Jawab:
Pertama, jika utang itu dibayarkan sebelum yang bersangkutan bayar zakat, sehingga total hartanya menjadi di
bawah nishab atau bahkan habis, maka dia tidak berkewajiban bayar zakat. Karena dia tidak lagi tergolong orang
yang wajib zakat, disebabkan hartanya kurang dari nishab.
Kedua, jika utang itu belum dibayarkan, dalam arti masih dia tahan karena jatuh tempo masih jauh, apakah nilai
utang ini bisa mengurangi harta yang wajib dizakati zakat?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.
Namun sebelumnya untuk bisa memahami istilah harta dzahir dan harta bathin, kami sarankan agar anda
membaca artikel kami di web pengusahamuslim.com berikut: Pembagian Harta Zakat, Harta Dzahir dan Harta
Bathin
Selanjutnya, kita akan melihat perbedaan pendapat ulama, apakah utang bisa mengurangi harta yang dizakati
ataukah tidak?
Pendapat pertama, Utang mengurangi harta yang dizakati secara mutlak, baik untuk harta
bathin, seperti emas, perak, tabungan, atau uang, maupun untuk harta dzahir, seperti binatang ternak atau hasil
pertanian. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat.
Sehingga, dari kasus pertanyaan di atas, jika si A memiliki uang 100jt, namun dia memiliki utang 70jt, maka si A
tidak wajib zakat, karena total hartanya setelah dikurangi nilai utang, di bawah satu nishab. Meskipun utang itu
belum dia bayarkan, ketika si A menyerahkan zakat.
Pendapat kedua, Utang mengurangi harta yang dizakati untuk harta bathin, namun tidak mengurangi untuk harta
dzahir. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad juga dalam salah satu riwayat yang lain. (al-Mughni, 4/263-266).
Pendapat ketiga, Utang tidak mengurangi harta yang dizakati, baik untuk harta bathin, maupun harta dzahir.
Selama harta itu sudah di atas nishab dan bertahan selama setahun, tetap wajib dizakati, meskipun nilai
utangnya menghabiskan semua harta. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, diantaranya: Rabi’ah ar-Ra’yi (guru
Imam Malik), Hammad bin Abi Sulaiman, Imam as-Syafi’i dalam qoul jadid (pendapat baru) dan pendapat Ahmad
dalam riwayat yang lain. (al-Mughni, 4/263 – 265).
Tidak ada zakat untuk harta milik orang yang memiliki utang yang nilainya mengurangi nishab. Inilah pendapat
madzhab hambali, kecuali komoditas tertentu. Dan ini pendapat mayoritas hambali. Dan dari Imam Ahmad –
dalam salah satu riwayat – utang itu tidak menghalangi zakat secara mutlak. (al-Inshaf, 3/20)
Dan pendapat yang paling mendekati adalah pendapat ketiga, bahwa utang tidak menjadi penghalang zakat,
selama utang itu masih ditahan. Ketika Khalifah Utsman hendak menarik zakat di bulan tertentu, beliau
mengingatkan,
Ini adalah bulan zakat kalian. Siapa yang memiliki utang, hendaknya segera dia lunasi utangnya, sehingga
ketahuan berapa sisa hartanya. Lalu tunaikan zakat untuk harta sisanya. (HR. Malik dalam al-Muwatha’, 322).
A. Jika utang itu belum dibayarkan, maka dihitung sebagai harta yang wajib dizakati.
B. Jika utang itu dibayar dan masih ada sisa yang melebihi satu nishab, maka harta sisa ini yang dizakati.
C. Jika utang itu dibayar dan tidak ada sisa yang melebihi satu nishab, maka tidak ada kewajiban zakat.
Contoh yang paling banyak terjadi di zaman kita adalah kasus KPR. Ada orang memiliki tanggungan KPR 200jt,
dan memiliki uang tunai + tabungan totalnya 100jt.
Jika melihat total tabungannya (Rp 100jt), dia wajib zakat. Dan jika dipotong tanggungan KPR, minus 100jt.
Namun mengingat tanggungan KPR ini tidak segera ditutupi, maka tidak diperhitungkan. Sehingga orang ini tetap
berkewajiban zakat sebesar 2,5% x 100jt = 2,5 juta.
Demikian, Allahu a’lam.
REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID
NETWORK
KONFIRMASI DONASI hubungi: 087-738-394-989
Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Alumni Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif
sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di
beberapa masjid di sekitar kampus UGM.