Anda di halaman 1dari 20

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. S

Umur : 37 tahun

Alamat : Tunggak RT 07 RW 07, Grobongan, Grobongan, Jawa

Tengah

Pekerjaan : Swasta ( Pekerja Proyek Bangunan)

Tanggal Periksa : 16 Oktober 2019

No RM : 740115

1.2 Anamnesis

Keluhan utama : Muncul bentol-bentol merah disertai gatal

pada kedua tangan

Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang dengan keluhan muncul bentol-

bentol merah disertai gatal pada kedua tangan

dan badan sejak ±3 hari yang lalu, awalnya

pasien merasakan gatal pada tangan kanannya

kemudian menyebar ketangan kiri dan seluruh

badan pasien setelah itu diikuti dengan

muncul ruam merah, keluhan bertambah kalau

pasien merasa kepanasan dan berkeringat serta

terkena air. Untuk mengurangi rasa gatal

pasien memakai minyak kayu putih namun

1
keluhan tidak berkurang. Sejak malam tangan

dan mata pasien bengkak dan terasa panas.

Riwayat penyakit dahulu : Pasien tidak pernah mengalami gejala seperti

ini sebelumnya. Riwayat diabetes mellitus di

sangkal, Riwayat asma di sangkal, Riwayat

alergi makanan di sangkal, Riwayat alergi obat

di sangkal.

Riwayat penyakit keluarga : Di keluarga pasien tidak ada yang menderita

penyakit seperti ini, Riwayat diabetes mellitus di

sangkal, Riwayat asma di sangkal, Riwayat

alergi makanan di sangkal, Riwayat alergi obat

di sangkal.

Riwayat pengobatan : Riwayat pengobatan jangka panjang disangkal.

Riwayat sosial : Tidak ada yang sakit seperti ini disekitar pasien

Riwayat kebiasaan : Pasien merokok sehari bisa habis 1 pak

(12batang)

1.3 Pemeriksaan Fisik


Status generalis

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Composmentis

GCS : 456

Tanda Vital :

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 80x/menit

2
Suhu : 37,5 0C

Respiration Rate : 20x/menit

Kepala / leher :

Mata : isokor, Anemis -/-, Ikterus -/-


Telinga : tidak tampak kelainan

Hidung : tidak tampak kelainan

Mulut : normal, sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (–),

karies (+)

Leher : pembesaran kel. getah bening (-), peningkatan JVP (–)

Thorax : Simetris, retraksi dada (-)

Jantung : S1 S2 tunggal, reguler, Gallop (-), murmur (-)

Paru : Vesikuler pada kedua lapang paru

Abdomen : Flat, Soefl, bising usus (+) 20x/mnit, organomegali (-)

Ekstremitas :

Superior : Akral hangat +/+ , oedem +/-

inferior : Akral hangat +/+, oedem -/-

3
Satus Dermatogis
Regio Axila Dextra :
- Tampak urtika berbentuk geografik batas tidak tegas, multipile ukuran
> 1cm.

Urtika

Gambar 1. Area Predileksi lesi : Regio Axila Dextra.

(sumber: file pribadi, 16 Oktober 2019)

Regio Axila Sinistra:


- Tampak urtika berbentuk geografik batas tidak tegas, multipile ukuran
> 1cm.

Urtika

Gambar 2. Area Predileksi lesi : Regio Axila Sinistra.

(sumber: file pribadi, 16 Oktober 2019)

4
Regio Ekstremitas Superior Antebrachii:
- Tampak urtika berbentuk geografik batas tidak tegas, multipile ukuran >
1cm disertai oedem pada manus dextra.

urtikaria

oedem

Gambar 3. Area Predileksi lesi : Regio Ekstremitas antebrachii.

(sumber: file pribadi, 16 Oktober 2019)

1.4 Diagnosa

Urtikaria Angiodema

1.5 Diagnosa Banding

- Pitiriasis Rosea

- Erythema Multiforme

1.6 Rencana (Diagnostik, Terapi, Edukasi)

Diagnostik : Prick Test

Terapi :

- Sistemik :

- Tab. Cetirizine 1x10mg (selama 7 hari)

5
- Tab.Prednison 1x40mg (Selama 3 hari)

- Tab. Pirantelpamoat 1x125mg

- Tab. Parasetamol 3x500mg prn

- Topikal :

- Salycl Kalk 2%

Edukasi :

- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, dan cara minum obat

- Kalau gatal jangan digaruk

- Kedokter gigi

- Kontrol 1 minggu

1.7 Prognosis

Dunia ad bonam

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit, ditandai dengan adanya

edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwama

pucat atau kemerahan, umumnya di- kelilingi oleh halo kemerahan (flare) dan

disertai rasa gatal yang berat, rasa tersengat atau tertusuk. 1

Angioedema adalah reaksi yang menyerupai urtikaria, namun terjadi

pada lapisan kulit yang lebih dalam,dan secara klinis ditandai dengan

pembengkakan jaringan. Rasa gatal tidak lazim terdapat pada angioedema,

lebih sering disertai rasa terbakar. Angioedema dapat terjadi di bagian tubuh

manapun, namun lebih sering ditemukan di daerah perioral, periorbital, lidah,

genitalia dan ekstremitas.1

Urtikaria dan angioedema merupakan edema nonpitting yang dapat

terjadi secara tersendiri atau bersamaan. Selain di kulit, kelainan yang sama

dapat teriadi pada permukaan mukosa gastrointestinal ataupun saluran napas

atas. Episode urtikaria/angioedema yang berlangsung kurang dari 6 minggu

disebut urtikaria/ angioedema akut. Dan bila proses tersebut menetap lebih

dari 6 minggu, disebut kronik.3

2.2 Epidemologi

Urtikaria dan angioedema merupakan gangguan yang sering dijumpai.

Faktor usia, ras. jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografis dan musim

memengaruhi jenis pajanan yang akan dialami oleh seseorang. Urtikaria atau

angioedema digolongkan sebagai akut bila berlangsung kurang dari 6 minggu,

dan dianggap kronis bila lebih dari 6 minggu. Urtikaria kronis umumnya

7
dialami oleh orang dewasa, dengan perbandingan perempuan : laki-laki adalah

2:1. Sebagian besar anak-anak (85%) yang mengalami urtikaria, tidak disertai

angioedema. Sedangkan 40% dewasa yang mengalami urtikaria, juga

mengalami angioedema. Sekitar 50% pasien urtikaria kronis akan

sembuh dalam waktu 1 tahun, 65% sembuh dalam waktu 3 tahun dan 85%

akan sembuh dalam waktu 5 tahun. Pada kurang dari 5% pasien, lesi akan

menetap lebih dari 10 tahun .1

2.3 Etiologi

Urtikaria dapat terjadi secara imunologik, non imunologik dan

idiopatik. Secara imunologik, reaksi alergi paling sering menyebabkan

urtikaria yaitu melalui reaksi hipersensitivitas tipe I (anafilaksis) misalnya

pada alergi obat dan makanan. IgE spesifik berikatan dengan high-affinity IgE

receptor (FcεRI) pada permukaan sel mast jaringan dan basofil darah tepi

yang menyebabkan influksnya sel-sel inflamasi seperti eosinofil, netrofil,

limfosit dan basofil disekitar jaringan sebagai awal dari late-phase response

(LPR) pada urtikaria kronis autoimun. Aktivasi komplemen melalui jalur

klasik juga berperan setelah antigen berikatan dengan IgG atau IgM dan

menghasilkan anafilatoksin yang mampu merangsang pelepasan histamin dan

mediator lainnya.2

Pada urtikaria non imunologik, beberapa bahan kimia (golongan amin

dan derivat amidin) dan obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin dapat

langsung merangsang sel mast dan basofil untuk melepaskan histamin. Bahan

kolinergik seperti asetilkolin yang dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit,

faktor fisik berupa panas, dingin, stres dan sinar matahari juga dapat secara

langsung merangsang pelepasan beberapa mediator. Pada urtikaria idiopatik,

8
etiologinya belum banyak diketahui namun diduga sebagian besar

berhubungan dengan penyakit autoimun.2

2.4 Patogenesis

Pada penyakit alergi, sel mast memainkan perat yang sangat penting.

Reaksi hipersensitifitas tipe 1 dan urtikaria/angioedema diawali oleh

tertangkapnya antigen pada reseptor IgE yang saling berhubungan dan

menempel pada sel mast atau basofil. Proses selanjutnya terjadi aktifasi sel

mast/basofil dengan mengeluarkan berbagai mediator yang akhirnya

mengundang sel-sel inflamasi. Sel-sel yang berperan pada reaksi fase lambat

adalah diantaranya eosinofil, basofil, netrofil, dan limfosit. Mekanisme

tersebut dapat terjadi pada urtikaria akibat makanan tertentu dan pemakaian

bahan yang mengandung lateks.3

Tabel 1. Bahan-bahan yang Dapat Menyebabkan Pelepasan Histamin

dari Sel Mast :

No Jenis Bahan Golongan


1 Rangsangan Reaksi hipersensivitas (lateks,kelapa,ikan
imunologis non laut)
sitotoksik Otoantibodi yang bekerja pada bagian Fc dari
IgE di sel mast
Anafilatoksin C3a dan C5a
2 Fisiologis Substasi P
Vasoactive Intestinal Polypeptida (VIP)
3 Obat-obatan Morfin
Kodein
Tubokurarin,kurare
4 Eksperimental Larutan 48/80
Calcium ionophore A23187
5 Rangsangan C5a, C3a

9
sitotoksik Surfakta
6 Reaksi anafilaktoid Dekstran
Endotoksin
Kontras Radiologi

Pada 30% pasien urtikaria kronik idiopatik terdapat autoantibodi dari

kelas lgG yang memiliki sifat sebagai anti lgE atau anti Fc reseptor IgE. IgG

tersebut memiliki kemampuan melepaskan ,histamin dari sel mast, tanpa

tergantung dari ada atau tidaknya IgE spesifik pada reseptor sel mast.3

Gambar 4. Induksi dan mekanisme efektor pada hipersensivitas Tipe 1

Pengukuran terhadap aktivitas melepaskan histamine ini hanya dapat

dilakukan pada pusat-pusat penelitian tertentu. Tes kulit menggunakan serum

pasien sendiri (autologous serum skin test/ASST) atau plasma pasien yang

telah diberi heparin, dapat digunakan sebagai tes penyaring sederhana untuk

aktivitas melepaskan histamine dalam darah pasien urtikaria. Ditempat

penyuntikan akan timbul bentol dan kemerahan dalam waktu 30-60 menit. Tes

ini dapat dikatakan sensitif tetapi tidak spesifik pada pengukuran aktivitas

melepaskan histamin oleh basofil. Pada penelitian sebelumnya, ASST yang

positif dapat dihasilkan dari pelepasan histamin oleh sel mast kulit tetapi

bukan oleh basofil yang berasal dari donor sehat. 3

10
Adanya autoantibodi anti IgE ini dapat dideteksi melalui

immunooassay dengan metode ELISA atau western blotting. Selain pada

pasien urtikaria kronik, autoantibody ini bisa didapatkan pada pasien atopi

ataupun pasien sehat. Autoantibodi terhadap reseptor Fc IgE juga bisa

didapatkan pada pasien dermatomiositis, lupus eritematosus sistemik,

pemfigus vulgaris dan pemfigoid bulosa. 3

Peranan sel mast kulit pada urtikaria kronik, untuk pertama kali

diperkenalkan oleh Juhlin pada tahun 1967. Dinyatakan bahwa hampir pada

semua pasien urtikaria kronik, menunjukkan peningkatan histamin pada lesi

urtikaria. Hasil yang sama diperoleh pada kasus cold urticaria. Kadar histamin

total pada lesi urtikaria ataupun pada kulit yang tanpa lesi, lebih tinggi pada

pasien urtikaria kronik dibandingkan pasien tanpa urtikaria. Waktu yang

diperlukan sel mast untuk melepaskan histamin pada pasien cold urticaria,

ternyata tidak sesederhana dengan cara menurunkan temperatur kulit sehingga

terjadi degranulasi sel mast ataupun menghangatkannya sebelum dilakukan

tes. 3

Pada pasien urtikaria, berkembang pendapat mengenai terjadinya

peningkatan kemampuan sel mast dalam melepaskan histamin serta

peningkatan jumlahnya/ kadarnya. Keadaan ini dapat diketahui melalui tes

kulit menggunakan bahan degranulator sel mast yang non spesifik, seperti

misalnya larutan 48/80 atau menggunakan kodein. Peningkatan histamin ini

murni akibat degranulasi sel mast kulit dan bukan akibat sekunder dari

mobilisasi dan stimulasi basofil yang juga dikenal sebagai sumber histamin.

Kenyataan ini terlihat dari peningkatan kadar triptase, selain histamin pada

cairan urtikaria. 3

11
Peranan neuropeptida dalam hal degranulasi sel mast belum jelas dan

masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Mungkin saja pada lingkungan

mikro di sekitar sel rnast terjadi peningkatan sitokin, kemokin atau histomin

releosing foctors yang pada gilirannya dapat menurunkan ambang rangsang

sel mast, sehingga mudah terdegranulasi. 3

Angioedema diakibatkan oleh peningkatan aktivitas komponen dari

komplemen yang mengarah pada pembentukan bahan-bahan vasoaktif dari

peptida yang menyerupai kinin dan bradikinin. Trauma mekanik ringan

mengaktifkan faktor Hageman (faktor XII) yang mengawali pembentukan

plasmin dan kalikrein. Plasmin selanjutnya mengaktifkan C1 dengan

pembentukan C2 kinin-like peptide,sedangkan kalikrein menghasilkan

bradikinin yang berasal dari kininogen. Cl inhibitor menghambat fungsi

katalitik dari faktor XII aktif, kalikrein dan komponen C1. Dengan demikian

bisa dipahami, pada pasien defisiensi C7 inhibitor, selama terjadinya serangan

klinik angioedema, terjadi peningkatan kadar bradikinin. Di lain pihak, kadar

C4 komplemen akan menurun. Pada kasus defisiensi C7 inhibitor yang

didapat bisa dikaitkan adanya penyakit autoimun atau Limfoma. 3

2.5 Gejala Klinis

Rasa gatal yang hebat hampir selalu merupakan keluhan subyektif

urtikaria, dapat juga timbul rasa terbakar atau rasa tertusuk. Secara klinis

tampak lesi urtika (eritema dan edema setempat yang berbatas tegas) dengan

berbagai bentuk dan ukuran. Kadang-kadang bagian tengah lesi tampak lebih

pucat. Bila terlihat urtika dengan bentuk papular, patut dicurigai adanya

gigitan serangga atau sinar ultraviolet sebagai penyebab.1

12
Bila lesi melibatkan jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan

subkutis atau submukosa, akan terlihat edema dengan batas difus dan disebut

angioedema. Rasa gatal umumnya tidak dijumpai pada angioedema, namun

terdapat rasa terbakar. Angioedema sering dijumpai di kelopak mata dan bibir.

Bila angioedema terjadi di mukosa saluran napas dapat terjadi sesak napas,

suara serak dan rinitis. Angioedema di saluran cerna bermanifestasi sebagai

rasa mual, muntah, kolik abdomen dan diare. 1

Urtikaria akibat tekanan mekanis dapat dijumpai pada tempat-tempat

yang tertekan pakaian misalnya di sekitar pinggang, bentuknya sesuai dengan

tekanan yang menjadi penyebab. Pada pasien seperti ini, uji dermografis

menimbulkan lesi urtika yang linier pada kulit setelah digores dengan benda

tumpul. 1

Urtikaria kolinergik memberikan gambaran klinis yang khas, yaitu

urtika dengan ukuran kecil 2-3 mm, folikular, dan dipicu oleh peningkatan

suhu tubuh akibat latihan fisik, suhu lingkungan yang sangat panas dan emosi.

Urtikaria kolinergik terutama dialami oleh remaja dan dewasa muda.1

2.6 Diagnosa

Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis yang cermat,

umumnya diagnosis dan angioedema dapat dengan mudah. Pemeriksaan

penunjang dibutuhkan untuk menyokong diagnosis dan mencari penyebab.

Perlu pula dipertimbangkan beberapa penyakit sebagai diagnosis banding

karena me- miliki gejala urtika atau mirip urtika dalam perjalanan

penyakitnya, yaitu vaskulitis, mastositosis, pemfigoid bulosa, pitiriasis rosea

tipe papular, lupus eritematosus kutan, anafilaktoid purpura (Henoch-

13
Schonlein purpura), dan morbus Hansen. Untuk menyingkirkan diagnosis

banding ini, perlu dilakukan pemeriksaan histopatologis kulit. 1

2.7 Pemeriksaan Penunjang

a) Tes Alergi. Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi

dengan melakukan tes kulit invivo (skin prick test), pemeriksaan IgE spesifik

(radio- allergosorbent test-RASTS) atau invitro yang mempunyai makna yang

sama. Apabila secara klinis "memungkinkan", dapat dilakukan tes provokasi.

Pada prinsipnya tes kulit dan RAST, hanya bisa memberikan informasi adanya

reaksi hipersensitivitas tipe 1. Tes yang demikian itu tidak dapat menunjang

diagnosis urtikaria vaskulitis yang merupakan reaksi imun kompleks atau

sitotoksik, sebagaimana terjadi akibat obat-obatan atau transfusi darah. Untuk

urtikaria akut, tes-tes alergi mungkin sangat bermanfaat, khususnya bila

urtikaria muncul sebagai bagian dari reaksi anafilaksis. Pada kasus urtikaria

kontak, mungkin sulit dilacak penyebabnya dari riwayat perjalanan

penyakitnya. Bentuk lain dari intoleransi obat dan makanan yang tidak

diperantarai oleh lgE, mungkin dihubungkan dengan manifestasi klinis sebagai

urtikaria kronik. Untuk mengetahui adanya faktor vasoaktif seperti histamine-

releasing autoantibodies, tes injeksi intradermal menggunakan serum pasien

sendiri (autologous serum Skin test-ASST) dapat dipakai sebagai tes

penyaring yang cukup, sederhana.3

b) Tes Provokasi. Tes provokasi akan sangat membantu diagnosis urtikaria fisik,

bila tes-tes alergi memberi hasil yang meragukan atau negatif. Namun

demikian, tes provokasi ini harus dipertimbangkan secara hati-hati untuk

menjamin keamanannya. Hal ini dilakukan pada tempat yang mempunyai

tenaga ahli dan fasilitas untuk resusitasi, teruta ma bila ada riwayat anafilaksis

14
atau reaksi anafilaktoid. Adanya alergen kontak terhadap karet sarung tangan

atau buah-buahan, dapat dilakukan tes pada lengan bawah, pada kasus

urtikaria kontak. Tes provokasi oral mungkin diperlukan untuk mengetahui

kemungkinan urtikaria akibat obat dan makanan tertentu. Tes ini

menggunakan suatu seri kapsul yang mengandung pengawet makanan,

pewarna makanan, dan dosis kecil asetilsalisilat yang diberikan secara

bergantian dengan kapsul plasebo. Metode tes seperti ini relatif sulit

disimpulkan dan pasien harus benar-benar tidak mengonsumsi obat-obatan.

Selain itu, tes ini dilakukan saat tidak terjadi urtikaria, diet ketat terhadap

bahan yang dicurigai sebelum dilakukannya tes tersebut.3

c) Biopsi. Punch biopsy dengan ukuran 4 mm dapat digunakan membantu

diagnosis. Urtikaria mencakup kelainan histopatologis yang luas, mulai

infiltrasi berbagai macam sel radang yang agak jarang dengan edema dermis

hingga edema dermis yang menonjol disertai infiltrasi sel-sel radang yang

relatif banyak. Sel-sel infiltrat tersebut terdiri dari netrofil, limfosit dan

eosinofil. Adanya infiltrat eosinofil, lebih mengarah pada urtikaria alergi. Pada

beberapa pasien vaskulitis nekrotikan, tampakjuga inflamasi dengan sel-sel

radang limfosit yang jarang disekitar pembuluh darah dermis dengan atau

tanpa eosinofil. 3

d) Pemeriksaan pelengkap. Pemeriksaan darah rutin biasanya tidak banyak

membantu diagnosis urtikaria umumnya atau urtikaria fisik. Pemeriksaan

tersebut bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit

penyerta, misalnya urtikaria vaskulitis atau adanya infeksi penyerta.

Pemeriksaan-pemeriksaan seperti komplemen, autoantibodi, elektroforesis

serum, faal ginjal, faal hati dan urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria

15
vaskulitis. Pemeriksaan C1 inhibitor dan C4 komplemen sangat penting pada

kasus angioedema berulang tanpa urtikaria.3

2.8 Penatalaksanaan

Hal terpenting dalam penatalaksanaan urtikaria adalah identifikasi dan

eliminasi penyebab dan atau faktor pencetus. Pasien juga dijelaskan tentang

pentingnya menghindari konsumsi alkohol, kelelahan fisik dan mental,

tekanan pada kulit misalnya pakaian yang ketat, dan suhu lingkungan yang

sangat panas, karena hal-hal tersebut akan memperberat gejala urtikaria. 1

Asian consensus guidelines yang diajukan oleh AADV pada tahun

2011 untuk pengelolaan urtikaria kronis dengan menggunakan antihistamin

H1 non-sedasi, yaitu1:

 Antihistamin H1 non-sedasi (AH1-ns), bila gejala menetap setelah 2

minggu

 AH1-ns dengan dosis ditingkatkan sampai 4x, bila gejala menetap

setelah 1-4 minggu

 AH1 sedasi atau AH1-ns golongan lain + anatagonis leukotrien, bila

terjadi eksaserbasi gejala, tambahkan kortikosteroid sistemik 3-7 hari

 Bila gejala menetap setelah 1-4 minggu, tambahkan siklosporin A,

AH2, dapson, omalizumab

 Eksaserbasi di atasi dengan kortikosteroid sistemik 3-7 hari

Terapi lini pertama untuk urtikaria adalah antihistamin H1 generasi

baru (non-sedasi) yang dikonsumsi secara teratur, bukan hanya digunakan

ketika lesi muncul. Pemberian antihistamin tersebut harus mempertimbangkan

usia, status kehamilan, status kesehatan dan respons individu. Bila gejala

menetap setelah 2 minggu, diberikan terapi lini kedua, yaitu dosis AH1-ns

16
dinaikkan, dapat mencapai 4 kali dosis biasa, dengan mempertimbangkan

ukuran tubuh pasien. Bila gejala menetap setelah 1-4 minggu, dianjurkan

penggunaan terapi lini ketiga, yaitu mengubah jenis antihistamin menjadi AH1

sedasi atau AH1-ns golongan lain, ditambah dengan antagonis leukotrien,

misalnya zafirlukast atau montelukast. 1

Dalam terapi lini ketiga ini, bila muncul eksaserbasi lesi, dapat

diberikan kortikosteroid sistemik (dosis 10-30 mg prednison) selama 3-7 hari.

Bila gejala menetap setelah 1-4 minggu, dianjurkan pemberian terapi lini

keempat, yaitu penambahan antihistamin H2 dan imunoterapi. Imunoterapi

dapat berupa siklosporin A, omalizumab, imunoglobulin intravena (IVIG),

plasmaferesis, takrolimus oral, metotreksat, hikroksiklorokuin dan dapson.

Eksaserbasi lesi yang terjadi selama terapi lini keempat, diatasi dengan

pemberian kortikosteroid sistemik (prednison 10-30 mg) selama 3-7 hari. 1

Dalam tatalaksana urtikaria, selain terapi sistemik, juga dianjurkan

untuk pemberian terapi topikal untuk mengurangi gatal, berupa bedak kocok

atau losion yang mengandung mentol 0.5-1% atau kalamin. Dalam praktek

sehari-hari, terapi lini pertama dan kedua dapat diberikan oleh dokter umum,

dan apabila penatalaksanaan tersebut tidak berhasil, sebaiknya pasien dirujuk

untuk penatalaksanaan lebih lanjut. 1

Pada urtikaria yang luas atau disertai dengan angioedema, perlu

dilakukan rawat inap dan selain pemberian antihistamin, juga diberikan

kortiko- steroid sistemik (metilprednisolon dosis 40-200 mg) untuk waktu

yang singkat. Bila terdapat gejala syok anafilaksis, dilakukan protokol

anafilaksis termasuk pemberian epinefrin 1:1000 sebanyak 0.3 ml

intramuskular setiap 10-20 menit sesuai kebutuhan. 1

17
2.9 Prognosis

Prognosis urtikaria akut baik, karena penyebabnya dapat diketahui

dengan mudah, untuk selanjutnya dihindari. Urtikaria kronis merupakan

tantangan bagi dokter maupun pasien, karena membutuhkan penanganan

yang komprehensif untuk mencari penyebab dan menentukan jenis

pengobatannya. Walaupun umumnya tidak meng- ancam jiwa, namun

dampaknya terhadap kualitas hidup pasien sangat besar. Urtikaria yang luas

atau disertal dengan angioedema merupakan kedaruratan dalam ilmu

kesehatan kulit dan kelamin, sehingga membutuhkan penanganan yang tepat

untuk menurunkan mortalitas.1

18
BAB III

PEMBAHASAN

Urtikaria dan angioedema merupakan edema nonpitting yang dapat

terjadi secara tersendiri atau bersamaan. Selain di kulit, kelainan yang sama

dapat teriadi pada permukaan mukosa gastrointestinal ataupun saluran napas

atas. Episode urtikaria/angioedema yang berlangsung kurang dari 6 minggu

disebut urtikaria/ angioedema akut. Dan bila proses tersebut menetap lebih

dari 6 minggu, disebut kronik.3

Penatalaksanaan pada urtikaria maupun angioedema pada prinsinya

menghindari bahan penyebab dan faktor pencetus. Kemudian dapat diterapi

dengan obat Terapi lini pertama berupa pemberian antihistamin untuk

mengurangi keluhan gatal, mempercepat hilangnya dan mengurangi jumlah

bentol kulit. Terapi lini kedua ditentukan berdasarkan indikasi khusus, sering

terjadi pada kekambuhan yang berat, angioedema laring, menderita depresi,

hipertensi, penyakit tiroid, autoimun, delayed pressure urticaria, atau sensitive

terhadap aspirin. Terapi lini ketiga ditujukan pada penderita urtikaria

autoimun.1

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Siti Aisah, Evita Halim Efendi. Urtikaria dan Angioedema. Dalam : Sri Linuwih

SW Menaldi, Kusmarinah Bramono, Wresti Indriatmi, editor. Ilmu Penyakit Kulit

dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2017.P.311-314

2. Fitria. Aspek Etiologi dan Klinis pada Urtikaria dan Angioedema. Jurnal

Kedokteran Syiah Kuala Volume 13.Banda Aceh. 2013.

3. Ari Baskoro ,Gatot Soegiarto, Chairul Effendi, PG.Konthen. Urtikaria dan

Angioedema. Dalam : Siti Setiati, Idrus Alwi, Aru W.Sudoyo, Marcellus

Simadibrata K, Bambang Setiyohadi, Ari Fahrial Syam, editor. Ilmu Penyakit

Dalam. Jilid 1. Edisi VI. Jakarta : Interna Publishing ;2014.P.495-498

20

Anda mungkin juga menyukai