Anda di halaman 1dari 44

TINJAUAN PUSTAKA

HEMOPTISIS

A. Definisi
Hemoptisis adalah merupakan keadaan batuk dengan pengeluaran sputum bercak darah
atau pengeluaran darah yang tampak jelas dari dalam traktus respiratorius. Sinonim batuk darah
ialah haemoptoe atau haemoptysis.
Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala dari penyakit yang mendasari
sehingga etiologinya harus dicari melalui pemeriksaan yang seksama.

B. Etiologi
Berdasar etiologi maka dapat digolongkan :

1. Batuk darah idiopatik.


Yaitu batuk darah yang tidak diketahui penyebabnya, dengan insiden 0,5 sampai 58% . dimana
perbandingan antara pria dan wanita adalah 2:1. Biasanya terjadi pada umur 30- 50 tahun
kebanyakan 40-60 tahun Yang berhenti spontan dengan terapi suportif.

2. Batuk darah sekunder.


Yaitu batuk darah yang diketahui penyebabnya
a. Oleh karena keradangan
1. TB : batuk sedikit-sedikit , masif perdarahannya, bergumpal.
2. Bronkiektasis : campur purulen
3. Abses paru : campur purulen
4. Pneumonia : warna merah bata encer berbuih
5. Bronkhitis : sedikit-sedikit campur darah atau lendir

b. Neoplasma
1. karsinoma paru
2. adenoma
c. Lain-lain:
1. trombo emboli paru – infark paru
2. mitral stenosis
3. trauma dada

C. Patogenesis
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari
cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi pada jaringan paru
bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas.
Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna tuberkulosis yang merupakan asal dari
perdarahan pada hemoptoe masih diragukan. Teori terjadinya perdarahan akibat pecahnya
aneurisma dari Ramussen ini telah lama dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi
membuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari
arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe.

Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :


1. Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah menjadi
rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup untuk menimbulkan batuk darah.

2. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada pembuluh
darah, seperti infeksi coccus, virus, dan infeksi oleh jamur.

3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler


Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar seperti pada
dekompensasi cordis kiri akut dan mitral stenosis.

4. Kelainan membran alveolokapiler


Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada Goodpasture’s syndrome.
5. Perdarahan kavitas tuberkulosa
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan aneurisma
Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang pembuluh darah bronkial.
Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan pemekaran pembuluh darah cabang bronkial. Diduga
hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya
pembuluh darah pulmonal dapat menimbulkan hemoptisis masif.

6. Invasi tumor ganas

7. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami transudasi ke dalam
alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah.

D. Gejala Klinis
Untuk mengetahui penyebab batuk darah kita harus memastikan bahwa perdarahan
tersebut berasal dari saluran pernafasan bawah, dan bukan berasal dari nasofaring atau
gastrointestinal. Dengan perkataan lain bahwa penderita tersebut benar-benar batuk darah dan
bukan muntah darah.

Tabel 1.Tabel membedakan batuk darah dengan muntah darah


No Keadaan BATUK DARAH MUNTAH DARAH

1 Prodromal Darah dibatukkan dengan Darah dimuntahkan


rasa panas di tenggorokan dengan rasa mual (Mual
Stomach Distress)
2 Onset Darah dibatukkan, dapat Darah dimuntahkan, dapat
disertai dengan muntah disertai dengan batuk
3 Tampilan Darah berbuih Darah tidak berbuih
4 Warna Merah segar Merah tua
5 Isi Lekosit, mikroorganisme, Sisa makanan
hemosiderin, makrofag
6 Ph Alkalis Asam
7 Riwayat Penyakit paru Peminum alkohol, ulcus
penyakit dahulu pepticum, kelainan hepar
(RPD)
8 Anemis Kadang tidak dijumpai Sering disertai anemis
9 Tinja Blood test (-) / Blood Test (+) /
Benzidine Test (-) Benzidine Test (+)

Kriteria batuk darah:


1.Batuk darah ringan (<25cc/24 jam)
2.Batuk darah berat (25-250cc/ 24 jam)
3.Batuk darah masif (batuk darah masif adalah batuk yang mengeluarkan darah sedikitnya 600
ml dalam 24 jam).

Kriteria yang paling banyak dipakai untuk hemoptisis masif:


1.Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam pengamatannya
perdarahan tidak berhenti.
2.Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc
/ 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkan batuk darahnya masih terus
berlangsung.
3.Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc
/ 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi selama pengamatan 48 jam yang disertai
dengan perawatan konservatif batuk darah tersebut tidak berhenti.

E. Diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan gambaran
radiologis. Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan
urutan- urutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun penunjang sehingga
penanganannya dapat disesuaikan.

1. Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam hal batuk darah adalah:
a.Jumlah dan warna darah yang dibatukkan
b.Lamanya perdarahan
c.Batuk yang diderita bersifat produktif atau tidak
d.Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan
e.Ada merasakan nyeri dada, nyeri substernal atau nyeri pleuritik
f.Hubungannya perdarahan dengan gerakan fisik, istirahat, posisi badan dan batuk
g.Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu

2. Pemeriksaan fisik
Untuk mengetahui perkiraan penyebab.
a.Panas merupakan tanda adanya peradangan.
b.Auskultasi : Rales
c.Ada aspirasi
d.Ronkhi menetap , whezing lokal, kemungkinan penyumbatan oleh bekuan darah
e.Friction Rub : emboli paru atau infark paru
f.Clubbing : bronkiektasis, neoplasma

3. Pemeriksaan penunjang
Foto toraks dalam posisi PA dan lateral hendaklah dibuat pada setiap penderita
hemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat perdarahannya. Pemeriksaan
bronkografi untuk mengetahui adanya bronkiektasis, sebab sebagian penderita bronkiektasis
sukar terlihat pada pemeriksaan X-foto toraks. Pemeriksaan dahak baik secara bakteriologi
maupun sitologi (bahan dapat diambil dari dahak dengan pemeriksaan bronkoskopi atau dahak
langsung).

4. Pemeriksaan bronkoskopi
Bronkoskopi dilakukan untuk menentukan sumber perdarahan dan sekaligus untuk
penghisapan darah yang keluar, supaya tidak terjadi penyumbatan. Sebaiknya dilakukan sebelum
perdarahan berhenti, karena dengan demikian sumber perdarahan dapat diketahui.

Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah :


a.Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
b.Batuk darah yang berulang
c.Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik.

Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan diagnosis, lokasi


perdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu yang tepat untuk melakukannya merupakan
pendapat yang masih kontroversial, mengingat bahwa selama masa perdarahan, bronkoskopi
akan menimbulkan batuk yang lebih impulsif, sehingga dapat memperhebat perdarahan
disamping memperburuk fungsi pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptik dapat menilai
bronkoskopi merupakan hal yang mutlak untuk menentukan lokasi perdarahan. Dalam mencari
sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop serat optik jauh lebih unggul, sedangkan
bronkoskop metal sangat bermanfaat dalam membersihkan jalan napas dari bekuan darah serta
mengambil benda asing, disamping itu dapat melakukan penamponan dengan balon khusus di
tempat terjadinya perdarahan.

F. Penatalaksanaan

Tujuan pokok terapi ialah:


1. Mencegah asfiksia
2. Menghentikan perdarahan
3. Mengobati penyebab utama perdarahan
Langkah-langkah:
1. Pemantauan menunjang fungsi vital
• Pemantauan dan tatalaksana hipotensi, anemia dan kolaps kardiovaskuler
• Pemberian oksigen, cairan plasma expander dan darah dipertimbangkan sejak awal
• Pasien dibimbing untuk batuk yang benar

2. Mencegah obstruksi saluran napas


• Kepala pasien diarahkan ke bawah untuk cegah aspirasi
• Kadang memerlukan pengisapan darah, intubasi atau bahkan bronkoskopi

3. Menghentikan perdarahan
• Pemasangan kateter balon oklusi forgarty untuk tamponade perdarahan
• Teknik lain dengan embolisasi arteri bronkialis dan pembedahan
Masalah utama dalam hemoptosis adalah terjadinya pembekuan dalam saluran napas yang
menyebabkan asfiksia. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptoe paling tinggi dan
menyebabkan kegagalan organ yang multipel.

Terapi konservatif
Dasar-dasar pengobatanYang diberikan sebagai berikut :
- Mencegah penyumbatan saluran nafas.
- Memperbaiki keadaan umum penderita.
- Menghentikan perdarahan.
- Mengobati penyakit yang mendasarinya (underlying disease).

Mencegah penyumbatan saluran nafas.


Penderita yang masih mempunyai refleks batuk baik dapat diletakkan dalam posisi
duduk, atau setengah duduk dan disuruh membatukkan darah yang terasa menyumbat saluran
nafas. Dapat dibantu dengan pengisapan darah dari jalan nafas dengan alat pengisap. Jangan
sekali-kali disuruh menahan batuk. Penderita yang tidak mempunyai refleks batuk yang baik,
diletakkan dalam posisi tidur miring kesebelah dari mana diduga asal perdarahan, dan sedikit
trendelenburg untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat. Kalau masih dapat penderita
disuruh batuk bila terasa ada darah di saluran nafas yang menyumbat, sambil dilakukan
pengisapan darah dengan alat pengisap. Kalau perlu dapat dipasang tube endotrakeal. Batuk-
batuk yang terlalu banyak dapat mengakibatkan perdarahan sukar berhenti. Untuk mengurangi
batuk dapat diberikan Codein10 - 20 mg. Penderita batuk darah masif biasanya gelisah dan
ketakutan, sehingga kadang-kadang berusaha menahan batuk. Untuk menenangkan penderita
dapat diberikan sedatif ringan (Valium) supaya penderita lebih kooperatif.

Memperbaiki Keadaan Umum Penderita.


Bila perlu dapat dilakukan :
- Pemberian oksigen.
- Pemberian cairan untuk hidrasi.
- Tranfusi darah.
- Memperbaiki keseimbangan asam dan basa.

Menghentikan Perdarahan.
Pada umumnya hemoptisis akan berhenti secara spontan. hemoptisis rata-rata berhenti
dalam 7 hari. Pemberian kantongan es diatas dada, hemostatiks, vasopresim (Pitrissin). ascorbic
acid dikatakan khasiatnya belum jelas. Apabila ada kelainan didalam faktor-faktor pembekuan
darah, lebih baik memberikan faktor tersebut dengan infus. Di Biro Pulmologi RSAL
Mintohardjo masih memberikan Hemostatika (Adona Decynone) intravena 3 - 4 x 100 mg/hari
atau per oral. Walaupun khasiatnya belum jelas, paling sedikit dapat memberi ketenangan bagi
pasien dan dokter yang merawat.

Mengobati penyakit-penyakit yang mendasarinya (Underlying disease).


Pada penderita tuberkulosis, disamping pengobatan tersebut diatas selalu diberikan
secara bersama tuberkulostatika. Kalau perlu diberikan juga antibiotika yang sesuai.
Terapi pembedahan.
Pembedahan merupakan terapi definitif pada penderita batuk darah masif yang sumber
perdarahannya telah diketahui dengan pasti, fungsi paru adekuat, tidak ada kontra indikasi bedah.
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan.
Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan:
• Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
• Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian pada perdarahan yang
masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan tindakan operasi.
• Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya hemoptoe yang berulang dapat
dicegah.

G. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptosis, yaitu ditentukan oleh tiga faktor
:
1.Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran pernapasan.
2.Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptosis dapat menimbulkan renjatan
hipovolemik.
3.Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke dalam jaringan paru
yang sehat bersama inspirasi.

Penyulit hemoptisis yang biasanya didapatkan :


1. Bahaya utama batuk darah ialah terjadi penyumbatan trakea dan saluran napas, sehingga
timbul sufokasi yang sering fatal. Penderita tidak tampak anemis tetapi sianosis, hal ini sering
terjadi pada batuk darah masif (600-1000 cc/24 jam).
2. Pneumonia aspirasi merupakan salah satu penyulit yang terjadi karena darah terhisap ke
bagian paru yang sehat.
3. Karena saluran nafas tersumbat, maka paru bagian distal akan kolaps dan terjadi atelektasis.
4 Bila perdarahan banyak, terjadi hipovolemia. Anemia timbul bila perdarahan terjadi dalam
waktu lama.

H. Prognosis
Pada hemoptosis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami
hemoptosis yang rekuren. Sedangkan pada hemoptoe sekunder ada beberapa faktor yang
menentukan prognosis :
1. Tingkatan hemoptoe : hemoptoe yang terjadi pertama kali mempunyai prognosis yang lebih
baik.
2. Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptoe.
3. Cepatnya kita bertindak

Tuberkulosis (TB)

I. EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini.
Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah merencanakan tuberkulosis sebagai “
Global Emergency” . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO
jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia,
namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika
hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk.
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap
tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB
terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000
penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana
prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India
dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat
TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan
akut pada seluruh kalangan usia.
Berikut ini adalah gambaran penyebaran penyakit Tuberkulosis di seluruh dunia

Gambar 1. Penyebaran Penyakit Tuberkulosis di Seluruh Dunia

II. DEFINISI

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium


tuberculosis.

III. MIKROBIOLOGI

A. Morfologi dan Struktur Bakteri


Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak
berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm.
Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).
Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-
waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang
berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90)
yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh
jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah
polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks
tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai
akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam–alkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan
menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat
molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitifitas dan
spesifisitas yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen
M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik).
Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a,
protein MTP 40 dan lain lain.

Gambar 2. Gambaran mikroskopik M. Tuberculosis dengan Pewarnaan Ziehl Neelsen

IV. PATOGENESIS

Tuberkulosis Primer
Penularan TB paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam
udara bebas selama 1 - 2 jam, tergantung sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan
kelembaban. Pada suasana lembab dan gelap, kuman dapat tahan berhari–hari sampai
berbulan – bulan. Bila partikel ini terhisap oleh orang sehat, maka ia akan menempel
pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran
partikel < 5 mikrometer. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya
diinhalasi sebagai satu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Gumpalan basil yang
lebih besar cenderung lebih tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan
tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada di ruang alveolus, biasanya bagian bawah
lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi
peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit
bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari – hari pertama, leukosit
digantikan oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi, dan
timbul pneumonia akut.
Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa
yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau
berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening dan menuju
kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih
panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi
oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 – 20 hari. Bila kuman menetap
dalam jaringan paru, ia akan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Dari sini ia
dapat menuju ke organ - organ lainnya. Sarang tuberkulosis primer disebut fokus ghon
yang dapat terjadi di setiap jaringan paru, dan kalau menjalar sampai ke pleura, maka
terjadilah efusi pleura. Kuman juga dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan
limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke
dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk
ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh jaringan paru menjadi TB millier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hillus (
limfangitis lokal ), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hillus (limfadenitis
regional). Sarang primer limfangitis lokal + Limfadenitis regional = Kompleks primer (
Ranke ). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya
dapat menjadi:
 Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. ( sebagian besar penderita )
 Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis – garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada pneumonia yang luasnya > 5 mm
dan ± 10 % diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
 Berkomplikasi dan menyebar secara :
a.Perkontinuitatum ( ke sekitarnya )
b.Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan ataupun pada paru
disebelahnya. Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga
menyebar ke usus.
c.Secara limfogen ke organ – organ lainnya
d.Secara hematogen ke organ – organ tubuh lainnya.

Tuberkulosis Pasca-Primer ( Sekunder )


Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun – tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa ( tuberkulosis post primer = TB sekunder ).
Mayoritas reinfeksi menjadi 90 %. TB sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti
malnutrisi, alkohol, keganasan, diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB pasca-primer ini dimulai
dengan sarang dini yang berlokasi terutama di regio atas paru ( segmen apikal-poterior
lobus superior atau lobus inferior ). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru dan tidak
ke lobus hiler paru. Sarang dini mula – mula tampak seperti sarang pneumonia kecil dan
dalam 3 – 10 minggu sarang ini berubah menjadi tuberkel, yakni suatu granuloma yang
terdiri dari sel – sel histiosit dan sel Datia Langhans. Tuberkulosis pasca-primer dapat
menjadi :
 Direabsorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
 Sarang yang mula – mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan
jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan
perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat di sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami
nekrosis menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan
keluar akan terjadi kavitas. Kavitas ini mula – mula berdinding tipis, lama – lama
dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar,
sehingga menjadi kavitas sklerotik ( kronik ). Terjadinya perkejuan dan kavitas
adalah akibat hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang
diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya.
Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah cryptic disseminate TB yang terjadi
pada imunodefisiensi dan usia lanjut. Kavitas dapat mengalami :
a.Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas
masuk dalam pembuluh darah arteri akan terjadi TB millier.
b.Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali
menjadi cair dan menjadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah
kolonisasi oleh jamur (contohnya Aspergillus ) sehingga membentuk
misetoma.
c.Menyembuh dan bersih ( open healed cavity ). Kadang – kadang berakhir
sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk sebagai bintang (
stellate shape ).

Secara keseluruhan terdapat 3 macam sarang :


1.Sarang yang sudah sembuh. ( tidak perlu pengobatan )
2.Sarang aktif eksudatif. ( perlu pengobatan lengkap dan sempurna )
3.Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang ini dapat sembuh spontan,
tapi mengingat risiko terjadi eksaserbasi, maka sebaiknya diberikan pengobatan
sempurna.
Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan Perjalanan
Penyembuhannya

Gambar 4. Patogenesis Tuberkulosis

V. KLASIFIKASI
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu “definisi
kasus” yang meliputi empat hal , yaitu:
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA negatif;
3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati

Beberapa istilah dalam definisi kasus:


1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis oleh dokter.
2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium tuberculosis
atau tidak ada fasilitas biakan, sekurangkurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.

a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:


1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan
atas kultur positif atau patologi anatomi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan
pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra
paru aktif.

b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru:


1) Tuberkulosis paru BTA positif.
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran
tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan
sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non
OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru
BTA negatif harus meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.


1) TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan
gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum
pasien buruk.
2) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.
Catatan:
• Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk kepentingan
pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
• Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai TB
ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien,
yaitu:
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang
dari satu bulan (4 minggu).
2) Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur).
3) Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4) Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada
bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5) Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
6) Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk
Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulangan

VI. DIAGNOSIS

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan


fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.

A. Gejala klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala
lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratorik
• batuk-batuk lebih dari 2 minggu
• batuk darah
• sesak napas
• nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up.
Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk.
Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk
membuang dahak ke luar.

2. Gejala sistemik
• Demam
• Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.

3. Gejala tuberkulosis ekstra paru


Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah
bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosa terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya
terdapat cairan.

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.
Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks
dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan
di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah
sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di
daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”

Gambar 5. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior

C. Pemeriksaan Bakteriologik

1. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat
berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi
(termasuk biopsi jarum halus/BJH).

2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan


Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b. Pagi ( keesokan harinya )
c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan atau spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan atau ditampung
dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah
pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada
gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium. Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat
dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat
ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada
dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke
laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir
permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari
klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa
pos.
Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
a. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya.
b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas
saring sebanyak ±1 ml.
c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang
tidak mengandung bahan dahak.
d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di
dalam dus.
e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil.
f. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong
yang terbuka dengan menggunakan lidi.
g. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak.
h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.

3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.


Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan
jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening) lnterpretasi
hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks,
kemudian
• bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
• bila 3 kali negatif : BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala
IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan.
2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst
Skala Bronkhorst (BR) :
1) BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan.
2) BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang.
3) BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang.
4) BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang.
5) BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.

b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode


konvensional ialah dengan cara :
1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.
2) Agar base media : Middle brook.
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi
Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk
mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan,
menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta
melihat pigmen yang timbul.
D. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed Lung ) :
1. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya
secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis,
ektasis/ multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau
penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit.
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb
(terutama pada kasus BTA negatif) :
1. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari
iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas
2. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

E. Pemeriksaan Khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan
kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara
lebih cepat.

1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M
tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi
growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan
biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.

2. Polymerase chain reaction (PCR)


Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk
DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan
kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan
ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan
diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar
internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang
menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis TB. Pada pemeriksaan deteksi tersebut diatas, bahan atau spesimen pemeriksaan dapat
berasal dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan organ yang terlibat.

3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda :


a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral
berupa proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah
kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.
b. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk
mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik TB yang
menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis,
diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis
melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis)
disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan
warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung
antibody IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan
membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis
kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.
c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang
berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila di
dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai sesuai
dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi
dengan mudah.
d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi dalam
menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena
banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.
e. Uji serologi yang baru / IgG TB
Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis.
F. Pemeriksaan Lain

1. Analisis Cairan Pleura


Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang
mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada
analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.
Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh
melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman)
c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans
thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).
d. Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke
dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang
kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.
3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator
penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang
normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia
dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit
kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula
atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali.

Gambar 6. Alur Diagnosis TB Paru


VII. PERJALANAN PENYAKIT

Cara penularan
1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak.
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu
yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab.
4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien
tersebut.
5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi
percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

A. Risiko penularan
1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien
TB paru dengan BTA negatif.
2. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi TB selama satu tahun.
ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap
tahun.
3. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
4. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.
B. Risiko menjadi sakit TB
1. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
2. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun.
Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
3. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya
tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
4. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB.
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular
immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis,
maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bias mengakibatkan kematian.
Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat,
dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:


• 50% meninggal
• 5% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
• 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

Gambar 7. Faktor Risiko Kejadian TB


VIII. PENATALAKSANAAN

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan.

A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


1. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT
= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)


a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan

2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :
1) 2 RHZE / 4 RH atau
2) 2 RHZE / 4R3H3 atau
3) 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk
1) TB paru BTA (+), kasus baru
2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk memperpanjang fase lanjutan,
dapat diberikan lebih lama dari waktu yang ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke ahli paru).
Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi.

b. TB paru kasus kambuh


Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase intensif selama 3 bulan
(bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan
fase lanjutan 5 bulan atau lebih, sehingga paduan obat yang diberikan : 2 RHZES / 1 RHZE / 5
RHE. Bila diperlukan pengobatan dapat diberikan lebih lama tergantung dari perkembangan
penyakit. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2
RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB).

c. TB Paru kasus gagal pengobatan


Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 5 OAT
(minimal 3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten tetap diberikan. Lama pengobatan
minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan obat 2 RHZES,
untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi
1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2
RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)
2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

d. TB Paru kasus putus berobat


Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria
sebagai berikut :
1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT dilanjutkan sesuai
jadwal.
2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:
• Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif /
perbaikan, pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif, lakukan
analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan
juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai
dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang
lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II
diulang dari awal.
• Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika
telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
• Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan radiologik
positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama
Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi) terhadap OAT.

e. TB Paru kasus kronik


1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES.
Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 3
macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah
dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid.
2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.
4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru

Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Pengembangan
pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan
menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk
mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan
obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998.
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan
yang tidak disengaja.
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan
standar.
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi.

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT


Dosis (mg) / BB (kg)
Obat Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis
(mg/kgBB/Har Harian Intermitten Maksimu
i) (mg/kgBB/Har (mg/kgBB/Har m < 40 40-60 > 60
i) i)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai 750 1000
BB

Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1


Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1


Dosis per hari / kali Jumlah
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
• Pasien baru TB paru BTA positif.
• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
• Pasien TB ekstra paru

Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2


Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Tiap hari 3 kali seminggu
Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tablet Etambutol
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tablet Etambutol
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tablet Etambutol
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 5 tablet Etambutol

Tabel 5. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2


Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Streptomis Jumlah/
Pengobat Pengobata Isoniasi Rifampisi Pirazinami Tablet Tablet in Injeksi kali
an n d n d @ 250 @ 400 menelan
@ 300 @ 450 @ 500 mg mg mg obat
mg mg
Tahap
Intenif 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
harian
Tahap
Lanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x
seminggu
)

Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
• Pasien kambuh
• Pasien gagal
• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 6. Dosis KDT untuk Sisipan


Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 7. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan


Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol hari/kali
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg menelan obat
Tahap
Intensif 1 bulan 1 1 3 3 28
(dosis
harian)

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang
telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis
terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila
mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit atau dokter spesialis paru atau
fasiliti yang mampu menanganinya.

f. Efek Samping OAT


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi
dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka
pemberian OAT dapat dilanjutkan.

1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan,
rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin
dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut
pengobatan dapat diteruskan. Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat
timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan
OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus.

2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik
ialah:
a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare
c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
d. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
e. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
f. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini
terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya
telah menghilang
g. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur. Warna
merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus
diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB
pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat
menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi
dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi
kulit yang lain.

4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman,
buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut
tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari
atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal
dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak
karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi

5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan
peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien
dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga
mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila
obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka
kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala,
muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti
kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila
reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus barrier
plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf
pendengaran janin.

Tabel 11. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Minor OAT diteruskan
Tidak nafsumakan, mual, Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur
sakit perut
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan sampai dengan INH Beri vitamin B6 1x100 mg/hari
rasa terbakar di kaki
Warna kemerahan pada air Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi
seni apa-apa

Tabel 12. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Mayor Hentikan pengobatan
Gatal dan kemerahan pada Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
kulit dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
ganti etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
(vertigo dan nistagmus) ganti etambutol
Ikterik/Hepatitis Imbas Obat Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
(penyebab lain disingkirkan) sampai ikterik menghilang
dan boleh diberikan
hepatoprotektor
Muntah dan bingung Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT dan
(suspect drug-induced pre- lakukan uji fungsi hati
icteric hepatitis)
Gangguan penglihtatan Etambutol Hentikan Etambutol
Kelainan sistemik, termasuk Rifampisin Hentikan Rifampisin
syok dan purpura

B. Pengobatan Suportif / Simptomatik


Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis
baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu
pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan.
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan
(pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk
penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan
lain.
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
a. Batuk darah (profus)
b. Keadaan umum buruk
c. Pneumotoraks
d. Empiema
e. Efusi pleura masif / bilateral
f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
a. TB paru milier
b. Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi rawat

C. Terapi Pembedahan
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kavitas yang menetap.

Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)


1. Bronkoskopi
2. Punksi pleura
3. Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
Kriteria Sembuh
1. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan
telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping
obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
Evaluasi klinik
1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1
bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.
Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
• Sebelum pengobatan dimulai
• Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
• Pada akhir pengobatan
3. Bila ada fasilitas biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi Evaluasi
radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
1. Sebelum pengobatan
2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
3. Pada akhir pengobatan

Evalusi keteraturan berobat


1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya
obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai
penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada
pasien, keluarga dan lingkungannya.
2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama
setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah
mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.
Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan
sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.

IX. KOMPLIKASI
TB Paru dapat menimbulkan komplikasi berupa :

1. Batuk darah (Hemoptysis)


Pada dasarnya proses TB adalah proses nekrosis, jika diantara jaringan yang mengalami nekrosis
terdapat pembuluh darah, besar kemungkinan akan mengalami batuk darah.
2. TB Laring
Setiap kali sputum yang mengandung basil TB dikeluarkan melalui laring, ada basil yang
tersangkut di laring dan menimbulkan proses TB di tempat tersebut.
3. Pleuritis Eksudatif
Bila terdapat proses TB di bagian paru yang dekat sekali dengan pleura, pleura akan ikut
meradang dan menghasilkan cairan eksudat.
4. Pneumotoraks
Jika proses nekrosis dekat sekali dengan pleura, maka pleura akan ikut mengalami nekrosis dan
bocor, sehingga terjadi pneumotoraks. Sebab lain pneumotoraks ialah pecahnya kavitas yang
kebetulan berdekatan dengan pleura, sehingga pleura robek.
5. Hidropneumotoraks, Empiema / piotoraks, dan Piopneumotoraks
Jika efusi pleura dan pnemotoraks terjadi bersamaan, maka disebut hidropneumotoraks. Bila
cairannya mengalami infeksi sekunder, terjadilah piopneumotoraks. Jika infeksi sekunder
mengenai cairan eksudat pada pleuritis eksudatif, terjadilah empiema atau piotoraks.
6. Abses Paru
Infeksi sekunder dapat mengenai jaringan nekrotis langsung, sehingga akan terjadi abses paru.
7. Cor Pulmonale
Makin parah destruksi paru dan makin luas proses fibrotik di paru, resistensi di paru akan
meningkat. Resistensi ini akan menjadi beban bagi jantung kanan, sehingga akan terjadi
hipertrofi. Jika hal ini terus berlanjut akan terjadi dilatasi ventrikel kanan dan berakhir dengan
payah jantung kanan.
8. Aspergiloma
Kaviti tuberkulosis yang sudah diobati dengan baik dan sudah sembuh kadang – kadang tinggal
terbuka dan dapat terinfeksi dengan jamur Aspergillus fumigatus. Pada foto rontgen akan terlihat
semacam bola terdiri atas fungus yang berada dalam kavitas (fungus ball).

X. PROGNOSIS
Penderita TB Paru BTA positif yang tidak diobati akan mengalami kematian sebesar
50%, bila diobati secara massal angka kematiannya sebesar 12% dan jika diobati secara
individual masih memberikan angka kematian sebesar 7,5%
DAFTAR PUSTAKA

1. Nugroho, A. 2012. Hemoptisis masif. . Kesehatan Milik Semua : Pusat Informasi Penyakit
dan Kesehatan . Penyakit Paru dan Saluran Pernafasan. www.infopenyakit.com
2. Arief,Nirwan. 2012. Kegawatdaruratan paru. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi FK UI.
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/27bdd48b1f564a5010f814f09f2373c0d805736c.pdf.
Diakses pada tanggal 10 November 2012.
3. Pitoyo CW. Hemoptisis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S,
penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid II, edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2006.
4. PAPDI. 2006. Hemoptisis. Dalam: Rani Aziz, Sugondo Sidartawan, Nasir Anna U.Z., Wijaya
Ika Prasetya, Nafrialdi, Mansyur Arif. Panduan pelayanan medik. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
5. Eddy, PS. Sejarah dan Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis. Simposium Tuberkulosis.
Surabaya, Des. 1982 : 11-20.
6. Aditama Yoga Tjandra. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta. 2006.
7. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, 2007; 3-4.
8. Werdhani, Retno Asti. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis. Departemen
Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan Keluarga FKUI. 2002.

Anda mungkin juga menyukai