Budidaya laut telah berkembang dengan cepat selama dua puluh tahun
terakhir akibat dari berkembangnya teknologi baru, pengembangan
produk pakan buatan, pemahaman yang lebih luas terhadap biologis dari
spesies budidaya, peningkatan kualitas air dalam sistem budidaya
tertutup, permintaan produk pangan hasil laut yang terus meningkat,
perluasan area dan perhatian pemerintah. Akan tetapi dengan
perkembangan ini, budidaya laut telah menjadi suatu kontroversi yang
berkaitan dengan dampak-dampak sosial dan lingkungan. Beberapa
dampak lingkungan dari budidaya laut secara umum adalah:
1. Limbah yang dihasilkan dari budidaya keramba (jaring apung);
2. Beberapa species yang bersifat invasif dan terlepas dari kolam
budidaya;
3. Pencemaran genetik dan penyebaran penyakit dan parasit;
4. Perubahan ekosistem yang disebabkan modifikasi mabitat.
Berdasarkan kegiatan budidaya yang sering dilakukan, tingkat dampak
lingkungan yang terjadi tergantung pada ukuran budidaya, spesies yang
dibudidayakan, kepadatan tebar, jenis pakan, hidrografi dari lokasi, dan
metode budidaya.
Dari 7,1 juta km2 luas wilayah teritorial Republik Indonesia, 5,4 juta
km2 merupakan wilayah laut. Total panjang pantai kepulauan di
Indonesia mencapai 95.181 km. Ini yang terpanjang kedua di dunia
setelah Kanada (World Resources Institute, 1998). Luasnya laut kita,
sesungguhnya berbanding lurus dengan potensi hasil laut yang
terkandung di dalamnya, baik itu yang ditangkap maupun yang
dibudidayakan (marikultur).
Khusus untuk marikultur, saat ini potensi lahannya mencapai 4,5 juta
hektar (ha), namun baru dimanfaatkan sekitar 2%. Melihat potensi lahan
yang masih tidur ini, sebenarnya marikultur bisa berkontribusi banyak
untuk mendorong Indonesia menjadi poros maritim dunia. Hal itu
didukung oleh komoditas marikultur merupakan komoditas ekspor dan
banyak diminati oleh pasar luar negeri.
Salah satu komoditas yang jadi primadona adalah rumput laut. Ke
depan, rumput laut akan dikembangkan, terutama untuk wilayah garis
pantai sampai dengan 4 mil, sedangkan untuk wilayah di atas 4 mil
dapat dikembangkan budidaya laut dengan menggunakan karamba
jaring apung (KJA) dengan komoditas yang disesuaikan kondisi wilayah
masing-masing, seperti kakap, kerapu, bawal bintang, abalone, atau
bahkan tuna.
Capaian produksi rumput laut pada 2010 sekitar 3,9 juta ton, naik
signifikan pada 2014 mencapai 10,2 juta ton. “Demikian juga komoditas
kakap dan kerapu serta komoditas lain seperti bawal bintang, yang
sangat berpotensi untuk dikembangkan,” ujar Direktur Jenderal
Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
Slamet Soebjakto dalam rilis yang diterbitkan KKP pada awal Mei
2015.
Pesisir Selatan (Pessel) merupakan salah satu kabupaten di Provinsi
Sumatera Barat yang memiliki potensi perikanan budidaya laut cukup
besar. Potensi lahan untuk pengembangan budidaya laut di Pessel
mencapai 415 ha, yang mana saat ini sebagian besar dikembangkan
untuk budidaya laut seperti kerapu dengan sistem KJA dan juga rumput
laut. Kerapu masih menjadi primadona ekspor dengan tujuan Tiongkok
dan Hong Kong. Upaya diversifikasi komoditas dalam budidaya laut,
seperti ikan bawal bintang, penting dilakukan sekaligus melakukan
restocking untuk memperbanyak stok ikan di alam dan menunjang
keberlanjutan.
Untuk mendukung pengembangan perikanan budidaya, khususnya di
Pessel, KKP memberikan bantuan baik berupa permodalan maupun
peralatan. Sejak 2011, KKP telah menyalurkan bantuan permodalan
melalui PUMP-PB sebanyak 3 paket senilai Rp 300 juta dan pada 2014
sebanyak 34 paket senilai Rp 1,19 miliar. KKP juga menyerahkan KJA
ramah lingkungan sebanyak 9 unit sejak 2011–2014. Produksi
perikanan budidaya Sumatera Barat 2013 mencapai 206 ribu ton.
Komoditas marikultur lain yang jadi andalan adalah udang. Seperti
ditulis swa.co.id (17/4/2015), nilai ekspor udang mendominasi total
ekspor produk perikanan nasional, selain komoditas tuna yang berasal
dari perikanan tangkap. Tujuan ekspor, mayoritas ke Uni Eropa, Jepang,
dan Amerika Serikat (AS), dan sebagian kecil ke China dan Thailand,
dengan porsi terbagi rata masing-masing 25%.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat ekspor udang
nasional pada 2014 sekitar 196 ribu ton dan target 2015 sekitar 230 ribu
ton (naik 17,34%). Ekspor udang RI pada 2011 sebesar 158.062 ton,
2012 naik 2,53% menjadi 162.068 ton, 2013 naik 0,21% menjadi
162.410 ton, dan 2014 naik 21,06% menjadi 196.622 ton.
Pengembangan marikultur merupakan solusi jangka panjang yang harus
dipikirkan para pengusaha hasil laut untuk mengimbangi produksi
perikanan tangkap.
KKP GENJOT PEMANFAATAN POTENSI
BUDIDAYA LAUT
Ditjen Perikanan Budidaya mulai tahun 2017 akan fokus dalam upaya
optimalisasi melalui program revitalisasi KJA, terutama KJA yang
dikelola masyarakat. KJA yang terdistribusi saat ini banyak berasal dari
lintas kementerian. Total bantuan KJA hingga tahun ini sebanyak
15.583 lubang, dari jumlah tersebut bantuan KJA dari DJPB sebanyak
7.316 lubang (47,7%). Artinya, ini menjadi hal yang perlu disikapi
bahwa penting kementerian terkait berkoordinasi dengan KKP sebagai
kementerian teknis yang membidangi masalah perikanan budidaya,
sehingga masalah inefisiensi dapat diatasi dengan baik.
Tahun 2017 KKP menargetkan revitalisasi KJA sebanyak 250 unit
(1000 lubang), dimana diharapkan akan mampu menghasilkan produksi
lebih dari 342 ton/tahun dengan nilai produksi sebesar ± 34 milyar.
Disamping itu program ini juga diharapkan mampu menyerap tenaga
kerja hingga 500 orang per tahun, dengan kisaran pendapatan kotor
yang mampu diraup kelompok pembudidaya mencapai 80 – 182
juta/tahun.
Selain revitalisasi dari KKP, KKP juga menggandeng Perindo. Dalam
keterangannya GM Marikultur Perindo, Muhibuddin Koto, menyatakan
bahwa ke depan Perindo akan mulai fokus menggarap potensi budidaya
laut melalui kerjasama efektif yang difasilitasi KKP. Langkah awal,
ditambahkan Muhibuddin, Perindo direncanakann akan membantu
pelaksanaan revitalisasi sebanyak 1.000 lubang di 6 klaster dengan
target produksi minimal 200 ton/bulan. Klaster-klaster terebut antara
lain di Bali, Natuna, Konawe Selatan, Ambon, Lampung, dan Padang.
Harapannya produksi budidaya kerapu meningkat 2 kali lipat dari tahun
sebelumnya selain itu diharapkan akan mampu meningkatkan daya
serap benih 3,6 juta yang diproduksi dari pembenih.
Menurut dia, dalam kerja sama itu pengusaha memiliki sistem untuk
membayar setiap penambahan ukuran kerapu dengan harga tertentu. Ini
dimaksudkan agar para nelayan ikut merasa memiliki, sehingga baik
pengusaha maupun nelayan sama-sama mendapat keuntungan.
Sampai saat ini, menurut dia, relatif cukup banyak pengusaha yang
mengelola budi daya kerapu, baik di perairan NTB maupun provinsi
lainnya di Indonesia.
Teknologi ini, menurut dia, juga dinilai lebih efektif dalam pengelolaan,
mempunyai daya tahan lama terhadap gelombang sehingga dapat lebih
produktif dibanding KJA konvensional, dan dari segi penataan tata letak
lebih rapi dan fleksibel.
Jenis ikan kerapu bebek, katanya, berbeda dengan ikan kerapu macan
rata-rata di tingkat pembudidaya harganya Rp120.000 per kg. Untuk itu,
dengan masuknya PT Bofa Marine ke NTB, maka akan diikuti para
investor lain, sehingga akan semakin mampu mendorong peningkatan
produksi ikan kerapu nasional secara signifikan.
"Untuk di Lombok saja permintaan rutin selalu datang dari Bali sebagai
pasar utama. Walaupun harga bawal bintang tidak semahal kerapu, yaitu
berkisar Rp50.000 per kg, namun karena masa pemeliharaan yang tidak
terlalu lama, menjadikan komoditas ini cukup diminati oleh masyarakat
pembudidaya," kata Slamet.
Perkembangan usaha budidaya di Kabupaten Lombok Tengah termasuk
rumput laut nampaknya tidak terlepas dari peran penyuuh perikanan.
Jumlah penyuluh perikanan di Lombok Tengah 27 orang pengawai
negeri sipil (PNS) dan lima orang Penyuluh Perikanan Tenaga Kontrak
(PPTK).