Anda di halaman 1dari 9

DEFINISI

Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit, ditandai dengan adanya edema

setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwama pucat atau

kemerahan, umumnya di- kelilingi oleh halo kemerahan (flare) dan disertai rasa

gatal yang berat, rasa tersengat atau tertusuk.

Angioedema adalah reaksi yang menyerupai urtikaria, namun terjadi pada

lapisan kulit yang lebih dalam,dan secara klinis ditandai dengan pembengkakan

jaringan. Rasa gatal tidak lazim terdapat pada angioedema, lebih sering disertai

rasa terbakar. Angioedema dapat terjadi di bagian tubuh manapun, namun lebih

sering ditemukan di daerah perioral, periorbital, lidah, genitalia dan ekstremitas.

EPIDEMIOLOGI

Urtikaria dan angioedema merupakan gangguan yang sering dijumpai.

Faktor usia, ras. jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografis dan musim

memengaruhi jenis pajanan yang akan dialami oleh seseorang. Urtikaria atau

angioedema digolongkan sebagai akut bila berlangsung kurang dari 6 minggu,

dan dianggap kronis bila lebih dari 6 minggu. Urtikaria kronis umumnya dialami

oleh orang dewasa, dengan perbandingan perempuan : laki-laki adalah 2:1.

Sebagian besar anak-anak (85%) yang mengalami urtikaria, tidak disertai

angioedema. Sedangkan 40% dewasa yang mengalami urtikaria, juga mengalami

angioedema. Sekitar 50% pasien urtikaria kronis akan sembuh dalam waktu 1

tahun, 65% sembuh dalam waktu 3 tahun dan 85% akan sembuh dalam waktu 5

tahun. Pada kurang dari 5% pasien, lesi akan menetap lebih dari 10 tahun .
ETIOPTOGENESIS

Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang

meningkat akibat penglepasan histamin dari sel mast dan basofil. Sel mast adalah

sel efektor utama pada urtikaria, dan mediator lain yang turut berperan adalah

serotonin, leukotrien, prostaglandin, protease dan kinin. Berbagai mekanisme

dapat menyebabkan aktivasi sel mast, digolongkan menjadi :

1. Faktor imunologik yang terdiri atas:

 hipersensitivitas tipe cepat yang diperantarai IgE, contohnya alergi obat

 Aktivasi komplemen jalur klasik maupun altenatif, menghasil kan (C3a,

C4a dan C5a) yang menyebabkan pelepasan mediator sel mast faktor non-

imunologik yang mengakibatkan aktivasi langsung sel mast

2. Faktor non imunologik yang mengakibatkan aktivasi langsung sel mast

oleh penyebab, misalnya bahan kimia pelepas mediator (morfin, kodein, media

radio-kontras, aspirin, obat anti-inflamasi non-steroid, benzoat), faktor fisik (suhu,

mekanik, sinar-X, ultraviolet, efek kolinergik).

Penyebab urtikaria sangat beragam, di antara- nya: obat, makanan dan

food additive, infeksi dan infestasi, proses inflamasi, penyakit sistemik dan

keganasan, proses autoimun dan rangsangan fisik. Lebih dari 50% urtikaria kronis

adalah idiopatik.

Obat merupakan penyebab tersering urtikaria akut dan dapat menimbulkan

urtikaria secara imunologik maupun non-imunologik. Jenis obat yang sering

menimbulkan urtikaria adalah penisilin dan derivatnya, sulfonamid, analgesik,

aspirin dan obat anti-inflamasi non-steroid lain, Angiotensin Converting Enzyme


(ACE) inhibitor (umum- nya dihubungkan dengan angioedema), narkotik (kodein

dan morfin), dan alkohol.

Makanan juga merupakan penyebab urtikaria akut, dan jenis makanan

yang sering dihubung- kan dengan urtikaria adalah cokelat, makanan laut, telur,

susu, kacang-kacangan, tomat, stroberi, keju dan bawang. Sebagian kecil (<10 % )

urtikaria kronis disebabkan oleh food additives misalnya ragi, salisilat, asam

sitrat, asam benzoat, sulfit dan pewama makanan.

Urtikaria akut dapat timbul akibat infeksi saluran napas atas terutama

infeksi streptokokus. Infeksi tonsil, gigi, sinus, kandung empedu, prostat, ginjal

dan saluran kemih dapat menyebabkan urtikaria akut maupun kronis. Infeksi virus

dan infeksi jamur pada kulit dan kuku juga termasuk keadaan yang dapat

menimbulkan urtikaria. Infestasi parasit, termasuk infestasi cacing, giardia dan

amuba perlu dipertimbangkan sebagai penyebab urtikaria di negara berkembang.

Pada negara tropis dianjurkan untuk menambahkan obat cacing pada pasien

urtikaria tanpa mempertimbangkan ada tidaknya eosinofilia. Tungau debu rumah

merupakan alergen yang sering dijumpai dan sensitivitas terhadap tungau debu

rumah telah terbukti pada pasien urtikaria kronis.

Saat ini telah diketahui inflamasi kronis akibat berbagai penyakit juga

dapat menimbulkan dibuktikan pada gastritis, esofagitis refluks, dan peradangan

empedu.

Urtikaria kronis juga dapat berhubungan dengan penyakit sistemik dan

keganasan, misal- nya keadaan hipertiroid maupun hipotiroid, penyakit Hodgkin

dan leukemia limfositik kronis. Pada 25% 45% pasien urtikaria kronik idiopatik,
dijumpai adanya autoantibodi fungsional terhadap reseptor IgE pada sel mast

(FceR1) atau terhadap IgE yang dapat menimbulkan pelepasan mediator dari sel

mast, dan dikenal sebagai urtikaria autoimun.

Berbagai rangsangan fisis dapat menimbul- kan urtikaria di antaranya

suhu (panas dan dingin), sinar matahari, radiasi dan tekanan mekanis

(dermografisme dan delayed pressure urticaria). Jenis urtikaria ini sering disebut

urtikaria fisik, dan sebagian ahli memisahkannya dalam golongan tersendiri.

GAMBARAN KLINIS

Rasa gatal yang hebat hampir selalu merupakan keluhan subyektif

urtikaria, dapat juga timbul rasa terbakar atau rasa tertusuk. Secara klinis tampak

lesi urtika (eritema dan edema setempat yang berbatas tegas) dengan berbagai

bentuk dan ukuran. Kadang-kadang bagian tengah lesi tampak lebih pucat. Bila

terlihat urtika dengan bentuk papular, patut dicurigai adanya gigitan serangga atau

sinar ultraviolet sebagai penyebab.

Bila lesi melibatkan jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan subkutis

atau submukosa, akan terlihat edema dengan batas difus dan disebut angioedema.

Rasa gatal umumnya tidak dijumpai pada angioedema, namun terdapat rasa

terbakar. Angioedema sering dijumpai di kelopak mata dan bibir. Bila

angioedema terjadi di mukosa saluran napas dapat terjadi sesak napas, suara serak

dan rinitis. Angioedema di saluran cerna bermanifestasi sebagai rasa mual,

muntah, kolik abdomen dan diare.

Urtikaria akibat tekanan mekanis dapat dijumpai pada tempat-tempat yang

tertekan pakaian misalnya di sekitar pinggang, bentuknya sesuai dengan tekanan


yang menjadi penyebab. Pada pasien seperti ini, uji dermografis menimbulkan lesi

urtika yang linier pada kulit setelah digores dengan benda tumpul.

Urtikaria kolinergik memberikan gambaran klinis yang khas, yaitu urtika

dengan ukuran kecil 2-3 mm, folikular, dan dipicu oleh peningkatan suhu tubuh

akibat latihan fisik, suhu lingkungan yang sangat panas dan emosi. Urtikaria

kolinergik terutama dialami oleh remaja dan dewasa muda.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang pada urtikaria ter- utama ditujukan untuk mencari

penyebab atau pemicu urtikaria. Adapun pemeriksaan yang perlu dilakukan

adalah :

1. Pemeriksaan darah, urin dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi

infestasi, atau kelainan alat dalam.

2. Pemeriksaan kadar lgE total dan eosinofil untuk mencari kemungkinan

kaitannya dengan faktor atopi.

3. Pemeriksaan gigi, THT dan usapan genitalia interna wanita untuk mencari

fokus infeksi.

4. Uji tusuk kulit terhadap berbagai makanan dan inhalan.

5. Uji serum autolog dilakukan pada pasien urtikaria kronis untuk membuktikan

adanya urtikaria autoimun

6. Uji dermografisme dan uji dengan es batu (ice cube test) untuk mencari

penyebab fisik.

7. Pemeriksaan histopatologis kulit perlu dilakukan bila terdapat kemungkinan

urtikaria sebagai gejala vaskulitis atau mastositosis


DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis yang cermat,

umumnya diagnosis dan angioedema dapat dengan mudah. Pemeriksaan

penunjang dibutuhkan untuk menyokong diagnosis dan mencari penyebab. Perlu

pula dipertimbangkan beberapa penyakit sebagai diagnosis banding karena me-

miliki gejala urtika atau mirip urtika dalam perjalanan penyakitnya, yaitu

vaskulitis, mastositosis, pemfigoid bulosa, pitiriasis rosea tipe papular, lupus

eritematosus kutan, anafilaktoid purpura (Henoch-Schonlein purpura), dan

morbus Hansen. Untuk menyingkirkan diagnosis banding ini, perlu dilakukan

pemeriksaan histopatologis kulit.

TATA LAKSANA

Hal terpenting dalam penatalaksanaan urtikaria adalah identifikasi dan

eliminasi penyebab dan atau faktor pencetus. Pasien juga dijelaskan tentang

pentingnya menghindari konsumsi alkohol, kelelahan fisik dan mental, tekanan

pada kulit misalnya pakaian yang ketat, dan suhu lingkungan yang sangat panas,

karena hal-hal tersebut akan memperberat gejala urtikaria.

Asian consensus guidelines yang diajukan oleh AADV pada tahun 2011

untuk pengelolaan urtikaria kronis dengan menggunakan antihistamin H1 non-

sedasi, yaitu:

 Antihistamin H1 non-sedasi (AH1-ns), bila gejala menetap setelah 2

minggu
 AH1-ns dengan dosis ditingkatkan sampai 4x, bila gejala menetap setelah

1-4 minggu

 AH1 sedasi atau AH1-ns golongan lain + anatagonis leukotrien, bila

terjadi eksaserbasi gejala, tambahkan kortikosteroid sistemik 3-7 hari

 Bila gejala menetap setelah 1-4 minggu, tambahkan siklosporin A, AH2,

dapson, omalizumab

 Eksaserbasi di atasi dengan kortikosteroid sistemik 3-7 hari

Terapi lini pertama untuk urtikaria adalah antihistamin H1 generasi baru

(non-sedasi) yang dikonsumsi secara teratur, bukan hanya digunakan ketika lesi

muncul. Pemberian antihistamin tersebut harus mempertimbangkan usia, status

kehamilan, status kesehatan dan respons individu. Bila gejala menetap setelah 2

minggu, diberikan terapi lini kedua, yaitu dosis AH1-ns dinaikkan, dapat

mencapai 4 kali dosis biasa, dengan mempertimbangkan ukuran tubuh pasien.

Bila gejala menetap setelah 1-4 minggu, dianjurkan penggunaan terapi lini ketiga,

yaitu mengubah jenis antihistamin menjadi AH1 sedasi atau AH1-ns golongan

lain, ditambah dengan antagonis leukotrien, misalnya zafirlukast atau

montelukast.

Dalam terapi lini ketiga ini, bila muncul eksaserbasi lesi, dapat diberikan

kortikosteroid sistemik (dosis 10-30 mg prednison) selama 3-7 hari. Bila gejala

menetap setelah 1-4 minggu, dianjurkan pemberian terapi lini keempat, yaitu

penambahan antihistamin H2 dan imunoterapi. Imunoterapi dapat berupa

siklosporin A, omalizumab, imunoglobulin intravena (IVIG), plasmaferesis,

takrolimus oral, metotreksat, hikroksiklorokuin dan dapson. Eksaserbasi lesi yang


terjadi selama terapi lini keempat, diatasi dengan pemberian kortikosteroid

sistemik (prednison 10-30 mg) selama 3-7 hari.

Dalam tatalaksana urtikaria, selain terapi sistemik, juga dianjurkan untuk

pemberian terapi topikal untuk mengurangi gatal, berupa bedak kocok atau losion

yang mengandung mentol 0.5-1% atau kalamin. Dalam praktek sehari-hari, terapi

lini pertama dan kedua dapat diberikan oleh dokter umum, dan apabila

penatalaksanaan tersebut tidak berhasil, sebaiknya pasien dirujuk untuk

penatalaksanaan lebih lanjut.

Pada urtikaria yang luas atau disertai dengan angioedema, perlu dilakukan

rawat inap dan selain pemberian antihistamin, juga diberikan kortiko- steroid

sistemik (metilprednisolon dosis 40-200 mg) untuk waktu yang singkat. Bila

terdapat gejala syok anafilaksis, dilakukan protokol anafilaksis termasuk

pemberian epinefrin 1:1000 sebanyak 0.3 ml intramuskular setiap 10-20 menit

sesuai kebutuhan.

PROGNOSIS

Prognosis urtikaria akut baik, karena penyebabnya dapat diketahui dengan

mudah, untuk selanjutnya dihindari. Urtikaria kronis merupakan tantangan bagi

dokter maupun pasien, karena membutuhkan penanganan yang komprehensif

untuk mencari penyebab dan menentukan jenis pengobatannya. Walaupun

umumnya tidak meng- ancam jiwa, namun dampaknya terhadap kualitas hidup

pasien sangat besar. Urtikaria yang luas atau disertal dengan angioedema
merupakan kedaruratan dalam ilmu kesehatan kulit dan kelamin, sehingga

membutuhkan penanganan yang tepat untuk menurunkan mortalitas.

Anda mungkin juga menyukai