendiri maupun oleh orang
lain yang berkeprihatinan terhadap nasib
mereka. Pangkal persoalannya, menurut Jane,
adalah karena generasi muda Palestina saat ini,
sejak usia amat dini, telah dididik dalam
suasana dan naluri 'serba perang', dalam
luapan dendam kesumat dan kebencian yang
berlarut-larut, lalu menjadi amat terbiasa untuk
selalu bercuriga terhadap apa dan siapa saja
yang datang dari luar kalangan mereka sendiri.
Dan, sambil mengutip beberapa pikiran Erich
Fromm, Jane pun menyirnpulkan: "mereka
telah mencintai kekerasan!"1
(SAMBIL MENYIMAK, SELINTASAN
SAYA TERINGAT PADA SEPENGGALAN
TULISAN YANG PERNAH SAYA BACA):
" ...Bagi orang Palestina, kekerasan menjadi
bahasa yang sama indahnya dengan
kelembutan."2
Ah, barangkali itu cuma perasaan kamu
saja, Jane?
Tidak! tegas Jane menolak tuduhan ini. Ia
lantas menuturkan apa yang disebutnya

1 Pandangan-pandangan psikoanalisa kontemporer Erich


Fromm, antara lain tentang kecenderungan kejiwaan
untuk 'lebih mencintai kekerasan dan segala yang berbau
kematian' (necraphily), memang menjadi sumber dan
bahan kutipan populer dalam hal ini. Selanjutnya, lihat:
Erich Fromm, 1966, In the Heart ofMan, N.Y.: Routledge­
Keegan Paul. Atau, 1969, The Art ofLoving,
Hammondsworth, U.K.: Penguin, (sudah diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia, 1981, Seni Mencinta, Jakarta:
Bhratara Karya Aksara). Atau, karya puncaknya: 1969,
Escapefrom Freedom, N.Y.: Avon Books.
2 Penggalan dari kata pengantar Abdurahman Wahid,
selaku Ketua Dewan Kesenian Jakarta, dalam: Malam
Palestina, stensilan brosur acara 'Pembacaan Puisi
Palestina oleh Penyair-penyair Indonesia' di Teater Arena,
Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 8 September 1982.
sebagai fakta: ia telah menyaksikan dengan
mata kepala sendiri bagaimana anak-anak
Palestina yang masih bocah telah dijejali
dengan slogan-slogan revolusi dan hasutan
semangat kesyahidan (martirdomship) yang
berlebihan. Di bawah tenda-tenda sekolah
darurat mereka, anak-anak itu diajari
kemampuan membaca, menulis, dan berhitung
ala kadarnya saja. Selebihnya adalah membaca
parnflet-pamflet gelap dan puisi-puisi bawah·
tanah, menyanyikan lagu-lagu perlawanan
dan mengarang cerita atau sajak penuh
letupan.
(SAYA PUN LANTAS INGAT LAGI SATU
BAIT SAJAK):

Hanya dengan senjata


Orang Palestina bisa
Mendapatkan rumahnya
Dan kampung halamannya
Kembali 3
....

3 Bait kedua terakhir satu sajak yang dikutip dari satu


buku bergambar untuk kanak-kanak tanpa pencantuman
nama bocah penyaimya. Diterjemahkan dan dibacakan
lengkap oleh penyair Taufiq Ismail dalam acara
'Pembacaan Puisi Palestina. . .'. Selengkapnya, lihat sajak:
"Puisi kanak-Kanak Palestina", ibid.
Nah, Tuan-tuan, tutur Jane lagi, bahkan
pada saat-saat tertentu, anak-anak itu memang
sengaja disuruh menghafal rumus-rumus taktik
gerakan gerilya, teknik sabotase, dan latihan
para-militer. Bayangkanlah, jika kelak mereka
menjadi suatu negara dan bangsa merdeka, di
mana sebagian besar pemimpin dan rakyat
yang sejak masa kanak-kanak dan remajanya
telah direnggutkan dari proses pertumbuhan
alamiah mereka, yang sejak kecil nyaris tak
mempercayai sama sekali akan adanya itikad
baik, ketulusan hati, dan kehangatan
persahabatan, kecuali antar sesama mereka
sendiri?!
Jadi, apa yang kau lakukan disana, Jane?
Sederhana saja, Tuan-tuan, tapi mendasar
sekali: mengembalikan kepercayaan
kemanusiaan mereka dan bahwa anak-anak itu
perlu bertumbuh dalam kewajaran kanak­
kanak lumrah lainnya di dunia ini. Ya bermain,
belajar matematika, membaca Gibran, bahkan
juga menonton fantasi E.T. nya Spielberg,
sampai akhirnya biarlah mereka sendiri yang
akan memutuskan nanti apakah akan terlibat
langsung atau tidak dalam urusan perlawanan
nasional mereka. Sekarang, biarlah urusan itu
mestinya cuma jadi urusan para orangtua,
pemimpin militer, dan para pemuka politik
mereka saja.
Tanggapan mereka, Jane?
Sayang, memang, hampir tak seorang pun
yang nampaknya mau memperdulikan saya.
Ada seorang guru yang saya temui di satu
tenda sekolah darurat di kawasan Lembah
Beeka, menyambut saya dengan ketus:
"Sebaiknya anda tidak datang lagi ke_sini
dengan buku-buku dan khotbah-khotbah, tapi
mesiu!"
Kau sendiri bagaimana, Jane?
Saya berusaha dan mencoba untuk
memahaminya. Tentu saja, saya tak boleh
konfrontatif. Sayang, saya tak bisa tinggal lebih
lama lagi. Masa tugas saya berakhir lebih cepat
dan saya terpaksa pulang ke New York,
meskipun, sebenarnya saya masih penasaran.
Dan, sekarang kau disini, Jane?
Untuk tujuan yang sama, Tuan-tuan!
Tapi disini tak ada perang, dan ini bukan
Palestina, Jane?
Prinsipnya sama saja, Tuan-tuan. Sebelum
kesini, saya sudah mengumpulkan banyak
keterangan tentang negeri anda ini. Saya kira,
anda tak akan berkeberatan dan bisa
sependapat dengan saya bahwa sebenarnya di
sini pun masih banyak kanak-kanak yang
mengalami nasib serupa dengan kanak-kanak
Palestina, dalam bentuknya yang lain, tentu
saja. Maksud saya, masih banyak anak-anak di
sini yang mengorbankan sebagian besar waktu
mereka yang amat berharga untuk melakukan
berbagai pekerjaan yang mestinya cuma
menjadi bagian pekerjaan orangtua mereka. Di
Jakarta saja, saya sudah sempat beberapa kali
menyaksikan sendiri banyak anak-anak yang
tidak bersekolah lagi dan bekerja serabutan
mencari uang seperti orang dewasa. Beberapa
anak penjual koran yang saya temui di pinggir
jalan, temyata mengaku masih bersekolah.
Pekerjaan itu memang mereka lakukan selepas
atau sebelum jam sekolah dan baru pulang ke
rumah menjelang tengah malam untuk
istirahat dan tidur. Saya pikir, kapan mereka
punya waktu untuk belajar? Belum lagi waktu
untuk bermain dan menikmati waktu senggang
sebagaimana lazimnya anak-anak. Saya
dengar, di daerah pedesaan konon keadaannya
jauh lebih buruk lagi. Jadi, itulah semua, Tuan­
tuan!
Apa itu justru tidak lebih bail< bagi mereka,
Jane?

JANE MEMICINGKAN MATA SEJENAK,


MENGERUTKAN DAHi, DAN AKHIRNYA
CUMA ANGKAT BAHU SAMBIL
TERSENYUM.
(SAYA TAK TAHU APA ARTI ITU SEMUA
SEBAGAI SUATU JAWABAN DAN APA
SEBENARNYA YANG ADA DALAM BENAK
JANE. BENAK SAYA SENDIRI KEMBALI
SIBUK MELAFAZKAN SATU SAJAK LAIN):

Di dalam kelas ada seorang anak lelaki


Yang menggarap bumi dengan tangan
sendiri
Buah zaitunnya rampak dan rindang sekali
Namanya Adnan -petani tanpa tanah, tapi
Dia tidak tinggal diam. Tidak
Dia pejuang sejati
Hari itu dia tak menghiraukan tata bahasa
Dan mengajar menguraikan kalimat tadi
Begini caranya:
"Guruku: bukan pokok
rnimpi: bukan sebutan
tentang: kata-hubung
revolusi : tak ditentukan kata-hubung
tapi tak ingin berjuang: ini benar!"

Pelajaran Sebelum Yang Terakhir

Sehari kemudian guru masuk kelas


Sangat menarik mempesona, bagai jeruk
baru dipetik
Meski umumya 70-an, dia kanak-kanak
Dia memberi salam
Dia membawa kalimat baru dan bilang:
"Mereka telah memasukkan Adnan ke
tahanan"
Uraikan itu, anak-anak
Uraikan itu, anak-anak

Mula-mula karni terbahak-bahak...


Lalu menangis
tersedu-sedu
"Adnan: pokok
tahanan: tujuan"
Tiba-tiba kami semua jadi dewasa
Tiba-tiba kami semua jadi lelaki
Tiba-tiba kami semua jadi wanita4

Ah, tiba-tiba saya pun jadi paham, Jane!


Dan, sambil melangkah keluar ruang
pertemuan, saya bersenandung lirih sekenanya
saja, satu lagu Rolling Stones:
"My Sweet Lady Jane,
la la la la laaa..... "

Kebon Jeruk, 30 September 1982

• Bagian separuh terakhir dari sajak Rashid Hussain,


penyair Palestina yang sohor dan mukim di daerah
pendudukan Israel di Tepi Barat. Terjemahan Indonesia
selengkapnya dikerjakan oleh penyair Abdul Hadi WM
dan Taufiq Ismail, dibacakan pada acara 'Pembacaan Puisi
Palestina.. .'. Selengkapnya, lihat sajak "Pelajaran
Menguraikan Kalimat", ibid.
7 sekolah Anak-anak Laut

Anak-anak sekolnh di dneralt perkotaan


sudnh terbiasa menikmati sarana angkutan
antar-jemput pergi ke dan pulnng dari
sekolalt. Di beberapa sekolnh terten tu,
ma/air sekolah yang menyediakan sarana
angkutan bus-seko/ah yang lumayan bagus.

Lain lagi yang terjadi di satu Sekolah Dasar


(SD) di Mantigola, perkampungan tertua
Orang Bajo di lepas-pantai Kepulauan
Wal<atobi, Sulawesi Tenggaro. Oisana, bukan
murid-murid yang menikmati sarana angkutan
antar-jemput tersebut, tetapi guru-guru
mereka! Hebatnya lagi, sarana antar-jemput itu
tidal< disediakan oleh sekolah, tetapi justru oleh
murid·murid, anak-anak sekolah itu sendiri!
Lho, koq bisa?
Hal-hal 'ajaib' memang bisa dan sangat
jamak terjadi di negeri yang juga 'ajaib'.
Begitulah, maka murid-murid kelas empat
sampai kelas enam SD Mantigola punya roster
(jadwal) tambahan yang mungkin tidak akan
pemah ada di sekolah lain dimana pun di
dunia ini: tugas menjemput dan mengantar
guru guru mereka pada setiap hari sekolah!
-

Soalnya, SD Mantigola itu memang terletak


di tengah taut, di perkampungan Orang Bajo
yang memang --dimana saja- selalu terletak di
alas laut'. Dari garis pantai bagian barat Pulau
Kaledupa --salah satu pulau utama dalam
gugus Kepulauan Wakatobi (dalam pelajaran
llmu Bumi Indonesia tahun 1960-70an, Jebih
dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi)­
- jaraknya ke Mantigola adalah hampir 2 mil

'Oru1g Bajo adalahsulcu anakloul y•ng poling IUM


tersebar di seluruh kawasan Asio Tmggora @n P.,;Jik
BaraL Ada banyak bahan pustaka don dokumon yong
sudah tersedia untuk mengen.tl lebih rind komunitas
pengembara Jaut ini SaJah oatu yong .. n gal ler1gkap dan
sudah menjadi acuan klasik, IU>AI Shop<t. D. 1965, TlN' """
Nornrul, Singapore: TIJeNatiorralM11Jn1m: tlan Sat/Ju, C., J997,
TIMBajau Laut:Adaptaon, ti History, 1u1d FMteiu"Mnn'titnt
Fishing Sodrty. Oxford; ()](ford UnJve:rsJ1y Press.
laut (sekitar 2.,6 kilometer). Padahal, 5 orang
guru dan 1 orang Kepala Sekolah SD
Mantigola semuanya bermukim di daratan
Pulau Kaledupa. Maka, mereka pun harus
menyeberangi selat dangkal (kedalaman 2-8
meter saja pada saat air pasang penuh) setiap
hari, saat pergi ke dan pulang dari tempat
tugas mereka.
Sama sekali tak ada prasarana dermaga dan
sarana angkutan umum untuk penyeberangan,
apatah lagi jembatan lintas-laut. Maka, entah
darimana pula mereka memperoleh
gagasannya, para guru SD Mantigola pun
bersepakat menugaskan murid-murid
menjemput dan mengantar mereka.
Untuk itu, para murid itu dibagi dalam
kelompok-kelompok kecil 3-4 orang per
kelompok. Setiap kelompok bertugas mencari
dan mempersiapkan paling sedikit dua sampan
kosong untuk keperluan penyeberangan
tersebut. Pada pagi hari, mereka akan
mendayungnya ke pantai Desa Holio di
daratan Kaledupa, memuat penumpang (para
guru) dan mendayungnya batik ke Mantigola.
Demikian sebaliknya pada siang atau lepas
siang hari, ketika mereka mengantar para guru
pulang dari Mantigola ke Kaledupa.
lni sama sekali bukan tugas sukarela. lni
adalah bagian dari peraturan sekolah yang
harus atau bahkan wajib dipatuhi o leh anak­
anak itu. Jika tidak, ada sanksinya Murid­
.

murid yang lalai, rnalas, atau lambat


menunaikannya akan dihukum, biasanya
disuruh menundukkan kepala ke bawah meja
belajar dalam kelas selama satu jam pelajaran,
atau dijemur di panas terik rnatahari di luar
kelas, dan lain sebagainya --tergantung
kesukaan dan kesenangan guru yang memberi
hukuman saat itu.
Tetapi, ada satu jenis hukuman yang sangat
disukai oleh para guru, yakni menyuruh mu­
rid-murid yang dihukum pergi mencari ikan
segar di laut untuk dibawa pulang oleh para
guru ke rurnah mereka masing-rnasing.
Bagaimana caranya anak-anak itu
mendapatkan ikan --pergi sendiri
memancingnya, atau malah minta dari
orangtua mereka-- itu adalah urusan mereka
sendir� para guru yang memberi hukuman tak
mau tahu.

Dan, saya pun menyaksikan sesuatu yang


sangat berbeda dari apa yang sering
dibayangkan dan dipradugakan selarna ini:
bahwa anak-anak sekolah sangat takut jika
mendapat hukuman dari guru-gurunya.

Luar biasa!, murid-murid SD Mantigola,


sebaliknya, malah bersuka-ria jika mendapat
hukuman pergi mencari dan menangkap ikan.
Empat orang anak yang terkena hukuman hari
itu, karena terlambat menjemput dan
menyeberangkan guru-gurunya, sungguh
menikmati hukuman mcrcka dengan keriangan
dan keceriaan. Sesekall ada yang melompat
dari atas sampan, mencebur ke laut, lalu
berenang timbul-tenggelam memuaskan
dlrinya sendlri. Tetapi, 01C$1d sambil bermaln,
mereka tetap bemingguh.sungguh
melaksanakan tu,gas hukuman yang
ditimpakan kepada mereka: mencari ikan!
Empat anak lelald yang masih berusia
belasan tahun awal itu, belum lagi akil-baliq,
dengan tangkas mengemudikan dan
mengendalikan dua sampan mereka,
membuang sauh pada titik-titlk tcrtentu,
kemudian menebar jaring-tonda, alau melepas
tali pancing. ke dalam laut yang merupakan
bagian dari perairan taut terdalam di Indone­
sia: Laut Banda!
Gerakan-gerakan tubuh mereka sama sekali
tak mernperlihatkan rasa gentar dan gamang.
Malah mereka tertawa riuh-rendah
sebagaimana layaknya kanak-kanak dalam
keadaan apapun juga. Tetapi, ketika mereka
menarik jaring atau kail dengan ikan
menggelepar ke alas sampan. saya menangkap
raut wajah su111ri11gah, pancaran sinar mata
puas, dan senyuman senang seorang nelayan
dewasa dan matang pada semua anak·anak
itu...
Pada 'saat-saat mengada' (llu: moment of
hein.g exist) itulah saya meragukan apakah
mereka benar·benar sadar kalau mereka
sebenamya masih kanak-kanak; bahwa mereka
sebenamya sedang menjalani hukuman sebagai
murid sekolah yang dinilai bersalah oleh para
guru mereka?
Apakah masih ada makna sekolah bagi
mereka pada saat-saat seperti itu, kecuali
sebagai suatu tempat climana mereka pemah
belajar membaca, menulis, dan berhitung
sekadarnya, agar tak benar-benar buta aksara
saja? Jangan-jangan, hukuman menangkap
ikan itulah justru 'sekolah mereka yang
sebenarnya'? Jangan-jangan itulah yang
sebenarnya tak mampu dipaharni oleh para
perencana, pembuat kebijakan, pakar, dan
pengelola pendidikan selama ini, sehingga
membuat kurikulum sekolah sangat sering
tidak memburni, sementara cara-cara
penyajiannya di kelas menjadi sangat
membosankan.
Sekembali di rumah penginapan, ketika
saya mulai menyuning
t kumpulan gambar­
gambar anak-anak Mantigola itu, yang saya
rekam dengan kamera digital sederhana,
pertanyaan-pertanyaan itu masih tetap
menggelantung di benak saya... yah, apakah
sekolah bagi mereka; dan apakah mereka
bagi sekolah?
Secara naluriah. spontan saja, saya
memasukkan potongan lagu 'Another Brick
in the Wall'nya Pink Floyd sebagai ilustrasi
musik dari rangkaian gambar anak-anak
Mantigola itu...

We do11't 11ted no education


We dorrt need 110 thouglit ccntrol
No dark sarcnsm ill the classroom
Teiulu!rs leave them kids alorre
Hey! Teachers! Lea11e them kids alone...

Dan, saya tersentak ketika tiba pada


potongan lagu 'The Happiest Days of Our
Lives'...

Vv'lien we greiu up and u1ent to sdrool


There were certain teachers wlw would
Hurt tire cl1ildre11 irr any way tlrey could...
By p<>uring their derisiorr
Up<>n arrythirrg we did
And exp<>sing every wenkrress
However carefully /ridden by tire kids
But irr the towrr, it was well known
Wlre11 they got lwme at night, tlreir fat and
Psycl1opnthic wives would thrash them
Within irrclres of tlreir lives...
Wahai, anak-anak Mantigola, apakah kallan
juga merasa sedemlkian terluka, lalu menaruh
amarah dan dendam kepada para guru yang
suka menghukum kalian selama ini?
Sungguh, saya hanya berharap tidak_
Bahwa para guru itu telah berbuat berlebihan
dan sering keterlaluan, itu pasti sesuatu yang
tak bisa dibenarl:an. Tapi, mungkin al:an lebih
balk. jika kalian dewasa nanti, mencoba
memahami mengapa mereka bertindak
demikian? Apakah mernang itu watak alamiah
mereka; ataukah ada kekuatan yang lebih besar
di luar kendali mereka sendiri, yang memaksa
mereka akhimya bertindak seperti itu? Menjadi
dewasa adalah menjadi bijak u.ntuk mampu
membedakan antara dua hal yang nampak
mlrip dan sama dan...
Ahaaa!, kalian anak-anak laut, yang
berumah di laut, bertulang lunas perahu,
berurat akar-bakau, bemafas uap gara m...
kalian telah terlatih, lebih daripada apa yang
bisa diajarl:an oleh sekolah, untuk mengetahui
apa bedanya antara ombak dengan gelombang,
antara arus dengan alir, antara angi.n dengan
badai, antara pertanda dengan k
ejad
ian
...
Tetaplah seperti itu!

Kolcdup;1. 10Januari 'lW7


8 Robohnya

Sekolah Ra kyat Kami

Di satu kota kecamatan kecil, sepi dan


terpencil, di ujung utara kaki
pegunungan Latimojong, tepat di tapal
batas propinsi Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Tengah, satu bangunan
sekolah berdiri di mulut jalan masuk
kota dari arah selatan-barat-daya.

Bangunan itu sendiri tidak istimewa


dibandingkan dengan bangunan lain yang
agak terpisah jauh di bagian tengah kota.
Apalagi jika dibandingkan dengan bangunan
Kantor Kepala Kecamatan dan rumah
dinasnya, satu gedung tua peninggalan
Belanda dengan dinding tembok tebal dan
sentuhan geometris gaya Gothic. Bangunan
sekolah itu justru lebih mirip bangunan penjara
di sudut tengah kota, terutama dalam hal tata
letaknya. Keduanya berdiri dalam bentuk
setengah melingkar mirip huruf U, dengan
lapangan rumput luas di bagian tengah dan
petak-petak kebun di bagian belakang
bangunan sayap kiri dan kanannya.
Lantai bangunan sekolah itu adalah
campuran bahan semen-pasir yang pada
beberapa bagian sudah retak, terkelupas berat,
menampakkan tonjolan batu-batu kali yang
mencuat dari lapisan bawah permukaan
dasarnya. Dindingnya separuh papan, separuh
anyaman kulit pelepah sagu, dijepit dengan
bilah-bilah ruyung batang pinang. Semuanya
bercat putih dari bahan bubukan cadas kapur
gunung. Atap bangunan terbuat dari anyaman
daun sagu. Pagar yang melingkarinya dibuat
dari batang-batang kayu hutan sebesar lengan
yang dipancangkan berderet hampir setinggi
bahu orang dewasa. Sepintas, seluruh
kompleks bangunan itu tampak bagai barak
tentara pendudukan (dan memang pernah
dijadikan tangsi darurat tentara dari Jawa
untuk memadamkan pemberontakan
bersenjata Dl/TII Kahar Muzakar1). Tapi,
semuanya terawat cukup baik.

1Pemberontakan bersenjata Dl/Tll Kahar Muzakar


berlangsung kurang lebih 14 tahun (1954-1968) yang,
antara lain, mengakibatkan kehancuran prasarana,
Anak-anak penduduk kota kecil itu dan
desa-desa sekitarnya, semuanya bersekolah di
sana. Seluruhnya hampir seratus orang, dari
kelas satu sampai kelas enam. Ada lima orang
guru yang ditugaskan resmi oleh pemerintah,
sementara ada tiga orang guru 'sukarela' dari
kalangan penduduk setempat, lulusan
Vervolgschool zaman Belanda, yang mendapat
imbalan upah sekadarnya dari kumpulan dana
sosial berkala para orangtua murid. Anak-anak
pada dasarnya bersekolah nyaris tanpa
bayaran. Untuk semua keperluan belajar
sehari-hari, sudah disepakati menjadi
tanggungjawab Kantor Pak Camat. Selebihnya

termasuk prasarana persekolahan pedesaan, di sebagian


besar wilayah jazirah Sulawesi Selatan, Tenggara, dan
sebagian Tengah. Mereka yang menghabiskan masa
kanak-kanaknya di masa dan di daerah perang gerilya
semacam itu, pemah merasakan betapa 'aneh'nya mereka
bersekolah pada saat para orangtua dan orang dewasa
sekitar mereka justru sedang terlibat dalam kesulitan
hidup sehari-hari. Namun, satu ha! menjadi jelas
kemudian hari: perang telah membuat mereka
merenungkan banyak hal bermakna tentang hidup dan
hubungan kemanusiaan, sementara 'pembangunan'
(pembalakan hutan, pembukaan perkebunan besar,
pertambangan, dll) yang datang kemudian malah
membuat mereka lebih banyak memikirkan hal-hal
sebaliknya.
adalah usaha swadaya masyarakat. Bangunan
sekolah itu sendiri contohnya, termasuk
pemeliharaan, perbaikanL dan pengadaan
prasarana baru yang dibutuhkannya.
Jadi, setiap hari Sabtu adalah hari krida
sekolah. Murid-murid bebas dari kegiatan
belajar pada hari itu atau hanya belajar
separuh jadwal. Kegiatan terpusatkan di
halaman atau kebun sekolah: membabat
rumput lapangan upacara, memperbaiki pagar
rusak, melabur dinding, membersihkan
selokan, menanam tanaman baru, atau
memetik tanaman yang telah berbuah, dan
sebagainya.
Tiap empat bulan sekali, satu kuartalan
namanya, sehabis ulangan umum seluruh
kelas, adalah masa kerja besar-besaran
bersama: semua murid dan guru masuk ke
hutan terdekat di tepi kota untuk
mengumpulkan kayu pagar baru, atau pelepah
dan daun sagu untuk bahan anyaman atap
dan dinding baru. Kegiatan ini berlangsung
sampai seminggu penuh. Hari Senin sampai
Rabu, sepanjang hari, adalah kerja
penumpukan, pengepakan, dan pengangkutan
bahan-bahan tersebut dari hutan terdekat. Hari
Kamis sampai Sabtu, juga sepanjang hari,
adalah kegiatan produksi di dalam kompleks
sekolah. Harl minggu adalah puncak acara
ketja bakti ini: semua dinding dan atap serta
pagar lama dibongkar, lalu diganti dengan
yang baru. Semua murid kelas satu dan kelas
dua, bebas beban ketja bakti. Murid-murid
kelas tiga boleh membantu ala kadamya secara
sukarela. Tenaga inti adalah murid-murid kelas
empat sampai kelas enam, ditambah guru-guru
pria serta para bapak murid secara bergiliran.
Tiap enam bulan adalah musim panen raya:
panen jagung huma atau padi sawah. Ini
berarti libur sepekan penuh. Sekolah tak punya
lahan ladang atau sawah sendiri, tetapi
bertugas mengerahkan dan mengatur murid­
muridnya untuk disebar ke ladang dan sawah
penduduk. Bagi·hasil yang diperoleh
sepenuhnya diperuntukkan bagi para murid itu
sendiri. Adapun sekolah, hanya menerima
penyisihan sebagian kecil dari hasil panen yang
disumbangkan secara sukarela oleh setiap
pemilik ladang atau sawah. Sumbangan inilah
yang dijadikan bekal untuk acara rekreasi
sekolah di hari libur terakhir. Rekreasi biasanya
berlangsung sehari suntuk di hulu sungai,
kurang lebih satu jam petjalanan kaki dari
pusat kota, atau di saluran induk pengairan,
sambil kerja bakti lagi memperbaiki tumpukan
batu dan susunan beranjang kawat penyekat
pintu saluran air.
Tiap akhir tahun ajaran adalah hari kenduri
dan libur akbar: pengumuman kenaikan kelas,
pengumuman hasil ujian akhir murid-murid
kelas enam, penerimaan murid-murid baru
kelas satu dan, selalu, acara syukuran.
Semuanya berlangsung di kompleks sekolah
sehari suntuk pula. Perhelatan kenduri
dipersiapkan oleh murid-murid lelaki, guru­
guru, dan kaum pria penduduk. Dapur umum
menjadi urusan murid-murid perempuan, para
gadis, dan ibu-ibu. Acaranya nyaris sama
saban tahun: parade pidato Pak Camat, Penilik
Sekolah, Kepala Sekolah, lalu pengumuman­
pengumuman, pertandingan bola kasti atau
lari karung dan tarik tambang, pembagian
hadiah-hadiah pemenang, hiburan kesenian
karya murid-murid dan, puncaknya, makan
siang bersama.
Sesudah itu, berakhir pulalah semua acara.
Dan, esoknya, mulailah libur akbar tahunan.
Biasanya libur panjang ini bertepatan dengan
liburan puasa sekaligus selama sebulan penuh.
Setelah liburan, biasanya seminggu sesudah
hari raya lebaran, roda berputar kembali:
masuk tahun ajaran baru dan kehidupan
sekolah dimulai lagi!
Begitulah seterusnya, bertahun-tahun, tapi
tidak untuk selama-lamanya. Beberapa tahun
kernudian, bangunan sekolah itu rata dengan
tanah. Tak ada bencana angin ribut, banjir
bandang, atau gempa bumi. Bangunan sekolah
itu memang sengaja dirubuhkan. Sebagai
gantinya, bergeser beberapa ratus meter ke
arah utara, didirikanlah satu bangunan sekolah
baru dengan konstruksi permanen dan gaya
arsitektur kontemporer perkotaan, hampir
semuanya dari bahan semen campuran beton.
Juga, bukan satu-satunya. Di dekat pasar di
bagian tengah kota, juga didirikan bangunan
sekolah lain yang sama persis bentuknya, mirip
kotak-kotak besar yang, katanya, memenuhi
semua persyaratan suatu sekolah yang layak.
Lalu, di seberang alun-alun di depan rumah
Pak Camat, juga sedang diselesaikan satu
bangunan baru untuk sekolah lanjutan.

Sejak saat itulah, anak-anak pun bersekolah


dalam penampilan yang berbeda: pakaian
seragam dari bahan kain sintetik berwarna
putih, bukan lagi blacu berkanji dan berwarna
kusam; dengan sepatu kulit dan kaos kaki
katun, tak ada lagi yang bertelanjang kaki atau
bersendal jepit model kasut Jepang; dengan
alat-alat tulis serba bikinan pabrik, bukan batu
tulis yang diasah sendiri; lengkap dengan tas
sekolah dari bahan plastik tahan rembesan air.

Semua memang sudah berubah, agaknya.


Hari krida sekolah pada hari Sabtu, juga sudah
tak ada. Kini, yang ada adalah hari Jumat
krida. Tapi acaranya pun sudah lain. Sekarang
bukan lagi acara kerja·bakti, tapi senam pagi
massal atau pertandingan olahraga. Taman
dan kebun sekolah memang masih ada,
meskipun tanaman-tanamannya lebih banyak
kembang dan nyaris tak ada lagi singkong,
jagung, kacang tanah, atau mangga dan
pepaya. Taman dan kebun itu pun kini
dikerjakan sepenuhnya oleh dua orang
pegawai khusus yang bertugas sebagai pesuruh
dan tukang kebun.

Acara kerja bakti kuartalan pun sudah tak


ada, bahkan juga kerja musim panen raya
setiap enam bulan sekali. Nampaknya memang
itu dianggap bukan urusan sekolah lagi. Tapi
acara rekreasi sekolah masih tetap ada, dengan
variasi jenis acara yang lebih banyak:
perkemahan atau latihan ketangkasan
kepanduan (nama barunya: Pramuka) dengan
tenda terpal atau plastik serta perlengkapan
bikinan pabrik yang serba sudah disediakan
terlebih dahulu; keterampilan palang merah;
festival kesenian; dan berbagai acara
ekstrakurikuler lainnya.

Praktis, anak-anak kini bersekolah lebih


terpusat pada kegiatan belajar dalam kelas
dengan selingan bermain atau berlatih di luar
kelas, dalam suasana yang jauh lebih santai
dan lebih hura-hura, tanpa 'beban kerja'
apapun seperti dulu. Ya, mereka kini benar-
benar ber-'sekolah' !
"Yaaa, Sekolah Rakyat kita memang sudah
lewat, Bung!", sapa seorang kawan lama yang
dulu sebangku di kelas lirna. Saya tersadar dari
lamunan masa lalu oleh sapaannya itu.

Ya, sesuatu memang sudah lewat.


Sementara itu, sesuatu yang lain sudah siap
menanti di depan. Dan, di antara keduanya
kini berlangsung sesuatu yang terlepas dari apa
yang telah lewat tadi, namun belum pula jelas
benar kaitannya dengan apa yang bakal tiba
nanti.

Sekelompok murid-murid bekas Sekolah


Rakyat karni dulu itu lewat di depan saya
dengan suara riuh-rendah. Sekelebatan, dalarn
galau yang meredam, saya teringat pada
sesuatu, samar-samar...

Ah, dari satu pojok pedalarnan Sulawesi ini,


pikiran saya melayang jauh ke suatu daerah
udik lainnya yang juga terletak di tepi hutan
tropika endernik: Amazonia, Brasil! Nun di
sana, bahkan sudah sejak tahun 1960an, Paulo
Freire, seorang putra Amazon yang kelak
menjadi salah seorang filosof dan pemikir
pendidikan alternatif terkemuka dan
berpengaruh abad ini, memberikan
kesaksiannya bahwa anak-anak di kawasan itu
kini bemasib sama dengan pepohonan hutan di
sekitar mereka: 'digunduli' secara sistematis!2
Seperti juga yang telah terjadi di tepian
belantara Sulawesi ini, sistem dan lembaga
pendidikan (tegasnya: sekolah!) temyata
menjadi salah satu alat ampuh untuk
menciptakan apa yang disebut oleh seorang
rekan kerja Freire sebagai "khalayak yang
tercerabut dari akarnya" (disinherited masses)3,
persis seperti pepohonan hutan yang terbabat
oleh pembalakan besar-besaran di sekitarnya.

Sekolah memang sudah bukan lagi rniliknya


el pobresiado, kaum yang terlunta-lunta, rakyat
jelata! Lihat saja, nama 'Sekolah Rakyat' pun

2 Freire, antara lain, memberikan contoh sederhana tapi


gamblang di mana anak-anak sekolah dan orang dewasa
buta huruf di Brasil disuruh menghafal pelajaran dan
bahkan kata-kata atau istilah-istilah yang asing, yang
mereka tak ketahui makna dan maksudnya, bahkan tak
ada kaitannya sama sekali dengan kenyataan kehidupan
sehari-hari, kebutuhan, dan lingkungan hidup sekitar
mereka. Selengkapnya, lihat karya puncaknya Paulo
Freire, Pedagogy of the Opressed, Penguin,
Harnmondsworth, 1978 (terjemahan Indonesia: Pendidikan
Kaum Tertindas, LP3ES, Jakarta, 1985). Juga: Paulo Freire,
Cultural Action for Freedom, Penguin, Harnmondsworth,
1983).

3 Baca kata pengantar Richard Shaull untuk buku karya


puncak Freire di atas. Shaull adalah guru besar
Universitas Harvard dan rekan kerja Freire di CIOOC,
Cuernavaca, Mexico.
dihapuskan. Sebaliknya, sekolah kini menjadi
milik dan alat dari satu kekuatan raksasa yang
--atas narna dan dengan label-label 'demi
pembangunan, industrialisasi, modernisasi,
globalisasi'- bukan cuma mengajarkan
bagairnana caranya merarnpok habis
sumberdaya kebendaan komunal yang dimiliki
dan sudah berabad dilestarikan oleh para wong
cilik setempat: hutan dan tanah ulayat, hasil
bumi, dan sebagainya; tetapi juga mengajarkan
bagaimana caranya menjarah sumberdaya
kerohanian pribadi maupun kolektif dari
orang-orang kampung yang ugahari itu:
pikiran, perasaan, kesadaran, martabat, dan
harga diri mereka!

Siapa kekuatan besar itu?

Bicaralah!

Masamba, 3 Desember 1983


PEJIDJDlkAN 0

I
I I
/I1
!

c=i
D c=J

'@@

=g
Ii
I
�--

- --
meningkatnya juga jumlah penerimaan, dan
bahwa pertumbuhan memang berarti semakin
ruwetnya permasalahan).
Beberapa pakar pendidikan di sini pernah
melontarkan gagasan umum dan contoh kisah
sukses dari dinamika dan perkembangan
manajemen dunia industri: bahwa efektivitas
dan efisiensi, sekaligus produktivitas dan
jaminan kualitas, terbukti dapat dicapai
bersamaan dengan cara menerapkan
pendekatan-pendekatan analisis sistem (system
analysis approaches) yang memperlakukan dan
melihat sesuatu masalah, misalnya, sistem
pendidikan nasional, sebagai suatu kesatuan
yang utuh (holistik), bukan serpihan-serpihan
yang terpisah-pisah satu sama lain. Singkatnya,
pendekatan analisis sistem tersebut disarankan
sebagai suatu metodologi pendekatan yang
dianggap paling memadai untuk memecahkan
masalah-masalah kritis sistem pendidikan
nasional di Indonesia.
Maka, bennunculanlah berbagai seminar,
penelitian, kertas kerja, konsep, surat
keputusan, petunjuk teknis, dan petunjuk
pelaksanaan, lengkap dengan segala fonnulir
isian dan istilah-istilahnya yang cukup bikin
pusing kepala. Semuanya demi dan atas nama
'sistem' atau 'analisis sistem'. Tapi, apakah
'sistem' atau 'analisis sistem' itu?
Dalam upaya pembaharuan sistem
pendidikan nasional di Indonesia, boleh
dikatakan bahwa metodologi pendekatan atau
kerangka analisis itu nyaris tinggal sebagai
suatu pengandaian retorik belaka. Bahkan,
dalam banyak kasus, tak lebih dari 'mainan
baru' untuk gagah-gagahan dengan istilah­
istilah berbahasa asing agar nampak lebih
keren. Hal ini nampak jelas pada
penerapannya dalam dua hal: manajemen
persekolahan, dan metodologi pengajaran.

Searah dengan dimulainya penerapan


pendekatan analisis sistem tersebut dalam
manajemen pembangunan nasional oleh Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS) pada awal 1970an, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan juga segera
memberlakukan perangkat keja Sistem
Perencanaan, Pemrograman, dan
Penganggaran (SP4) atau Planning,
Programming and Budgeting System (PPBS),
lengkap dengan segenap peristilahan teknisnya
yang njlimet dan forrnulir-formulir isiannya
penuh lampiran tebal-tebal yang melelahkan.

Hasilnya?

Para administrator sekolah yang selama ini


sudah terbiasa menyusun perencanaan
tahunan mereka menggunakan lajur-lajur
debet-kredit yang sederhana tapi tepat•guna,
kini harus ikut rangkaian penataran teknis
yang bagai tak ada habis-habisnya.
Penggunaan formulir lama belum lagi mereka
kuasai, sudah datang pula formulir baru yang
makin canggih saja. Tambahan waktu ketja
lembur pun membengkak, sehingga banyak
Kepala Sekolah tak bisa lagi menjalankan salah
satu fungsi utamanya: mengajar di kelas.
Sebagian besar malah menjadi larut keenakan
menjalankan fungsi baru sebagai 'manajer
proyek'.
Hebatnya, administrasi dan manajemen
persekolahan tetap saja merupakan salah satu
masalah sistem pendidikan nasional yang
paling rurnit sampai saat ini. Bahkan,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang
punya jumlah pegawai terbanyak di antara
semua kementerian pemerintah, merupakan
kementerian yang paling ruwet urusan
administrasi kepegawaiannya --salah satu
pusat kasus korupsi, manipulasi, dan salah­
urus (dari pemotongan gaji guru-guru sampai
penggelapan dana proyek pembangunan
gedung sekolah)- sekaligus masih tetap
merupakan salah satu kementerian penghasil
sisa anggaran pembangunan (SIAP) terbesar
setiap tahunnya.
Dernikianlah pula halnya dalam hal upaya
pembaharuan metodologi pengajaran di
sekolah-sekolah. Dijangkiti demam 'serba
pembaharuan' kala itu, para guru tiba-tiba
dikejutkan dengan taburan istilah-istilah
analisis sistem: unit lesson, input-output matrix,
end-means analysis, logical framework, team
teaching, integrated curriculum, dan sebagainya,
juga lengkap dengan segenap perangkat
kerjanya yang menyita habis waktu para guru
itu untuk menghadiri penataran, kerja lembur,
dan 'ikut proyek'.
Hasilnya?
Ya, itu tadi: mutu lulusan sekolah tetap tak
terkatrol, kalau tak mau disebut mandeg atau
malah anjlok, sementara nisbahnya dengan
kebutuhan dan kehidupan nyata murid-murid
juga tetap ngadat. Dua persoalan pokok ini
masih tetap jadi inti kemelut sistem pendidikan
nasional sampai sekarang.
Hebatnya, nafsu para perencana pendidikan
tingkat nasional untuk terns melanjutkan
percobaan-percobaan mereka yang mahal itu
seakan-akan tak ada habis-habisnya, malah
cenderung kian menggebu-gebu saja. Lebih
hebat lagi, banyak di antara percobaan­
percobaan itu justru terjebak dalam suatu
gejala pembaharuan semu (quasi innovation)
yang mengagung-agungkan setiap bentuk dan
jenis media yang lebih baru dan canggih, yang
menafsirkan makna pembaharuan metodologi
pengajaran secara amat naif dan sederhana,
sebagaimana kesaksian dua orang maha guru
dengan nada ironis dan sinis sekaligus7: "...On
the contrary. They usually can be relied upon to
give unflagging support to instructional television,
team teaching, green chalk boards, moveable chairs,
more textbooks, teaching machines, the use of
overhead projectors and other innovations that
play no role in effecting significant learning.
Operating in these matters is a kind of variation of
Parkinsons Law of Triviality: the enthusiasm that
community leaders display for an educational
innovation is in inverse proportion to its
significance to the learning process" (Sebaliknya,
semangat mereka yang selalu mengebu-gebu
dan tak habis-habisnya mendukung pengadaan
televisi pengajaran, pengajaran oleh tim, papan
tulis hijau, kursi-kursi kelas yang bergerak,
lebih banyak buku-buku teks, mesin-mesin
pengajaran, penggunaan alat penayang, dan
banyak pembaharuan lainnya, temyata tidak
memainkan peran apa-apa untuk menjadikan
proses pengajaran benar-benar efektif. Bekerja
dengan semua piranti tersebut adalah salah

7Neil Postman & Charles Weingartner, 1971, Teaching as A


Sulroersive Activity, Hammondsworth, U.K.: Penguin
Books. Lihat juga: Cyrill Parkinson, ibid.
satu ragam dari Hukum Tetek-bengek
Parkinson: semangat yang ditunjukkan oleh
para pemimpin masyarakat ke arah suatu
pembaharuan pendidikan justru menjadi
kebalikannya terhadap makna proses belajar).
Pendek kata, upaya pembaharuan sistem
pendidi.kan nasional di Indonesia, yang justru
menggunakan dalih pendekatan analisis sistem
itu, bukannya makin menyederhanakannya
tapi malah makin meruwetkannya dengan
tingkat kenisbahan yang sernakin tak jelas pula
ujung-pangkalnya.
Sebagai suatu metodologi pendekatan dan
kerangka analisa, analisis sistem itu sendiri
bukannya tak memadai, bahkan boleh di.kata
merupakan suatu kerangka pikir dan ketja
yang nisbi komprehensif yang pernah
ditemukan selama ini. lni sudah banyak
terbukti dalam penerapannya di dunia bisnis
dan industri, juga militer. Tetapi, ji.ka
penerapannya dalam upaya pembaharuan
pendidi.kan di Indonesia tidak membawa hasil
yang diharapkan, maka nampaknya hanya ada
satu kemungkinan saja. Kemungkinan itu
adalah apa yang pernah diisyaratkan oleh
seorang analis bahwa yang paling penting dan
menjadi conditio sine qua non dari penerapan
suatu perangkat analisis sistem adalah
'perubahan atau penyesuaian batas-batas
sistem yang ada itu sendiri terlebih dahulu' .8

Isyarat itulah yang nampaknya tak banyak


digubris oleh para perencana pendidikan kita.
Apa yang mereka banyak lakukan adalah lebih
pada perubahan dan penyesuaian 'perangkat­
perangkat teknis' dan bukan perubahan dan
penyesuaian yang mendasar dari 'batas-batas
hakikat makna' sistem pendidikan itu sendiri.
Ada semacam 'keengganan ideologis' campur
i telektual' dan 'kebanggaan semu
'kemalasan n
budaya' untuk mengubah kemapanan batasan­
batasan baku yang sudah ada. Mereka asyik
memperkenalkan media-media, istilah-istilah,
dan formulir-formulir barn, bukannya
mempertanyakan terlebih dahulu apa gagasan
atau filosofi di balik semua wujud
pembaharuan itu? Mereka sekedar mencaplok
dan menjiplak, dengan sedikit penyesuaian
teknis disana-sini, tanpa kemauan kritis untuk
mempertanyakan mengapa dan untuk apa
semua media, istilah, dan formulir baru itu
pada awalnya diciptakan? Mereka terkagum­
kagum, sebagai misal, mencangkok perangkat
metodologi pengajaran Cara Belajar Siswa
Aktif (CBSA) semata-mata sebagai suatu

8Manuel Zymelman, 1971, Efficiency and Financing


Education, Boston, Mass.: Nimrod Press.
bentuk media teknis yang terbukti memang
efe.ktif, bukan sebagai suatu bentuk
pengejawantahan gagasan pendidikan liberal
dan liberalisasi pendidikan yang justru menjadi
filosofi dasarnya (itupun kalau mereka
memang paham apa makna sesungguhnya di
balik ideologi gagasan-gagasan pendidikan
liberal). Media itu tetap saja digunakan hanya
sebagai alat untuk mengajarkan materi
kurikulum yang sudah dirancang sebelumnya
(well-packaged, pre-designed), termasuk materi
indoktrinasi nilai-nilai. Mereka mencoba-coba
menerapkan perangkat teknis media kodifikasi
dan dekodifikasinya Paulo Freire9, namun
tegas-tegas menolak memberlakukan penuh
secara taat-asas prinsip dasar metodologi
konsientisasi dan gagasan humanisasi
pendidikan yang justru menjadi paradigma
pokoknya.10

9Selengkapnya, lihat: Paulo Freire, 1971, Cultural Action


for Freedom, Harnrnondsworth: Penguin Books; atau karya
puncaknya: 1971, Pedagogy of the Opressed,
Harnrnondsworth: Penguin Books.
10 Bentuk-bentuk media kodifikasi dan dekodifikasi dari

Paulo Freire mulai diperkenalkan secara luas di Indonesia


pada mulanya melalui program pernberantasan buta
huruf, Program Kelompok Belajar (KEJAR).
Pengembangannya lebih lanjut dalam bentuk-bentuk
media peragaan dan sirnulasi kemuda
i n digunakan pula
Maka, sangat tidak mengherankan jika
upaya pembaharuan sistem pendidikan
nasional di Indonesia terus berputar-putar di
sekitar permasalahan yang itu-itu juga:
bagaimana menyesuaikan perangkat teknis
persekolahan dengan kemajuan manajemen
dan teknologi modem, bukan bagaimana
mempertanyakan kembali secara kritis hakikat

formal (sekolah).
secara luas di lingkungan pendidikan
lronisnya, semua pemberlakuan tersebuttidak disertai
dengan pemberlakuan prasyarat yang diajukan oleh
Freire sendiri, yakni: perubahan mendasar dalam
pengertian dan tujuan pendidikan sebagai sarana
penyadaran dan pembebasan, fungsi guru sebagai 'kawan
belajar', kedudukan murid sebagai 'subjek' dan realitas
kehidupan sebagai 'objek' pendidikan. Satu hasil evaluasi
dari Bank Dunia, sebagai penyandang dana Program
KEJAR, secara jelas-jelas menyebut ha! ini. Selanjutnya
lihat: Nat J. Coletta, 1976, Evaluasi Mid-term Program Kejnr
Usaha, Direktorat Pendidikan Masyarakat, Ditjen PLSOR,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (dokumen
terbatas untuk lingkungan sendiri). Bahkan, lebih ironis
lagi, setelah bentuk-bentuk media tersebut diterapkan
dalam pendidikan indoktrinasi ideologi negara Pancasila,
melalui kegiatan-kegiatan yang kemudian dikenal
dengan istilah 'Simulasi P4', satu dokumen resrni dari
Lembaga Studi Strategis (LSS), Dewan Pertahanan
Keamanan Nasional (WANHAMKAMNAS), menuduh
istilah 'konsientisasi' yang justru menjadi konsep dasar
metodologi pendidikannya Freire, secara tegas-tegas
dinyatakan sebagai suatu 'gagasan kekiri-kirian yang
berbahaya bagi ideologi negara'.
eksistensi sekolah itu sendiri yang kini semakin
digugat luas? Pemaknaan sistem pendidikan
pun sebatas pada 'sistem persekolahan'.
Dengan kata lain, upaya. pembaharuan itu
cuma berpusing-pusing membongkar-pasang
gejala permukaan (epifenomena) dari sistem
pendidikan (baca: sekolah), bukan inti
permasalahan yang sebenamya. Apa yang
terjadi bukanlah inovasi yang sesungguhnya,
tetapi proses involusi.11

11
Konsep 'involusi' pada awa!nya dicetuskan oleh
seorang antropologis, Alexander Goldenweiser, yang
mengamati perkembangan pola-pola seni dekoratif pada
suku Maori. Ia menunjukkan bahwa keseroan tradisional
suku Maori sangat terkenal karena kerurrotan dan
ketelitiannya pada garis-garis kecil, sehingga suatu benda
dihiasi dengan ragam dekoratif yang penuh dan njlimet.
Tetapi, jika diamati secara seksama, temyata unsur-unsur
satuan pola tersebut hanya sedikit saja ragamnya, bahkan
pola yang kelihatan sangat kompleks itu sebenamya
dihasilkan oleh pengulang-ulangan susunan ruang dari
satuan pola yang itu-itu juga. Apa yang terjadi adalah
pola yang ditambah dengan perkembangan yang
dilanjutkan dalam bentuk yang sama. Pola itu tidak
memperbolehkan digunakannya satuan-satuan pola yang
lain, namun tidak menentang penggarapan Ianjut dari
satuan itu sendiri. Tak dapat dihindarkan lagi, hasilnya
adalah suatu kerurrotan yang makin lama makin hebat,
keanekaragaman dalam keseragaman, suatu keterampilan
seni dalam satu nada tunggal yang datar. Selanjutnya,
lihat: Alexander Goldenweiser, 'Loose Ends of a Theory
on the Traditional Pattern and Involution in PrirlUtive
Hakikat suatu proses pembaharuan,
sekaligus berarti dinamika proses
perkembangan, pada dasamya adalah
penciptaan keadaan yang lebih baik dari yang
sebelumnya. Dalam pengertian ini, adalah
sangat absah untuk melakukan penerobosan­
penerobosan terhadap batas-batas sistem yang
telah mapan dan baku, jika perlu malah
menyebalkannya sama sekali, kalau temyata
memang sistem yang sudah mapan itu
hanyalah mengulang-ulang pola yang telah
ada dalam cara yang nampaknya saja lebih
baru dan lebih canggih, padahal sebenamya
tidak menghasilkan perubahan yang berarti.
Keengganan untuk bersikap membaharu dalam
pengertian seperti ini, tidak saja mencerminkan
adanya proses 'involusi kelembagaan' dalam
mekanisme teknis sistem yang sedang berlaku,
tetapi sekaligus juga memperlihatkan adanya

Society', dalam R. Lewis, ed., 1936, Essays in Anthropology


presented lo A.L. Kroeber, Berkeley: University of
California Press. Juga, antara lain, lihat: Clifford Geertz,
1963, Agriwltural Involution: The Processes ofEcological
Change in Indonesia, Berkeley: University of California
Press. Pada dasarnya, Geertz !ah yang kemudian
mensohorkan s i tilah dan konsep involusi nya
Goldenweiser menjadi suatu konsep yang berlaku umum
untuk semua fenomena 'perkembangan yang pada
dasarnya tanpa perubahan' alias 'jalan di tempat'.
proses 'involusi sikap' dan 'involusi pemikiran'
dalam nilai-nilai dan anggapan dasar yang
sedang dianut.
Menernbus kernacetan suatu proses involutif
sernacarn itu rnernang rnernbutuhkan suatu
evolusi atau, jika perlu, revolusi sikap dan
pernikiran.
Mengapa tak rnulai sekarang saja?

Pondok Gede, 10 Januari 1984.


91nvolusi Sekolah

Para polemologis boleh saja mengutuk


Amerika Serikat atau Rusia yang
menghabiskan begitu banyak uang
hanya untuk menghasilkan senjala-
senjata maut nan canggih. Para aktivis
gerakan perdamaian dunia pun boleh­
boleh saja mencela dan mengejek banyak
negara kecil di Dunia Ketiga yang,
sebenarnya miskin tapi ik11t-ikuta11
latali, mengliambur-hamb11rkan devisa
mereka 11nt11k membeli perlengkapan
militer mutakhir hanya demi gengsi
internaswnal.

Tapi, sekarang, mereka boleh berpaling ke


Indonesia dan menyaksikan sendiri: tak kurang
da.ri seperlima atau lebih dari 20% anggaran
belanja negara ini justru diperuntukkan bagi
pembiayaan pembangunan sektor pendidikan!'

Opo ora hebat?


Ya, apalagi kalau mengingat bahwa itu
semua bisa dicapai oleh Indonesia dalam
waktu kurang Jebih dari satu dasawarsa saja,
suatu jangka waktu yang nisbi singkat dalam
suatu proses pembangunan nasional dari suatu
negara dengan beban jumlah penduduk ke
lima terbesar di dunia, dengan kelangkaan
modal dan sumberdaya terolah (meskipun kaya
dengan sumberdaya mentah), dengan
keterbatasan perangkat ilmu dan teknologi
modem dan, last but 11ot least, baru saja pulih
dari suatu pergolakan politik panjang selama
dasawarsa 1950 sampai 1960an yang sempat
menumpahkan darah dan nyaris saja
memorak-porandakan integritas nasionalnya.
Ya, betapa tidak?
Bayangkan saja, dalam jangka waktu nisbi
singkat tersebut, angka-angka statistik
pendidikan nasional negeri ini melonjak dalam
kelipatan rata-rata tiga sampai lima kali:

1 Lihat naskah dan lampiran Pidato Kenegaraan Presiden


RI tentang Rt"ncana Angg<'lran Pcndapatan dan Bclanja
N•garn (RAPBN) 1981/1982 di dcpan Sidong Umum DPR­
RI, tanggal 6 Januari 1981; Oc-partcmt:n Pencrangan Rt,
Jakarta, 1981.
jumlah orang yang dinyatalcan 'bebas buta
huruf; jumlah penduduk yang tertampung di
bangku sekolah sejak taman kanak·kanak
sampal perguruan tinggi; u
j mlah bangunan
gedung sekolah yang menjangkau sampai ke
pelosok-pelosok desa terpencil; jumlah
perlengkapan dan sarana belajar yang juga
kian modem; jumlah tenaga pengajar yang
semakin memenuhi persyaratan baku; jumlah
kenaikan gaji guru-guru; jumlah...
Ah tunggu dulu!
Begitulah, tiba-tiba, terdengar tegur
beberapa orang pakar sambil mengungkapkan
kembali peringatan dini para Menteri
Pcndldlkan ncgara-negara anggota UNESCO
pada pertemuan mereka di Jenewa tahun
1969'. Soalnya, kata mereka, di ba.lik semua
angka-angka laju pertumbuhan yang memang
menakjubkan itu, yang menandai suatu
revolusi kebangkitan pengharapan yang
membludak (a rrvolution of risi11g expectation

'Ullat: Tb. 8'><hliar Rifai, 1971, Arlfh.Aftlh Ktetndmmgmr


Ul"ma Jan Pcn�n Pn"JJ'dibu1. Memorandum dari
Kon'"'"'"'' M•nterl·Menterl Pondldllwl UNESCO 1969 di
<new
J .. jalouu: Bodan P<n<litian Pendidil<an (BPI').
0.portem<n Ptndldlkan le Kebudayaan. Jugo: Tb. 113chtiar
Rilal, 197._ '"°""" P<r1didi!om, Omi ilmiah poda Dies
Natalls XX IKlP S.ndung.
dtmands), juga telah terjadi angka·angka
kebalikannya dalam lipatan yang tak kalah
fantastiknya: jumlah murid tinggal kelas,
jumlah pelajar yang putus sekolah, jumlah
siswa yang terpaksa gigit jari karena kehabisan
jatah kursi
di perguruan tinggi; jumlah lulusan
sekolah dan sarjana yang frustasi karena
kehabisan lapangan kerja; jumlah...
Astaga... mari kit> sudahi saja semua.
'permainan angka-angka' ini, sela seorang
Phillip Coombs de.ngan nada sebal yang tak
bis• disembunyikannya'. Menggarisbawahi
Coombs, Clarence Beeby malah tegas-tegas
menyarankan segera dilakukannya perubahan
dalam visl dan orientasi pembangunan
pendidikan nasional di banyak negara,
terutama negara-negara sedang berkembang,
yang scdemlklan bemafsu ingin
memberlakukan pemerataan pendidikan
massal, namun sering lupa dan terjerat dalam
berbagai konsekuensi berat pengerahan
sumberdaya mereka ya.ng memang sangat
terbatas. Apa yang diperlukan sekarang, begitu
kata Beeby, adala.h suatu 'strategi perubahan

'Phillip H. Coombo. 1966, Th<t\\>rld Ed""'tiomll Crisd;A


Sy#<m A"'ly<isApp-. 1.Mdonc Oxford Unlvmity
.......
kualitatif, bukan lagi 'strategi penibahan
kuantitatif', yang mengisyaratkan perlunya
peninjauan ulang terhadap banyak titik tolak
pandangan, anggapan-anggapan dasar,
imbasan-imbasan pemikiran, prasangka dan
anutan nilai, juga kebijakan yang dilaksanakan
selama ini terhadap apa yang disebut sebagai
'sistem pendidikan nasional'. Hebatnya, Beeby
menyimpulkan semua itu justru berdasarkan
hasil pengamatannya terhadap situasi
pendidikan nasional di Indonesia!'
Menarik! Begitu sambutan banyak kalangan
pcrencana pendidikan di sini. Tentu saja,
dengan basa-basi gaya khas Indonesia: "Yang
balk klta terima. yang kurang baik atau kurang
sesuai kita pertimbangkan masak-masak Jebih
dahulu!"
Maka, terjadilah suatu kesibukan baru yang
Juar binsa. Para perencana pendidikan nasional
mengallhkan sebagian besar dari perhatian

'Clarence E. Bttby, 1975. AJ1t'S.4lng lndonesilu1 Education: A


Guidt in Pl111H;i,;g, Paris: International Institute of
Educational Pl•nnlng (llEI'), UNESCO. (Sudah
diterjemahkan dalam bahlJI lndonesia: 1981, Ptndidikan di
l1ul°""lo: P-. PmiW<m & """'"'""""·Jabrta: U'3ES).
8eeby adalah manGtn Oi:relct\lr UEP-UNESCO dan
koru:uhan lank DuniJ. untuk Oepartemen Pendidikan dan
Kobudoyun di Jakana ..t.ma 3 tahun (1971-1973).
mere.ka mengutak-atik angka-angka statistilc
agregatif, lalu mulai asyik dengan perkara
mutu hasil pendidikan, kesesuaian kurikulum
sekolah dengan kebutuhan masyarakat dan
tuntutan pembangunan ekonomi nasional,
efektivitas metodologl pengajaran. peningkatan
kemampuan guru-guru, penyempumaan dan
pembakuan prasarana dan sarana belajar,
efisiensi administrasi dan birokrasi pengelolaan,
serta berbagai peroobaan lainnya yang -
katanya-- merupakan bentuk-bentuk
penjabaran dari apa yang disarankan Beeby
sebagai 'strategi perubahan kualitatiY tadi.
Perubahan kualitatif?
Bclum tentu!
Memang betul, angka-angka laju murid
tinggal kelas dan pelajar atau siswa putus
sekolah berhasil ditekan dan kian mengecil.
Tapi, bukankah ltu memang wajar karena lebih
banyak gedung sckolah baru yang dibangun
untuk menampung mereka dan, tak kalah
pentingnya, tolok ukur evaluasi hasil belajar
(baca: ujian resmi) dibuat melar-mulur dan
dilcatrol scdemikian rupa demi pencapaian
angka target lulusan (dengan segala macam
alasan, te.rmasuk demi nama baik dan gengsi
sekolah yang bersangkutan)? Lantas,
bagaimana dengan soal mutunya? Bagaimana
dengan soal kecenderungan kongesti yang
tetap membesar pada jenjang persekolahan
yang lebih tinggi?
Memang betul, kurikulum sekolah telah
dibuat menjadi lebih ramping. Tapi, bukankah
hal itu lebih karena semua mata pelajaran
sekolah diringkas-ringkas dan dipadat­
padalkan, lalu diberi label nama baru tanpa
perubahan substansi yang mendasar (pelajaran
llmu Sosial Dasar, misa.lnya, cuma tambal­
sulam dari mata pelajaran klasik llmu Bumi,
Sejarah, dan sebagainya, yang ditumpang­
tindihkan jadi satu)? Dan, apa.kah benar
bahwa beban jam bclajar mengajar mernang
semakin proporsional dengan banyaknya
tambahan kegiatan-kegiatan 'ekstrakurikuler
wajib' (Palang Merah Remaja, Pramuka, Usaha
Kesehatan Sekolah, dan sebagainya) yang
sempalan itu? Lalu, bagaimana nisbahnya
dengan kebutuhan nyata para murid sendiri?
Mengapa untuk ikut ujian saringan masuk
universitas saja, seorang siswa lulusan SLTA
rnasih merasa perlu mengikuti kursus-kursus
bimbingan tes di luar sekolah yang semakin
menjamur dan semakin rnahal pula? Mengapa
seorang sarjana masih mesti mengikuti latihan
kerja khusus untuk menyesuaikan diri dengan
dunia pekerjaan yang dilamarnya?
Memang betul. kemampuan guru-guru
semakin meningkat berkat mengikuti seribu
satu macam penataran dan tak kalah penting.
adalah dukungan perangkat keras maupun
perangkat luna.k yang juga semakin lengkap
dan nisbi ca.nggih. Tapi, bukankah semua itu
memang hat yang wajar-wajar saja dan mutlak
bag:i sistempersekolahan yang baik? Artinya,
yang terjadi sesungguhnya bukanlah suatu
'perubahan kualitatir, tapi lebih merupakan
suatu 'penambahan kualitatif' saja?
Juga, memang betul, praktik-praktik
pengajaran di ruang kelas juga semakin
membaik. Tapi, berapa banyakkah percobaan­
pcrcobaan mctodologis dan mikropcdagogik
semacam itu yang berakhir hanya sebagai
usaha coba<0ba yang berharga mahal dan
elitis·eksklusif (scpcrti metoda pengajaran
berprogram dan modul di sekolah-sekolah
laboratorium IKlP yang akhimya dihentikan
begitu sa)a)? Dan.• berapa banyakkah
pcrcobaan lain sejenis yang pada dasamya
cuma menjlplak bentuk media dan
metodologlnya tanpa penghayatan yang
mendalam akan hakikat tujuan dan s i inya
sebagal 'Jalan pemanusiaa.n, pembebasan, dan
pemerataan' (seperti penggunaan teknologi
komunlkasl jarak jauh pada Universitas
Terbuka)?
Pun, masih tetap betul, organisasi pengelola
dan penanggungjawab penyelenggaraan
sekolah-sekolah, terutama Sekolah Dasar, telah
dibuat semakln lebih terpadu di antara
beberapa lemba� pemerintah yang
berwenang. Tapi, bukankah yang terjadi
sebenamya lebih merupakan suatu
'dekonsentrasi' politik pendidikan nasional
yang sangat konformistis dan amat
mengabaikan disparitas regional yang ada',
bukan 'desentralisasi' kewenangan yang lebih
memungkinkan munculnya iklim kcbebasan,
prakarsa pembaharuan, dan kreativitas dari
bawah?
)adi, apa yang sesungguhnya terjadi dalam
upaya pembaharuan sistem pendidikan
ruisional selama lebih satu dasawarsa
belakangan inl adalah tak lebih baik daripada

iKhu8US tcntnng ma-salah lni, satu analisa tajam pernah


d�mpaikt1n oleh seorang konsultan a.sing: "'...Di
lndontil<1, gt'rakiln ke arah disentrali
s asi polHik dan
cikonoml maslh mencmui hambatan besar... apa yang
di.lakubn masJh terb01ta51 pada pemberian wewenang atas
pelaksanaan beberapa kcbijaksanaan pemerintah pusat
tt:rta pc_milntauan Sl'jumlah dana pemba n gun an.... dikenal

ttbag::.1 dckonscntrl!Si dan bukan desentralisasi -yakni


wewenang bersama dalam pengawasan dan bukan
peng:;,_Uha.n wewenang pembuatan keput usan... .
Stlanjutny.. lihot Sheldon F. Shaefrer, 1975, PROPPIPDA:
i Proltlnthll £duation Pl11nning n
A Pl'Ojtttr1 i lmlonrsMI;
dokumm t<rl>otas y•og tok dllefblll<An. Jakarta: Fon!
foundation.
sebuah usaha tambal-6ulam (melioristik) yang
melelahkan. Asumsi bahwa pembaharuan
kualitatif hanya bisa dicapai dengan
pertumbuhan kuantit.ltif masih tetap menjadi
pendekatan dominan. Pildran yang hidup
adalah: jika anda ingin memperbaild mutu
pendidikan, maka perbanyaklah jumlah
gedung sekolah, tingkatkanlah jumlah guru,
tambahlah prasarana, dan sarana belajar, dan
seterusnya, dan seterusnyal
Oengan kata lain, logika para perencana
pendidikan belum lagi beranjak dari logika
Hukum Parkinson': Work expands to meet tire
time nvnilnble for its completio11, that. e:qmrditure
ris<'S to meet i11come n11d tltnt growth 111en11s
complexity (Pekerjaan berkembang sesuai
jurnlah wnktu yang dibutuhk.1n untuk
menyelesaikannya, bahwa biaya-biaya
meningkat jumlahnya sesuai dengan maldn

'(nj adalah le.aid.Ah populer dalam teori manajemen yang


ltrin.g dlgunakan untuk menyindir k.ttenderungan
Nnyak orpniJaJi modf:m yang suka meranrukan
pengottfan porkembonpn ("'°""l'"""Q atlu kemajuan
<Pn>rl'dS) denpn btllah pettumbuhan (gn>wlh), sdllngga
....,.dUah apa yang dlsd>ul sd>opl gtjaJa 'illtrlill':
�k tap; l<mbom dan lambonl Selanjutnya.
lihar: Cyrill P:arldmon. 1946, The !AwofMrs. P•rltinSON,
London.
10 J a l a n Seko l a h

Bayangkan ini: jalan kaki setiap hari


pulang-pergi sejauh kurang-lebih 10
kilometer, seluruhnya melalui jalan
setapak, menerobos belukar, menyusuri
pematang-pematang sawah, meniti
jembatan bambu, memanjat dan
melompati pagar-pagar kebun, melintasi
hutan, dua kali mendaki lereng gunung
setinggi seratusan meter pada
kemiringan 40-60"...

Nah, apakah anda percaya kalau yang


melakukan lintas-pedalaman (cross-country) di
medan yang tak mulus itu -sangat licin dan
berlumpur serta penuh lintah pacet di musim
hujan; atau sangat lembab dengan udara tipis
serta bahaya diserang lebah hutan di musim
kemarau-- adalah serombongan kanak-kanak
usia 6-12 tahun, 6 hari dalarn serninggu?
Ya, ada 21 orang anak dari dusun kecil
Galung-galung, di lereng puncak Gunung
Pattennungang (1.200 meter di atas permukaan
laut), dalam kawasan Taman Nasional Bulu
Saraung, di Propinsi Sulawesi Selatan, yang
melakukan perjalanan tersebut karena tidak
ada sekolah di dusun mereka. Ada beberapa
sekolah di beberapa desa sekitar, tetapi yang
terdekat adalah Sekolah Dasar (SD) Negeri di
dusun Bulu-bulu, Desa Tompobulu, desa
tetangganya yang berjarak garis-lurus sekitar 5
kilometer ke arah barat-laut.
Tetapi, anda akan salah kira jika
membayangkan anak-anak itu menempuh
perjalanan mereka dengan susah-payah dan
keluh-kesah. Tidak! Mereka menjalaninya
setiap hari justru dengan sukacita dan canda­
ria. Mereka selalu berjalan berombongan,
beriring-iring, sambil bermain sepanjang jalan.
Sesekali mereka singgah di beberapa titik
tertentu untuk bermain-main di dataran yang
lebih landai, atau memanjat pohon-pohon
buah di pinggiran hutan, atau terjun mandi ke
sungai bening di tengah hutan. Semua mereka
lakukan tanpa rasa capai sama sekali. Anak­
anak yang sedang tumbuh ini sepertinya tak
pernah kehabisan tenaga.
Padahal, mereka semua hanya sarapan ala
kadamya ketika berangkat dari rumah pada
dini hari. Ketika di sekolah di Bulu-bulu,
mereka biasanya hanya jajan makanan ringan
ala kadamya. Mereka baru makan siang
setelah pulang dan tiba kembali di Galung­
galung sekitar jam 1 atau 2 tengah hari.
Bahkan, ada beberapa orang yang baru tiba
kembali di rumah pada sore hari, sekitar jam 4
atau 5 petang, karena ikut dulu kelas mengaji
Alquran di Mesjid Bulu-bulu yang dimulai
setiap jam 2 siang.
Adakah sekolah sedemikian penting dan
menentukan bagi hidup mereka, sehingga
harus berjalan kaki sejauh itu menempuh
medan yang tidak mudah selama, paling tidak,
6 tahun?
Hampir semua orang dewasa yang ada
disana adalah tamatan atau lulusan SD Negeri
Bulu-bulu. Atau, paling tidak, pemah
bersekolah di sekolah tersebut. Hampir
semuanya mengaku bahwa kehadiran sekolah
itu sangat berguna bagi mereka, setidak­
tidaknya telah membuat mereka bisa membaca
dan menulis, tidak menjadi orang yang buta­
aksara sama sekali. Tetapi, apakah sekolah
memang begitu menentukan hidup mereka?
Hampir semua orang disana, baik anak-
anak maupun para orang dewasa, terpana
sejenak mendengar pertanyaan ini. Reaksi
spontan mereka nyaris sama saja. Umumnya
mereka saling menatap satu sama lain,
kemudian menatap balik kepada si penanya,
tanpa kata-kata, lalu senyum-senyum dikulum
(anak-anak lebih suka cekikikan) dan, akhirnya
bersama-sama meledakkan tawa panjang yang
sedemikian lepas...
Ya, tak ada jawaban langsung. Nampaknya
mereka memang merasa tidaklah perlu
menjawabnya langsung (dalam hati mereka
mungkin justru menggerutu dan pikir
pertanyaan itu 'terlalu aneh' atau bahkan
'terlalu bodoh'). Bukankah jawabannya sudah
terlalu jelas dalam kenyataan keseharian
mereka, yang dapat disaksikan sedemikian
kasat-mata dan gamblang oleh siapa saja?
Ya, kehidupan mereka sudah sejak dulu
memang sudah sedemikian adanya, tak banyak
perubahan yang berarti: mereka masih tetap
sebagai petani tradisional, petemak skala kecil,
dan peramu hasil hutan, yang tak banyak
berbeda dengan para leluhur mereka.
Sementara itu, ketiadaan prasarana saluran
pengairan sawah-sawah mereka; atau masalah
makin langkanya benih padi, palawija, dan
sayuran yang biasa mereka tanam selama ini;
atau soal ketiadaan peralatan sederhana untuk
membantu mereka mempermudah memecah
biji-biji kemiri, mengupas biji-biji kopi, memeras
nira aren, dan menyaring madu lebah hutan;
atau cara tepat-guna melawan hama tanaman
coklat dan vanili; semuanya belum juga
terpecahkan selama puluhan tahun.

Ya, tak banyak yang benar-benar berubah


dalam hidup mereka, meski tiga generasi
terakhir mereka sudah mengenal sekolah,
bahkan ada cukup banyak yang sudah
mengecap pendidikan tinggi sampai tingkat
universitas di Makassar dan di kota-kota lain.
Generasi termuda mereka saat ini nisbi sudah
tidak ada yang tidak pernah bersekolah lagi,
malah sejak empat tahun terakhir pun sudah
ada Taman Kanak-kanak disana.
Ya, sekolah mungkin memang tidak perlu
mengubah itu semua. Tetapi, kalau ternyata
sekolah juga selama ini pun tak mampu
membantu mereka memecahkan banyak
masalah yang sudah menghantui mereka
selama puluhan tahun... nah, lantas apa guna
mereka bersekolah? Lebih sebagai batu
loncatan untuk 'mengubah nasib', untuk tidak
menjadi petani lagi seperti orangtua dan
moyang mereka, untuk kemudian pergi ke
kota-kota dan tidak lagi menjadi orang desa?

"Sungguh, saya tak paham mengapa


menjadi petani dan hidup di desa dianggap
sesuatu yang perlu dihindari, bahkan
disesali?" . Pernyataan ini terujar dari seorang
anak muda disana. Dia juga tamatan SD Bulu­
bulu, bahkan sempat melanjutkan sekolah ke
Kota Makassar dan menyelesaikan Sekolah
Teknik Menengah (STM) jurusan Teknik
Elektro. Sekarang dia kembali ke Tompobulu,
menjalani hidup sebagai petani, sesuatu yang
nyaris tak ada hubungannya sama sekali
dengan --bahkan cenderung ditampik dan
ditiadakan oleh-- semua yang pernah
dipelajarinya di sekolah, sejak SD sampai STM.
Mungkin karena itu, seorang anak muda
lainnya di desa itu, bahkan sudah memutuskan
untuk tidak melanjutkan sekolahnya segera
setelah tamat SD Bulu-bulu. Ketika ditanya
mengapa, anak muda yang masih belasan
tahun itu menjawab dengan kematangan
seorang lelaki dewasa: " ...jika pada akhirnya
nanti toh saya akan tetap jadi petani juga,
meski sudah bersekolah tinggi-tinggi dan jauh­
jauh di kota, mengapa saya tidak mulai saja
sejak sekarang?"
Para pakar, pembuat kebijakan, juga para
perencana pendidikan negeri ini: apakah kalian
mendengarnya?

Tompobulu, 17 Agustus 2006


11 Sekolah itu Candu!

Ketika seorang anak berbnkat dipecat dari


sekolahnya, justru gara-gara din mencoba
membuktikan bakatnya dengan cara
mencari tahu lewat sat11 penelitian, yang
diraru:ang dan dilnkukannya sendiri,
tentang pandangan kaum r emaja
sebayanya mengenai kehid1ipa11 se ksual,
banyak orang merasa aneh dan bing imll
cm11p11r-adIIk• "TI
.u. oq d'lpl!Cllt
iO, k ?/'
....'/ . •

Ketika, anak berbakat itu selesai SMA dan


U!rnyata tak lulus ujian saringan masuk ke
beberapa perguruan tinggi terkemuka, bahkan
ditolak U!rang-terangan oleh beberapa
perguruan tinggi lainnya, justru sebelum
ia
diberi kesempatan sama sekali untuk mengikuti
ujian saringan masuk; banyak orang makin
tidak mengerti saja: "Bisa·bisanya... gimana,
sih?!"
Ketika anak berbakat itu sekali lagi
membuktikan kemampuannya dengan tampil
secara meyakinkan sebagai seorang panelis
dalam suatu diskusi masalah kehidupan remaja
di satu perguruan tinggi yang ironisnya, justru
pernah menolaknya, bahkan cukup mampu
mengimbangi para panelis lain yang terdiri dari
para sarjana dan peneliti senior; banyak orang
pun seperti mendapat alasan untuk mengesah
ramai·ramai: "'Nah, kan....?!''
Ketika anak berbakat itu, dengan nada
frustasi, menyatakan diri tak mau bersekolah
lagi, bahwa sekolah ternyata tak memberinya
banyak hal yang didambakannya sebagai
seorang anak yang memiliki rasa
keingintahuan yang besar, dan, karena itu, ia
merasa lebih baik segera bekerja saja dan
berhenti sekolah; banyak orang lantas
mengeluh dan ikut mengelus dada: "Yaahhh....
(kasihan, apa boleh buat)!!"
Ketika anak berbakat itu kemudian temyata
tidak benar-benar berhenti bersekolah, karena
ayahni•a yang seorang Kepala Sekolah tidak
merelakannya 'mengotori tangan' secepat itu,
dan karena seorang rektor dari satu perguruan
tinggi terkenal menjadi tertarik dan bersedia
menerimani•a sebagai mahasiswa tanpa perlu
mengilwti ujian saringan masulc; banyak orang
lantas serentak menarik nafas lega: "Nah gitu
dong....!!"
Maka suatu penyelesaian pun dicapai, lalu
suasana pun menjadi reda dengan sendirinya.
Orang.orang ke.mbali tenang, dan pelan-pelan,
nama Eko Sulistyo pun surul dari arus
pemberitaan dan pembicaraan umum1•

1 Kasu1 pemccatan Eko Sulist)•O, seorang siswa $tlo1A di


Yogyokaru1., be:rmula ketika anak itu mengumumkan
hasll pt!nclltlon tcrbatas yang diprakarsai dan
dUnkganakannya ticndlri tcntang pandangan kaum remaja
IW?ul!llanya mcngenal kchidupan sek.'>ual, sehingga kasus

lnl jugn dlkenal S(-b.'lt;ai 'K.,sus Angket Sex Remaja'.


Sclama bebernpa mlnggu, koran-koran Yogyakarta,
Jaknrtl1, drin Bandung. melapork.annya St."Cara eksklusifs
lalu, terjadl b.injlr Surat pembaca dan polemlk pun
berkembang. Oi'rl semua tangg:apan umum tersebut,
terlJhat b..ihwa masyaraknt umumnya cenderung tidak
bisa mcnerlma keputusan pemecatan Eko. Alasan bahwa
Eko melokukan penelltlannya tanpa lzin resmJ dari
..kolohny• don d•ri pej•bat pendldkan l setempat
dlangg.ap eckndor 11la,,an dk.ari..cari dan mengildci·cida.
bahk.An makJn mcmperlihatka_n kelemah41n dun.ia
pendldikan n;islonal y1ng dinilai sema_kin birokratis dan
Hrbil (orm1l, H11'\akin tunduk dan diatuT oleh kekuasaan
polltik. buko.n oleo:h bidah·kaidah a,'la.,� ilmiah dan
akademik yang Hhat\1.51\ya, Kanma itu, ketika �. Dr.
Andi Haklm Nuu� t Rektor lnstitut Pertanian BogoT
(\P8) w•ktu ltu, yat\g memong dikenal sangat garwlrong
claJ\ t»ny;ak mencetusbn pgasan mem.ba.haru ten.tang
penanganan pendldibn bagi anak-anak bttbakat
Habis, apalagi?
Ya, apalagi?
Tapi, sebentar! Cobalah perhatikan inl:
sekolah disesali karena memecat atau
menampik Eko. Itu dianggap kellru atau
bahkan ada yang mencapnya tidak mendidik
sarnasekali. Namun. tak banyak
dipertanyakan: mengapa sekolah sampai
melakukan ha! yang bahkan bertentangan
dengan halcikat keberadaannya sendiri sebagai
lembaga 'pendidikan', yang seha.rusnya
menyalurkan bakat dan semangat
keingintahuan seseorang?
Dengan kata lain, sekolah sudah terlalu
sering disesali, tapi pada saat bersamaan
sekaligus juga amat didambakan. la boleh
berbuat salah, tapi ia harus tetap ada dan
dibutuhkan, atau lebih tepatnya, dituntut
untuk tetap menerima setiap orang seb.�gai
warganya. lni tak menunjukkan hal lain
kecuali adanya ketakberdayaan menghadapi
kepelikan suatu sistem yang telah sedemikian

meneri:ma Eko sebagai mahasi5"1o•a lPB tanpa perlu ilcut


ujian saringan masuk.. banyak reakil dari masyarakat
menyatakan dukungan m�b dan mcn�nggap
keputusan itu jauh lebih ttpat,. bcnnl, dan lcbih
mendidik. Maka, heboh l.nJ pun segera 1nereda perlahan·
lahan dan kemudlan dUupakrul orang lagi.
mapan dan berkuasa, tapi sekaligus menjadi
ungkapan penghargaan yang berlebihan tinggi
pada keberadaan lembaga yang mewakili
sistem tersebut.
Ini memang suatu fenomena yang sudah
sangat jamak. Tak heran jika jawaban yang
akan kita dengar dari kebanyakan orang
adalah jawaban orang kebanyakan: bukankah
seorang anak berbakat seperti Eko memang
tempatnya yang pantas adalah di sekolah?
Kalau perlu, di sekolah terbaik!
Jangankan anak berbakat seperti Eko,
bah.kan anak yang sama sekali tak pemah
memperlihatkan tanda-tanda berbakat sekali
pun, akan segera meresahkan para orang tua,
kaum kerabat, dan seluruh sanak saudara,
bahkan juga para tetangga dan masyarakat
luas, jika a
i sampai dipecat atau ditolak
diterima di suatu sekolah. Alasannya pun galib:
bukankah setiap orang, apalagi kalau ternyata
ia memang seorang anak berbakat, berhak
mendapatkan pelayanan pendidikan di
sekolah? Bukankah itu dijamin dan menjadi
amanah konstitusi semua negara dan bangsa
yang beradab dan berbudaya?
Walhasil, sekolah tetap berjaya dan akan
selalu 'benar' dan atau 'dibenarkan'. Para guru
dan para pejabat resmi pendidikan, dengan
segala macam aturan yang mereka bikin dalam
sistem pengelolaan sekolah, bisa saja saJah.
Tapi sekolah itu sendiri sebagai suatu sistem
dan lembaga masyarakat? Tidak!
Karena itu, sekolah tetap merupakan pilihan
terbaik dan keharusan bagi seorang anak
berbakat seperti Eko.
Perhatikan saja: ora.ng-orang merasa
bersyukur dan menganggap permasalahan
beres ketika anak itu diteri.ma di satu
perguruan tinggi dan akhirnya benar-benar
menjadi seorang mahasiswa. Orang pun tak
lagi bersemangat mempersoalkan: mengapa
anak itu tak taat-asas dengan ucapannya
semula bahwn la tidak akan bersekolah lagi,
dan merasa leblh baik segera beketja saja? Tak
dipcrtanyakan lagl: mengapa anak itu tetap
saja ngotot mau i.kut ujian saringan masuk ke
beberapa perguruan tinggi, meskipun banyak
yang jelas-jelas mcnyatakan akan menolaknya?
Ah, anak semuda Eko kan masih labil!
lnilah jawaban umum yang paling sering
diajukan, sekaligus kata simpul akhir untuk
menutup (tepatnya: menghindari) perdebatan.
Dan, jawaban secara gampangan seperti ini
memang sering terbukti paling ampuh untuk
membungkam pertanyaan·pertanyaan kritis
lcbih Janjut.
Ma.ka, pun tidak diperkarakan lagi: apakah
memang benar lebih baik bagi anak itu jika ia
terus bersekolah? Apakah justru tak lebih b.Uk
baginya kalau ia bekerja saja? Bukankah
dengan bekerja ia justru bisa belajar lebih
banyak hal yang bermanfaat tentang realitas
kehidupan yang sesungguhnya? Bukankah
dengan bekerja ia justru bisa lebih cepat
bersikap mandiri dan dewasa? Bukankah itu
menjadi salah satu tujuan akhir dari proses
pendidikan sendiri dan, itu berarti, bahwa ia
sesungguhnya tetap 'bersekolah' juga?
Nah, gejala apa semua ini?
Repotnya, justru, pertanyaan menggugat
secara kritis sepert
i ini suka sekali dicap rewel
dan nyinyir, masih untung kalau tidak dituduh
'sableng'. Soalnya, dalam suatu tatanan sistem
nilai yang sudah berurat akar, yang selalu
disarati oleh sejuta keharusan bertenggang rasa
dan hormat pada tradisi, dengan keluwesan
terselubungnya yang menumpulkan daya nalar
dan wawasan alternatif, jawaban yang tegar
memang sulit diharapkan. Kalau pun ada,
yang tampil kemudian pada akhimya sering
dipaksa untuk melakukan pembenaran
terhadap segala yang sudah ada dan mapan.
Sekolah, seperti juga banyak lembaga
kemasyarakatan kita yang sudah sedemikian
rupa 'mentradisi', memang telah mendarah
daging dan nyaris menjadi segala-galanya:
merasuk ke dalam jiwa dan piki.ran., lalu
menghablur jadi satu dengan citra keberadaan,
menjadi jati-diri kita sendiri. Mengusik-usiknya
akan segera dirasakan dan diartikan sebagai
mengusik-usik diri sendiri.' Lalu, irasionalitas
pun bicara dan mitos pun tumbuh subur tak
terelakkan!
Sekolah memang telah terintemalisasikan
sedemikian rupa dalam seluruh bagian
kehidupan keseharian kita, melalui suatu
j
proses sejarah yang panang dan lama, yang
sedemikian berpengaruh terhadap kehidupan
perseorangan dan perkauman kita, menjadi
suatu imperatif budaya, semacam gejala
'ketaksadaran kolektif'', sehlnsga seliap orang

2�gai catatan.. agar tahu saja, to'llu vcril l<1ln dari


tulisan lni, -scbagai bitgian dari polemik umum yang.
sedang berlangsung- dildrlmkan kt b<bernpa media
massacttak dan temyota... clltol•kl Tak ..tul"'n koron
berS<dJa memuatnya dan sama .. kall tak oda jawaban
.-gapa cllangp ga talc layak wuuk cllterbltkan. Kattnll
In., penulis rneng>ngg•P bohw• media mosoa saat ltu pun
masih -P menjadi bogj.n d•ri ml1os P"li>a ttntang
pendicllkan d.n sekolah.
'Dengan -p menaruh hormal p•d• Jung. pencetu•
lstiloh dan konsep 'kttaksodoran kolektlf lnL konsep dan
Jstilah tersebut digu.nakan di slni sebapl suatu
keseja>aran untuk melihat betapa warlsan peradaban kita
yang bemama lemba,ga sekolah telnh menjndl semacam
merasa kehilangan sesuatu yang teramat
sangat bermakna bagi diri dan hidupnya,
kchilangan peluang dan hak. jika ia gaga! atau
terputu.s di tengah jalan dalam mencapai suatu
tingkatan sekolah ter1entu. Apalagi, kalau
lemba.ga sekolah sendiri yang terang-terangan
mcnyatakan menolak, menampik dan
menyisihkannya. Orang yang merasa seperti
itu akan juga merasa terpaksa dan dipaksa
menerima dua kenyataan pahit sekaligus:

'bayangnn purOO' atau 'tuketip budayil' tersendiri da1am


dirt klta. Pada snnh'lya$ &operti saat ini, ketika �tiap orang
atau scOO,gian bctw1r di antara k.ita menghayati dan
m1Jngartlkan lcmlMgn !lckolah sebaooai bagian sebati
(lt1ller11t1t) dnri dlrl dnn masyarakat kita, mak.a sebenamya
lemOOga tckolah lt·u ltu telah menjadi suatu anutan, satu
keyaklnnn umum (C'Ct1t1t11ou bt'Uefo), yang pada suatu saat
blst'I Nja berulh1h menjadl suatu mitos jika tak lagi
dlhayatl dan dlpi1"3ml secara kritis. Untuk knjian Jebih
lanju� llhat mlsolnya: Cart Gustav Jung. 1958, Psydwlogy
a11d Religion: Wt.sl nntl East, Coltttttd Workt, Vol. U., N.Y.:
8olllngen Foundation; 1970. Alon: Rtstardrts i11 to tht
oftlit S<lf. Coll«ted Works, Vol.9,. edisi 11,
1'10<11om•11ol�
N.Y.: Princeton Unlv�rslty Prt-58. O.aJam pengf'rtian
oemaca.m lnl, ado y1ng matah metangkah tebih jauh lagi
yang mungkln s.aja malah menyimpang dari apa yang
oel>enamy• dlmllks<Jdlcan oleh Jung -bohwa jangankan
lembaga muyar1k1t r•ns pr-ofan seperti sekola� tapi
bohkan apmo (�ligi ) yang ,.1c,.1 selcalipun bW saja
merijocll "'"'" 'ketabadaron kolelclif, lalu menjadi mitos.
yang tuw11rblhn eecara turun-temurun.
masyarakat akan mencapnya gaga! dan, lama
kelamaan, dia sendiri pun akan merasa dirinya
memang telah benar-benar gaga! dan sia-sia!
Jadi, sekolah jualah yang benar dan kuasa,
tak pernah salah dan tak pemah kalah.
Adapun yang salah (dan memang selalu
dipersalahkan) adalah mereka yang justru
gaga! menjalaninya, yang ditolak olehnya:
merekalah senyata-nyatanya orang-orang yang
kalah!!
Akhhhh... sekolah memang sudah jadi
candu, Eko!

Tegalpairang, 15 Aguslus 1982


12 Sela mat T i nggal, Sekolah !

Barisan antri itu memanjang sampai


ratusan meter. Ratusan anak muda,
gadis dan perjaka, berdiri berjam-jam
dengan tertib disana, tak menghiraukan
sengatan terik matahari dan udara
lembab yang menggerahkan. Beberapa
orang sampai terjatuh pingsan.
Beberapa petugas khusus segera
menandunya ke tempat teduh,
mengeluarkannya dari barisan, dan
barisan panjang itu kembali seperti
semula, tak buyar...

Inilah pemandangan yang makin sering


dijumpai, selama beberapa tahun belakangan,
di banyak kota besar di Indonesia, mulai dari
Medan di barat sampai Ambon dan Jayapura
di timur. Konon, ada yang sengaja datang dari
pelosok yang jauh dari kota-kota tersebut,
khusus memang untuk menjadi bagian dari
barisan antrean panjang itu. Di Jakarta, malah
ada yang benar-benar nekad meninggalkan
kuliahnya di satu perguruan tinggi swasta dan
memilih untuk masuk barisan antrean panjang
itu.
Apakah gerangan yang membuat ratusan
anak-anak muda itu sedemikian bersemangat,
bahkan seperti kerasukan?
Stasiun-stasiun televisi nasional -yang
hampir semua acaranya selama ini sebenarnya
hanyalah 'jiplakan picisan' atau 'tiruan
murahan' dari banyak acara laris-manis di
televisi-televisi luar negeri, terutama di negara­
negara maju di Eropa dan Amerika Serikat-­
yang memulai 'wabah baru' ini. Satu stasiun
memulainya dan berhasil, stasiun-stasiun lain
pun meniru-nirunya pula, tentu saja, dengan
nama lain dan satu-dua hal yang menampilkan
ciri khas masing-masing, namun sebenarnya
sama saja pada hakikinya.
Demikianlah, hampir semua stasiun televisi
nasional kini memiliki acara khusus yang
menjanjikan kepada anak-anak muda negeri
ini untuk menjadi 'bintang televisi' dengan cara
yang nisbi jauh lebih mudah, tidak lagi
memerlukan berbagai persyaratan resmi seperti
sebelumnya. Siapapun boleh mendaftar (asal
mau, punya sedikit nyali dan cukup 'nekad'),
hanya diwawancarai a la kadarnya, diuji dan
dilatih sedikit kemampuan olah suaranya,
diajari sedikit pula tata-cara tampil di depan
kamera, maka... sim-salabim... jadilah, maka
jadilah!
Pokoknya, inilah 'jalan-pintas' untuk
menjadi pesohor (celebrity), menjadi 'bintang
pujaan' (idol -- yang dalam bahasa aslinya
sebenarnya juga berari 'berhala') dari jutaan
orang di seluruh negeri, bergelimang
kemasyhuran dan, tentu saja, bayaran yang
menggiurkan. lni benar-benar peluang bagi
anak-anak muda itu untuk mewujudkan
pemeo populer di kalangan mereka ("Muda
terkenal, tua kaya-raya, mati masuk surga!").
Bukan hanya anak-anak muda itu yang
bersemangat. Para kerabat, kawan terdekat,
dan handai-tolan, semuanya mengerahkan diri
secara sukarela untuk mendukung dengan
memberi suara melalui layanan pesan-singkat
(short message service -SMS) dari telepon
genggam mereka masing-masing. Konon, ada
yang orangtuanya sampai menjual sawah atau
kerbau mereka segala untuk membiayai
anaknya ikut dalam 'lomba menjadi bintang'
ini.
Bahkan, koran-koran memberitakan ada
bupati di Kalimantan dan walikota di Jawa
Tengah yang sampai memerintahkan sebanyak
mungkin warganya mengirim SMS mendukung
'calon bintang' yang berasal dari daerah
mereka. Meski belum terlalu jelas benar, namun
kabar-kabar angin menyebutkan bahwa
walikota yang di Jawa Tengah itu malah
mendanai pembelian pulsa telepon genggam
warganya agar mereka dapat mengirirnkan
SMS sebanyak mungkin.
Benar-benar luar biasa!, justru pada saat
statistik nasional menunjukkan semua
kabupaten dan kota di seluruh Indonesia
menyediakan anggaran belanja untuk sektor
pendidikan masih jauh di bawah proporsi yang
dianggap selayaknya (25%) atau sekurang­
kurangnya (15%) menurut ukuran konvensi
internasional. Dari lebih 300 kabupaten dan
kota di seantero negeri ini, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
mereka masing-masing untuk sektor
pendidikan masih rerata di bawah 12%1.
Ini benar-benar 'negeri fantasi'. Ada politisi,
pensiuanan jenderal dan panglirna, pejabat

1 Kompilasi lengkap, lihat: UNDP-BPS-BAPPENAS,


Towards A New Consensus: Democracy and Human Develop­
ment in Indonesia; Indonesia Human Development Report
2002; dan The Economics ofDemocracy: Financing Human
Development in Indonesia; Indonesia Human Development
Report 2004.
tinggi, bahkan Presidennya, pernah ikut
bernyanyi meramaikan gemerlapnya pentas
acara anak-anak muda yang berlornba menjadi
bintang televisi tersebut. Sponsor iklan
mengalir, juga berbagai paket hadiah yang
menggiurkan. Porsi berita-berita hiburan yang
meliput mereka semakin banyak dan semakin
menempati jam-jam siaran terbaik (prime time)
hampir semua stasion televisi. Di luar studio,
acara-acara promosi berlangsung gebyar­
gebyar di hampir semua kota besar. Gadis­
gadis cantik pun menari-nari, para perjaka
tampan berjingkrak-jingkrak, dan... seluruh
negeri berpesta!
Sementara itu, beberapa anak muda lain
nyaris luput dari pemberitaan. Media massa
hanya memberinya beberapa menit singkat saja
untuk diberitakan, itupun bukan pada jam-jam
siaran terbaik. Tak ada pesta gebyar-gebyar,
panggung gemerlap, apalagi banjir hadiah­
hadiah yang menggiurkan. Anak-anak muda
itu datang dari beberapa sekolah di seluruh
Indonesia, dan baru saja berhasil meraih
beberapa gelar juara dalam olimpiade
matematika dan fisika tingkat dunia. Tak ada
berita bupati, walikota, atau bahkan gubernur
dan menteri yang ikut memyambut kepulangan
mereka yang sepi-sepi saja di bandar udara.
Inikah yang bisa menjelaskan mengapa
keadaan sistem pendidikan nasional kita kian
lama kian terpuruk saja? Pada dasawarsa
1960an dan 1970an, sistem dan mutu
pendidikan di negeri ini masih sempat menjadi
rujukan oleh banyak negara jiran. Kini, sistem
pendidikan nasional negara-negara tetangga
itu melejit maju jauh melampaui Indonesia.2
Ada yang berpendapat bahwa tidak terlalu
tepat rnembandingkan Indonesia dengan
beberapa negara jiran tersebut. Jurnlah
penduduk dan luas wilayah negeri ini terlalu
jauh lebih besar dibanding sernua negara
tetangga itu, sehingga beban pembiayaan dan
pembagian peruntukan belanja negara per
kapita untuk semua bidang kesejahteraan sosial
jelas akan menjadi jauh lebih kecil dibanding
rnereka. Dengan pendapatan negara yang
sebesar apapun, selalu akan menjadi kecil

2 ibid. Laporan yang sama juga menunjukkan bahwa


dalam banyak indikator kesejahteraan rakyat dan
kemajuan pembangunan manusia, termasuk taraf dan
mutu pendidikan warga negara, Indonesia malah kini
sudah terlampaui oleh Vietnam, negara sosialis yang barn
beberapa tahun saja membuka diri terhadap dunia luar,
yang pernah lebih lama mengalami kekacauan dan
menderita akibat perang dan, last but not least, secara
numerik pendapatan per kapitanya pada tahun 2003-2005
(AS$ 480) masih lebih rendah dibanding Indonesia (AS$
970).
jumlahnya jika kemudian harus dibagi dengan
jumlah besar penduduk negeri ini.
Tetapi, apakah memang benar demikian?
Negeri ini sebenamya -sanggah pendapat
yang Iain- tak perlu kekurangan biaya untuk
belanja kesejahteraan sosial warganya.
Masalahnya adalah bahwa terlalu banyak
pendapatan negara selama ini memang tidak
diperuntukan untuk itu dan... ini dia, korupsi
yang sudah merasuk ke semua tingkatan dan
bidang kehidupan bermasyarakat. Sampai
tahun 2006, Indonesia terus tercatat sebagai
salah satu negara paling korup di dunia. Kalau
semua uang negara yang dikorupsi selama 30-
40 tahun terakhir ini digunakan untuk belanja
pendidikan nasional, mungkin sudah lama
anak-anak negeri ini bisa menikmati sekolah
gratis paling tidak pada tingkat pendidikan
dasar wajib 9 tahun.
Ambil contoh satu kasus korupsi saja, yakni
skandal terbesar dan paling memalukan:
penyelewengan dana Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) yang mencapai jumlah Rp 668
trilyun. Kalau dibagi dengan jumlah total anak
usia pendidikan dasar wajib 9 tahun (sekitar
48,2 juta jiwa menurut statistik 2005), maka
tiap anak bisa memperoleh beasiswa gratis
rata-rata Rp 13,8 juta per anak! Ini baru dari
satu kasus korupsi saja!
Jadi, masalahnya memang bukan pada soal
ketersediaan biaya, tetapi lebih pada
pengelolaan dan kebijakan peruntukan biaya
yang sebenarnya mungkin dan dapat tersedia.
Prilaku korupsi di kalangan politisi dan
birokrat kita selama ini memang sungguh
memalukan. Mereka tidak lagi dikendalikan
oleh etik dan harga-diri, tetapi lebih oleh nafsu
kesenangan berlebihan (hedonisme), jika perlu
dengan jalan-pintas yang tak perlu sembunyi­
sembunyi lagi.
Maka, kalau anak-anak mudanya pun
kemudian cenderung lebih suka memilih jalan­
pintas untuk mencapai ketenaran dan
kejayaan, janganlah terlalu diherankan. Para
orangtua dan pemimpin mereka telah memberi
suri-teladannya. Ada banyak orang yang
sekolahnya gagal dan tidak punya gelar apa­
apa, malah jadi kaya-raya, tokoh, dan pesohor
yang selalu diliput media-massa. Untuk apa
ikut-ikutan anak-anak 'berkacamata pantat­
botol' itu, yang meski piawai memetakan
bintang-bintang di langit, tapi diri mereka
sendiri tak pernah bisa jadi 'bintang gemerlap'
dalam kehidupan nyata?
Selamat tinggal, sekolah!

Toasapu, 10 November 2005


13 Sekolah sudah Mati !

Sesuatu dikatakan sudah 'mati' kalau


ia tak lagi. berfungsi sebagaimana
mestinya. 'Orang mati' adalah orang
yang tak lagi. berfungsi sebagai orang.
'Kata mati' adalah kota yang tak lagi.
berfungsi sebagai kota. 'Lampu mati'
adalah lampu yang tak lagi. berfungsi
sebagai lampu . . . dan seterusnya.

Lha, kalau sekolah?


Sebelum menjawab pertanyaan itu,
mestinya perlu jelas lebih dahulu apa
sebenarnya fungsi sekolah. Ada banyak
rumusan tentang fungsi sekolah dalam
khasanah kepustakaan ilmu sosial pada
umumnya dan ilmu pendidikan pada
khususnya. Namun, semua rumusan itu
sebenamya dapat diringkas dalam apa yang
disebut oleh seorang pakar psikologi
pendidikan, Benjamin Bloom, bahwa sekolah,
sebagai lembaga pendidikan, pada dasarnya
berfungsi menggarap tiga wilayah
kepribadian manusia yang disebutnya
sebagai 'taksonomi pendidikan': membentuk

watak dan sikap (affective domain),


mengembangkan pengetahuan (cognitive
domain), serta melatihkan keterampilan
(psychomotoric atau conative domain)1.
Rumusan Bloom itu berlaku semesta.
Apapun istilahnya, semua orang akan
menjawab sama: sekolah bertugas mendidik
manusia untuk berwatak, berpengetahuan,
dan berketerampilan. Pokoknya, sekolah
bertugas membentuk seseorang untuk
menjadi manusia dalam arti yang
sebenarnya, yang seutuhnya, karena tiga
matra pokok itulah (watak, pengetahuan,
dan keterampilan) yang menjadi matra khas
kemanusiaan yang membedakan pribadi
seseorang manusia dengan mahluk lainnya.
Lantas, bagaimana kenyataannya?
Di zaman baheula, mungkin memang
sekolah pernah memainkan peran sedemikian
penting untuk menentukan nasib seorang

1 Antara lain, lihat: Benjamin S.Bloom, ed., 1956,


Taxonomy ofEducational Objectives: The Classification of
Educational Goals, N.Y.
anak manusia: apakah ia akan atau tidak
menjadi mahluk yang dapat disebut sebagai
seorang 'manusia'.
Tapi, sekarang?
Cobalah hitung-hitung sendiri: berapa
besar sebenarnya watak dan sikap atau
kepribadian manusia modern saat ini
dibentuk oleh lembaga yang namanya
sekolah? Orang-orang besar dan
berkepribadian agung sepanjang sejarah di
masa lalu, dibentuk oleh sekolah atau bukan?
Jika sekarang banyak orang berwatak dan
bersikap 'setengah manusia, seperempat
binatangL dan seperempat setan', apakah juga
hasil bentukan sekolah atau bukan?
Kalau 'ya', lantas apa makna dan fungsi
sekolah yang semakin banyak kita bangun serta
para sarjana yang semakin banyak kita
luluskan dari sekolah? Kalau 'tidak', dengan
alasan bahwa hal itu lebih sebagai hasil
bentukan lembaga-lembaga masyarakat
modern yang lain, terutama media massa,
lantas apa lagi fungsi yang harus dijalankan
sekolah? Berupaya membendung semua
dampak negatif lembaga bukan sekolah
tersebut? Akan seberapa kuat? Berapa banyak
waktu yang dihabiskan oleh anak sekolah saat
ini di dalam kelas, di perpustakaan atau di
laboratorium, dibandingkan dengan waktu
mereka untuk menonton televisi, membaca
majalah dan surat kabar, mendengar radio,
atau mengunjungi bioskop dan diskotik?
Kalau anak-anak sekolah sekarang berkelahi
tawuran di jalan-jalan raya, menghisap ganja,
iseng-iseng jadi 'perek' atau kumpul kebo,
menghamburkan cat semprot untuk menulis
grafiti 'serem-serem' di taman-taman, aspal
jalanan, pagar-pagar gedung, dinding WC . . .

apakah itu masih tanggung jawab sekolah?


Ataukah sekedar dosa asal para redaktur
majalah pop dan sutradara film remaja
picisan?
Kalau banyak sarjana lulusan sekolah
tertinggi sekarang lantas larut jadi koruptor
dan tukang peras rakyat kecil. . . . itu salah siapa
lagi?
Terus, cobalah reka-reka sendiri: berapa
banyak sebenarnya ilmu pengetahuan yang
dimiliki oleh anak sekolah saat ini yang
memang benar-benar diberikan oleh lembaga
yang namanya sekolah? Berapa banyak
temuan-temuan ilmiah dan teknologi terbaru
dihasilkan oleh lembaga sekolah dibanding
yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga
penelitian militer dan perusahaan-perusahaan
raksasa dunia? Mereka semua memang lulusan
sekolah juga, tapi bagaimana dengan soal
dampaknya yang semakin memacu nafsu
serakah untuk menguasai dunia dengan
perlombaan senjata, dan menguras
sumberdaya alam yang merusak lingkungan
hidup? Apakah pikiran 'makin pintar, makin
kaya, makin berkuasa' adalah juga paradigma
nilai moral dan etika ilmu pengetahuan yang
diajarkan di sekolah kini?
Kalau memang 'ya', lantas apa kaitannya
dengan tujuan pembentukan watak
kemanusiaan luhur yang digembar-gemborkan
dalam setiap wejangan dan nasehat para guru
di sekolah? Kalau 'tidak', lantas apa
sebenamya yang diajarkan di sekolah: ilmu
pengetahuan atau sekadar rubrik informasi
'Sebaiknya Anda Tahu'?
Akhirnya, cobalah kira-kira sendiri: berapa
bagian sebenarnya keterampilan yang dipunyai
oleh para lulusan sekolah saat ini benar­
benar diperolehnya dari lembaga yang
namanya sekolah? Berapa banyak lulusan
sekolah yang dapat diterima langsung
bekerja di pabrik-pabrik atau kantor-kantor
tanpa harus menjalani masa percobaan atau
latihan kerja pra jabatan (pre and in-service
training) terlebih dahulu, kecuali jika ia
memang anak pejabat atau pengusaha dan
punya koneksi? Apakah pelajaran latihan
keterampilan di sekolah memang sekadar
dimaksudkan sebagai pelengkap dan embel-
embel saja demi memenuhi ketentuan
kurikulum resmi yang berlaku?
Kalau 'ya', lantas buat apa semua bengkel
dan laboratorium sekolah yang mahal-mahal
itu? Kalau 'tidak', lantas mengapa banyak
sarjana ekonomi bekerja jadi guru bahasa,
sarjana keguruan jadi kasir, sarjana ilmu
agama jadi juru-tulis, sarjana hukum jadi
pedagang, sarjana sastra jadi manajer pabrik,
lulusan sekolah seni jadi atlet, lulusan
sekolah olahraga jadi artis, lulusan sekolah
pertanian jadi wartawan, lulusan sekolah
teknik jadi birokrat?
Kalau ternyata anda menemukan bahwa
semua atau sebagian besar jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan di atas adalah 'ya',
maka sebenarnya memang sekolah tidak
berfungsi lagi sebagaimana mestinya alias . . .
sudah mati!
Ya, sekolah memang sudah mati!
Anda boleh-boleh saja tidak setuju dengan
Friedrich Wilhelm Nietszche yang pernah
berteriak: "Tuhan sudah mati!"2 Anda boleh
menyumpah dan bilang orang Prusia itu
memang memang gila, sinting, frustasi, kena
penyakit ayan, sipilis, atau gegar-otak

2 Terutama baca karya puncak Friedrich Nietszche,


1958, Also Sprach Zarathustra, London.
sekalipun. Soalnya, barangkali, memang sulit
memahami jalan pikirannya yang memang
sangat spekulatif sebagaimana banyak
pemikiran filsafat pada umumnya.
Tapi, anda tak bisa sembarangan
menuduh orang yang namanya Everett
Reimer, karena orang ini memang tidak
bicara dalam bahasa filsafat yang serba
metafisis dan kontemplatif. Sebaliknya, dia
bicara dalam bahasa perampatan
(generalisasi) ilmiah yang sangat dingin
dengan dukungan data hasil penelitian yang
absah menurut kaidah-kaidah ilmiah yang
lazim dan diakui, antara lain, data dari
lembaga dunia yang paling berwenang
seperti UNESCO. Dan, berdasarkan semua
data itulah, Reimer tiba pada jawaban 'ya'
terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas, lalu
menyimpulkan: "Sekolah sudah mati!"3
Tetapi, kalau anda tetap tak tega
'mematikan' lembaga yang telah ikut
membesarkan anda itu, atau kalau ternyata
memang anda menemukan dan mampu
membuktikan bahwa jawaban dari semua
pertanyaan-pertanyaan di atas adalah
'tidak', maka segera anda akan temukan

3 Everett Reimer, 1971, School is Dead, Hammondsworth:


Penguin.
sendiri betapa banyak inkonsistensi dan
kontroversi yang disandang oleh lembaga
yang bemama sekolah itu. Bahkan, anda
akan menemukan betapa diri anda sendiri
memendam inkonsistensi dan kontroversi
tersebut, sebagai hasil keluaran sekolah. Dan,
dalam keadaan serba tanggung seperti itu,
paling-paling anda pada akhirnya juga cuma
bisa bilang: absurd!
Absurd? Ya, kalau memang tidak atau
belum 'mati', paling tidak, sekolah memang
sudah jadi 'absurd' dalam dunia modern kita
saat ini yang juga sudah mulai menjadi serba
absurd, ibarat kata Paul Goodman bahwa
kita memang bertumbuh dalam zaman yang
serba absurd, termasuk seluruh tatanan dan
kelembagaan masyarakatnya yang juga serba
absurd!4
Anda pening?
ltulah bukti absurditas ini!
Slipi, 20 Mei 1986.

4Lihat: Paul Goodman, 1964, Growing Up Absurd!, N.Y.:


Vintage Books. Sebagai salah seorang pemikir dan
budayawan terkemuka abad ini, Goodman juga banyak
menaruh perhatian dan menulis buku tentang
pendidikan, antara lain, suatu kritik tajam pada sistem
pendidikan mapan selama ini: 1971, Compulsary
Miseducation, Hammondsworth: Penguin.
"14 Sekolah:
� dari Analogi ke Alternatif

Sekolnlr, b11k11nlnh dm1 Ink boleh menjadi


'mennm gnding'. Begihilnh kim-kim
maunyn seorn11gjils11fSpnnyol, Ortega
Y. Gasset', yang ki11i menjndi 11ngkapnn
populer.

Semua orang tahu apa yang


dimalcsudka.nnya. Sebagai satu lembaga yang
berkait erat dengan h.i�1t hidup orang banyak,
dengan impian-impian terbaik bagi masa depan
merelui, tentu saja, sekolah tak boleh menjadi

'Ort•p Y C.ue1, t!U6, Mimaltcfllw Ulfivrrsity, N.Y" Free


-
!erasing dan atau mengasingkan diri dengan dan
dari kehidupan yang wujud di sekelilingnya.
Dalarn kata-kata Derek Bok, mantan Rektor
Universitas Harvard, sekolah "...pertama kali
harus memenuhi janji atas 'kontraknya' dengan
masyarakat.F•'2
Jadi, apakah sekolah itu?
Sekolah, mestinya seperti suatu oasis, tulis
Gene Byli.nsky, seorang wartawan lepas. dalam
salah satu Japorannya.3 Kias ini pun jelas
maksudnya: suatu tempat teduh dan sumber air
di tengah padang pasir kerontang untuk melepas
lelah dan dahaga. Dalam artian ini, Bylinsky
ingin memaknakan sekolah sebagai suatu
tempat di mana orang-<>rang memuaskan dahaga
keingintahuannya, mewujudkan utopia-utopia
dan irnajinasi kekaryaannya, agar tidak mubazir
dan sekadar fatamorgana. Jika perlu, kata
James Hirsch, pakar mikrobiologi yang pemah
menjabat sebagai dekan mahasiswa di
Universitas Rockefeller, sekolah mestinya justru

20erek Bok. 1981, BeyondlJte Ivory Tower, N.J.: Glencoe.


'Dalam majalah Fortune, Juni 1967. Reportase lengkap
Bylinsky ini pernah diterbitkan dalam bahasa
Indonesia oleh United States Information Service
(USIS}, Kedutaan Besar Arnerika Serikat, Jakarta,. da1am
berkala Titian, edisi 17, 1976.
menjacli "...oasis dalam artian yang
sesungguhnya: elits i dan eksklusif untuk
mencetak kader·kader terpilih di masa depan

bagi kesejahteraan seluruh umat manusia."• Jadi,


suatu antitesis bagi pendidikan massal yang
dianjurkan dan dilaksanakan selama ini.
Berbau fasis?
Mungkin. Atau, salah-..alah, tafsiran Byinsky
l
dan Hirsch bisa saja disalahkaprahi, dan
memang, memberi peluang ke arah kerancuan
makna dengan kias menara gadingnya Gasset
yang dihujat ramai-ramai itu. Arnold
Anderson. seorang pakar pendidikan lainnya,
mengecam kecenderungan elitisme dan
eksklusivisme sekolah semacam itu sebagai
kecenderungan 'parokialisme pendidikan'.•
Maka, tampillah Clark Kerr, mantan
Rektor Universitas California, memberi
kiasnya sendiri: sekolah adalah " ...rancangan
cetak biru masyarakat masa depan"'!

� Dikutip dari h.asil wonvancara Bylinsky dengan HirSCh,


ibid.
sAntara lain: C.Arnold Anderson & �Uriam Schnapel,

1952. Sd1ool nr1d Society n i EHgland: SocinJ&ckgrouud of


Oxfo
rd
nJ1d Can1bridgl! St11de11ls, \Vashington O.C.: Public Affairs
Press. Juga: C.Amold AndeTSon, 1969, Tltt SodcrPolilical
Aspt'Cts<fEdur.atW11al Pla111ti11g, Fundamentals of
Educational Planning Series No.2, IIEP-UNESO, Paris.
Maksudnya, kurang lebih senada dengan
semangatkiasnya Hirsch, meskipun dengan
penekanan yang berbeda. Kerr tegas-tegas
menolak elitisme dan eksklusivisme se.kolah,
persis seperti Anderson, karena, sebagai
rancangan cetak biru masyarakat masa
depan, sekolah semestinya berintegrasi penuh
dengan cetakan (realitas) masyarakat yang
ada di masa kini, dalam substansi maupun
cara wujudnya. Tegasnya, sekolah adalah
suatu model yang dipasangkan
(dimanipulasikan?) langsung pada kerangka
bcsar slstem kemasyarakatan, dalam kekinian
dan keakanannya.•
Kerr bicara samar-samar, agaknya.
Bahasanya terkesan terlalu teoritik dan
berbau buku teks. Karena itu, mungkin akan
lebih mudah memahami kias yang diajukan
Julius Kambarage Nyerere, Bapak Bangsa dan
Presiden pertama Tanzania yang kharismatik
itu. 'Mzee' (Mbah) Nyerere bilang: sekolah
itu.... kebun! Adalah juga Maria Montessori,
Friedrich Frobel., dan Jean Piaget, pemah

•Llhat: Clark Ken·, et.al., 1969, lmpr"'1ing tltt National


Higtr £dut1ft� Report or C.megie Commiss:ion on
Hig.ht.r Education. K«R" 1d,alah Ketu• Komisi ini. Lihat
juga 0...k KerT, 1963, 1'11< Usa ofIJv Unitvrsity, Mass.:
C.mbrldgo.
bilang kias serupa itu. Tapi tiga orang
pencetus teori pendidikan ini terlalu khas
menekankan maksud mereka pada Jembaga
pra·sekolah bagi kanak-kanak. Ki Hadjar
Oewantara, bapak dan tokoh pendidikan
nasional kita, juga menggunakan sebutan
yang mirip kiasnya Nyerere, yakni: taman,
dalam artian yang lebih luas, meskipun
akhirnya masih tetap terbatas juga pada
lembaga pendidikan formal.
Nah, Nyerere justru memaksudkan sekolah
sebagai 'kebun dalam artian sesungguhnya'.
Bagi Nyerere, semua rakyat Tanzania harus
menjadiknn kebun atau ladang garapan
mereka sekaligus sebagai sekolah mereka
juga. Jndi, anak-annk Tanzania akan belajar
dari pengalaman nyata mereka dalam
kehldupan suntu sistem pertanian kolektif
nasional. Seperti juga Kerr, Nyerere melihat
tanah pertanian (sumber kehidupan utama
hampir seluruh rakyat Tanzania} sebagai
ajang kehldupan nyata dan, karenanya,
merupakan tempat belajar (baca: sekolah)
yang paling penad (relwa11t).bagi mereka.
Lembaga sekolah formal, karena itu, dalam
gagasan dan dalam wujud si.knya,
if harus
terpasang.kan langsung dalam jaringan
organisasi sosial dan sistem komunal tanah·
tanah pertanian secara menyeluruh dan
sebati.'
Tapi, kesahihan klas Nyerere memang
masih perlu pembuktian lebih lanjut, karena,
.
• masih merupakan suatu
pada dasarnya
eksperimen raksasa yang belum lagi tuntas,
mesklpun sudah menunjukkan beberapa
cukllan kisah sukses yang menarik. Dan,
cakupannya toh masih terbatas pada satu
negara saja.
Ah, mengapa susah-susah nian? Begini
saja: sekolah itu ....pasarl
Ya, memang tak pernah ada rasanya
orang yang terang-terangan menyatakan kias
begini. Namun, secara tersirat, bisa dilacak
dalam teori-teori para pakar ekonomi. Yang
terpentlng di antaranya, tentu saja, adalah

' Pandangan Nyerere lnl sangnt populer dalam banyak


pemOOhasan tentang krlsls persekolahan modem dan
upaya pendidlk.an nhcrnatlf umumnya, khususnya di
negara berkemb'1ng. Llhat, antara Lain: Budd L.Hall,
Crtati"g Knowltdgt. Brraklng Mo11opoly: Rtstarch,
Pt1rti�ipGtlon ond Dft!t_topmtflt, makalah pada
International Comm.lttee on Adt.1h Education, Semina_r
on (nve1tlg<itlve Rac•rch. Cartagena, Colombia, 1976.
Juga, UNI: Brian 1 �..cCall, •Ke Arah Berdikari: Tinjauan
Peran OrganlNsi--org•nijasi Matyarakat dalam
Ptrnbang:una_n•. dalam Bulletin Masyorilit St11di
PfllflMng11mu1# No.6/111, lembaga Studl Pembangu�
Jakarta, 1979.
cikal-bakalnya ilmu pengetahuan ekonomi
modern itu sendiri, Adam Smith. Orang Scott
inilah yang pernah bilang bahwa seorang
keluaran (baca: lulusan) sekolah bisa
dipersamakan dengan satu sekrup, suatu
komponen, dari roda mesin raksasa yang
bernama sistem perekonomian.8 Alfred
Marshall, pemuka aliran teori ekonomi neo­
klasik, meski kurang suka dengan kiasnya
Smith yang dinilainya terlalu deterministik,
pada akhimya toh menampilkan kias yang
tak jauh beda, bahwa sumberdaya manusia
terlatih hasil sekolah adalah salah satu faktor
atau fungsi produksi ekonomi yang utama
dan vital, selain sumberdaya alam dan
sumber daya modal (uang).9
ltulah memang kaidah ekonomi yang
paling asas sampai saat ini. Sekolah, sebagai
wadah atau lembaga penyiapan sumberdaya
manusia terlatih ke dalam mesin produksi
ekonomi -sehingga sekolah pun bisa juga
dikiaskan sebagai satu pabrik atau perusahaan
pengolah-- dituntut memenuhi kaidah-kaidah
ekonomi pasar (market economy) tentang

8 Adam Smith, 1963, An Inquiry to the Wealth of Nations,


London Irwin Press.
:

9 Alfred Marshall, 1%1, Principles of Economics, London:


MacMillan.
'permintaan dan penawaran' tenaga kerja.
Dengan kata lain, sekolah menjadi suatu bagian
mekanisme 'pasar tenaga kerja'. Dan, ini pula
yang melahirkan bidang kajian baru dalam
keseluruhan kerangka ilmu ekonomi sumberdaya
(resources economics), termasuk ilmu ekonomi
sumberdaya manusia (human resources
economics), yakni 'ekonomi pendidikan'
(economics of education).10
Nah, bukankah dua kata itu: 'ekonomi'
dan 'pendidikan', secara tradisional, adalah
nama dari sistem induk lembaga 'pasar' dan
'sekolah'?
Barangkali, memang, semua kias tadi
hanyalah suatu penamaan saja untuk
membantu memudahkan pengertian,
sekaligus mewakili perkembangan pemikiran
dan persepsi masyarakat umumnya terhadap
keberadaan lembaga sekolah. Meskipun,
mungkin, kias-kias tersebut tidak sepenuhnya
mampu menjelaskan hakikat makna lembaga
sekolah, namun semuanya tetap absah saja
sebagai suatu kias.
Jangankan kias-kias yang memang
dirumuskan secara 'serius dan ilmiah' seperti

10
Lihat, antara lain: Mark Blaug, 1979, An Introduction
to the Economics of Education, Hammondsworth: Penguin.
itu, bahkan kias yang paling nyeleneh
sekalipun tetap absah saja sebagai suatu kias
pemikiran. Contohnya, kias yang
menyatakan: sekolah itu sejenis . . . . tuyul!!
Ya, tuyul! Karena, inilah jenis mahluk
antah-berantah yang banyak orang rnengaku
konon pernah rnelihatnya, bahkan berani
surnpah rnarnpus pernah menangkapnya,
sehingga rnereka percaya seyakin-yakinnya
bahwa mahluk itu rnernang benar-benar ada,
tetapi tak seorang pun pernah bisa
rnembuktikan atau rnenghadirkannya dalam
kenyataan di hadapan mata orang banyak!11
Mengada-ada?
Barangkali. Tapi, mungkin juga ada benarnya.
Bukankah banyak orang, termasuk para pendidik
dan pakar pendidikan sendiri, selalu rnerasa

11
Kias ini diilhami oleh dongeng kanak-kanak populer,
terutama di Inggris, tentang seekor binatang rekaan,
namanya heffalump (nah, nama ini pasti tak ada dalam
kamus apapun) yang tak jelas wujud rupanya, sehingga
sering dijadikan kias satiris untuk suatu perdebatan
terminologis yang tidak perlu atau suatu penjelasan
yang memang tidak mudah. Dongeng binatang ini -­

yang semua orang mengaku pernah melihat,


menangkap, atau menghadirkan wujudnya, tetapi tidak
pernah bisa membuktikannya-- dapat dibaca dalam
buku dongeng gubahan Alexander A.Milne, 1934,
Winnie the-Pooh, London: Plague.
yakin dan paling tahu tentang apa itu sekolah?
Padahal, sementara itu, semua orang juga
paham bahwa tak satu pun dari pendapat atau
pemikiran mereka tentang sekolah yang paling
benar mewakili apa sesungguhnya hakikat
lembaga tersebut. Lagipula, seperti juga tuyul:
apa sekolah memang tak lebih dari suatu ilusi,
semacam obsesi kehidupan kemasyarakatan
kita saja?

Betapa pun, kias terakhir ini bisa membantu


kita memahami satu hal penting: begitu
banyak orang yang bicara tentang sekolah,
bahkan juga sepenuh keyakinan membela
keberadaannya, tetapi temyata begitu banyak
pula perbedaan ragam pengertiannya yang tak
bisa disimpulkan secara gampangan: mana yang
paling benar dan absah. Ini menandakan bahwa
lembaga sekolah secara substansial hanya bisa
dipahami dalam kerangka kontekstualnya. Jika
ini tak dipahami secara bijak dan arif, kita akan
cenderung terjebak dalam suatu pemutlakan
pengertian yang dipaksa-paksakan berlaku
semesta. Padahal, bukankah sekolah tidak perlu
memiliki ukuran serba pasti dan mujarab untuk
semua keadaan, waktu, dan tempat yang
memang saling berbeda?

Jadi, keberadaan lembaga sekolah adalah


suatu keabsahan yang nisbi benar. Artinya, ia
tetap absah pula untuk diragukan dan digugat.
Dan, itu artinya upaya mencari suatu altematif.
Dan, altematif juga bisa berarti sesuatu yang
arnat sangat berbeda: tidak sekedar memperbaiki,
meningkatkan, menyesuaikan, menambal sulam;
tapi juga meniadakan, menafikan, mengubah,
atau menggantinya sama sekali dengan sesuatu
yang benar-benar baru dan membaharu!

Kenapa tidak?

Patal Senayan, 8 Agustus 1984


f a
9\
l

•BANYAK ORANGPUNYA MATA, TAPI TIDAK BISA MELIHAr


Ingram Pinn, Poster#99, OY!-PJ.A, lanpa tahun.
Epilog
SEKOLAH MASA DEPAN

"Sekolah . ! ?"
..

Hanya gumarnan satu kata itulah satu­


satunya reaksi Sukardal setelah selesai
membaca seluruh isi naskah tua yang ada di
tangannya. Sarnbil tercenung, matanya
sernpat membaca kode nomor klasifikasi pada
sampul naskah tua itu: 0987654321!

Satu pikiran rnuncul seketika di benaknya.


Setelah menyalin nomor klasifikasi dan
meletakkan kernbali naskah tua itu pada
ternpatnya sernula, Sukardal bergegas
menuju ke elevator. Dua rnenit kernudian dia
sudah berada di lantai 0 (nol) gedung
Museum Bank Naskah Nasional. Bergegas dia
ke ruang 007. Sukardal mernasukkan
sekeping kartu plastik rnagnetik ke lubang
pintu. Pintu terbuka dan Sukardal langsung
masuk menuju ke satu meja lengkap dengan
peralatan komputer.
Setelah memasukkan kartu plastik
magnetiknya sekali lagi ke terminal
komputer, dia segera mulai memencet-mencet
tombol keyboard. Sambil sesekali menyimak
rangkaian informasi yang tampil di layar
monitor, dalam waktu hanya tiga menit,
Sukardal menyelesaikan pekerjaannya di
meja komputer tersebut. Dia mencabut
kembali kartu magnetiknya dari terminal
komputer, segera berdiri dan kemudian
bergegas keluar ruangan.

Hanya dalam waktu tiga menit saja,


Sukardal sudah menemukan dirinya berada
kembali di halaman luar gedung Museum.
Lima menit kemudian, dia sudah berada
dalam gerbong kereta bawah-tanah. Hampir
sejam berikutnya, Sukardal sudah membuka
pintu rumahnya di luar kota. Dan, dia
langsung saja menuju ke kamar kerja pribadi
yang berhubungan langsung dengan kamar
tidurnya. Langsung saja dia duduk di meja
komputer pribadinya. Tak lebih dari satu
menit setelah memencet-mencet tombol
keyboard, apa yang diharapkannya sudah
tampil di layar monitor di depannya: salinan
lengkap naskah tua yang tadi dibacanya di
gedung Museum Bank Naskah Nasional.

Tercenung sejenak, Sukardal menyalakan


tombol kabel penghubung antara
komputemya dengan satu layar televisi besar
disampingnya. Dalam beberapa saat, jari
jarinya sibuk mengetik dan menggerak­
gerakkan pensil elektronik di layar monitor
komputer. Beberapa menit kemudian,
beberapa rekaman film dan video
dokumenter muncul di layar televisi besar di
sampingnya. Gambar-gambarnya cukup jelas
dan tajam: sekumpulan anak-anak duduk
dalam satu ruangan, semuanya berpakaian
seragam, diam menyimak seorang
perempuan setengah baya sedang
menjelaskan sesuatu mengenai hama ulat
penggerek tangkai jagung. Sukardal sempat
nyeletuk: "Hei, kenapa tidak bawa anak-anak
itu langsung saja ke ladang jagung?"

Dia tahu pertanyaannya tak akan


terjawab, maka segera dia memainkan
tombol-tombol kotak remote control di
tangannya ke arah alat perekam di bawah
televisi. Sukardal memilih-milih banyak sekali
potongan gambar dari berbagai tempat dan
suasana yang berbeda dan merekamnya,
termasuk beberapa bagian gambar yang
menurutnya 'aneh' atau bahkan 'lucu'.

Hampir sejam kemudian dia


merampungkan rekaman-rekaman gambar
itu dan mengemas lempengan tipis cakram
digital rekamannya. Lalu, kembali dia
termangu-mangu sambil masih menatap
layar monitor komputer. Tapi hanya
beberapa detik, karena dia segera
menjangkau pesawat telepon di samping
meJa.

Dia memencet beberapa nomor dan


menanti beberapa detik lagi. Satu suara berat
menjawab di seberang sana dan Sukardal
mulai bicara: "Hallo... selamat sore, Profesor!
...Ya, saya Sukardal. Saya temukan nama dan
alamat anda dalam daftar pakar di homepage
Lembaga Sejarah Kebudayaan... Ya, saya
baru saja menemukan satu naskah tua di
Museum Bank Naskah Nasional. .. tentang
sekolah, Prof! Ya, sekolah! Saya ingin tahu
lebih banyak, mungkin menarik untuk
menjadi bahan kajian saya sekarang
mengenai lernbaga-lernbaga rnasyarakat rnasa
lalu. Bagairnana? Oh begitu! Baik, saya akan
rnulai rnengurnpulkan sernua bahan sejak
sekarang, Prof! Beberapa potongan film dan
video dokurnenter juga sudah saya rekam
langsung dari homepage Pusat Pengkajian
Masyarakat lndustri Awai. .. ada beberapa
garnbar tentang sekolah dari abad lalu, juga
dari beberapa ternpat yang berbeda dan agak
asing buat saya. Saya berrnaksud
mengundang anda rnenontonnya nanti
malam, sekaligus rneminta anda sebagai nara
sumber untuk menjelaskan dan membahas
beberapa isi naskah tua tadi. ... Apa?... Baik,
saya akan segera on-line dengan komputer
beberapa orang teman dan tetangga yang
berminat. Segera saya kirimkan rincian
informasi waktu dan tempat pertemuan kita
nanti malam, Prof! Terima kasih!"
Sukardal meletakkan telpon dan segera
mulai memencet-mencet tombol keyboard lagi.
Tiga... lima... tujuh... sembilan... sepuluh
menit kemudian, dia kembali sudah
menemukan banyak tambahan informasi baru
di layar monitor. Tidak sampai sejam
kemudian, dia sudah menggenggam
setumpukan kertas hasil print out
komputernya. Cukup tebal untuk
menghabiskan waktunya hingga sore itu
untuk membaca dan membuat banyak
catatan-catatan.
Lepas makan malam, Sukardal dan beberapa
tetangga terdekat sudah berkumpul di balai
pertemuan RT mereka yang sekaligus juga
berfungsi sebagai perpustakaan kecil, ruang
diskusi, dan bahkan sebagai tempat minum­
minum bersama. Ketika Sang Profesor tiba,
diskusi langsung dimulai, sesekali diselingi
pemutaran beberapa potongan gambar yang
telah direkam oleh Sukardal. Menjelang larut
malam, mereka sudah tiba pada beberapa
pemahaman dan kesimpulan pokok. Tiba­
tiba, Sukardal menyela:

"Siapa berminat ikut saya ke sekolah esok


pagi?"

"Sekolah!? Belajar apa?", tanggap seorang


lelaki tua di pojok ruangan.

"Menyilang labu jenis baru, temuan saya


sendiri", jawab Sukardal singkat.

"Dimana?", seorang ibu setengah baya


menyambung.
"Ya, di sekolah saya. Dimana lagi? Eh, mau
ikut nggak, Prof?

"Boleh juga!", sambut sang guru besar.

Dan, esoknya, mereka semua, beserta


beberapa orang pemuda dan remaja
setempat, berkumpul lagi di kebun sayur di
tanah pertanian di belakang rumah Sukardal.
Kali ini, Sang Profesor lah yang justru paling
banyak bertanya, membuat catatan-catatan
dalam buku sakunya, dan menawarkan jasa
untuk membantu Sukardal jika ingin menulis
tentang labu-labu jenis baru hasil temuannya
itu. Bersama yang lainnya, dengan peluh yang
mulai bercucuran dan kulit wajah terbakar sinar
matahari, pakar sejarah kebudayaan itu asyik
mendengarkan penjelasan Sukardal dan
beberapa orang tetangganya, sambil mencicipi
juice labu bikinan Nyonya Sukardal dan
memeriksa bibit-bibit labu baru yang siap
ditanam.

Ya, sehari-hari, Sukardal memang cum.a


seorang petani biasa.

ltu, pada tahun 2222!

UNICEF-CD R
OM, 1996..·..··�
.
.
....
.. .....
.. .. .....
..... . ....
... ...... ..
..... . ".
" '.
"'..
....
.
..
....
.
..
....
.
..
....
.
..
....
.
..
....
.
..
....
.
..
....
.
.......
.....
.
.. ....
.... ....."."
'...... .
..,....
..
.....
.......
.......
.......
.......
.......
.. ......
..... ..
.....
........ .
.
....
."..
....
PENULIS

ROEM TOPATIMASANG;Sempatmenjadi
mahasiswa di !KIP Bandung (1976-1980), itu.pun
lebihbanyak dihabiskannya untuk ikut diskusi dan
demonstrasi, sampai masuktahanan militer (1978·
1979) danakhimya resmi dipecat sebagai mahasiswa
(1980) karena nekad menjabat sebagai Ketua
Presidium Dewan Mahasis"\va yangresmi dinyatakan
sebagai 'organisasi terlarang' saat itu oleh kebijakan
depolitisasi kampus (NKK). Setelahaktifdibanyak
OrganisasiNon-Pemerintah (ORNOP) dan lembaga
konsultan di Jakarta dan Bandung (1983-1988); dan
setelah melakukanserangkaianeksperimen
pendidikan politik kritis di beberapa pedesaan)awa
Baral dan Tengah (1988-1989); dia 'mengasingkan
dht' di bagian timur Indonesia (Timor, Papua, dan
Maluku) antara 1990-1996. Disana, dia lebih
memusatkan kegiatannya pada pengorganisasian
masyarakatadatsetempatmelalui program-program
pendidikankerakyatan (populareducntio11), sambil
tetap terlibat dalam rangkaian pelatihan organisasi­
organisasi rakyat di Sumatera Utara, Sara\vak,
Semenanjung Malaysia, Thailand utara, Cambodia,
dan Vietnam.
Ber.;amabeberapaorangrekan, menulisbuku-buku:
Be/ajarDari Pe11galama11 (P3M, 1986); Binrka11 Kami
Bicam (P3M, 1987);Me11grgese Neram Kek11alm1 (YLKl,
1988); Mengorgm1isir Rakyat. (INSJSTJ'resS s.. EAPCP,
2002); Omng-orai1g Ka/all (INSISTPress, 2004); Video
Kou1u11iltls (JNSISTPrl?SS, 2007), dan Jainnya, scrta
banyak buku-buku panduan pelatihan di lingkungan
ORNOP. Selain itu, dia )uga menetjemahka.n dan
menyunting buku-buku edisi lndonceln dori Paulo
Freire (Pendidilom Knum Tertimlns, LP3ES, 1985);
WayneElwood (Me11ggau111g Kek11atm1, YU<!, 1988);
MichaelLowy (Marxismeium Twlogi Pembdwnn,
lNSJSTPress, 1990);Ton Dietz (Ptngakua11 Hal<a/Ill
SumbndayaAl-lNSJST-Pustaka Pelojar, 1998); dan
Colin H_ines(MarggantiClobalisasi Ekono1t1in1e11jadi
Lo/alli.sasiDonc/mlsi,INS�2004).
Sampai sekarang.diajuga aktifmempn>duksivideo
dokumenterdanesei-eseivisual untukpendidilcan
masyaralcatdanadvokasi kebijakan.

Anda mungkin juga menyukai