Anda di halaman 1dari 13

Cerita pendek ditulis oleh: Yukio Mishima Diterjemahkan oleh: Budi Anre

Pendeta Kuil Shiga dan Kekasihnya


Menurut buku karya Eshin Kaidah Keselamatan, Sepuluh Kenikmatan itu hanyalah setetes air di lautan ketika dibandingkan dengan suka cita di Negeri Suci. Di negeri itu bumi terbuat dari batu jambrud dan jalan-jalan perhubungannya diberi pita yang terbuat dari emas. Permukaannya yang tidak putus-putus itu datar dan tidak ada batas. Di pelataran yang suci ada lima puluh ribu aula dan menara terbuat dari emas, perak, lapis lazuli, kristal, koral dan mutiara; dan selubung penutup yang mempesona ditebarkan di atas bunga-bunga aster dari batu permata. Di dalam aulaaula dan di atas menara-menara ada begitu banyak malaikat yang selalu memainkan musik-musik sakral dan menyanyikan lagu-lagu pujian bagi Tathagata Buddha. Di taman-taman yang mengelilingi aula-aula dan menara-menara dan serambi-serambi ada kolam emas dan batu jambrud di mana orang-orang yang beriman bisa membersihkan diri mereka; dan kolam-kolam emas itu dilingkari oleh pasir dari perak, dan kolam batu jambrud di kelilingi oleh pasir dari kristal. Kolam-kolam itu ditutupi oleh pohon teratai yang berkilauan beraneka warna dan, ketika angin sepoysepoy berhembus di atas permukaan airnya, lalu cahaya-cahaya yang fantastis saling bersilangan ke segala penjuru arah. Siang dan malam udaranya dipenuhi oleh suara kicauan burung bangau, angsa, bebek mandarin, merak, kakatua, dan kalavinka yang bersuara merdu dan memiliki wajah seperti perempuan cantik. Semua ini dan ratusan macam burung yang bertaburan permata melantunkan suara indah mereka memuja Sang Buddha. (Walau pun suara tersebut terdengar merdu, sebegitu banyaknya burung-burung ini mustilah sangat bising.) Batas tepian kolam dan bantaran sungai di kelilingi oleh rerumputan dari pohon-pohon sakral. Batang dari pepohonan ini terbuat dari emas, cabang-cabangnya dari perak dan bunganya dari batu koral, keindahannya terpantulkan di atas permukaan air. Ruang kosong di udara dipenuhi oleh umbai-umbai permata, dan dari umbai-umbai ini bergantungan begitu banyak lonceng-lonceng harta pusaka yang senantiasa berdentingan menyuarakan Buddha Dharma; Dan alat-alat musik yang aneh yang bisa bermain sendiri tanpa disentuh, terhampar hingga ke langit yang bening. Jika seseorang merasa ingin makan, lalu di sana muncul di hadapan matanya meja bertaburan tujuh permata yang bersinar dan di atasnya
1

ada sebuah mangkuk penuh dengan makanan yang lezat pilihannya. Tetapi tidak perlu mengangkat mangkuk ini dan menaruhkannya di mulut. Apa yang perlu adalah hanya melihat warna-warna mereka yang menggoda dan menikmati aromanya: maka perut seseorang itu akan penuh dengan sendirinya dan badannya akan sehat, di saat yang sama keadaan rohani dan jasmaninya tetap murni. Ketika seseorang selesai makan dan merasa kenyang, mangkuk-mangkuk dan meja itu pun langsung menghilang. Begitu pula, tubuh seseorang secara otomatis dikenakan pakaian, menjahit, mencuci, mencelup atau membetulkan pakaian tidak dibutuhkan. Lampu juga tidak penting, karena langit di sini diterangi dengan cahaya terang yang ada di seanteronya. Lebih-lebih lagi, Negeri Suci ini menikmati hawa yang sedang setiap tahun, jadi pemanas dan pendingin tidak perlu. Ratusan aroma lembut membuat wangi udara dan daun-daun teratai turun dari langit seperti hujan setiap hari. Dalam bab Pintu Gerbang Pemeriksaan kita diberitahu, bahwa pengunjung yang belum diinisiasi tidak boleh masuk jauh ke dalam Negeri Suci, pertama, mereka harus berkonsentrasi pada kekuatan imajinasi, imajinasi eksternal, lalu, terus meningkatkan kekuatan imajinasi ini. Kekuatan imajinasi ini dapat membuat satu jalan pintas untuk melarikan diri dari kungkungan kehidupan yang fana dan untuk dapat melihat Sang Buddha. Jika kita dianugerahi dengan gejolak imajinasi yang penuh, kita dapat memusatkan perhatian kita pada sebuah bunga teratai dan dapat melebar ke segala penjuru cakrawala-cakrawala. Dengan cara observasi mikroskopik dan astronomik proyeksi bunga teratai ini dapat menjadi sebuah pondasi bagi seluruh teori mengenai jagad raya dan sebagai alat perantara agar kita tahu tentang Kebenara. Dan kita harus tahu bahwa setiap daun bunga memiliki delapan- empat ribu urat nadi dan setiap urat nadi memancarkan delapan puluh empat ribu cahaya. Lebih-lebih lagi, bunga yang terkecil memiliki diameter dua ratus lima puluh yojana. Maka, jika diasumsikan bahwa yojana yang kita baca dalam Kitab Suci itu panjangnya 120 kilometer, kita dapat simpulkan bahwa setangkai bunga teratai yang paling kecil itu berdiameter tiga ratus ribu kilometer Bunga seperti itu memiliki delapan puluh empat ribu daun-daun bunga dan di antara dedaunan bunga ini ada satu juta batu permata, dan setiap individunya memancarkan seribu cahaya. Di atas kelopak bunga yang dihiasi itu berdiri empat pilar yang ditaburi permata dan setiap pilar ini seratus kali besarnya daripada Gunung Semeru, yang menjadi soko guru jagad rayanya umat Buddha. Dari pilar-pilar tersebut bergantungan gorden-gorden dan setiap gorden dihiasi oleh lima puluh juta batu permata, dan setiap batu permata memancarkan delapan puluh empat ribu cahaya, dan setiap cahaya terdiri delapan puluh empat ribu warna emas yang berbeda, dan setiap warna emas ini pada gilirannya berubahrubah warnanya. Untuk berkonsentrasi pada imaji seperti ini dinamakan sebagai berpikir tentang Kursi Bunga Teratai dimana Sang Buddha duduk, dan

ide tentang dunia yang mengapung melatar belakangi cerita kita, ini adalah sebuah dunia yang kita bayangkan sebesar itu. Pendeta Agung Kuil Shiga adalah seorang yang memiliki moral yang sangat tinggi. Kedua alis matanya berwarna putih, dan ia berusaha sekeras mungkin untuk menggerakan tulang-tulangnya agar ia dapat secara terpincang-pincang bergerak dengan tongkatnya dari satu kuil ke kuil lainnya. Di mata sang petapa yang ahli agama ini, dunia ini semata-mata hanyalah seonggokan sampah belaka. Ia sudah lama hidup jauh dari dunia bertahun-tahun lamanya, dan pohon pinus kecil muda yang ia pernah tanam dengan tangannya sendiri ketika pindah ke dalam sel kamar biaranya sekarang sudah tumbuh besar dan ranting-rantingnya membesar di udara. Seorang rahib yang berhasil meninggalkan dunia SAMSARA sebegitu lamanya pasti masa depannya akan terjamin. Ketika Pendeta Agung melihat orang kaya dan orang mulia, ia tersenyum penuh kasih dan berpikir mengapa orang-orang ini tidak juga sadar bahwa kenikmatan mereka hanyalah impian kosong belaka. Ketika ia melihat perempuan cantik, satu-satunya reaksinya adalah tergerak rasa belas kasihannya terhadap laki-laki yang tetap saja tercengkeram oleh dunia fana dan terombang-ambingkan oleh gelombang nafsu duniawiah. Sepanjang hal jasmaninya, seseorang dapat mengatakan bahwa sang pendeta ini sudah jauh ditinggalkan oleh badannya sendiri. Kadang kala ia memperhatikan ketika sedang mandi, contohnya ia akan merasa senang melihat tulang-belulangnya yang menonjol itu ditutupi oleh kulitnya yang pucat. Sekarang ketika badannya sudah seperti ini, ia merasa bahwa ia dapat rukun dengannya, seolah-olah badan itu badannya orang lain. Badan seperti itu, tampaknya lebih cocok bagi makanan yang diberikan di Negeri Suci daripada makanan dan minuman dari dunia nyata. Dalam mimpinya ia hidup setiap malam di Negeri Suci dan ketika ia bangun ia tahu bahwa untuk hidup di dunia seperti sekarang ini adalah seperti dibelengu oleh mimpi yang menyedihkan dan sementara. Di musim menonton bunga ini banyak orang datang dari Kota untuk mengunjungi desa Shiga. Ini tidaklah menjadi masalah sama sekali bagi sang pendeta, karena dia sejak dahulu sudah mengatasi hal itui di mana hingar bingar dunia dapat mengacaukan pikirannya. Di satu senja musim bunga ia keluar dari kamar selnya, bersandar pada tongkatnya, dan berjalan ke tepi danau. Itu adalah saat ketika bayangan hitam mulai perlahan-lahan mendorong dirinya ke siang hari yang terang benderang. Sama sekali tidak ada riak yang mengganggu permukaan air danau tersebut. Sang pendeta berdiri seorang diri di pinggir danau dan mulai menjalankan ritual suci Samadi Air. Di saat itu sebuah kereta lembu, tampak jelas ini dimiliki oleh orang penting, datang menuju ke danau dan berhenti dekat dimana pendeta ini berdiri. Pemiliknya adalah Perempuan Istana dari distrik Kyogoku di Kota yang menyandang gelar tinggi Selir Agung Kerajaan. Perempuan ini datang untuk melihat pemandangan musim bunga di Shiga dan
3

sekarang ketika harus kembali ia memberhentikan keretanya dan membuka kereinya supayaa ia dapat melihat danau ini akhirnya. Tanpa disadarinya Pendeta Agung ini memandang sepintas ke arah perempuan itu dan langsung seketika terpesona oleh kecantikannya. Matanya bertatapan langsung dengan mata perempuan itu, karena pendeta itu tidak berusaha untuk merubah arah tatapannya, perempuan itu pun tidak menghindarinya. Itu bukan karena spiritnya yang legowo yang selain mengizinkan laki-laki untuk menatapnya walau dengan tatapan kurang ajar; tetapi cara sang petapa tua yang sederhana ini bukanlah, menurut perasaannya, laki-laki yang biasa-biasa saja. Setelah beberapa detik kemudian perempuan itu menutup kereinya. Keretanya mulai bergerak dan, setelah melalui Celah Shiga, bergerak perlahan melalui jalan menjuju Kota. Malam hari pun tiba dan kereta itu pun berjalan menuju kota melalui Jalan Kuil Perak. Pendeta Agung ini tetap berada di titik semula hingga kereta itu tampak seperti setitik jarum yang menghilang di antara pepohonan nun jauh di sana. Dalam sekejap mata dunia saat ini telah melahiran dendam dalam diri sang pendeta dengan seluruh kekuatannya. Apa yang ia bayangkan selama ini tentang keselamatan yang sempurna itu hancur luluh berkeping-keping. Ia kembali ke kuil, berlutut di hadapan Patung Utama Buddha, dan berdoa memohon pada Nama yang Sakral itu. Tetapi pikirannya yang tidak lagi murni, sekarang menebarkan bayangan hitam disekelilingnya. Kecantikan seorang perempuan, ia berkata pada dirinya sendiri, hanyalah bayangan yang fana, sebuah fenomena jasmaniah yang sesat Jasmani yang akan hancur tidak lama lagi. Namun, ia mencoba untuk melupakannya, kecantikan yang tidak terkirakan yang telah melumpuhkannya di tepi danau saat itu sekarang menekan hatinya dengan sekuat tenaga, sesuatu yang datang dari kejauhan yang tidak terhingga. Pendeta Agung , secara jasmani atau rohani tidak lagi muda, untuk percaya bahwa perasaan yang baru ini hanyalah sekedar sebuah muslihat yang dilansir oleh jasmaninya terhadapnya. Jasmani laki-laki, ia tahu betul itu, tidak dapat berubah begitu cepat. Malah, ia tampaknya telah hanyut terbenam ke dalam racun yang halus lagi tangkas, yang dengan tiba-tiba merubah ruhnya. Pendeta Agung idak pernah melanggar sumpah kesuciannya. Perang batin yang telah ia jalankan semasa mudanya melawan dambaan jasmani membuat ia berpikir bahwa perempuan itu sekedar sebagi insan badaniah. Jasmani yang ril adalah jasmani yang eksis di dalam imajinasinya. Maka, sejak ia menganggap jasmani itu sebagai suatu abstraksi ideal, ketimbang sebagai fakta fisikal, ia mengandalkan kekuatan rohani untuk menaklukannya. Sang Pendeta dalam usaha ini berhasil benar-benar berhasil, tidak ada seorang pun yang kenal akan dia meragukan hal ini. Namun, wajah seorang perempuan yang membuka kerei kereta itu dan memandang danau, sangatlah sempurna, sangat benderang, untuk dianggap sebagai melulu jasmaniah, dan sang pendeta tidak tahu nama apa yang harus diberikan pada sesuatu seperti itu. Ia hanya dapat berpikir bahwa demi untuk menciptakan detik-detik yang menakjubkan, sesuatu
4

yang sudah lama terpendam terlupakan dalam dirinya akhirnya harus menampakan dirinya. Sesuatu itu yang tidak lain dan tidak bukan adalah dunia kekinian, yang hingga saat ini tetap tertidur, tetapi sekarang tibatiba menggerakan dirinya muncul dari kegelapan dan mulai menggeliat. Itu seperti ketika ia sedang berdiri di sisi jalan raya menuju ke Kota, dengan kedua tangannya menutupi kedua telinganya, dan melihat dua kereta lembu besar menderu-deru saling liwat meliwati. Tiba-tiba ia membuka kedua telinganya dan suara bising masuk langsung ke dalam seluruh badannya. Untuk mengerti pasang surut sebuah fenomena yang suara bisingnya tepat berada di telinga seseorang, ia harus masuk ke dalam lingkaran kehidupan saat ini. Bagi seorang laki-laki seperti Pendeta Agung yang telah memutuskan hubungan dengan dunia luar, ia harus menempatkan dirinya untuk berhubungan dengannya sekali lagi. Bahkan ketika ia membaca Sutra ia kadang-kadang dapat mendengar dirinya sendiri mendesah karena sedih. Mungkin alam, pikirnya, berkewajiban untuk mengacaukan ruhnya, ia melihat keluar jendela kamar selnya ke pegunungan yang menjulang tinggi di kejauhan sana di bawah naungan langit malam. Namun pikirannya ketimbang fokus pada keindahan, menjadi tercerai berai bagaikan kumpulan awan dan hanyut begitu saja. Ia berkonsentrsai menatap ke bulan, tetapi pikiran-pikirannya terus saja melayang-layang seperti sebelumnya; dan ketika sekali lagi ia pergi dan berdiri di hadapan Patung Utama berusaha mati-matian untuk mengembalikan pikirannya yang suci itu, wajah sang Buddha lalu berubah dan tampak seperti wajah perempuan yang ada di dalam kereta itu. Dunia jagad raya terpenjarakan dalam sebuah lingkaran kecil: di satu titik ada Pendeta Agung dan di depannya ada Selir Agung Kerajaan. Selir Agung Kerajaan dari Kyogoku tidak lama kemudian melupakan sang pendeta tua yang ia lihat menatap dengan seksama kepadanya di tepi danau Shiga. Setelah beberapa waktu berselang, ada rumor yang datang ke telinganya lalu ia teringat tentang kejadian tersebut. Salah satu dari orang desa dengan tidak sengaja melihat Pendeta Agung ini ketika ia berdiri memperhatikan kereta perempuan itu menghilang ke kejauhan. Ia katakan tentang hal ini kepada seorang pejabat Istana yang datang ke Shiga untuk melihat bunga dan menambahkan bahwa sejak saat itu sang pendeta berperilaku seperti orang gila. Selir Kerajaan pura-pura tidak percaya tentang rumor ini. Moral pendeta istimewa ini memang telah diketahui di seluruh Kota, dan kejadian ini pastilah akan menjadi makanan kesombongan perempuan itu. Dan ia sangat letih akan kasih saying yang ia terima dari para lakilaki dunia nyata saat ini. Selir Agung sangat sadar akan kecantikannya sendiri, dan cenderung tertarik pada setiap macam kekuatan, seperti agama, yang menganggap kecantikannya dan derajat tingginya sebagai sesuatu yang tidak berharga. Karena sangat jenuh dengan dunia kenyataan saat ini, lalu ia precaya pada Negeri Suci. Itu tidak dapat disangkal lagi bahwa Buddhisme Jodo, yang menyangkal segala
5

keindahan dan segala kemegahan dunia visual itu semata-mata sebagai kotoran dan sampah belaka, lalu ini menjadi ketertarikannya Selir Kerajaan yang sangat kecewa dengan keanggunan Kehidupan Istana yang dangkal sebuah keanggunan yang tidak diragukan lagi tampaknya sejalan dengan Hukum Saat ini serta kebobrokannya. Di antara mereka yang khususnya tertarik pada rasa kasih sayang, Selir Agung Kerajaan ini secara terhormat dianggap sebagai penjelmaan dari kehalusan Istana. Faktanya adalah ia dikenal sebagai perempuan yang tidak pernah memberikan rasa kasih sayang pada laki-laki, dan ini menambah reputasi baiknya. Walau ia melaksanakan kewajibannya pada Raja secara adat yang sangat sempurna, tidak ada seorang pun yang percaya bahwa ia mencintainya dari dalam lubuk hatinya. Selir Agung Kerajaan bermimpi akan cinta yang terhampar di wilayah ketidak mungkinan. Pendeta Agung Kuil Shigo terkenal karena kebajikannya, dan setiap orang di Ibu Kota tahu bagaimana pendeta tua ini secara total meninggalkan dunia kekinian. Dan yang lebih mencengangkan lagi adalah, rumor itu bahwa ia tersilaukan oleh daya tarik Selir Kerajaan dan demi dia, ia telah mengorbankan dunia masa depan. Melepaskan suka cita Negeri Suci yang sudah dekat dalam genggamannya tidak ada pengorbanan yang lebih besar daripada ini, tidak ada persembahan yang lebih besar . Selir Agung Kerajaan sama sekali tidak perduli pada rayuan manis para jejaka muda yang berkumpul di Istana, tidak juga pada para bangsawan yang mendekatinya. Hal-hal lahiriah para lelaki tidak lagi berarti baginya. Apa yang ia persoalkan adalah untuk mencari seorang laki-laki yang dapat memberinya cinta kasih yang paling dalam dan membara. Dan perempuan yang memiliki cita-cita sedemikian, pastilah benar-benar mahluk yang sangat menakutkan. Jika ia semata-mata seorang pelacur kelas atas, tidak ayal lagi ia akan puas dengan harta duniawi. Selir Agung Kerajaan, namun, sudah puas akan segala kekayaan yang dibeirkan oleh dunia padanya. Laki-laki yang ia tunggu-tunggu itu harus menawarkan padanya kekayaan dari dunia masa depan. Rumor tentang kegil-gilaannya Pendeta Agung tersebar ke seluruh Istana. Akhirnya cerita ini disampaikan kepada Raja itu sendiri secara setangah berkelakar. Selir Agung Kerajaan sama sekali tidak terhibur pada gosip olok-olok ini dan bersikap dingin serta tidak perduli. Sejauh yang ia ketahui, ada dua alasan mengapa orang-orang Istana dapat mengolok-olok secara bebas tentang hal-hal ini yang biasanya tidak diperbolehkan: pertama, dengan merujuk pada cintanya Pendeta Agung itu mereka memberi pujian pada kecantikan seorang wanita yang bahkan dapat mengilhami kebijaksanaan yang bersifat rohani untuk meninggalkan meditasinya; kedua, setiap orang menyadari bahwa cintanya orang tua itu pada bangsawan perempuan tidak mungkin bisa terbalas. Selir Agung Kerajaan dalam pikirannya membayangkan wajah sang pendeta tua yang ia lihat melalui jendela kereta itu. Sama sekali tidak menyerupai wajah laki-laki lain yang pernah mencintainya hingga kini.
6

Aneh sekali bahwa cinta harus muncul dalam hati laki-laki yang sama sekali tidak layak untuk dicinta. Wanita ini teringat akan syair cinta yang sia-sia dan tanpa harapan yang selalu diucapkan secara luas oleh para pecinta syair ketika mereka ingin untuk menggugahkan rasa simpati dalam hati para gundik istana yang tidak punya perasaan itu. Dibandingkan dengan keadaan yang tanpa harapan yang dialami oleh Pendeta Agung, rasa sia-sia di hati kedua pecinta yang anggun ini nyaris menimbulkan rasa dengki, dan syair yang mengindetikan diri mereka itu sekarang baginya hanyalah semata-mata perangkap dari antek-antek keduniwian yang terinspirasikan oleh kesombongan dan sama sekali tanpa memiliki rasa pahitnya penderitaan. Dalam hal ini akan menjadi jelas bagi para pembaca bahwa Selir Agung itu bukanlah penjelmaan, seperti yang dipercaya banyak orang, dari Keanggunan Istana, tetapi seorang yang mendapatkan rangsangan hidup yang sebenarnya karena dicintai seseorang. Walau pun ia berderajat tinggi, tetapi ia adalah seorang perempuan; dan seluruh kekuatan dan kekuasaan di muka dunia ini tampaknya bagi dia adalah sesuatu yang hampa jika itu tanpa pengetahuan akan hal ini. Para lakilaki di sekelilingnya mungkin mendedikasikan diri mereka untuk berjuang mendapatkan kekuasaan politik; tetapi ia bercita-cita untuk menaklukan dunia dengan cara lain, murni dengan cara-cara kewanitaan. Banyak para perempuan yang ia kenal menggundulkan rambutnya dan mengundurkan diri dari dunia. Para perempuan seperti itu baginya adalah menggelikan. Karena, apa pun yang seorang perempuan itu katakana tentang pengunduran diri dari dunia, nyaris tidak mungkin baginya untuk mengorbankan apa-apa miliknya. Pendeta tua di tepi danau dalam tahap tertentu di masa hidupnya pernah melepaskan Dunia Samsara dan segala kenikmatannya. Di mata selir Kerajaan ia adalah laki-laki luar biasa melebihi para bangsawan yang ia kenal di Istana. Dan seperti juga ia yang pernah meninggalkan Dunia Samsara, mereka sekarang atas namanya, ia akan melepaskan dunia masa depannya juga. Selir Kerajaan teringat pada sebuah ide tentang bunga teratai yang sakral, yang karena iman dan keyakinannya itu terpatri dalam-dalam dalam pikirannya. Ia berpikir tentang teratai raksasa, besarnya dua ratus lima puluh yojana. Tumbuhan yang tidak masuk akal ini lebih cocok ke seleranya daripada bunga teratai yang kecil yang mengambang di kolam Ibu Kota. Di malam hari ketika ia mendengarkan angin mendesir melalui pepohonan di taman miliknya, suaranya baginya begitu hambar dibandingkan dengan musik yang lembut di Negeri Suci ketika angin berhembus melalui pepohonan sakral yang keramat. Ketika ia berpikir tentang alat-alat musik yang bergantungan di langit dan bisa bermain sendiri tanpa disentuh, suara harpa yang bergema melalui Istana baginya terdengar bagai sebuah suara imitasi murahan. Pendeta Agung Kuil Shiga sedang berjuang. Dalam pertarungan yang ia canangkan terhadap jasmaninya semasa mudanya, hatinya selalu terangkat oleh harapan untuk mewarisi dunia masa depan. Tetapi

pertarungan yang mati-matian dari seorang tua ini terkait dengan rasa kehilangan yang tidak bisa didapatkan kembali. Kemustahilan untuk mewujudkan cintanya pada Selir Agung Kerajaan baginya itu senyata matahari di langit. Di saat yang sama ia sadar sepenuhnya akan ketidak mungkinannya untuk melanjutkan perjalanannya ke Negeri Suci selama ia tetap menjadi budak cintanya. Pendeta Agung, yang pikirannya hidup secara bebas tanpa ada bandingnya, pernah secara sepintas hidup di tengah-tengah kegelapan dan masa depannya guram tidak kelihatan. Mungkin itu adalah keberaniannya yang telah membantu dirinya meliwati perjuangannya semasa muda dan ini membuatnya lebih percaya diri dan merasa bangga bahwa ia secara suka rela meninggalkan kenikmatan dunia, yang sebenarnya bisa ia dapatkan jika saja ia menginginkannya. Pendeta Agung sekali lagi terbelenggu ketakutan. Sebelum kereta bangsawan itu melintas di tepi Danau Shiga, ia percaya bahwa apa yang ia selalu tunggu-tunggu itu ada di dekat kedua belah tangannya, bukan sesuatu yang luar biasa, hanyalah kemoksaan menuju Nirwana. Tetapi sekarang ia telah tergugahkan di dalam kegelapan dunia saat ini, di mana adalah mustahil untuk melihat apa-apa yang ada dan bersembunyi di depan langkah kakinya. Beberapa bentuk meditasi agama semuanya sia-sia saja. Ia mencoba Samadi Bunga Krisantum, Samadi Segala Aspek, dan Samadi Bagian; tetapi setiap waktu ia mulai untuk berkonsentrasi, wajah cantik Selir itu muncul di hadapan matanya. Samadi Air, pula, tidak berguna, karena lagi-lagi wajah dia yang ayu akan mengambang penuh cahaya di bawah riak air danau. Ini, tidak ayal lagi, adalah akibat yang alami dari ketergilagilaannya pada perempuan ini. Konsentrasi, sang pendeta kemudian sadar, bahwa konsentrasi itu lebih merugikan daripada menguntungkan, tindakan selanjutnya ia mencoba untuk menumpulkan rohaninya dengan cara membuyarkan konsentrasinya. Ini sangat mengagetkan bahwa konsentrasi spiritual bisa mendatangkan efek berlawanan yang mengantarkannya ke ilusi yang lebih dalam lagi, tetapi ia segera sadar bahwa untuk mencoba metode yang berlawanan untuk membuyarkan pikirannya itu berarti bahwa, secara aktual, mengizinkan keberadaan ilusi-ilusi ini. Ketika rohaninya mulai menyerah di bawah beratnya tekanan beban, sang pendeta memutuskan, bahwa daripada mengejarngejar usaha yang tidak ada gunanya, lebih baik untuk melarikan diri dari usaha untuk melarikan diri dengan mengkonsentrasikan pikiran pada sosok Selir Agung Kerajaan secara diniati. Pendeta Agung mendapatkan satu kesenangan baru dalam membayangkan perempuan itu dalam berbagai cara, seolah-olah ia sedang membayangkan patung Buddha dengan mahkota dan kanopi agungnya. Dalam berbuat ini, ia merubah objek cintanya menjadi mahluk yang sangat bergemerlapan, jauh, mahluk yang mustahil dan ini membuatnya senang tidak terkira. Tetapi kenapa? Tentu adalah lebih alami baginya untuk membayangkan Selir Agung Kerajaan sebagai perempuan biasa, dekat, normal serta memiliki kelemahan. Maka ia

dapat mengambil keuntungan darinya, sekurang-kurangnya dalam imajinasinya. Ketika ia berpikir tentang hal ini, kebenaran pun datang kepadanya. Apa yang ia bayangkan tentang Selir Agung Kerajaan, itu bukanlah mahluk lahiriah, bukan pula semata-mata bayangan tetapi sebuah simbul realitas, sebuah simbul dari saripati segala sesuatu. Itu memang aneh, untuk mengejar-ngejar saripati segala sesuatu dalam bentuk seorang perempuan. Namun, alasan itu mudah untuk dimengerti. Bahkan ketika jatuh cinta, Pendeta Agung Shiga tidak pernah melepaskan kebiasaan dalam bersamadi yang ia sendiri telah latih bertahun-tahun lamanya sepanjang hidupnya, berupaya untuk mendekatkan dirinya pada saripati sesuatu dengan jalan pengabstraksian sesuatu secara konstan. Selir Agung Kerajaan Kyogoku sekarang telah menyatu dengan visinya tentang teratai raksasa dua ratus lima puluh yojana besarnya. Ketika ia berbaring di atas air yang disokong oleh semua bunga teratai, ia menjadi lebih besar daripada Gunung Semeru, lebih besar daripada seluruh jagad raya. Lebih besar lagi cinta Pendeta Agung pada sesuatu yang mustahil, lebih dalam lagi penghianatannya pada sang Buddha. Karena kemustahilan cintanya ini telah menjadi kemustahilan untuk mencapai pencerahan. Lebih lagi ia berpikir tentang cintanya itu sia-sia, lebih kuat lagi fantasi yang menyokongnya, dan lebih dalam lagi pikiran yang kotor itu mengakar. Selama ia menganggap cintanya itu tidak masuk akal, maka secara paradoks adalah mungkin baginya untuk mengundurkan diri; tetapi sekarang Selir Agung Kerajaan tumbuh menjadi mahluk yang menakjubkan dan sama sekali tidak dapat dijangkau, cintanya sang pendeta tidak bisa berbuat apa-apa seperti air di danau yang mandeg itu, yang bandel, menutupi permukaan bumi. Namun, ia berharap bahwa ia dapat melihat wajah perempuan itu lagi, tetapi ia takut bahwa bila ia bertemu dengannya, sosok itu, yang sekarang telah menjadi teratai raksasa, akan runtuh tanpa bekas. Jika ini terjadi, ia tidak diragukan lagi akan selamat. Ya, kali ini ia pasti akan mendapatkan pencerahan. Dan kemungkinan ini yang akan terjadi akan membuat hatinya takut dan kagum. Cinta kasih sang pendeta yang kesepian ini mulai menciptakan sesuatu yang aneh, yaitu penipuan diri dan ketika akhirnya ia memutuskan untuk pergi melihat perempuan itu, ia seolah-olah merasa telah sembuh dari sakit yang membakar dirinya. Sang pendeta terpana bahkan menyalah artikan rasa suka cita yang menyertai keputusannya itu dengan rasa lega karena akhirnya ia dapat bebas dari getar-getar cinta. Tidak ada seorang pun di lingkungan sekitar Selir Agung Kerajaan menganggap perilaku pendeta tua itu aneh melihat ia berdiri membisu di sudut taman, bersandar pada tongkatnya dan menatap dengan sedih ke perkampungan sekitar. Para petapa dan para pengemis kerap kali berdiri di luar rumah-rumah besar Ibu Kota menunggu sedekah. Salah seorang perempuan yang hadir di sana menceritakan hal ini pada nyonya rumah. Selir Agung Kerajaan secara sambil lalu melihat sekilas melalui kerei yang
9

memisahkannya. Di sini di bawah redupnya bayangan daun-daun hijau berdiri seorang pendeta yang kurus kering berjubah hitam lusuh dan kepala yang menunduk. Untuk beberapa lamanya perempuan ini melihatnya. Ketika ia sadar, bahwa itu tanpa diragukan lagi adalah sang pendeta, yang ia lihat di danau Shiga, lalu wajahnya yang pucat itu menjadi lebih pucat lagi. Setelah beberapa saat terkesima, ia memerintahkan untuk mengabaikan pendeta yang ada di dalam taman. Para pembantunya mengangguk dan mundur. Sekarang untuk pertama kalinya perempuan ini menjadi tidak berdaya karena gugup. Selama hidupnya ia banyak melihat banyak orang yang telah melepaskan dunia kekinian saat ini, tetapi tidak pernah ia melihat seseorang yang melepaskan akhirat. Pemandangan ini sangat tidak menyenangkan hatinya dan sangat menakutkannya. Segala rasa kenikmatan yang selalu tampil dalam imajinasinya tentang cinta kasih sang pendeta itu musnah seketika. Sebesar apa pun akhirat yang akan dilepaskan oleh sang pendeta untuk dirinya, dunia itu, sekarang ia menyadarinya, tidak akan jatuh ke tangannya. Selir Agung Kerajaan melongok ke pakaiannya, yang anggun dan ketangannya yang elok, lalu ia melihat ke taman ke sebuah sosok yang tidak karuan sang pendeta tua dan ke jubah yang lusuh. Ada rasa saling ketertarikan yang mendalam serta menakutkan yang menciptakan kesaling terkaitan di antara mereka. Alangkah berbedanya semua ini dari impian yang menyenangkan itu. Sekarang Pendeta Agung tampaknya seperti seorang yang tertitahtitih baru keluar dari Neraka jahanam. Tidak ada lagi bekas-bekas tanda kebajikan pada dirinya ia yang meninggalkan gemerlap cahaya Negeri Suci. Cahaya gemerlap yang pernah tinggal di dalam dirinya dan yang telah menggugahkan pikirannya tentang kemegahan Negeri Suci itu telah sirna. Walau pun laki-laki ini memang orang yang pernah berdiri di tepi Danau Shiga, tetapi pada saat yang sama seperti orang yang sama sekali berbeda. Seperti orang-orang lainnya yang ada di Istana, selir Agung Kerajaan cenderung untuk menjaga emosoinya baik-baik, khususnya ketika ia berhadapan dengan sesuatu yang akan sangat mempengaruhhi dirinya. Sekarang ketika melihat kenyataan cintanya Pendeta Agung, ia merasa berkecil hati terhadap mimpinya selama ini tentang pasion yang murni yang akhirnya akan menjadi basi. Ketika sang pendeta akhirnya terpincang-pincang sampai di Ibu Kota bersandar pada tongkatnya, ia nyaris lupa akan rasa letihnya. Dengan secara diam-diam ia masuk ke pelataran rumah Selir Agung Kerajaan di Kyogaku, dan melihat ke dalam taman. Di balik kerei itu, pikirnya, duduklah tidak bukan dan tidak lain perempuan yang ia cintai. Karena rasa cintanya itu telah mencapai puncaknya, maka akhirat sekali lagi mulai merasukan daya pesonanya ke diri Pendeta Agung. Tidak pernah ia membayangkan Negeri Suci sesempurna, senyata ini. Kerinduannya bagi ini nyaris sensual. Tidak ada apa-apa lagi baginya selain untuk menemui Selir Agung, dan menyatakan cintanya, sehingga untuk selamanya akan terjauhi dari pikiran-pikiran sesat yang mengikat
10

dirinya pada dunia ini yang mencegahnya mencapai Negeri Suci. Ini adalah satu-satunya hal yang harus dilakukannya. Begitu sulitnya untuk berdiri di sana menopang badannya yang renta dengan tongkatnya. Sinar cahaya matahari di bulan Mei menyinari melalui dedaunan dan kepalanya yang gundul itu. Lama-kelamaan ia merasa kehilangan kesadarannya dan tannpa tongkatnya pasti ia akan jatuh. Seandainya perempuan itu sadar akan keadaan ini dan mengundangnya kehadapannya, maka ungkapan pernyataan hatinya itu terucapkan sudah! Pendeta Agung menunggu. Ia menunggu dan menyandarkan dirinya yang terus saja menjadi letih, pada tongkatnya. Akhirnya matahari tertutup oleh awan malam. Temaram pun datang, tetapi tetap saja belum ada sepatah kata pun dari Selir Agung. Perempuan itu, tentu saja, tidak tahu bahwa sang pendeta ini sedang melihat melalui dia, jauh melebihi dia, ke dalam Negeri Suci. Kerap kali ia melongok ke luar melalui kerei. Ia sedang berdiri terpaku di sana. Sinar malam menembus ke dalam taman. Tetap saja ia berdiri di sana. Selir Agung Kerajaan menjadi takut. Ia merasa apa yang ia lihat di taman itu adalah sebuah inkarnasi dari khayalan yang sudah mengakar dalam yang ia baca dalam kitab-kitab Sutra. Ia tercekam oleh rasa takut akan terseret ke Neraka. Karena ia telah menyesatkan seorang pendeta yang memiliki kebajikan yang tinggi, lalu itu bukanlah Negeri Suci yang ia dapat lihat, tetapi Neraka itu sendiri, yang keseramannya ia dan lingkungan nyalah yang tahu secara persis. Cinta suci yang ia impiimpikan telah hancur sudah. Untuk dicintai ini sendiri merupakan kutukan baginya. Di mana Pendeta Agung melihat jauh melebihi dia ke Negeri Suci, dia sekarang melihat jauh melebihi sang pendeta ke alam Neraka yang sangat menakutkan. Namun perempuan bangsawan yang sombong dari Kyogoku ini terlalu angkuh untuk menyerah begitu saja pada rasa takutnya tanpa perlawanan, dan ia sekarang memanggil segala macam unsur-unsur kebengisan yang ada dalam dirinya. Pendeta Agung, katanya pada dirinya sendiri, tidak lama lagi pasti akan jatuh. Ia melihat melalui kerei, berpikir bahwa sudah tiba saatnya ia terbaring di tanah. Dengan rasa marah, sosok yang membisu itu berdiri tanpa gerak. Malam tiba dan di sinar rembulan sosok pendeta itu menyerupai segundukan tulang-belulang putih. Perempuan itu tidak dapat tidur karena takut. Ia tidak lagi dapat melihat melalui kerei dan ia membalikan badannya. Namun setiap saat ia merasakan tatapan tajam Pendeta Agung dari balik tubuhnya. Ini, ia tahu, bukanlah cinta yang biasa. Dari rasa takutnya untuk dicintai, dari rasa takutnya untuk jatuh ke Neraka, Selir Agung Kerajaan berdoa dengan khusyuk bagi Negeri Suci. Itu adalah untuk Negeri Suci pribadi, doanya itu Negeri Suci yang ia coba untuk pelihara tidak dapat dipadamkan dalam hatinya. Itu adalah Negeri Suci yang berbeda dari Negeri Sucinya sang pendeta dan tidak ada hubungannya dengan cintanya. Dia merasa yakin bahwa jika ia harus menyebutkan padanya itu akan hancur luluh seketika.

11

Cintanya sang pendeta, ia berkata pada dirinya, tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Itu adalah cinta sepihak, di mana perasaannya tidak turut ambil bagian, dan tidak ada alasan mengapa dia tidak layak untuk dapat diterima di Negeri Suci. Bahkan jika Pendeta Agung itu akan jatuh dan mati, ia akan tetap tanpa cedera. Namun, ketika malam tiba dan udara menjadi dingin, kepercayaan dirinya mulai menjauhi dirinya. Pendeta itu tetap berdiri di taman. Ketika bulan tersembunyi tertutup awan ia tampaknya seperti sebatang pohon tua yang aneh yang berbonggol-bonggol. Sosok bentuk di luar itu tidak ada hubungannya dengan saya, pikir perempuan itu, yang nyaris dekat dengannya, dengan sedih, dan katakatanya itu seolah-olah mendentum menggelegar dalam dirinya. Mengapa oh Tuhan semua ini harus terjadi? Di saat itu, anehnya, Selir Agung Kerajaan sama sekali lupa akan kecantikan dirinya sendiri. Atau mungkin, lebih tepatnya dapat dikatakan bahwa ia melihat dirinya untuk melupakan kecantikannya. Akhirnya, bayang-bayang warna putih pucat mulai menembus langit gelap dan sosok pendeta pun muncul di ambang fajar. Ia masih tetap berdiri. Selir Agung Kerajaan sudah dikalahkan. Ia memanggil seorang pembantunya dan memerintahkan untuk mengundang sang pendeta untuk masuk dari taman dan untuk berlutut di luar kerei. Pendeta Agung nyaris di ambang lupa ketika jasmaninya di ambang kemusnahan. Ia tidak tahu apakah itu untuk Selir Agung yang ia tunggutunggu atau untuk akhirat. Walau pun ia melihat sosok pembantu. Dia mendekatinya dari rumah itu ke dalam taman yang temaram, tidak ia sangka bahwa apa yang ia sedang tunggu-tungu itu akhirnya datang juga. Si pembantu itu menyampaikan pesan nyonyanya. Ketika ia sudah selsai, sang pendeta meneriakan satu teriakan menakutkan, nyaris teriakan yang luar biasa bukan seperti teriakan manusia. Si pembantu mencoba untuk menuntun tangannya, tetapi ia menolaknya dan berjalan sendiri menuju ke dalam rumah, dengan cepat dan langkah yang gagah sangat menakjubkan. Sangat gelap di sisi sebelah kerei dan dari luar adalah mustahil untuk melihat sosok perempuan itu. Pendeta berlutut dan menutupi wajahnya dengan tangannya, ia menangis. Untuk beberapa lamanya ia tetap di sana tanpa sepatah kata pun dan badannya gemetaran kejangkejang. Lalu di kegelapan fajar sebuah tangan putih dengan lembutnya muncul dari balik kerei yang sudah diturunkan. Pendeta Kuil Shiga menarik tangan itu ke atas tangannya dan menempelkannya ke kening dan pipinya. Selir Agung Kerajaan dari Kyugaku merasakan tangan yang dingin lagi janggal menyentuh tangannya. Pada saat yang sama ia sadar akan kelembaban yang hangat tangan itu. Tangan yang terembuni oleh tetesan air mata seseorang. Namun, ketika sorotan sinar matahari yang lembut mulai mendekatinya melalui kerei itu, rasa keimanan yang kuat perempuan ini mengilhaminya dengan sebuah inspirasi yang menyenangkan: ia menjadi yakin bahwa tangan yang tidak diketahui,

12

yang menyentuh tangannya itu dimiliki oleh tidak lain daripada sang Buddha. Lalu sebuah visi baru muncul dalam hati perempuan ini: bumi jambrud Negeri Suci, jutaan menara tujuh permata, malaikat-malaikat yang bermain musik, kolam emas di lingkari pasir dari perak, teratai yang anggun, dan suara-suara merdu Kalavinka semua ini muncul dengan segarnya. Jika ini adalah Negeri Suci yang akan ia warisi - yang sekarang ia yakin akan itu - mengapa ia tidak menerima cintanya Pendeta Agung? Ia menunggu laki-laki yang memiliki tangan Buddha untuk memintanya membuka kerei yang memisahkan antara ia dan laki-laki itu. Pada umumnya ia akan memintanya; lalu ia akan membuka segala rintangan dan badannya yang indah yang tidak ada taranya itu akan muncul di hadapannya persis seperti yang ia lihat di tepi danau di Shiga, dan ia akan mengundangnya masuk. Selir Agung menunggu. Tetapi pendeta Shiga tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia tidak memintanya apa-apa. Setelah beberapa lama pegangan tangannya mengendurkan genggamannya dan tangan seputih salju perempuan itu di tinggal sendiri di sinar fajar pagi. Sang pendeta pergi. Hati Selir Agung Kerajaan menjadi dingin. Beberapa hari kemudian ada rumor di Istana bahwa ruh Pendeta Agung telah mendapat kemoksaan di dalam kamar selnya di Shiga. Mendengar berita ini perempuan darin Kyogaku mulai menyalin kitab Sutra, lembar gulungan demi gulungan dengan tulisan tangan nan indah.

Tamat

13

Anda mungkin juga menyukai