Anda di halaman 1dari 4

Etiologi

Etiologi terjadinya skizofrenia belum diketahui secara pasti. Diduga


penyebabnya adalah :
a. Faktor genetik, meskipun ada gen yang abnormal, skizofrenia tidak
akan muncul kecuali disertai faktor-faktor lainnya yang disebut faktor
epigenetik, seperti virus atau infeksi lain selama kehamilan,
menurunnya auto-immune yang mungkin disebabkan infeksi selama
kehamilan, berbagai macam komplikasi kandungan dan kekurangan
gizi yang cukup berat (Hawari,2006).
b. Faktor biologi seperti hiperaktivitas sistem dopaminergik, faktor
serotonin, faktor neuroimunovirologi, hipoksia atau kerusakan
neurotoksik selama kehamilan dan kelahiran (Sadock,2007).
c. Faktor lingkungan yang menyebabkan skizofrenia meliputi
penyalahgunaan obat, pendidikan yang rendah, dan status ekonomi
(Carpenter,2010).
d. Abnormalitas korteks cerebral, talamus, dan batang otak pada penderita
skizofrenia ditunjukkan dengan penelitian neuropatologi dan
pemeriksaan dengan Ctscan (Sadock,2007).
e. Faktor psikososial dan sosiokultural dimana freud menyatakan
skizofrenia sebagai suatu respons regresif terhadap frustasi dan konflik
yang melanda seseorang di dalam lingkungan. (Sadock,2007).

Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi
1) Fase Psikosis Akut
Pada fase ini pengobatan dengan menggunakan anti psikotik dan
benzodiazepine akan cepat menenangkan pasien yang kebanyakan
mengalami agitasi akibat halusinasi dan delusi. Anti psikotik akan
bekerja lebih cepat melalui injeksi intramuskuler. Obat antipsikotik yang
dapat menyebabkan akinesia dan gangguan traktus ekstrapiramidalis
antara lain haloperidol dan flupenazine. Sedangkan golongan
antipsikotik atipikal seperti olanzapine dan risperidone tidak
menyebabkan gangguan ekstrapiramidal (Kaplan dan Sadock, 2010).
2) Fase Maintenance dan Stabilisasi
Pada fase ini tujuan pengobatan adalah mencegah relaps dengan
terus menggunakan obat-obatan karena jika obat dihentikan maka risiko
terjadi relaps meningkat hingga 72 % pada satu tahun pertama, sehingga
disarankan agar pengobatan dilakukan minimal selama 5 tahun (Kaplan
dan Sadock, 2010).
3) Antipsikotik atipikal
a) Clozapine
Clozapine merupakan satu-satunya antipsikotik yang
memperlihatkan efek yang dapat mengurangi gejala positif dan
negatif pada pasien yang gagal dengan terapi antipsikotik tipikal.
Obat ini juga hampir tidak memberikan efek ekstrapiramidal,
termasuk akathisia. Respon terhadap penggunaan clozapine bisa
mencapai 6 bulan. Sindrom negatif cenderung membaik paling
lama. Efek samping lainnya dari clozapine adalah sedasi,
peningkatan berat badan, kejang, gejala obsesif kompulsif,
hipersalivasi, takikardi, hipotensi, hipertensi, gagap, inkontinensia
urin, konstipasi, dan hiperglikemi. Efek samping tersebut biasanya
dapat diatasi dengan penurunan dosis. Untuk kejang harus
ditangani dengan anti konvulsan seperti asam valproat (Amir,
2010).
Dosis clozapine untuk kebanyakan pasien antara 100 –
900 mg/hari. Peningkatan dosis harus dilakukan perlahan-lahan
mengingat adanya efek samping takikardi dan hipotensi. Dosis
biasanya dimulai pada 25 mg/hari, kemudian sampai pada dosis
500 mg/hari dan biasanya diberikan sehari 2x (Hawari, 2015).
Clozapine terbukti dapat mengurangi depresi dan gejala ingin
bunuh diri. Clozapine juga dilaporkan dapat meningkatkan
beberapa aspek kognitif terutama kemampuan bicara, pemusatan
pikiran, dan memory recall. Clozapine juga menunjukan dapat
meningkatkan fungsi bekerja dan kualitas kehidupan pasien. Tidak
ada data yang menunjukan bahwa clozapine efektif terhadap kasus
skizotipal atau gangguan personalitas skizoid (Sinaga, 2010).
b) Risperidon
Risperidon merupakan golongan benzisoxazole.
Risperidon memiliki efek mengurangi gejala positif dan negatif
yang lebih baik daripada haloperidol. Namun tidak terdapat bukti
yang menunjukan bahwa risperidon efektif terhadap pasien yang
gagal terapi dengan antipsikotik tipikal. Risperidon juga dapat
meningkatkan fungsi kognitif (Hawari, 2016). Beberapa pasien
memberi efek pada dosis 2 mg/hari, namun ada juga yang memberi
respon pada 10–16 mg/hari. Pada dosis 2-4 mg/hari, gejala
ekstrapiramidal biasanya ringan (Meltzer dan Fatemi, 2015).
c) Olanzapine
Olanzapine terbukti lebih efektif daripada haloperidol
dalam mengatasi gejala positif. Dosis anjuran olanzapin dimulai
pada 10 mg/hari, sehari sekali. Kebanyakan pasien memerlukan 10
– 25 mg/hari, namun dosis sebaiknya dinaikan secara perlahan.
Sama seperti clozapine, respon perngobatan dapat baru terlihat
setelah beberapa bulan. Olanzapine memberi efek samping
gangguan ekstrapiramidal dan tardive diskinesia yang lebih ringan
dibanding haloperidol. Efek samping terbesar dari olanzapin
adalah peningkatan berat badan dan sedasi. Efek samping lainnya
adalah mengantuk dan peningkatan kadar transaminase hepar
(Sinaga, 2010).

b. Non Farmakoterapi
Beberapa jenis pengobatan yang tidak menggunakan obat-obatan yaitu:
1) ECT (Electro Convulsive Therapy) Dikatakan penggunaan ECT dengan
pengobatan entipsikotik akan lebih efektif
2) Terapi Berorientasi Keluarga
Karena pasien dikembalikan dalam keadaan remiten, maka penting untuk
mengedukasi keluarga bagaimana cara mengatasi masalah-masalah yang
dapat timbul dari pasien (Kaplan dan Sadock, 2010).
c. Terapi Psikososial
Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan minum obat,
mendukung pasien, melatih pasien untuk mandiri, meningkatkan fungsi sosial
dan fungsi bekerja serta mengurangi beban orang yang menanggungnya.
Memberi pelatihan dan dukungan kepada anggota keluarga merupaqkan hal yang
penting terhadap keseluruhan proses pengobatan (Hawari, 2016).Pada
kebanyakan system kesehatan, program manajemen pengobatan telah
dikembangkan menjadi model program yang tidak mahal, dibandingakan dengan
pasien yang dirawat di rumah sakit. Dengan demikian, hal tersebut akan
memunkinkan pasien untuk hidup seminimal mungkin, atau bahkan tidak sama
sekali, dalam pengawasan tenaga medis, khususnya tenaga medis bagian
kejiwaan (Sinaga, 2010).

Daftar pustaka
Hawari, D.2006.Manajemen stress cemas dan depresi.Edisi 2.Jakarta:Balaipenerbit FKUI
Sadock, BJ.; Sadock, VA. 2007. Panic Disorder and Agoraphobia in Synopsis of Psychiatry
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, Xth ED, USA : Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia.
Carpenter, W. T., 2010, Conceptualizing Schizophrenia Through Attenuated Symptoms inthe
Population, American Journal of Psychiatry, 167, 9
Sinaga, B R. 2007. Skizofrenia dan diagnosis banding. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Kaplan, H.I., Sadock, B.J.,. 2010. Gangguan Somatoform dalam Sinopsis Psikiatri Jilid Dua.
Ciputat: Binarupa Aksara

Anda mungkin juga menyukai