Anda di halaman 1dari 9

1.

Repetisi

Repetisi adalah ….
Dalam repetisi pengulangan dapat berupa satu kata, frasa, klausa, bahkan satu kalimat.
Pengulangan ini menunjukkan kuantitas, penegasan, atau untuk keindahan.

Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di hati gadis menurun.

Bagian sajak yang dicetak miring, merupakan repetisi (pengulangan). Memang, di dalam
sajak atau lagu sering ada bagian yang diulang secara utuh dan hal itu disebut refrein.

2. Pleonasme

Sebagai bupati, Ibu Suharti harus sering turun ke bawah untuk melihat kondisi masyarakat.
(karena turun pastilah ke bawah bukan ke atas)

Contoh lain:
Susi telah melihat penyelewengan suaminya dengan mata kepalanya sendiri.
(karena tidak mungkin melihat dengan mata orang lain).

Kita harus dapat berdiri di atas kaki sendiri


(karena tidak mungkin berdiri dengan menggunakan kaki orang lain).

3. Simile (disebut juga perumpamaan atau perbandingan)

Jadi perbandingan bersifat eksplisit.

Contoh:
- “Wajah ibu dan anak itu bagaikan pinang dibelah dua.”

4. Metafora

Contoh:
- Banyak siswa yang mencoba memperebutkan mawar sekolah itu.
Pada kalimat di atas, kata mawar digunakan untuk menyebut gadis. Ini berarti, keduanya
diperbandingkan.
Komponen makna penyama: cantik / indah, segar, harum, berduri, cepat layu.
Komponen makna pembeda: untuk “gadis” adalah manusia, berjenis wanita,
untuk “mawar” adalah bagian dari tanaman

5. Personifikasi dan depersonifikasi.


Personifikasi adalah majas yang menampilkan binatang, tanaman, atau benda sebagai
manusia.

Contoh:
- “Melambai-lambai, nyiur di pantai” (cuplikan lagu Tanah airku Indonesia)

Unsur yang dibandingkan: “gerakan tangan” dengan “gerakan daun nyiur”. Komponen
makna penyama: „gerakan‟, „bagian dari sesuatu yang besar‟ (tangan/daun) Komponen
makna pembeda untuk tangan adalah bagian dari „manusia‟.
Komponen makna pembeda untuk daun nyiur adalah „tanaman‟.
Di sini yang muncul hanya gerakan daun nyiur, sedangkan gerakan tangan manusia
menjadi implisit. Acuan pun berubah, yang melambai bukan lagi tangan manusia,
melainkan daun nyiur.

Di lain pihak, depersonifikasi adalah majas yang menampilkan manusia sebagai


binatang, benda-benda alam, atau benda lainnya. Jadi, sebenarnya depersonifikasi adalah
lawan dari personifikasi, namun proses pembentukan kedua majas ini sama.
Contoh:
- Tono diam, mematung
- Unsur yang dibandingkan: “tubuh manusia (Tono)” dengan “patung”
Komponen makna penyama: „sesuatu yang diam, tidak bergerak‟.
Komponen makna pembeda untuk tubuh Tono: „manusia yang mempunyai tubuh dan
jiwa.‟
Komponen makna pembeda untuk patung: „benda, hasil karya manusia yang terbuat
dari batu, kayu atau semen‟.
Yang muncul di sini hanya leksem mematung, sedangkan “tubuh” bersifat implisit.
Acuannya bukan lagi benda melainkan tubuh manusia.

1.3 Majas berdasarkan pada oposisi makna.


1.3.1 Antitese
Antitese adalah oposisi antara dua gagasan, dengan menggunakan dua leksem
atau frase yang disandingkan agar lebih jelas dan menonjol kontrasnya. Kedua leksem
mengandung makna yang berlawanan dan keduanya muncul bersama, jadi tidak bersifat
implisit.
Contoh: - Besar-kecil, tua-muda, kaya-miskin semua berlomba-lomba ingin hidup senang
Kedua leksem yang ditampilkan dengan garis penghubung (misalnya besar-kecil),
mempunyai makna yang berlawanan satu sama lain.

Contoh lain: Hidup-mati saya ada di tangan anda.


Dalam kalimat di atas, leksem hidup mempunyai makna yang berlawanan dengan makna
‘tidak hidup‟ yang ada dalam leksem mati.

Penulis beranggapan tidak perlu mengemukakan bagan wilayah makna maupun bagan
segitiga semantik di sini, karena leksem-leksem di atas telah jelas beroposisi. Jadi, baik
wilayah makna maupun segitiga semantiknya masing-masing berdiri sendiri.

1.3.2 Paradoks

Paradoks adalah opini atau argumen yang berlawanan dengan pendapat umum,
bisa dianggap aneh atau luar biasa. Dikatakan juga paradoks, suatu proposisi yang salah
tetapi sekali gus juga benar. Sering kali di balik gagasan yang mengherankan, paradoks
menyembunyikan kebenaran yang dapat dipertahankan. Dalam majas ini, ada dua
penanda yang mempunyai makna yang beroposisi. Kedua penanda muncul, jadi tidak
bersifat implisit. Namun, oposisi itu ada dalam makna kata saja, sedangkan di dalam
kehidupan seringkali paradoks itu tidak merupakan oposisi melainkan menguat-
kan makna. Contoh: - “Aku merasa kesepian di tengah keramaian ini.” Berikut
ini akan dikemukakan bagan wilayah makna:
Bagan wilayah makna ini perlu dikemukakan
dalam lingkup konteks pengujaran (di sini di-
kemukakan dengan bentuk persegi panjang)
karena bila tidak, majas paradoks tak akan
dipahami dan kata-kata yang ada hanya akan
dianggap aneh..
Di dalam leksem kesepian terdapat komponen makna „tidak ramai‟, sehingga tentu saja
beroposisi dengan leksem keramaian.Dalam tataran denotatif gagasan yang beroposisi ini
tidak mempunyai konteks (pendapat “umum”), sehingga tampak mengherankan atau aneh.
Walaupun demikian, secara konotatif, keduanya merupakan paradoks, karena sebenarnya
hal ini sering terjadi bila seseorang merasa tidak mempunyai hubungan dengan orang-
orang yang berada di sekitarnya. Inilah yang disebut paradoks. Berikut ini bagan segitiga
semantik dengan konteksnya:

Contoh lain: - “Meskipun hatinya sangat panas, kepalanya tetap dingin.”


Leksem panas dan leksem dingin mengandung komponen makna yang berlawanan.
Ujaran itu tampak aneh, luar biasa, karena hati dan kepala yang dimaksud, berada dalam
diri satu orang manusia. Jadi acuannya tidak sesuai dengan pendapat “umum”.Meskipun
demikian, secara konotatif, hal itu bisa saja terjadi, bahkan seharusnya demikian. Inilah
yang disebut paradoks.

1.3.3 Ironi

Dalam ironi, pengujar menyampaikan sesuatu yang sebaliknya dari apa yang
ingin dikatakannya, jadi di sini terdapat satu penanda dengan dua kemungkinan petanda.
Ironi mengandung antonimi atau oposisi antara kedua tataran isi. Ironi juga mengandung
kesenjangan yang cukup kuat antara makna harfiah dan makna kiasan. Maka di dalam ironi
terdapat keharusan yang sering bertumpu pada makna inversi semantis, baik secara
keseluruhan maupun sebahagian. Hal ini menjadi ciri ironi. Apabila dilihat dari wilayah
maknanya, ironi tidak banyak berbeda dengan majas pertentangan lainnya. Namun dalam
ironi salah satu bentuk (penanda) tidak hadir, jadi bersifat implisit. Perlu diingat bahwa
pemahaman ironi sangat tergantung dari konteks (bahkan beberapa ahli bahasa membe-
dakan ironi dari majas lainnya, karena hal tersebut). Apabila konteks tidak mendukung
ironi, maka ujaran yang mengandung ejekan dapat menjadi pujian. Contoh: - “Wah,
pemerintah sekarang memang sukses, ya!”
“Benarkah pendapatmu demikian?”
“Ya, tentu saja, sukses dalam menaikkan harga-harga!”
Di sini, tampak ada dua petanda. Leksem sukses biasanya mengandung komponen makna
positif, tetapi kadang-kadang juga dapat mempunyai makna negatif apabila konteks
mendukungnya. Pada ujaran pertama, leksem sukses masih mengandung kemungkinan
bermakna positif (sebagaimana lazimnya), namun pada ujaran yang ke-3 leksem itu diikuti
frasa “menaikkan harga-harga” yang secara konotatif mempunyai makna negatif. Oposisi
makna ini menunjukkan adanya ironi. Di sini, konteks bersifat tekstual, sehingga tidak
mungkin ada makna pujian. Berkat konteksnya, ujaran yang mengandung gagasan positif,
dapat menyembunyikan makna yang negatif. Berikut ini dikemukakan bagan wilayah
makna ironi:

Sebenarnya, hampir semua majas memerlukan konteks, baik tekstual maupun


situasional. Meskipun demikian, ironi selalu terdiri dari unsur pragmatika khusus:
mengujarkan sesuatu dengan ironis selalu kurang lebih ditujukan pada sasaran
bulanbulanan. Dikatakan bahwa ironi sering kali digunakan untuk mengolok-
olok.Menyam- paikan sesuatu dengan ironis adalah menggunakan kosakata yang seakan
meninggikan nilai padahal merendahkannya. Selain perubahan petanda, dalam ironi juga
ada perubahan acuan. Berikut ini akan ditampilkan bagan segitiga semantik dalam ironi:

Contoh: - “Memang pandai kau, ya!”


Ujaran uni dapat berarti betul-betul memuji, jadi bukan ironi (apabila tidak ada oposisi
makna dengan penanda yang tersembunyi dalam konteks situasional). Namun, ujaran
itu bisa juga merupakan ironi, dan berarti “Kau bodoh sekali!” atau “Kau ini licik.”
Oposisi makna ini bersifat implisit.Di sini, konteks bersifat situasional, tak tampak dalam
ujaran. Jadi pemahamannya tergantung dari situasi pengujaran.

1.4 Majas berdasarkan kedekatan makna dan perubahan acuan

1.4.1 Metonimi
Dalam metonimi, pada awalnya, bukan komponen makna yang berperan
melainkan perubahan acuan. Menurut Tutescu (1979) berbeda dengan metafora, yang
berlandaskan hubungan persamaan antar unsur-unsur intern bahasa, metonimi
berlandaskan hubungan kontiguitas yang berarti hubungan ekstern. Beberapa orang ahli
linguistik – antara lain Tutescu - mengatakan bahwa penanda dapat ditransfer berkat
adanya kontiguitas acuan. Artinya penanda tertentu dapat digunakan untuk mengemukakan
suatu petanda yang lain, berkat adanya kontiguitas (kedekatan) acuan di antara kedua tanda.
Juga dikatakannya bahwa bila dalam metafora ada pertemuan / persilangan makna, maka
dalam metonimi terdapat ketercakupan atau kepemilikan bersama keseluruhan makna.
Tutescu mengemukakan bagan wilayah makna sebagai berikut:

Di sini tampak bahwa tak ada hubungan wilayah makna petanda yang pertama dan yang
ke dua, hanya saja ada kedekatan acuan antara keduanya (Tutescu, 1979: hal 102).
Namun, kini secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa proses metaforis berhubungan
dengan susunan makna, sedangkan metonimi hanya menampilkan kedekat- an acuan..
Kontiguitas itu dapat bersifat spasial, temporal ataupun kausal. Selanjutnya, berikut ini
akan dikemukakan bagan segitiga semantik metonimi:

Dalam bagan di atas, tampak bahwa ketiga leksem mempunyai penanda yang sama,
namun masing-masing mempunyai petanda yang berbeda, walaupun ada kedekatan di
anta- ra ketiga petanda itu (petanda yang kedua dan ketiga tercakup dalam petanda yang
perta- ma). Contoh: penanda /honda/ dapat mempunyai petanda manusia (yang memiliki
peru- sahaan), perusahaan yang menghasilkan mobil / motor atau benda yang dihasilkan,
yaitu mobil / motor itu. Seperti dalam metafora, di sini juga terjadi penyimpangan
makna, ha- nya saja dasarnya berbeda. Apabila dalam metafora dasar penyimpangan itu
adanya kom- komponen makna penyama pada kedua leksem, maka dalam metonimi yang
menjadi lan- dasan adalah hubungan kontiguitas acuan. Sebagaimana telah dikatakan di
atas, hubung- hubungan itu dapat bersifat spasial, temporal atau kausal.
Contoh ke-1: hubungan spasial
- “Sejak ayah Tuti naik pangkat, keluarganya telah membeli Honda.”
Sebenarnya, tidak ada persamaan komponen makna antara leksem “Honda” yang se-
mula mempunyai petanda nama orang, dan kemudian menjadi nama perusahaan
yang mereka miliki, dengan petanda dari leksem “mobil” atau “motor”. Namun, mo- bil
/ motor yang dibeli itu (acuan) berasal dari perusahaan Honda (juga acuan), se- hingga
kemudian leksem Honda berarti mobil atau motor. Di antara keduanya (pe- rusahaan
yang menghasilkan mobil / motor dan benda yang dihasilkan, ada kedekat- an spasial.

Contoh ke-2: hubungan temporal


- “Mingguan itu berisi gosip saja.”
Tidak ada hubungan makna antara leksem “mingguan” dengan “surat kabar”, namun
di antara keduanya hanya ada kedekatan acuan. Mingguan berarti sesuatu yang terja-
di seminggu sekali, jadi mengacu pada waktu; sedangkan surat kabar yang berisi gosip
itu (acuan) juga keluar seminggu sekali. Kedua penanda bisa saling menggantikan,
karena adanya hubungan temporal antara waktu mingguan dengan surat kabar yang
terbit seminggu sekali.

Contoh ke-3: hubungan kausal.


- “Paman Hamzah adalah seorang kuli tinta”
Pada masa kini, sebenarnya tidak ada hubungan makna antara “wartawan” dan “kuli
tinta” (sekarang jaman komputer, wartawan menggunakan komputer). Namun, kedua
penanda itu dapat saling menggantikan, karena dulu, ada hubungan kausal antara
leksem “wartawan” dan tindakannya yang selalu memburu berita dan menulisksnnya
dengan tinta. Karena itulah antara “kuli tinta” dengan profesi wartawan dianggap ada
hubungan kausal.

5.4.3.2 Sinekdoke

Dalam sinekdoke bukan hanya komponen makna yang berperan melainkan


juga hubungan antar acuan. Penanda dari leksem pertama dapat ditransfer ke leksem ke
dua berkat adanya komponen makna penyama. Selain itu, makna yang dimiliki oleh
petanda tertentu dengan acuan tertentu dapat digunakan untuk mengemukakan suatu
petanda lain dengan acuan yang lain pula, berkat adanya hubungan antar acuan. Hal ini
mengingatkan kita pada metonimi. Perbedaan di antara keduanya hanyalah bahwa apabila
dalam metonimi kedekatan acuan itu bersifat spasial, temporal atau kausal; maka dalam
sinekdoke kedekatan acuan itu disebabkan karena acuan yang pertama merupakan bagian
dari acuan yang kedua (pars prototo) atau acuan yang pertama mencakup acuan yang kedua
(totem proparto). Bagan wilayah maknanya tidak perlu dikemukakan di sini, karena dapat
dikatakan bahwa perpindahan makna itu berdasarkan adanya komponen makna penyama.
Sedangkan bagan segitiga semantiknya adalah sebagai berikut: Contoh
sebahagian untuk keseluruhan. Contoh keseluruhan untuk sebahagian.
Contoh sebahagian untuk keseluruhan:
- “Telah lama si Joko tak tampak batang hidungnya”.
Di sini sebenarnya ada dua leksem, sehingga seharusnya ada dua penanda. Namun,
penanda yang kedua bersifat implisit (segitiga semantiknya digambar dengan garis
terputus-putus). Penanda yang pertama adalah “batang hidung”, sedangkan yang
tersembunyi adalah “keseluruhan tubuh dan wajah manusia”. Dalam wilayah makna
hidung sebenarnya terdapat komponen makna bagian dari wajah manusia. Dalam
segitiga semantik yang bersifat eksplisit (yang digambar dengan garis tegas), penanda
“batang hidung” mempunyai petanda manusia, dan acuannya pun menjadi manusia.
Jadi, petanda dan acuan “hidung” (sebahagian) digantikan oleh “manusia” (keseluruhan).

Contoh keseluruhan untuk sebahagian:


- “Anak gadis sekarang suka memakai gaun mini.”
Di sini juga sebenarnya ada dua penanda, yang pertama adalah (semua) anak gadis
dan yang ke dua adalah (beberapa) anak gadis. Komponen makna penyama tentu banyak,
karena pembedanya hanya komponen makna jumlah. Dengan demikian sebenarnya di
sini pun ada dua segitiga semantik, yang bersifat eksplisit (dikemukakan dengan garis
tegas) mempunyai penanda “(semua) gadis” dan yang bersifat implisit (dikemukakan
dengan garis terputus-putus) mempunyai penanda “(beberapa) gadis”. Dalam segitiga
semantik yang bersifat eksplisit, penanda “Anak gadis” yang sebenarnya mempunyai
petanda dan acuan (semua) yang berarti keseluruhan, digantikan oleh petanda dan acuan
(beberapa) yang berarti sebahagian.

.4 Majas yang berdasarkan perubahan intensitas makna dan perubahan acuan.

5.4.4.1 Hiperbola
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan bahwa hiperbola adalah
ucapan (ungkapan, pernyataan) kiasan yang dibesar-besarkan (berlebih-lebihan),
dimaksudkan untuk memperoleh efek tertentu, bukan yang sebenarnya. Di sini
penulis akan mencoba mencari penjelasannya. Sebenarnya di dalam hiperbola
terdapat dua leksem, penanda leksem yang pertama tersembunyi dan digantikan
oleh yang ke dua, yaitu yang mempunyai intensitas makna jauh melebihi petanda
yang pertama (yang tersembunyi). Sebenarnya proses pembentukannya tidak jauh
berbeda dengan metafora, hanya saja di sini fokus terletak pada kesan intensitas
makna. Itulah sebabnya mengapa banyak hiperbola yang juga merupakan
metafora. Atau perbandingan (perumpamaan)

Contoh: Sedetik pun tak pernah wajah kekasihku hilang dari ingatanku.
(Sabun) sa n‟dulit, untung selangit.
Bagaikan mendengar halilintar di siang bolong, aku mendengar berita itu
Secepat kilat ia berlari menuju garis finis.
Bagan segitiga semantiknya adalah sebagai berikut:

Bagan segitiga semantiknya dapat dikemukakan sebagai berikut:

Leksem “sedetik” sebenarnya mengemukakan waktu yang singkat, meskipun waktu yang
singkat itu sebenarnya bukan sedetik, melainkan bisa saja satu atau beberapa jam. Dalam
kenyataannya, tidak mungkin orang memikirkan saja satu hal terus menerus, sampai
bilangan detik. Ukuran waktu yang dikemukakan jauh lebih sedikit dari pada waktu yang
sebenarnya digunakan. Yang penting di sini adalah kesan yang ditampilkan. Dengan
penggunaan majas ini, intensitas makna bahasa menjadi sangat kuat.

Contoh lain: Tono berlari secepat kilat.

Dalam hal penggambaran kecepatan lari Tono yang dibandingkan dengan kilat, digunakan
majas hiperbola. Secepat apa pun lari manusia, tentu tidak dapat disamakan dengan kilat
kecepatannya. Di sini pun ukuran waktu yang ditampilkan jauh lebih sedikit dari waktu
yang sebenarnya digunakan. Selain hiperbola, di sini tampak perbandingan atau
perumpamaan.

Contoh lain: Bagai disambar petir kepalanya, mendengar berita itu.

Di sini, rasa terkejut dikemukakan begitu kuat, sekuat sambaran petir. Ukuran kekuatan
yang digambarkan jauh lebih besar dari yang sebenarnya dirasakan. Dalam hal ini, bukan
hanya hiperbola yang tampak (manusia yang disambar petir tentu mati), namun ada pula
gaya bahasa perumpamaan atau perbandingan (perbandingan antara perasaan terkejut yang
dialaminya dibandingkan dengan perasaan orang yang tiba-tiba disambar petir. Jadi dalam
satu ungkapan dapat saja ada dua gaya bahasa atau lebih.

Contoh lain: Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak.

Ujaran di atas menampilkan 4 hiperbola, yaitu: kuman (untuk menggambarkan kesalahan


yang begitu kecil), di seberang lautan (untuk menunjukkan jarak yang begitu jauh), gajah
(untuk mengemukakan kesalahan yang begitu besar) dan akhirnya di pelupuk mata (untuk
menampilkan jarak penglihatan yang begitu dekat). Di sini, hiperbola digunakan untuk
menggambarkan ukuran benda abstrak yang dikonkritkan (kesalahan) dan ukuran jarak.
Ukuran itu bisa saja menjadi sangat besar atau sangat kecil. Keempat hiperbola ini
merupakan metafora.
5.4.4.2 Litotes.

Kata ini berasal dari bahasa Yunani, dan berarti “kesederhanaan”. Berbeda dengan
hiperbola, majas ini digunakan untuk melemahkan ungkapan pikiran, jadi untuk menam-
pilkan gagasan tentang sesuatu yang kuat atau besar dengan ungkapan yang lemah.
Contoh: “Silahkan singgah di gubuk saya”.

Sebenarnya, yang dikemukakan dengan kata gubuk itu, mungkin saja rumah yang besar
dan mewah, tetapi si pengujar ingin menampilkan kesan kecil, sehingga ia menggunakan
leksem “gubuk”. Di sini juga tampak metafora. Jadi tak perlu lagi dikemukakan baik
bagan wilayah makna maupun bagan segitiga semantiknya.

5.4.4.2 Euphemisme.
Ungkapan yang dihaluskan dalam mengemukakan suatu gagasan. Hal ini
dilaku- kan apabila ungkapan gagasan tersebut secara langsung, bisa
menimbulkan perasaan yang tidak enak, atau terasa agak kasar.
Contoh: Untuk mengatakan “Tono sedang berak” digunakan ujaran “Tono sedang
pergi ke belakang.”

Contoh lain: Ujaran “Bapaknya sudah mati” dikemukakan dengan “Bapaknya telah me-
ninggal” atau “Bapaknya telah berpulang ke Rachmatullah”

Dari segi maknanya, sebetulnya majas ini juga bersifat metaforis, sehingga tidak perlu lagi
dikemukakan baik bagan wilayah makna maupun segitiga semantiknya.

Demikianlah beberapa majas yang dapat ditampilkan. Masih banyak majas lain-
nya yang masih belum mendapat penjelasan linguistik, namun pembahasan akan menjadi
terlalu luas.

Anda mungkin juga menyukai