Anda di halaman 1dari 50

OSTEOMYELITIS

Disusun Oleh:

dr. Surya Mitrasari


dr. Ade Juliastri
dr. Stefanus Agustinus
dr. Afif Naufal
dr. M. Fakhri Altyan

Pendamping:

dr. David Hariyadi, Sp. OT

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PRABUMULIH

2019
KATA PENGANTAR

Salam sejahtera,
Segala puji bagi Allah SWT karena atas rahmat-Nya lah laporan kasus yang
berjudul “Osteomyelitis” ini dapat diselesaikan dengan baik.
Melalui tulisan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada
dr. David Hariyadi, Sp. OT sebagai pembimbing, dan rekan-rekan seperjuangan yang
turut meluangkan banyak waktu dalam membantu proses penyelesaian laporan kasus ini.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan, baik dari isi maupun teknik penulisan. Sehingga apabila ada kritik dan saran
dari semua pihak maupun pembaca untuk kesempurnaan laporan kasus ini, penulis
mengucapkan banyak terima kasih.

Prabumulih, Oktober 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... i


KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 4
BAB II. LAPORAN KASUS ..................................................................................... 5
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 15
BAB IV. ANALISIS KASUS ................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 33

3
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit tidak menular menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar
di Indonesia pada saat ini. Hal ini ditandai dengan adanya pergeseran pola penyakit secara
epidemiologi dari penyakit menular yang cenderung menurun ke penyakit tidak menular
yang secara global meningkat di dunia. Secara nasional telah menduduki sepuluh besar
penyakit penyebab kematian. Kasus terbanyak diantaranya adalah diabetes melitus dan
penyakit metabolik. Salah satu komplikasi yang semakin meningkat adalah ulserasi yang
mengenai tungkai bawah, dengan atau tanpa infeksi yang menyebabkan kerusakan
jaringan dibawahnya yang disebut dengan kaki diabetes. Manifestasi kaki diabetes dapat
berupa dermopati, selulitis ulkus, gangren dan osteomyelitis.
Menurut data World Health Organization bahwa pada tahun 2012 terdapat 1,5 juta
kematian penduduk yang disebabkan diabetes dengan ulkus kaki diabetes adalah 8,7 %.
Penelitian di RSUD dr. Haryoto Lumajang mendapatkan sekitar 52 orang pasien dirawat
dengan ulkus diabetes selama 3 bulan pengamatan yaitu dari bulan Oktober hingga
Desember 2018.
Di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, masalah kaki diabetik masih merupakan
masalah besar. Sebagian besar perawatan penyandang DM selalu menyangkut kaki
diabetik. Angka kematian dan angka amputasi masih sangat besar, masing-masing 16%
dan 25% (data RSUPNCM tahun 2003). Nasib para penyandang DM pasca amputasi pun
masih sangat buruk. Sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun pasca amputasi, dan
sebanyak 37% akan meninggal 3 tahun pasca amputasi.3
Osteomielitis adalah suatu proses inflamasi akut ataupun kronis dari tulang dan
struktur-struktur disekitarnya akibat infeksi dari kuman-kuman piogenik.10 Osteomielitis
sering ditemukan pada usia dekade I-II; tetapi dapat pula ditemukan pada bayi dan ‘infant’.
Anak laki-laki lebih sering dibanding anak perempuan (4:1). Lokasi yang tersering ialah
14 15
tulang-tulang panjang seperti femur, tibia, radius, humerus, ulna, dan fibula.
Osteomielitis akut di Amerika Serikat mempengaruhi 0,1-1,8% populasi orang dewasa
sehat. Di negara berkembang masih menjadi masalah dalam bidang ortopedi. Sekitar 50 %
kasus osteomielitis terjadi pada lima tahun pertama kehidupan. Penyebab osteomielitis

4
pada anak-anak adalah kuman Staphylococcus aureus (89-90%), Streptococcus (4-7%),
Haemophilus influenza (2-4%), Salmonella typhii dan Eschericia coli (1-2%).14 15

5
BAB II
STATUS PASIEN

1. IDENTIFIKASI
Identitas Pasien
 Nama : M Fahri
 Umur : 55 tahun
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Bangsa : Indonesia
 Alamat : Jl. Dahlia RT 1, Sukajadi, Prabumulih
 Agama : Islam
 No RM : 13-30-72
 MRS Tanggal : 17 September 2019

2. ANAMNESIS (Subjektif/S)
Tanggal : 17 September 2019, Autoanamnesis
Keluhan Utama : Nyeri di jari jempol kaki kiri
Keluhan tambahan : Luka dan bau busuk di dekat jari jempol kiri

Riwayat Perjalanan Penyakit


±1 bulan SMRS, os mengeluh terdapat luka pada kaki kiri yang tidak
sembuh. Luka awalnya berupa lecet yang dikarenakan penggunaan alas kaki yang
sempit. Luka semakin lama semakin meluas, disertai nampak luka lecet lambat laun
menjadi kehitaman dan menimbulkan bau yang tidak nyaman disertai dengan rasa
baal pada daerah tesebut. Sebelumnya pasien hanya merawat lukanya dirumah,
dibantu oleh anaknya yang merupakan tenaga kesehatan, dengan salep yang dibeli
diapotik. Namun luka masih bau dan tidak kering-kering. Riwayat nyeri-nyeri
disertai bengkak dan kemerahan pada jempol kiri (+). Sekarang jari terasa bengkak
dan sulit digerakkan. Akhirnya os datang ke Poli Orthopedi RSUD Prabumulih
karena kondisi kakinya.
Riwayat Penyakit Dahulu

6
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal.

Riwayat Diabetes Melitus ada sejak 2 tahun sebelum masuk rumah sakit, OS
mengonsumsi Glimepirid 1x2 mg, Metfomin 3x500 mg.

Riwayat Dalam Keluarga


Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal

3. PEMERIKSAAN FISIK ( Objektif / O)

Keadaan Umum: Sakit Sedang/ Gizi Cukup/ Compos Mentis


Tekanan Darah: 140/70 mmHg Nadi : 80 kali/ menit
Pernapasan : 20 kali/ menit Suhu :37.9°C
Tinggi Badan : 170 cm IMT :30,4kg/m2
Berat Badan : 88 kg Status Gizi: Obese 1

Kepala:

Deformitas : Tidak ada

Simetris muka : Simetris kiri sama dengan kanan

Rambut : Hitam, sukar dicabut

Ukuran : Normocephal

Bentuk : Mesocephal

Mata:

Eksoftalmus : Tidak ada

Konjungtiva : Anemis (-)

Kornea : Jernih, Refleks kornea (+)

Enoptalmus : Tidak ada

7
Sklera : Ikterus (-)

Pupil : Isokor 2.5 mm/2.5 mm

Gerakan : Normal, ke segala arah

Kelopak mata : Ptosis (-), edema (-)

Telinga:

Pendengaran : Dalam batas normal

Otorrhea : Tidak ada

Nyeri tekan di processus mastoideus : (-)

Hidung:

Epistaksis : Tidak ada

Rhinorrhea : Tidak ada

Mulut:

Bibir : Kering (-) Lidah : Kotor (-)

Tonsil : T1-T1 Tidak Hiperemis Faring : Tidak Hiperemis

Leher:

KGB : Tidak ada pembesaran JVP : R+1 cmH2O

Kelenjar Gondok: Tidak ada pembesaran Kaku kuduk : Tidak Ada

Dada:

Bentuk : Simetris kiri sama dengan kanan

Sela iga : Simetris kiri sama dengan kanan

Pulmo:

Inspeksi : Pergerakan simetris kiri sama dengan kanan

8
Palpasi : Vocal Fremitus kiri sama dengan kanan

Nyeri tekan tidak ada

Perkusis : Paru kiri : sonor

Paru kanan : sonor

Batas paru hepar ICS VI dekstra

Batas paru belakang kanan ICS IX

Batas paru belakang kiri ICS X

Auskultasi : Bunyi Pernapasan : Vesikuler

Bunyi Tambahan : Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

Jantung:

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Thrill tidak teraba

Perkusi : Batas atas ICS III sinistra

Batas kanan linea parasternalis dekstra

Batas kiri linea midclavicularis sinistra

Aukultasi : BJ I/II murni reguler

Bising jantung (-)

Abdomen:

Inspeksi : Cembung, ikut gerak napas

Palpasi : Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba, Ginjal Ballotement (-)

Perkusi : Timpani (+)

Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

9
Alat Kelamin :

Tidak ada kelainan

Punggung :

Inspeksi : simetris kiri sama dengan kanan

Palpasi : massa tumor (-), vocal fremitus kiri sama dengan kanan

Nyeri ketok : tidak ada

Auskultasi : sonor

Gerakan : simetris kiri sama dengan kanan

Ekstremitas:

Status lokalis Regio Pedis sinistra :

Tampak ulkus di dekat pangkal jempol kaki kiri, jaringan nekrotik (+) di sekitar ulkus,
pus (+), perdarahan (-), edema (+), kemerahan (+) bau (+). Arteri dorsalis pedis teraba
lemah. Jempol tampak bengkak.

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium (Tanggal 17 September 2019)
Pemeriksaan Hasil Nilai normal

Hb 10.0 g/dl 14 – 16 g/dl

Eritrosit 4,1 juta 3,8-5,2 x 106 mm3

WBC 13.800/ mm3 5000 – 10.000/ mm3

Trombosit 528.000/ mm3 150 – 400 x 103/ mm3

Ht 32.4% 40 – 48 %

Diff Count 1/1/71/19/9 0–1%

2–4%

50 – 70 %

20 – 40 %

2–8%

10
LED 125 <20 mm/jam

Elektrolit

Natrium 135 135-148 g/dl

Kalium 4.5 3,5-5,3 mg/dl

Glukosa Darah 207 < 200


Sewaktu

Pemeriksaan Hasil Nilai normal

Ureum 18 10-50

Creatinin 0,8 0,5-1,2

Trigliserida 171 <200 mg/dl

Kolesterol HDL 17 > 50 mg/dl

Kolesterol LDL 139 < 130 mg/dl

5. DIAGNOSIS BANDING
Osteomyelitis + Gangren diabetic foot + DM tipe 2
Osteoarthritis+ Gangren diabetic foot + DM tipe 2
Rheumatoid Arthristis + Gangren diabetic foot + DM tipe 2

6. DIAGNOSIS KERJA
Osteomyelitis + Gangren diabetic foot + DM tipe 2

7. TATALAKSANA (Planning / P)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kultur jaringan
Rontgen regio pedis sinistra

TERAPI
FARMAKOLOGIS
1. IVFD RL gtt 20x/menit makro

11
2. Inj. Anbacim 3x1 gram, IV
3. Inj Ketorolac 3 x 30 mg
4. Glimepirid 1x2 mg
5. Metformin 3x 500 mg

NONFARMAKOLOGIS

1. Debridement

9. MONITORING
Tanda Vital, Gula darah

10. PROGNOSIS
1. Quo ad vitam : dubia
2. Quo ad functionam : dubia
3. Quo ad sanationam : dubia

FOLLOW UP (Subjektif/Objektif/Assestment/Planning)
Tanggal CATATAN KEMAJUAN (S/O/A) RENCANA TATALAKSANA PARAFS
UPERVI
Jam SOR

18 Sept S : Nyeri pada luka di jempol kaki P:


kiri.
2019 1. IVFD RL gtt 20 x/m, makro
2. Inj. Anbacim 3x1gr i.v
3. Inj. Ketorolac 3 x 30mgi.v
O: KU : Tampak sakit sedang, Nadi 4. Glimepiride 1x 2 mg, tab, PO
100x/m, RR 20 x/m, T 36,50 C, TD: 5. Metformin 3x500 mg, tab, PO
130/80 mmHg,

R/ Persiapan Operasi

Keadaan Spesifik : Konsul dokter Sp.Anastesi

Kepala:

Normocepali, konjungtiva anemis (-


), sklera ikterik (-), reflek cahaya
+/+, Oedema palpebra: +/+.

12
Leher: JVP (5-2) cmH2O,
pembesaram KGB (-).

Thorax : simetris, retraksi


intercostal (-).

Cor: Bj I-II normal, murmur (-),


gallop (-).

Pulmo: vesikuler +/+ normal,


rhonki (-), wheezing (-).

Abdomen : datar, lemas, bising


usus (+) normal.

Extremitas: akral hangat, CRT <3”

Status lokalis : Tampak ulkus di


dekat pangkal jempol kaki kiri,
jaringan nekrotik (+) di sekitar
ulkus, pus (+), perdarahan (-),
edema (+), kemerahan (+) bau (+).
Arteri dorsalis pedis teraba lemah.
Jempol tampak bengkak.

A: Osteomyelitis + Gangren
diabetic foot + DM tipe 2

19 Sept S : Nyeri pada luka operasi P:

2019 1. IVFD RL gtt 20 x/m, makro

O: KU : Tampak sakit sedang, Nadi 2. Inj. Anbacim 3x1 gr i.v


100x/m, RR 20 x/m, T 36,50 C, TD: 3. Inj. Ketorolac 3 x 30 mg i.v
120/80 mmHg,. 4. Glimepiride 1x 2 mg, tab, PO
5. Metformin 3x500 mg, tab, PO

Keadaan Spesifik :

Kepala:

Normocepali, konjungtiva anemis (-


), sklera ikterik (-), reflek cahaya
+/+, Oedema palpebra: +/+.

Leher: JVP (5-2) cmH2O,


pembesaram KGB (-).

Thorax : simetris, retraksi


intercostal (-).

13
Cor: Bj I-II normal, murmur (-),
gallop (-).

Pulmo: vesikuler +/+ normal,


rhonki (-), wheezing (-).

Abdomen : datar, lemas, bising


usus (+) normal.

Extremitas: akral hangat, CRT <3”

Status lokalis : Tampak luka


operasi terbungkus kasa sterile, bau
(-), basah (-).

A: Osteomyelitis + Gangren
diabetic foot + DM tipe 2

20 Sept S : Nyeri (berkurang) pada luka P:


operasi
2019 1. IVFD RL gtt 20 x/m, makro

2.Inj. Anbacim 3x1 gr i.v


O: KU : Tampak sakit sedang, Nadi
100x/m, RR 20 x/m, T 36,50 C, TD: 3.Inj. Ketorolac 3 x 30 mg i.v
120/80 mmHg,. 4.Glimepiride 1x 2 mg, tab, PO

5. Metformin 3x500 mg, tab, PO


Keadaan Spesifik :

Kepala: OS boleh pulang, kontrol ke Poli


Normocepali, konjungtiva anemis (- Orthopedi RSUD Prabumulih
), sklera ikterik (-), reflek cahaya
+/+, Oedema palpebra: +/+.

Leher: JVP (5-2) cmH2O,


pembesaram KGB (-).

Thorax : simetris, retraksi


intercostal (-).

Cor: Bj I-II normal, murmur (-),


gallop (-).

Pulmo: vesikuler +/+ normal,


rhonki (-), wheezing (-).

Abdomen : datar, lemas, bising


usus (+) normal.

14
Extremitas: akral hangat, CRT <3”

Status lokalis : Tampak luka


operasi terbungkus kasa sterile, bau
(-), basah (-).

A: Osteomyelitis + Gangren
diabetic foot + DM tipe 2

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Gangren Pedis


3.1.1 Definisi

Gangren memiliki arti sebagai kematian jaringan, didalam massa yang besar
umumnya diikuti dengan kehilangan suplai vaskular (nutrisi) dan diikuti invasi bakteri
dan pembusukan. Sedangkan Gangrene Diabetikum memiliki arti gangrene basah yang
terjadi pada orang dengan diabetes.1

Gangrene Diabetikum adalah luka kehitaman karena sebagian jaringan mati dan
berbau busuk. Gangrene diabetikum merupakan suatu bentuk kematian jaringan pada
penderita diabetes mellitus oleh karena berkurangnya atau terhentinya aliran darah
kejaringan tersebut.2

3.1.2 Epidemiologi

Kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling ditakuti.
Hasil pengelolaan kaki diabetik sering mengecewakan, baik bagi dokter pengelola
maupun penyandang DM dan keluarganya. Seringkali kaki diabetik berakhir dengan
kecacatan dan kematian. Sampai saat ini, di Indonesia kaki diabetik masih merupakan
masalah yang rumit dan tidak terkelola dengan maksimal, karena selain kurangnya
minat untuk mendalami masalah kaki diabetik, ketidaktahuan masyarakat mengenai
kaki diabetik juga masih sangat menyolok. Sebagai tambahan, masalah biaya
pengobatan yang besar yang tidak terjangkau oleh masyarakat pada umumnya juga
menambah peliknya masalah kaki diabetik.2 3

Di negara maju kaki diabetic memang juga masih merupakan masalah


kesehatan masyarakat yang besar, tetapi dengan kemajuan cara pengolahan dan adanya
klinik kaki diabetic yang aktif mengelola sejak pencegahan primer, nasib penyandang
kaki diabetic menjadi lebih cerah. Angka kematian dan angka amputasi dapat di tekan

16
sampai sangat rendah, menurun sebanyak 49-85% dari sebelumnya.Tahun 2005
International Diabetes Federation mengambil tema Tahun Kaki Diabetes mengingat
pentingnya pengelolaan kaki diabetik untuk dikembangkan.2 3

Di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, masalah kaki diabetik masih


merupakan masalah besar. Sebagian besar perawatan penyandang DM selalu
menyangkut kaki diabetik. Angka kematian dan angka amputasi masih sangat besar,
masing-masing 16% dan 25% (data RSUPNCM tahun 2003). Nasib para penyandang
DM pasca amputasi pun masih sangat buruk. Sebanyak 14,3% akan meninggal dalam
setahun pasca amputasi, dan sebanyak 37% akan meninggal 3 tahun pasca amputasi.3

3.1.3 Etiologi

Gangren merupakan suatu komplikasi kronik diabetes yang paling ditakuti.


Hasil pengolahan dari gangrene sering mengecewakan baik bagi dokter pengolah
maupun penyandang diabetes dan keluarga. Seringnya gangrene diabetikum ini
berakhir dengan kecacatan dan kadang sampai terjadi kematian. 4

Infeksi sering menjadi penyulit dari gangrene. Gangrene ini merupakan


penyebab masuknya bakteri dan sering polimikrobial yang menyebar dangan cepat
dan dapat menyebabkan kerusakan berat dari jaringan. Kerusakan ini menjadi alasan
utama untuk melakukan tindakan amputasi. 5

Pada suatu keadaan infeksi gangrene biasanya disebabkan oleh suatu organisme
dari sekitar kulit yang pada umumnya adalah Staphylococcus aureus atau
Streptococcus. Jika drainase tidak adekuat maka perkembangan sellulitis dapat
mengakibatkan sepsis yang menginfeksi tendon, tulang dan sendi dibawahnya.
Terkadang Staphylococcus aureus dan Streptococcus dijumpai bersamaan serta
bergabung mengakibatkan sellulitis yang luas dan cepat. 5

Streptococcus mensekresi hialuronidase yang dapat mempercepat penyebaran


distribusi necrotizing toxin dari staphylococcus. Enzim dari bakteri ini juga
angiotoksik dan dapat menyebabkan terjadinya in situ trombosis dari pembuluh darah.

17
Jika pembuluh darah mengalami trombosis yang kemudian akan menjadi nekrotik dan
gangren, keadaan ini mungkin akan menjadi dasar yang disebut dengan gangren
diabetikum.6

Ulkus menjadi pintu gerbang masuknya bakteri dan sering polimikrobial yang
meliputi bakteri gram positif ataupun gram negatif. Kuman Gram negatif aerob sama
seperti kuman anaerob pada umumnya tumbuh dengan subur pada daerah yang
terinfeksi. Kuman aerob ini akan cepat menginfeksi aliran darah dan terkadang dapat
mengakibatkan bakteriemia yang dapat mengancam kehidupan. Dengan mengetahui
faktor yang dominan dapat diusahakan memperbaiki hasil dari pengobatan maupun
mencegah terjadinya ulkus atau gangrene. 7

Faktor-faktor tersebut merupakan faktor/komponen yang saling berkaitan dan


saling menunjang walaupun tampaknya jika dilihat secara individu tidak cukup
berpengaruh untuk dapat menimbulkan ulkus atau gangrene.7

Infeksi bakteri anaerob umumnya dihubungkan dengan adanya nekrosis jaringan


dan osteomyelitis. Jika pembuluh darah kaki mengalami trombosis yang kemudian
menjadi nekrotik dan gangren ini menjadi dasar terjadinya gangren diabetikum.7 8

Berbagai kuman yang sering menjadi penyebab terjadinya infeksi pada gangren
diabetik adalah gabungan antara bakteri gram positip dan gram negatip. Leicter dkk
pada tahun 1988 melaporkan penyebab kuman gangren diabetik 72% adalah gram
positif (Staphylococcus aureus 45%, Streptococcus sp. 27%) dan 49% adalah
disebabkan oleh bakteri gram negatif (Proteus sp 23%, Pseudomonas sp. 26%). 9 10

Manchester,United Kingdom, pada tahun 1999 menjumpai 56,7% infeksi


gangren diabetik disebabkan oleh kuman gram positif aerob (Staphylococcus sp.
30,4%, Streptococcus sp. 23,65%), kuman gram negatif aerob 29,8% (Pseudomonas
sp. 20,8%, Proteus sp. 9%) dan 13,5% disebabkan oleh kuman anaerob (Bakterioides
fragilis).11

3.1.4 Patofisiologi

Diabetes mellitus (DM) menyebabkan atherosklerosis dan neuropati, dimana

18
keduanya akan menyebabkan risiko pembentukan ulkus pada ekstremitas meningkat.
Ulkus ini rentan terinfeksi bakteri, misalnya Clostridium, sehingga akan menyebabkan
produksi toksin dan gas gangren yang menyebabkan berbagai dampak merugikan bagi
tubuh.3 6 9

Atherosklerosis pada DM disebabkan oleh adanya penebalan membran basalis


kapiler, hyanolisis arteriolar, dan proliferasi endotelial. Pada populasi penderita DM
ditemukan peningkatan kalsifikasi dan penebalan arteri media. Arteri yang bisa
mengalami sklerosis antara lain A. aortoiliac, A. femoropopliteal, dan A.infrapopliteal.
Sklerosis ini sangat terkait dengan tingginya kadar high low-density lipoprotein (LDL)
dan very-low-density lipoprotein (VLDL) pada penderita DM yang turut disertai
dengan peningkatan faktor von Willebrand plasma dan fibrinogen plasma, inhibisi
sintesis prostasiklin, dan peningkatan adhesifisitas platelet.3 6 9

Adanya penyakit vaskular ini sedikit banyak mempengaruhi pembentukan


edema truncus nervus yang terkait juga dengan adanya hiperosmolaritas kronis
(Tomic-Canic et al., 2004). Hilangnya sensasi atau kemampuan untuk merasakan
rangsang pada ekstremitas inferior (misalnya kaki) akan menyebabkan fraktur dan
cedera yang tidak terdeteksi. Hal ini didukung dengan adanya suplai arteri yang
menurun (akibat atherosklerosis) akan menyebabkan bengkak dan ulserasi yang
sangat rentan terhadap infeksi bakteri (Rowe et al., 2012). Selain itu, suplai arteri
yang menurun juga menyebabkan berkurangnya oksigen, nutrien, dan mediator yang
dibutuhkan untuk perbaikan luka. Hal ini menyebabkan luka lebih lama terpapar
bakteri maupun virus. Aliran darah yang inadekuat juga menyebabkan sulitnya sistem
imun untuk mempertahankan tubuh. 10

Bakteri Clostridium merupakan bakteri gram positif anaerobik, memproduksi


spora, dan normalnya ditemukan di tanah serta tractus gastrointestinalis (GIT)
manusia dan hewan (Folstad, 2004). Gas gangrene 80-95% disebabkan oleh
Clostridium perfingens pada luka, dimana terjadi penurunan suplai darah yang
membuat lingkungan menjadi anaerobik dan sesuai untuk sang bakteri .4 7

19
Selain itu gas gangren dapat disebabkan oleh Clostridium septicum dari GIT
pada pasien Ca Colon. Organisme akan menembus kapiler dan menginfeksi jaringan
otot walaupun lingkungannya tidak anaerobik (Headley, 2003). Bakteri ini
memproduksi toksin protein ekstraseluler seperti alpha toxin (a phospholipase C) dan
theta-toxin (a thiol-activated cytolysin) yang akan menghidrolisis membran sel,
menyebabkan thrombosis microvascular et causa koagulasi abnormal, dan efek
kardiodepresif 5 8

Beberapa bakteri lain yang dapat menginfeksi ulkus pada penderita DM adalah
Enterococcus faecalis, S aureus, S epidermidis, dan kelompok B streptococci sebagai
bakteri gram positif. Kemudian ada bakteri gram negatif seperti Proteusspecies, E
coli, Klebsiella species, dan Pseudomonas species. Bakteri anaerobik juga ditemukan
pada beberapa kasus yaitu Peptococcus dan Bacteroides fragilis.7 10

Anemia refrakter dapat muncul pada penderita gas gangren oleh karena alpha-
toxin di sirkulasi darah yang memediasi hemolisis eritrosit. Alpha-toxin memiliki efek
inotropic pada myocard sehingga menimbulkan hipotensi refrakter berat. Sedangkan
theta-toxin menyebabkan kaskade sitokin yang berujung pada vasodilatasi perifer.
Vaksinasi terhadap toksin alfa dan theta dapat mengurangi keparahan infeksi. Toksin
menyebabkan pembongkaran jaringan dimana hasilnya seperti creatine
phosphokinase, myoglobin, dan potassium juga dapat menyebabkan toksisitas
sekunder dan kerusakan ginjal 9

Gambar 1. Ulkus pada Penderita DM yang Berpotensi Menjadi Gangren

Seperti yang dijelaskan di awal, infeksi pada ekstremitas ini didukung oleh
adanya imunopati, neuropati, dan penyakit vaskular (antara lain atherosklerosis).
Neuropati diabetikum memiliki beberapa komponen yang terkait yaitu :

20
1. Serabut autonom

DM menyebabkan gangguan pola hidrosis (keringat) sehingga terjadi


hipohidrosis yang menyebabkan epidermis kering dan lebih rentan terhadap
infeksi.

2. Serabut somatik

a. Serabut saraf sensori tipe A untuk sensasi sentuhan, getaran, tekanan,


proprioseptor, dan inervasi motorik pada otot intrinsic pada kaki. Saat
terjadi neuropati, beberapa otot akan mengalami atrofi dan tidak bisa
menstabilkan kaki, sendi phalangeal, dan jari-jari kaki. Jika hal ini
berlanjut akan menyebabkan deformitas ibu jari kaki (Sumpio, 2000).

b. Serabut saraf tipe C untuk mendeteksi stimulus nyeri dan suhu sebagai
fungsi protektif. Jika terjadi neuropati, ia akan kehilangan sensasi
protektifnya dan menyebabkan salah satu faktor predisposisi untuk
terbentuknya fraktur, deformitas kaki, ulkus (ulserasi) dan infeksi dimana
pasien tidak dapat mendeteksi beban, trauma, dan nyeri 11

Berbagai hal yang telah dijelaskan juga dapat menyebabkan kelainan berupa
kaki Charcot (Charcot foot) yang merupakan osteoartropati neuropatikum. Hal ini
disebabkan oleh adanya beban yang terlalu besar sehingga berakibat pada fraktur
tulang. Fraktur akan sedemikian meningkatkan tekanan di sekitarnya sehingga lebih
rentan terhadap ulserasi. Sering juga disebut dengan Rockerbottom foot deformity 12

Gambar 2. Charcot Foot pada Penderita DM

21
3.1.5 Diagnosis
1. Anamnesis

Melakukan penilaian ulkus kaki merupakan hal yang sangat penting karena
berkaitan dengan keputusan dalam terapi. Penilaian ulkus dimulai dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis aktivitas
harian, sepatu yang digunakan, pembentukan kalus, deformitas kaki, keluhan
neuropati, nyeri tungkai saat beraktivitas, durasi menderita DM, penyakit
komorbid, kebiasaan (merokok, alkohol), obat-obat yang sedang dikonsumsi,
riwayat menderita ulkus/amputasi sebelumnya.5 7
Gejala klinis tersering adalah klaudikasio intermiten pada tungkai yang
ditandai dengan rasa pegal, nyeri, kram otot, atau rasa lelah otot. Biasanya timbul
sewaktu melakukan aktivitas dan berkurang setelah istirahat beberapa saat. Lokasi
klaudikasio terjadi pada distal dari tempat lesi penyempitan atau sumbatan.6 8

Klaudikasio pada daerah betis timbul pada pasien dengan penyakit pada
pembuluh darah daerah femoral dan poplitea. Keluhan lebih sering terjadi pada
tungkai bawah dibandingkan tungkai atas. Insiden tertinggi penyakit arteri
obstruktif sering terjadi pada tungkai bawah, sering kali menjadi berat timbul
iskemi kritis tungkai bawah (critical limb iskhemia). Dengan gejala klinis nyeri
pada saat istirahat dan dingin pada kaki. Sering kali gejala tersebut muncul malam
hari ketika sedang tidur dan membaik setelah posisi dirubah. Jika iskemi berat
nyeri dapat menetap walaupun sedang istirahat. Kira-kira 25% kasus iskemia akut
disebabkan oleh emboli. Sumber emboli biasanya dapat diketahui. Paradoksikal
emboli merupakan salah satu penyebab yang tidak dapat terlihat dengan cara
angiografi disebabkan karena lesi ulseratif yang kecil atau karena defek septum
atrial. Penyebab terbanyak kedua penyakit arteri iskemi akut adalah thrombus. 11 12

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mendapatkan deskripsi karakter ulkus,


menentukan ada tidaknya infeksi, menentukan hal yang melatarbelakangi

22
terjadinya ulkus (neuropati, obstruksi vaskuler perifer, trauma atau deformitas),
klasifikasi ulkus dan melakukan pemeriksaan neuromuskular untuk menentukan
ada/ tidaknya deformitas . 2 6
Pemeriksaan fisik yang terpenting pada penyakit arteri perifer adalah pe-
nurunan atau hilangnya perabaan nadi pada distal obstruksi, terdengar bruit pada
daerah arteri yang menyempit dan atrofi otot. Jika lebih berat dapat terjadi bulu
rontok, kuku menebal, kulit menjadi licin dan mengkilap, suhu kulit menurun,
pucat atau sianosis merupakan penemuan fisik yang tersering. Kemudian dapat
terjadi gangren dan ulkus. Jika tungkai diangkat/ elevasi dan dilipat, pada daerah
betis dan telapak kaki, akan menjadi pucat. Berbagai faktor berpengaruh pada
terjadinya penyulit. Secara garis besar faktor yang berpengaruh terhadap tingkat
kejadian penyulit DM dapat dibagi menjadi:

a. Faktor genetik.
b. Faktor vascular.
c. Faktor metabolik – faktor glukosa darah dan metabolit lain yang abnormal
.13
3. Pemeriksaan Penunjang dan Laboratorium penderita gangrene diabetikum
a. Kadar glukosa darah
Penderita diaberik tentunya mengalami hiperglikemi ayang disebabkan
oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia
juga dapat terjadi akibat masukan karbohidrat berlebih, namun pemakaian
glukosa tepi berkurang, dan akibat produksi glukosa hati bertambah. Sehingga,
glukosa tersebut akan masuk ke aliran darah juga akan meningkat. Hal ini akan
mempengaruhi konsentrasi hemoglobin, dan oksigenasi ke jaringan – jaringan.
Faktor- faktor tersebut dapat berpengaruh pada kesembuhan luka. Karena itu,
diperlukan pemeriksaan kadar glukosa untuk mengetahui dan mengontrol agar
glukosa selalu senormal mungkin.13
b. Pemeriksaan vaskularisasi kaki
Hiperglikemia menyebabkan kelainan pembuluh darah pula. Kelainan
neuropati yang mengakibatkan perubahan pada kulit dan otot juga menyebabkan
perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki, yang selanjutnya akan

23
mempermudah terjadinya ulkus. Pemeriksaan vaskularisasi untuk mengevaluasi
keadaan pembuluh darah tersebut bisa dengan cara non – invasive, invasive,
atau semiinvasiv. Antara lain, pemeriksaan Ankle Brachial Index (ABI), ankle
pressure, toe pressure, dan juga pemeriksaan ekhodopler.14
c. Arteriografi
Pemeriksaan arteriografi hampir sama dengan pemeriksaan vaskularisasi
diatas. Hanya, pemeriksaan ini lebih spesifik fokus ke arteri dorsalis pedis dan
tibialis posterior. Biasanya diikuti dengan pemeriksaan tekanan darah.
Tujuannya untuk mempermudah mendapatkan gambaran pembuluh darah
tersebut (Sudoyo et al., 2009).
d. Rontgen (X- ray) pada kaki untuk menunjukkan ada tidaknya osteomyelitis
Osteomyelitis merupakan kelainan pada struktur tulang akibat adanya
infeksi dari luar. Seperti pada penderita diabetes, ulkus kaki akan menyebabkan
kerentanan infeksi yang juga menyebabkan mudahnya infeksi tersebut meluas.
Hal ini dapat ditambah faktor aliran darah yang kurang yang akan menghambat
sembuhnya luka dan memperparah luka dan infeksi tersebut. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk mendeteksi apakah atau sejauh mana infeksi tersebut meluas
(atau belum meluas) pada tulang tibia, fibula, atau tulang lainnya. Pemeriksaan
ini berguna untuk mendeteksi sebelum dilakukannya amputasi. Sebab, angka
kematian pasca amputasi di beberapa rumah sakit masih tinggi. Contohnya pada
RSUPN dr Ciptomangunkusumo Jakarta .14
e. Kultur resistensi mikroorganisme
Kultur kuman mikroorganisme ini perlu untuk mengetahui infeksi bakteri
apa yang ada pada pasien. Baik itu aerob, multiple maupun anaerob. Kultur
resistensi mikroorganisme ini bertujuan dan berguna dalam menentukan
antibiotic yang dianjurkan pada pasien. Sebab, pemberian antibiotic merupaakn
lini pertama dan harus dalam spectrum luas, mencakup kuman gram positif dan
negative (misal golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang
bermanfaat terhadap kuman anaerob (misalnya metronidazol).14

3.1.6 Tatalaksana

24
1. Farmakologi
a. Kontrol metabolik
Konsentrasi glukosa darah diusahakan agar selalu senormal mungkin,
untuk memperbaiki berbagai faktor terkait hiperglikemiayang dapat
menghambat penyembuhan luka. Umumnya diperlukan insulin untuk
menormalisasi konsentrasi glukosa darah. Status nutrisi harus di perhatikan dan
di perbaiki. Nutrisi yang baik jelas membantu kesembuhan luka.
Berbagai hal lain harus juga di perhatikan dan diperbaiki, seperti
konsentrasi albumin serum, konsentrasi HB dan derajat oksigenisasi jaringan.
Demikian juga fungsi ginjalnya. Semua faktor tersebut tentu akan dapat
menghambat kesembuhan lukasekiranya tidak diperhatikan dan tidak
diperbaiki.1 4 6
b. Kontrol vaskular
Keadaan vascular yang buruk tentu akan menghambat kesembuhan luka.
Berbagai langkah diagnostik dan terapi dapat dikerjakan sesuai keadaan pasien
dan juga sesuai kondisi pasien. Umumnya kelainan pembuluh darah perifer
dapat dikenali melalui berbagai cara sederhana seperti:
b.1. Warna dan suhu kulit
b.2. Perabaan arteridorslis pedis dan arteri tibialisposterior
b.3. pengukuran tekanan darah
Saat ini tersedia berbagai fasilitas mutakhir untuk mengevaluasi keadaan
pembuluh darah dengan cara non-invasif maupun yang invasive dan semi
invasive seperti pemeriksaan ankle brachial index, ankle pressure, toe pressure,
Tcpo2,dan pemeriksaan ekhodopler dan kemudian pemeriksaan arterio gravi. 2 6
7

Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya dapat dilakukan


pengelolaan untuk kelainan pembuluh darah perifer dari sudut pakular, yaitu
berupa
b.1. Modifikasi faktor risiko:
b.1.1. Stop merokok

25
b.1.2. Memperbaiki berbagai faktor risiko terkait aterosklerosis
i. Hiperglikemia
ii. Hipertensi
iii. Dislipidemia
b.1.3. Walking program.
Latihan kaki merupakan domain usaha yang dapat diisi
oleh jajaran rehabilitasi medic.1 4 5
c. Terapi farmakologis
Mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan pada kelainan
akibat aterosklerosis ditempat lain ( jantung, otak), mungkin obat seperti aspirin
dan lain sebagainya yang jelas dikatakan bermanfaat, akan bermanfaat pula
untuk pembuluh darah kaki penyandang DM. tetapi sampai saat ini belum ada
bukti yang cukup kuat untuk menganjurkan pemakain obat secara rutin guna
memperbaiki patensi pada penyakit pembuluh darah kaki penyandang DM.5 10
c.1. Revaskularisasi
Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jikalau ada
klaudikasio intermiten yang hebat, tindakan revaskularisasi dapat
dianjurkan. Sebelum tindakan revaskularisasi diperlukan pemeriksaan
arteriogravi untuk mendapatkan gambaran pembuluh darah yang jelas,
sehingga dokter ahli bedah vascular dapat lebih mudah melakukan
rencana tindakan dan mengerjakannya (waspadji,2009).
Untuk oklusi yang panjang di anjurkan operasi bedah pintas
terbuka. Untuk oklusi yang pendek dapat difikirkan untuk prosedur
endovascular- PTCA. Pada keadaan sumbatan akut dapat dilakukan
tromboarterektomi. Dengan berbagai teknik bedah tersebut
vaskularisasi daerah distal dapat diperbaiki, sehingga hasil
pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik. Paling tidak faktor vascular
sudah lebih memadai, sehingga kesembuhan luka tinggal bergantung
pada faktor memperbaiki vaskularisasi dan oksigenisasi jaringan luka
pada kaki diabetes sebagai terafi ajuvan. Walaupu demikian masih

26
banyak kendala untuk menerapkan terapi hiperbarik secara rutin pada
pengelolaan umum kaki diabetes.5 10 11
c.2. Wound control.
Perawatan luka sejak pertama kali pasien dating merupakan hal
yang harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus
dikerjakan secermat mungkin klasifikasi ulkus PEDIS dilakuakan
setelah debridement yang adekuat. Saat ini terdapat banyak sekali
macam dressing(pembalut )yang masing-masing tentu dapat
dimanfaatkan sesuai dengan keadaan luka, dan juga letak luka
tersebut.10 11
Dressing yang mengandung komponen zat penyerap seperti
carbonated dressing, alginate dressing akan bermanfaat pada keadaan
luka yang masih produktif. Demikian pula hydrophilic fiber dressing
atau silver impregnated dressing akan dapat bermanfaat untuk luka
produktif dan terinfeksi. Tetapi tindakan debridement yang adekuat
merupakan syarat mutlak yang harus dikerjakan dahulu sebelum
menilai dan mengklasifikasikan luka. Debridement yang baik dan
adekuat tentu akan sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik
yang harus dikeluarkan tubuh, dengan demikian akan sangat
mengurangi produksi pus/ cairan dari ulkus/gangrene. Berbagai terapi
topikal dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba pada luka,
seperti cairan salin sebagai pembersih luka, atau yodine encer,
senyawa silver sebagai bagian dari dressing, dll.
Demikian pula berbagai cara debridement non surgical dapat
dimanfaatkan untuk mempercepat pembersihan jaringan nekrotik
luka, seperti prepat enzim.10 14
Jika luka sudah lebih baik dan tidak terinfeksi lagi, dressing
seperti hydrocolloid dressing yang dapat dipertahankan beberapa hari
dapat digunakan. Tentusaja untuk kesembuhan luka kronik seperti
pada luka kaki diabetes, suasana sekitar luka yang kondusif untuk
penyembuhan harus dipertahankan. Yakinkan bahwa luka selalu

27
dalam keadaan optimal, dengan demikian penyembuhan luka akan
terjadi sesuai dengan tahapan yang harus selalu dilewati dalam rangka
proses penyembuhan.10 14
Selama proses inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka
tidak akan beranjak pada proses selanjutnya yaitu proses granulasi
dan kemudian epitelialisasi. Untuk menjaga suasana kondusif bagi
kesembuhan luka dapat pula dipakai kasa yang dibasahi dengan salin.
Cara tersebut saat ini dipakai di banyak sekali tempatperawatan kaki
diabetes. 11 12
c.3. Mikrobiologikal control
Data mengenai pola kuman perludiperbaiki secara berkala untuk
setiap daerah yang berbeda. Umumnya didapatkan pasien dengan
infeksi bakteri yang multiple, anaerob dan aerob. Antibiotic yang di
anjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan
resistensinya. Sebagai acuan, dari penelitian didapatkan pola kuman
yang polimikrobial, campuran gram positif dan gram negative serta
kuman anaerob untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu untuk
lini pertama pemberian antibiotic harus diberikan antibiotic dengan
spectrum luas, mencakup kuman gram positif dan negatif (misalnya
golongan sefalosporin) dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat
terhadap kuman anaerob.9 12
c.4. Pressure control
Jika kaki tetap dipakai untuk berjalan , luka akan selalu
mendapat tekanan (weight bearing) dan luka tidak akan sempat
menyembuh apalagi apabila luka tersebut terletak dibagian plantar
seperti luka pada kaki charcot. Peran jajaran rehabilitasi medis pada
usaha pressure control ini juga sangat mencolok bebagai cara untuk
mencapai keadaan non weight bearing dapatdilakukan antara lain
dengan:
c.4.1. Removable cast walker
c.4.2. Total contact casting

28
c.4.3. Temporary shoes
c.4.4. Felt padding
c.4.5. Crutches
c.4.6. Wheelchair
c.4.7. Electric carts
c.4.8. Cradled insoles
Berbagai cara surgical dapat dipakai untuk mengurangi tekanan
pada luka seperti:
c.4.1. Dekompresi ulkus/abses dengan insisi abses
c.4.2. Prosedur koreksi bedah seperti oprasi untuk hamer toe,
metatarsal head resection, Achilles tendon leng thening,
partial calcanetomy 8 10

2. Nonfarmakologi
Edukasi sangat penting untuk setiap tahap pengelolaan kaki diabetes. Dengan
penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangrene diabetic maupun
keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai tindakan
yang diperlukan untuk kesembuhan luka yang optimal. Rehabilitasi merupakan
program yang sangat penting yang harus dilaksanakan untuk pengelolaan kaki
diabetes. Bahkan sejak pencegahan terjadinya ulkus diabetic dan kemudian segera
setelah perawatan, keterlibatan ahli rehabilitasi medis sangat diperlukan untuk
mengurangi kecatatan yang mungkin timbul pada pasien. Keterlibatan ahli
rehabilitasi medis berlanjut sampai jauh sesudah amputasi, untuk memberikan
bantuan bagi para amputee menghindari terjadinya ulkus baru. Pemakaian alas
kaki/ sepatu khusus untuk mengurangi tekanan plantar akan sangat membantu
mencegah terjadinya ulkus baru. Ulkus yang terjadi berikut memberikan prognosis
yng jauh lebih buruk daripada ulkus yang pertama.6 9

3.1.7 Prognosis

29
Penyembuhan luka yang lambat dan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi
cenderung terjadi, gangren dapat berkembang, dan terdapat resiko tinggi perlu
dilakukannya amputasi tungkai bawah (Morison, 2004).
Di Amerika pernah dilaporkan bahwa 50% dari semua amputasi non-traumatik
terjadi pada pasien diabetes, dengan resiko khusus pada pasien lansia dan laki-laki
secara signifikan beresiko lebih tinggi daripada wanita. Lebih jauh lagi, amputasi
tungkai kontralateral memiliki prognosis yang buruk, 42% pasien mengalami
amputasi kedua dalam 1-3 tahun dan 56% dalam 3-5 tahun.10 14

3.2. Osteomielitis
3.2. 1 Definisi

Osteomielitis adalah suatu proses inflamasi akut ataupun kronis dari tulang dan

struktur-struktur disekitarnya akibat infeksi dari kuman-kuman piogenik. 10

3.2.2 Patogenesis

Infeksi dalam sistem muskuloskeletal dapat berkembang melalui beberapa cara.

Kuman dapat masuk ke dalam tubuh melalui luka penetrasi langsung, melalui

penyebaran hematogen dari situs infeksi didekatnya ataupun dari struktur lain yang

jauh, atau selama pembedahan dimana jaringan tubuh terpapar dengan lingkungan

sekitarnya. 8 9

Osteomielitis hematogen adalah penyakit masa kanak-kanak yang biasanya

timbul antara usia 5 dan 15 tahun.Ujung metafisis tulang panjang merupakan tempat

predileksi untuk osteomielitis hematogen. Diperkirakan bahwa end-artery dari

pembuluh darah yang menutrisinya bermuara pada vena-vena sinusoidal yang

berukuran jauh lebih besar, sehingga menyebabkan terjadinya aliran darah yang

30
lambat dan berturbulensi pada tempat ini. Kondisi ini mempredisposisikan bakteri

untuk bermigrasi melalu celah pada endotel dan melekat pada matriks tulang. Selain

itu, rendahnya tekanan oksigen pada daerah ini juga akan menurunkan aktivitas

fagositik dari sel darah putih. Dengan maturasi, ada osifikasi total lempeng fiseal dan

ciri aliran darah yang lamban tidak ada lagi. Sehingga osteomielitis hematogen pada

orang dewasa merupakn suatu kejadian yang jarang terjadi 8 9

Infeksi hematogen ini akan menyebabkan terjadinya trombosis pembuluh darah

lokal yang pada akhirnya menciptakan suatu area nekrosis avaskular yang kemudian

berkembang menjadi abses. Akumulasi pus dan peningkatan tekanan lokal akan

menyebarkan pus hingga ke korteks melalui sistem Havers dan kanal Volkmann

hingga terkumpul dibawah periosteum menimbulkan rasa nyeri lokalisata di atas

daerah infeksi. Abses subperiosteal kemudian akan menstimulasi pembentukan

involukrum periosteal (fase kronis). Apabila pus keluar dari korteks, pus tersebut akan

dapat menembus soft tissues disekitarnya hingga ke permukaan kulit, membentuk

suatu sinus drainase. 8 9

Faktor-faktor sistemik yang dapat mempengaruhi perjalanan klinis osteomielitis

termasuk diabetes mellitus, immunosupresan, penyakit imundefisiensi, malnutrisi,

gangguan fungsi hati dan ginjal, hipoksia kronik, dan usia tua. Sedangkan faktor-

faktor lokal adalah penyakit vaskular perifer, penyakit stasis vena, limfedema kronik,

arteritis, neuropati, dan penggunaan rokok. 10

31
Insidens

Osteomielitis sering ditemukan pada usia dekade I-II; tetapi dapat pula ditemukan

pada bayi dan ‘infant’. Anak laki-laki lebih sering dibanding anak perempuan (4:1). Lokasi

yang tersering ialah tulang-tulang panjang seperti femur, tibia, radius, humerus, ulna, dan

fibula. 14 15

Penyebab osteomielitis pada anak-anak adalah kuman Staphylococcus aureus (89-

90%), Streptococcus (4-7%), Haemophilus influenza (2-4%), Salmonella typhii dan

Eschericia coli (1-2%).14 15

32
3.2.3 Klasifikasi Osteomielitis

Beberapa sistem klasifikasi telah digunakan untuk mendeskripsikan ostemielitis.

Sistem tradisional membagi infeksi tulang menurut durasi dari timbulnya gejala : akut,

subakut, dan kronik. Osteomielitis akut diidentifikasi dengan adanya onset penyakit

dalam 7-14 hari. Infeksi akut umumnya berhubungan dengan proses hematogen pada

anak. Namun, pada dewasa juga dapat berkembang infeksi hematogen akut khususnya

setelah pemasangan prosthesa dan sebagainya. 14 15

Durasi dari osteomielitis subakut adalah antara 14 hari sampai 3 bulan.

Sedangkan osteomielitis kronik merupakan infeksi tulang yang perjalanan klinisnya

terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini berhubungan dengan adanya nekrosis tulang pada

episentral yang disebut sekuester yang dibungkus involukrum. 14 15

Sistem klasifikasi lainnya dikembangkan oleh Waldvogel yang

mengkategorisasikan infeksi muskuloskeletal berdasarkan etiologi dan kronisitasnya :

hematogen, penyebaran kontinyu (dengan atau tanpa penyakit vaskular) dan kronik.

Penyebaran infeksi hematogen dan kontinyu dapat bersifat akut meskipun penyebaran

kontinyu berhubungan dengan adanya trauma atau infeksi lokal jaringan lunak yang

sudah ada sebelumnya seperti ulkus diabetikum. 14 15

3.2.4 Gejala Klinis

a. Osteomielitis Hematogenik Akut

Secara klinis, penderita memiliki gejala dan tanda dari inflamasi akut. Nyeri

biasanya terlokalisasi meskipun bisa juga menjalar ke bagian tubuh lain di dekatnya.

Sebagai contoh, apabila penderita mengeluhkan nyeri lutut, maka sendi panggul juga

33
harus dievaluasi akan adanya arthritis. Penderita biasanya akan menghindari

menggunakan bagian tubuh yang terkena infeksi. 14 15

Pada pemeriksaan biasanya ditemukan nyeri tekan lokal dan pergerakan sendi yang

terbatas, namun oedem dan kemerahan jarang ditemukan. Dapat pula disertai gejala
12 14
sistemik seperti demam, menggigil, letargi, dan nafsu makan menurun pada anak.
15

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan dramatis dari CRP, LED,

dan leukosit. Pada pemeriksaan kultur darah tepi, ditemukan organisme penyebab

infeksi. Pada pemeriksaan foto polos pada awal gejala didapatkan hasil yang negatif.

Seminggu setelah itu dapat ditemukan adanya lesi radiolusen dan elevasi periosteal.

Sklerosis reaktif tidak ditemukan karena hanya terjadi pada infeksi kronis. Presentasi

radiologi dari Osteomielitis hematogen akut mirip dengan gambaran neoplasma seperti

Leukimia limfositik akut, Ewing’s sarkoma, dan histiositosis Langerhans’. Karena itu,

dibutuhkan biopsi untuk menentukan diagnosis pasti. 14

b. Osteomielitis Subakut

Infeksi subakut biasanya berhubungan dengan pasien pediatrik. Infeksi ini

biasanya disebabkan oleh organisme dengan virulensi rendah dan tidak memiliki

gejala. Osteomielitis subakut memiliki gambaran radiologis yang merupakan

kombinasi dari gambaran akut dan kronis. Seperti osteomielitis akut, maka

ditemukan adanya osteolisis dan elevasi periosteal. Seperti osteomielitis kronik,

maka ditemukan adanya zona sirkumferensial tulang yang sklerotik. Apabila

34
osteomielitis subakut mengenai diafisis tulang panjang, maka akan sulit

membedakannya dengan Histiositosis Langerhans’ atau Ewing’s Sarcoma. 14 15

c. Osteomielitis Kronik

Osteomielitis kronis merupakan hasil dari osteomielitis akut dan subakut yang

tidak diobati. Kondisi ini dapat terjadi secara hematogen, iatrogenik, atau akibat

dari trauma tembus. Infeksi kronis seringkali berhubungan dengan implan logam

ortopedi yang digunakan untuk mereposisi tulang. Inokulasi langsung intraoperatif

atau perkembangan hematogenik dari logam atau permukaan tulang mati

merupakan tempat perkembangan bakteri yang baik karena dapat melindunginya

dari leukosit dan antibiotik. Pada hal ini, pengangkatan implan dan tulang mati

tersebut harus dilakukan untuk mencegah infeksi lebih jauh lagi. Gejala klinisnya

dapat berupa ulkus yang tidak kunjung sembuh, adanya drainase pus atau fistel,

malaise, dan fatigue. 14 15

3.2.5 Pemeriksaan Radiologi

a. Foto polos

Pada osteomielitis awal, tidak ditemukan kelainan pada pemerikSosaan radiograf.

Setelah 7-10 hari, dapat ditemukan adanya area osteopeni, yang mengawali

destruksi cancellous bone. Seiring berkembangnya infeksi, reaksi periosteal akan

tampak, dan area destruksi pada korteks tulang tampak lebih jelas. Osteomielitis

kronik diidentifikasi dengan adanya detruksi tulang yang masif dan adanya

35
involukrum, yang membungkus fokus sklerotik dari tulang yang nekrotik yaitu

sequestrum.

Infeksi jaringan lunak biasanya tidak dapat dilihat pada radiograf kecuali apabila

terdapat oedem. Pengecualian lainnya adalah apabila terdapat infeksi yang

menghasilkan udara yang menyebabkan terjadinya ‘gas gangrene’. Udara pada

jaringan lumak ini dapat dilihat sebagai area radiolusen, analog dengan udara usus

pada foto abdomen. 14 15

36
b. Ultrasound

Berguna untuk mengidentifikasi efusi sendi dan menguntungkan untuk

mengevaluasi pasien pediatrik dengan suspek infeksi sendi panggul.

c. Radionuklir

Jarang dipakai untuk mendeteksi osteomielitis akut. Pencitraan ini sangat sensitif

namun tidak spesifik untuk mendeteksi infeksi tulang. Umumnya, infeksi tidak bisa

dibedakan dari neoplasma, infark, trauma, gout, stress fracture, infeksi jaringan

lunak, dan artritis. Namun, radionuklir dapat membantu untuk mendeteksi adanya

proses infeksi sebelum dilakukan prosedur invasif dilakukan. 14 15

d. CT Scan

37
CT scan dengan potongan koronal dan sagital berguna untuk menidentifikasi

sequestra pada osteomielitis kronik. Sequestra akan tampak lebih radiodense

dibanding involukrum disekelilingnya. 14 15

3.2.6 Tatalaksana

Osteomielitis akut harus diobati segera. Biakan darah diambil dan pemberian

antibiotika intravena dimulai tanpa menunggu hasil biakan. Karena Staphylococcus

merupakan kuman penyebab tersering, maka antibiotika yang dipilih harus memiliki

spektrum antistafilokokus. Jika biakan darah negatif, maka diperlukan aspirasi

subperiosteum atau aspirasi intramedula pada tulang yang terlibat. Pasien diharuskan

untuk tirahbaring, keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan, diberikan

antipiretik bila demam, dan ekstremitas diimobilisasi dengan gips. Perbaikan klinis

biasanya terlihat dalam 24 jam setelah pemberian antibiotika. Jika tidak ditemukan

perbaikan, maka diperlukan intervensi bedah. 14

Terapi antibiotik biasanya diteruskan hingga 6 minggu pada pasien dengan

osteomielitis. LED dan CRP sebaiknya diperiksa secara serial setiap minggu untuk

memantau keberhasilan terapi. Pasien dengan peningkatan LED dan CRP yang

persisten pada masa akhir pemberian antibiotik yang direncanakan mungkin memiliki

infeksi yang tidak dapat ditatalaksana secara komplit. Kondisi dapat terjadi pada

pasien dengan retensi alat ortopedi, debridemen jaringan nekrotik yang inkomplit,

immunocompromised, atau resistensi terhadap antibiotik. Idealnya, eksplorasi bedah

harus dilakukan pada pasien ini untuk menentukan apakah dibutuhkan terapi

tambahan. 14 15

38
Keberhasilan terapi pada infeksi muskuloskeletal membutuhkan intervensi

bedah untuk menghilangkan jaringan mati dan benda asing. Jaringan nekrotik

melindungi kuman dari leukosit dan anitibiotik. Pada fraktur terbuka, semua soft

tissues yang mati dan semua fragmen tulang bebas harus dibersihkan dari luka. Pada

osteomielitis kronik, sequestrum harus dibuang seluruhnya dengan meninggalkan

involukrum tetap ditempatnya. Kulit, lemak subkutan, dan otot harus didebridemen

secara tajam hingga berdarah. Untuk mendeteksi viabilitas dari cancellous bone,

ditandai dengan adanya perdarahan dari permukaan trabekula. 14 15

Pada beberapa kasus, infeksi sudah terlalu berat dan luas sehingga satu-satunya

tindakan terbaik adalah amputasi dan pemasangan prothesa. Bila proses akut telah

dikendalikan, maka terapi fisik harian dalam rentang gerakan diberikan. Kapan

aktivitas penuh dapat dimulai tergantung pada jumlah tulang yang terlibat. Pada

infeksi luas, kelemahan akibat hilangnya tulang dapat mengakibatkan terjadinya

fraktur patologis. 14 15

Saat yang terbaik untuk melakukan tindakan pembedahan adalah bila

involukrum telah cukup kuat; mencegah terjadinya fraktur pasca pembedahan. 14

Kegagalan pemberian antibiotika dapat disebabkan oleh :

a. Pemberian antibiotika yang tidak sesuai dengan mikroorganisme penyebab

b. Dosis yang tidak adekuat

c. Lama pemberian tidak cukup

d. Timbulnya resistensi

e. Kesalahan hasil biakan

f. Antibiotika antagonis

39
g. Pemberian pengobatan suportif yang buruk

h. Kesalahan diagnostik 15

3.2.7 Komplikasi

Komplikasi dari osteomielitis antara lain :

a. Abses tulang

b. Bakteremia

c. Fraktur

d. Selulitis

e. Fistel 14 15

40
BAB IV
ANALISIS KASUS

±1 bulan SMRS, os mengeluh terdapat luka pada kaki kiri yang tidak
sembuh. Luka awalnya berupa lecet yang dikarenakan penggunaan alas kaki yang
sempit. Luka semakin lama semakin meluas, disertai nampak luka lecet lambat laun
menjadi kehitaman dan menimbulkan bau yang tidak nyaman disertai dengan rasa
baal pada daerah tesebut. Sebelumnya pasien hanya merawat lukanya dirumah,
dibantu oleh anaknya yang merupakan tenaga kesehatan, dengan salep yang dibeli di
apotik. Namun luka masih bau dan tidak kering-kering. Riwayat nyeri-nyeri disertai
bengkak dan kemerahan pada jempol kiri (+). Sekarang jari terasa bengkak dan sulit
digerakkan. Akhirnya os datang ke Poli Orthopedi RSUD Prabumulih karena kondisi
kakinya.
luka lecet pada pasien yang lambat laun menjadi kehitaman dan
menimbulkan bau yang tidak nyaman disertai dengan rasa baal pada daerah tesebut
merupakan jaringan mati akibat dari komplikasi diabetes melitus yang dikenal
sebagai gangrene diabetikum, dimana gangrene diabetikum merupakan suatu bentuk
kematian jaringan pada penderita diabetes mellitus oleh karena berkurangnya atau
terhentinya aliran darah kejaringan tersebut.
Sebelumnya pasien hanya merawat lukanya dirumah, dibantu oleh anaknya
yang merupakan tenaga kesehatan, dengan salep yang dibeli di apotik. Sampai saat
ini, di Indonesia kaki diabetik masih merupakan masalah yang rumit dan tidak
terkelola dengan maksimal, karena selain kurangnya minat untuk mendalami
masalah kaki diabetik, ketidaktahuan masyarakat mengenai kaki diabetik juga masih
sangat menyolok. Sebagai tambahan, masalah biaya pengobatan yang besar yang
tidak terjangkau oleh masyarakat pada umumnya juga menambah peliknya masalah
kaki diabetik. Namun luka masih bau dan tidak kering-kering.
Diabetes mellitus (DM) menyebabkan atherosklerosis dan neuropati, dimana
keduanya akan menyebabkan risiko pembentukan gangrene pada ekstremitas
meningkat. Adanya penyakit vaskular (atherosklerosis) ini sedikit banyak
mempengaruhi pembentukan edema truncus nervus yang terkait juga dengan adanya

41
hiperosmolaritas kronis. Neuropati dalam bentuk hilangnya sensasi atau kemampuan
untuk merasakan rangsang pada ekstremitas inferior (misalnya kaki) akan
menyebabkan fraktur dan cedera yang tidak terdeteksi. Hal ini didukung dengan
adanya suplai arteri yang menurun (akibat atherosklerosis) akan menyebabkan
bengkak dan ulserasi yang sangat rentan terhadap infeksi bakteri. Selain itu, suplai
arteri yang menurun juga menyebabkan berkurangnya oksigen, nutrien, dan mediator
yang dibutuhkan untuk perbaikan luka. Hal ini menyebabkan luka lebih lama
terpapar bakteri maupun virus. Aliran darah yang inadekuat juga menyebabkan
sulitnya sistem imun untuk mempertahankan tubuh.
Riwayat nyeri-nyeri disertai bengkak dan kemerahan pada jempol kiri (+).
Sekarang jari terasa bengkak dan sulit digerakkan. Seringkali kaki diabetik berakhir
dengan komplikasi yang berujung kepada kecacatan dan kematian. Infeksi sering
menjadi penyulit dari gangrene. Gangrene ini merupakan penyebab masuknya
bakteri dan sering polimikrobial yang menyebar dangan cepat dan dapat
menyebabkan kerusakan berat dari jaringan. Pada suatu keadaan infeksi gangrene
biasanya disebabkan oleh suatu organisme dari sekitar kulit yang pada umumnya
adalah Staphylococcus aureus atau Streptococcus. Jika drainase tidak adekuat maka
perkembangan sellulitis dapat mengakibatkan sepsis yang menginfeksi tendon,
tulang dan sendi dibawahnya (osteomyelitis).
Pada gangrene diabetikum harus dilakukan kultur dan sensitifitas kuman.
Metode yang dipilih dalam melakukan kultur adalah aspirasi pus / cairan. Namun
standar kultur adalah dari debridemen jaringan nekrotik. Kuman pada infeksi kaki
diabetik bersifat polimikrobial. Staphylococcus dan Streptococcus merupakan
patogen dominan. Hampir 2/3 pasien dengan ulkus kaki diabetik memberikan
komplikasi osteomielitis. Osteomielitis yang tidak terdeteksi akan mempersulit
penyembuhan ulkus. Oleh sebab itu setiap terjadiulkus perlu dipikirkan
kemungkinan adanya osteomielitis.
Diagnosis osteomielitis tidak mudah ditegakkan. Secara klinis bila gangrene
sudah berlangsung >2 minggu, terdapat ulkus luas dan dalam serta lokasi ulkus pada
tulang yang menonjol harus dicurigai adanya osteomielitis. Spesifisitas dan
sensitivitas pemeriksaan rontgen tulang hanya 66% dan 60%, terlebih bila

42
pemeriksaan dilakukan sebelum 10–21 hari gambaran kelainan tulang belum jelas.
Seandainya terjadi gangguan tulang hal ini masih sering sulit dibedakan antara
gambaran osteomielitis atau artropatineuropati. Pemeriksaan radiologi perlu
dilakukan karena disamping dapat mendeteksi adanya osteomielitis juga dapat
memberikan informasi adanya osteolisis, fraktur dan dislokasi, gas gangren,
deformitas kaki.
Untuk lebih memastikan osteomielitis pemeriksaan MRI sangat membantu
karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%. Namun diagnosis pasti
osteomielitis tetap didasarkan pada pemeriksaan kultur tulang

43
DAFTAR PUSTAKA

1. AL-Kafrawi, Nabil Abdul., El- Atty Mustafa, Ahmed Abdul. El-Salam


Dawood,Alaa El-Din Abd., 2013. Study of risk factor of diabetic foot ulcers.
Menofia Med J.21:28-34

2. American Diabetes Association., 2015. Standards of Medical Care in


Diabetes.Diabetes Care. 38(1): 1-93.

3. Bilous, Rudy and Donelly, Richard., 2014. Masalah Kaki Pada Diabetes, In:
Buku Pegangan Diabetes. 4th ed. Jakarta: Bumi Medika pp. 177-184.

4. Boulton AJ, Armstrong DG, Albert SF, et al. 2008. Comprehensive Foot
Examination and Risk Assessment. Diabetes Care. 31: 1679-85.

5. Chawla, Rajeev., 2012. Complication of Diabetes. New Delhi: Jaypee Brothers


Medical Publisher.

6. Clayton W, Elasy TA., 2009. A Review of The Pathophysiology, Classification,


And Treatment of Foot Ulcers in Diabetic Patients. Clin Diabetes. 27(2): 52-58.

7. Frykberg, R. G. 2002. Diabetic Foot Ulcers: Pathogenesis and Management.


Americ Family Physician J. 66 (9):1655-22.

8. Funnell, M. M., et.al. 2008. National Standards for Diabetes Self-Management


Education. Diabetes Care. 31(1): S87-S94.

9. Mansjoer, A. 2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

10. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan dan


Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB. PERK

11. Rubenstein, David., Wayne, David., Bradley, John. 2007. Penyakit Metabolik,
In: Lecture Notes Kedokteran Klinis. 6th ed. Jakarta: Erlangga pp. 177-190.

44
12. Shahi, Shaileh K., Kumar, Ashok., Kumar, Sushil., 2012. Prevalance of Diabetic
Foot Ulcer and Associated Risk Factor in Diabetic Patients From North India.
JDFC.3(4):83-91

13. Sherwood, Lauralee., 2011. Gejala Diabetes Melitus Adalah Khas Keadaan
Pasca- Absorbsi Yang Berlebihan, In: Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. 6th
ed. Jakarta: EGC pp. 783-785.

14. Syahputra, D. (2011). Osteomielitis. repository. usu. ac. Id / bitstream/


123456789/ 29710/ 4/ Chapter%20I.pdf. Diambil pada tanggal 29 Agustus 2012.

15. Waspadji, Sarwono. 2009., Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme


TerjadinyaDiagnosis dan Strategi Pengelolaan, In: Sudoyo, Aru W. et al.,
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing pp.m
1922 19

45
46
47
48
49
50

Anda mungkin juga menyukai