Anda di halaman 1dari 10

PERENCANAAN PAJAK PADA TRANSFER PRICING

Oleh

Kelompok 5

Nama kelompok :

Sintikhe R. Dere 2016310502


Yuni Puji Istanti 2016310514
Happy Yuri Oktavianti 2018340515

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PERBANAS SURABAYA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Perkembangan ekonomi yang terjadi pada saat ini, memberikan suatu pengaruh yang
besar bagi pola bisnis dan sikap para pelaku bisnis. Investasi yang semakin aktif dilakukan oleh
para investor, terlebih-lebih oleh para investor asing yang telah mengakibatkan terjadinya
transaksi-transaksi yang bersifat internasional (cross border transaction).

Awalnya transfer pricing dikenal dalam akuntansi manajemen sebagai kebijakan harga
yang diterapkan atas penyerahan barang atau jasa antar divisi/departemen di dalam suatu
perusahaan dengan tujuan untuk mengukur kinerja dari masing-masing divisi/departemen
tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman, perusahaan multinasional yang biasanya
menerapkan desentralisasi operasi dengan cara membagi perusahaannya atas pusat-pusat
pertanggungjawaban baik itu pusat biaya maupun pusat penghasilan, telah memanfaatkan
transfer pricing sebagai alat untuk menghindari atau menggelapkan pajak dengan car
a meminimalkan beban pajak yang harus ditanggung perusahaan. Melalui praktik transfer
pricing, upaya meminimalkan beban pajak dilakukan dengan cara mengalihkan penghasilan serta
biaya suatu perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dari suatu negara kepada
perusahaan di negara lain yang tarif pajaknya berbeda.

Masalah pengalokasian penghasilan dan biaya perusahaan multinasional ini harus


diatur dengan baik dan jelas oleh masing-masing negara yang terlibat dalam transaksi
internasional. Pengaturan yang baik dan jelas diharapkan dapat mencegah dan mendeteksi
tindakan-tindakan manipulasi pajak melalui transfer pricing yang sering dilakukan perusahaan
multinasional untuk melakukan penghindaran/penggelapan pajak.

RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian dari transfer pricing ?


2. Apa tujuan penetapan transfer pricing ?
3. Apa Hubungan istimewa dalam UU perpajakan
4. Harga transfer menurut UU perpajakan lndonesia (domestik & internasional)
BAB II

PEMBAHASAN

PENGERTIAN TRANSFER PRICING

Menurut Gunadi (2007) Transfer pricing merupakan jumlah harga atas penyerahan harga
atau imbalan atas penyerahan jasa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam transaksi
bisnis finansial maupun transaksi lainnya. Secara umum transfer pricing merupakan isu klasik
dalam transaksi internasional. Dari sisi pemerintahan transfer pricing dapat mengakibatkan
berkurang atau hilangnya potensi penerimaan suatu Negara, khususnya yang berasal dari pajak.
karena perusahaan multinasional cenderung menggeser kewajiban perpajakannya dari Negara-
negara yang memiliki tariff pajak yang tinggi (high tax countries) ke negara-negara yang
menerapkan tariff pajak rendah (low tax countries). Ironisnya maslah ini tidak dapat diselesaikan
secara unilateral oleh masing-masing Negara tetapi harus dilakukan secara bersama-sama
(multilateral cooperation).

Sebaliknya dari sisi bisnis perusahaan cenderung berupaya meminimalkan biaya-biaya


(cost efficiency) termasuk pajak penghasilan (PPh) perusahaan (cooperate income tax). Bagi
perusahaan berskala global ( misalnya multinational corporations), transfer pricing merupakan
salah satu strategi yang efektif untuk memenangkan pesaingan dalam memperebutkan sumber-
sumber daya yang terbatas.

TUJUAN PENETAPAN TRANSFER PRICING

Tujuan penetapan harga transfer adalah untuk mentransmisikan data keuangan di


antara departemen-departemen atau divisi-divisi perusahaan pada waktu mereka saling
menggunakan barang dan jasa satu sama lain. Selain itu transfer pricing terkadang digunakan
untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan divisi pembeli
menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan.
Menurut Horngren, Datar dan Foster penetapan harga transfer (transfer pricing)
seharusnya membantu mencapai strategi dan tujuan perusahaan dan sesuai dengan struktur
organisasi perusahaan. Secara khusus, transfer pricing seharusnya mendukung kesesuaian
tujuan dan tingkat usaha manajemen puncak. Subunit yang menjual produk atau jasa
seharusnya dimotivasi untuk menurunkan biaya mereka; subunit yang membeli produk atau jasa
seharusnya dimotivasi untuk memperoleh dan menggunakan input secara efisien.

Transfer Pricing seharusnya juga membantu manajemen puncak mengevaluasi kinerja


dari subunit individual dan manajer mereka. Jika manajemen puncak mendukung tingkat
desentralisasi yang tinggi, harga transfer seharusnya mendukung tingkat otonomi subunit yang
tinggi dalam pengambilan keputusan. Ini berarti manajer subunit yang ingin memaksimalkan
laba operasi dari sub unitnya seharusnya memiliki kebebasan untuk melakukan transaksi dengan
subunit lain dari perusahaan (atas dasar harga transfer) atau untuk melakukan transaksi dengan
pihak eksternal.

Berdasarkan jangkauan teritorial operasi perusahaan, transfer pricing juga dapat


dikelompokkan dalam transfer pricing domestik dan transfer pricing multinasional. Transfer
pricing domestik adalah harga transfer barang atau jasa antar badan satu grup perusahaan atau
antardivisi dalam satu perusahaan dalam satu wilayah kedaulatan negara, sedang transfer
pricing multinasional berkenaan dengan transaksi antardivisi dalam satu unit hukum atau
antarunit hukum dalam satu kesatuan ekonomi yang meliputi berbagai wilayah kedaulatan
negara.

Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam rangka aplikasi transfer pricing, baik bagi perusahaan
domestik maupun bagi perusahaan multinasional, adalah antara lain:

 Evaluasi Kinerja (mengukur hasil operasi setiap unit)


 Motivasi Manajemen (penyusunan orientasi produksi dan laba pada semua unit)
 Pengendalian harga untuk lebih merefleksikan “Cost” dan “margin” yang seharusnya
 diterima dari langganan dan penetapan harga optimal.
 Pengendalian pasar untuk mengamankan posisi kompetitif perusahaan.

Kebijakan aplikasi transfer pricing multinasional bertujuan:

 Memaksimalkan penghasilan global


 Mengamankan posisi kompetitif anak/ cabang perusahaan dan penetrasi pasar.
 Mengevaluasi kinerja anak/ cabang perusahaan mancanegara.
 Menghindarkan pengendalian devisa.
 Mengontrol kredibilitas asosiasi.
 Mengurangi resiko moneter
 Mengatur arus kas anak/cabang perusahaan yang memadai,
 Membina hubungan baik dengan administrasi setempat
 Mengurangi beban pengenaan pajak dan bea masuk
 Mengurangi resiko pengambilalihan oleh pemerintah

HUBUNGAN ISTIMEWA DALAM UU PERPAJAKAN

Berdasarkan penjelasan tentang pengertian transfer pricing terlihat bahwa


kegiatan transfer pricing ini dilakukan oleh perusahaan multinasional dengan perusahaan
afiliasinya terutama yang terletak di negara yang termasuk tax heaven countries. Atau dengan
kata lain dapat disimpulkan bahwa kegiatan transfer pricing ini dilakukan oleh pihak-pihak yang
memiliki hubungan istimewa.

Menurut PSAK 7:
“Pihak-pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa adalah pihak-pihak yang dianggap
mempunyai hubungan istimewa bila satu pihak mempunyai kemampuan untuk mengendalikan
pihak lain atau mempunyai pengaruh signifikan atas pihak lain dalam mengambil keputusan
keuangan dan operasional”

Transaksi antara Pihak-Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa adalah suatu


pengalihan sumberdaya atau kewajiban antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa,
tanpa menghiraukan apakah suatu harga diperhitungkan. Pengendalian adalah kepemilikan
langsung melalui anak perusahaan dengan lebih dari setengah hak suara dari suatu perusahaan,
atau suatu kepentingan substansial dalam hak suara dan kekuasaan untuk mengarahkan kebijakan
keuangan dan operasi manajemen perusahaan berdasarkan anggaran dasar atau perjanjian.
Pengaruh Signifikan (untuk tujuan Pernyataan ini) adalah penyertaan dalam pengambilan
keputusan kebijakan keuangan dan operasi suatu perusahaan, tetapi tidak mengendalikan
kebijakan itu. Pengaruh signifikan dapat dijalankan dengan berbagai cara antara lain berdasarkan
perwakilan dalam dewan komisaris atau penyertaan dalam proses perumusan kebijakan,
transaksi antar perusahaan yang material, pertukaran karyawan manajerial atau ketergantungan
pada informasi teknis. Pengaruh signifikan dapat diperoleh berdasarkan kepemilikan bersama,
anggaran dasar atauperjanjian. Dengan kepemilikan bersama, pengaruh signifikan dianggap
sesuai dengan definisi yang dimuat dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 4
tentang Laporan Keuangan Konsolidasi.

Sedangkan menurut UU. No. 36 Tahun 2008 pasal 18 ayat (4), wajib pajak dianggap memiliki
hubungan istimewa apabila:
 Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan
penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih,
demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau
 Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah
penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
 Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan
atau ke samping satu derajat.

Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa
penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak
langsung. Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham
oleh PT A merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50%
(lima puluh persen) saham PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak
langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal
demikian antara PT A, PT B dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga
memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, maka antara PT B, PT C dan PT D dianggap
terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas dapat juga terjadi
antara orang pribadi dan badan. Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena
penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, walaupun tidak terdapat hubungan
kepemilikan. Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di
bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang
berada dalam penguasaan yang sama tersebut.

HARGA TRANSFER MENURUT UU PERPAJAKAN LNDONESIA (DOMESTIK &


INTERNASIONAL)

Penentuan Harga Transfer lazim terjadi pada transaksi yang melibatkan entitas-entitas yang
berafiliasi (memiliki hubungan istimewa baik karena faktor kepemilikan, faktor penguasaan
melalui manajemen, atau faktor hubungan keluarga sedarah/semenda/ cfm Pasal 18 Ayat 4 UU
Nomor 36 Tahun 2008). Entitas-entitas tersebut membentuk suatu grup perusahaan yang satu
sama lain melakukan transaksi dengan harga lebih rendah dari Harga Pasar. Harga yang
diputuskan adalah harga yang memberikan keuntungan akumulatif secara maksimal bagi grup
perusahaan. Harga tersebut dikenal dengan istilah Harga Transfer. Maksud utama praktik
semacam ini adalah untuk mengoptimalkan laba perusahaan melalui akumulasi penghindaran
beban pajak (PPh dan PPN).

Dalam bisnis, Harga Transfer merupakan bagian dari langkah efisiensi biaya oleh perusahaan.
Keberadaanya tidak dipermasalahkan sampai kemudian negara merasakan bahwa praktik
penentuan Harga Transfer menyebabkan tergerusnya basis pemajakan sehingga mengurangi
pajak yang seharusnya diterima. Indonesia telah mengatur situasi ini dengan menjadikan Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm’s length principle/ ALP) sebagai acuan untuk
menentukan nilai wajar suatu transaksi. Dalam ALP, harga pasar wajar dapat dinilai dengan
membandingkan suatu transaksi yang sama dan terjadi dalam kondisi yang sama antar pihak
berafiliasi dengan pihak yang tidak berafiliasi.
Penentuan Harga Transfer digunakan antar entitas melalui sejumlah praktik antara lain sebagai
berikut (disertai contoh yang sederhana):

Penentuan Harga Penjualan. PT M memiliki 25% saham PT N. Atas penjualan barang


PT M ke PT N, PT M menagihkan harga jual Rp300.000,- per unit. Hal ini berbeda
dengan harga jual yang ditagih atas penyerahan barang yang sama kepada PT O
(yang tidak memiliki hubungan istimewa) yaitu Rp450.000,- per unit. Dalam contoh ini,
harga senilai Rp300.000,- per unit merupakan Harga Transfer yang berada di bawah
Harga Pasar Rp450.000,- sehingga nilai yang seharusnya diperhitungkan sebagai
perhitungan penghasilan atau pengenaan pajak adalah Rp450.000,- per unit. Pendekatan
semacam ini dikenal dengan CUP atau Comparable Uncontrolled Price.
Penentuan Harga Pembelian. PT K memiliki 25% saham PT L. PT K membeli barang
produksi PT L dengan harga pembelian Rp7.500,- per unit. PT K kemudian menjual
kembali produk tersebut ke PT H (tidak berafiliasi) dengan harga Rp8.750,- per unit.
Untuk kondisi ini, Seandainya laba yang diperoleh dari penjualan ke PT H adalah
Rp2.000,- per unit. Maka Harga Pasar yang wajar atas pembelian oleh PT K dari PT L
adalah Rp8.750- Rp2.000 yaitu Rp6.750,- per unit. Ini berarti terdapat selisih lebih
Rp7.500-Rp6.750 atau senilai Rp750,- yang dapat diperhitungkan sebagai penghasilan
lain (sering disebut dengan Dividen Terselubung).
Pembebanan Bunga. PT B memiliki 70% saham PT D. Atas kepemilikan saham
tersebut PT B berkewajiban menyetorkan modal ke PT D. Namun masih terdapat modal
yang belum disetorkan sebesar Rp600.000.000,-. Dari catatan PT B, diketahui terdapat
pinjaman sebesar Rp800.000.000,- dengan bunga sebesar 15% atau Rp120.000.000,- per
tahun. Tingkat bunga yang berlaku pada saat itu adalah 12%. Dari ilustrasi ini, nilai
pinjaman yang menjadi dasar perhitungan beban bunga seharusnya adalah
Rp200.000.000,- (Rp800.000.000,- – Rp200.000.000,-) dengan tarif 12%. Sehingga biaya
bunga yang boleh dibebankan adalah sebesar Rp24.000.000,- dan selisih signifikan
senilai Rp96.000.000,- (Rp120.000.000,- – Rp24.000.000,-) merupakan penghasilan lain
yang kerap diidentikkan dengan pembayaran Dividen Terseleubung.
Pembelian Aset oleh Pemegang Saham. Tuan X memiliki 45% saham PT Z. Pada suatu
hari, harta PT Z berupa mesin dibeli Tuan X dengan harga Rp150.000.000,-. Harga Pasar
mesin serupa pada saat yang sama adalah Rp275.000.000,-. Dalam kondisi ini,
penghasilan yang diterima PT Z atas penjualan mesin seharusnya adalah Rp275.000.000,-
atau dikoreksi positif sebesar Rp125.000.000 (Rp275.000.000,- – Rp150.000.000,-).
Terhadap Tuan X, nilai sebesar Rp125.000.000,- tersebut merupakan penghasilan pasif
(dividen) yang harus dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15%.

Selain keempat contoh di atas, tentu masih terdapat ragam lain dari penerapan Harga Transfer
yang dilakukan perusahaan. Kian kompleks dan luas skala bisnis perusahaan, maka makin rumit
skema penentuan dan teknik yang diterapkan. Namun motivasinya tetaplah sama yaitu
mengoptimalkan laba perusahaan melalui skema penghindaran pajak. Dari sisi PPN, adanya
Harga Transfer dari sudut pandang perpajakan memang diberikan pengawasan khusus karena
berpotensi menggerus penerimaan negara. Misalnya penurunan nilai Dasar Pengenaan Pajak
(DPP) yang dapat berdampak pada rendahnya PPN yang dipungut. Di sisi PPh, praktik
penentuan Harga Transfer berdampak pada nilai penjualan/omset atau kapitalisasi harga
pembelian yang berdampak pada penurunan laba atau rugi bersih dan besarnya PPh terutang.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

 Transfer Pricing didefinisikan sebagai harga yang ditentukan oleh satu bagian dari
sebuah organisasi atas penyerahan barang atau jasa yang dilakukannya kepada bagian
lain dari organisasi yang sama. Transfer pricing dapat juga diartikan sebagai nilai atau
harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat
pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying division).
Dilihat dari aspek perpajakan, pengertian transfer pricing adalah harga yang
dibebankan oleh suatu perusahaan atas barang, jasa, harta tak berwujud kepa
da perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa.
 Tujuan penetapan harga transfer adalah untuk mentransmisikan data keuangan di
antara departemen-departemen atau divisi-divisi perusahaan pada waktu mereka saling
menggunakan barang dan jasa satu sama lain. Selain itu transfer pricing terkadang
digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan
divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan
secara keseluruhan. Namun dalam praktik, seringkali ditemukan transaksi antar
anggota perusahaan multinasional yang tidak luput dari rekayasa transfer pricing.
 Hubungan istimewa :

o Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara
Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada
dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau
lebih yang disebut terakhir; atau
o Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak
berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung;
atau Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.

Anda mungkin juga menyukai