Anda di halaman 1dari 50

1|Kolektor Ebook

2|Kolektor Ebook
Sumber Buku : Aditya Indra Jaya

Scan / Image : Awie Dermawan

Convert / Edit : Ferrisia Virgata

Kolektor Ebook

3|Kolektor Ebook
Seri Cerita 1001 Malam

Rahasia dari pesta gila


(Malam Keempat)

Dikisahkan kembali
dan dihiasi gambar
oleh :
HARDI. Y.
&
HAR.

Diterbitkan oleh : ’’Citra Budaya”, Bandung.

4|Kolektor Ebook
Diceritakan kembali
oleh :
HARDY. Y.
&
HAR.

Cetakan pertama : Desember 1984


Hak cipta dilindungi Undang-undang.
Dilarang mengutip tanpa Seizin penerbit.

5|Kolektor Ebook
MALAM KEEMPAT

MALAM masih cukup dini, ketika Raja Syahriar


dan Syahrazade selesai bermalam pengantin keempat.
Raja Syahriar rupanya sudah tidak sabar, ingin
mendengarkan lanjutan cerita yang dipaparkan oleh Syah-
razade. Dari itu segera memanggil Doniazade, untuk
bersama-sama menyimaknya.
Setelah memohon ijin, Syahrazade pun
melanjutkan ceritanya.

PEMUDA yang mengaku dirinya sebagai Khalifah


Harun Al-Rasyid itu, merasa sangat bangga ketika melihat
ketiga saudagar asing menyembah-nyembah memohon
ampun.
”Karena kalian adalah orang-orang asing yang
baru pertama kali datang ke Bagdad ini, maka aku sebagai
penguasa tertinggi di sini, memberikan pengecualian yang
jarang kuberikan. Hukuman gantung atau pancung, tidak
berlaku buat kalian,” kata pemuda yang mengaku sebagai
khalifah itu.
’Terima kasih, Tuanku. Semoga Yang Mahakuasa
melimpahkan rahmat-Nya, atas kebijaksanaan Tuanku itu,”

6|Kolektor Ebook
kata khalifah, seraya menyembah diikuti kedua abdinya
yang sedang menyamar sebagai tiga orang saudagar itu.
"Sekarang kalian tidak usah takut!” kata pemuda
itu, seraya menoleh kearah lelaki yang mirip dengan Wazir
Jafar. "Biarkan orang-orang ini bergabung dengan kita, ikut
ke istana. Malam ini mereka akan menjadi tamu-tamu
kita!”
Khalifah Harun Al-Rasyid dengan kedua abdinya
merasa lega. Dengan demikian terbukalah jalan, untuk
menyelidiki siapa dan apa maksud pemuda itu mengaku
sebagai diriku, pikir khalifah.
Rombongan itu bergerak kembali, dengan disertai
ketiga saudagar yang telah mendapat pengampunan, mere-
ka menuju ke sebuah istana yang sangat besar dan megah,
serta sangat indah. Sungguh menakjubkan. Khalifah sendiri
sampai hampir tidak percaya, bahwa istananya telah ada
yang menandinginya. Segalanya hampir sama. Bedanya,
pada pintu gerbangnya tertera tulisan dengan hurup ukiran
yang indah, berbunyi, Dalam istana ini, semua tamu akan
disambut dengan baik.”
Pintu gerbang terbuka. Rombongan pun masuk
dengan teratur. Mereka memasuki ruangan yang luas dan
megah. Alasnya berubin mahal, yang dilapisi oleh
permadani yang terkenal di dunia. Pilar-pilarnya berdiri

7|Kolektor Ebook
sangat kokoh, berlapiskan pualam yang mengkilat. Penuh
dengan ukiran indah, hasil karya para ahli. Lampu-
lampunya terurai beberapa tingkat, terbuat dari kristal yang
memancarkan sinar bagaikan pelangi. Sungguh menakjub-
kan.
Pemuda yang mengaku sebagai khalifah itu, duduk
di atas kursi singgasana yang penuh disemati emas dan
permata. Di depannya terdapat meja besar berbentuk
memanjang, dikelilingi oleh kursi-kursi antik. Kemudian
pemuda itu memberi isyarat agar para pembesar segera
duduk di kursi, termasuk ketiga saudagar asing, setelah
semuanya duduk memenuhi kursi, pemuda itu bertepuk
tangan tiga kali. Muncullah beberapa orang dayang dan
budak, membawa makanan dan minuman yang langsung
ditaruh di atas meja dengan teratur rapih. Makanan yang
dihidangkan menyebarkan aroma yang lezat, membuat
semua orang yang menciumnya menjadi sangat lapar.
Minuman pun bukan minuman biasa, tetapi air anggur
buatan negeri seberang yang sangat mahal harganya. Se-
telah semua makanan dan minuman terhidang, pemuda itu
memberi isyarat agar segera menyantapnya.
Mereka bersantap dengan lahapnya, sebentar
kemudian hidangan yang memenuhi meja itu hanya tersisa
sedikit. Semua orang merasa nikmat dan sangat puas.

8|Kolektor Ebook
Pemuda itu kemudian mengambil sebuah cawan yang
terbuat dari emas, diisi dengan air anggur sampai penuh.
Meneguknya dengan nikmat, lalu menyerahkan kepada
yang duduk di sisinya.
Yang menerima cawan itu mengucapkan terima
kasih, lalu meneguknya pula. Setelah diteguk, cawan
diserahkan lagi kepada orang berikutnya. Demikian
seterusnya, cawan itu diserahkan berputar setelah diteguk
isinya.
Ketika Khalifah Harun Al-Rasyid mendapat bagian
cawan itu, beliau tidak meneguknya. Tetapi langsung dibe-
rikan kepada wazir Jafar yang duduk di sisinya. Sebagai
orang beriman yang saleh, khalifah sangat tabu meminum
minuman keras. Meskipun minuman itu terbuat dari sari
buah anggur.
Pemuda yang mengaku sebagai khalifah itu sangat
heran, melihat tamunya yang satu itu tidak meminum air
anggur. Lalu bertanya kepada wazir Jafar,” Mengapa
kawan Anda itu tidak minum air sari buah anggur yang
lezat itu?”
Wazir Jafar mengangguk penuh hormat, dan
menjawab. "Ampun tuanku. Teman hamba yang satu ini
sebenarnya seorang peminum yang kuat. Tetapi karena
lambungnya pernah menjadi sakit akibat minuman keras,

9|Kolektor Ebook
sejak itu ia menjadi jera. Kecuali meminum minuman
ringan yang harganya lebih murah dari air sari anggur ini.
"Air sari anggur ini tidak akan memabukkan, kalau
kita meminumnya hanya sedikit!"
"Ampun Tuanku, teman hamba ini bukannya
hendak mengecewakan Tuanku, dan bukan hendak
menyuramkan jamuan besar ini. Teman hamba ini sangat
takut, sakit pada lambungnya akan kumat. Mohon Tuanku
menjadi maklum, dan memaafkannya."
"Baiklah, kalau begitu akan kusediakan minuman
ringan baginya,” kata pemuda, seraya memberi isyarat
kepada seorang budak. ”Hei budak, ambilkan air sari apel
bagi tamu kita itu!”
Khalifah Harun Al-Rasyid dan kedua abdinya
merasa lega. Dan ketika minuman dari buah apel diberikan,
khalifah tidak merasa ragu lagi, segera meminumnya
dengan nikmat.
Setelah acara minum bersama selesai, pemuda
yang mengaku khalifah itu menepuk meja tiga kali, dengan
telapak tangan yang jari-jarinya penuh dihiasi cincin
permata. Rupanya memberi isyarat, agar acara lain segera
dilangsungkan. Betul saja, beberapa saat kemudian, pintu
besar di bagian samping ruangan terbuka lebar-lebar. Tirai-
nya menyingkap. Lalu muncullah dua orang budak yang

10 | K o l e k t o r Ebook
11 | K o l e k t o r Ebook
memikul sebuah tandu yang megah.
Tandu itu berbentuk kursi yang terbuat dari gading,
yang penuh dengan ukiran. Di atasnya, duduk seorang
budak wanita, dengan wajah yang cantik. Kulitnya putih
dan licin, sedangkan rambutnya berwarna pirang. Ketika
tersinari penerangan, dari wajahnya terpancar sinar yang
benderang bagaikan matahari.
Kedua budak pemikul itu menurunkan tandunya, di
depan pemuda. Setelah memberi hormat, lalu mundur dan
kemudian berdiri tegak. Sedangkan budak wanita yang
berwajah bagikan matahari itu, lalu mengambil kecapi dan
memetiknya. Ia melagukan lagu India yang merdu dengan
sangat lincah. Lalu mengumandangkan dua puluh empat
irama yang sangat syahdu, yang membuat semua penden-
gar terpaku bagaikan dibuai-buai. Kemudian ia bernyanyi.
Tak seorang pun merasa bosan dan lelah mendengar-
kannya.
Khalifah Harun Al-Rasyid mengerling ke arah
pemuda yang mengaku khalifah itu, hatinya menjadi heran.
Kemudian memberi isyarat kepada Wazir Jafar dan Mase-
rur, agar memperhatikan Pemuda itu pula. Ketiganya
sungguh merasa tidak mengerti, melihat sikap dan keadaan
pemuda itu.
Irama lagu yang dibawakan oleh budak wanita itu,

12 | K o l e k t o r Ebook
bagi pemuda yang mengaku sebagai khalifah itu,
seolah-olah mengandung pancaran daya hipnotis, yang
merasuki kalbunya dengan sangat dalam dan menggon-
cangkan jiwanya. Setiap perubahan irama, terjadi pula
perubahan pada wajah dan diri pemuda itu. Kadang-kadang
seperti gembira, lalu berubah menjadi sangat berduka.
Sebentar-sebentar garis-garis kerutan pada keningnya
mengencang, lalu berubah menjadi kendur. Sebentar-
sebentar menjadi kemerah-merahan, kemudian menjadi
pucat keputih-putihan. Dan akhirnya menggigil bagai
kedinginan. Hal itulah yang membuat Khalifah Harun Al-
Rasyid dan Wazir Jafar Al-Barmaki serta Maserur, kehe-
ranan tidak habis pikir.
Irama lagu semakin membahana, dan suara kecapi
pun semakin cepat dan tinggi. Suara budak wanita itu
bagaikan menjerit, tapi tetap sejalan dengan iringan suara
kecapinya. Saat itulah, tiba-tiba pemuda yang mengaku
sebagai khalifah itu menjerit sangat keras. Tubuhnya meng-
gigil hebat, lalu tangannya merobek-robek bajunya, sehing-
ga hiasannya hancur berbulir-bulir. Seluruh pakaian luar-
nya dicabik-cabik, sehingga lenyaplah keindahannya.
Hilang pulalah kewibawaan pemuda itu, seolah-olah telah
kerasukan setan yang ingin merobek-robek dirinya. Jeritan-
nya semakin panjang dan keras, lalu roboh dengan disertai

13 | K o l e k t o r Ebook
cabikan pakaiannya. Kursi singgasananya pun hancur
berantakan. Tubuh pemuda itu bergerak-gerak kaku, bagai
sedang sekarat. Ketika jeritannya berhenti, mulutnya
mengeluarkan gumpalan busa.
Anehnya pada saat kejadian itu berlangsung,
kecuali ketiga saudagar asing, semuanya terdiam seolah-
olah tidak terjadi sesuatu. Hal itu membuat ketiga saudagar
yang tidak lain dari pada khalifah dan kedua abdinya,
semakin merasa heran. Namun bagaimana pun herannya,
mereka tidak berani berbuat apa-apa. Tetap diam seperti
yang lainnya, bersikap menunggu.
Budak wanita yang menyanyi telah mundur, kursi
tandunya ditarik oleh kedua budak pemikulnya. Sedangkan
pemuda yang mengaku sebagai khalifah itu, tubuhnya telah
mengejang dengan kaku. Pakaiannya sudah tak sempurna
membungkus tubuhnya, sehingga setiap orang dapat meli-
hat dengan jelas kulit tubuhnya. Saat itulah, Khalifah Harun
Al-Rasyid dan kedua abdinya, membuka matanya lebar-
lebar. Menatap kulit tubuh pemuda, terutama pada bagian
punggungnya, yang penuh dengan noda yang tak mungkin
dapat hilang lagi.

***

14 | K o l e k t o r Ebook
NODA BEKAS HUKUMAN DERA

NODA yang tertera pada kulit tubuh pemuda itu,


terutama pada bagian punggungnya, adalah cacad bekas
hukuman dera. Sangat jelas membekas, meskipun telah
mengering. Paling tidak, pemuda itu telah menerima
hukuman cambuk lebih dari seratus kali. Tentunya sangat
kesakitan ketika menerimanya, sebab cambuk itu telah
mengiris sangat dalam.
Khalifah berbisik kepada Wazir Jafar dan Maserur,
’’Demi Tuhan, apakah kalian melihat noda-noda pada kulit
pemuda itu?”
Wazir Jafar dan Maserur mengangguk dengan
halus, ”Berarti pemuda itu pernah menerima hukuman dera
yang sangat berat, oh, sungguh tidak dinyana,” jawab
Wazir Jafar dengan suara yang hampir tak terdengar.
”Ya,” jawab khalifah. ’’Jelaslah sudah, pemuda
yang perkasa dengan keberaniannya meniru-niru diriku itu,
ternyata pernah menjadi orang hukuman. Kupikir hukuman
deranya bukan dengan cambuk saja, lihatlah bekas-
bekasnya, pemukul dari kayu pun telah menghajarnya
pula!”
Ketika khalifah dan kedua abdinya sedang

15 | K o l e k t o r Ebook
berbisik-bisik, memperbincangkan noda pada tubuh
pemuda itu, pemuda itu telah sadar kembali dan melihat-
nya.
Beberapa dayang membawa mantel bulu yang
indah, yang segera diselimutkan pada tubuh pemuda itu.
Kemudian mengangkatnya dengan hati-hati, menduduk-
kannya ke atas kursi singgasana yang baru, yang sengaja
disediakan oleh beberapa orang budak.
Sebentar kemudian suasana kembali seperti
semula, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Semua
hadirin kembali bersuka cita. Berbicara dengan riang, tanpa
sedikit pun menyinggung-nyinggung apa yang baru terjadi.
Pemuda yang mengaku sebagai khalifah, yang
telah duduk kembali pada kursi singgasana dengan hanya
bermantel, lalu berdehem keras sekali. Mendadak semua
hadirin terdiam dengan menunduk. Ketiga saudagar pun
diam dan menunduk pula dengan hati berdebar, karena
pemuda itu ternyata memandanginya dengan tajam penuh
kecurigaan.
’Wahai tamu-tamuku,” kata pemuda itu dengan
suara yang berwibawa, matanya tertuju kepada Wazir Jafar
yang duduknya sangat gelisah. ”Apa yang telah kalian
bicarakan dengan berbisik-bisik tadi?”
Wazir Jafar agak gugup. Namun dengan cepat

16 | K o l e k t o r Ebook
menenangkan dirinya, dan menjawab dengan lembut,
“Ampun tuanku. Kawan hamba tadi merasa takjub dan
berkata, bahwa selama berkeliling ke berbagai negeri, baru
kali inilah dia melihat kehebatan seorang penguasa seperti
Tuanku. Tuanku tidak merasa sayang sedikit pun,
merobek-robek pakaian yang sangat indah, yang harganya
pasti lebih dari seratus ribu dinar.”
”Ha ha ha ha ha ha!” pemuda itu tertawa karena
merasa puas. ”Dasar pedagang. Segala sesuatu selalu di-
nilai harganya! Hm, saudagar dari negeri seberang, pakaian
seharga seratus ribu dinar bagiku tiada artinya.”
Kemudian pemuda yang mengaku sebagai khalifah
itu memerintahkan beberapa budak, untuk mengambil uang
sebanyak seribu dinar. Dan diserahkannya kepada Wazir
Jafar, dengan sikap yang pongah. Wazir Jafar berpura-pura
kaget, tercengang dan gembira menerimanya. Berkali-kali
mengucapkan terima kasih, dan memuji-muji keder-
mawanan pemuda itu.
’Mari kita minum lagi!” kata pemuda itu, seraya
mengambil cawan emas yang tadi dan diisinya dengan air
sari anggur sampai penuh. Setelah meneguknya, lalu
memberikannya kepada orang yang duduk di sampingnya.
Terus diberikan lagi secara bergilir. Kecuali khalifah Harun
Al-Rasyid yang tidak meneguknya, tetapi langsung

17 | K o l e k t o r Ebook
memberikannya kepada Wazir Jafar. Dan seperti pada
acara minum yang pertama tadi, khalifah mendapat
secawan minuman ringan berupa air sari apel.
Ketika Wazir Jafar selesai meneguk cawan, dan
kemudian memberikannya kepada Maserur, khalifah ber-
bisik, ’’Jafar, aku masih penasaran pada noda bekas deraan
pada tubuh pemuda itu. Cobalah kau menanyakannya,
tanpa dia menjadi curiga.”
Wazir Jafar mengangguk dan menjawab dengan
berbisik pula, ’’Hamba pun memang sudah tidak sabar
ingin mengetahuinya, namun belum tahu cara bagaimana
menanyakannya tanpa ia menjadi curiga. Menurut hemat
hamba, sebaiknya kita bersabar dahulu.” Tidak disangka,
khalifah justeru menjadi gusar mendengar jawaban itu.
Mungkin beliau lupa bahwa saat itu sedang menyamar
sebagai saudagar, ”Kau harus segera menanyakannya,
Jafar! Kita harus segera tahu, apa sebab pemuda itu
mempunyai noda bekas deraan! Awas, kalau kau coba-coba
menyuruh aku bersabar lagi, kau akan kupecat sebagai
wazir!”
Tanpa disadari oleh khalifah dan Wazir Jafar,
pemuda yang mengaku sebagai khalifah itu memperhati-
kannya dengan penuh kecurigaan. Lalu bertanya, ”Hei,
mengapa kalian mesti berbisik-bisik? Adakah pembicaraan

18 | K o l e k t o r Ebook
sangat rahasia?”
Khalifah agak kaget. Segera menghapus kemara-
han pada wajahnya. Sedangkan Wazir Jafar segera meru-
bah kegugupannya, dengan sikap seperti yang amat
bersalah, lalu menjawab, dengan sikap seperti yang amat
bersalah, lalu menjawab ”Ampun Tuanku, kawan hamba
ini tak henti-hentinya membisikkan rasa kagumnya atas
kebesaran dan kemuliaan Tuanku. Dia memuji dengan tak
habis-habisnya, sehingga hamba jengkel, karena dianggap-
nya hanya dialah yang merasa kagum kepada Tuanku.
Tetapi pemuda yang mengaku sebagai khalifah itu,
dapat membaca rona dusta pada wajah Wazir Jafar. Dia
menatapi wajah khalifah, Wazir Jafar dan Maserur,
satu-persatu dengan penuh selidik dan curiga.
’Demi Tuhan, janganlah engkau membuat diriku
menjadi marah!” kata pemuda itu. ”Katakanlah, apa
sebenarnya yang kalian bicarakan dengan berbisik tadi?”
Wazir Jafar menyembah. Lalu menjawab, ’’Tuanku
yang budiman, maafkanlah kami bertiga. Tadi, ketika kami
melihat noda yang memenuhi tubuh Tuanku, kami sangat
heran. Teman hamba ini mendesak hamba untuk menanya-
kan sebab-sebabnya noda tersebut, tetapi hamba menolak.
Hamba tidak mempunyai keberanian untuk menanya-
kannya kepada Tuanku, sebab menurut hamba hal itu

19 | K o l e k t o r Ebook
terlalu lancang.”
Wazir Jafar merasa lega, ketika melihat sikap
pemuda itu yang tidak tersinggung dan marah.
”Hal itu sudah kuduga. Yah, sebagai orang-orang
asing kalian akan sangat heran dan ingin mengetahui
banyak tentang noda pada tubuhku. Apa boleh buat, karena
kalian sudah melihatnya maka aku tidak keberatan
menerangkannya,” kata pemuda itu dengan nada berduka.
Khalifah dan kedua abdinya yang menyamar
sebagai tiga orang saudagar itu, merasa gembira dan segera
membetulkan duduknya untuk menyimak.
’Tuan-tuan perlu mengetahui, bahwa . . .! suara
pemuda itu tiba-tiba berubah sendu dan malu. “tuan-tuan
sebenarnya saya ini bukanlah khalifah Harus Al-Rasyid
seperti yang pernah saya akui...”.
”Oh?!” khalifah dan kedua abdinya bergumam,
seolah-olah sangat heran.
’’Saya bukan khalifah, saya hanyalah anak seorang
pedagang perhiasan emas-intan dan permata yang terbesar
di Bagdad. Nama saya, adalah Mohammad Ali.”
’Tuan bernama Mohammad Ali?” tanya Wazir
Jafar.
Mohammad Ali mengangguk, "Sebagai pedagang
perhiasan emas-intan dan permata yang terbesar di Bagdad,

20 | K o l e k t o r Ebook
ayah saya sangat kaya. Sayang sekali, beliau meninggal
pada saat saya masih kecil, padahal saya masih membutuh-
kan bimbingan dan kasih sayangnya. Setelah ayah tiada,
semua kekayaannya yang terdiri dari kebun-kebun yang
luas, penginapan-penginapan, toko-toko sewaan dan
beratus-ratus budak serta pelayan menjadi milik saya,
termasuk sebuah toko perhiasan yang besar. Setelah saya
dewasa, saya melanjutkan usaha almarhum ayah, sebagai
pedagang emas-intan dan permata. Pada suatu hari seorang
gadis dengan tiga orang gadis pengiringnya, memasuki
toko perhiasan saya. Saya yakin dia akan membeli
perhiasan, maka dari itu saya menyambutnya dengan wajah
berseri-seri. Dia mengenakan kain cadar dari bahan yang
amat tipis, sehingga saya dapat melihat kecantikannya
dengan cukup jelas. Betapa saya menjadi terpesona, oleh
kecantikannya yang benar-benar luar biasa. Saya terpukau
oleh pesona kecantikannya. "Apakah Anda bernama
Mohammad Ali, ahli perhiasan yang sangat terkenal itu?"
dia bertanya dengan suaranya yang sangat merdu. "Dugaan
Nona tidak keliru, sayalah Mohammad Ali yang siap
menjadi pelayan Nona. Gerangan apa yang Nona inginkan,
niscaya akan saya sediakan demi kepuasan Nona," jawab
saya. Dia tersenyum di balik cadarnya, saya dapat
melihatnya dan amboi, saya benar-benar takjub. "Saya

21 | K o l e k t o r Ebook
ingin membeli perhiasan yang paling baik, yang sesuai
dengan selera saya. Sebagai ahli perhiasan yang terkenal,
tentunya Anda dapat memahami apa yang saya maksud,
bukan?" katanya. Saya menjawab, "Aha, tentu saja saya
tidak akan mengecewakan Nona. Seperti saya katakan tadi,
saya siap menjadi pelayan demi kepuasan Nona. Silahkan
menunggu sebentar, saya akan mengambil perhiasan-
perhiasan yang terbaik di toko saya ini.” Kemudian saya
mengambil kotak simpanan khusus, yang berisi perhiasan-
perhiasan yang terbaik. Saya tebarkan isinya di atas meja,
lalu mempersilahkan gadis itu untuk memilihnya. Dengan
dibantu oleh ketiga gadis pengiringnya, dia memilih per-
hiasan satu-persatu. Setiap yang dianggap bagus, segera
dicoba dan dipatut-patutkan pada dirinya. Tapi rupanya tak
ada yang cocok dengan seleranya, akhirnya dia berkata,
”Harap Anda jangan kecewa. Tapi adakah persediaan yang
lain?” Saya teringat pada sebuah kotak simpanan yang
berisi perhiasan termahal, berbentuk sebuah kalung kecil
bermatakan berlian. Saya mengambilnya dan memperlihat-
kannya pada gadis itu. "Kalung ini bukan kalung biasa,
meskipun bentuknya cukup kecil. Keistimewaannya terle-
tak pada keindahan bentuk berlian serta mutu buatannya,
yang umumnya digandrungi oleh puteri-puteri raja atau
bangsawan. Saya kira sangat cocok dengan selera Nona,”

22 | K o l e k t o r Ebook
23 | K o l e k t o r Ebook
kata saya. Gadis itu meneliti kalung dengan seksama, lalu
dicobanya sambil bercermin. Rupanya memang cocok,
"Inilah yang saya cari. Berapa harganya?” tanyanya. Jawab
saya, ’’Dulu almarhum ayah saya membelinya dengan
harga seratus ribu dinar. Harga sekarang tentu saja sudah
banyak berubah, sesuai dengan perubahan situasi perda-
gangan. Tetapi bagi Nona, harganya tidak akan saya rubah,
tetap seratus dinar saja.” Nona itu tidak menjadi kaget oleh
harga kalung itu, dengan senyumannya yang sangat
menawan ia menjawab, ’’Saya akan membayarnya seratus
lima ribu dinar. Setujukah?” Saya mengangguk seraya
membalas senyumannya. Dia mengenakan kalung itu sekali
lagi, dan menatap saya seolah-olah meminta penilaian saya.
"Kecantikan Nona semakin bersinar-sinar, setelah kalung
itu menghiasi leher Nona yang jenjang itu,” kata saya. Dia
tersenyum lagi dan membuka kalung, "Simpanlah dahulu
baik-baik, nanti juru-bayar saya akan datang kemari
membayar kalung ini,” katanya. Saya menyetujuinya, lalu
mengiringkan dia keluar dari toko dengan disertai ketiga
gadis pengiringnya. Di luar toko, sebuah tandu dengan
empat orang pemikulnya telah menanti gadis itu. Dan
ketika ia telah naik ke atas tandu, ia menoleh kepada saya
sambil melemparkan senyumannya. ’Tuan Mohammad Ali,
seandainya Anda tidak keberatan, saya ingin mengenakan

24 | K o l e k t o r Ebook
kalung itu sekarang juga. Anda boleh mengikuti ke rumah
saya, untuk menerima uang pembeliannya dari juru-bayar
saya. Setujukah? tanyanya. Saya menyetujuinya dengan
senang hati. Lalu saya perintahkan pegawai-pegawai saya
untuk menutup toko. Setelah menutup toko, saya menuju
gadis itu kembali. Kemudian saya serahkan kotak berisi
kalung, tetapi ia menggeleng-gelengkan kepalanya. ’’Saya
hanya menginginkan isi kotak itu, dan bila Anda tidak
keberatan, silahkan kalungkan pada leher saya,” katanya
setengah berbisik. Saya menjadi tercengang, tetapi sangat
bahagia mendengar permintaannya itu. Dengan tangan
gemetar saya mengeluarkan kalung, dan mengalungkannya
pada lehernya yang jenjang sangat indah itu. Ia berterima
kasih dan memberi isyarat kepada para pengiringnya untuk
segera berangkat. Para pemikul segera mengangkat tandu-
nya, dan berangkat dengan dibuntuti oleh saya. Selama
dalam perjalanan, saya tahu gadis itu mengintip saya
dengan tak henti-hentinya. Di depan sebuah gedung yang
besar, tandu yang membawa gadis itu berhenti. Gadis itu
turun dari tandu dan menyuruh saya untuk menunggu. Ia
menunjuk sebuah bangku, ’Tunggulah di bangku itu.
Juru-bayar saya akan segera datang, membayarkan uang
pembelian kalung ini,” katanya sambil tersenyum lagi.
Kemudian ia masuk ke dalam gedung, ketika saya duduk di

25 | K o l e k t o r Ebook
atas bangku. Saya menunggu dengan sabar. Tiba-tiba
seorang pelayan muda menghampiri saya, dan berkata, ”0.
Tuan. Sungguh tak pantas, orang terhormat seperti Tuan
duduk di atas bangku seperti itu. Sebaiknya Tuan silahkan
masuk ke dalam gedung.” Pelayan muda itu mengajak saya
menuju pintu bagian samping gedung, lalu membuka-
kannya dan mempersilahkan saya untuk masuk.

***

26 | K o l e k t o r Ebook
ADIK WAZIR JAFAR

DI DALAM ruangan yang ada di samping gedung


itu, saya duduk di atas sebuah kursi. Menunggu datangnya
juru-bayar gadis yang cantik itu, dengan hati yang mulai
tidak tenang. Tiba-tiba seorang pelayan menghampiri saya
dan berkata, ”Tuan, majikan saya mempersilahkan Tuan ke
ruang tamu, agar Tuan dapat menunggu dengan tenang.”
Saya mengangguk dan mengikuti dia ke ruang tamu. Dia
mempersilahkan saya duduk di atas kursi yang besar dan
empuk, kemudian pergi. Saya menjadi bingung dan mulai
merasa tidak tenteram. Ruang tamu itu hampir seluruhnya
dihalangi oleh tirai yang besar-besar, yang membuat saya
merasa seperti dikurung. Tiba-tiba salah sebuah tirai ter-
buka lebar-lebar, dan muncullah beberapa budak mengu-
sung sebuah tandu berukiran emas. Saya pikir, yang ada di
dalam tandu itu adalah juru bayar yang sedang saya nanti-
kan. Ternyata bukan, tetapi justru gadis yang cantik itu.
Kini dia tidak mengenakan cadar, sehingga saya dapat
melihat kecantikannya dengan jelas. Dengan kalung pada
lehernya, tampaknya dia semakin mempesonakan. Semakin
menawan. Dia turun dari tandu, lalu menyuruh budak-
budaknya pergi. Tinggallah saya berdua dengannya, di

27 | K o l e k t o r Ebook
ruangan tamu yang tertutup itu. Hati saya menjadi
berdebar-debar, ketika dia mendekati saya. Saya mencium
bau harum minyak wangi yang merangsang, ketika dia
semakin dekat. Dia tersenyum dan berkata dengan suara
lembut, Anda sangat berbaik hati, memperkenankan saya
mengenakan kalung yang indah ini meskipun belum saya
bayar. Saya benar-benar sangat berbahagia, menerima
kebaikan hati Anda.” Saya membalas senyumannya dan
menjawab, ’Dengan kalung itu pada leher Nona, kecantikan
Nona semakin rupawan.” Wajahnya tampak semu merah,
menerima pujian saya itu. ”Tuan Mohammad Ali,
sebenarnya saya sudah lama tertarik, dan ingin berkenalan
dengan Anda. Sering saya memimpikan kedatangan Anda
ke rumah saya ini. Tapi rupanya hanya dengan jalan ingin
memiliki kalung inilah, impian saya itu baru menjadi
kenyataan. O, betapa bahagianya diri saya,” katanya. Saya
menjadi kaget, tetapi sangat bahagia mendengarnya.
”Nona, benarkah ucapan Nona itu,” tanya saya. Dia
mengangguk, ’’Sebenarnya yang ingin saya miliki bukan-
lah kalung, tetapi diri Tuan.” Saya yakin dia tidak
berpura-pura, membuat saya bagai diterbangkan ke alam
mimpi yang indah. Dan tiba-tiba dia semakin mendekat,
lalu menjatuhkan kepalanya ke dada saya. Saya menjadi
tersentak, namun tidak menolaknya. Bahkan saya tidak

28 | K o l e k t o r Ebook
29 | K o l e k t o r Ebook
dapat menahan diri lagi, pelan-pelan memeluknya. Dia
tidak menolak, membuat pelukan saya semakin ketat. Dan
dia membalas pelukan saya itu. Kami terdiam cukup lama,
tenggelam dalam dekapan yang indah. Ketika saya
menunduk, dia menengadah. Saya semakin tak dapat
menahan diri, lalu saya mencium dia. Dia pun tidak meno-
lak. Perasaan saya semakin melambung, melayang-layang
menembus mega-mega kebahagiaan. Tetapi tiba-tiba dia
melepaskan pelukannya, dan mendorong saya dengan
keras. Wajahnya menjadi merah padam, terbaur oleh pera-
saan marah dan malu. ”A . . . . apa yang telah anda lakukan
kepada saya?” tanyanya dengan geram. Saya sendiri jadi
tersadar, ”Nona, maafkan saya. Sungguh saya telah lupa
diri. Saya lupa, bahwa apa yang tadi saya lakukan adalah
hal yang terlarang.” kata saya dengan gugup. ”Kau telah
menghina saya, menganggap saya sebagai wanita jalanan!”
katanya. Saya menjawab, ’Demi Tuhan, saya tidak meng-
anggap Nona sebagai wanita murahan yang hina. Apa yang
saya lakukan tadi, semata-mata karena dorongan cinta saya
yang murni dan ikhlas." Nampaknya dia tidak percaya,
katanya, ”Kau telah sangat lancang, mencumbu saya. Oh,
kau telah menghina saya, saya adalah adik Wazir agung
Jafar. Saya adalah puteri Yahya ben Khaled Al-Barmaki!”
Kemudian dia menangis. Sedangkan saya menjadi sangat

30 | K o l e k t o r Ebook
kaget, pengakuannya tadi adalah ibarat sebilah pedang
yang menghujam dada saya. Saya menjadi sangat bersalah
dan takut, tenaga pun rasanya lenyap. Saya terkulai dengan
lesu, lalu bersimpuh di depannya. ’'Nona, adik wazir agung
yang mulia. Saya telah melakukan kesalahan yang sangat
besar. O, maafkanlah saya, ampunilah saya,” kata saya.
Mendadak kemarahannya hilang, wajahnya pun cerah
kembali. Dia mengangkat bahu saya, agar saya berdiri.
"Seandainya perbuatan Anda tadi memang karena dorong-
an cinta murni yang iklas, Anda tidak usah minta maaf,”
katanya dengan suara lembut. Saya merasa lega, ”Nona,
sebenarnya sejak saya melihat Nona untuk yang pertama
kalinya di toko saya itu, saya telah jatuh hati kepada Nona.
Namun saya tidak berani mengemukakannya, maklum kita
belum berkenalan,” kata saya. "Benarkah Anda mencintai
saya dengan murni dan iklas?” tanyanya. "Dengan jalan
bagaimana saya harus membuktikannya?” saya balik
bertanya. "Buktikan dengan jalan bersedia menjadi suami
saya,” jawabnya dengan tandas. "Saya bersedia!” jawab
saya. "Kesediaan Anda harus diucapkan di depan
penghulu!” katanya. "Saya bersedia!” jawab saya. Dia
memanggil pelayan, menyuruh memanggil penghulu saat
itu juga. Tidak lama kemudian penghulu datang, dan
mengesahkan saya sebagai suami Nona itu. Di depan

31 | K o l e k t o r Ebook
penghulu yang menjadi wali kami, saya berikrar, "Saya,
Mohammad Ali putera almarhum Ali. Bersedia menjadi
teman hidup Nona, puteri Yahya ben Khaled Al-Barmaki,
dengan membayar mas kawin berupa seuntai kalung yang
berharga seratus lima ribu dinar.” Kemudian kami menanda
tangani surat pernikahan kami. Penghulu menyampaikan
ucapan selamat dan do’a buat kami, lalu mohon diri. Isteri
saya memerintahkan para budak untuk mengambil
makanan dan minuman, serta sebuah kecapi. Kemudian
kami makan dan minum sepuas hati, dengan hati yang
penuh kebahagiaan. Lalu isteri saya menyanyi dengan
iringan petikan kecapinya. Selesai dia bernyanyi, saya
menggantikannya. Akhirnya kami bersama-sama me-
nyanyi, melagukan syair-syair ciptaan pujangga terkenal.
Setelah merasa puas, saya tuntun dia ke ranjang pelaminan
yang telah ditata dengan sangat rapih oleh para dayang.
Kami bermalam pengantin dengan sangat bahagia dan
indah.

***

32 | K o l e k t o r Ebook
UNDANGAN DARI ISTANA

KAMI berbulan madu selama sebulan penuh.


Sehari-hari, kami menenun cinta dengan benang-benang
kasih yang tak pernah ada putusnya. Pada saat-saat seng-
gang, kami bernyanyi, diiringi petikan kecapi. Saling
berpantun. Saling bersahutan, mengalunkan irama yang
syahdu. Kami seolah-olah berada di alam surga. Saya
sendiri benar-benar mabuk kepayang. Lupa diri. Lupa
kepada kewajiban saya, selaku pedagang perhiasan. Lupa,
bahwa saya harus mengurus rumah-rumah sewaan, harus
mengontrol kebun-kebun, dan lain-lain sebagainya. Toko
perhiasan pun saya tutup. Pada saat bulan madu kami
menginjak bulan kedua, tiba-tiba isteri saya harus pergi. Ia
berpesan: “Saya harus pergi dahulu, karena ada persoalan
yang harus dibereskan. Tetapi saya mohon padamu, jangan-
lah pergi kemana-mana. Jangan meninggalkan ranjang ini,
sampai saya kembali.” Saat itu saya tidak berpikir yang
lain-lain, kecuali ingin membahagiakannya. Maka saya pun
berjanji tidak akan melanggar pesannya itu. Saya akan tetap
berada di ranjang, sampai ia pulang kembali. Kemudian ia
pergi, diiringi dua orang dayang-dayang setianya. Setelah
ia pergi barulah saya sadar, bahwa saya lupa menanyakan

33 | K o l e k t o r Ebook
tujuan kepergiannya itu. Saya menyesal. Tetapi saya tidak
bisa berbuat apa-apa.
Setelah isteri saya pergi, tiba-tiba pintu kamar
terbuka. Saya merasa kaget, ketika melihat seorang perem-
puan tua masuk ke dalam kamar. Saya belum sempat ber-
tanya, ketika perempuan itu memberi salam, dan berkata:
“Tuan Mohammad Ali, saya adalah utusan dari istana.
Diperintahkan khusus oleh puan Siti Zubaida, permaisuri
agung khalifah Harun Al-Rasyid. Beliau memohon agar
Anda sudi datang ke istana. Beliau sangat ingin menden-
garkan nyanyian dan permainan kecapi Anda, yang konon
sangat merdu. Puan Siti Zubaida pun sangat ingin ber-
kenalan dengan anda. O, tuan Mohammad Ali, Anda
sungguh sangat beruntung” Saya sangat terkejut men-
dengar maksud perempuan tua itu. Lagi pula, mana
mungkin saya memenuhi keinginannya. Bukankah saya
sudah berjanji kepada isteri saya, tidak akan meninggalkan
ranjang? Lalu saya berkata, ’’Bibi, saya sungguh berbangga
hati dan sangat berbahagia menerima undangan dari puan
Siti Zubaida itu, tetapi sayang sekali saya bukanlah
penyanyi dan ahli pemetik kecapi. Kalau pun saya me-
nyanyi dan memetik kecapi, semata-mata karena ingin
menghibur isteri saya sendiri. Dan maaf, saya pun tak
mungkin dapat meninggalkan tempat ini,” lalu saya

34 | K o l e k t o r Ebook
ceritakan pesan isteri saya.
Sungguh diluar dugaan, perempuan tua itu menjadi
marah. ”Kau telah berani menolak anugerah yang sangat
mulia! Kau berani menolak undangan puan Siti Zubaida?
Oh, pikirlah baik-baik, seandainya kau masih menyayangi
jiwamu!” katanya dengan suara geram. Saya menjadi takut
dan bingung. Perempuan tua itu berkata lagi, ”Kuperingat-
kan, sebaiknya kau segera berangkat ke istana. Jangan
membuat hati puan Siti Zubaida menjadi murka!” Memang,
betapa akan celakanya saya seandainya menolak undangan
itu. Dengan pikiran yang kacau saya pun segera berangkat
ke istana, mengikuti perempuan tua itu. Sampai di istana,
langsung menuju ke kediaman puan Siti Zubaida. Yang
rupanya sangat menantikan kedatangan saya. Begitu beliau
melihat saya, langsung tersenyum. Katanya, ”Jadi inilah
tuan Mohammad Ali, suami adik wazir yang agung itu?”
Saya merasa heran. Dari siapa beliau mengetahui hal itu?
”Daulat, tuan puteri. Namun bagi tuan puteri, hamba ini
hanyalah seorang budak yang siap melaksanakan perintah
tuan puteri,” jawab saya sambil menyembah. Beliau
tersenyum, ”Ah, benarlah apa kata orang. Anda adalah
seorang pria yang terlalu merendahkan diri. Hm, saya ingin
mendengarkan nyanyian Anda dengan petikan kecapinya
Konon, suara anda amat merdu. Silahkan anda melaksana-

35 | K o l e k t o r Ebook
kannya,’ katanya. "Daulat, tuan puteri,” jawab saya.
Seorang budak membawa sebuah kecapi untuk
saya. Saya segera mengatur nada. Kemudian memetik
kecapi, dan menyanyikan syair-syair yang sedih tentang
perpisahan sepasang kekasih. Tiga buah lagu saya nyanyi
kan, dan puan Siti Zubaida menyimaknya dengan penuh
perhatian. Ketika saya selesai bernyanyi, puan Siti Zubaida
berkata. ”Suara dan petikan kecapi Anda, benar-benar luar
biasa. Hatiku terguncang, ketika mendengarnya. O, rupa-
nya keterkenalan anda memang bukan omong kosong.
Terima kasih, tuan Mohammad Ali Semoga Tuhan
memberkati dan menyempurnakan dirimu.” Saya segera
menyembah, dan kemudian mohon diri. Ketika saya
meeninggalkan istana, hati saya merasa tidak tenteram. Dan
ketika tiba di rumah, saya merasa kaget. Saya lihat isteri
saya telah berbaring di ranjang. Tampaknya ia sedang tidur
dengan lelap. Hati saya semakin berdebar-debar, dan saya
tidak mau mengganggu tidurnya. Saya berbaring di sisinya,
dekat kakinya.

***

36 | K o l e k t o r Ebook
37 | K o l e k t o r Ebook
HUKUMAN BAGI PENGKHIANAT

SAYA berbaring di sisi isteri saya, dekat kakinya.


Tiba-tiba kakinya menyentak tubuh saya, sehingga saya
jatuh ke lantai. Sebelum saya bangun kembali, dia telah
bangun dan menatap saya dengan pandangan marah.
"Pengkhianat! Hanya sebentar kau kutinggalkan, tetapi
telah melanggar janji! Kau telah pergi ke istana untuk
menghibur Siti Zubaida, oh, sangat pantas! Kau harus me-
nerima hukuman, atas pengkhianatanmu itu!” katanya,
seraya bertepuk tangan memanggil budak yang menjadi
tukang pukulnya. Suaub, budak tukang pukulnya muncul
dengan pedang terhunus. "Suaub, dia telah berkhianat
padaku, pancunglah kepalanya sebagai hukumannya!” kata
isteri saya.
Saya sangat terkejut. Tubuh saya menggigil
ketakutan, ketika Suaub mendekati saya sambil mengang-
kat pedangnya. Saya pikir, saya akan segera mati
dipancung. Tetapi saat itu tiba-tiba pintu kamar terbuka
lebar-lebar, lalu masuklah beberapa budak yang selalu saya
perlakukan dengan baik. Budak-budak itu, tua-muda besar
dan kecil, memohon ampun bagi diri saya. Sungguh, saya
sangat terharu menerima pembelaan mereka yang ternyata

38 | K o l e k t o r Ebook
dikabulkan oleh isteri saya. "Aku sendiri memang masih
mencintainya, tetapi pengkhianatannya tetap harus menda-
pat hukuman!” kata isteri saya, sambil memberi isyarat
kepada Suaub. Suaub mengambil cambuk dan mendera
saya tanpa ampun. Saya menjerit-jerit kesakitan, menerima
deraan lima ratus kali. Tubuh saya penuh dengan luka
bekas deraan yang berdarah.
Selesai mendera dengan cambuk, Sauab mengambil
pedang kayu dan langsung memukulkannya pada tubuh
saya. Saya menjerit-jerit kembali. Pukulan pedang kayu itu
rasanya seperti merobek-robek dengan sangat dalam, darah
pun melumuri sekujur tubuh saya. Atas perintah isteri saya,
Suaub melemparkan tubuh saya ke luar gedung. Persis
seperti melemparkan sampah yang menjijikkan. Keadaan
saya waktu itu sangat payah, antara hidup dan mati. Namun
saya masih dapat bertahan untuk tetap hidup. Dengan sisa
tenaga yang masih ada, saya merangkak menuju ke rumah
saya. Para pelayan dan budak-budak saya sangat kaget
melihat keadaan saya, segera menggotong saya ke tempat
tidur. Seorang tabib dipanggil untuk menolong saya. Saya
harus berbaring selama dua bulan, dengan perawatan yang
luar biasa.
Setelah sembuh, saya tidak dapat melupakan kejadi-
an yang sangat pahit itu. Apalagi bekas-bekasnya yang

39 | K o l e k t o r Ebook
berupa noda bekas deraan, tetap kelihatan dengan abadi di
sekujur tubuh saya. Berkali-kali saya mencoba menghu-
bungi isteri saya, untuk minta maaf. Tetapi selalu gagal,
rupanya dia tidak dapat memaafkan saya. Lalu timbullah
dendam saya, kepada penyebab rusaknya kebahagiaan
saya. Saya mendendam kepada puan Siti Zubaida, dan bah-
kan kepada khalifah dan semua abdinya. Namun mana
mungkin, dendam saya itu dapat dilampiaskan kepada
mereka? Untuk melampiaskan dendam itu, saya menjual
semua kekayaan, dari toko-toko perhiasan, rumah-rumah
persewaan, kebun-kebun sampai semua warisan dari orang
tua saya. Dengan uang hasil penjualan kekayaan saya itu,
saya membeli empat ratus budak yang belia, sebuah kapal
layar, dan pakaian-pakaian. Semua budak saya dandani
sebagai perajurit. Dari mereka saya pilih beberapa orang,
yang wajahnya sangat mirip dengan Wazir Agung Jafar,
dan pengawal pribadi khalifah. Saya sendiri lalu mengan-
gkat diri sebagai khalifah. Setiap malam saya melayari
sungai Tigris, dengan kapal layar yang telah saya ubah
seperti kapal layar agung milik khalifah.
Demi keamanan, saya perintahkan juru-bicara,
untuk mengumumkan larangan. Setiap orang dilarang ber-
layar atau melihat kapal saya. Dengan jalan seperti itu, saya
berusaha melupakan kenangan pahit saya, dan melampias-

40 | K o l e k t o r Ebook
kan dendam saya. Budak wanita yang berwajah bagai
matahari, yang menyanyi dan memetik kecapi itu, saya
ibaratkan isteri saya. Tetapi setiap ia menyanyi dan meme-
tik kecapi, selalu membuat saya teringat pada waktu saya
dihukum dera. Saya merasa sakit dan pedih. Sampai hari
ini, saya telah melakukan sandiwara ini hampir setahun
lebih. Anda bertiga adalah orang-orang yang paling berun-
tung. Sebab selain dapat menjadi tamu saya, juga dapat
mengetahui siapa sebenarnya saya ini,” kata Mohammad
Ali mengakhiri ceritanya.
Khalifah Harun Al-Rasyid yang sejak semula diam,
tiba-tiba berkata, “Tuhan Yang Mahakuasa tidak akan
berdiam diri. Dia akan merakhmati yang benar, dan akan
menghukum yang bersalah. Hamba yakin, nasib anda pun
akan ditolong-Nya, seandainya memang tidak bersalah.”
Mohammad Ali tidak berkata lagi. Menunduk lesu,
dicekam perasaan dan gejolak di dalam pikirannya.
Khalifah Harun Al-Rasyid dan kedua abdinya, lalu
bermohon diri. Dan Mohammad Ali mengiringkannya
sampai ke gerbang istananya.
Dalam perjalanan pulang itu, Wazir Jafar tampak
bermuram. Hatinya sangat merasa iba kepada Mohammad
Ali, yang ternyata suami adiknya. Sedangkan kepada adik-
nya, Wazir Jafar sangat menyesalinya. Karena telah meng-

41 | K o l e k t o r Ebook
hukum Mohammad Ali, tanpa diperiksa dahulu kesala-
hannya. Semua kejadian itu, sebentar lagi pasti akan men-
jadi bahan perbincangan di istana. Hal itulah, yang mem-
buat wazir Jafar merasa sedih.
Keesokan harinya, khalifah Harun Al-Rasyid
memanggil semua pembesar untuk berkumpul di balai per-
musyawaratan. Khalifah mengenakan pakaian kebesaran
yang lengkap. Hal itu berarti, bahwa beliau akan memimpin
sidang permusyawaratan secara resmi. Ketika khalifah
akan memasuki ruang sidang, dipanggilnyalah Wazir Jafar
agar segera menghadap.”Panggil kemari, Mohammad Ali
yang semalam menjamu kita itu,” kata khalifah, kepada
Wazir Jafar.

***

42 | K o l e k t o r Ebook
PANGGILAN DARI KHALIFAH

MOHAMMAD ALI sangat terkejut, ketika


menerima kedatangan Wazir Jafar dengan pengawalnya.
Apalagi ketika Wazir Jafar menerangkan, bahwa keda-
tangannya itu membawa panggilan dari khalifah.
"Dapatkah wazir yang mulia menerangkan, geran-
gan apa yang membuat khalifah memanggil hamba?” tanya
Mohammad Ali.
”Kukira karena ada sesuatu yang sangat penting.
Ah, sebaiknya engkau segera memenuhi undangan ini. Bila
engkau memungkirinya, khalifah tentu akan murka,” jawab
Wazir Jafar.
Jangan-jangan khalifah sudah mengetahui semua
kelakuanku, dan beliau akan menghukum aku, pikir
Mohammad Ali. Mendengar suara Wazir Jafar sejak
kedatangannya tadi, Mohammad Ali kebingungan. Sebab
suara itu serasa pernah didengarnya. Tapi entah dimana dan
kapan.
Melihat Mohammad Ali kebingungan, Wazir Jafar
ingin tertawa. Merasa lucu tetapi juga kasihan. Untunglah
penyamaran sebagai saudagar malam tadi, cukup baik.
Sehingga meskipun sekarang Muhammad Ali menatapinya

43 | K o l e k t o r Ebook
dengan cermat, tetap tidak akan tahu, bahwa Wazir Jafar
sebenarnya tamu yang semalam dijamunya.
Akhirnya Mohammad Ali berangkat ke istana,
meskipun hatinya merasa berdebar-debar. Sepanjang
perjalanan, wajahnya muram. Bahkan pucat. Ia berjalan
menunduk di belakang Wazir Jafar, diiringi pengawal
istana yang bersenjata lengkap.
Mungkin khalifah telah mengetahui semua
perbuatanku, dan sekarang akan menghukum diriku, pikir
Mohammad Ali. Tapi dari siapakah khalifah mengetahui-
nya? Jangan-jangan, ketiga saudagar yang tadi malam
dijamu itu, adalah mata-mata dari istana. Semakin dekat ke
istana, perasaan Mohammad Ali semakin resah dan gelisah.
’’Kita langsung menuju balai permusyawaratan,
Mohammad. Di sana khalifah dan semua pejabat negeri
telah menantikan kita,” kata Wazir Jafar ketika telah
memasuki gerbang istana.
"Ruang permusyawaratan?” gumam Mohammad
Ali, seraya kakinya berhenti melangkah karena sangat
kaget.
"Ya! Kenapa mesti kaget? Apakah engkau
mempunyai kesalahan yang besar kepada khalifah, sehing-
ga nampaknya kau bukan kaget saja, tetapi juga sangat
takut?”

44 | K o l e k t o r Ebook
45 | K o l e k t o r Ebook
"Apakah saya akan diadili?”
"Diadili? Kesalahan apa yang telah kau perbuat,
sehingga kau harus diadili?”
Mohammad Ali menjadi bingung dan takut. Tidak
salah, khalifah telah mengetahui semua perbuatanku, pasti!
Dan aku harus mempertanggung jawabkannya. Oh, tentu-
nya pemeriksaan akan dilangsungkan di hadapan para
pejabat dan pembesar, yang pasti akan semakin memojok-
kan diriku. Tak mungkin aku dapat mungkir atau membela
diri, pikir Mohammad Ali dengan sangat lesu.
"Mari, Mohammad! Jangan membuat khalifah
kesal menanti. Kalau kau merasa tidak pernah berbuat
salah, mengapa mesti ragu-ragu dan takut?” tanya Wazir
Jafar.
”Oh, Tuhan Yang Mahakuasa, ampunilah hamba-
Mu ini,” gumam Mohammad dengan suara merintih. Lalu,
seperti menemukan tenaga yang sangat kuat, kakinya pun
melangkah menuju balai permusyawaratan.
Khalifah Harun Al-Rasyid dan semua penjabat
negeri, yang telah berkumpul di balai permusyawaratan,
menatapi kedatangan Mohammad Ali dengan tatapan
tajam. Kecuali khalifah, semua hadirin bertanya-tanya di
dalam hatinya, siapa gerangan orang yang diiringi oleh
Wazir Jafar itu.

46 | K o l e k t o r Ebook
"Masuk dan duduklah!" kata khalifah, ketika
Wazir Jafar dan Mohammad Ali memberi salam di ambang
pintu ruangan.
Wazir Jafar langsung duduk di atas kursi yang
telah disediakan. Sedangkan Mohammad duduk di atas
kursi yang ditunjuk oleh khalifah sendiri. Sangat kikuk
kelihatannya, sebab sangat berdekatan dengan singgasana
yang diduduki khalifah.
"Namamu Mohammad Ali, bukan?" tanya
khalifah.
"Daulat tuanku, hambalah Mohammad Ali," jawab
Mohammad Ali.
"Mohammad. Tadi malam telah menghadapku,
tiga orang saudagar yang mengaku telah menjadi tamu
kepadamu."
Mohammad Ali menjadi semakin gelisah. Sangat
malu dan sedih. Semangatnya pun seperti telah melayang.
Namun di dalam hatinya, sangat memarahi ketiga saudagar
yang dianggapnya telah lancang melapor kepada khalifah.
"Ketiga saudagar itu," khalifah melanjutkan kata-
katanya, "Konon telah kau jamu, dan telah mendengar
kisah hidupmu yang sangat penuh penderitaan. Nah,
kuharap engkau sekarang menceritakannya kembali. Aku
dan sekalian pembesar serta pejabat negeri, ingin sekali

47 | K o l e k t o r Ebook
mendengarnya."
Mohammad Ali gemetar sekujur tubuhnya.
"Tak usah takut atau ragu-ragu. Ayolah ceritakan!"
Mohammad Ali menengadah, menatap khalifah
dengan lemah. Kemudian menatap para pembesar dan
pejabat istana. Hatinya semakin mengecil, keberaniannya
hilang ditelan rasa takut yang mencekam. Tetapi ia tidak
mau menolak kehendak khalifah agung. Lalu menarik
napas yang sangat panjang.
’’Ampuni hamba, khalifah yang mulia,” kata
Mohammad Ali dengan suara yang gemetar. ’’Hamba akan
menceritakan riwayat hidup hamba. Tetapi hamba mohon,
terlebih dahulu yang mulia Khalifah berkenan memberi
saputangan bagi hamba.”
Para penjabat negeri yang hadir di dalam balai
permusyawaratan itu, menjadi tercengang, mendengar
permintaan Mohammad Ali yang luar biasa itu. Khalifah
sendiri tidak dapat menyembunyikan kekagetannya. Bah-
kan seperti menjadi bingung. Harus dikabulkan, atau
ditolak permintaan Mohammad Ali itu?
Sampai disini, Syahrazade berhenti bercerita.
Karena dari jendela ia melihat langit telah rembang terang,
pertanda fajar telah mulai menyingsing.
”Kanda, apa maksudnya Mohammad Ali meminta

48 | K o l e k t o r Ebook
saputangan khalifah itu?” tanya Doniazade yang rupanya
sangat penasaran. ”Dan apakah khalifah menolak atau
mengabulkannya?”
”Aku sangat lelah, dinda,” jawab Syahrazade
sambil mencuri pandang ke arah raja Syahriar.
Raja Syahriar pun nampaknya ingin tahu, apa
jawaban pertanyaan Doniazade itu. Tetapi ketika melihat
keadaan Syahrazade yang kelelahan, bahkan beliau sendiri
sangat ngantuk, lalu berkata, "Sebaiknya kita beristirahat
dahulu, nanti malam bolehlah cerita itu dilanjutkan
kembali.”
Syahrazade dan Doniazade saling mengedipkan
mata, tanda gembira dan berlapang hati.
***
Apakah maksud khalifah Harun Al-Rasyid mengundang
Mohammad Ali ke balai permusyawaratan itu?
Apa sebab Mohammad Ali meminta saputangan khalifah?
Dapatkah Mohammad Ali bertemu kembali dengan
isterinya?
Semua pertanyaan itu akan terjawab, pada lanjutan cerita
yang dipaparkan oleh Syahrazade pada malam kelima
nanti. Dengan judul: PUTERI dan PENYAIR ISTANA.

TAMAT.

49 | K o l e k t o r Ebook
50 | K o l e k t o r Ebook

Anda mungkin juga menyukai